Anda di halaman 1dari 34

PENYAKIT DISPEPSIA

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi dispepsia.
2. Mengetahui klasifikasi dispepsia.
3. Mengatahui patofisiologi dispepsia.
4. Mengetahui tatalaksana dispepsia (Farmakologi & Non-Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait dispepsia secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

II. DASAR TEORI

2.1 Pengertian Dispepsia

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan peptein
(pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical
Investigators, dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman
yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan menurut
Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan
perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati,
yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu
atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung
pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa (Koda-Kimble.
2009).
Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari
bahasaYunani, “dys”yang berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang
berarti pencernaan, jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion
atau kesulitan dalammencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang
berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia, contohnya
mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau distensi.
Kasus dyspepsia didunia mencapai 13 – 40 % dari total populasi setiap
tahun. Hasil study menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan
Oseania, prevalensi dyspepsia bervariasi antara 5% hingga 43 % (WHO,
2010).
Menurut Grace & Borley (2006), dispepsia merupakan perasaan
tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas atau dada bagian
bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin digunakan oleh pasien untuk
menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi atau flatus.
Menurut Tarigan (2003), dispepsia merupakan kumpulan gejala
berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap
atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat makan,
cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, heartburn,
regurgitasi. Dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut
bagian atas atau dada yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan
penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari
berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar
satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa waktu
(Calcaneus,2011)
Dispepsia dapat terjadi meskipun tidak ada perubahan struktural
pada saluran pencernaan yang biasanya dikenal sebagai dispepsia
fungsional. Gejalanya dapat berasal dari psikologis atau akibat intoleransi
terhadap makanan tertentu. Dispepsia juga dapat merupakan gejala dari
gangguan organik pada saluran pencernaan dan juga dapat disebabkan
oleh gangguan di sekitar saluran (Davidson, 1975).
Gambar 3. Lambung, Esofagus, dan Duodenum
Sumber : Tortora & Grabowski, 2000
Menurut Djojoningrat (2009) gastritis adalah proses inflamasi pada
lapisan mukosa dan submukosa lambung. Secara histopatologi dapat
dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut.
Berdasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut
dan kronik akan tetapi gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan dari
gastritis akut.
Ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang
meluas sampai di bawah epitel. Ulkus peptikum dapat terletak di bagian
saluran cerna yang terkena getah asam lambung yaitu esofagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejenum (Lindseth, 2012).
Bentuk utama ulkus peptikum adalah ulkus duodenum dan ulkus
lambung. Ulkus peptikum terjadi bila efek-efek korosif asam dan pepsin
lebih banyak daripada efek protektif pertahanan mukosa lambung atau
mukosa duodenum. Djojoningrat (2009) mengatakan bahwa faktor yang
berperan dalam kejadian gastritis dan ulkus peptikum dengan gejala khas
dispepsia adalah pola makan atau kebiasaan makan dan sekresi asam
lambung. Pola makan atau kebiasaan makan yang buruk dengan jadwal
yang tidak teratur dapat menyebabkan dyspepsia.

Gambar. Ulkus Gaster, Ulkus Duodenum


Sumber: Tortora & Grabowski, 2000
2.2 Faktor Pemicu Dispepsia
1. Tingkat stress
Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan
yang erat kaitannya dengan pola hidup. Gangguan kecemasan
dapat mengakibatkan berbagai respon fisiologis, diantaranya
gangguan pencernaan. Pada pasien depresi, terjadi peningkatan
acetylcholine yang mengakibatkan hipersimpatotonik sistem
gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan
peristaltik dan sekresi asam lambung yang menyebabkan
hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar
gejala gastritis dan ulkus peptikum (Tarigan, 2003).
2. Keteraturan makan
Setiap fungsi tubuh mempunyai irama biologis (circadian
rhythm) yang jam kerjanya tetap dan sistematis dalam siklus 24
jam per hari. Meskipun sistem pencernaan sendiri memiliki 3
siklus yang secara simultan aktif, namun pada waktu-waktu
tertentu masing-masing siklus akan lebih intensif dibandingkan
siklus-siklus lainnya. Jika aktivitas salah satu siklus terhambat,
aktivitas siklus berikutnya juga ikut terhambat. Hambatan ini
besar pengaruhnya terhadap proses metabolism. Jeda waktu
makan yang baik berkisar antara 4-5 jam. Jeda waktu makan
yang lama dapat mengakibatkan sindroma dispepsia.Dalam
memperoleh makanan, ada beberapa cara mahasiswa kos
mendapatkan makanan yaitu makan bayar, beli di warung,
rantangan dan masak sendiri. Hal ini dilakukan 3 kali atau 2
kali per hari, tergantung kepada keinginan mahasiswa tersebut.
Tidak jarang dijumpai mahasiswa yang makan pagi dan siang
disatukan karena terlambat bangun atau kondisi keuangan yang
kurang baik (Mulia, 2010).

