Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Siapa yang tidak kenal dengan tuberkulosis (TB). Penyakit ini kian populer dalam beberapa
waktu dengan slogan baru yang disandangnya, “TB: Bukan Batuk Biasa”. Beberapa orang awam
mungkin lebih mengenalnya dengan sebutan penyakit flek paru. Tak disangka, TB ternyata
adalah penyakit usang yang sudah ditemukan sejak jaman Mesir kuno. Meski usang, tapi
penyakit ini masih belum bisa juga dibasmi di muka bumi. Sampai-sampai, TB pun memiliki
hari peringatan sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret. Dengan adanya hari peringatan itu,
tentu diharapkan dunia aware terhadap penyakit ini.
TB bukanlah penyakit yang hanya dapat diderita orang dewasa. Anak-anak pun terancam.
Anak sangat rentan selama tahun pertama dari tiga tahun kehidupan selama dan segera setelah
pubertas. Baru-baru ini, jumlah kasus TB semakin meningkat, banyak yang tercatat, terutama
kaum gelandangan, pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, dan mereka yang
terinfeksi kuman HIV. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat lebih dari
250.000 anak menderita TB dan 100.000 di antaranya meninggal dunia. Disinilah masalah mulai
muncul. Insiden yang terus merangkak tidak disertai dengan kemudahan menegakkan diagnosis
sedini mungkin.
Demikian papar Prof Dr. dr. Cissy B Kartasasmita, SpA(K) dalam The 2007 National
Symposium Update on Tuberculosis and Respiratory Disorders, Bandung, 23-25 Maret 2006.
Pada orang dewasa, diagnosis pasti ditegakkan apabila menemukan kuman M. tuberculosis
dalam sputum/dahak. Akan tetapi, anak-anak sangat sulit bila diminta untuk mengeluarkan
dahak. Bila pun ada, jumlah dahak yang dikeluarkan tidak cukup. Jumlah dahak yang cukup
untuk dilakukan pemeriksaan basil tahan asam adalah sebesar 3-5 ml, dengan konsistensi kental
dan purulen. Masalah kedua adalah jumlah kuman M. tuberculosis dalam sekret bronkus anak
lebih sedikit daripada orang dewasa. Hal itu dikarenakan lokasi primer TB pada anak terletak di
kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. BTA positif baru dapat dilihat bila

1
minimal jumlah kuman 5000/ml dahak. Selain itu, gejala klinis TB pada anak tidak khas. Hal-hal
tersebutlah yang sering membuat kita misdiagnosis atau overdiagnosis.
Gejala TB pada anak sangat bervariasi dan tidak saja melibatkan organ pernafasan
melainkan banyak organ tubuh lain seperti kulit (skrofuloderma), tulang, otak, mata, usus, dan
organ lain. Jangan sampai salah diagnosis atau overdiagnosis!

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Landasan Teori medis


A. Pengertian
Penyakit tuberculosis pada bayi dan anak disebut juga tuberculosis primer dan
merupakan suatu penyakit sistemik. Tuberculosis primer biasanya mulai secara perlahan-lahan
sehingga sukar ditentukan saat timbulnya gejala pertama. Kadang terdapat keluhan demam yang
tidak diketahui sebabnya dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas bagian atas.
Penyakit ini bila tidak diobati sedini mungkin dan setepat-tepatnya dapat timbul komplikasi yang
berat dan reinfeksi pada usia dewasa.
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis dan mycobacterium bovis (jaringan oleh mycobacterium avium). Basil tuberculosis
dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi mati di dalam
cairan yang bersuhu 60⁰ selama 15-20 menit. Fraksi protein basil tyberkulosis menyebabkan
nekrosis jaringan, sedang lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan factor
penyebab untuk terjadinya fibrosis serta terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil
tuberculosis tidak membentuk toksin.
Penularan tuberkolosis umumnya melalui udara hingga sebagaian besar fokus primer
tuberculosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan dapat peroral jika meminum
susu yang mengandung basil tuberculosis bovis. Ada mikrobakterium lain yakni mycobacterium
atipic yang dapat menyebabkan penyakit menyerupai tuberculosis.

B. Etiologi

Tuberkulosis anak merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0,3-
0,6 um. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid) yang menyebakan kuman tahan
terhadap asam sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) ia juga tahan hidup pada
kelembaban selama beberapa jam atau bulan. Pada udara kering maupun dalam keadaan

3
dingin (dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant sehingga
kuman ini dapat bangkit kembali dan menjadi TB aktif lagi
Sifat lain kuman ini adalah aerob yang menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya sehingga paru merupakkan tempat predileksi
kuman TB yang lebih banyak karena tekanan oksigen pada optikal paru-paru dari jaringan
lain. Kuman ini menyebar dari satu orang ke orang lain melalui percikan dahak (droplet
nuclei) yang dibatukkan. Jadi kalau Cuma bersin atau tukar-menukar piring atau gelas
minum tidak akan terjadi penularan (Aditama, 2000).

a. Merokok pasif
Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak, sehingga meningkatkan
risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah fungsi sel, misalnya dengan
menurunkan tingkat kejernihan zat yang dihirup dan kerusakan kemampuan penyerapan sel
dan pembuluh darah (Reuters Health, 2007).
b. Faktor Risiko TBC anak (admin., 2007)
1) Resiko infeksi TBC
Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC aktif, daerah
endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta lingkungan yang
tidak sehat. Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya
transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa
tersebut mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus
atas atau kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat
serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang
tidak baik. Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan
karena kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang
terdapat batuk. Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum.
Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam
konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak.
2) Resiko Penyakit TBC

4
Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap
seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya
akan menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit
hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun
memiliki resiko lebih tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan
dan kematian yang tinggi . Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir,
malnutrisi, keadaan imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan
silikosis. Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.

C. Patofisologi
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada
TBC berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar, tidak
terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat lubang
untuk keluar melalui jalan napas. Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung
kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo,
2008).
Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung, seperti
saat batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini diantaranya adalah sebagai berikut:
tuberculosis paru primer dan tuberculosis post primer. Tuberculosis primer sering terjadi
pada anak, proses ini dapat dimulai dari proses yang disebut droplet nuklei, yaitu suatu
proses terinfeksinya partikel yang mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang
hidup dan terhirup serta diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi
dan dilatasi pada kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin serta
makrofag ke dalam alveolar spase. Tuberculosis post primer, dimana penyakit ini terjadi
pada pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
(Hidayat, 2008).
Sebagian besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui terhirupnya
nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari seseorang yang

5
terinfeksi. Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas yang
diperantarai oleh sel dengan sel elector berupa makropag dan limfosit (biasanya sel T)
sebagai sel imuniresponsif. Tipe imunitas ini melibatkan pengaktifan makrofag pada
bagian yang terinfeksi oleh limfosit dan limfokin mereka, responya berupa reaksi
hipersentifitas selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolar
membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit digantikan oleh makropag.
Alveoli yang terlibat mengalami konsolidasi dan timbal pneumobia akut, yang dapat
sembuh sendiri sehingga tidak terdapat sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus dengan
bakteri di dalam sel-sel (Price dan Wilson, 2006).
Drainase limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah bening regional dan
infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Nekrosis sel menyebabkan gambaran keju (nekrosis gaseosa), jeringan grabulasi yang
disekitarnya pada sel-sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih berserat, membentuk
jatingan parut kolagenosa, menghasilkan kapsul yang mengeliligi tuberkel. Lesi primer
pada paru dinamakan fokus ghon, dan kombinasi antara kelenjar getah bening yang
terlibat dengan lesi primer disebut kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami
kalsifikasi dapat terlihat dalam pemeriksaan foto thorax rutin pada seseorang yang sehat
(Price dan Wilson, 2006).
Tuberculosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan demam
tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri
dada dan batuk menetal. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat
berkembang ke arah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis
dapat mempunyai manifestasi atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan
perubahan status mental, demam , anorexia dan penurunan berat badan. Basil
tuberkulosis dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Menurut Admin (2007) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas :
a. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di

6
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang
biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di
dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar
hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua lobus,
70% terletak subpelura. Fokus primer dapat mengalami penyembuhan sempurna,
kalsifikasi atau penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang
masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC2.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister
atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan
menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
b. TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi
HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

D. Manifestasi Klinik
Menurut Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul.
Pada saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit.
Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk
sedikit. Tahap berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang
gairah, dan berat badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher,
sementara di paru-paru muncul gambaran vlek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua,
apakah akan muncul gejala TBC yang benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini
tergantung kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya

7
tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul,
bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang
berbahaya dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, Penyebab TBC adalah
kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC
(dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak
langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC anak sangat
sulit, karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa
dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk
mendiagnosis anak TBC sedini mungkin. Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC
anak adalah riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC
dewasa. Kalau ini ada, agak yakin anak positif TBC (Wirjodiardjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
a. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG
sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini
juga harus dicurigai TBC, meskipun jarang.
b. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan
setiap bulan berkurang.
c. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada,
setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
d. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau
tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga
kemungkinan anak terkena TBC.
e. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai
sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah adanya
pembesaran kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan, ketiak, dan
sebagainya.
f. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang
khas.
g. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin
(Mantoux Test, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika

8
hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun
ada TBC, hasilnya biasanya negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap
MT.
Menurut Supriyatno (2009) skrining tuberkulosis pada anak antara lain
: Sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak yang
masih sangat kecil, sangat sulit. Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan adalah
dengan menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan aktif dalam
tubuh suspect TB atau orang yang diduga TBC. Caranya? Yang paling mudah adalah
dengan melakukan tes dahak. Pada orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan. Tapi lain
ceritanya, pada anak-anak karena mereka, apalagi yang masih usia balita, belum mampu
mengeluarkan dahak. Karenanya, diperlukan alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada
anak.
Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak spesifik
(khas). Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal
sebenarnya tidak. Atauunderdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB tetapi
tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang tepat. Diagnosa TBC pada
anak tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus
komprehensif. Karena tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-
satunya cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji
Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah seseorang
terinfeksiMycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk
menegakkan diagnosa atas penyakit TB. Sebab, tidak semua orang yang terinfeksi
kuman TB lalu menjadi sakit TB.
Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah
terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi. Ketika pada saat
terinfeksi daya tahan tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada
lagi infeksi dalam tubuh. Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif
tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala. Atau
pada orang lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.
Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC,
yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada

9
lengan bawah. Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya
untuk diukur. Yang diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang
terbentuk, bukan warna kemerahannya (erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter,
bukan centimeter. Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis
sebagai 0 mm.
Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi
berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm. Namun, untuk bayi dan anak sampai usia
2 tahun yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15
mm atau lebih. Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru
lahir, masih kuat. Pengecualian lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak
dengan HIV, sudah dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi),
artinya hasil negatif padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB. Anergi dapat terjadi
apabila anak mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan
anergi), sistem imun tubuhnya sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat
tertentu, baru saja divaksinasi dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja
terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang benar. Apabila dicurigai
terjadi anergi, maka tes harus diulang.

E. Komplikasi

Komplikasi Yang dapat terjadi adalah sebagai berikut :


a. Meningitis
b. Spondilitis
c. Pleuritis
d. Bronkopneumoni
e. Atelektasis
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. Bronkiectasis (pelebaran bronkus setempat)
dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

10
Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan karena
kerusakan jaringan paru. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, ginjal dan sebagainya. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary
Insufficiency).

F. Penatalaksanaan Medis
Menurut Price dan Wilson (2006) pengobatan TBC terutama berupa pemberian
obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat ini juga dapat digunakan untuk
mencegah timbulnya penyakit klinis. ATS (1994) menekankan tiga prinsip dalam
pengobatan tuberculosis yang berdasarkan pada:
1. Regimen harus termasuk obat-obat multiple yang sensitif terhadap mikroorganisme.
2. Obat-obatan harus diminum secara teratur.
3. Terapi obat harus dilakukan terus menerus dalam waktu yang cukup untuk
menghasilkan terapi yang paling efektif dan paling aman pada waktu yang paling
singkat.
Obat anti tuberculosis (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua
obat yang bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan dari pengobatan ini
adalah (FKUI, 2001):
1. Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin melalui
kegiatan bakterisid.
2. Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama estela pengobatan dengan kegiatan
sterilisasi.
3. Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan
imunologis.

G. Penatalaksanaan Perawatan

11
Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat dilakukan
dengan melakukan :
1. Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
2. Pemberian oksigen yang adekuat
3. Latihan batuk efektif
4. Fisioterapi dada
5. Pemberian nutrisi yang adekuat
6. Kolaburasi pemberian obat antutuberkulosis (seperti: isoniazid, streptomisin,
etambutol, rifamfisin, pirazinamid dan lain-lain)
7. Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan perkembangan
anak yang tenderita tuberculosis dengan membantu memenuhi kebutuhan aktivitas
sesuai dengan usia dan tugas perkembangan, yaitu (Suriadi dan Yuliani, 2001) :
a. Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan,
ketrampilan tangan, vidio game, televisi)
b. Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus yang
bervariasi bagi anak
c. Melibatkan anak dalam mengatur jadual harian dan memilih aktivitas yang
diinginkan
d. Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit,
menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika
memungkinkan

H. Pathways

12
13
II. LANDASAN TEORI KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas Data Umum (selain identitas klien, juga identitas orangtua; asal kota dan daerah,
jumlah keluarga)
b. Keluhan Utama (penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit)
c. Riwayat kehamilan dan kelahiran
1) Prenatal : (kurang asupan nutrisi , terserang penyakit infeksi selama hamil)
2) Intranatal : Bayi terlalu lama di jalan lahir , terjepit jalan lahir, bayi menderita caput
esadonium, bayi menderita cepal hematom
3) Post Natal : kurang asupan nutrisi , bayi menderita penyakit infeksi , asfiksia ikterus

2. Riwayat Masa Lampau


a. Penyakit yang pernah diderita (tanyakan, apakah klien pernah sakit batuk yang lama
dan benjolan bisul pada leher serta tempat kelenjar yang lainnya dan sudah diberi
pengobatan antibiotik tidak sembuh-sembuh? Tanyakan, apakah pernah berobat tapi
tidak sembuh? Apakah pernah berobat tapi tidak teratur?)
b. Pernah dirawat dirumah sakit
c. Obat-obat yang digunakan/riwayat Pengobatan
d. Riwayat kontak dengan penderita TBC

3. Riwayat Penyakit Sekarang (Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul
pada tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula)
4. Riwayat Keluarga (adakah yang menderita TB atau Penyakit Infeksi lainnya,
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama
5. Riwayat Kesehatan Lingkungan dan sosial ekonomi
1) Lingkungan tempat tinggal (Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah),
pemukiman yang padat, ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggota
keluarga yang banyak), pola sosialisasi anak.

14
2) Kondisi rumah
3) Merasa dikucilkan
4) Aspek psikososial (Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri)
5) Biasanya pada keluarga yang kurang mampu
6) Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu
yang lama dan biaya yang banyak
7) Tidak bersemangat dan putus harapan.
6. Riwayat psikososial spiritual (Yang mengasuh, Hubungan dengan anggota keluarga,
Hubungan dengan teman sebayanya, Pembawaan secara umum, Pelaksanaan spiritual)
7. Pola fungsi kesehatan.
Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan. Keadaan umum: alergi, kebiasaan,
imunisasi. Pola nutrisi – metabolik. Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun,
turgor kulit jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit
menelan, turgor kulit jelek. Pola eliminasi. Perubahan karakteristik feses dan urine,
nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran kiri
atas dan splenomegali. Pola aktifitas-latihan Sesak nafas, fatique, tachicardia, aktifitas
berat timbul sesak nafas (nafas pendek). Pola tidur dan istirahat Iritable, sulit tidur,
berkeringat pada malam hari. Pola kognitif perseptual. Kadang terdapat nyeri tekan
pada nodul limfa, nyeri tulang umum, takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga
tidak mampu. Pola persepsi diri. Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah. Pola
peran hubungan Anak menjadi ketergantungan terhadap orang lain (ibu/ayah)/tidak
mandiri. Pola seksualitas/reproduktif. Anak biasanya dekat dengan ibu daripada ayah.
Pola koping toleransi stres, Menarik diri, pasif
8. Pemeriksaan Fisik
Demam: sub fibril, fibril (40-41°C) hilang timbul. Batuk: terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus; batuk ini membuang/ mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk
kering sampai batuk purulen (menghasilkan sputum). Sesak nafas: terjadi bila sudah
lanjut, dimana infiltrasi radang sampai setengah paru. Nyeri dada: ini jarang
ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura. Malaise: ditemukan
berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan kering diwaktu
malam hari. Pada tahap dini sulit diketahui. Ronchi basah, kasar dan nyaring.

15
Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi
suara limforik. Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis. Bila
mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak). Pembesaran
kelenjar biasanya multipel. Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla,
inguinal dan sub mandibula. Kadang terjadi abses.
9. Pemeriksaan Diagnostik Dan Pengobatan
1) Uji tuberkulin = uji tuberkulin (+).® hipersensitifitas tipe lambat ®imunitas seluler
®Infeksi TB
2) Foto rontgent Rutin : foto pada rongga paru. Atas indikasi: tulang, sendi, abdomen.
Rontgent paru tidak selalu khas.
3) Pemeriksaan mikrobiologis (Bakteriologis Memastikan TB. Hasil normal: tidak
menyingkirkan diagnosa TB. Hasil (+) : 10-62% dengan cara lama. Cara : cara lama
radio metrik (Bactec); PCK.
4) Pemeriksaan darah tepi (Tidak khas. LED dapat meninggi)
5) Pemeriksaan patologik anatomik. Kelenjar, hepar, pleura; atas indikasi. Sumber
Infeksi Adanya kontak dengan penderita TB menambah kriteria diagnosa.
6) Lain-lain (Uji faal paru, Bronkoskopi, Bronkografi, Serologim dll

10. Pengkajian TUMBANG menggunakan KMS,KKA, dan DDST


1) Pertumbuhan
a) Kaji BBL, BB saat kunjungan
b) BB normal
c) BB normal, mis : ( 6-12 tahun ) umur
d) Kaji berat badan lahir dan berat badan saat kunjungan TB = 64 x 77R = usia
dalam tahun
e) LL dan luka saat lahir dan saat kunjungan
2) Perkembangan
a) Usia lahir kurang 3 bulan = belajar mengangkat kepala, mengikuti objek
dengan mata, mengoceh,
b) usia 3-6 bulan mengangkat kepala 90 derajat, belajar meraih benda, tertawa,
dan mengais meringis

16
c) usia 6-9 bulan = duduk tanpa di Bantu, tengkuarap, berbalik sendiri,
merangkak, meraih benda, memindahkan benda dari tangan satu ke tangan
yang lain dan mengeluarkan kata-kata tanpa arti.
d) usia 9-12 bulan = dapat berdiri sendiri menurunkan sesuatu mengeluarkan kat-
kata, mengerti ajakan sederhana, dan larangan berpartisipasi dalam permainan.
e) usia 12-18 bulan = mengeksplorasi rumah dan sekelilingnya menyusun 2-3 kata
dapat mengatakan 3-10 kata , rasa cemburu, bersaing
f) usia 18-24 bulan = naik–turun tangga, menyusun 6 kata menunjuk kata dan
hidung, belajar makan sendiri, menggambar garis, memperlihatkan minat pada
anak lain dan bermain dengan mereka.
g) usia 2-3 tahun = belajar melompat, memanjat buat jembatan dengan 3 kotak,
menyusun kalimat dan lain-lain.
h) usia 3-4 tahun = belajar sendiri berpakaian, menggambar berbicara dengan
baik, menyebut warna, dan menyayangi saudara.
i) usia 4-5 tahun = melompat, menari, menggambar orang, dan menghitung.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas berhubungan dengan obstruksi lendir pada
bronchus.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit .
3. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan
anoreksia

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penyakit Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih
tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
2. TBC pada anak masih merupakan penyakit mayor yang menyebabkan kesakitan.
3. Besarnya kasus TBC pada anak di Indonesia masih relatif sulit diperkirakan.
4. Diagnosis TBC tidak dapat ditegakkan hanya dari anamnesis, pemeriksaan fisik atau
pemeriksaan penunjang tunggal. Selain alur diagnostik, terdapat pedoman diagnosis
dengan menggunakan sistem skoring.
5. Gambaran klinis TBC pada anak: badan turun, Nafsu makan turun, demam tidak
tinggi dapat disertai keringat malam, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang
tidak sakit, batuk lama lebih dari 30 hari.
6. Uji tuberkulin positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi
buruk. Uji tuberkulin positif menunjukkan TBC.
7. Tatalaksana TBC pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antara pemberian medikamentosa, penataaan gizi dan lingkungan sekitarnya
8. Obat TBC yang digunakan yaitu Obat TBC utama (first line) rifampisin, INH,
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TBC lain (second line): PAS,
viomisin, sikloserin, etionamid, kanamisin, dan kapriomisin yang digunakan jika
terjadi multi drug resistance.
9. Pada keadaan meningitis TBC, milier TBC, penyebaran bronkogen, pleuritis TBC,
pleuritis TBC dengan keadaan umum jelek ditambah teapi dengan kortikosteroid.
10. Usaha preventif dilakukan dengan vaksin BCG dan kemoprofilaksis. Keterlambatan
motorik kasar menunjukkan adanya kerusakan pada susunan saraf pusat seperti
serebral palsi (gangguan motorik yang di sebabkan oleh kerusakan bagian otok yang
mengatur otot-otot tubuh)

