Anda di halaman 1dari 22

BASTOMY EKA R

G991902010

THT-KL
1. ALAT PEMERIKSAAN TENGGOROKAN
a. Headlamp

Headlamp langsung dipakai, ingat posisinya kayak gitu, perhatikan tulisan Riester
jangan sampai kebalik, lalu hidupkan lampunya
b. Tongue Spatula

Jangan lupa sudah dalam keadaan steril atau didesinfektan. Cara megangnya, jari
jempol dibawah, jari telunjuk dan tengah diatas (posisi di proksimal agak tengah)
c. Lidokain 2% spray (larutan pemati rasa lokal)
d. Cunam
Untuk mengambil benda asing di tenggorok
e. Kaca laring

Digunakan untuk laringoskopi indirect, sebelumnya panaskan dulu kaca laring,


lalu semprot lidah dengan lidokain 2% tunggu 2 menit, pegang lidah dengan kassa
steril menggunakan jari jempol kiri dan jari tengah kiri. Masukan tongue spatula
menghadap keatas, lalu putar kebawah untuk melihat mucosa.
f. Kassa
g. Lampu spiritus
BASTOMY EKA R
G991902010

2. TATALAKSANA EPISTAKSIS POSTERIOR

Gejala epistaksis anterior jelas terlihat dengan keluarnya darah dari lubang
hidung, sementara epistaksis posterior dapat asimtomatis atau muncul sebagai
nausea, hematemesis atau melena (karena tertelannya darah), hemoptisis atau anemia
(akibat perdarahan kronis).
Penatalaksanaan umum
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Penanganan awal adalah :
a. Melakukan kompresi nostril (memberikan tekanan langsung ke area septum dan
melakukan tamponade anterior menggunakan kapas yang dibasahi dekongestan
topikal).
b. Tekanan langsung dilakukan minimal selama 5 menit sampai 20 menit.
c. Kepala pasien sedikit menunduk untuk mencegah darah terkumpul di pharing
posterior yang akan merangsang mual dan obstruksi jalan nafas.
BASTOMY EKA R
G991902010

d. Bila perdarahan belum berhenti, harus dicari sumber perdarahan.


e. Prosedur pemeriksaan: pemeriksaan dilakukan dalam ruangan yang cukup terang,
pasien duduk dengan setengah menengadahkan kepala. Dokter menggunakan
headlamp dan spekulum nasal untuk memvisualisasikan kavum nasi secara
optimal. Kavum nasi anterior dibersihkan dari bekuan darah dan benda asing
menggunakan irigasi, forcep atau aplikator kapas.
f. Adanya perdarahan difus, memancar, sumber perdarahan multipel atau perdarahan
berulang menunjukkan kemungkinan penyebab sistemik seperti hipertensi,
koagulopati atau penggunaan antikoagulansia. Diperlukan pemeriksaan
laboratorium lanjutan, seperti pemeriksaan jumlah trombosit, waktu perdarahan
(BT), waktu pembekuan (CT), waktu prothrombin (PPT) dan waktu
thromboplastin parsial (APTT) untuk membantu menentukan penyebab
perdarahan.
Epistaksis posterior lebih jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior, dan biasanya
harus ditangani oleh dokter spesialis THT.
Tatalaksana Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan
epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10
Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit
untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia
dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau dengan
asam triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 –
70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut
sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis
superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat
menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter
atau laser.
2. Tampon Anterior

Prosedur pemasangan tampon anterior :Tampon kapas/ rol tampon dibasahi


dengan vasokonstriktor dan anestetikum lokal, kemudian dimasukkan ke dalam
kavum nasi anterior. Dilakukan penekanan langsung ke area perdarahan minimal
selama 5 menit, kemudia tampon diangkat dan dilakukan inspeksi kembali untuk
menilai apakah masih terjadi perdarahan. Jika penatalaksanaan lokal tidak dapat
menghentikan epistaksis anterior, perlu dilakukan tamponade anterior (nasal packing).
Tampon diinsersikan dengan bantuan pinset bayonet dan spekulum nasal, membentuk
susunan berlapis seperti akordion sejauh mungkin masuk ke dalam hidung. Tiap
lapisan ditekan perlahan sampai cukup padat sebelum lapisan berikutnya diinsersikan
BASTOMY EKA R
G991902010

Kontraindikasi pemberian spray vasokonstriktor  pasien dengan HT tinggi


Komplikasi prosedur tamponade anterior (nasal packing):
1) Hematoma septum
2) Abses
3) Sinusitis
4) Sinkop neurogenik (saat pemasangan)
5) Pressure necorsis karena pemasangan tampon yang terlalu padat dan lama
6) Toxic shock syndrome akibat pemasangan tampon terlalu lama (dicegah dengan
pemberian salep antibiotika antistaphylokokus topikal)

Tatalaksana Epistaksis Posterior


Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat
diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan
embolisasi.
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan
terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian
dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh
Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan
kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan
cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke
dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam
nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar
dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.
Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain
kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.
BASTOMY EKA R
G991902010

2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan
tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis
posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang
dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal
perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.
Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di
nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik
kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu
kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada
balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan
kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal
mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera.
Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada
epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang
mensuplai darah ke mukosa hidung.
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini
dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari
dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.
sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah
menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis
eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal
BASTOMY EKA R
G991902010

asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi
Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil,
kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma
orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada
periostium posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan
observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan
lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan
hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook.
Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan
nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan
masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam. Maceri (1984)
menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of
buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan
identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan
diseksi tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri
dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral
tidak dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari
prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan
pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan.
Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat
berlangsung selama tiga bulan. Shah (2005) menggunakan clip titanium pada arteri
sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan
pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang
berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5
cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada
hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita
dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura
pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior,
dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis
posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan
pemakaian kauter untuk menghindari trauma.
d. Angiografi dan Embolisasi
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a.
maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis
yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam
menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan
embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer
BASTOMY EKA R
G991902010

dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan.


Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi
tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna
oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi
mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga
sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi
absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun
tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan
epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk
operasi.
3. ALAT PEMERIKSAAN TELINGA

1. Lampu kepala
2. Garpu tala
3. Spekulum telinga beberapa ukuran (kecil, sedang, besar)

4. Pinset telinga

5. Aplikator (pelintir kapas)


BASTOMY EKA R
G991902010

6. Aligator (cunam) :
− untuk mengambil benda asing
− untuk mengangkat polip liang telinga
7. Cerumen hook dan cerumen spoon :
- Cerumen hook : tumpul & tajam (dengan kait)

- Cerumen spoon: ujung seperti sendok

8. Obat anestesi lokal : larutan Lidokain 2%


9. Balon Politzer
BASTOMY EKA R
G991902010

10. Pneumatoskop Siegel

11. Otoskop

12. Tampon Steril

4. GEJALA DAN TANDA RHINOSINUSITIS


Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan
sinus paranasal. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis. Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut, subakut dan kronik. Mukosa kavum nasi dan sinus paranasal
saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada kavum
nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal. Secara histologi,
mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous
blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-
Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara
simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama.

Major factors Minor factors

Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive Headache


history for rhinosinusitis in absence of another major
symptom) Fever

Facial congestion, fullness (all nonacute)

Nasal obstruction/blockage Halitosis

Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Fatigue


BASTOMY EKA R
G991902010

Hyposmia/anosmia Dental pain

Purulence in nasal cavity on examination Cough

Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does Ear pain/pressure/
not constitute a strongly supportive history for acute in the
absence of another major nasal symptom or sign fullness

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada
rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab utama.
Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan
belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena
kombinasi etiologi yang multipel.
BASTOMY EKA R
G991902010
BASTOMY EKA R
G991902010

5. GEJALA DAN TANDA CA NASOFARING


BASTOMY EKA R
G991902010

6. RHINOSKOPI POSTERIOR
a. Rhinoskopi anterior

Urutan pemeriksaan :
a. Lakukan tamponade ± selama 5 menit dengan kapas yang dibasahi larutan lidokain
2% & efedrin.
b. Angkat tampon hidung.
c. Lakukan inspeksi, mulai dari :
- Cuping hidung (vestibulum nasi)
- Bangunan di rongga hidung
- Meatus nasi inferior : normal/tidak
- Konka inferior : normal/tidak
- Meatus nasi medius : normal/tidak
- Konka medius : normal/tidak
BASTOMY EKA R
G991902010

- Keadaan septa nasi : normal/tidak, adakah deviasi septum


- Keadaan rongga hidung : normal/ tidak; sempit/ lebar; ada pertumbuhan abnormal: polip,
tumor; ada benda asing/ tidak : berbau/ tidak
- Adakah discharge dalam rongga hidung, bila ada bagaimana deskripsi discharge (banyak/
sedikit, jernih, mucous, purulen, warna discharge, apakah berbau).
d. Fenomena Palatum Molle, cara memeriksa :
- Arahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasopharynx secara tegak lurus.
Normalnya, pemeriksa akan melihat cahaya lampu yang terang benderang.
- Kemudian pasien diminta mengucapkan “iiiii”. Normalnya, dinding belakang akan nampak
lebih gelap akibat bayangan dari palatum molle yang bergerak. Namun, bayangan gelap juga
dapat terjadi bila cahaya lampu tidak mengarah tegak lurus.
- Setelah pasien berhenti mengucap “iii”, bayangan gelap akan menghilang, dan dinding
belakang nasopharynx akan menjadi terang kembali.
- Bila ditemukan fenomena bayangan gelap saat pasieen mengucap “iii”, dikatakan hasil
pemeriksaan fenomena palatum molle positif (+).
- Sedangkan fenomena palatum molle dikatakan negatif (-) bila saat pasien mengucap ‘iii’,
tidak ada gerakan dari palatum molle sehingga dinding belakang nasopharynx tetap terlihat
terang benderang. Hal ini dapat kita temukan pada 4 keadaan yaitu :
i. Paralisis palatum molle pada post difteri
ii. Spasme palatum molle pada abses peritonsil
iii. Hipertrofi adenoid
iv. Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid

b. Pemeriksaan Rinoskopi Posterior


Urutan pemeriksaan :
1) Lakukan penyemprotan pada rongga mulut dengan lidokain spray 2%.
2) Tunggu beberapa menit.
3) Ambil kaca laring ukuran kecil.
4) Masukkan/pasang kaca laring pada daerah ismus fausium arah kaca ke kranial.
5) Evaluasi bayangan-bayangan di rongga hidung posterior (nasofaring).
6) Lihat bayangan di nasofaring :
• Fossa Rossenmuler
• Torus tubarius
• Muara tuba auditiva Eustachii
• Adenoid
• Konka superior
• Septum nasi posterior
• Choana
BASTOMY EKA R
G991902010

7. EDUKASI RHINITIS ALERGIKA


BASTOMY EKA R
G991902010

Edukasi :
1. Hindari makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan alergi. Untuk
mengetahui makanan dan obat yang membuat alergi, maka Anda perlu melakukan tes
pada tubuh Anda  skin prick test
2. Jangan biarkan hewan berbulu masuk ke dalam rumah, jika Anda alergi terhadap
bulu hewan. Bulu hewan seperti anjing dan kucing dapat menjadi salah satu penyebab
alergi.
3. Bersihkan debu yang menempel di perabot rumah dengan alat penyedot dan lap
basah minimal 2-3 kali dalam satu minggu. Sebaiknya jangan menggunakan sapu
karena dapat menyebarkan debu.
4. Gunakan pembersih udara atau pembersih udara elektris untuk membuang debu
rumah, jamur, dan polen dari udara. Cuci dan gantilah filter secara berkala.
5. Tutup perabotan berbahan kain dengan lapisan yang dapat dicuci sesering mungkin.
Perabot berbahan kain akan menyerap debu sehingga memicu alergi, maka tutuplah
dengan lapisan, misalnya plastik yang dapat dicuci.
6. Jangan menggunakan bahan atau perabot yang dapat menampung debu di dalam
kamar. Jika Anda mengidap rinitis alergi, sebaiknya singkirkan boneka, bunga, dan
benda-benda lain yang berpotensi menampung debu, terutama di kamar tidur.
7. Untuk menghindari kontak dengan alergen, gunakan sarung tangan dan masker
ketika sedang bersih-bersih dalam maupun di luar rumah
8. Hindari rokok dan penggunakan produk yang beraroma di rumah.

8. YANG DINILAI LARINGOSKOP


Penjelasan ada dibagian kaca laring, yg dinilai adalah
BASTOMY EKA R
G991902010

-Tonsila lingualis : Normal, tidak hiperemis, tidak membesar


-Mucosa laring : Berwarna merah muda, tidak hiperemis, tidak edema seperti pada
laringitis
-Epiglotis : Normal, tidak ada laringomalasia
-Vallecula : Tampak bersih, tidak ada makanan sisa atau benda asing
-Plica vocalis : Bentuknya teratur, simetris, tidak menebal, tidak hiperemis, dapat
bergerak, tidak ada paralisis. Tidak ada massa seperti carcinoma laring, singer’s node,
polip, papilloma
-Plica vestibularis : Normal, tidak hiperemis
-Fossa piriformis dan regio interarytenoidea : Normal, tidak hiperemis, tidak edema

9. ALAT PEMERIKSAAN HIDUNG


Alat-alat standar yang diperlukan untuk pemeriksaan hidung :
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung ukuran kecil, sedang dan besar

3. Pinset bayonet

4. Hook untuk mengambil benda asing di hidung


5. Cairan : pemati rasa (Lidokain 2%), vasokonstriktor (Ephedrine)
6. Kapas untuk tampon
7. Kaca laring beberapa ukuran (kecil, sedang, besar)
8. Lampu spiritus
9. Mangkuk bengkok (nearbeken)

9. Tampon Steril

10. RHINITIS VASOMOTOR


BASTOMY EKA R
G991902010

11. STADIUM OTITIS MEDIA AKUT


BASTOMY EKA R
G991902010
BASTOMY EKA R
G991902010

12. OE

13. Odinofagia dan Disfagia


Odinofagia : nyeri saat menelan
disebut odinofagia merujuk nyeri yang ditimbulkan oleh saluran pencernaan yang
berfungsi dalam proses menelan, yaitu tenggorokan/ faring dan esofagus (jarang).
Nyeri tenggorokan sering disebabkan oleh peradangan pada faring, yang dikenal
dengan istilah faringitis. Faringitis dapat disebabkan oleh infeksi ataupun iritasi.
Disfagia : susah menelan
akibat dari kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu.
Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia orofaring (atau
transfer dysphagia) dan disfagia esofagus (1,2) .Disfagia orofaring timbul dari
kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus, dapat disebabkan oleh stroke,
penyakit Parkinson, kelainan neurologis, oculopharyngeal muscular dystrophy,
menurunnya aliran air liur, xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi
mekanik (keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas,
radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang, antihistamin)
Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter esofagus bagian
bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh striktur esofagus, keganasan
esofagus, esophageal rings and webs, akhalasia, skleroderma, kelainan motilitas
spastik termasuk spasme esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus nonspesifik
(1) . Makanan biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, dan akan berada
setinggi suprasternal notch atau di belakang sternum sebagai lokasi obstruksi,
regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan pneumonia berulang.
BASTOMY EKA R
G991902010

14. ANATOMI TELINGA

15. KOMPLIKASI OMSK

16. TES GARPULATA


BASTOMY EKA R
G991902010

17. TONSILEKTOMI
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
Palatina untuk menghindari tonsilitis rekurent

Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
d. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah
mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan
keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi.
Tetapi hanya sediki tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik

Anda mungkin juga menyukai