Anda di halaman 1dari 40

PRESIPITASI (PENGERTIAN, TIPE,

DAN PENGUKURAN)
PERTEMUAN KE 3
PENGERTIAN PRESIPITASI
Presipitasi adalah turunnya air dari atmosfer ke permukaan bumi;
yang bisa berupa hujan, hujan salju, kabut, embun, dan hujan es.

Di daerah tropis, termasuk Indonesia, yang memberikan sumbangan


paling besar adalah hujan, sehingga seringkali hujanlah yang
dianggap sebagai presipitasi. Untuk selanjutnya digunakan istilah
hujan untuk menggantikan presipitasi. Hujan berasal dari uap air di
atmosfer, sehingga bentuk dan jumlahnya dipengaruhi oleh faktor
klimatologi seperti angin, temperatur dan tekanan atmosfer. Uap air
tersebut akan naik ke atmosfer sehingga mendingin dan terjadi
kondensasi menjadi butir-butir air dan kristal-kristal es yang akhirnya
jatuh sebagai hujan.
Proses terjadinya hujan banyak dtpelajari oleh ahli meteorologi dan
klimatologi. Ahli hidrologi lebih banyak mempelajari jumlah dan
distribusi hujan baik dalam ruang maupun waktu.
Jumlah air yang jatuh di permukaan bumi dapat diukur dengan
menggunakan alat penakar hujan. Distribusi hujan dalam ruang
dapat diketahui dengan mengukur hujan di beberapa lokasi pada
daerah yang ditinjau; sedang distribusi waktu dapat diketahui
dengan mengukur hujan sepanjang waktu.

Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai


dan di dalam tampungan baik di atas maupun di bawah permukaan
tanah. Jumlah dan variasi debit sungai tergantung pada jumlah,
intensitas dan distribusi hujan. Terdapat hubungan antara debit
sungai dan curah hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan.
Apabila data pencatatan debit tidak ada, data pencatatan hujan
dapat digunakan untuk memperkirakan debit aliran.
TIPE HUJAN
Hujan terjadi karena udara basah yang naik ke atmosfer mengalami
pendinginan sehingga terjadi proses kondensasi. Naiknya udara ke
atas dapat terjadi secara siklonik, orografik dan konvektif. Tipe hujan
dibeda-kan menurut cara naiknya udara ke atas. Gambar 2.1.
menunjukkan beberapa tipe hujan tersebut.
1 . Hujan konvektif/Hujan zenital
Di daerah tropis pada musim kemarau udara yang berada di dekat
permukaan tanah mengalami pemanasan yang intensif. Pemanasan
tersebut menyebabkan rapat massa udara berkurang, sehingga udara
basah naik ke atas dan mengalami pendinginan sehingga terjadi
kondensasi dan hujan. Hujan yang terjadi karena proses ini disebut
hujan konvektif, yang biasanya bersifat setempat, mempunyai
intensitas tinggi dan durasi sing-kat.
2. Hujan siklonik/Hujan frontal
Jika massa udara panas yang relatif ringan bertemu dengan massa
udara dingin yang relatif berat, maka udara panas tersebut akan
bergerak di atas udara dingin. Udara yang bergerak ke atas tersebut
mengalami pendinginan sehingga terjadi kondensasi dan terbentuk
awan dan hujan. Hujan yang terjadi disebut hujan siklonik, yang
mempunyai sifat tidak terlalu lebat dan berlangsung dalam waktu
lebih lama.
3. Hujan orografis/Hujan pegunungan
Udara lembab yang tertiup angin dan melintasi daerah pegunungan
akan naik dan mengalami pendinginan, sehingga terbentuk awan dan
hujan. Sisi gunung yang dilalui oleh udara tersebut banyak
mendapatkan hujan dan disebut lereng hujan, sedang sisi belakangnya
yang dilalui udara kering (uap air telah menjadi hujan di lereng hujan)
disebut lereng ba-yangan hujan. Daerah tersebut tidak permanen dan
dapat berubah tergan-tung musim (arah angin). Hujan ini terjadi di
daerah pegunungan (hulu DAS), dan merupakan pemasok air tanah,
danau, bendungan, dan sungai.
Hujan Konvektif Hujan Orografis

Gambar 2.1. Tipe hujan

Hujan Siklonik

Dari ketiga tipe hujan di atas, yang banyak terjadi di Indonesia adalah
hujan konvektif dan orografis.
PARAMETER HUJAN
Jumlah hujan yang jatuh di permukaan bumi dinyatakan dalam
kedalaman air (biasanya mm), yang dianggap terdistribusi secara
merata pada seluruh daerah tangkapan air.
Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dalam suatu satuan
waktu, yang biasanya dinyatakan dalam mm/jam, mm/hari,
mm/minggu, mm/bulan, mm/tahun, dan sebagainya; yang berturut-
turut sering disebut hujan jam-jaman, harian, mingguan, bulanan, ta-
hunan, dan sebagainya.

Tabel 2.1. adalah keadaan hujan dan intensitas hujan (Suyono Sosro-
darsono, 1985). Tabel tersebut menunjukkan bahwa curah hujan tidak
bertambah sebanding dengan waktu. Jika durasi waktu lebih lama, pe-
nambahan curah hujan adalah lebih kecil dibanding dengan
penambahan waktu, karena hujan tersebut bisa berkurang atau
behenti.
Tabel 2.1. Keadaan hujan dan intensitas hujan
Durasi hujan adalah waktu yang dihitung dari saat hujan mulai turun
sampai berhenti, yang biasanya dinyatakan dalam jam.

Intensitas hujan rerata adalah perbandingan antara kedalaman hujan


dan durasi hujan. Misalnya hujan selama 5 jam menghasilkan
kedalaman 50 mm; yang berarti intensitas hujan rerata adalah 10
mm/jam. Demikian juga hujan selama 5 menit sebesar 6 mm, yang
berarti intensitas hujan adalah 72 mm/jam. Tetapi untuk daerah
tangkapan kecil perlu ditinjau durasi hujan yang sangat singkat seperti
5 menit, 10 menit, dsb. Sebaliknya untuk daerah tangkapan yang besar
sering digunakan durasi hujan yang lebih lama, misalnya 1
hari,2hari,dst.
Distribusi hujan sebagai fungsi waktu menggambarkan variasi keda-laman hujan
selama terjadinya hujan, yang dapat dinyatakan dalam bentuk diskret atau kontinyu.
Bentuk diskret, yang disebut sebagai hyetograph, yaitu histogram kedalaman hujan
atau intensitas hujan dengan pertambahan waktu sebagai absis dan kedalaman
hujan atau intensitas hujan sebagai ordinal, seperti diberikan dalam Gambar 2.2.
Sedang yang bentuk kontinyu menggambarkan hubungan laju hujan kumulatif
sebagai tungsi waktu. Durasi hujan (absis) dan kedalaman hujan (ordinat) dapat
dinyatakan dalam persentasi dari kedua nilai tersebut, seperti diberikan dalam
Gambar 2.3.
Pola curah hujan di Indonesia, dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :

1. Pola curah hujan monsunal, yang dipengaruhi oleh angin laut


atau darat dalam skala yang sangat luas dicirikan oleh perbedaan
yang jelas antara periode musim hujan dalam setahun.
2. Pola curah hujan ekuatorial, yang berhubungan dengan gerakan
daerah konvergensi ke utara dan selatan mengikuti pergeseran
matahari, dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan
dalam satu tahun.
3. Pola curah hujan lokal, dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi
lokal setempat, dimana faktor-faktor pembentukannya secara
umum dapat dibedakan dalam dua jenis :
• naiknya udara lembab secara paksa dari aliran udara yang
menuju ke dataran tinggi atau pegunungan (Hujan Orografis
/Orographic Precipitation)
• pemanasan lokal yang tidak seimbang (Hujan konveksi
/Convectional Precipitation)
Gambar 2.4. Variasi Hujan Bulanan di Indonesia
Gambar 2.5. Distribusi Hujan Tahunan di Indonesia
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa di sepanjang pantai
barat Sumatra, Kalimantan dan di Papua (Irian Jaya) mempunyai
kedalaman hujan yang lebih tinggi dibanding beberapa daerah
lainnya, dan bisa mencapai 4000-4500 mm/tahun. Sementara di
Nusa Tenggara kedalaman hujannya sangat kecil, yang hanya
sekitar 1500-2000 mm/tahun. Gambar 2.4. menunjukkan
distribusi hujan bulanan di berbagai daerah (SWS) di Indonesia.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada umum-nya di bulan
Desember, Januari dan Februari intensitas kujan tinggi, sementara
pada bulan Juni, Juli dan Agustus sangat rendah. Di Papua terjadi
hujan sepanjang tahun dengan intensitas hujan yang tinggi (lihat
klasifikasi iklim).
KLASIFIKASI IKLIM
Ada tiga klasifikasi iklim yang biasa digunakan di
Indonesia, antara lain :
• Koppen digunakan untuk iklim pada
tumbuhan/vegetasi
• Schmidth-Ferguson digunakan untuk iklim
kehutanan dan perkebunan.
• Oldeman digunakan untuk iklim lahan
pertanian pangan.
KLASIFIKASI IKLIM INDONESIA
BERDASARKAN OLDEMAN
• Klasifikasi tipe iklim Oldeman merupan tipe iklim yang
dikembangkan berdasarkan kriteria bulan-bulan basah dan
bulan-bulan kering yang terjadi secara berturut-turut.
Klasifikasi tipe iklim Oldeman sangat relevan untuk
klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan terlebih untuk
Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara agraris
yang sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Kriteria bulan
basah dan bulan kering dalam pengklasifikasian tipe iklim
Oldeman adalah apabila jumlah curah hujan dalam satu
bulan > 200 mm maka dinyatakan sebagai bulan bulan
basah dan apabila curah hujan dalam satu bulan < 100 mm
maka dinyatakan sebagai bulan kering. Adapun klasifikasi
tipe iklim Oldeman dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
ANOMALI CUACA
EL-NINO DAN LA-NINA
El Nino menurut sejarahnya adalah sebuah fenomena yang pertama kali teramati
oleh para nelayan Peru dan Ekuador yang tinggal di pantai sekitar Samudera Pasifik
bagian timur pada bulan Desember, tepatnya menjelang hari Natal. Fenomena yang
teramati adalah meningkatnya suhu permukaan laut yang biasanya dingin.
Fenomena ini mengakibatkan perairan yang tadinya kaya akan ikan akibat adanya
upwelling atau arus naik permukaan yang membawa banyak nutrien dari dasar
menjadi sedikit jumlah ikan di perairan tersebut.
Pemberian nama El Nino itu sendiri berasal dari bahasa Spanyol, yang artinya
“anak lelaki”. Suatu saat para ahli kemudian menemukan juga fenomena
mendinginnya suhu permukaan yang merupakan kebalikan dari El Nino.
Fenomena kebalikan ini diberi nama La Nina (juga bahasa Spanyol), yang berarti
“anak perempuan”. Kedua fenomena ini memiliki periode 2 sampai 7 tahun,
tetapi periode El Nino dan La Nina menjadi semakin pendek seiring dengan
pemanasan global yang terjadi di dunia sekarang ini.
ANOMALI CUACA

