Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan rencana aksi global
untuk 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga 2030), guna mengakhiri
kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan, yang berisi
17 tujuan dari 169 target pembangunan berkelanjutan. Salah satu tujuan
pembangunan berkelanjutan tersebut yaitu menjamin kehidupan yang sehat
dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia (Goverments,
2016). Namun, Indonesia masih mempunyai tantangan besar dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang kesehatan yang semakin
kompleks. Salah satunya adalah menurunkan angka morbiditas dan angka
mortilitas karena penyakit Tuberkulosis yang merupakan suatu penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium
Tuberculosis yang sebagian besar kuman Tuberculosis menyerang paru tetapi
juga dapat menyerang organ tubuh lainnya (Depkes, 2008).
Tuberkulosis merupakan salah satu dari ancaman global. Secara global,
pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden Tuberkulosis (CI 8,8 juta –
12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara
dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan
Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden Tuberkulosis pada tahun 2016
terjadi di Kawasan Asia Tenggara sebesar 45% dimana Indonesia merupakan
salah satu di dalamnya, dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. Badan
kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden
countries (HBC) untuk Tuberkulosis berdasarkan 3 indikator yaitu TBC,
TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar
tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau
keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara
lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya
Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC
(WHO, 2018).
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014,
prevalensi Tuberkulosis dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar
759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi
Tuberkulosis BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15
tahun ke atas (Indah, 2018). Data tersebut didukung juga dengan Angka
Notifikasi Kasus/Case Notification Rate (CNR) sebesar 138 di semua kasus
dan 64 untuk BTA positif (Kemenkes RI, 2018).
Usia anak-anak merupakan usia yang rentan terhadap penularan TB
serta bahaya penularan terdapat pada golongan umur 0-6 dan golongan umur
7-14 tahun (Anonim, 2010). Data Tuberkulosis paru pada anak di Indonesia
menunjukkan proporsi kasus Tuberkulosis anak pada tahun 2013 sebesar
7,92%, kemudian menurun pada tahun 2014 menjadi 7,10%, lalu meningkat
pada tahun 2015 menjadi 8,49%. Hal ini menunjukkan bahwa penularan
kasus Tuberkulosis paru BTA positif kepada anak semakin besar (Apriliasari
et al., 2018). Menurut data Kemenkes RI 2017, Jawa Timur menduduki posisi
kedua setelah Jawa Barat dengan kasus TB Paru BTA Positif terbanyak di
Indonesia sebesar 21.606 penderita.
Profil Kesehatan Jawa timur 2017 memaparkan, bahwa salah satu
kabupaten di Jawa Timur yang masih memiliki angka penderita Tuberkulosis
paru pada anak usia 0-14 tahun adalah Kabupaten Banyuwangi sebesar 76
penderita. Jumlah penderita Tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun di
Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2014 sebesar 84 penderita, sedangkan
pada tahun 2016 sebesar 116 penderita dari jumlah penduduk sebesar
1.599.811 jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah
penderita Tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun di Kabupaten
Banyuwangi selama dua tahun terakhir. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyuwangi tahun 2016, Puskesmas singotrunan merupakan
puskesmas dengan penderita Tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun
terbanyak pada tahun tersebut dengan jumlah 42 penderita, dan sejumlah
101,79% anak yang mendapatkan imunisasi BCG di Puskesmas tersebut.
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan
kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit.
Imunisasi juga merupakan upaya pencegahan primer yang sangat efektif
untuk menghindari terjangkitnya penyakit infeksi. Dengan demikian, angka
kejadian penyakit infeksi akan menurun, kecacatan serta kematian yang
ditimbulkannya pun akan berkurang (Sri Lanka Medical, 2011).
Pencegahan dengan Imunisasi atau vaksinasi merupakan tindakan yang
mengakibatkan seseorang mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik,
sehingga mampu mempertahankan diri terhadap penyakit atau masuknya
kuman dari luar. Vaksinasi terhadap penyakit tuberkulosis menggunakan
vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) dari galur Mycobacterium bovis
yang telah dilemahkan (Rosandali, Aziz, & Suharti, 2016).
BCG efektif mencegah tuberkulosis (TB) milier, TB paru berat dan TB
meningitis pada anak- anak, tetapi tidak untuk TB paru pada orang dewasa,
terutama di negara-negara berkembang.Vaksin yang diperoleh pada saat bayi
ternyata sama sekali tidak memberikan perlindungan terhadap TB pada orang
dewasa. Hal ini disebabkan karena efek perlindungan vaksin BCG yang
diberikan pada saat bayi berlangsung hingga 10 tahun, tetapi tidak diketahui
apakah masih terdapat efek perlindungan setelah kurun waktu tersebut
(Rosandali et al., 2016).
Berdasarkan penjabaran di atas, guna melihat apakah terdapat hubungan
antara imunisasi BCG dengan masalah kesehatan penyakit menular
Tuberkulosis, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Hubungan
Antara Imunisasi BCG Dengan Angka Kejadian Kasus Tuberkulosis Paru
Pada Anak Usia 0-14 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Singotrunan
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2016”. Sehingga setelah dilakukan penelitian
ini, diharapkan imunisasi BCG dapat menjadi salah satu faktor yang dapat
menurunkan angka kejadian Tuberkulosis pada anak usia 0-14 tahun.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan antara imunisasi BCG dengan
angka kejadian kasus tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Singotrunan Kabupaten Banyuwangi tahun 2016?”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara imunisasi BCG dengan angka
kejadian kasus tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Singotrunan Kabupaten Banyuwangi tahun
2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Teridentifikasinya imunisasi BCG di wilayah kerja Puskesmas
Singotrunan Kabupaten Banyuwangi tahun 2016.
2. Teridentifikasinya angka kejadian kasus tuberkulosis paru pada
anak usia 0-14 tahun di wilayah kerja Puskesmas Singotrunan
Kabupaten Banyuwangi tahun 2016.
3. Teranalisanya hubungan antara imunisasi BCG dengan angka
kejadian kasus tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Singotrunan Kabupaten Banyuwangi
tahun 2016.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat dalam kesehatan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan dibidang kesehatan khususnya
keperawatan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan terkait
aspek promotif dan preventif terhadap penyakit tuberkulosis paru,
serta dapat menjadi masukan untuk peneliti selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan kemampuan peneliti baik
mengenai konsep dan teori maupun mengembangkan riset
keperawatan.
2. Bagi IPTEK
Menambah bahan kepustakaan dan sebagai pertimbangan
untuk penelitian sejenis.
3. Bagi Masyarakat
Menjadi bahan kajian pengetahuan terutama yang berkaitan
dengan dibidang kesehatan. Masyarakat dapat mengetahui
manfaat imunisasi BCG dan dampak dari penyakit TB pada anak
sehingga diharapkan masyarakat juga dapat meningkatkan status
kesehatan di wilayahnya.
4. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk
mengkaji dan mencari solusi untuk menekan angka kejadian
penyakit TB di masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Imunisasi BCG
2.1.1 Definisi
Imunisasi BCG adalah imunisasi yang bertujuan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC)
pada anak (Proverawati dan Andhini, 2010). Bacille Calmette-
Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari myobacterium
bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan
basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.
Vaksin BCG berisi suspensi myobacterium bovis hidup yang sudah
dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis
tetapi mengurangi resiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis
TB dan tuberkulosis milier (Ranuh, 2011).
2.1.2 Waktu Pemberian
Vaksin BCG diberikan pada umur < 2 bulan, Kementerian
Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur 1
bulan dan sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (Tuberkulkin)
negatif. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Efek proteksi
timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi
antara 0-80 %, berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu
vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau
faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain) (Ranuh, 2011).
Apabila BCG diberikan pada umur >3 bulan, sebaiknya dilakukan
uji tuberkulin terlebih dahulu (Sari, 2000).
2.1.3 Cara Pemberian
Cara pemberiannya melalui suntikan. Sebelum disuntikkan
vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu. Dosis 0, 55 cc untuk
bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 cc untuk anak dan orang dewasa.
Pemberian imunisasi ini dilakukan secara Intrakutan di daerah
lengan kanan atas. Disuntikkan kedalam lapisan kulit dengan
penyerapan pelan-pelan. Dalam memberikan suntikan intrakutan,
agar dapat dilakukan dengan tepat, harus menggunakan jarum
pendek yang sangat halus (10mm, ukuran 26) (Proverawati &
Andhini, 2010).
2.1.4 Kontraindikasi
Imunisasi BCG tidak boleh digunakan pada orang yang reaksi
uji tuberkulin > 5 mm, menderita infeksi HIV atau dengan risiko
tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat pengobatan
kortikosteroid, obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi,
penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe, menderita gizi buruk, menderita demam tinggi, menderita
infeksi kulit yang luas, pernah sakit tubercolusis, dan kehamilan
(Ranuh, 2011).
2.1.5 Efek Samping
Efek samping reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi BCG
yaitu setelah 1-2 minggu diberikan imunisasi, akan timbul indurasi
dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi pustula,
kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan khusus,
karena luka ini akan sembuh dengan sendirinya secara spontan.
Kadang terjadi pembesaran kelenjar regional diketiak atau leher.
Pembesaran kelenjar ini terasa padat, namun tidak menimbulkan
demam (Proverawati & Andhini, 2010).

