Anda di halaman 1dari 28

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Antibiotik
2.1.1. Penggunaan Antibiotik dan Munculnya Resistensi Antibiotik

Antibiotik merupakan segala senyawa atau zat dari bahan alami ataupun sintetik

yang memiliki efek membunuh atau menghambat. Antibiotik dapat membunuh

bakteri yang disebut bakterisidal dan ada pula yang menghambat bakteri disebut

bakteristatik (Etebu, 2016). Antibiotik juga digunakan sebagai profilaksis yaitu untuk

mencegah atau membatasi infeksi utamanya pada pasien yang beresiko terhadap

infeksi bakteri. Oleh sebab itu, penggunaan antibiotik secara tidak rasional perlu

diperhatikan karena dapat menyebabkan adanya resistensi antibiotik (Mandal et al,

2008).

Resistensi antibiotik adalah ketahanan bakteri terhadap antibiotik sehingga

bakteri tidak mati dengan penggunaan antibiotk pada dosis yang umum digunakan

(Ventola, 2015). Penyebab utama timbulnya resistensi antibiotik adalah

penggunannya yang meluas dan tidak rasional. Awal mula terjadinya resistensi yaitu

karena penggunaan antibiotik yang tidak sampai habis, sehingga menyebebakan

bakteri tidak seluruhnya mati namun masih ada yang bertahan hidup. Bakteri yang

masih bertahan hidup tersebut dapat menghasilkan bakteri baru yang resisten melalui

tiga mekanisme, yakni transformasi, konjugasi dan transduksi. Beberapa bakteri

resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, di antaranya

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Carbapenem-Resistant

Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacteriumtuberculosis,


6

Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci,

Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum Beta-Lactamase

(ESBL) (Kemenkes, 2011).

Resistensi antibiotik sudah terjadi selama 10 tahun terakhir, dan pada tanggal 7

April 2011 lalu bertepatan dengan peringatan hari Kesehatan Dunia, WHO secara

resmi memperkenalkan program Combating Antibiotic Resistance. Tujuan dari

penggunaan antibiotik kombinasi yaitu, untuk memperluas spektrum anti bakteri pada

pasien dengan kondisi kritis atau infeksi berat, tetapi jenis infeksinya belum dapat

dipastikan. Misalnya, pada septicemia sering diberikan kombinasi antibiotika

antistafilokokus (misalnya nafsilin) dan antibiotika terhadap basil Gram negatif aerob

(misalnya gentamisin). Kombinasi amoksisilin dengan asam klavulanat atau

sulbaktam digunakan untuk mengatasi resistensi karena produksi enzim penisilinase.

Dalam penggunaannya banyak dijumpai kombinasi antibiotik untuk pengobatan,

namun tidak semuanya memiliki hasil yang diinginkan. Penggunaan kombinasi

antibiotik bakteristatik dan bakterisidal akan merugikan karena bakteristatik sifatnya

menghambat atau melemahkan bakteri, sedangkan bakterisidal sifatnya membunuh.

Kombinasi bakteristatik dan bakteristatik umumnya akan menghasilkan efek yang

sinergis atau aditif (Ganiswarna, 2005).

2.1.2 Sejarah Antibiotik

Antibiotik pertama kali ditemukan oleh Paul Erlich dan disebut, “magic bullet”

digunakan untuk membasmi mikroba. Pada tahun 1910, Ehrlich menemukan

antibiotik pertama, salvarsan yang digunakan untuk melawan syphilis. Tahun 1928,
7

Alexander Fleming seorang ahli mikrobiologi dari Inggis secara tidak sengaja

menemukan antibiotik penisilin. Tujuh tahun kemudian, Gerhard Domagk

menemukan sulfa, yang membuka jalan penemuan obat anti TB, isoniazid. Obat anti

TB pertama streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman dan Albert Schatz pada

tahun 1943. Sejak saat itu banyak para klinisi yang mulai menggunakan antibiotik

sebagai pengobatan untuk berbagai infeksi (Utami, 2011).

Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak bakteri yang mulai resisten

terhadap pemberian antibiotik. Pada tahun 1950-an telah muncul jenis bakteri baru

yang tidak dapat dilawan dengan penislin. Tetapi ilmuwan terus menerus melakukan

berbagai penelitian, sehingga antibiotik−antibiotik baru terus ditemukan. Namun

sejak akhir 1960-an, tidak ada lagi penemuan antibiotik yang bisa digunakan untuk

membunuh atau menghambat bakteri. Tahun 1999 ilmuwan berhasil mengembangkan

antibiotik baru, tetapi sudah semakin banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik

(Borong, 2012).

2.1.3 Penggolongan antibiotik

Berdasarkan spektrum dan kisaran terjadinya antibiotik dibedakan menjadi dua

kelompok yaitu antibiotik spektrum sempit dan antibiotik spektrum luas. Antibiotik

spektrum sempit (narrow spectrum), adalah antibiotik yang hanya mampu

menghambat satu golongan bakteri saja yakni bakteri Gram positif atau Gram negatif.