3. Makanan dan minuman iritatif


Kafein maupun asam yang terdapat dalam kopi dapat
mengiritasi permukaan lambung dan usus (Rizkiani, 2009).
Minuman soda mengandung CO2 sebagai penyebab lambung
tidak bisa menghasilkan enzim yang sangat penting bagi proses
pencernaan (Firman, 2011). Makanan yang sulit dicerna dapat
memperlambat pengosongan lambung. Hal ini menyebabkan
peningkatan peregangan di lambung yang akhirnya dapat
meningkatkan asam lambung. Makanan yang secara langsung
merusak dinding lambung yaitu makan yang mengandung cuka
dan pedas, merica, dan bumbu yang merangsang dapat
menyebabkan dispepsia (Firman, 2011).
2.3 Makanan yang Menyebabkan Dispepsia
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering
dijumpai dalam praktis sehari-hari. Kebiasaan makan memiliki
peran terhadap faktor resiko timbulnya dispepsia (Priantika, 2013).
Kebiasaan yang menyebabkan dispepsia adalah merokok,
konsumsi kafein (kopi), alkohol, atau minuman berkarbonasi.
Kelompok yang sensitif atau alergi terhadap bahan makanan
tertentu, bila mengonsumsi makanan jenis tersebut bisa
menyebabkan gangguan pada saluran cerna (Abdullah dan
Gunawan, 2012). Adapun pola konsumsi makan yang
menyebabkan dispepsia yaitu :
2.4 Etiologi dan Patofosiologi Dispepsia
2.2.1 Dispepsia Akut
Dispepsia akut yaitu kondisi dimana gejala muncul dalam periode
waktu yang cepat. Patofisiologi dispepsia akut jarang terjadi dan sering
kali berkaitan dengan makanan, alkohol, obat-obatan, merokok dan
stress. Ada berbagai macam jenis makanan yang dapat menyebabkan
dispepsia, antara lain: makanan pedas, kopi, coklat, makanan berlemak,
tomat. Kopi coklat dan alkohol dapat menyebabkan relaksasi pada
sfingter esofagus bagian bawah sehingga dapat menimbulkan dispepsia,
sedangkan makanan berlemak menyebabkan waktu pengosongan
lambung tertunda. Obat-obatan juga dapat menyebabkan timbulnya
dispepsia. Obat-obatan yang dapat menimbulkan dispepsia diantaranya:
antagonis kalsium, nitrat, teofilin, bisfosfonat, NSAIDs (Non steroidal
inflamatory drugs) (Putri & Suryaningsih, 2019).
NSAIDs merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu
topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena
NSAID bersifat asam dan lipofili, sehingga mempermudah trappingion
hidrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik
NSAID lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi
prostaglandin menurun secara bermakna. Prostaglandin merupakan
substansi sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek
sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa,
meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan epitel
defensif Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan
meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan
hidrofobisitas permukaan mukosa, dengan demikian mengurangi difusi
balik ion hidrogen (Rao, 2016)
1. CCB, Nitrat, Teofilin menyebabkan dispepsia karena
menurunkan tekanan LOS, sehingga terjadi reflux.
2. Kortikosteroid, menyebabkan terjadi pendarahan atau
perforasi GI belum sepenuhnya terjadi, sehingga dapat
merusak perbaikan jaringan, dan menunda penyembuhan
luka.
3. Antibiotik (eritromicin) dapat menyebabkan dispepsia
karena intoleransi saluran cerna akibat perangsangan
langsung terhadap motilitas usus
Dispepsia juga dapat disebabkan oleh gaya hidup yang buruk
(lifestyle) dan faktor psikologis (stress). Gaya hidup yang buruk dapat
menyebabkan timbulnya dyspepsia seperti obesitas, merokok
(relaksasi sfingter esofagus bagian bawah) makan terlalu banyak,
posisi tidur tanpa alas kepala (refluks asam lambung).
2.2.2 Dispepsia Kronis

Dispepsia kronis didefinisikan sebagai gejala kambuhan yang


termasuk nyeri epigastrik, abdominal boating, sendawa, mual, muntah
dan rasa penuh pada abdomen (merasa kenyang lebih awal saat
makan). Patofisiologi dispepsia kronis berkaitan dengan penyebab
lain, contohnya GERD (Gastroesophageal reflux disease) yaitu GER
berulang yang dapat melebihi hingga mencapai pangkal tenggorokan
atau paru, menimbulkan gejala mengganggu (keluhan), menimbulkan
kerusakan mukosa dan komplikasi, PUD (Peptic Ulcer Disease) yaitu
satu penyakit pada saluran cerna bagian atas, yang ditandai adanya
defek pada lambung (gastric ulcer) atau duodenum (duodenal
ulcer),dengan atau tanpa esofagitis, keganasan (kanker pada
lambung), dan dispesia idiopatik (tidak diketahui penyebabnya dan
pada hasil endoskopi tidak ditemukan kerusakan mukosa). (Putri &
Suryaningsih, 2019).

Faktor lain yang mempunyai peranan penting dalam timbulnya


dispepsia, antara lain: infeksi Helicobacter pylori (H. pylori),
dismotilitas saluran cerna dan sekresi asam lambung. Penderita
dispepsia yang terinfeksi H. pylori terjadi peningkatan kadar GRP
(Gastrin Releasing Peptide). Infeksi H. pylori dapat menimbulkan
terjadinya gastritis kronis secara bervariasi, yang ditandai dengan
adanya infiltrasi neutrofil dalam mukosa lambung dan produksi
mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi tersebut
dapat mempengaruhi sekresi asam lambung, dan mempengaruhi
motilitas lambung. Dismotilitas saluran cerna dapat menyebabkan
waktu pengosongan lambung tertunda/lambat, yang kemungkinan
disebabkan terjadinya gangguan pada fundus lambung, yang
menyebabkan timbulnya dispepsia. Pada umumnya penderita
dispepsia memiliki tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata
normal, tetapi adanya peningkatan sensitivitas mukosa terhadap asam
lambung menimbulkan rasa tidak nyaman pada abdomen (Putri &
Suryaningsih, 2019).
Gambar 2.1. Manajemen gejala dispepsia (Kimbel, Koda., 2013)

2.5 Klasifikasi Dispespsia


Dispepsia dapat dibedakan berdasarkan waktu terjadinya dan perlu
tidaknya dilakukan tindakan endoskopi.

1) Berdasarkan waktu terjadinya dispepsia dapat di golongkan menjadi 2


yaitu dispepsia akut dan dispepsia kronis.
1) Dispepsia akut terjadi dalam waktu yang singkat dan cepat yaitu
kurang dari 4 minggu.
2) Dispepsia kronis terjadi dalam jangka waktu yang panjang yaitu
lebih dari 4 minggu.
2) Klasifikasi dispepsia berdasarkan perlu tidaknya dilakukan tindakan
endoskopi dapat dibedakan menjadi uninvestigated dyspepsia dan
investigated dyspepsia.

