Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA

PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN

Untuk memenuhi tugas Gadar Trauma


Dibimbing oleh:
Bapak Marsaid S.Kep, Ns, M.Kep

Oleh:
Izzatul Maulidyah
NIM. 1601470050

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG

AGUSTUS 2019
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA
PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN

A. KonsepDasarPenyakit
1. Definisi trauma abdomen
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan ilium.5
Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering
dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal
dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding
anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya
berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah
setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan
tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum
inguinale.5,13 Daerah-daerah itu adalah:
1) hypocondriaca dextra
2) epigastrica
3) hypocondriaca sinistra
4) lateralis dextra
5) umbilicalis
6) lateralis sinistra
7) inguinalis dextra
8) pubica
9) inguinalis sinistra
Gambar 1. Bidang bayang pembagian abdomen

Proyeksi letak organ abdomen yaitu:


a. Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung empedu,
sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan
kelenjar suprarenal kanan.
b. epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian hepar.
c. hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas,
fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal
kiri.
d. lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan,
sebagian duodenum dan jejenum.
e. Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
f. Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
g. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan
ureter kanan.
h. Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
i. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.

Inervasi dinding abdomen oleh nervi (nn) torakalis ke-8 sampai dengan 12.
Nervus (n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus, n.
torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup
dinding abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang
menutup pelvis sangat sedikit saraf somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis
pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Peritoneum diafragmatika pars sentralis
disarafi nervi spinalis C5 mengakibatkan iritasi pars sentralis diafragma
mempunyai nyeri alih di bahu, yang disebut Kehr sign.

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma


tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,
2001).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).

2. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor,
kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang
menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul
lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak,
trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.Trauma pada
abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau
pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga,
benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari
50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar
didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga
diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan
trauma pada organ internal diabdomen.
3. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi.
Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan
perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya
dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga
peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi
b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen
menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar,ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
4. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu
mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan
trauma kompresi ataupuncrush injury terhadap organ viscera. Hal ini
dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa
mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya
uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis.
Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya
adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat
belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan
dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa
mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama
antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti
rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian
ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah
orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami
laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah
lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan,
15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan
mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong.
Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi
kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek
tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen
yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai
hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka
tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh
jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun
kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan
tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon
(40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding
abdomen dan trauma pada isi abdomen.
a. Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau
terjadi karena trauma penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth &
Brunner (2002) terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera
pada dinding abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli
bedah.
3) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri
diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi
(Sjamsuhidayat, 1998).

5. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor-
faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang
terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk
menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan
dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga
karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma
juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua
keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa
jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain
yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif
terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra
abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya
tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya
tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun
organ berongga.
b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
c) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan
gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler
6. Komplikasi
a) Trombosis Vena
b) Emboli Pulmonar
c) Stress ulserasi dan perdarahan
d) Pneumonia
e) Tekanan ulserasi
f) Atelektasis
g) Sepsis
7. Pemeriksaan diagnostik
a. Trauma Tumpul
1. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98
% sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan
oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan
trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai
dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG
ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya
indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain
adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang
lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik
terbuka atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang
terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik
dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma
pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya
aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu
yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada
darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan
1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan
tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal ,serat maupun empedu. (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 149-150)Test (+) pada trauma tumpul
bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,
eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+)
untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma
tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi
awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus
di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal
yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan
cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat
digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang
secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik
maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan
indikasi DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 150)
a) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa
untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit
di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
b. Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma
dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan
CT scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL
pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik
(kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang
tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL
maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun
DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-
mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh
ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun
intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
c. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah
tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara
bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen
diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk
untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax,
ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada
pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka
masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan
jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen
foto abdomen tidur.