El Nino dicirikan dengan naiknya suhu permukaan air laut (warm


phase) di Pasifik bagian Equator sedangkan La Nina kebalikannya
yaitu turunnya suhu permukaan air laut (cold phase) di Pasifik
bagian equator.
Akibat El Nino ini hujan banyak turun di Samudera Pasifik sedangkan
di Australia dan Indonesia menjadi kering
Akibat dari La Nina adalah hujan turun lebih banyak di Samudera
Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia. Dengan demikian di
daerah ini akan terjadi hujan lebat dan banjir di mana-mana.
Kejadian El-Nino tidak terjadi secara tunggal tetapi berlangsung
secara berurutan pasca atau pra La-Nina. Hasil kajian dari tahun
1900 sampai tahun 1998 menunjukan bahwa El-Nino telah terjadi
sebanyak 23 kali (rata-rata 4 tahun sekali). La-Nina hanya 15 kali
(rata-rata 6 tahunsekali). Dari 15 kali kejadian La-Nina, sekitar 12
kali (80%) terjadi berurutan dengan tahun El- Nino. La-Nina
mengikuti El-Nino hanya terjadi 4 kali dari 12 kali kejadian
sedangkan yangmendahului El-Nino 8 kali dari 15 kali kejadian.
Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa peluang terjadinya La-
Nina setelah El-Nino tidak begitu besar.
ZOM (ZONA MUSIM)
Jawa Timur terbagi menjadi 60 Zona Musim (ZOM)
PENGUKURAN HUJAN
Di antara beberapa jenis presipitasi, hujan adalah yang paling biasa
diukur. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan
menampung air hujan yang jatuh. Namun tidak mungkin menampung
hujan di seluruh daerah tangkapan air. Hujan di suatu daerah hanya
dapat diukur di beberapa titik yang ditetapkan dengan menggunakan
alat pengukur hujan. Hujan yang terukur oleh alat tersebut mewakili
suatu luasan daerah di sekitarnya. Hujan terukur dinyatakan dengan
kedalaman hujan yang jatuh pada suatu interval waktu tertentu.
Di Indonesia, pengukuran hujan dilakukan oleh beberapa instansi di
antaranya adalah Badan Meteorologi,Klimatologi dan Geofisika
(BMKG), Dinas Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, Dinas
Pertanian, dan beberapa instansi lain baik pemerintah maupun swasta
yang berkepentingan dengan hujan. Masing-masing instansi tersebut
mengelola sendiri stasiun hujannya. Bisa terjadi dua atau lebih stasiun
hujan berada pada jarak yang berdekatan.
Alat penakar hujan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pena-
kar hujan biasa (manual raingauge) dan penakar hujan otomatis
(automatic raingauge).
Alat penakar hujan biasa (Tipe Ombrometer)
Gambar 2.6.a. adalah alat penakar hujan biasa, yang terdiri dari co-
rong dan botol penampung yang berada di dalam suatu tabung
silinder. Alat ini ditempatkan di tempat terbuka yang tidak
dipengaruhi pohon-pohon dan gedung-gedung yang ada di
sekitarnya. Air hujan yang jatuh pada corong akan tertampung di
dalam tabung silinder. Dengan meng-ukur volume air yang
tertampung dan luas corong akan dapat diketahui kedalaman hujan.
Curah hujan kurang dari 0,1 mm dicatat sebagai 0,0 mm; yang harus
dibedakan dengan tidak ada hujan yang dicatat dengan garis (-).
Pengukuran dilakukan setiap hari. Biasanya pembacaan pada pagi
hari, sehingga hujan tercatat adalah hujan yang terjadi selama satu
hari sebelumnya, yang sering disebut hujan harian. Dengan alat ini
tidak dapat diketahui kederasan hujan (intensitas) hujan, durasi (lama
waktu) hujan dan kapan terjadinya.
TAHUN 2011
No.Stasiun : Koordinat : 4 o 09'19"LS 119 o 50'40"BT
Stasiun : SALOBUNNE Elevasi : + 12 m dpal
Desa : Galung Kalung DAS : S. Salobunne
Kecamatan : Marioriawa Wilayah Sungai : Walanae - Cenrana
Kabupaten : Soppeng Mulai berfungsi : 1 Agustus 1976

Tanggal Jan. Peb. Mar. April Mei Juni Juli Agt. Sept. Okt. Nop. Des.
1 7 - 16 21 15 - - 7 - - 61 12
2 - - 9 18 154 - - - - 4 5 7
3 - - - - - - - - - - - -
4 - 5 - - - - 11 - - - - 18
5 - - - - - 4 9 - - - - 33
6 - - - - - 5 - 2 - 43 7 -
7 11 - 2 - - - - 4 2 28 22 -
8 - - 1 - - - - - - - 41 29
9 - - - - - - - - - - - 51
10 - - - - - - - - - - - -
11 - 13 - 2 - - 7 - - - - -
12 9 8 - 1 - - 18 5 - - - -
13 2 - - - 19 2 - - - - - -
14 4 - - - 8 3 16 - - - - 2
15 15 21 - - - - 12 - 3 - 20 9
16 3 11 28 - 4 - 21 9 6 - - -
17 - - 12 - 3 - - - 5 - - -
18 - - 8 - - - - - - 6 31 -
19 - 18 - - - - 8 - - - - 10
20 - 3 - - - 9 - - - - - 5
21 5 - - - 11 26 - 2 - 49 8 -
22 - - 3 11 21 2 3 5 - 9 12 -
23 - - 58 13 - 21 2 - 4 37 6 13
24 - - 21 9 - 19 - 2 1 - - -
25 - - 14 22 - 16 - - - - - -
26 61 10 - 25 - 9 - - - - 11 -
27 21 9 - 29 - 29 - - - 14 13 -
28 3 - 38 12 27 - 1 - - 21 19 -
29 - 22 15 - - 4 - - 7 38 -
30 - 19 14 39 - 12 7 - - 9 -
31 - 11 9 - - - -

Jml.Perbulan 141 98 262 192 310 145 124 43 21 218 303 189
Jml hari hujan 11 9 15 13 11 12 13 9 6 10 15 11
Hujan Max 61 21 58 29 154 29 21 9 6 49 61 51
Hujan Min 2 3 1 1 3 2 1 2 1 4 5 2
Rata-rata 13 11 17 15 28 12 10 5 4 22 20 17

CURAH HUJAN BULANAN TAHUN 2011


STA.SALOBUNNE - SOPPENG

350

300
JUMLAH CURAH HUJAN

250

200

150

100

50

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BULAN

Keterangan : - Hujan dicatat dalam (mm)


- Tidak ada hujan diberi tanda (-)
- Ada hujan < 0.5 mm diberi tanda (0)
2. Alatpenakar hujan otomatis
Alat ini mengukur hujan secara kontinyu sehingga dapat diketahui
intensitas hujan dan lama waktu hujan. Ada beberapa macam alat
penakar hujan otomatis yaitu alat penakar hujan jenis pelampung, alat
penakar hujan jenis timba jungkit, dan alat penakar hujan jenis
timbangan.
a. Alatpenakar hujan jenis pelampung (tipe Hellman)
Gambar 2.6.b. adalah alat penakar hujan jenis pelampung. Hujan yang
jatuh masuk ke dalam tabung yang berisi pelampung. Jika muka air di
dalam tabung naik, pelampung bergerak ke atas dan bersamaan
dengan pelampung tersebut sebuah pena yang dihubungkan dengan
pelampung melalui suatu tali penghubung juga ikut bergerak. Gerakan
pena tersebut memberi tanda pada kertas grafik yang digulung pada
silinder yang ber-putar. Jika tabung telah penuh, secara otomatis
seluruh air akan melimpas keluar melalui mekanisme sifon yang
dihubungkan.
b. Alatpenakar hujan jenis timba jungkit
Gambar 2.6.c. menunjukkan jenis alat ini, yang terdiri dari silinder
penampung yang dilengkapi dengan corong. Di bawah corong
ditempat-kan sepasang timba penakar kecil yang dipasang sedemikian
rupa sehingga jika salah satu timba menerima curah hujan sebesar
0,25 mm, timba tersebut akan menjungkit dan menumpahkan isinya
ke dalam tangki. Timba lainnya kemudian menggantikan tempatnya,
dan kejadian serupa akan terulang. Gerakan timba mengaktifkan
suatu sirkuit listrik dan menyebabkan bergeraknya pena pada
lembaran kertas grafik yang dipasang pada suatu silinder dan
berputar sesuai dengan perputaran jarum jam.
Dengan menggunakan alat penakar hujan otomatis akan dapat diketa-
hui intensitas hujan. Data intensitas hujan sangat penting untuk
memper-kirakan debit banjir, seperti dalam perencanaan sistem
drainasi perkotaan, pengendalian banjir, perencanaan jembatan, dan
sebagainya. Gambar 2.7. adalah contoh hasil pencatatan hujan
otomatis. Dalam gambar tersebut sumbu horisontal menunjukkan
waktu, sedang sumbu vertikal adalah besaran hujan dalam milimeter.
Grafik data hujan merupakan akumulasi hujan selama terjadinya
hujan: Grafik datar menunjukkan tidak terjadi hujan. Apabila grafik
miring (naik), berarti terjadi hujan. Semakin tajam kemiringannya,
semakin tinggi intensitas hujan.
Gambar. Beberapa Hasil Rekaman dengan AUHO
Dengan menggunakan hasil pencatatan hujan otomatis tersebut
dapat dievaluasi jumlah hujan untuk setiap interval waktu tertentu,
misalnya se-tiap 5, 10, 15, menit dan seterusnya. Tabel 2.2. adalah
contoh hasil evalu-asi data pencatatan hujan otomatis dari stasiun
pencatat hujan di Semarang pada bulan Januari 2000. Tabel tersebut
ditampilkan sesuai dengan formulir yang dikeluarkan oleh BMKG
Semarang. Kedalaman hujan dica-tat dalam 5, 10, 15, 30, 45, 60, 120
menitan serta 3, 6, 12, dan 24 jam. Ditampilkan juga hujan maksimum
dalam satu bulan untuk masing-masing interval waktu. Tabel tersebut
juga menunjukkan distribusi hujan jam-jaman (jumlah hujan tiap jam).
CARA MEMPROSES DATA AUHO
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai