Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS GINEKOLOGI

MIOMA UTERI

Oleh:
A’ifatin Venysya 170070201011001
Dina Aqmarina D. 170070201011143

Pembimbing I:
Dr. dr. Kusnarman Keman, Sp.OG (K)

Pembimbing II:
dr. Fikhy Rizky Hapsari

LABORATORIUM OBSTETRI GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang tersusun utamanya oleh otot
polos rahim. Mioma uteri terjadi pada 20-25% wanita usia produktif dengan faktor
penyebab yang belum diketahui secara pasti. Insiden mioma uteri 3-9 kali lebih
banyak pada wanita ras kulit berwarna dibandingkan wanita ras berkulit putih
(Adriaansz, 2014).
Umumnya mioma terjadi di beberapa tempat. Pertumbuhan mikroskopik
mioma menjadi masalah utama dalam terapi definitifnya karena hanya tumor
soliter dan tampak secara makroskopik yang memungkinkan untuk dilakukan
enukleasi. Rata-rata ukuran mioma 15 cm hingga dilaporkan yang paling besar
seberat 100 kg. Mioma berwarna pucat, relatif bulat, kenyal, berdinding licin, dan
apabila dibelah bagian dalamnya akan menonjol keluar sehingga mengesankan
bahwa permukaan luarnya adalah kapsul (Adriaansz, 2014).
Mioma memiliki beberapa manifestasi klinis walaupun seringkali mioma
bersifat asimtomatik. Mioma uteri bermanifestasi klinis pada sekitar 35-50%
penderita. Manifestasi kliniknya antara lain berupa gejala seperti nyeri, metroragia,
menoragia, hingga infertilitas. Perdarahan per vaginam yang terjadi pada 30%
penderita mioma uteri juga merupakan salah satu keluhan yang sering
menyebabkan pasien datang ke tempat praktik. Sifat mioma yang asimtomatik
sering menjadi masalah tersendiri dalam proses klinis dan pelaksanaan
pemeriksaan lanjutan. Pada mioma uteri yang ukurannya lebih besar, manifestasi
yang dapat muncul dapat juga gangguan miksi atau defekasi akibat penekanan
massa ke ureter, vesica urinaria, atau rektum (Adriaansz, 2014).
Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui secara pasti. Tidak diketahui
secara pasti apakah faktor hormon estrogen menjadi penyebab mioma, namun
telah diketahui bahwa estrogen menjadi prekursor pertumbuhan miomatosa.
Mioma tumbuh cepat pada saat penderita hamil atau terpapar estrogen dan
mengecil atau menghilang setelah menopause. Konsentrasi reseptor estrogen
dalam jaringan mioma lebih tinggi dibandingkan miometerium normal sekitarnya
tetapi lebih rendah dibandingkan dengan endometrium. Faktor progesteron
terhadap pertumbuhan mioma disebut tidak konsisten (Adriaansz, 2014).
Dalam kaitannya dengan masalah kehamilan, mioma uteri dapat menjadi
faktor predisposisi terhadap masalah-masalah obstetrik selain infertilitas

1
sebagaimana yang disebutkan pada dua paragraf sebelumnya, yaitu
meningkatkan risiko abortus, hambatan pada persalinan, inversio atau atonia uteri,
kesulitan pelepasan plasenta dan gangguan proses involusi masa nifas.
Sebaliknya, kehamilan juga memengaruhi mioma uteri sebagaimana disebutkan
pada paragraf sebelumnya dimana kehamilan dapat meningkatkan pertumbuhan
mioma terutama pada masa-masa awal kehamilan dimana kadar estrogen sedang
tinggi. Kehamilan juga dapat menyebabkan degenerasi merah atau kaneus akibat
kecepatan pasokan nutrisi bagi miometrium lebih diprioritaskan sehingga mioma
mengalami defisit pasokan menyebabkan degenerasi aseptik dan infark. Selain
itu, kehamilan juga dapat menyebabkan torsio tangkai mioma (terutama mioma
submukosa dan subserosa) yang apabila berkelanjutan akan menyebabkan nyeri
akut abdomen (Kemenkes dkk., 2013: Adriaansz, 2014).
Diagnosis mioma uteri dengan USG abdominal atau transvaginal. USG
dapat menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan
keadaan adnexa dalam rongga pelvis (Kemenkes dkk., 2013).
Tatalaksana operatif mioma mempertimbangkan beberapa hal salah satu
yang terpenting kehamilan. Tindakan operatif untuk mengangkat mioma
dikontraindikasikan karena perdarahan yang disebabkannya banyak kecuali jika
ada infeksi atau akut abdomen. Apabila mioma menghalangi jalan lahir, persalinan
yang dilakukan pada ibu adalah seksio sesarea. Operasi pengangkatan mioma
baru dapat dilakukan tiga bulan pasca persalinan kecuali ada kondisi-kondisi
gawat darurat pada saat nifas seperti infeksi atau akut abdomen (Kemenkes dkk.,
2013; Adriaansz, 2014).
Berpatokan pada pengetahuan bahwa mioma uteri merupakan
permasalahan ginekologi yang cukup sering ditemui dan kaitannya dengan
permasalahan lain di bidang obstetri dan ginekologi seperti kehamilan dan infeksi,
maka perlu bagi dokter muda laboratorium obstetri ginekologi untuk mempelajari
tentang mioma uteri yang meliputi faktor risiko, diagnosis, tatalaksana, dan
komplikasi melalui laporan kasus dan sinkronisasinya dengan teori yang dipelajari.
1.2 Tujuan
Tujuan pembahasan laporan kasus ini adalah :
1.2.1. Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya
mioma uteri pada pasien dalam laporan kasus ini
1.2.2. Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis mioma uteri pada pasien dalam
laporan kasus ini

2
1.2.3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada pasien dalam laporan kasus ini
1.2.4. Untuk mengetahui komplikasi mioma uteri pada pasien dalam laporan kasus
ini.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman dokter muda mengenai mioma uteri dalam hal pelaksanaan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi serta monitoring pada pasien dengan mioma uteri.

3
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
2.1.1 Pasien
No. Reg. : 11428621
Nama : Ny. S
Umur : 58 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jalan KH A Yani, Malang
Status : Menikah, 1x sejak usia 26 tahun
Kehamilan : P0000 Ab000
Tgl periksa : 11-03-2019
2.1.2 Pasangan
Nama : Tn. K
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan
2.2 SUBJEKTIF
2.2.1 Keluhan Utama
Benjolan di perut bagian bawah
2.2.2 Perjalanan Penyakit Saat Ini
Desember 2018
Pasien mengeluh terdapat benjolan di perut bagian bawah  Pasien tetap
di rumah.
Januari 2019
Pasien mengeluh terdapat benjolan di perut bagian bawah dan disertai
gangguan menstruasi pasien periksa ke RS Bokor diperika oleh TS IPD
 karena curiga ada massa di bagian perut bagian bawah, dikonsulkan
USG ke poli Obgyn  dari USG didapatkan mioma uteri  karena curiga
adanya perlengketan  saran dirujuk ke RSSA  keluarga berunding

4
25 Februari 2019
Pasien tiba di poli RSSA
Hari pertama haid terakhir (HPHT) : 18 Desember 2018
Umur awal menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari
Lamanya haid : 4-5 hari
Banyaknya haid : Ganti pembalut 2 – 3 kali/hari
saat haid
Nyeri haid : Tidak ada
Riwayat keputihan, gatal, berbau : Tidak ada
Tidak ada keluhan buang air kecil maupun buang air besar. Terdapat
penurunan berat badan sebanyak 3 kg dalam satu bulan terakhir
2.2.3 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah 1 kali selama 32 tahun, saat usia 26 tahun.
2.2.4 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien belum pernah hamil dan melahirkan

2.2.5 Riwayat Kontrasepsi


- Pasien tidak menggunakan KB pil maupun suntik
2.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit seperti hipertensi, DM, penyakit jantung, liver, dan
asma disangkal oleh pasien
- Tidak ada riwayat operasi kandungan sebelumnya
2.2.7 Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluarga dengan tumor kandungan disangkal
- Riwayat keluarga pasien memiliki penyakit seperti hipertensi, DM,
penyakit jantung, liver, dan asma disangkal oleh pasien
2.2.8 Riwayat Ginekologi
Desember 2018
Pasien mengeluh terdapat benjolan di perut bagian bawah  Pasien tetap
di rumah.
Januari 2019
Pasien mengeluh terdapat benjolan di perut bagian bawah dan disertai
gangguan menstruasi pasien periksa ke RS Bokor diperika oleh TS IPD
 karena curiga ada massa di bagian perut bagian bawah, dikonsulkan

5
USG ke poli Obgyn  dari USG didapatkan mioma uteri  karena curiga
adanya perlengketan  saran dirujuk ke RSSA  keluarga berunding

25 Februari 2019
Pasien tiba di poli RSSA dengan assessment Mioma uteri.
Pada pemeriksaan abdomen, teraba massa padat kenyal, ukuran 15 x 15
cm, permukaan rata, batas tegas, mobilitas terbatas, tidak ada nyeri.
GE : flux(-) fluor (-) , inspeksi : flux(-) fluor (-), PONP tertutup licin, VT :
flux(-) fluor (-), PONP tertutup licin, teraba massa padat kenyal, permukaan
rata, batas tegas, mobilitas terbatas, tidak ada nyeri.
Direncanakan kuret PA I-II.
11-12 Maret 2019
Pada pemeriksaan abdomen, teraba massa padat kenyal, ukuran 15 x 15
cm, permukaan rata, batas tegas, mobilitas terbatas, tidak ada nyeri.
GE : flux(-) flour (-) , inspeksi : flux(-) flour (-), PONP tertutup licin, VT :
flux(-) flour (-), PONP tertutup licin, teraba massa padat kenyal, permukaan
rata, batas tegas, mobilitas terbatas, tidak ada nyeri.
Direncanakan kuret PA I-II.
Lab DL 11/03/2019:
Hb 14,8 g/dL
RBC/WBC/Plt: 4,99/8.440/360.000
13 Maret 2019
Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan kuret PA I-II dimana sampel
pengangkatan massa melalui kuret dapat digunakan sebagai dasar
standar emas diagnosis.
2.2.9 Riwayat Sosial
Hubungan pasien dengan suami dan keluarga baik. Pasien
beragama Islam, rajin menjalankan shalat 5 waktu, dan berpuasa di bulan
Ramadhan.
Pasien tinggal serumah bersama dengan suami. Selama 6 bulan
terakhir pasien berhubungan dengan suami 3x/minggu.
2.3 OBJEKTIF
2.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis

6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, dyspnea (-)
Suhu : 36,5o C
Kepala dan leher : Anemis - / -, ikterik - / -
pembesaran kelenjar getah bening - / -
Thorax
Jantung : iktus tak terlihat, teraba pada ICS V MCL
sinistra, S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru : v/v Rhonki - / - Wheezing - / -
v/v -/- -/-
v/v -/- -/-
Abdomen : Flat, soefl, bising usus (+) normal, nyeri (-),
shifting dullness (-)
Teraba massa padat kenyal kesan dari uterus
setinggi 22-24 minggu,
Ekstremitas : Simetris, anemis (-), edema (-)
Status Ginekologi :
- Genitalia eksterna : v/v flux (-), fluor (-), edema (-), varises (-),
pembengkakan kelenjar bartholini (-)
- Inspekulo : v/v ux (-), fluor (-), Portio Nulli para tertutup
licin
- VT : v/v ux (-), fluor (-), Portio Nulli para tertutup
licin
 CUAF (corpus uteri antefleksi) setinggi 22-24 minggu,
konsistensi padat kenyal, permukaan rata, batas tegas, mobilitas
terbatas, tidak ada nyeri
 AP (adnexa parametrium) D/S : Tidak ada massa maupun nyeri
 CD (cavum Douglasi) : menonjol
2.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
(11 Maret 2019)
 Darah lengkap : 14,9/ 8.440/4,99/ 429.000
 Serum elektrolit : 137/ 3,60/ 109
 Faal hemostasis : 9,80 (9,4 – 11,3 )/ 28,6 (24,6 – 30,6)

7
 SGOT/ SGPT : 16/12
 Ur/Cr : 17,8/ 0,68

Ultrasonografi (USG) Ginekologi


(26 Februari 2019)
 Tampak VU terisi cukup
 Tampak uterus bentuk dan ukuran membesar ukuran 15x8
 Tampak lesi hiperekoic dengan ukuran 9 cm besar spindle ukuran 5x7 cm
dan 6x9cm. Kesan myoma uteri multilobular dengan adenomyosit.
Foto Thorax PA
(26 Februari 2019)
 Cor dan pulmo dalam batas normal
2.4 ASSESSMENT
Mioma uteri

2.5 PLANNING
 PDx. : c/ FER jam kerja
DL post tranfusi
 PTx. : MRS R. 10
Oksigen 4 lpm dengan NC
IVFD NS life line
Pasang DC
lanjutkan kuret PA I-II
Inj. Kalnax 3x1amp i.v.
P.O. Amoxicillin 3x500 mg
P.O. Asam mefenamat 3x500 mg
ROB 1x1 tab
 PMo : Keluhan subjektif, VS, flux, tanda-tanda reaksi transfusi, DL
post transfusi,
 PEdu : KIE (Komunikasi, Infomasi, Edukasi) pasien dan keluarga
tentang:
1. Kondisi pasien saat ini
2. Rencana tindakan dan terapi yang akan dilakukan
3. Efek samping dan komplikasi dari pengobatan
4. Menyarankan diet tinggi Kalium seperti pisang

8
BAB 3
PERMASALAHAN

3.1 Faktor Risiko


Apa saja faktor risiko pada pasien ini?
3.2 Diagnosis
Bagaimana penegakan diagnosis pada pasien ini?
3.3 Tatalaksana
Bagaimana manajemen dan penatalaksanaan pada pasien ini?
3.4 Komplikasi
Apa saja komplikasi yang mungkin bisa terjadi pada pasien ini?

9
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Definisi
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari sel-sel
jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Dapat bersifat tunggal
atau multipel dan mencapai ukuran besar (100 pon). Konsistensinya keras dengan
batas kapsul yang jelas sehingga dapat dilepaskan dari sekitarnya.
Penampangnya berbentuk “whorled like trabeculation” yang khas seperti konde
(Adriaansz, 2014). Biasanya mioma uteri banyak terdapat pada wanita usia
reproduksi terutama pada usia 35 tahun (Mansjoer, 2001).
Mioma ini berbentuk padat karena jaringan ikat dan otot rahimnya dominan.
Neoplasma inim memperlihatkan gejala klinis berdasarkan besar dan letak mioma.
Sebanyak 95% mioma uteri berasal dari corpus uteri dan lagi 5% berasal dari
serviks. Mioma uteri juga adalah tumor pelvis yang sering terjadi dan diperkirakan
sebanyak 10% kasus ginekologi umumnya (Martin L, 2001).
4.2 Epidemiologi
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang banyak menyerang wanita usia
produktif. Pada studi terbaru oleh Anne et al 2012, mengenai prevalensi mioma
uteri, didapatkan hasil studi di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan insidens
mioma uteri pada usia 35 tahun sebanyak 60%, insiden ini meningkat mencapai
>80% pada usia 50 tahun. Pada wanita ras kaukasian, insidens mioma uteri 40%
pada usia 35 tahun, dan mencapai 70% pada usia 50 tahun. Insiden mioma uteri
meningkat seiring umur hingga hampir 40% pada umur diatas 45 tahun, jarang
sekali ditemukan pada wanita berumur <20 tahun.
Beberapa penelitian USG menyatakan adanya sedikitnya satu myoma kecil
pada 51% wanita (Day Baird, 2003). Mioma uteri ini kemungkinan muncul 1 pada
4 wanita kulit putih dan 1 pada 2 wanita kulit hitam (Day Baird, 2003). Mioma uteri
belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke dan menopause dengan angka
kejadian sekitar 10%. Insiden mioma uteri meningkat seiring dengan
bertambahnya usia hingga saat menopause. Selain ras dan usia, faktor risiko lain
yang diduga berperan pada berkembangnya mioma uteri adalah usia awal
menarche, riwayat keluarga dengan tumor kandungan, dan obesitas.
4.3 Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga
merupakan penyakit multifaktorial. Namun dari hasil suatu penelitian, dikatakan

10
bahwa mioma uteri terjadi tergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada
“cell nest” yang selanjutnya dapat dirangsang terus-menerus oleh hormon
estrogen. Mioma uteri merupakan tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi
somatik sebuah sel neoplastik tunggal. Tumbuh mulai dari benih multiple yang
sangat kecil dan tersebar pada miometrium sangat lambat tetapi progresif. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor, disamping faktor predisposisi
genetik adalah estrogen, progesteron dan human growth hormone.
 Estrogen : Mioma uteri ditemukan setelah menarke. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan pengangkatan
ovarium.
 Progesteron : Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma
sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis
natural dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan
dua cara yaitu mengaktifkan 17B hidroxydesidrogenase dan menurunkan
jumlah reseptor estrogen pada tumor.
 Human growth hormone : Level hormon pertumbuhan menurun selama
kehamilan, tetapi hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik
serupa yaitu HPL, terlihat pada periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan
yang cepat dari mioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi
sinergistik antara HPL dan estrogen.
4.4 Klasifikasi Mioma Uteri
Sarang mioma uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan selebihnya
adalah korpus uteri. Menurut letaknya di uterus dan menurut arah
pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi menjadi 3 yaitu :
 Mioma submukosa
 Mioma intramural
 Mioma subserosa

11
Gambar 4.1 Jenis-jenis mioma uteri (Sumber :
https://i.ytimg.com/vi/7Lph4nCyOwUhq/default.jpg)
Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%),
subserosa (48%), submukosa (6,1%).
4.4.1 Mioma Uteri Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus, jenis
ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan
gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum sampai
memberikan keluhan mengenai perdarahan, tetapi mioma submukosa walaupun
kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma submukosa
umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu
kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat
diketahui posisi tangkai tumor.
Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma
submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pendinkulata adalah jenis mioma
submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke
vagina, dikenal dengan mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah
mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa kasus, penderita akan
mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas tersebut.
4.4.2 Mioma Uteri Intramural
Terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk sampai