Antibiotik yang termasuk dalam golongan ini adalah penicilin, streptomisin,

neomisin, dan basitrasin. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum), adalah antibiotik

yang dapat menghambat atau membunuh bakteri golongan Gram positif dan Gram

negatif. Antibiotik yang termasuk dalam golongan ini adalah tetrasiklin dan
8

derivatnya, chloramphenicol, sefalosporin, ampisilin, carbapenem, dan lain-lain

(Pratiwi, 2008).

2.1.4 Mekanisme Kerja

Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu pertama,

menghambat sintesis bakteri atau merusak dinding sel bakteri seperti golongan beta

laktam (penicilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),

basitrasin, dan vankomisin. Kedua, memodifikasi atau menghambat sintesis protein

seperti, aminoglikosida, chloramphenicol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin,

azitromisin, klaritomisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. Ketiga,

menghambat enzim-enzim essensial dan metabolisme folat seperti, trimetropin dan

sulfonamid atau juga dapat mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat

seperti, kuinolon dan nitrofurantoin (Permenkes, 2011).

2.1.5 Amoxicillin

2.1.5.1 Definisi

Amoxicillin adalah salah satu senyawa antibiotik golongan beta-laktam yang

efektif membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif pada manusia maupun

hewan dan memiliki nama kimia alfa-amino-hidroksilbenzil-penicilin (Kaur et al,

2011). Antibiotik amoxicillin tersedia dalam bentuk amoxicillin trihidrat untuk oral

dan amoxicillin sodium untuk penggunaan parenteral. Amoxicillin telah menggantikan

ampisilin sebagai antibiotik yang sering digunakan di berbagai tempat (Grayson,

2010).
9

Amoxicillin merupakan golongan penicillin yang banyak beredar di masyarakat

karena harganya yang relatif murah dan mudah dibeli tanpa resep dokter. Amoxicillin

adalah antibiotik spektrum luas sehingga sering digunakan pada berbagai penyakit,

seperti pneumonia, otitis, sinusitis, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan penyakit

lainnya. Obat ini tersedia dalam berbagai sediaan seperti tablet, kapsul, suspensi oral,

dan tablet dispersible (UNICEF, 2013).

2.1.5.2 Farmakologi

Amoxicillin memiliki sifat farmakodinamik dan farmakokinetik (Grayson, 2010).

Amoxicillin termasuk dalam antibiotik golongan penicilin (antibiotik beta-laktam).

Obat golongan penisilin cara kerjanya yaitu menghambat pertumbuhan bakteri

dengan mengganggu transpeptidase sintesis dinding sel bakteri. Amoxicillin lebih

efektif melawan mikroorganisme Gram positif dibanding Gram negatif. Amoxicillin

bekerja dengan mengikat pada ikatan penicilin protein 1A (PBP-1A) yang berlokasi

didalam dinding sel bakteri. Sehingga akan membuka cincin lactam dan akan

menginaktivasi dari enzim (Kaur et al., 2011).

Obat ini diserap dengan baik dari traktus gastrointestinal, dengan atau tanpa

adanya makanan. Berbeda dengan obat golongan penisilin lainnya yang lebih baik

diberikan setidaknya 1-2 jam sebelum atau sesudah makan. Bioavailabilitas dari

amoxicillin yang tinggi sekitar 70%-90% dengan kadar puncak pada plasma terjadi

dengan waktu 1–2 jam dan dosis pada umumnya 1,5–3 kali lebih besar dibanding

ampisilin. Amoxicillin terdistribusi pada banyak jaringan termasuk hati, paru, prostat,

otot, empedu, cairan pleura, cairan asites, cairan sinovial dan cairan okular,
10

terakumulasi dalam cairan amnion dan melewati plasenta tetapi buruk jika melewati

sistem saraf pusat (Kaur et al., 2011). Amoxicillin oral memiliki availability 93% dan

diekskresikan pada urine sekitar 86%. Antibiotik ini memiliki volume distribusi

19L/70kg dan waktu paruh 1,7 jam (Katzung, 2007).

2.1.6 Chloramphenicol

2.1.6.1 Definisi

Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri Gram-

positif dan negatif, aerob dan anaerob, klamidia, ricketsia, dan mikoplasma.

Chloramphenicol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom

50S. Efek samping yang ditimbulkan adalah supresi sumsum tulang, grey baby

syndrome, neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan

timbulnya ruam (Kemenkes, 2011).

Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan demam tifoid, infeksi berat lain

terutama yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae, abses serebral, mastoiditis,

ganggren, septikemia, pengobatan empiris pada meningitis (Soedarmo et al, 2012).

2.1.6.2 Farmakologi

Chloramphenicol memiliki aktivitas farmakokinetik dan farmakodinamik.

Chloramphenicol memiliki cara kerja yaitu dengan menghambat sintesis protein

bakteri, melekat pada subunit 50s dari ribosom. Obat ini menganggu pengikatan asam

amino baru pada rantai peptida yang sedang dibentuk, sebagian besar karena

kloramfenikol menghambat peptidil transferase. Chloramphenicol termasuk dalam


11

antibiotik bakteristatik berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri Gram positif

maupun bakteri Gram negatif (Brooks et al, 2013).