3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus


a) Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus
dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila
kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi
digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon
dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc
kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan
projeksi oblik
dengan sedikit tarikan pada pelvis.
b) Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan
sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300
cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas
pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau
sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan,
atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan
foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT
Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk
mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang
pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 148)
c) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras
dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini
dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi
bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau
dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang
disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila
akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu
sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal,
thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun
parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi
keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan +
kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang
mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
d) Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya
retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon
descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak
terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan
dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto
untuk upper GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan
kontras harus dilakukan.(American College of Surgeon
Committee of Trauma,2004:149).

d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
4) Koagulasi : PT,PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7) CT Scan
8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
9) Scan limfa
10) Ultrasonogram
11) Peningkatan serum atau amylase urine
12) Peningkatan glucose serum
13) Peningkatan lipase serum
14) DPL (+) untuk amylase
15) Penigkatan WBC
16) Peningkatan amylase serum
17) Elektrolit serum
18) AGD
(ENA,2000:49-55)

8. Penatalaksanaan gawat darurat


a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman,
luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal
dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka
segera buka dan bersihkan jalan napas.
1. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat
dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan
tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing
lainnya.
2. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk
memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat
tidaknya pernapasan).
3. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-
sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika
tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera.
Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30
kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau
sehingga tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban
steril.
4. Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.
b. Hospital
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli
bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk
menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada
luka masuk dan luka keluar yang berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rontgen
b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara
intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk
menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing, contohnya pada :
- fraktur pelvis
- trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus
seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan
pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita
dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah
diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001).

B. KonsepAsuhanKeperawatan
1. Primary survey
a) Airway:
Memastikankepatenanjalannapastanpaadanyasumbatanatauobstruksi,
b) Breathing: memastikaniramanapas normal ataucepat, polanapasteratur,
tidakada dyspnea, tidakadanapascupinghidung,dansuaranapasvesikuler,
c) Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah
normal bila terjadi syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah
perdarahan dan lokasi, capillary refill >2detik apabila ada
perdarahan.Penurunankesadaran.
d) Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila
adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis.
e) Exposure/Environment: frakturterbuka di femur dekstra,
lukalaserasipadawajahdantangan, memarpada abdomen,
perutsemakinmenegang.
2. Secondary survey
a. FokusAsesment

Kepala:Wajah, kulitkepaladantulangtengkorak, mata, telinga, danmulut.


Temuanyang dianggapkritis:
Pupil tidaksimetris, midriasistidakadaresponterhadapcahaya ?
Patahtulangtengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahanataukotoran di dalammulut?
Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
Battle signdanracoon eyes?
Leher: lihatbagiandepan, trachea, vena jugularis, otot-
ototleherbagianbelakang..Temuan yang dianggapkritis: Distensi vena
jugularis, deviasitrakeaatautugging,emfisemakulit
Dada: Lihattampilanfisik, tulangrusuk, penggunaanotot-ototasesoris,
pergerakandada, suaraparu. Temuan yang dianggapkritis: Luka terbuka,
sucking chest wound, Flail chestdengangerakandadaparadoksikal,
suaraparuhilangataumelemah, gerakandadasangatlemahdenganpolanapas
yang tidakadekuat (disertaidenganpenggunaaanotot-ototasesoris).
Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan
auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan yang dianggap
kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi
dullness.
Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasidannyeritekan. Temuan yang
dianggapkritis: Pelvis yang lunak,
nyeritekandantidakstabilsertapembengkakan di daerahpubik
Extremitas: ditemukanfrakturterbuka di femur dextra da
lukalaserasipadatangan. Anggotagerakatasdanbawah, denyutnadi,
fungsimotorik, fungsisensorik.Temuan yang dianggapkritis: Nyeri, melemah
atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi
sensorik dan motorik.
Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan
tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma
Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.
b. AMPLE
Allergy : Tidakada data
Medication : Tidakada data
Past Medical History : Tidakada data
Last Meal : Tidakada data
Event : Seoranglaki-laki 34 tahun di bawake UGD 2 jam yang
lalukarenakecelakaan,
pasienterseretmobildanterlempardarimotornya.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada daerah abdomen:
Inspeksi: Frakturterbukadi femur dekstra, lukalaserasipadawajahdantangan,
memarpada abdomen, perutsemakinmenegang.
Auskultasi: Bisingusus
Perkusi: Bunyiredupbilaadahemoperitoneum.
Palpasi: kekauandanspasmepadaperutkarenaakumulasidarahataucairan.

ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah


1 S: Kerusakanataurobekanvaskulerakibat PK
O : Frakturterbuka di femur trauma perdarahan
dekstra, memarpada
abdomen, Perdarahan
perutsemakinmenegang,
penurunankesadaran,
riwayatjatuhdanterseretmobil.
2 S: Spasmeotot, fraktur Nyeriakut
O: Frakturterbuka,
memarpada abdomen Pelepasan mediator nyeri

Interpretasinyeri
Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA KEPERAWATAN


1 PK Setelah dilakukan tindakan keperawatan Shock prevention
Perdarahanberhubung selama 1 x 10-15 menit, diharapkan 1. Monitoring status sirkulasi (Tekanan darah, warna kulit,
andengankerusakanv perdarahan berukurang atau teratasi Suhu, bunyi jantung, irama dan frekuensi jantung,
askuler dengan kriteria: keberadaan dan kualitas nadi perifer, CRT)
Respiratory Status: Airway Patency 2. Monitoring tanda-tanda inadekuat oksigenasi jaringan
1. RR dalam batas normal 3. Monitor perubahanstatus mental
2. Irama pernapasan teratur 4. Monitoring temperature dan status respiratory
3. Tidak ada benda asing atau cairan di 5. Monitoring intake dan output
dalam rongga mulut 6. Monitoring nilai laboratorium, khususnya hemoglobin dan
hematokrit, clotting profile, AGD, dan nilai elektrolit.
Circulation Status 7. Tes urin untuk darah, glukosa dan protein.
1. Nadi dalam batas normal 8. Monitoring distensi abdomen
2. Tekanan vena central normal 9. Monitor respon awal kompensasi kehilangan cairan:
3. Arteri karotis menguat peningkatan HR, penurunan TD, ortostatik hipotensi,
4. Saturasi oksigen normal penurunan urin output, penurunan CRT, pucat dan kulit
5. Urin output dalam batas normal 1-2 dingin, dan diaphoresis.
cc/24 jam 10. Tempatkan pasien pada posisi supinasi dengan kaki
elevasi untuk meningkatkan preload, sesuai kebutuhan.
11. Pertahankan kepatenan jalan napas
12. Berikan cairan intravena, berikan RBC dan atau plasma
Blood loss severity jika diperlukan.
1. Perdarahan yang 13. Berikan oksigen
terlihatberkurangatautidakada.
2. Tidakadadistensi abdomen
3. Tekanandarahdalambatas normal
Bleeding Reduction
1. Identifikasipenyebabperdarahan
2. Beripekanananataubalutdaerah yang luka
3. Monitor jumlahperdarahan yang keluar
4. Pantau hemoglobin danhematokrit
5. Monitor status keseimbangancairantubuh
6. Pasangdanpertahankanaksespemberiancairanintravena
7. Kolaborasipemberianprodukdarah

2 Nyeriakutberhubunga Setelahdilakukantindakankeperawatanselam Pain managememnt


ndenganterputusnyak a1x30 1. Kajinyerisecarakomprehensif: lokasi, karakterristik,
ontinuitasjaringan menitnyeriberkurangataudapatterkontrol, durasi, kualitas, intensitasdankeparahannyeri.
dengankriteria: 2. Observasiketidaknyamanan nonverbal
Pain level 3. Atasi factor yang dapatmeninhkatkannyeri, pasangbidai
1. Pasienmelaporkannyeriberkurang 4. Kolaborasipemberianantinyeri.
2. Pasientidakmenringiskesakitan
3. Pasientenang
4. Tandatanda vital dalambatas normal
Evaluasi:

1. Tidakadaperdarahan
2. Tidakadadistensi abdomen
3. Tekanandarahdalambatas normal
4. Nadidalambatas normal
5. Perdarahan yang terlihatberkurangatautidakada.
6. Tidakadadistensi abdomen
7. Tandatanda vital dalambatas normal
8. Kesadaranbaik
9. Nyeridapatterkontrol
DAFTAR PUSTAKA

Brunner &Suddarth (2015). Buku Ajar KeperawatanMedikalBedah. Vol 2. Ed. 8. EGC:


Jakarta.

Docthwrman, Joanne McCloskey. (2004). Nursing Interventions Classification. St


Louis,Mossouri, Elsevier inc.

Herdman, T Heather, dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10.
Jakarta: EGC

Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC
NOC Jilid 3. Jogjakarta: MediAction

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). KapitaSelektaKedokteran. Edisi 4,
Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai