Anda di halaman 1dari 15

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pola Dermatoglifi

1. Sejarah Dermatoglifi

Marcello Malphigi seorang ahli anatomi di Italia terkenal sebagai orang

yang mempelopori istilah pola jari pada kulit manusia. Selama lebih dari 40

tahun ia menggunakan mikroskop menjelaskan struktur hewan dan tumbuhan.

Kemudian pada tahun 1858, ilmuwan asal Inggris William Herschel

mencetuskan bahwa sidik jari manusia unik dan tidak dapat diubah. Hal

tersebut digunakan oleh masyarakat India sebagai bukti seperti halnya tanda

tangan (Siswanto, 2007).

Serta pada tahun 1880, Henry Fauld, ahli bedah anatomi manusia asal

Inggris, yang bekerja di Tsukiyi Hospital, Tokyo, Jepang, menggunakan ilmu

sidik jari untuk menyelidiki tindak pidana atau kejahatan. Bukan hanya itu

Fauld menggunakan metode mengenai pengelompokkan pola sidik jari,

kemudian metode tersebut diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature and English

Scientific Journal. Pada tahun 1892 metode Fauld dikembangkan lagi oleh

Galton, yang membuat buku berjudul Finger Prints, pada tahun 1893 buku

Galton kemudian dibaca oleh Henry. Kemudian setelah membaca buku

tersebut dan berdiskusi dengan Galton, barulah akhirnya Henry berhasil

membuat pengelompokkan pola sidik jari, yang diklasifikasikan berdasarkan

7
8

4 bentuk dasar, yaitu, bentuk ikalan/sangkutan (loop), lengkungan/busur

(arch), uliran/lingkaran (whorl), campuran (mixed) (Siswanto, 2007).

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan mengenai sidik jari, istilah

dermatoglifi hadir dipelopori oleh Cummin dan Midlo pada tahun 1926.

Dermatoglifi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari lekukan (garis-

garis) kulit yang ditemukan pada jari tangan dan kaki pada manusia maupun

mamalia lainya. Diketahui lahirnya ilmu dermatoglifi sejak Harold Cummins

dan Charles Midlo memberitahukan hasil penelitian mereka terkait syndrom

down, pada April 1926 Cummin dan Midlo merupakan Profesor anatomi

mikroskopik di Universitas Tulane Amerika serikat dan merekalah yang

mencetuskan terminologi dermatoglyphic (derma = kulit, glyph = ukiran).

Harold Cummins menemukan 53% penderita sindrom down dengan adanya

garis simian. Hal ini terbukti dari data-data pada berbagai buku kedokteran

yang mencatumkan bahwa salah satu ciri sindrom down adalah adanya garis

simian (Sufitni, 2007).

2. Proses Pembentukan Pola Dermatoglifi

Perkembangan pola dermatoglifi dimulai pada 6-8 minggu sesudah

konsepsi mulai terbentuk bakal garis tangan yang terbentuk seperti balon kecil.

Balon kecil tersebut mulai tertarik ke belakang saat 10-12 minggu sesudah

konsepsi. Garis-garis tangan tersebut mulai muncul pada saat 13 minggu

sesudah konsepsi dan pola garis tangan sudah sempurna terbentuk pada usia

21 minggu sesudah konsepsi (Suftini, 2007).


9

Kemudian sejak bayi berusia 13-24 minggu dalam kandungan, terjadi

pertumbuhan pola/tonjolan ujung jari yang seirama dengan pertumbuhan sel

otak, yang semakin lama membentuk struktur otak seseorang. Pola

pembentukan garis-garis sidik jari terbentuk sejak embrio berusia 13 minggu

dalam kandungan. Sejak saat itu, tonjolan diujung jari, interdigital, area thenar

(berhubungan dengan telapak tangan dan kaki), dan hypothenar di tangan

mulai terbentuk. Susunan tersebut mulai lengkap ketika janin berusia 24

minggu dan terus berkembang seiring dengan perkembangan sel saraf otak.