Chloramphenicol diabsorbsi di gastrointestinal dengan bioavailabilitas antara

75%-90%. Antibiotik ini mudah berpenetrasi melewati membran luar bakteri. Bentuk

aktif dan inaktif dari chloramphenicol adalah oral, sedangkan parenteral adalah

water-soluble. Distribusinya secara luas ke seluruh jaringan, cairan tubuh dan dapat

menembus plasenta. Konsentrasi tertinggi terdapat pada hati dan ginjal, sedangkan

konsentrasi terendah ada pada otak dan cairan serebrospinal (CSF) dan dapat juga

ditemukan di cairan pleura, saliva, cairan asites, air susu, aquos dan vitreus humor.

Metabolisme chloramphenicol terjadi di ginjal dan hati, dan diekresikan dengan

inaktif glukoronida (Katzung, 2007).

2.1.7 Cotrimoxazole
2.1.7.1 Definisi

Cotrimoxazole adalah obat antibakteri golongan trimetoprim yang banyak

digunakan untuk penyakit infeksi saluran kemih. Suspensi Kotrimoksazol

mengandung Sulfametoksazol dan Trimetoprim (USP, 2008).

2.1.7.2 Farmakologi

Cotrimoxazole memiliki aktivitas farmakokinetik dan farmakodinamik. Aktivitas

antibakteri kombinasi antara sulfametoksazol dan trimetoprim (Cotrimoxazole)

berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berurutan pada reaksi enzimatik untuk

pembentukan asam tetrahidrofolat. Sulfonamida manghambat masuknya para-

aminobenzoic acid (PABA) ke dalam molekul asam folat dan trimetoprim


12

menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat.

Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti

pembentukan basa purin (adenine, guanine dan timidin) dan beberapa asam amino

(metinin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam

makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim

dihidrofolat reduktase mikroba sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut

juga terdapat pada sel mamalia. Trimetoprim pada umumnya 20 – 100 kali lebih

poten daripada sulfametoksazol, sehingga sediaan kombinasi diformulasikan untuk

mendapatkan kadar Sulfametoksazol 20 kali lebih besar daripada Trimetoprim

(Katzung, 2007).

Trimetoprim biasanya diberikan secara oral, baik tunggal maupun

dikombinasikan dengan sulfametoksazol, kombinasi ini merupakan bentuk terakhir

yang dipilih karena trimetoprim dan sulfametoksazol memiliki waktu paruh yang

hampir sama. Trimetoprim diabsorbsi dengan baik dari usus dan didistribusikan

secara luas dalam cairan- cairan dan jaringan-jaringan tubuh, termasuk cairan

serebrospinal. Karena trimetoprim lebih larut dalam lemak dibandingkan

sulfametoksazol, maka volume distribusi trimetoprim lebih banyak dibandingkan

sulfametoksazol. Jika satu bagian trimetoprim diberikan dengan 5 bagian

sulfametoksazol, maka konsentrasi plasma puncaknya adalah pada rasio 1:20 yang

merupakan konsentrasi optimal. Sulfametoksazol lebih banyak terikat pada protein

plasma dibandingkan trimetoprim

(Katzung, 2007).
13

2.2 Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

2.2.1 Bakteri Escherichia coli

2.2.1.1 Taksonomi Escherichia coli

Escherichia coli adalah bakteri yang dapat bersifat patogen, bertindak sebagai

penyebab utama morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia (Tenailon et al., 2010).

Berdasarkan taksonominya E. coli diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Familia : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli (Todar, 2008).


14

Gambar 2.1 Bakteri Escherichia coli dilihat dari mikroskop (Jawetz et al, 2013)

2.2.1.2 Morfologi Escherichia coli

E. coli pertama kali ditemukan oleh seorang bakteriologis yang berasal dari

Jerman bernama Theodor Von Escherich pada tahun 1885. Secara alamiah E. coli

adalah penghuni umum dalam pencernaan manusia dan hewan. Suhu yang baik

untuk menumbuhkan E. coli yaitu pada suhu optimal 37ºC pada media yang

mengandung 1% peptone sebagai sumber nitrogen dan karbon (Melliawati, 2009).

Merupakan organisme uniseluler, prokariotik dan dengan ukuran rata-rata selnya 0,5-

1 x 2-5 μm, memiliki bentuk yang beraneka ragam yaitu kokus (bulat), basil (batang),

dan spirilia (spiral) bersifat fakultatif anaerob (Jawetz et al, 2013).

E. coli dalam tubuh manusia ada yang bersifat patogen dan non patogen.

Bersifat non patogen apabila menjadi anggota flora normal usus. E. coli berperan

penting dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam

empedu dan penyerapan zat-zat makanan. E. coli termasuk ke dalam bakteri

heterotrof yang memperoleh makanan berupa zat oganik dari lingkungannya karena
15

tidak dapat menyusun sendiri zat organik yang dibutuhkannya. Zat organik diperoleh

dari sisa organisme lain. Bakteri ini menguraikan zat organik dalam makanan menjadi

zat anorganik, yaitu CO2, H2O, energi, dan mineral. Apabila bersifat patogen bakteri

ini akan mengeluarkan enterotoksin yang dapat menyebabkan diare, kolera, dan

berbagai penyakit saluran pencernaan (Jawetz et al, 2013).

