Anda di halaman 1dari 12

4

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

a. Klasifikasi Lengkuas

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Subfamili : Alpinioideae

Spesies : Alpinia galanga (Heyne, 1987).

b. Morfologi

Lengkuas termasuk ke dalam famili Zingiberaceae. Tanaman yang

memiliki tinggi hingga 3 meter ini terbagi dalam dua jenis, yaitu putih dan

merah. Tanaman ini memiliki akar tidak teratur, lapisan luarnya terdapat

kulit tipis berwarna coklat dan merah dibagian tangkai yang berbentuk

umbi. Bagian dalam berwarna putih, jika dikeringkan menjadi kehijau-

hijauan (Vuddhakul et al., 2007).

Lengkuas tumbuh di tempat terbuka, yang mendapat sinar matahari

penuh atau yang sedikit terlindung. Lengkuas menyukai tanah yang

lembab dan gembur, tetapi tidak suka tanah yang becek. Tumbuh subur di

daerah dataran rendah sampai ketinggian 1200 meter di atas permukaan

4
5

laut. Lengkuas banyak ditemukan tumbuh liar di hutan jati atau di dalam

semak belukar di Indonesia (Sinaga, 2002).

Bagian dari tanaman lengkuas yang sering digunakan sebagai obat

adalah rimpangnya. Rimpang lengkuas besar dan tebal, berdaging,

berbentuk silindris, diameter sekitar 2-4 cm, dan bercabang-cabang.

Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan atau kuning kehijauan pucat,

mempunyai sisik-sisik berwarna putih atau kemerahan, keras mengkilap,

sedangkan bagian dalamnya berwarna putih. Daging rimpang yang sudah

tua berserat kasar. Apabila dikeringkan, rimpang berubah menjadi agak

kehijauan, dan seratnya menjadi keras dan liat. Untuk mendapatkan

rimpang yang masih berserat halus, panen harus dilakukan sebelum

tanaman berumur lebih kurang 3 bulan. Rasanya tajam pedas, menggigit,

dan berbau harum (Sinaga, 2002; Vuddhakul et al., 2007).

c. Kandungan Kimia

Khasiat obat pada suatu tanaman disebabkan oleh kandungan

metabolit sekundernya. Rimpang lengkuas diketahui mengandung metil-

sinamat 48 %, sineol 20-30 %, eugenol, kamfer 1 %, seskuiterpen, δ-

pinen, galangin, galangol, kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin,

amilum, beberapa senyawa flavonoid, dan zat-zat yang dapat menghambat

enzim xanthin oksidase sehingga bersifat sebagai antitumor, yaitu trans-p-

kumari diasetat, transkoniferil diasetat, asetoksi kavikol asetat, 4-hidroksi

benzaldehida, serta basonin (Barik et al., 1987; Noro et al., 1988;


6

Loubinoux et al., 1989; Daubresse et al., 1994; Lee dan Ando, 2001;

Vuddhakul et al., 2007).

Studi literatur yang dilakukan oleh Raja et al. (2015) menyebutkan

bahwa tanaman lengkuas menempati urutan ke-5 besar jenis tanaman yang

mengandung senyawa eugenol. Lengkuas mengandung eugenol pada

bagian rimpangnya dengan konsentrasi sebesar 12000 ppm.

d. Eugenol

Gambar 1. Struktur kimia eugenol (The Department of Health, 2010)

Eugenol merupakan zat yang berwujud cair pada suhu kamar,

bersifat asam, tidak berwarna atau agak kekuningan dan menjadi agak

gelap jika dibiarkan di udara terbuka, mudah terbakar, berbau tajam,

memiliki titik didih 225 °C, titik leleh -9,2 °C sampai -9,1 °C, berat jenis

1,006 g/mL, bersifat relatif nonpolar, memiliki nilai konstanta Henry 0,2

Pa.m3/mol sehingga bersifat semivolatile, mempunyai rumus molekul

C10H12O2 dan mengandung beberapa gugus fungsional yaitu alil (-CH2-

CH=CH2), fenol (-OH) dan metoksi (-OCH3), sehingga dengan adanya

gugus tersebut dapat memungkinkan eugenol sebagai bahan dasar sintesis

berbagai senyawa lain yang bernilai lebih tinggi seperti isoeugenol,

eugenol asetat, isoeugenol asetat, benzil eugenol, benzilisoeugenol, metil

eugenol, eugenol metil eter, eugenol etil eter, isoeugenol metil eter,
7

vanillin dan sebagainya (Sastrohamidjojo, 1981; Bulan, 2004; Erizal,

2006; Mustikarini, 2007; EFSA, 2012).