Jumlah garis-garis sidik jari tidak akan berubah setelah bayi dilahirkan karena

pola sidik jari dipengaruhi oleh DNA seseorang (Misbach, 2010). Diketahui

pola dermatoglifi diturunkan secara poligenik. Sekali suatu pola dermatoglifi

telah terbentuk, maka pola tersebut akan menetap selamanya (Mundijo, 2017).

3. Metode Pengenalan Pattern Berdasarkan ilmu Dermatoglifi

Pada submetode dermatoglifi, tahapan metode analisis berkaitan dengan

pengenalan pattern atau pola sidik jari berdasarkan pengklasifikasian sesuai

namanya. Ada banyak metode pengklasifikasian sidik jari. Beberapa bisa

menjadi patokan, salah satunya berdasarkan pola pattern intensity yang

dikemukan oleh Dr. Harold Cummins. Berdasarkan tokoh ini, sidik jari dibagi

berdasarkan kehadiran titik delta/triradius. Pola sidik jari ada berbagai macam,

pola tersebut dibagi menjadi 3 tipe, yaitu sebagai berikut:

1. Tipe arches, yaitu pola sidik jari dengan ciri-ciri tanpa adanya titik delta

/triradii.
10

2. Tipe loops, yaitu pola sidik jari dengan ditandai kehadiran sebuah titik

delta/triradii.

3. Tipe whorls, yaitu pola sidik jari ditandai dengan kehadiranya dua buah

titik delta/triradii

Gambar 1. Klasifikasi Pola Sidik Jari Menurut Dr. Harold Cummins (Sumber:
Misbach, 2010: 68).

B. Intelegensi

1. Sejarah Intelegensi

Intelelegensi merupakan perbedaan individu dalam hal kemampuan mental

orang pertama yang meneliti hal tersebut yaitu Sir Frances Galton, seorang

ilmuwan berkebangsaan Inggris. Beliau membandingkan orang-orang

berdasarkan penghargaan dan kecakapan mereka. Penelitian mengenai

intelegensi diyakini bersifat diwariskan. Kemudian, Alfred Binet, seorang ahli

psikologi Perancis mengembangkan sebuah tes untuk memprediksi kesuksesan

akademik secara akurat, saat pemerintah Perancis memintanya untuk menolong

mereka untuk menentukan siswa-siswa mana yang akan mengalami kesulitan

dengan pendidikan formal (Rini, 2009: 70).

Theodore Simon menemukan bahwa pengetahuan tes praktis, memori,

analisa, kosakata, dan memecahkan masalah adalah penentu yang baik dalam
11

kesuksesan sekolah. Peserta tes dipinta untuk memperagakan perintah ringan,

memperagakan bahasa tubuh, mengulangi angka-angka yang diucapkan,

menyebut nama benda dalam gambar, mengartikan kata-kata umum,

menjelaskan 2 benda dapat dikatakan berbeda dan menjelaskan arti untuk istilah-

istilah abstrak. Kemudian Lewis Terman, menyesuaikan dengan tes Binet dan

menyebutnya sebagai Stanford-Biet Intellegence Scale. Terman kemudian

memperkenalkan istilah IQ untuk mengacu pada skor individu seorang, dan

sebuah quotient adalah angka (Rini, 2009: 71).

2. Tes Intelegensi

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menyatakan taraf tinggi

rendahnya intelegensi dengan menerjemahkan hasil tes intelegensi. Hasil

intelegensi dinyatakan dalam bentuk angka yang menjadi petunjuk mengenai

tingkat kecerdasan seseorang (Azwar, 2017: 51). Berikut Tabel distribusi

presentase Intelegence Qoutient (IQ):