Struktur sel dari bakteri E. coli terdiri dari dinding sel, membran plasma,

sitoplasma, flagella, nucleus (inti sel), dan kapsul. Membran sel tersusun atas

senyawa lipoprotein yaitu gabungan dari lemak (lipid) dengan senyawa protein.

Lemak dan protein ini memiliki sifat yang berbeda, lemak bersifat hidrofobik (tidak

larut dalam air) sedangkan protein bersifat hidrofilik (larut dalam air) oleh karen itu

membran sel memiliki sifat selektif permeable (hanya bisa dilewati oleh molekul –

molekul tertentu saja. Membran sel E. coli ditutupi oleh dinding sel berlapis kapsul.

Flagela dan vili E. coli menjulur dari permukaan sel. Tiga struktur antigen utama

permukaan yang digunakan untuk membedakan serotipe golongan E. coli adalah

antigen O (antigen lipoporisakarida somatik di dalam dinding sel), antigen K (antigen

polisakaride kapsul), dan antigen H (antigen protein flagella) (Todar, 2008).

Bakteri E.coli mempunyai dinding sel yang kaku, berpori dan berguna untuk

memberikan bentuk tertentu pada sel serta berperan sebagai pelindung. Dinding

selnya tersusun atas peptidoglikan, lipid, protein dan polisakarida. Berdasarkan

komposisi dinding sel dan pewarnaannya E. coli digolongkan sebagai bakteri Gram

negatif. Bakteri Gram negatif diketahui tidak tahan terhadap perlakuan fisik (bakteri

akan mati pada suhu 60ºC selama 30 menit). Namun, bakteri ini lebih tahan terhadap
16

antibiotik golongan penicilin dan golongan lainnya seperti streptomisin. Kapsul

terdiri dari polisakarida atau kompleks polisakarida-protein yang dapat melindungi

membran luar dari fagositik dan sistem komplemen (Todar, 2008).

2.2.1.3 Virulensi Escherichia coli

Ada beberapa kelompok E. coli yang menyebabkan diare pada manusia

dikelompokkan menjadi beberapa yaitu; Enterotoxigenik E. coli (ETEC),

Enteroinvasive E. coli (EIEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC), Enteroagregative E.

coli (EAEC), Diffuse-adherent E. coli (DAEC), Extraintestinal pathogenic E. coli

(ExPEC), Urophatogenic E. coli (UPEC), Adherent-invasive E. coli (AIEC), dan

Enterohaemorragic E. coli (EHEC) (Chaudhuri dan Henderson, 2012).

Enteropatogenik E. coli (EPEC) merupakan salah satu dari enam verotipe E. coli

yang dapat menyebabkan diare pada manusia. Faktor virulensi EPEC dibedakan

menjadi dua yaitu faktor virulensi pasif yang berperan untuk mempertahankan diri

dari sistem pertahanan inang dan faktor virulensi aktif yang berperan dalam

melemahkan atau menghancurkan sistem pertahanan inang. Adapun faktor virulensi

yang terlibat dalam patogenesis EPEC meliputi adesin, intimin, protein-protein

sekresi dan bundle-forming pili (BFP). Proses perlekatan terjadi melalui tiga tahap

meliputi tahap perlekatan tidak erat yang diperantarai oleh bundle-forming pili (BFP),

kemudian transduksi signal diperantarai oleh protein sekresi (EspA, EspB dan EspD)

sedangkan proses pengikatan erat melibatkan intimin (Whittam, et al, 2011).


17

Bakteri golongan ETEC diketahui sebagai penyebab diare enterotoksigenik

dengan gejala klinis yang dapat terjadi seperti diare, dehidrasi, asidosis, bahkan

menyebabkan kematian. Faktor virulensi yang digunakan untuk identifikasi ETEC

adalah enterotoksin dan antigen pili (fimbriae). Enterotoxigenic E. coli (ETEC) terdiri

dari toksin tidak tahan panas (heat-labile toxins/ LT) dan toksin tahan panas (heat-

stabile toxins/ ST). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ETEC pada inang,

yaitu umur, pH lambung, dan kehadiran antibodi spesifik terhadap permukaan antigen

ETEC (Dubreuil., et al, 2002).

Enterohemoragik E. coli (EHEC) atau yang dikenal juga sebagai

Verocytotoxigenic E. coli (VTEC) merupakan salah satu bakteri usus bersifat patogen

yang dapat menyebabkan diare hemolytic uremic syndrome (HUS). E. coli ini

berbahaya karena dapat menghasilkan dua toksin sehingga like toxin (SLT) sekaligus.