12
yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma,
maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi
padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya
akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat
menimbulkan keluhan miksi.
4.4.3 Mioma Uteri Subserosa

Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada


permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara
kedua ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
4.5 Patofisiologi
Nyeri abdomen dapat disebabkan oleh torsi, degenerasi atau perdarahan di
dalam tumor. Nyeri kram dapat disebabkan oleh kontraksi uterus sebagai upaya
untuk mengeluarkan suatu polip fibroid melalui kanalis servikalis. Rasa nyeri bukan
merupakan gejala khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada
sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada
pengeluaran mioma submukosa yang akan dilahirkan, pertumbuhannya yang
menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan dismenore (Saifuddin dkk,
2005).
Lokasi mioma penting dalam menentukan tingkat keparahan perdarahan
yang berhubungan dengan fibroid. Mioma submukosa dapat meningkatkan
terjadinya menoragia baik secara efek lokal terhadap endometrium atau alterasi
endometrium terhadap permukaan fibroid. Namun, tiada bukti dari histeroskopik
atau mikroskopik yang menyokong hipotesa ini (Bieber et al, 2006).
Perubahan dari vaskular dapat menjadi mekanisme yang berpotensi
terhadap fibroid dalam mempengaruhi menoragia. Miometrium yang berdekatan
dengan mioma mengalami kompresi vena yang mengarah kepada formasi venous
lake di dalam miometrium sekaligus mempengaruhi corak perdarahan (Bieber et
al, 2006). Berhubungan dengan lokasi mioma diantara miometrium, mioma dapat
bertumbuh besar sehingga menekan organ yang berdekatan dan mengganggu
fungsi pelvis. Oleh itu, penderita akan mengalami sakit di bagian bawah
abdominal, sakit belakang atau masalah berkemih (Rosenthal,2003).
Gangguan penekanan dari mioma tergantung dari besar dan lokasi mioma
uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra
dapat menyebabkan retensio urin, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter
dan hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada

13
pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema
tungkai dan nyeri panggul (Saifuddin et al, 2005).
Ukuran fibroid yang sangat besar dapat mengganggu kehamilan karena
mioma mengambil terlalu banyak ruang. Tambahan pula, fibroid dapat bertambah
besar sehingga penderita yang tidak hamil dapat menyerupai wanita hamil
(Rosenthal,2003). Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau
menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa memudahkan
terjadinya abortus oleh karena distorsi rongga uterus (Saifuddin et al, 2005).
4.6 Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya mioma meliputi :
4.6.1. Usia: Mioma jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun dan ditemukan
sekitar 10 % pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling
sering memberikan gejala klinis antara usia 35 – 45 tahun.
4.6.2. Faktor hormonal endogen: Menarche dini (<10 tahun) meningkatkan
risiko terjadinya mioma sebesar 1,24 kali lipat dan menarke lambat (>16
tahun) menurunkan risiko terjadinya mioma sebesar 0,68 kali lipat. Ukuran
dan jumlah mioma lebih kecil pada sediaan histerektomi pasien mioma post
menopause karena rendahnya kadar estrogen endogen.
4.6.3. Riwayat keluarga: Keturunan pertama dari penderita mioma mempunyai
risiko 2,5 kali lebih besar daripada wanita normal.
4.6.4. Etnik: Wanita Afrika-Amerika mempunyai risiko mengalami mioma 2,9 kali
lebih besar daripada wanita Kaukasian. Wanita ini dapat menglami mioma
pada usia yang lebih muda dengan jumlah dan ukuran mioma yang lebih
besar serta bersifat simtomatik.
4.6.5. Berat badan: Risiko terjadinya mioma meningkat sebesar 21% pada setiap
kenaikan berat badan 10 kg. Obesitas meningkatkan konversi androgen
adrenal menjadi estron dan menurunkan sex hormon-binding globulin. Hal
ini menyebabkan kenaikan kadar estrogen dalam tubuh sehingga
meningkatkan risiko terjadinya mioma.
4.6.6. Diet: Sebuah studi menyatakan bahwa daging sapi dan daging babi
meningkatkan risiko mioma dan sayuran-sayuran hijau dapat menurunkan
risiko.
4.6.7. Olahraga: Seorang atlet mempunyai risiko lebih rendah terkena mioma
daripada orang normal.

14
4.6.8. Kehamilan: Peningkatan paritas menurunkan insiden mioma. Kehamilan
pada usia reproduktif (25 – 29 tahun) memberikan proteksi terhadap
pertumbuhan mioma. Mioma uteri menunjukkan karakteristik yang sama
dengan miometrium yang normal ketika kehamilan termasuk peningkatan
produksi extracellular matrix dan peningkatan ekspresi reseptor untuk
peptida dan hormon steroid. Miometrium postpartum kembali kepada berat
asal, aliran darah dan ukuran asal melalui proses apoptosis dan
dediferensiasi. Proses remodeling ini kemungkinan bertanggung jawab
dalam penurunan ukuran mioma uteri. Teori yang lain menyebutkan bahwa
pada kondisi postpartum, pembuluh darah di uterus kembali kepada
keadaan atau ukuran asal dan ini menyebabkan mioma kekurangan suplai
darah dan kurangnya nutrisi untuk terus membesar (Parker, 2007).
4.6.9. Kerusakan Jaringan: Kerusakan jaringan atau inflamasi akibat dari
pengaruh lingkungan, infeksi, atau hipoksia berperan dalam mekanisme
pembentukan mioma.
Pembahasan : Penyebab utama mioma uteri hingga saat ini belum diketahui
secara pasti sampai saat ini dan diduga merupakan penyakit multifaktorial. Sebuah
tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik sebuah sel neoplastik
tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom, khususnya pada
kromosom lengan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor,
disamping faktor predisposisi genetik adalah estrogen, progesteron dan human
growth hormone. Mekanisme tumorigenesis mioma uteri salah satunya juga
dipengaruhi oleh adanya faktor risiko yang menyebabkan seorang individu
memiliki kerentanan terjadi mioma uteri dibandingkan individu lain. Beberapa
faktor risiko mioma uteri yang didapatkan dari beberapa studi epidemiologi antara
lain: usia terutama usia produktif, hormon, termasuk kontrasepsi hormonal, riwayat
keluarga, ras, kehamilan, paritas, berat badan, diet, olahraga, kerusakan jaringan
dan kebiasaan merokok (Parker, 2007)
Pada pasien dalam laporan kasus ini, berdasarkan data yang diperoleh,
diidentifikasi beberapa faktor risiko yang kemungkinan berperan dalam terjadinya
mioma uteri adalah faktor usia. Pasien pada kasus ini berusia 58 tahun, dimana
insiden mioma uteri akan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Seperti
beberapa studi mengenai prevalensi mioma uteri, di antaranya, di Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan insidens mioma uteri pada usia 35 tahun sebanyak
60%, insiden ini meningkat mencapai >80% pada usia 50 tahun. Pada wanita ras

15
kaukasian, insidens mioma uteri 40% pada usia 35 tahun, dan mencapai 70% pada
usia 50 tahun.

Manifestasi Klinis
Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung pada lokasi,
arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20 – 50
% saja mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh
apapun. Hipermenoroe, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari
gejala mioma uteri.
Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 pasien ditemukan 44%
gejala perdarahan, yang paling sering adalah jenis mioma submukosa, sekitar 65
% wanita dengan mioma mengeluh dismeneroe, nyeri perut bagian bawah, serta
nyeri pinggang. Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka
kandung kemih, ureter dan usus dapat terganggu, dimana peneliti melaporkan
keluhan disuri ( 14 % ), keluhan obstipasi (13 % ). Mioma uteri sebagai penyebab
infertilitas hanya dijumpai pada 2 – 10 % kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat
obstruksi mekanis dari tuba fallopi. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma
menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang
abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus didalam panggul
(Baziad, 2003). Gejala mioma meliputi :

 Perdarahan abnormal uterus

Perdarahan abnormal uterus terjadi pada 30 % penderita mioma uteri.


Menorrhagia adalah jenis perdarahan yang banyak terjadi, jenis lainnya dapat
berupa flek premenstruasi dan ataupun setelah menstruasi. Jika terjadi secara
kronis dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi dan bila berlangsung lama dan
dalam jumlah yang besar maka sulit untuk dikoreksi dengan suplementasi zat besi.
Perdarahan pada mioma submukosa seringkali diakibatkan oleh hambatan
pasokan darah endometrium, tekanan, dan bendungan pembuluh darah di area
tumor (terutama vena) atau ulserasi endometrium di atas tumor. Tumor bertangkai
seringkali menyebabkan trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan
dan infeksi (vagina dan kavum uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium
serviks). Dismenorrhea dapat disebabkan oleh efek tekanan, kompresi, termasuk
hipoksia lokal miometrium.

16
 Efek Penekanan tumor

Mioma intramural sering berkaitan dengan penekanan terhadap organ


sekitar. Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna dan
perlekatannya dengan omentum menyebabkan strangulasi usus. Efek penekanan
tumor dapat berupa beratnya daerah pelvis, lingkar perut membesar, dan keluhan
sering berkemih. Tumor dapat menekan usus besar dan rektum sehingga
menyebabkan nyeri perut, konstipasi, dan hemorrhoid. Mioma serviks dapat
menyebabkan sekret serosanguinea vaginal, perdarahan, dispareunia, dan
infertilitas.
 Nyeri

Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila


kemudian terjadi gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proses
degenerasi akibat oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau
kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma submukosum dari
cavum uteri. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut dengan
terjadinya infark atau degenerasi merah yang mengiritasi selaput peritoneum
(seperti peritonitis). Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang
menekan persyarafan yang berjalan di atas permukaan tulang pelvis (Adriaansz,
2014).
 Infertilitas
Meskipun mioma uteri sudah umum terjadi, namun hanya 3% kasus
infertilitas yang disebabkan oleh mioma uteri. Jenis mioma yang dapat
menyebabkan infertilitas biasanya adalah mioma submukosa atau intramural.
Salah satu teori yang kemungkinan menyebabkan infertilitas yaitu perubahan
endometrium yang dapat mempersulit telur yang sudah dibuahi untuk
berimplantasi pada dinding uterus. Selain itu, salah satu atau kedua tuba dapat
mengalami obstruksi sehingga mencegah sperma mencapai ovum.
Mioma dapat meningkatkan risiko abortus dengan cara mengganggu
implantasi embrio. Perubahan pada endometrium atau aliran darah uterus dapat
menyebabkan abortus dini. Selain itu, mioma juga dapat menyebabkan kelahiran
prematur (American Society for Reproductive Medicine, 2003).
Pembahasan : manifestasi klinis yang dijumpai pada pasien ini adalah nyeri yang
dirasakan pasien sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga tidak

17
memiliki riwayat kehamilan sehingga dapat dikatakan mengalami manifestasi klinis
infertilitas.

4.7 Diagnosis
4.8.1. Anamnesis
Keluhan utama pada pasien dapat berupa :
- Timbul benjolan di perut bagian bawah dalam waktu yang relatif lama
- Perdarahan dari jalan lahir baik pasien sedang gravida maupun tidak
- Gangguan haid yang berupa peningkatan jumlah darah haid atau
pemanjangan durasi haid (menorrhagia), atau ketidakteraturan haid
(metrorrhagia), atau keduanya (metromenorrhagia)
- Gangguan buang air kecil atau air besar berkaitan dengan ukuran massa
- Nyeri bila terinfeksi, terpuntir, pecah hingga menyebabkan akut abdomen
Pertanyaan-pertanyaan mengenai riwayat penyakit dahulu dan persalinan
atau kehamilan sebelumnya, riwayat ginekologis, riwayat penggunaan obat-
obatan terutama obat KB, riwayat keluarga, dan review sistem tubuh penting
ditanyakan untuk menggali faktor risiko yang ada pada pasien guna membantu
menegakkan diagnosis.
4.8.2. Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus.
Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh
satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa
massa seperti ini adalah bagian dari uterus. Pemeriksaan bimanual menemukan
pada pembesaran uterus yang irregular dan mengeras. Pada pemeriksaan ini,
ukuran uterus diperiksa dengan meletakkan dua jari dari sebelah tangan ke dalam
vagina dimana tangan yang berlawanan memberi sedikit penekanan ke atas
abdomen. Jika terdapat mioma, uterus akan teraba lebih besar atau uterus akan
membesar mengarah ke daerah yang tidak seharusnya (Shriver, 2005).
4.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Anemia merupakan temuan laboratorium yang paling sering
ditemukan berkaitan dengan perdarahan abnormal uterus. Leukositosis dan
peningkatan ESR ditemukan pada mioma uteri dengan komplikasi endometriosis
atau degenerasi septik (Pernoll, 2011). Kadang-kadang mioma menghasilkan
eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya
hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan

18
mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan
kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal.

Imaging
Teknik imaging yang tersedia dalam mengonfirmasi diagnosis mioma meliputi :
a. Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama
bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa yang paling besar
paling baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri
secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang
mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.
Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-fokus hiperekoik dengan bayangan
akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang hipoekoik.
b. Histeroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika
tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat.

c. MRI ( Magnetic Resonance Imaging )


MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,ukuran dan lokasi mioma,
tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap
terbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium yang normal. MRI
dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,
termasuk mioma submukosa. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi
pada kasus -kasus yang tidak dapat disimpulkan.

19
MRI juga dapat membedakan apakah lesi pada myometrium merupakan
leiomioma atau adenomyosis. MRI juga lebih baik daripada TVUS
(transvaginal ultrasonografi), SIS, atau histeroskopi dalam mengetahui
sejauh mana perluasan myoma submukosa ke lapisan myometrium. Akan
tetapi, penggunaan MRI memang belum realistis untuk digunakan sebagai
standar diagnosis karena keterbatasan ketersediaannya di faskes-faskes
yang ada (Munro et al, 2010).
d. Patologi Anatomi

Gambaran histopatologi mioma uteri adalah sebagai berikut :


Pada gambaran makroskopik menunjukkan suatu tumor berbatas jelas, bersimpai,
pada penampang menunjukkan massa putih dengan susunan lingkaran-lingkatan
konsentrik di dalamnya. Tumor ini bisa terjadi secara tunggal tetapi kebiasaannya
terjadi secara multipel dan bertaburan pada uterus dengan ukuran yang berlainan.
Perubahan sekunder pada mioma uteri antara lain:
 Atrofi.
Sesudah kehamilan atau sesudah menopause mioma uteri menjadi lebih kecil
 Degenerasi hyalin.
Perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita berusia lanjut. Tumor
kehilangan struktrur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar
atau sebagian kecil daripadanya seolah – olah memisahkan satu kelompok
serabut otot dari kelompok lainnya.
 Degenerasi kistik.
Dapat meliputi daerah kecil maupun luas di mana sebagian dari mioma menjadi
cair sehingga terbentuk ruangan yang tidak teratur berisi jaringan, dapat juga
terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai
limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan dengan
kista ovarium atau suatu kehamilan.
Pembahasan : Diagnosis pada pasien ini didapatkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis pasien
mengeluh terdapat benjolan di perut bagian bawah dan disertai gangguan
menstruasi kemudian masuk dalam kriteria diagnosis mioma uteri, pasien merasa
lemas dan cepat lelah. Berdasarkan pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan
dalam (VT), CUAF (corpus uteri antefleksi) setinggi 22-24 minggu, konsistensi
padat kenyal, permukaan rata, batas tegas, mobilitas terbatas, tidak ada nyeri.
Sementara berdasarkan pemeriksaan penunjang yaitu menggunakan USG

20
didapatkan gambaran kesan mioma uteri. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosa pasien adalah mioma uteri.
4.8 Penatalaksanaan
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah, 55% dari semua
mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apa pun,
terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulakan gangguan.
Walaupun demikian mioma uteri memerlukan pengamatan setiap 3-6 bulan.
Penanganan mioma uteri menurut usia, paritas, lokasi dan ukuran tumor terbagi
menjadi :
1. Konservatif
Penderita dengan mioma yang kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan
pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika tumor yang
berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan operasi.
2. Terapi medikamentosa (hormonal)
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis
memberikan hasil yang baik memperbaiki gejala klinis mioma uteri. Tujuan
pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran mioma dengan jalan
mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis sebelum
dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor
sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal yang
lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala
pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma uteri (Hadibroto, 2005).
3. Terapi pembedahan
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of
obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive
Medicine (ASRM) adalah
a. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif
b. Dugaan adanya keganasan
c. Pertumbuhan mioma pada masa menopause
d. Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba
e. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu
f. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
g. Anemia akibat perdarahan (Hadibroto,2005)
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi atau
histerektomi.

21
1. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma tanpa pengangkatan
uterus. Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi
reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Tindakan ini dapat
dikerjakan misalnya pada mioma submukosum dengan cara ekstirpasi lewat
vagina. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak,
maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-50% (Adriaansz, 2014).
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi
maupun dengan laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding
abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan
miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga
penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan
miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara
laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi
faktor fertilitas pada pasien, disamping masa penyembuhan pasca operasi lebih
lama, sekitar 4-6 minggu.
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma
submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi
namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit
dan perdarahan.
Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara
laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga
dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa
penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada
pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti
usus, ovarium,rektum serta perdarahan. Sampai saat ini miomektomi dengan
laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang
masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya (Hadibroto, 2005).
2. Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan
elektif (Adriaansz, 2014).Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30%
dari seluruh kasus. Histerektomi dijalankan apabila didapati keluhan menorrhagia,
metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar

22
usia kehamilan 12-14 minggu (Hadibroto, 2005). Tindakan histerektomi dapat
dilakukan secara abdominal (laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus
dilakukan laparoskopi.
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total
abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomy (STAH).
Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan. STAH dilakukan
untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang
banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan rektum. Namun dengan
melakukan STAH kita meninggalkan serviks, di mana kemungkinan timbulnya
karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada
tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan perdaraahn
paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana tindakan operasi
tidak melalui insisi pada abdomen. Histerektomi vaginal dapat dilakukan pada
keadaan perdarahan uterus disfungsional, mioma uteri, prolaps uteri, keganasan
serviks stadium awal, adenomiosis, dan hiperplasia endometrial. Di sebuah
Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito didapatkan bahwa indikasi histerektomi vaginal
pada mioma uteri sebanyak 20,9% (Pranoto, 2007). Kontraindikasi histerektomi
vaginal adalah apabila jalur vaginal tidak memungkinkan atau ketika terdapat
kondisi patologis yang lebih serius seperti endometriosis, pelvic adhesive disease,
adnexal pathology, chronis pelvic pain, dan chronic pelvis inflammatory disease.
Banyak ahli bedah ginekologis tidak melakukan histerektomi vaginal pada
kasus dengan riwayat operasi pelvis sebelumnya (misalnya satu atau lebih seksio
sesarea), uterus dengan besar lebih dari 16 minggu, atau bila diperlukan
ooforektomi dan karena keganasan. (Thompson, et.al, 2008).
Secara umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan prosedur
operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat minimal
sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat diminimalisasi. Bukti klinis
menunjukkan bahwa pasien yang menjalani histerektomi vaginal menunjukkan
morbiditas yang rendah, rasa nyeri yang lebih ringan, kesembuhan lebih cepat,
dan lebih cepat menjalankan aktivitas normal, biaya perawatan yang relatif rendah
dibandingkan histerektomi abdominal. Histerektomi abdominal total memiliki risiko
komplikasi 1,7 kali lebih tinggi dibandingkan histerektomi vaginal. Secara estetik,
histerektomi vaginal juga tidak menimbulkan sikatrik yang tambak (Neil et.al,
2005).

23
Histerektomi laparoskopi ada bermacam-macam tehnik. Tetapi yang
dijelaskan hanya 2 iaitu; histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi
(Laparoscopically assisted vaginal histerectomy / LAVH) dan classic intrafascial
serrated edged macromorcellated hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy. Pada
LAVH dilakukan dengan cara memisahkan adneksa dari dinding pelvik dengan
memotong mesosalfing kearah ligamentum kardinale dibagian bawah, pemisahan
pembuluh darah uterina dilakukan dari vagina.
CISH pula merupakan modifikasi dari STAH, di mana lapisan dalam dari
serviks dan uterus direseksi menggunakan morselator. Dengan prosedur ini
diharapkan dapat mempertahankan integritas lantai pelvik dan mempertahankan
aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus. Keunggulan CISH
adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih, perdarahan
yang lebih minimal,waktu operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih
minimal dan masa penyembuhan yang cepat. Jadi terapi mioma uteri yang terbaik
adalah melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi
laparoskopi memiliki kelebihan kerana masa penyembuhan yang singkat dan
angka morbiditas yang rendah dibanding prosedur histerektomi abdominal
(Hadibroto, 2005).
Pembahasan : Sesuai dengan indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut
American College of obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society
of Reproductive Medicine (ASRM) pilihan terapi bedah pada pasien ini adalah
miomektomi. Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma tanpa
pengangkatan uterus. Sebelum dilakukan miomektomi, dilakukan dengan
curretage PA I-II untuk membuktikan massa tersebut jinak atau ganas, jika dari
hasil curretage PA didapatkan keganasan maka pilihan terapi bedahnya adalah
histerektomi.
4.9 Komplikasi
Meskipun mioma uteri sering terjadi namun hanya sekitar 3% yang
menyebabkan infertilitas. Biasanya mioma yang submukosa atau intramural.
Wanita yang infertil dan pasangannya harus melakukan pemeriksaan untuk
mengetahui penyebab infertilitasnya.
Ada beberapa penjelasan bagaimana mioma uteri dapat mengurangi
infertilitas. Perubahan endometrium dapat menyebabkan ovum yang sudah dibu
ahi susah untuk menempel pada dinding uteri. Dapat juga satu atau kedua tuba
falopi terkompresi atau tertutup yang menyebabkan sperma gagal untuk mencapai

24
ovum. Mioma dapat meningkatkan resiko keguguran dengan kegagalan implantasi
embrio. Perubahan pada endometrium atau pada aliran darah ke uterus dapat
menyebabkan keguguran awal. Mioma juga dapat menyebabkan persalinan dini
dan kelahiran prematur.
Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0.32 – 0.6 %
dari seluruh mioma serta merupakan 50 – 75 % dari semua sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang
telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat
membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause
(Baziad, 2003). Novak dan Woodruff melaporkan insiden leiomiosarkoma adalah
dibawah 0.5 %.
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Keadaan ini dapat terjadi pada semua
bentuk mioma tetapi yang paling sering adalah jenis mioma submukosa
pendinkulata.
Pembahasan : komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ini jika tidak segera
ditangani adalah berkembangnya mioma menjadi keganasaan berupa
leiomyosarcoma. Risiko dari mioma yang berkembang menjadi keganasan adalah
kanker yang muncul dari mioma adalah leiomyosarcoma. Risiko dari mioma yang
berkembang menjadi keganasan sebesar 0,1 - 0,5% (Adriaansz, 2014). Selain itu,
dapat terjadi torsi pada tangkai mioma uteri yang menyebabkan nyeri hebat.
4.10 Prognosa
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif.
Miomektomi yang ekstensif dan secara signifikan melibatkan miometrium atau
menembus endometrium, maka diharuskan SC pada persalinan berikutnya.
Mioma yang kambuh kembali setelah miomektomi terjadi pada 15-40% pasien dan
2/3-nya memerlukan tindakan lebih lanjut.
Pembahasan : Prognosa pada pasien ini dubia et bonam, mioma uteri merupakan
neoplasma jinak dan jika mioma tersebut diambil dengan bersih, maka dapat
sembuh sempurna. Namun prognosa dapat berubah menjadi buruk, jika terbukti
dari curretage PA didapatkan hasil keganasan.
4.11 Pencegahan
a. Pencegahan Primordial
Pencegahan ini dilakukan pada perempuan yang belum menarche atau
sebelum terdapat resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan yaitu

25
dengan mengonsumsi makanan yang tinggi serat seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan awal pencegahan sebelum seseorang
menderita mioma. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan dilakukan
penyuluhan mengenai faktor-faktor resiko mioma terutama pada kelompok
yang beresiko tinggi yaitu wanita pada masa reproduktif. Selain itu tindakan
pengawasan pemberian hormonal estrogen dan progesterone dengan
memilih pil KB kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron), pil
kombinasi mengandung estrogen lebih rendah disbanding pil sekuensil, oleh
karena pertumbuhan mioma uteri berhubungan dengan kadar hormone
estrogen.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan untuk orang yang telah terkena mioma
uteri. Tindakan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi.
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan melakukan diagnose dini dan
pengobatan yang tepat.