Tabel 1. Distribusi Persentase IQ Untuk Sampel Standarisasi


Wechsler Adult Intelligence Scale-R Tahun 1981

IQ Persentase Klasifikasi
Teoritis Sampel
> 130 2.2 2.6 Sangat superior
120-129 6.7 6.9 Superior
110-119 16.1 16.8 Di atas rata-rata
90-109 50.0 49.1 Rata - rata
80-89 16.1 16.1 Dibawah Rata - rata
70-79 6.7 6.4 Batas lemah
< 69 2.2 2.3 Lemah mental
(Azwar, 2017: 61).
12

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lynn & Meisenberg tentang

perhitungan nilai IQ di 108 negara di dunia, memaparkan nilai rata rata IQ

Indonesia adalah 87, lebih rendah dibandingkan Malaysia (92), dan Thailand

(91). Negara dengan nilai IQ rata rata yang tinggi didominasi oleh Negara-negara

maju yaitu USA (United State America) (98), UK (United Kanada) (100), China

& Korea Selatan (105), dan yang tertinggi Singapura (108) (Ismanto, Karundeng

&Pondaag, 2015).

3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan (IQ)

1). Faktor Keturunan

Hal ini telah dibuktikan melalui berbagai penelitian yang

menghubungkan IQ dengan berbagai hubungan genetik. Pada umumnya,

pola korelasi menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi gen yang serupa

pada dua anggota keluarga, semakin tinggi korelasi IQ mereka (Pramudya,

2014: 44). Banyak riset yang telah dilakukan mengenai adanya hubungan

kecerdasan seseorang dengan keturunan. Penelitian membuktikan bahwa

hubungan nilai tes IQ dari satu keluarga adalah sekitar 0,50. Sementara itu,

nilai IQ anak yang diadopsi berkorelasi antara 0,40-0,50 dengan ayah dan

ibu kandungnya, dan hanya 0,10-0,20 dengan ayah maupun ibu angkatnya.

Selanjutnya diantara 2 anak kembar, hubungan tes IQ sangat tinggi yakni

sekitar 0,90 (Azwar, 2017: 68).


13

2). Faktor Lingkungan

Lingkungan juga dapat menimbulkan perubahan pada intelegensi

seseorang yang telah dibawah sejak mereka lahir, karena intelegensi tidak bisa

terlepas dengan otak. Intelegensi seseorang dapat berubah karena gizi yang

dikonsumsi dan rangsangan yang bersifat kognitif emosional dan lingkungan

(Azwar, 2017: 68). Kualitas yang kaya, merangsang, dan menunjang dapat

meningkatkan kecerdasan anak. Pengaruh lingkungan ini menyangkut nutrisi,

kesehatan, pendidikan, kualitas stimulus, iklim emosional keluarga dan tipe

umpan balik yang diperoleh melalui interaksi anak dengan lingkungan

tersebut (Pramudya, 2014: 44).

C. Hubungan Pola Dermatoglifi dengan IQ

Dimulai oleh Cummins dan Midlo (1926) yang menemukan bahwa 53%

penderita Down Sindrom garis simian pada telapak tangan. Penelitian lainnya

Suftini (2007) yang dilakukan di Medan, pola sidik jari pada anak retardasi mental

dengan IQ <70 dan kelompok anak normal. Hasil penelitian menunjukkan proporsi

garis simian lebih tinggi pada kelompok retardasi mental (14%) dibandingkan

kelompok normal sebanyak (8%). Pola sidik jari pada anak normal dan retardasi

mental sama tetapi proporsinya berbeda, urutan yang tertinggi yaitu: loop ulna,

whorl, loop radial dan arch.

Sedangkan penelitian yang dilakukan berdasarkan kecerdasan diantaranya

antara lain Cesarik (1996) yang meneliti orang-orang jenius dengan IQ >120 di

Krosia mendapatkan hasil peningkatan hasil jumlah garis ujung jarinya


14

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Najafi (2009) yang melakukan penelitian

di Iran mendapatkan hasil bahwa ada peningkatan frekuensi whorl dan ulnar loop

pada jari telunjuk tangan kanan dengan skor IQ.

Penelitian Vashit (2010) menyimpulkan bahwa sudut atd (axial triradius

distal) <300 dan 550> ditemukan pada penderita anak keterbelakangan mental

(IQ<70), sudut atd (axial triradius distal) antara 400-550 ditemukan pada orang

normal dan sudut atd (axial triradius distal) antara 300-400 ditemukan pada orang

cerdas.

D. Pendidikan Anak Tunarungu (SLB-B)

Pendidikan anak tunarungu di Indonesia hadir pada tahun 1930 di Bandung,

yaitu sebuah lembaga pendidikan untuk tunarungu yang didirikan oleh Ny.

Roelfsma Wesselink, seorang istri dari dokter THT (Telinga Hidung dan

Tenggorokan). Selanjutnya pada tahun 1938 oleh suster PNY (Putri Nana Yosef)

juga didirikan sekolah untuk anak tunarungu di Wonoso, oleh para pendiri Charitas

pada tahun 1955 telah terjalinya kerjasama dengan sekolah untuk anak tunarungu di

Belanda. Pada waktu sesudah kemerdekaan, perkembangan pendidikan dan sekolah

untuk tunarungu semakin banyak dan tersebar di berbagai daerah.

Terutama setelah dibukanya Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB)

di bandung tahun 1952. Perkembangan tersebut didukung dengan dengan jumlah

sekolah, serta pendekatan dan program yang terus dilakukanya (Suparno, 2001:7).

Berdasarkan Permendiknas No. 70 tahun 2009 pasal 3 ayat (1) setiap peserta didik

yang memiliki kelainan emosional, fisik, mental dan sosial atau memiliki bakat
15

istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan

tertentu sesuai dengan kebutuhanya. Kelompok anak tunarungu sesuai dengan

tingkat ketunaan yang dialami termasuk ke sekolah SLB-B (sekolah Luar Biasa-B).

E. Karakteristik Anak Tunarungu

Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran

yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menerima atau menangkap rangsangan,

terutama melalui indera pendengaranya. Kehilangan pendengaran tersebut baik

sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang menyebabkan

pendengaranya tidak memiliki nilai fungsional (Somantri, 2018: 93). Anak

tunarungu pada hakikatnya sama dengan anak-anak pada umumnya, yang memiliki

kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan yang sama dengan anak normal. Kondisi

tidak berfungsinya organ pendengaran secara normal, sehingga menyebabkan anak

tunarungu memiliki karakteristik yang spesifik (Suparno, 2001: 9).

F. Klasifikasi Tunarungu

1. Klasifikasi Secara Etiologis

Menurut Somantri (2018: 94) yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab,

dalam hal ini penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor, yaitu:

1). Pada saat sebelum dilahirkan, salah satu atau kedua orang tua anak menderita

tunarungu atau pembawa gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominat

genes, recesive gen, dan lain-lain. Kemudian karena penyakit, sewaktu ibu

mengandung terserang suatu penyakit-penyakit yang diderita pada saat


16

kehamilan trisemester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga.

Penyakit itu adalah rubella, morbili dan lain-lain. Selanjutnya karena

keracunan obat-obatan, ibu seorang pencandu alkohol, atau ibu tidak hendak

kehadiran anaknya sehingga ibu meminum obat penggugur kandungan.

2). Pada saat kelahiran, sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga

persalinan dibantu dengan penyedotan (tang), serta prematuritas, yakni bayi

yang lahir belum waktunya.

3). Pada saat setelah kelahiran (post natal), ketulian yang terjadi karena infeksi,

misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri,

morbili, pemakaian obat-obatan otoksi pada anak-anak, dan akibat

kecelakaan misalnya jatuh.