Toksin pertama disebut SLT-I (VT-1) dan yang kedua SLT-II (VT-2). Toksin ini

membunuh sel dengan memecah adenine dari RNA ribosom pada tempat dimana

terjadi pemanjangan perlekatan aminoasil t-RNA dan akhirnya terjadi hambatan

sintesis protein dan kematian sel. EHEC melekat pada sel usus dan menghasilkan lesi

yang menyerupai lesi yang terlihat pada EPEC. Serotype yang paling sering

menyebabkan HUS adalah E. coli 0157 : H7 (Karch., et al 2001).

Golongan Enteroinvansif E. coli (EIEC) menyebabkan penyakit yang memiliki

kemiripan dengan shigellosis. EIEC melakukan fermentasi laktosa dengan lambat dan

tidak bergerak. EIEC menimbulkan diare hanya pada manusia melalui invasi ke sel

epitel mukosa usus. Sedangkan Enteroagregatif E. coli (EAEC) juga dapat


18

menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara berkembang. Bakteri

ini ditandai dengan pola khas perlekatannya pada sel manusia. EAEC memproduksi

hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC (Todar, 2008).

2.2.1.4 Epidemiologi Escherichia coli

Tingkat kejadian infeksi E. coli O157:H7 di negara-negara maju diketahui cukup

tinggi. Di Australia pada tahun 2012 dilaporkan kejadian infeksi STEC sebesar 0,5

kasus per 100.000 penduduk (112 kasus). Pada tahun 2010 teridentifikasi di Australia

sebanyak 58,8 kasus (Yates, 2011). Di Selandia Baru laporan mengenai infeksi STEC

pada tahun 2011 adalah 3,5 kasus per 100.000 penduduk (154 kasus) terjadi sedikit

peningkatan dari tahun 2010 yaitu 3,2 kasus per 100.000 penduduk. Laporan dari

CDC (2012) menyatakan bahwa tingkat infeksi STEC di Amerika Serikat (AS) pada

tahun 2010 adalah 1,78 kasus per 100.000 penduduk yang juga mengalami sedikit

peningkatan dari tahun 2009 dari 1,53 kasus per 100.000 penduduk. Hal ini

dikarenakan E. coli O157:H7 merupakan salah satu penyebab dari Foodborne Disease

(Yates, 2011).

Di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa

pertahun. Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare didapatkan

13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita rawat inap dan

0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di Indonesia adalah Shigella,

Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, danEntamoeba histolytica.

Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat


19

juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC)

(Depkes, 2010)

2.2.2 Bakteri Staphylococcus aureus

2.2.2.1 Taksonomi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri kokus Gram positif yang tersusun dalam

kelompok yang tidak teratur. Kokus tunggal, berpasangan, tidak motil dan tidak

membentuk spora. Mikroba ini dapat hidup dalam suasana aerobik atau

mikroaerofilik (Rostinawati, 2009). Menurut Rosenbach (1884) klasifikasi S. aureus

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Eubacteriales

Famili : Micrococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus


20

Gambar 2.2 S. aureus yang dilihat dari Mikroskop (Jawetz et al, 2013)

2.2.2.2 Mofrologi Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2

μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,

fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh

pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar

(20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning

keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau (Jawetz et al., 2013).

S. aureus merupakan mikroflora normal pada manusia, biasanya terdapat pada

saluran nafas atas dan kulit. Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang

melemah karena adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan

menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga terjadi

pelemahan inang. S. aureus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat

antigen yang merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel.


21

Peptidoglikan, suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit yang terangkai,

merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel. Struktur antigen yang diproduksi

oleh S. aureus antara lain, adanya asam teikoat merupakan polimer gliserol berikatan

dengan peptidoglikan dan protein A merupakan komponen dinding sel kebanyakan

strain S. aureus dan merupakan reagen penting dalam imunologi dan teknologi

diagnostik laboratorium (Jawetz et al, 2013).

2.2.2.3 Virulensi Staphylococcus aureus

S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas

dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat

yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan

toksin, contohnya (Jawetz et al, 2013):

a. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses

fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus

Staphylococcus dari Streptococcus.

b. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena

adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim

tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas

penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri

yang dapat menghambat fagositosis.


22

c. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di

sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari α-hemolisin, β-

hemolisin, dan δ-hemolisin. α-hemolisin adalah toksin yang bertanggung

jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada

medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan

dan manusia. β-hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan

Staphylococcus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel

darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang

dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya

kurang terhadap sel darah merah domba.

d. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi

perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Staphylococcus

patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat

difagositosis.

e. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks

mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan

intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif

merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai

dengan melepuhnya kulit.


23

f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom

syoktoksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin

inimenyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ

dalam tubuh.

g. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana

basadi dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan

makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.

2.2.2.4 Epidemiologi Staphylococcus aureus

Berbagai infeksi oleh S. aureus berhasil diatasi dengan antibiotik golongan beta

lactam yaitu penicillin, tetapi Penggunaan penisilin tidak bertahan lama karena

terjadinya resistensi yang selanjutnya dapat diatasi dengan penggunaan metisilin.