Pembahasan :
Pencegahan pada pasien ini adalah pencegahan sekunder dimana pasien
sudah terkena mioma uteri. Pencegahan ditujukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi seperti anemia gravis atau keganasan, sehingga
pengobatan yang dilakukan tidak rumit dan sulit. Pencegahan sekunder
dilakukan dengan cara melakukan curretage PA I-II untuk memeriksa
jaringan pada mioma uteri tersebut apakah ganas atau jinak.

26
BAB 5
KESIMPULAN dan SARAN

5.1 Kesimpulan
5.1.1. Mioma uteri merupakan neoplasama jinak yang neoplasma jinak yang
tersusun dari otot polos uteri dan jaringan ikat yang menopangnya.
5.1.2. Mioma uteri sering juga disebut sebagai fibromyoma, leiomyoma, fibroid.
5.1.3. Etiologinya masih belum jelas sampai saat ini.
5.1.4. Faktor resiko terjadinya myoma uteri pada pasien ini adalah keterpaparan
dengan hormon estrogen akibat pasien nulli para, usia 58 tahun dimana
pasien masih menstruasi (dalam usia produktif) yang menunjukkan masih
tingginya kadar estrogen dalam tubuh, dan riwayat keluarga dengan tumor
ginekologis dari ibu kandung pasien.
5.1.5. Manifestasi klinik yang didapatkan pada pasien ini adalah nyeri pada perut
bagian bawah, riwayat perdarahan, dan riwayat infertilitas.
5.1.6. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (laboratorium dan USG).
5.1.7. Tatalaksana dilakukan antara lain menghentikan perdarahan dengan
pemberian asam traneksamat 500-1000 mg/hari, menghilangkan nyeri
dengan asam mefenamat 3x500 mg/hari, dan curretage PA I-II untuk
memperoleh sampel diagnostik pemeriksaan PA dan terapeutik untuk
menghentikan perdarahan.
5.1.8. Komplikasi yang dapat terjadi adalah pendarahan, gangguan haid, dan
gangguan buang air kecil maupun air besar
5.1.9. Prognosa dubia et bonam atau baik.
5.1.10. Pencegahan sekunder dilakukan untuk mencegah komplikasi.

5.2 Saran
5.2.1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang mioma uteri
dimana hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penyuluhan di sekolah-
sekolah dan puskesmas dan ibu-ibu PKK. Karena secara epidemiologi
mioma uteri terjadi pada wanita-wanita reproduktif atau yang masih
mengalami mestruasi. Mengingat salah satu gejala mioma uteri adalah
tidak nyeri, maka dari itu penting dilakukan penyuluhan yang rutin.

27
5.2.2. Pentingnya ilmu dan ketrampilan dari dokter maupun tenaga kesehatan
lainnya dalam penegakan diagnosis dan penatalaksanaan mioma uteri,
terutama screening, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Selain itu perlu ditunjang dengan fasilitas kesehatan yang
memadai dalam penanganan HPP yang komprehensif.

28
DAFTAR PUSTAKA

Adriaansz, G. 2014. Tumor Jinak Organ Genitalia dalam Anwar M., Baziad A., dan
Prabowo R. P. (Eds), Ilmu Kandungan, Edisi Ketiga Cetakan Kedua, hlm.
274-278. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Baird day,. 2003. High cumulative incidence of uterine leiomyoma in black and
white women: Ultrasound evidence. American Journal of Obstetrics and
Gynecology, Volume 188, Issue 1, Pages 100-107

DeCherney, A., Nathan L., Goodwin M., Laufer N. 2007. Benign Disorders of the
Uterine Corpus. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology,
Tenth, page 134-145

Evans P dan Brunsell S. 2007. Uterine Fibroid Tumors : Diagnosis and Treatment.
American Family Physician Vol. 75, No. 10

Gibbs, Ronald S., Karlan, Beth Y.; Haney, Arthur F.; Nygaard, Ingrid E. 2008.
Leiomyomata. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition

Hadibroto, B. 2005. Myoma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara, Vol. 38, No. 3,
Halaman 1-6

Mansjoer, 2001, Kapita Selekta Kedokteran 1, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta


2001

Martin L. Pernoll, 2001. Benson & Pernoll’s handbook of Obstetrics & Gynecology.
USA: McGraw-Hill:619-625

Munro M, Critchley H, Broder M, Fraser I; for FIGO Working Group on Menstrual


Disorders. 2010. FIGO classi!cation system (PALM-COEIN) for causes of
abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age.
International Journal of Gynecology and Obstetrics 113 (2011) 3–13

29
Neil J, David B, Anne L, Emma T, Liz C, dan Ray G. 2005. Methods of
Hysterectomy : systematic review and meta-analysis of randomized
controlled trials. BMJ ; 330; 1478.

Noerpramana, N. 2014. Perempuan dalam berbagai Masa Kehidupan dalam


Anwar M., Baziad A., dan Prabowo R. P. (Eds), Ilmu Kandungan, Edisi
Ketiga Cetakan Kedua, hlm. 98-102. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

Parker, W.. 2007. Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine Myomas.


American Society for Reproductive Medicine, Published by Elsevier Inc Vol.
87, No. 4

Pranoto I. 2007. The evaluation of vaginal Hysterectomy using spinal anaesthesia.


Berkala Ilmu Kedokteran ; 39 : 105-107

Saifuddin dkk., 2005. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Thompson JD, Warshaw J, Bent AE. 2008. Hysterectomy. In : Rock JA, Thompson
JD, eds. TeLinde’s Operative Gynecology. 10th ed. Philadelphia, PA :
Lippincott-Raven : 745-762

30

Anda mungkin juga menyukai