e. Khasiat dan Manfaat

Di bidang farmasi, eugenol memiliki nilai pharmaceutical yang

sangat tinggi karena berkhasiat sebagai antiinflamasi, antihiperglikemia,

antibakteri, antioksidan, antiviral, antifungal, antialergi, gastroprotective,

antispamosdik, antiemetik, stimulan, anestetik lokal, antiplatelet,

antitumor, serta dalam bidang densitry (ilmu kedokteran gigi) sebagai

analgetik dan antiseptik (Itokawa et al., 1987; Kondo et al., 1993; Burt dan

Reinder, 2003; Mustikarini, 2007; US EPA, 2008; Chudiwal et al., 2010;

Jirovetz, 2010; Pramod et al., 2010; Pramod et al., 2013).

Pemanfaatan eugenol di bidang farmasi diantaranya adalah untuk

bahan penambah aroma atau parfum, sebagai stimulan, anestetik lokal,

karminatif, obat antiemetik, cairan antiseptik dan antispasmodik dalam

sabun atau detergen, obat sakit gigi, bahan pasta gigi, bahan campuran

untuk menambal gigi, obat kumur (mouthwash), bahan produk farmasi

seperti balsam untuk mengurangi rasa nyeri, dan toilet water (Nurdjannah,

2004; Jirovets, 2010).

f. Ekstraksi

Ekstraksi atau penyarian adalah penarikan zat aktif yang

diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang

telah dipilih sehingga zat yang diinginkan akan terlarut. Cara penyarian

dapat dibedakan menjadi infundasi, maserasi, perkolasi, dan penyarian


8

berkesinambungan. Secara umum penyarian akan bertambah lebih baik

apabila permukaan simplisia yang bersentuhan dengan pelarut semakin

luas. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat

dari bahan mentah obat dan penyesuaian dengan tiap macam metode

ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna

(Ditjen BPOM, 1986; Ansel, 1989).

Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih

berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari

zat aktif seminimum mungkin dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan

penyari yang baik harus memenuhi kriteria murah dan mudah diperoleh,

stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan

tidak mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang

dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Ditjen BPOM, 1986;

Ansel, 1989).

Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak antara lain,

kualitas bahan baku yang digunakan, jenis pelarut yang digunakan dalam

proses ekstraksi, metode ekstraksi yang digunakan (maserasi statis atau

dinamis, perkolasi, reperkolasi dan ekstraksi arus balik), ukuran partikel

bahan, suhu proses ekstraksi, pH ekstrak dan metode pemurniannya

(Endardjo, 1999; Wahono, 2000; Windono dan Sutarjadi, 2002).


9

g. Analisis Eugenol

1. Analisis Kualitatif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan campuran

dengan menggunakan suatu plat fase diam yang nantinya fase diam

tersebut akan secara seragam tersebar di atas permukaan plat tersebut yang

kemudian fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh

gaya kapiler pada pengembangan menaik (ascending) atau karena gaya

gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Silika gel merupakan fase diam yang sering digunakan untuk KLT.

Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk kromatografi senyawa

netral, asam, dan basa. Selain fase diam, terdapat fase gerak yang

merupakan salah satu bagian penting dalam analisis pemisahan senyawa

menggunakan KLT karena polaritas dari fase gerak dapat menentukan

pemisahan (Stahl, 1985; Sudjadi, 2007).

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal hanya dapat

diperoleh jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil mungkin

dan sesempit mungkin. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume

sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µL. Jika volume sampel yang

akan ditotolkan > 2,0 µL maka penotolan harus dilakukan secara bertahap

dengan dilakukan pengeringan antar totolan. Penjenuhan bejana

kromatografi dapat dilakukan dengan cara melapisi dinding bagian dalam

bejana dengan kertas saring. Bagian bawah kertas saring tersebut harus
10

tercelup dalam cairan pengembang. Tepi bagian bawah lempeng lapis tipis

yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak kurang lebih

0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus di bawah lempeng yang

sudah terisi totolan sampel. Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan

sedapat mungkin volume fase gerak sedikit mungkin (akan tetapi harus

mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah

ditentukan). Jika fase gerak telah mencapai ujung kertas saring, maka

dapat dikatakan fase gerak telah jenuh. Selama proses elusi, bejana

kromatografi harus ditutup rapat, misalkan dengan alumininum foil (Ditjen

BPOM, 2000; Sudjadi, 2007).

Metode KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi suatu senyawa

dalam campuran (sampel). Parameter yang digunakan adalah nilai Rf

(Retardation factor). Dua senyawa dikatakan identik jika memiliki nilai Rf

yang sama jika diukur pada kondisi KLT sama. Setelah pengembangan

sampel akan diperoleh nilai Rf yang menggambarkan migrasi relatif

komponen senyawa terhadap pelarut dan berhubungan dengan koefisien

distribusi komponen. Dalam analisis kuantitatif dengan metode KLT, nilai

Rf diharapkan berada antara 0,2 sampai 0,8 (Braithwaite dan Smith, 1999;

Kowalska, 2003). Nilai Rf dihitung menggunakan rumus berikut:

g di e h e
Rf =
g di e h f e ge

2. Analisis Kuantitatif dengan Densitometri

Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang

didasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang


11

merupakan bercak pada kromatografi lapis tipis. Densitometri

dimaksudkan untuk analisis kuantitatif analit dengan kadar kecil, yang

sebelumnya dilakukan pemisahan dengan kromatografi lapis tipis

(Rohman, 2009).

Thin Layer Chromatography Scanner yang lebih dikenal dengan

nama spektrofotodensitometer semakin banyak dan luas digunakan dalam

analisis kualitatif dan kuantitatif. Instrumen spektrofotodensitometer

terdiri dari sumber cahaya dalam rentang panjang gelombang 200-800 nm

yaitu lampu deuterium (rentang spektra 200-400 nm), lampu tungsten

(rentang spektra 400-800 nm), celah (slit), monokromator untuk memilih

panjang gelombang yang sesuai, sistem untuk memfokuskan sinar pada

plat, filter fluoresensi, pengganda foton (photomultiplier) dan recorder

(Schmutz, 1980; Deinstrop, 2007; Gandjar dan Rohman, 2007).

FF

Gambar 2. Skema Instrumen Spektrofotodensitometer (Sherma dan Fried, 1994)


Keterangan: L (Light); SL (Slit); MC (Monochromator); PM (Photomultiplier); FF
(Filter Fluorescens); P (Plat); SCS (System for Circular Scanning)

Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara

radiasi elektromagnetik sinar UV-vis dengan analit yang merupakan noda

pada plat. Radiasi elektomagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh
12

analit. Radiasi elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator

plat dapat diemisikan berupa fluoresensi dan fosforesensi (Sherma dan

Fried, 1994). Spektrofotodensitometer akan mendeteksi masing-masing

track penotolan dan masing-masing track dan ditampilkan dalam bentuk

kromatogram. Semakin tinggi bentuk kromatogram, maka konsentrasi

analit dalam sampel semakin banyak. Kromatogram ini akan menunjukkan

nilai Area Under Curve (AUC) dan nilai Rf dari tiap senyawa yang

terkandung dalam noda. Rf ini sangat khas untuk masing-masing senyawa

sehingga akan diketahui secara pasti jenis senyawa yang terdapat pada

analit dengan membandingkannya dengan nilai Rf dan bentuk peak

(puncak) pada standar atau pada pustaka untuk berbagai jenis senyawa.

Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat

dilakukan dengan menggunakan mode absorbsi atau fluoresensi.

Umumnya yang paling sering digunakan adalah mode absorbsi dengan

e gg i UV d λ 190-300 nm. Oleh karena kebanyakan plat

KLT menggunakan silika gel yang bersifat opaque (tidak tembus cahaya),

maka pengukuran dengan mode transmitan tidak cocok digunakan.

Penentuan absorpsi analit pada plat KLT opaque didasarkan pada rasio

intensitas antara radiasi elektromagnetik yang datang dengan intensitas

radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau direfleksikan. Pengukuran

fluoresensi merupakan metode pengukuran langsung yang peka untuk

senyawa dalam daerah ultraviolet dapat ditentukan melalui emisi

penyinaran sekunder. Intensitas cahaya fluoresensi setelah dipancarkan


13

melalui suatu monokromator, diukur secara selektif dalam kondisi yang

sesuai, berbanding lurus dengan berat senyawa yang ada dalam noda

(Sherma dan Fried, 1994).

Penentuan kadar menggunakan alat densitometer dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu senyawa standar dielusi bersama dalam satu plat,

kemudian AUC sampel dibandingkan dengan harga AUC senyawa

standar. Cara lainnya dapat dilakukan dengan membuat kurva standar

hubungan antara konsentrasi standar dengan AUC. Kurva standar

diperoleh dengan membuat totolan larutan standar pada plat KLT dengan

bermacam-macam konsentrasi. Bercak yang diperoleh dicari nilai AUC-

nya dan dari kurva standar akan diperoleh persamaan garis lurus y = a + bx

di mana x adalah kadar zat yang ditotolkan dan y adalah AUC (Supardjan,

1987).

Keunggulan densitometri dibandingkan metode lain yaitu dapat

mendeteksi lokasi puncak secara otomatis, mengoptimasi kondisi

pengukuran luas bawah kurva, scanning seluruh totolan pada plat secara

langsung, merekam spektra analit, scanning λ i, e i baseline

otomatis untuk menghilangkan sinyal palsu yang disebabkan oleh

interfensi pada plat fase diam, kalibrasi, pelaporan data, dan penyimpanan

data untuk perhitungan kembali (Sherma dan Fried, 1996).

Menurut Gritter et al. (1991) dalam penggunaan densitometer ada

beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain :


14

1. Sinar yang masuk tidak perlu tepat paralel, namun sudut datang sinar

harus dipertahankan konstan.

2. Monokromatoritas dari sinar sangat penting, untuk menjaga

keseragaman absorbsi dari sampel pada panjang gelombang yang

digunakan.

3. Celah sinar datang harus kecil, sesuai dengan range daerah absorbsi.

Ketidakseimbangan bentuk noda memiliki efek yang besar bila dilakukan

pengukuran dengan model refleksi bila dibandingkan dengan model

transmisi.

2.2 Kerangka pemikiran

Berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa rimpang lengkuas secara

luas telah digunakan dalam pengobatan herbal tradisional karena berbagai efek

farmakologinya, yaitu seperti antiinflamasi, analgetik, antihiperglikemia,

antibakteri, antiviral, antifungal, antialergi, antiseptik, gastroprotective,

antikanker dan sebagainya. Rimpang lengkuas kaya akan khasiat karena berbagai

kandungan kimia di dalamnya seperti metil sinamat, sineol, kamfer, galangin,

alpinin, dan eugenol.

Eugenol bersifat semivolatile dan relatif non polar. Kelarutan eugenol

menurut Budavari (2001) adalah baik dalam alkohol, kloroform, eter, dan minyak

lemak, namun sukar larut dalam air. Pemilihan jenis dan konsentrasi pelarut

merupakan tahap penting dalam proses ekstraksi untuk memperoleh hasil yang

optimal sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan


15

teknologi ekstraksi, khususnya dalam optimasi konsentrasi pelarut yang

digunakan untuk ekstraksi.

2.3 Hipotesis

1. Konsentrasi etanol tertentu diduga dapat digunakan untuk ekstraksi eugenol

dari rimpang lengkuas secara optimum.

2. Ekstrak etanol rimpang lengkuas diduga mengandung senyawa eugenol dalam

kadar tertentu.

Anda mungkin juga menyukai