2. Klasifikasi Menurut Tarafnya

Somantri (2018: 95) Klasifikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes

audiometris. Berikut klasifikasi ketunarunguan berdasarkan tingkatanya, tingkat

I, kehilangan kemampuan mendengar antara 35-54 dB, penderita hanya

memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus. Tingkat II,

kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB, penderita kadang-

kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-

hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

Tingkat III, kehilangan kemampuan medengar antara 70 sampai 89 dB. Tingkat

IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.


17

G. Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu

Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak

normal, perkembanganya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya,

keterbatasan informasi, dan daya abstraksi anak. Kerendahan tingkat intelegensi

anak tunarungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah melainkan

secara umum karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk

berkembang. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan

berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelegensi anak tunarungu

(Somantri, 2018: 97).

Aspek yang mengalami hambatan adalah yang berkenaan dengan kemampuan

verbal, seperti merumuskan pengertian, mengasosiasikan, menarik kesimpulan dan

meramalkan kejadian. Sedangkan aspek yang berhubungan dengan numerik dan

motorik cenderung berkembang lebih cepat. Selain itu kemampuan intelektual anak

tunarungu juga tergantung pada faktor kebahasaan, sesuai dengan derajat ketunaan

yang disandangnya (Suparno, 2001: 12).

H. Sumbangsih Penelitian

Salah satu materi yang berkaitan dengan sumbangsih penelitian adalah materi

hereditas. Materi hereditas diberikan di Sekolah Menengah Atas atau Madrasah

Aliyah sesuai Kurikulum 2013 dengan KD 3.7 Menganalisis hereditas pada

manusia dan KD 4.7 Menyajikan data hereditas pada manusia, dapat dilihat pada

lampiran 11. Diharapkan hasil penelitian ini yang berupa media Booklet dapat

bermanfaat sebagai media pembelajaran untuk mempermudah siswa dalam


18

memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru. Selain itu juga diharapkan bisa

membantu meningkatkan pengetahuan siswa yang ada di SLB-B Karya Ibu

Palembang. Data yang disajikan pada media booklet berupa data silsilah keluarga

pada anak tunarungu, macam-macam pola sidik jari, dan data tingkat intelegensi

pada anak SLB-B Karya Ibu Palembang.

Media pembelajaran bermanfaat untuk memperkuat pembelajaran,

memotivasi pembelajar, dan melakukan pembelajaran secara nyata. Booklet adalah

media pendidikan berbentuk buku kecil yang berisi tulisan, gambar atau kedua-

duanya. Penyajian booklet yang menggunakan banyak gambar dan warna

memberikan tampilan yang menarik terdiri paling sedikit 5 halaman paling banyak

48 halaman. Pengembangan booklet ditunjukan untuk membantu masyarakat yang

buta huruf, serta booklet dapat dibaca semua kalangan karena booklet lebih

sederhana, mudah dibawa dan disimpan (Lutfin, Andyana, & Rehusisma, 2017).

Berdasarkan penjelasan tersebut booklet dapat digunakan oleh semua orang,

termasuk anak SLB-B Karya Ibu Palembang. Penyajian booklet tepat dijadikan

media pembelajaran dikarenakan terdapat keunggulan yang dimiliki booklet,

seperti banyakya gambar dan warna sehingga tampilan booklet terlihat lebih

menarik dan dapat menimbulkan rasa ingin tahu yang lebih ketika dibaca.

Sejalan dengan pendapat (Pralisaputri, 2016) booklet bersifat informatif,

desainnya yang menarik dapat menimbulkan rasa ingin tahu, sehingga peserta

didik bisa memahami dengan mudah apa yang disampaikan dalam proses

pembelajaran. Booklet sebagai media pembelajaran yang efektif dan efisien yang

berisikan informasi-informasi penting, yang dirancang secara unik, jelas, dan


19

mudah dimengerti, sehingga booklet ini menjadi media pendamping untuk kegiatan

pembelajaran di kelas dan diharapkan bisa meningkatkan efektivitas pembelajaran

peserta didik.

I. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan acuan sebagai

pendukung dalam penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Suftini (2007), dalam penelitianya yang berjudul “Perbandingan Garis Simian

dan Pola Sidik Jari Pada Kelompok Retardasi Mental dan Kelompok Normal”,

yang dilaksanakan di Medan Pola sidik jari pada anak retardasi mental dengan

IQ <70 dan kelompok anak normal. Hasil penelitian menunjukkan proporsi

garis simian lebih tinggi pada kelompok retardasi mental (14%) dibandingkan

kelompok normal sebanyak (8%). Pola sidik jari pada anak normal dan retardasi

mental sama tetapi proporsinya berbeda, urutan yang tertinggi yaitu: loop ulna,

whorl, loop radial dan arch.

2. Rossa (2001) dalam penelitianya yang berjudul “Dermatoglyphics and

Abnormal Palmar Flexion Creases as Maskers of Early Prenatal Stress in

Children With Idiopathic Intellectual Disability”. Dalam penelitianya

mengenai anak-anak dengan IQ <70, melaporkan bahwa adanya peningkatan

frekuensi pola arch dan radial loop.

3. Cesarik (1996) dalam penelitianya yang berjudul “Quantitative

Dermatoglyphic Analysis inpersons With Superior Intelligence”. Penelitian

tersebut menjelaskan bahwasanya orang-orang jenius dengan IQ > 120 di


20

Kroasia mendapatkan hasil peningkatan hasil jumlah garis ujung jarinya

dibandingkan dengan kelompok kontrol.

4. Najafi (2009) dalam penelitianya yang berjudul “Association between Finger

Patterns of Digit II and Intelligence Quotient Level in Adolescent”, yang

melakukan penelitian di Iran pada remaja mendapatkan hasil bahwa ada

peningkatan frekuensi ulnar loop dan whorl pada jari telunjuk dengan skor

IQ>120 menyatakan ada hubungan antara pola ulnar loop dan whorl telunjuk

tangan kanan dengan skor IQ pada remaja.

5. Vashit (2010) dalam penelitianya yang berjudul “Axial Triradius as a

Preliminary diagnostictool in Patients of Mental Retardation”. Menyimpulkan

bahwa sudut atd (axial triradius distal) <300 dan 550> ditemukan pada

penderita anak keterbelakangan mental (IQ<70), sudut atd (axial triradius

distal) antara 400 -550 ditemukan pada orang normal dan sudut atd (axial

triradius distal) antara 300 -400 ditemukan pada orang cerdas.

6. Rumiati (2003) dalam penelitianya yang berjudul “Analisis Pola Dermatoglifi

Mahasiswa FK (Fakultas Kedokteran) UKRIDA (Universitas Kristen Krida

Wacana) Angkatan 1999-2001 Suatu Pendekatan Sistem Nilai” yang

melakukan penelitian di Jakarta Barat dengan kelompok IPK (Indeks Prestasi

Kumulatif) > 2,00 didapatkan hasil bahwa frekuensi whorl lebih tinggi dan

diikuti tipe arch, serta jumlah sulur pada ujung jari kedua tangan (kanan dan

kiri) mempengaruhi tinggi rendahnya Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang

diperoleh.
21

7. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan

rancangan cross sectional, serta memiliki perbedaan tempat dan sampel

penelitian, dengan subjek yang merupakan penyandang tunarungu. Alasan

perlunya dilakukan penelitian tentang hubungan dermatoglifi dengan tingkat

intelegensi karena alat tes IQ untuk anak tunarungu masih dirancang dan

dermatoglifi dapat menjadi alternatif untuk mengetahui IQ seseorang melalui

gambar pola sidik jari yang diperoleh. Oleh karena itu penulis memposisikan

antara penelitian-penelitian terdahulu untuk saling melengkapi dan menjadi

tambahan informasi. Penulis lebih fokus meneliti hubungan dermatoglifi

dengan Intelegence Qoutient pada anak penyandang tunarungu di SLB-B Karya

Ibu Palembang.

Anda mungkin juga menyukai