Selanjutnya terjadi pula kegagalan dalam penggunaan metisilin sebagai terapi dari

infeksi oleh S. aureus yang dikenal dengan MRSA (Brooks et al., 2010)

Pada beberapa dekade terakhir terdapat peningkatan prevalensi S. aureus dan

MRSA di dunia. Mehraj et al. (2014) menyebutkan, penilitian berbasis populasi di

Amerika utara dan Eropa mengindikasikan prevalensi dari S. aureus antara 18-30%.

Prevalensi MRSA di berbagai rumah sakit di dunia berkisar antara 2-70% dengan

rata-rata 20%. Secara ke seluruhan di Asia prevalensi dari MRSA telah mencapai

70%. Publikasi mengenai MRSA di Indonesia masih sangat terbatas. Begitupula

dengan prevalensi MRSA di Indonesia sangat sulit diperoleh. Laporan terakhir, secara

keseluruhan di Indonesia pada tahun 2006 prevalensi MRSA mencapai angka 23.5%.
24

Noviana melaporkan bahwa prevalensi MRSA pada tahun 2003 di Rumah Sakit

Atmajaya Jakarta mencapai 47%. Insiden MRSA di RSUP Dr. Moh. Hoesin

Palembang pada 2010 dari data oleh Yuwono yang tidak terpublikasi mencapai 46%

(Yuwono, 2012).

2.3 Tapak Liman (Elephantopus scaber Linn.)

2.3.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Familia : Asteraceae

Genus : Elephantopus

Species : Elephantopus scaber L. (Depkes RI, 1989; Depkes RI 1990; Azter

2009)
25

Gambar 2.3 Tanaman Tapak liman (Elephantopus Scaber Linn.)

(Dalimartha, 2007)

2.3.2 Sinonim

Asterochepalus chochinchinensis, Spreng. Scabiosa chochinchinensis, Lour

(Depkes RI, 1989; Depkes RI 1990; Azter 2009).

2.3.3 Nama Daerah

Di berbagai daerah di Indonesia nama untuk Tapak liman berbeda-beda,

Sumatera: Tutup bumi (Melayu), Jawa: Balagaduk, Jukut, Cangcang-cang, Tapak

tangan, Tapak liman (Sunda), Talpak tana (Madura) (Depkes RI, 1989; Depkes RI

1990; Azter 2009).

2.3.4 Morfologi Tanaman

Tanaman tapak liman termasuk terna tegak dengan rimpang yang menjalar, tinggi

10 cm sampai 80 cm. Batang kaku, berambut panjang dan rapat, bercabang. Daun

berkumpul di bawah, membentuk roset, bentuk daun jorong, bundar telur sungsang,

panjang 3 cm sampai 38 cm, lebar 1 cm sampai 6 cm, permukaan daun agak

berambut. Bunga berupa tonggol, bergabung banyak, berbentuk bulat telur dan sangat

tajam, daun pelindung kaku, daun pembalut dari tiap bunga kepala berbentuk jorong,

lanset, sangat tajam, dan berselaput, 4 daun pembalut dibagian dalam panjang 10 mm

berambut rapat. Panjang mahkota bunga 7 mm sampai 9 mm, berbentuk tabung,

berwarna putih, ungu, kemerahan, ungu pucat. Buah merupakan buah longkah,

panjang 4 mm, berambut; papus berambut kasar, kadang-kadang 6, melebar pada

bagian pangkalnya, kaku, berambut, panjang 5 mm sampai 6 mm (Depkes RI, 1989;

Depkes RI 1990; Azter 2009).


26

Manfaat daun Tapak liman (Elephantopus Scaber Linn.) sebagai obat diare, obat

batuk, obat sariawan, (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), obat demam, peluruh

kencing (diuretik) sedangkan akar dapat digunakan untuk mengobati malaria

(Mardisiswojo dan Sudarsono, 1985).

2.3.3 Kandungan Tanaman

Kandungan kimia yang terdapat pada Tapak liman (Elephantopus scaber Linn.)

mengandung flavonoid luteolin-7-glukosida. Disamping itu, tanaman tapak liman

juga mengandung elephantopin, deoxyelephantopin, isodeoxyelepanthopin,

dihydrodeoxyelepanthopin, elephantin, epifridelinol, stigmasterol, triacontan-1-ol,

dotriacontan-1-ol, lupeol, dan lupeol acetat. (Dalimartha, 2007).

Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae) yang merupakan

salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri yang bagian utamanya adalah terpenoid.

Secara kimia, terpena minyak atsiri dapat dipilih menjadi dua golongan, yaitu

monoterpena dan seskuiterpena, masing-masing dengan titik didih 140-180 oC dan

>200oC (Harborne, 1987).

Selain itu, daun tapak liman juga mengandung senyawa alkaloid, glikosida,

saponin, flavonoid, komponen fenolik, senyawa terpenoid lainnya serta steroid.

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar dari kelas

senyawa nitrogen. Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu

atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.

(Harborne, 1987). Alkaloid diketahui berkhasiat sebagai antimikroba, bakterisida

serta bakteriostatik (Solikin, 2007). Mekanisme kerja alkaloid dan terpenoid sebagai

antibakteri yaitu dengan merusak komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri,
27

sehingga dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebebkan kematian sel

bakteri (Darsana, 2012).