2.2 Konsep Tuberkulosis Anak


2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit akibat kuman
Mycobacterium Tuberkculosis sistemis sehingga dapat mengenai
semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru-paru yang
biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Mansjoer, 2000).
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke
bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus
limfe (Smeltzer, Suzzane, & Bare, 2001).
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang
bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ,
terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran
hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Data insidensi dan prevalensi tuberkulosis anak tidak
mudah dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka
kejadian prevalensi tuberkulosis anak.
Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus
BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada
satu negara pun yang bebas tuberkulosis.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber
infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya
penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih
ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut mendapat
infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin
akan menjadi positif, tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini
akan sakit TB.
2.2.2 Penyebab
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular langsung yang
biasanya menyerang paru-paru disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, bakteri ini berbentuk batang, tidak membentuk spora
dan termasuk bakteri aerob. Pada pewarnaan Ziehl Neelsen maka
warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam, karena
Mycobacterium tuberculosis mempunyai lapisan dinding lipid yang
tahan terhadap asam dan asam mycolat yang mengikat warna carbol
fuchsin saat pewarnaan Ziehl Neelsen. Oleh karena itu, disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Mycobacterium tuberculosis dapat mati jika terkena cahaya
matahari langsung selama 2 jam. Karena kuman ini tidak tahan
terhadap sinar ultra violet. Mycobacterium tuberculosis mudah
menular, mempunyai daya tahan tinggi dan mampu bertahan hidup
beberapa jam ditempat gelap dan lembab. Oleh karena itu, dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dormant (tidur), tertidur lama selama
beberapa tahun. Basil yang ada dalam percikan dahak dapat bertahan
hidup 8-10 hari (Departemen Kesehatan, 2008).
2.2.3 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyakit menular,
artinya orang yang tinggal serumah dengan penderita atau kontak
erat dengan penderita yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular.
Sumber penularannya adalah pasien TB paru dengan BTA positif,
terutama pada waktu batuk atau bersin dan berbicara, dimana pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak dan umumnya penularan terjadi dalam ruangan, dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Adanya ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara keberadaan sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut. Faktor yang memungkinkan seorang terjangkit kuman TB
paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Departemen Kesehatan, 2008).
2.2.4 Faktor Resiko Tuberkulosis Paru
Faktor risiko terjadinya tuberkulosis adalah (Depkes, 2009):
a. Orang –orang yang kontak erat dengan pasien TB yang belum
diobati
b. Orang yang status gizinya rendah
c. Anak yang belum mendapat imunisasi BCG sama sekali
d. Bayi dan anak-anak yang kontak erat dengan pasien TB BTA
positif
e. Orang atau ibu hamil yang dengan HIV dan AIDS
2.2.5 Faktor yang Berpengaruh dengan Kejadian TB Paru
a. Faktor Karakteristik
1) Umur
Infeksi pada anak tidak mengenal usia, tetapi sebagian
besar kasus terjadi pada usia antara 1-4 tahun. Bayi dan anak
kecil pada kedua jenis kelamin memiliki daya tahan yang
lemah. Sampai berusia dua tahun, infeksi terutama dapat
berakibat paling fatal. Sesudah usia satu tahun sampai
sebelum masa pubertas, seorang anak yang terinfeksi dapat
berkembang menjadi TB Millier atau meningitis, atau salah
satu bentuk Tuberkulosis kronis yang lebih meluas terutama
mengenai kelenjar getah bening, tulang atau penyakit
persendian.
2) Jenis Kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi terjadi pada
jenis kelamin laki-laki, hal ini dikarenakan kebiasaan
merokok dan minum alkohol sehingga sistem pertahanan
tubuh menurun dan lebih mudah terpapar dengan agent
penyebab TB paru. Namun menurut Crofton, Horne, Miller
(2002) hampir tidak ada perbedaan jenis kelamin sampai
dengan umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada semua jenis
kelamin sama-sama memiliki daya tahan tubuh yang lemah.
3) Status Gizi
Defisiensi gizi dapat dihubungkan dengan kejadian
infeksi melalui beberapa cara, misalnya dengan memengaruhi
nafsu makan, kehilangan bahan makanan karena diare dan
muntah, memengaruhi metabolisme makanan. Gangguan
defisiensi gizi merupakan awal gangguan sistem kekebalan
tubuh. Oleh karena itu pengobatan dan pencegahan infeksi
adalah status gizi yang baik baik pada semua jenis kelamin
dan umur (Achmadi, 2005).
Menurut (Kemenkes, 2010), status gizi terdiri dari:
1. Gizi lebih, jika nilai Z score > 5
2. Gizi normal, jika nilai Z score 5
3. Gizi kurang, jika nilai Z score < 5
4) Pendidikan
Tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan
seseorang dalam menyerap dan menerima informasi.
Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi umumnya lebih mudah menyerap dan menerima
informasi khususnya masalah kesehatan dibandingkan
dengan yang memiliki pendidikan yang lebih rendah.
5) Pekerjaan
Pekerjaan memengaruhi kejadian penyakit TB paru, hal
ini dilihat seberapa sering sesorang terpapar dengan agent
penyebab TB paru yang bisa berada dimana saja termasuk
diwilayah kerja seseorang. Jenis pekerjaan juga merupakan
hal yang penting. Pekerjaan yang baik, pasti akan
menghasikan upah yang tinggi. Seseorang yang memiliki
perekonomian yang baik, maka gizi dikeluargapun akan
terpenuhi. Gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan
tubuh dan akan terhindar dari penyakit TB paru.
b. Status Imunisasi BCG
BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang
dihilangkan virulensinya, (basil ini berasal dari suatu strain TB
bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam
laboratorium). BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya
tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi
BCG, TB dapat memasuki tubuh, tetapi dalam kebanyakan
kasus daya pertahanan tubuh yang meningkat akan
mengendalikan atau membunuh bakteri tersebut (Crofton,
Home, & F, 2002). Meskipun terdapat kontroversi terhadap
pemberian vaksin BCG, terutama kemampuannya terhadap
serangan infeksi TB, ada kesepakatan bahwa pemberian vaksin
BCG dapat mencegah timbulnya komplikasi seperti radang otak
atau meningitis yang disebabkan oleh TB pada anak.
c. Faktor Lingkungan
Menurut Achmadi (2005), lingkungan rumah yang
berpengaruh terhadap kejadian TB pada umumnya. Lingkungan
rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan
berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk
penyakit TB. Hal yang perlu diperhatikan pada faktor
lingkungan kepadatan rumah ataupun lingkungan tempat
tinggal, ventilasi rumah, pencahayaan rumah, kelembapan yang
merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme,
dan ketinggian wilayah tempat tinggal. Oleh karenanya
diperlukan upaya penyehatan antara lain:
Bila kelembaban kurang dari 40% maka:
1) Menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban seperti
Humidifier (alat pengatur kelembaban udara)
2) Membuka jendela rumah
3) Menambah jumlah dan luas jendela rumah
Memodifikasi fisik bangunan (meningkatkan pencahayaan,
sirkulasi udara)
Bila kelembaban udara lebih dari 60%, maka dapat
dilakukan upaya penyehatan antara lain:
1) Memasang genteng kaca
2) Menggunakan alat untuk menurunkan kelembaban seperti
Humidifier (alat pengatur kelembaban udara)
d. Penyakit Penyerta
Beberapa penyakit penyerta seperti leukemia dan penyakit
infeksi lainnya, HIV, dan beberapa penyakit lainnya akan
melemahkan sistem pertahanan tubuh terhadap serangan kuman
M. Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sitem daya tahan tubuh sehingga jika terjadi infeksi oportunistik
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan
meningkat. Dengan demikian penularan TB paru di masyarakat
akan meningkat pula.
e. Kontak dengan penderita/ riwayat penyakit keluarga
Kedekatan dan kontak yang terus menerus merupakan
penyebab utama dan resiko transmisi infeksi tersebut dan orang-
orang yang tinggal dengan serumah dengan penderita
mempunyai resiko lebih tinggi dari orang dengan kontak biasa.
Percikan dahak penderita merupakan media sumber penularan
yang penting. Bakteri penyebab TB paru dapat menyebar ke
udara pada saat penderita berbicara, batuk atau bersin sehingga
orang yang berada disekitar penderita dapat tertular karena
mengirup udara yang mengandung basil tuberkulosis. Oleh
karenanya penderita harus menutup mulut bila batuk atau bersin,
jangan membuang dahak di sembarangan tempat.
2.2.6 Patofisiologi
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak
tidak menular. Pada TBC anak, kuman berkembang biak di kelenjar
paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar, tidak terbuka.
Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan
membuat lubang untuk keluar melalui jalan napas. Pada saat batuk,
percikan ludahnya mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap
oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Boediman & Wirjodiarjo,
2008).
Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau
langsung, seperti saat batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit
ini diantaranya adalah sebagai berikut: tuberkulosis paru primer dan
tuberculosis post primer. Tuberkulosis primer sering terjadi pada
anak, proses ini dapat dimulai dari proses yang disebut droplet
nuklei, yaitu statu proses terinfeksinya partikel yang mengandung
dua atau lebih kuman tuberculosis yang hidup dan terhirup serta
diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan
dilatasi pada kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar
fibrin serta makrofag ke dalam alveolar spase. Tuberculosis post
primer, dimana penyakit ini terjadi pada pasien yang sebelumnya
terinfeksi oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis (Hidayat, 2008).
Sebagian besar infeksi tuberkulosis menyebar melalui udara
melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme
basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi. Tuberkulosis
adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas yang
diperantarai oleh sel dengan sel elektor berupa makrofag dan limfosit
(biasanya sel T) sebagai sel imuniresponsif. Tipe imunitas ini
melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian yang terinfeksi oleh
limfosit dan limfokin mereka, responya berupa reaksi hipersentifitas
selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolar
membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit digantikan
oleh makropag. Alveoli yang terlibat mengalami konsolidasi dan
timbal pneumobia akut, yang dapat sembuh sendiri sehingga tidak
terdapat sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus dengan bakteri di
dalam sel-sel (Price dan Wilson, 2006).
Drainase limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah
bening regional dan infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel
epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis sel menyebabkan
gambaran keju (nekrosis gaseosa), jeringan grabulasi yang
disekitarnya pada sel-sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih berserat,
membentuk jatingan parut kolagenosa, menghasilkan kapsul yang
mengeliligi tuberkel. Lesi primer pada paru dinamakan fokus ghon,
dan kombinasi antara kelenjar getah bening yang terlibat dengan lesi
primer disebut kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami
kalsifikasi dapat terlihat dalam pemeriksaan foto thorax rutin pada
seseorang yang sehat (Price dan Wilson, 2006).
Tuberkulosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien
menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan
berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk menetal.
Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat berkembang
ke arah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis.
Tuberculosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada anak
seperti perilaku tidak biasa dan perubahan status mental, demam ,
anorexia dan penurunan berat badan. Basil tuberkulosis dapat
bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer et al.,
2001).
Menurut Admin (2007) patogenesis penyakit tuberkulosis pada
anak terdiri atas:
2. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar
pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup
sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi
dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa
kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua
lobus, 70% terletak subpelura. Fokus primer dapat
mengalami penyembuhan sempurna, kalsifikasi atau
penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif
menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari
banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya
tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya
tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman TBC2. Meskipun demikian, ada beberapa kuman
akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam
beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi
penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan.
3. TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah
beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer,
misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
TBC pasca primer adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
2.2.7 Pathway Mycobacterium Tuberculosis

Masuk traktus respiratorius

Tinggal di alveoli

MK: Resiko Pertahanan primer tidak


tinggi infeksi adekuat

Reaksi inflamasi Respon Gangguan


imun termoregulasi

Kerusakan membran alveolar


Pembentuka MK:
n sputum Hipertermi
Gangguan respirasi

Ketidakseimban Penumpuka
Sesak nafas
gan suplai dan n secret
kebutuhan
oksigen Sianosis
MK: Bersihan
jalan nafas tidak
MK: Intoleransi Hipoksia efektif
aktivitas
Pelepasan Respon tubuh menurun
mediator kimia
seperti histamin,
Batuk refleks muntah
bradikinin dan
prostaglandin
MK: Gangguan
keseimbangan nutrisi
MK: Nyeri

2.2.8 Manifestasi Klinis


Menurut (Boediman & Wirjodiarjo, 2008) gejala TBC pada
anak tidak serta-merta muncul. Pada saat-saat awal, 4-8 minggu
setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit. Beberapa bulan
kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk
sedikit. Tahap berikutnya (3 - 9 bulan setelah infeksi), anak tidak
nafsu makan, kurang gairah, dan berat badan turun tanpa sebab.
Terdapat pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru
muncul gambaran vlek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua,
apakah akan muncul gejala TBC yang benar-benar atau sama sekali
tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya
tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti
sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-
paru lagi, melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang
berbahaya dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi
penyebabnya, Penyebab TBC adalah kuman TBC (mycobacterium
tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC (dewasa)
tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan
pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu
di media. Mendeteksi TBC anak sangat sulit, karena tidak
mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit.
Diperiksa dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat
diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini mungkin. Yang
harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah riwayat
penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC
dewasa. Jika ini ada, kemungkinan anak positif TBC (Boediman &
Wirjodiarjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo,
2008):
1. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil.
Atau reaksi BCG sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya
seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus dicurigai
TBC, meskipun jarang.
2. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan
berat badan setiap bulan berkurang.
3. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi.
Kalaupun ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam
berdarah.
4. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan
alergi. Kalau tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru
dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena TBC.
5. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa
ditengarai sebagai kemungkinan gejala TBC, yang sekarang
sudah jarang adalah adanya pembesaran kelenjar di seluruh
tubuh, misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.
6. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada
kemerahan yang khas.
7. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan
tuberkulin (Mantoux Test/MT) dan foto. Pada anak normal,
Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi,
pada anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya
biasanya negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap MT.
Skrining tuberkulosis pada anak antara lain: Sesungguhnya
mendiagnosa tuberkulosis pada anak, terlebih pada anak-anak yang
masih sangat kecil, sangat sulit. Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak
bukan adalah dengan menemukan adanya Mycobacterium
Tuberculosis yang hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau
orang yang diduga TBC. Caranya adalah dengan melakukan tes
dahak. Pada orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan. Tapi pada
anak-anak karena mereka, apalagi yang masih usia balita, belum
mampu mengeluarkan dahak, karenanya, diperlukan alternatif lain
untuk mendiagnosa TB pada anak.
Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak
seringkali tidak spesifik (khas). Cukup banyak anak
yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya tidak,
atau underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB
tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang
tepat. Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan hanya
dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif, karena
tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-
satunya cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB,
adalah melalui uji Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya
menunjukkan apakah seseorang terinfeksi Mycobacterium
Tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk menegakkan
diagnosa atas penyakit TB. Sebab, tidak semua orang yang
terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TB.
Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8
minggu setelah terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes Mantoux
mulai bereaksi. Ketika pada saat terinfeksi daya tahan tubuh orang
tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi
dalam tubuh. Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri
tidak aktif tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan sama sekali tidak
menimbulkan gejala, atau pada orang lainnya lagi, bakteri tetap aktif
dan orang tersebut menjadi sakit TB.
Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil
(0,1 ml) kuman TBC, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke
dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan bawah. Lalu,
48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya
untuk diukur, yang diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak
sakit) yang terbentuk, bukan warna kemerahannya
(erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan
centimeter. Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus
ditulis sebagai 0 mm.
Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila
diameter indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10
mm. Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa
faktor resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15
mm atau lebih. Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang
diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat. Pengecualian lainnya
adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah
dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif
palsu (anergi), artinya hasil negatif padahal sesungguhnya terinfeksi
kuman TB. Anergi dapat terjadi apabila anak mengalami malnutrisi
berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi), sistem
imun tubuhnya sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-
obat tertentu, baru saja divaksinasi dengan virus hidup, sedang
terkena infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes
Mantoux yang kurang benar. Apabila dicurigai terjadi anergi, maka
tes harus diulang.
2.2.9 Komplikasi
Menurut (Depkes, 2002), merupakan komplikasi yang dapat
terjadi pada penderita tuberkulosis paru stadium lanjut yaitu:
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
karena tersumbatnya jalan napas.
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps
dari lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)
pada paru.
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, dan ginjal.
2.2.10 Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur sputum: positif untuk mycobacterium pada tahap akhir
penyakit.
2. Ziehl Neelsen: (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk
usapan cairan darah) positif untuk basil asam cepat.
3. Test kulit: (PPD, Mantoux, potongan vollmer); reaksi positif
(area durasi 10 mm) terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra
dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti
body tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif.
Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti
bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan
oleh mycobacterium yang berbeda.
4. Elisa/Western Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
5. Foto thorax; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru
atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan,
perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area
fibrosa.
6. Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster;
urien dan cairan serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk
Mycobacterium Tuberculosis.
7. Biopsi jarum pada jarinagn paru; positif untuk granula TB;
adanya sel raksasa menunjukan nekrosis.
8. Elektrolit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan beratnya.
ex; Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada
TB paru luas. GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat
dan kerusakan sisa pada paru.
9. Pemeriksaan fungsi pada paru; penurunan kapasitas vital,
peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu dan
kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder
terhadap infiltrasi parenkim / fibrosis, kehilangan jaringan paru
dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).
2.2.11 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan anak (Depkes, 2013):
a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat
dan untuk mencegah terjadinya resistan obat dan untuk
membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
b. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat
jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemungkinan kekambuhan
c. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
1) Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit
2) Tahap lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung
hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
pemeriksaan. Selama tahap intensif dan lanjutan OAT
diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan
minum obat yang dapat sering terjadi jika obat tidak diminum
setiap hari.
d. Panduan OAT untuk anak yang digunakan oleh program nasional
pengendalian tuberkulosis di Indonesia adalah:
a) Kategori anak dengan 3 macam obat : 2HRZ/4HR
b) Kategori anak dengan 4 macam obat : 2HRZE(S)/4-10HR
e. Panduan OAT kategori anak diberikan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Obat OAT-KDT ini
terdiri dari kombinasi 2atau 3 jenis obat dalam 1 tablet, dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.
f. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT
kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT-KDT
2.2.12 Pencegahan
1. Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya
diberikan sejak anak masih kecil agar terhindar dari penyakit
tersebut.
2. Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus
segera diobati sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang
lebih berat dan terjadi penularan.
3. Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
4. Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
5. Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan
tidak melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat
pencegah dengan dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama
rumah harus baik ventilasi udaranya dimana sinar matahari pagi
masuk ke dalam rumah.
6. Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak
meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan
menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain
yang dianjurkan dokter dan untuk mengurangi aktivitas kerja
serta menenangkan pikiran.

2.3 Konsep Hubungan Status Imunisasi BCG dengan Kejadian


Tuberkulosis
Pemberian imunisasi BCG merupakan bagian dari faktor imunisasi
yang dianalisa untuk memprediksi kejadian TB paru pada anak. Pemberian
imunisasi BCG dapat melindungi anak dari meningitis TB dan TB Milier
dengan derajat proteksi sekitar 86% (Murniasih, Erni, & Livana, 2007).
Pada hal ini menimbulkan hipotesis bahwa BCG melindungi terhadap
penyebaran bakteri secara hematogen, tetapi tidak mampu membatasi
pertumbuhan fokus yang terlokalisasi seperti pada TB Paru.
Anak yang sakit tuberkulosis sebagian besar sudah mendapatkan
imunisasi BCG karena merupakan imunisasi yang wajib pada anak.
Pemberian imunisasi BCG saat ini berdasarkan jadwal imunisasi IDAI 2012
diberikan pada umur 2-3 bulan (IDAI, 2012).
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi BCG diperoleh dari anak yang
bertempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai, orang tua
dengan tingkat pendidikan rendah (antara SD-SMP), orang tua yang tidak
tahu dengan informasi imunisasi BCG dan orang tua yang tidak ingin
anaknya diimunisasi. Anak yang sudah mendapatkan imunisasi BCG dan
sakit tuberkulosis besar kemungkinan dipengaruhi oleh faktor risiko lain
yang menyebabkan anak terinfeksi dan menjadi sakit. Faktor-faktor risiko
tuberkulosis antara lain kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa yang
erat, status gizi anak yang rendah sehingga sistem imun tubuh tidak
maksimal, kepadatan hunian yang memungkinkan penyakit infeksi menular
dengan cepat, kelembapan udara yang tinggi yang membuat bakteri
tuberkulosis berkembang dengan baik dan keadaan lingkungan yang tidak
bersih (Rhesa, 2014).
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
4.1 Kerangka Konsep

Faktor Kejadian TB Paru Faktor


Penyebab Pada Anak Usia 0-14 Karakteristik
Langsung Tahun
1. Umur
1. Adanya basil TB 2. Jenis Kelamin
2. Penderita TB yang 3. Status Gizi
Faktor Lain
infeksius/sumber 4. Pendidikan
penularan 1. Status Imunisasi BCG 5. Pekerjaan
2. Lingkungan
3. Penyakit penyerta
4. Kontak dengan
penderita/riwayat penyakit
keluarga

Keterangan:
Variabel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :
Faktor Predisposisi :

4.2 Hipotesis Penelitian


Ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi BCG dengan
kejadian tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Singotrunan Kabupaten Banyuwangi tahun 2016.
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh kebenaran ilmu


pengetahun dan pemecahan masalah dengan menggunakan metode ilmiah
(Notoadmojo, 2010).
4.1 Desain dan Jenis Penelitian
Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun untuk
menuntun peneliti agar memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian
serta sebagai pedoman untuk mencapai tujuan penelitian (Sugiyono, 2008).
Penelitian ini menggunakan desain Case Control yang bersifat
Retrospective yaitu desain penelitian yang bertujuan untuk menentukan faktor
apakah yang terjadi sebelum atau bersama-sama tanpa adanya suatu intervensi
dari peneliti (Nursalam, 2008).
Jenis penelitian adalah strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang
telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman peneliti selama proses
penelitian (Nursalam, 2013).
Jenis penelitian yang digunakan adalah Non-Eksperimental yaitu,
penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variable)
subjek penelitian menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi
(intervensi) peneliti (Notoadmojo, 2010).

4.2 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan tahapan suatu penelitian yang disajikan dalam

alur penelitian (Nursalam, 2008). Adapun kerangka kerja pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:


Populasi: Semua anak usia 0-14 tahun yang menjalani pengobatan di
Puskesmas Singotrunan tahun 2016 sejumlah 50 orang

Purposive Sampling

Sampel : Sebagian anak usia 0-14 tahun yang menderita dan tidak menderita
TB paru di Puskesmas Singotrunan tahun 2016 sejumlah 40 orang
.

Desain penelitian : Case Control

Pemberian Informed Concent

Pengumpulan Data : Lembar Kuesioner

Pengolahan Data dan Analisa Data : Coding, Scoring, Tabulating

Uji statistik: Chi-Square

Hasil Penelitian

Laporan Peneitian

Bagan 4.1 Kerangka Kerja hubungan antara status imunisasi BCG dengan
kejadian tuberkulosis paru pada anak usia 0-14 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Singotrunan Kabupaten Banyuwangi tahun 2016

4.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling


4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi merupakan suatu wilayah yang terdiri atas subjek atau
objek yang memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011).
Populasi dalam penelitian ini adalah Semua anak usia 0-14 tahun
yang menjalani pengobatan di Puskesmas Singotrunan tahun 2016
sejumlah 50 orang.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian populasi yang diambil untuk diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmojo, 2010).
Sampel dalam penelitian ini adalah Sebagian anak usia 0-14 tahun
yang menderita dan tidak menderita TB paru di Puskesmas
Singotrunan tahun 2016 sejumlah 40 orang dengan pembagian 20
orang menderita TB paru (kelompok kasus) dan 20 orang tidak
menderita TB paru (kelompok kontrol)
4.3.3 Teknik Sampling
Teknik sampling yaitu proses seleksi sampel dari populasi yang
ada dan digunakan di dalam penelitian, sehingga jumlah sampel akan
mewakili keseluruhan dari populasi (Hidayat, 2007).
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara
memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang keinginan
peneliti (Nursalam, 2013).
Rumus penentuan sampel:
n = N.z2.p.q
d2 (N-1)+z2.p.q

n = 50 (1,96)2. 0,5. 0,25


(0,05)2 (50-1) + (1,96)2.0,5.0,25

n = 50 (3,8416). 0,5. 0,25


(0,0025)(49)+(3,8416) 0,5 . 0,25

n = 192,08 . 0,125
0,1225+0,4802
n = 24, 01
0,6027

n = 39,83
n = 40 responden
Keterangan:
n = perkiraan besar sampel
N = perkiraan besar populasi
z = nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)
p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q = 1 – p (100% - p)
d = tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)
Dalam pengambilan sampel, terdapat kriteria yaitu kriteria inklusi dan
eksklusi dimana kriteria tersebut menentukan dapat tidaknya sampel
digunakan (Aziz, 2010).
1) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek peneliti dari suatu
populasi target yang akan diteliti (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi
kelompok kasus dalam penelitian ini adalah anak usia 0-14 tahun yang
didiagnosa TB paru berdasarkan rekam medis dan menjalani
pengobatan di Puskesmas Singotrunan Kabupaten Banyuwangi dan
bersedia menjadi subyek penelitian. Sedangkan kriteria inklusi
kelompok kontrol dari penelitian ini adalah anak usia 0-14 tahun yang
tidak didiagnosa TB paru berdasarkan rekam medis dan menjalani
pengobatan di Puskesmas Singotrunan Kabupaten Banyuwangi dan
bersedia menjadi subyek penelitian.
2) Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek
yang memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab (Nursalam,
2008). Kriteria eksklusi kelompok kasus dan kelompok kontrol dalam
penelitian ini adalah anak usia 0-14 tahun yang tidak memiliki KMS.

4.4 Indentifikasi Variabel


Variabel merupakan karakteristik yang memberikan perbedaan nilai
terhadap sesuatu (Nursalam, 2013).
4.4.1 Variabel Bebas (Independent Variabel)
Variabel yang nilainya mempengaruhi variabel lain (Nursalam,
2013). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah status imunisasi
BCG.
4.4.2 Variabel Terikat (Dependent Variabel)
Variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel lain (Nursalam,
2013). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian tuberkulosis
paru pada anak usia 0-14 tahun.

4.5 Definisi Operasional


Definisi Operasional merupakan batasan variabel yang diukur oleh
variabel yang bersangkutan (Notoadmojo, 2010).
Tabel 4.1 Definisi Operasional Hubungan Antara Status Imunisasi BCG Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Pada Anak Usia 0-14 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Singotrunan
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2016.
Variabel Definisi operasional Indikator Alat Skala Skor
Ukur
Variabel Pemberian imunisasi 1) KMS KMS Nominal -
Independen berupa vaksin BCG 2) Tanda Scar
: pada bayi usia 0-11 bekas
Status bulan di wilayah imunisasi
Imunisasi kerjanya selama pada lengan
BCG periode Januari s/d kanan atas
Desember
Variabel Anak usia 0-14 tahun 1) Rekam Rekam Nominal -
Dependen : yang terinfeksi bakteri Medik Medik
Kejadian Mycobacterium
Tuberkulos Tuberculosis
is Paru
Pada Anak
Usia 0-14
Tahun

4.6 Penyusunan Instrumen dan Pengumpulan Data


4.6.1 Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data
sesuai dengan tujuan dari penelitian (Notoadmojo, 2010). Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah KMS dan Rekam Medik.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
KMS dan Rekam Medik. KMS digunakan untuk mengetahui apakah
anak sudah mendapatkan imunisasi BCG atau belum. Sedangkan
rekam medik digunakan untuk mengetahui apakah anak terdiagnosa
tuberkulosis atau tidak.
4.6.2 Prosedur Pengumpulan Data
1) Persiapan
Peneliti menggunakan ijin ke institusi terkait kemudian peneliti
mengajukan surat permohonan ijin kepada Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik Banyuwangi untuk Puskesmas Singotrunan Kabupaten
Banyuwangi. Setelah mendapatkan ijin peneliti melakukan
pengambilan data di Puskesmas Singotrunan Kabupaten
Banyuwangi untuk melakukan studi pendahuluan berupa
pengambilan data.
2) Pelaksanaan
Peneliti melakukan pendekatan kepada orang tua responden untuk
mendapat persetujuan sebagai responden penelitian. Setelah
mendapat ijin dari orang tua responden, peneliti memberikan
lembar persetujuan (Informed Concent) responden untuk
ditandatangani. Kemudian peneliti meminta KMS dan rekammedik
responden kepada orang tua responden untuk diidentifikasi
mengenai variabel yang terkait.
3) Pelaporan
Peneliti melakukan pengolahan data dan analisis data. Setelah itu,
peneliti menarik kesimpulan atau generalisasi.
4.6.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
1) Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Singotrunan
Kabupaten Banyuwangi.
2) Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016
4.6.4 Analisa Data
1) Coding
Coding adalah pemberian kode pada data dalam bentuk angka
(Nursalam, 2013). Dalam penelitian ini, anak yang sakit TB diberi
kode 1 dan anak yang tidak sakit TB diberi kode 2, sedangkan anak
yang mendapat imunisasi BCG diberi kode 1 dan anak yang tidak
mendapatkan imunisasi BCG diberi kode 2.
2) Scoring
Data yang didapat diberi skor sesuai dengan skala nilai telah
ditentukan. Dalam penelitian ini, instrument yang digunakan tidak
membutuhkan scoring.
3) Tabulating
Tabulasi adalah penyusunan data dalam bentuk tabel-tabel
menggunakan tabel induk (master tabel) dan tabel frekuensi. Tabel
induk berisi semua data yang tersedia secara terperinci. Tabel ini
digunakan sebagai dasar tabel untuk membuat tabel lain dengan
singkat (Hidayat, 2007).
4.6.5 Teknik Analisa Data
1) Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan untuk melihat karakteristik dari
masing-masing variable yang diteliti, baik variable dependen maupun
independen dengan tabel frekuensi.
2) Analisa Bivariat
Analisa bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antar
setiap variable independent dengan variable dependent dengan
menggunakan uji Chi-Square. Untuk interpretasi hasil menggunakan
derajat kemaknaan (α) sebesar 5% dan derajat kebebasan (df) (b-1) (k-
1) dengan catatan jika x2 > x2 α, maka sukses menolak hipotesis (H0),
artinya ada hubungan yang bermakna antara variabel terikat dengan
variabel bebas. Jika x2 ≤ x2 α, maka gagal menolak hipotesis (H0),
artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel terikat
dengan variabel bebas.
Rumus :
(𝑜𝑖𝑗 − 𝑒𝑖𝑗)
𝑥 2 = Ʃ𝑖𝑗
𝑒𝑖𝑗
Keterangan :
𝑥2 = Koefisien Chi-Square
𝑜𝑖𝑗 = Data Pengamatan
𝑒𝑖𝑗 = Nilai pengamatan yang diharapkan
Cara mencari 𝑒𝑖𝑗:
(𝑛. 𝑗)(𝑛. 𝑖)
𝑒𝑖𝑗 =
𝑛
Keterangan :
𝑛. 𝑗 = Ʃ kolom (n) pada sel yang bersangkutan
𝑛. 𝑖 = Ʃ baris (n) pada sel yang bersangkutan
Tabel :
Tabel 4.2 Tabel Kontingensi Chi-Square 2x2
TB Paru
Sakit TB Tdk sakit TB Ʃ
Imunisasi BCG
Imunisasi A B A+B
Tdk Imunisasi C D C+D