B. Saran
Bagi perawat diharapkan dapat melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan
prosedur yang ada. Bagi para orang tua diharapkan memantau pertumbuhan dan
perkembangan anak sejak dini untuk dapat mengetahui adakah gejala-gejala penyakit
pada anak teruma pengetahuan tentang penyakit.

18
Daftar Pustaka :

Buleche, G.M., Butcher, H.K., & Dochterman, J.C. (Eds.). (2008). Nursing Interventions
Classification (NOC) (5th ed.). St. Louis: Mosby/Elsevier
Herdman, T. Heather. (2012). Nursing Diagnosis : Defenitions and Clasification 2012 -2014.
Jakarta : EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (Eds). (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC) (4th ed.). St. Louis: Mosby/Elsevier
Perawatan anak sakit/ ngastiyah; editor, monica Ester-Ed.2 – Jakarta: EGC.2005
https://imsyahrir.wordpress.com/2013/01/17/asuhan-keperawatan-pada-klien-tb-paru/

Diposkan oleh Nissa Uchil di 11:46:00 am


Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Reaksi:

No comments:

19
Post a Comment

Newer Post Older Post Home


Subscribe to: Post Comments (Atom)

About Me

Nissa Uchil
View my complete profile

Translate

Select Language ▼

Total Pengunjung

198082

Pengikut

Search This Blog

My Posting

 ► 2011 (15)
o ► April (1)
o ► June (2)
o ► July (4)
o ► October (2)
o ► November (1)
o ► December (5)

20
 ► 2012 (1)
o ► May (1)

 ► 2013 (8)
o ► December (8)

 ► 2014 (110)
o ► February (12)
o ► March (23)
o ► April (6)
o ► May (7)
o ► October (49)
o ► November (13)

 ▼ 2015 (43)
o ► January (1)
o ▼ February (42)
 STROKE NON HAEMORAGIK
 ASKEP BRONKOPNEUMONIA
 ASKEP TBC PADA ANAK
 ASKEP CAMPAK
 IMUNISASI DAN KIPI
 ASKEP ANAK ASMA BRONKHIALE
 ASKEP ANAK DIFTERI
 ASKEP ANAK APENDIKSITIS
 ASKEP ANAK HISPRUNG
 ASKEP ENCHEPALITIS
 ASKEP ANAK HIDROSEFALUS
 ASKEP CEREBRAL PALSY
 KEPERAWATAN JIWA
 ASKEP CA TULANG
 BALUT BIDAI
 PENGKAJIAN MUSKULOSKELETAL
 ROM
 SKOLIOSIS
 ASKEP FRAKTUR
 ASKEP TRAUMA KEPALA
 ASKEP MENINGITIS
 ASKEP PARKINSON
 ASKEP MYASTENIA GRAVIS
 ASKEP TRAUMA INTRAKRANIAL
 HIPERTIROID
 ASKEP HIPERPARATIROID
 ASKEP ANAK KEJANG DEMAM
 ASKEP ANAK DHF
 ASKEP ANAK THYPOID

21
 ASKEP ANAK GASTROENTERITIS
 ASKEP ANAK OBESITAS
 ASKEP ANAK MALNUTRISI
 PENYEBAB GANGGUAN JIWA
 GANGGUAN JIWA CEMAS
 PROSES TERJADINYA GANGGUAN JIWA
 PROGRAM KESEHATAN JIWA DI INDONESIA
 PPDGJ II 00 - 100
 DDST
 KEPERAWATAN MATERNITAS
 Luka Bakar
 ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KELENJAR TIROID
 ASKEP HIPOTIROIDISME

My Album Photos

Picture Window template. Powered by Blogger.

22

Anda mungkin juga menyukai