Sedangkan, saponin merupakan senyawa yang termasuk golongan glikosida

yang mempunyai struktur steroid dan mempunyai sifat-sifat khas dapat membentuk

larutan koloidal dalam air. Saponin adalah glikosida yang berupa sapogenin.

Glikosida saponin bisa berupa saponin steroid maupun saponin triterpenoid. Saponin

merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin dan sering

mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa

menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis, bersifat racun bagi hewan

berdarah dingin, dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan (Najib, 2009).

Beberapa saponin bekerja sebagai antibakteri (Robinson, 1995).


Steroid merupakan senyawa glikosida yang aglikonnya berupa steroid.

Glikosida steroid disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat dan

spesifik terhadap otot jantung (Najib, 2009). Senyawa saponin maupun steroid sudah

terbukti berkhasiat sebagai antikanker, antibakteri dan dapat meningkatkan sistem

imun dalam tubuh (Harborne, 1987; Karyadi, 1997). Mekanisme saponin dan steroid

sebagai antibakteri dengan merusak membran sel bakteri menyebabkan morfologi

membran sel berubah sehingga sel mudah lisis (Ahmad, 2007).


Senyawa fenolik yang terkandung dalam tapak liman termasuk dalam

golongan senyawa fenol yang mempunyai daya antibakteri (Juliantina et al., 2009).

Flavonoid merupakan senyawa fenol yang larut dalam air dan terdapat dalam semua

tumbuhan berpembuluh (Harborne, 1987). Flavonoid sering terdapat sebagai

glikosida. Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif

maupun bunga. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid untuk tumbuhan yang


28

mengandungnya ialah pengatur tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antibakteri dan

antivirus serta kerja terhadap serangga (Robinson, 1995). Pada flavonoid akan

menyebabkan kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri. Mekanisme lain dari

flavonoid yaitu dengan menghambat metabolisme energi dengan cara menghambat

penggunaan oksigen oleh bakteri. Energi digunakan bakteri untuk biosintesis

makromolekul (Chusnie, 2005). Selain itu flavonoid juga merusak membran sel

bakteri dan diikuti keluarnya senyawa intraseluler (Nuria, 2009).

2.4 Penelitian tentang Pengujian Kombinasi

Efektifitas yang dihasilkan dari senyawa aktif dapat berupa sinergis, aditif dan

antagonis. Sinergis apabila efek kombinasi senyawa aktif gabungan lebih besar

dibandingkan dengan efek senyawa aktif saat bekerja sendiri-sendiri. Efek sinergis

dapat muncul jika senyawa aktif yang dikombinasikan bekerja pada pada dua lokasi

yang berbeda pada suatu mikroorganisme. Contoh kombinasi antibiotik yang bekerja

secara sinergis misalnya, golongan penisilin atau sefalosporin yang dikombinasikan

dengan golongan aminoglikosida. Penisilin atau sefalosporin bekerja dengan cara

menghambat sintesis dinding sel, sedangkan aminoglikosida bekerja dengan cara

berikatan dengan subunit ribosom sehingga akan menghambat sintesis protein (Juasa,

2013).

Aditif apabila efek kombinasi senyawa aktif gabungan sama dengan kerja

senyawa aktif bila bekerja sendiri-sendiri. Contohnya seperti antibiotik bakteristatik

dengan bakteristatik, misalnya pada antibiotik sulfonamid dengan kloramfenikol yang

bersifat menghambat bakteri. Antagonis apabila efek kombinasi senyawa aktif

gabungan lebih kecil daripada penggunaan senyawa aktif itu jika bekerja sendiri-
29

sendiri. Contohnya seperti antibiotik bakteristatik dengan bakterisidal yaitu

amoksisilin dengan kloramfenikol. Kloramfenikol menghambat pertumbuhan bakteri,

sedangkan kerja penisilin menghambat sintesis dinding sel yang membutuhkan

pertumbuhan bakteri sehingga kerja penisilin dapat dihambat oleh kloramfenikol

(Juasa, 2013).

2.4.1 Kombinasi Antibiotik dengan Antibiotik

Kombinasi antibiotik dengan antibiotik telah dilakukan penelitian yaitu dengan

menggunakan kombinasi antibiotik amoksisilin dengan kloramfenikol terhadap

pertumbuhan bakteri Salmonella thypi. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini

adalah bahwa kombinasi kloramfenikol 5 μg/ml dan amoksisilin 0,05 μg/ml mampu

menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi, tetapi daya hambat pertumbuhan

bakterinya lebih rendah dibandingkan dengan dosis tunggal tanpa kombinasi

(Friambodo, 2017).

2.4.2 Kombinasi Antibiotik dengan Herbal

Suatu penelitian telah dilakukan untuk menguji efek kombinasi ekstrak herba

cecendat (Physalis angulata L.) dengan antibiotik ampisilin/tetrasiklin untuk menguji

kadar hambat minimum (KHM) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan

Klebsiella pneumoniae. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut yaitu uji

aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba cecendet mempunyai

aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan K. pneumoniae dengan konsentrasi

hambat minimum berturut-turut adalah 128 μg/mL, 256 μg/mL. Interaksi yang

sinergis terhadap bakteri S. aureus ditunjukkan oleh kombinasi ekstrak herba

cecendet dengan tetrasiklin. Interaksi yang aditif terhadap bakteri S. aureus


30

ditunjukkan oleh kombinasi ekstrak herba cecendet dengan ampisilin, dan terhadap

bakteri K. pneumoniae ditunjukkan oleh kombinasi ekstrak herba cecendet dengan

ampisilin atau tetrasiklin .

2.4.3 Kombinasi Herbal dengan Herbal

Penelitian tentang kombinasi herbal dengan herbal sebagai antibakteri telah

banyak dilakukan salah satunya yaitu hasil penelitian kombinasi ekstrak buah

mengkudu dan daun sirsak memilik efektivitas daya hambat pada konsentrasi 1000

μg menghasilkan zona hambat bakteri E. coli dan S. aureus sebesar 22,625 mm dan

25,5 mm dengan kontrol positif sebesar 43,625 mm dan 46, 375 mm (Sudewi & Lolo,

2016).

Suatu penelitian lain yang telah dilakukan, Tapak liman telah dikombinasi

dengan herbal lain yaitu rimpang kunyit, jambu biji dan daun kemuning untuk

mengetahui efeknya sebagai antibakteri. Hasil yang didapatkan yaitu, bahwa

kombinasi ekstrak etanol dengan dosis yang sama antara rimpang kunyit, daun

kemuning, herba tapak liman dan daun jambu biji tidak dapat menghambat

pertumbuhan bakteri S. aureus, E. coli dan S. typhi dengan metode difusi sumuran

pada konsentrasi 10.000 ppm, 5.000 ppm dan 1000 ppm (Purnama, 2016).

Kombinasi ekstrak etanol dengan dosis yang sama antara rimpang kunyit, daun

kemuning, herba tapak liman dan daun jambu biji tidak dapat menghambat

pertumbuhan bakteri S. aureus, E. coli dan S. typhi dalam metode dilusi mikroplate

KHM pada konsentrasi10.000 ppm, 5.000 ppm, 2.500 ppm, 1.250 ppm, 625 ppm,

312,5 ppm, 156,2 ppm. Kombinasi ekstrak etanol dengan dosis yang sama antara

rimpang Kunyit, daun kemuning, herba Tapak liman dan daun jambu biji tidak dapat
31

dilanjutkan menentukan nilai KBM sebab pada hasil uji difusi dan dilusi tidak

menunjukkan adanya aktivitas sebagai antibakteri (Purnama, 2016).

2.5 Metode Skrining

2.5.1 Zona Inhibisi

Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode

difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran

dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu membuat lubang pada agar

padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan

dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan

diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada

tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang. Pertumbuhan organisme dan difusi

dimulai antibiotik secara bersamaan menghasilkan zona hambatan melingkar di mana

jumlah antibiotik melebihi konsentrasi penghambatan. Diameter zona hambat adalah

fungsi dari jumlah obat dalam disk dan kerentanan mikroorganisme (Kusmayati dan

Agustini, 2007).

Semakin luas zona bening disekitar cakram menandakan semakin besar bahan

coba meghambat pertumbuhan bakteri. Tabel 2.1 Tingkat kekuatan daya antibakteri

menurut Davis dan Stout 1971:

Kekuatan Diameter Hambat


Lemah ≤ 5mm
Sedang 5-10 mm
32

Kuat 10-20 mm
Sangat Kuat > 20 mm

2.5.2 Konsentrasi Hambat Minimum

Konsentrasi hambatan minimum adalah konsentrasi antibiotik terendah yang

masih dapat menghambat pertumbuhan organisme tertentu. KHM dapat ditentukan

dengan prosedur tabung dilusi. Prosedur ini digunakan untuk menentukan konsentrasi

antibiotik yang masih efektif untuk mencegah pertumbuhan patogen dan

mengindikasikan dosis antibiotik yang efektif dalam mengontrol infeksi pada pasien.

KHM dapat juga ditentukan dengan menggunakan konsentrasi tunggal dari suatu

antibiotik dengan membandingkan kecepatan antibiotik dengan kecepatan

pertumbuhan mikroorganisme pada tabung kontrol dan tabung yang diberikan

antibiotik (Harmita,2017).

2.5.3 Konsentrasi Bunuh Minimum

Uji Kadar Bunuh Minimum dilakukan untuk melihat konsentrasi terkecil dari

antibakteri yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri (Amyes S et al, 1996). Untuk

membuat KBM, menggunakan hasil dari KHM dan 1 oshe dan ditanam pada agar

Mueller-Hinton. Biakan yang telah dibuat diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu

37°. Setelah diinkubasi selama 18-24 jam maka dapat dibaca hasilnya. Konsentrasi

yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dinyatakan sebagai KBM, yaitu

konsentrasi terkecil yang mampu membunuh bakteri uji.

Anda mungkin juga menyukai