Ʃ A+C B+D N

4.7 Etika dalam Penelitian


Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan rekomendasi dari PPPM
STIKes Banyuwangi, permintaan izin Kepala Puskesmas Singotrunan
Kabupaten Banyuwangi untuk permohonan data awal penelitian untuk
mendapatkan persetujuan tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan
barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika, antara
lain:
4.7.1 Informed Concent (Persetujuan)
Informasi yang harus diberikan pada subjek secara lengkap tentang
tujuan penelitian yang akan dilaksanakan dan responden memiliki hak
untuk berpartisipasi atau menolak menjadi responden (Nursalam, 2013).
Informed concent diberikan sebelum penelitian dilaksanakan, subjek diberi
tahu tentang maksud dan tujuan peneliti. Jika responden bersedia, mereka
menandatangani lembar persetujuan sehingga peneliti bebas dari tanggung
gugat.
4.7.2 Anonimity (Tanpa Nama)
Subjek tidak perlu mencantumkan nama pada lembar pengumpulan
data dan cukup menulis nomor atau kode untuk menjamin kerahasiaan
identitasnya sehingga privasi responden tetap terjaga.
4.7.3 Confidentialy (Kerahasiaan)
Semua informasi yang diberikan kepada subjek dijamin
kerahasiannya oleh peneliti dan hanya data kelompok tertentu saja yang
akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset (Nursalam, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Apriliasari, R., Hestiningsih, R., Martini, & Udiyono, A. (2018). Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian TB Paru pada Anak. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 6, 2.
Aziz. (2010). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta:
Salemba Medika.
Boediman, & Wirjodiarjo. (2008). Anatomi dan Fisiologi Sistem Respiratori. In
Buku Ajar Respirologi Anak (Edisi 1, pp. 1–44). Jakarta.
Crofton, Home, J., & F, M. (2002). Tuberkulosis Klinis (2nd ed). Jakarta: Widya
Medika.
Departemen Kesehatan, R. (2008). Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta:
Depkes RI Jakarta.
Depkes, R. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI Jakarta.
Depkes, R. (2008). Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta.
Depkes, R. (2009). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan
Pertama. Jakarta: Depkes RI Jakarta.
Depkes, R. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Goverments, U. C. and L. (2016). Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang
Perlu Diketahui Pemerintah Daerah. Jakarta. Retrieved from
www.uclg.aspac.org
Hidayat. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat. (2008). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes, R. (2010). Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (p. 40).
Kemenkes, R. (2018). Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017. (R.
Kurniawan, Ed.). Jakarta.
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius.
Murniasih, Erni, & Livana. (2007). Hubungan Pemberian Imunisasi BCG dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru pada Anak Balita di Balai Pengobatan Penyakit
Paru-Paru Ambarawa Tahun 2007. Jurnal Kesehatan. Retrieved from
http://www.skripsistikes.wordpress.com
Notoadmojo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Rineka
Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis
Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Proverawati, & Andhini. (2010). Imunisasi dan Vaksinasi. Yogyakarta: Nuha
Offset.
Ranuh, D. (2011). Buku Imunisasi Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi IDAI.
Rosandali, F., Aziz, R., & Suharti, N. (2016). Hubungan Antara Pembentukan
Scar Vaksin BCG dan Kejadian Infeksi Tuberkulosis. Jurnal Kesehatan
Andalan, Volume 5(Nomor 2), 382.
Sari, P. (2000). Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI, volume 2(Nomor 1), 43–47.
Smeltzer, Suzzane, C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 Alih Bahasa H. Y Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Yogyakarta: EGC.
Sri Lanka Medical, A. (2011). Guidelines and Information on Vaccines (4th ed).
Jurnal E-Clinic (ECI), Volume 4(Nomor 2).
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
WHO. (2018). Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (N.
Kurniasih, Ed.). Jakarta.
Lampiran 1
Lamp. 1 Lembar KMS
Lampiran 2
Lamp. 2 Rekam Medik
Lampiran 3
Lamp. 3 Analisi Statistik Chi-Square Menggunakan SPSS Versi 25

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Imunisasi BCG * 40 100.0% 0 0.0% 40 100.0%
Kejadian TB

Imunisasi BCG * Kejadian TB Crosstabulation


Count
Kejadian TB Total
Ya Tidak
Imunisasi BCG Ya 15 19 34
Tidak 5 1 6
Total 20 20 40

Chi-Square Testsc
Value df Asymptotic Exact Exact Point
Significanc Sig. (2- Sig. (1- Probability
e (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 3.137a 1 .077 .182 .091
Continuity Correctionb 1.765 1 .184
Likelihood Ratio 3.383 1 .066 .182 .091
Fisher's Exact Test .182 .091
Linear-by-Linear 3.059d 1 .080 .182 .091 .081
Association
N of Valid Cases 40
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,00.
b. Computed only for a 2x2 table
c. For 2x2 crosstabulation, exact results are provided instead of Monte Carlo results.
d. The standardized statistic is -1,749.
REVISI

Anda mungkin juga menyukai