 Uninvestigated dyspepsia
Uninvestigated dyspepsia merupakan suatu kondisi
dimana pasien mengalami gejala nyeri atau rasa tidak nyaman
pada abdominal atas, heartburn, refluks asam lambung, dengan
atau tanpa bloating, mual atau muntah; namun bukan
merupakan tanda-tanda kondisi yang berbahaya (alarm signs)
sehingga tidak memerlukan pemeriksaan endoskopi.
 Investigated dyspepsia
Investigated dyspepsia merupakan suatu kondisi
dimana pasien mengalami tanda-tanda kondisi yang berbahaya
(alarm signs) sehingga memerlukan pemeriksaan endoskopi
untuk mengetahui penyebab terjadinya dyspepsia. Investigated
dyspepsia ada empat penyebab utama
a. PUD (peptic ulcer disease) merupakan kondisi dimana
terjadi kerusakan/perforasi pada jaringan mukosa
lambung atau usus halus akibat dari asam lambung
b. GERD (gastroesophageal reflux disease) suatu kondisi
dimana terjadi refluks asam lambung yang melewati
sfingter esofagus sehingga bagian bawah esofagus
terpapar asam lambung dan pepsin dalam waktu yang
lama.
c. NUD (non-ulcer dyspepsia) suatu kondisi dimana
pasien mengalami gejala dispepsia selama beberapa
minggu dan tidak di temukan abnormalitas struktur
organ maupun biokimia.
d. keganasan (malignancy).
Menurut American College of Gastroenterology, 2005 Pengelompokan
mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1. Dispepsia Organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan
yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum),
gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux disease (GERD),
hiperacidity. Jenis-jenis dispepsia organik yaitu:

a. Tukak pada saluran cerna atas Keluhan yang sering terjadi nyeri
epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan
menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang
lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan
dapat menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang
sementara sesudah makan atau setelah minum antasida. Gejala
lain seperti mual, muntah, bersendawa, dan kurang nafsu
makan.
b. Gastritis Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada mukosa
dan submukosa lambung. Penyebabnya oleh makanan atau
obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya
pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Gejala yang
timbul seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan
menurun, dan kadang terjadi perdarahan.
c. Gastro esophageal reflux disease (GERD) GERD adalah
kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks
(mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala
khas berupa rasa panas terbakar di dada (heart burn), kadang
disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit
di lidah, serta kesulitan menelan. Belum ada tes standar yang
mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-
gejala penyakit lain atau ditemukannya radang pada esofagus
seperti esofagitis.
d. Karsinoma Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus,
lambung, pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia.
Keluhan utama yaitu rasa nyeri di perut, nafsu makan menurun,
timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun
e. Pankreatitis Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah
rasa nyeri hebat di epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan
terus menerus, seperti ditusuk-tusuk dan terbakar. Rasa nyeri
dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung.
Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang
beberapa jam kemudian. Perut yang tegang menyebabkan mual
dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di perut bagian atas
juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Pada
pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan
disertai tanda-tanda diabetes melitus.
f. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi Malabsorpsi adalah suatu
keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan digesti
secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini
mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering
flatus, kembung dan timbulnya diare berlendir.
g. Gangguan Metabolisme Diabetes Mellitus (DM) dapat
menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga muncul
keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan
muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung
untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan
berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan metabolik lain
seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus.
h. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori Penemuan
bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari
Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan
adanya bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia.
Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam mengobati
penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi
yang disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat
menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut
gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak
bahkan dapat menjadi kanker.
2. Dispepsia non organik (fungsional), atau dispepsia non ulkus (DNU),
bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi. Beberapa hal yang dianggap
menyebabkan dispepsia fungsional antara lain:
a. Sekresi Asam Lambung Kasus dengan dispepsia fungsional,
umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung baik
sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin dapat
dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hiposekresi
b. Dismotilitas Gastrointestinal Dismotilitas Gastrointestinal yaitu
perlambatan dari masa pengosongan lambung dan gangguan
motilitas lain. Pada berbagai studi dilaporkan dispepsia
fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
hipomotilitas antrum hingga 50% kasus.
c. Diet dan Faktor Lingkungan Intoleransi makanan dilaporkan
lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional. Dengan
melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu makanan
saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak mengandung
HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor nervus vagus,
dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses
pencernaan. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal
secara langsung tetapi efek dari antral gastrin dan rangsangan
lain sel parietal
d. Psikologik Stress akut dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat.
Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentra

(Gambar 2.2 Klasifikasi Dispepsia)

2.4. Clinical Assessment Of Dyspepsia And Diagnose Dispepsia


Gejala-gejala dispepsia yang meliputi: nyeri atau rasa tidak nyaman
pada abdomen bagian atas, seperti heartburn, refluks asam, mual dan
muntah, terasa penuh, cepat kenyang, tak suka makan, dan pengeluaran gas
yang berlebihan (bersendawa). Walaupun gejala-gejala tersebut tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyebab dari dispepsia, akan tetapi gejala klinis
tersebut harus ditindak lanjuti dengan memperhatikan ada atau tidaknya
alarm signs meliputi: pendarahan saluran cerna yang kronis (hematemesis,
melena, anemia defisiensi besi), penurunan berat badan >10%, kesulitan
menelan yang progresif, muntah yang menetap, abdominal swelling; atau
jika pasien berusia ≥55 tahun dengan gejala dispepsia tanpa sebab yang
jelas dan menetap. Selain itu dilakukan review tentang riwayat
mengkonsumsi obat-obatan yang mungkin menjadi penyebab dari
dispepsia, misalnya: kalsium antagonis, nitrat, teofilin, bifosfonat, steroid,
dan NSAID (Putri & Suryaningsih, 2019). Pada clinical assesment tidak
ditemukan alarm signs dan pasien berusia <55 tahun, maka pemeriksaan
endoskopi tidak perlu dilakukan. Pada kondisi ini pasien dikategorikan
mengalami uninvestigated dyspepsia. Endoskopi dilakukan hanya bila
muncul tanda alarm signs dan memiliki usia ≥55 tahun dengan gejala
dispepsia tanpa sebab yang jelas dan menetap. Pemeriksaan endoskopi
tidak perlu dilakukan pada semua pasien dengan beberapa alasan yaitu:
biaya yang mahal dan adanya rasa tidak nyaman pada pasien (Putri &
Suryaningsih, 2017).
Pasien yang akan diendoskopi harus bebas dari Proton Pump
Inhibitor (PPI) ataupun H2 Receptor Antagonist (H2RA) selama 2 minggu
sebelum dilakukan endoskopi agar hasil endoskopinya akurat dan tidak
terjadi false negatif dalam memperlihatkan gambaran kondisi lambung
yang sebenarnya. Karena dikhawatirkan setelah diberi PPI atau H2RA
maka erosi atau ulkus yang ada menjadi hilang. Pada pasien yang dilakukan
pemeriksaan endoskopi, bila hasil endoskopi menunjukan hasil yang
normal, maka pasien dikategorikan dalam non-ulcer dyspepsia. Baik pasien
uninvestigated dyspepsia maupun non-ulcer perlu dilakukan pemeriksaan
Helicobacter pylori (H.pylori). Beberapa metode untuk melakukan
pemeriksaan H.pylori antara lain: Uji serologi, faecal (stool) antigen
testing, labelled C-urea breath tests. Uji serologi merupakan tes yang paling
murah dari ketiga tes tersebut, tetapi akurasinya kurang dengan sensitivitas
dan spesifikasi sebesar 80-90%. Faecal (stool) antigen testing lebih akurat
dibandingkan dengan uji serologi karena memiliki sensitivitas dan
spesifikasi 90-100%. Labelled C-urea breath tests juga lebih akurat
dibandingkan dengan uji serologi karena memiliki sensitivitas dan
spesifikasi >95%. Jika dilihat dari nilai sensitivitas dan spesifikasinya maka
Labelled C-urea breath tests memiliki rentang nilai yang paling mendekati
100% sehingga bisa disimpulkan uji ini yang paling akurat dibandingan uji
yang lain, hanya saja biaya Labelled C-urea breath tests lebih mahal
daripada uji yang lain (Putri & Suryaningsih, 2017).

Gambar 2.3 Penilaian Klinis dan Diagnosis Dispepsia (Putri & Suryaningsih,
2017)
2.5. Penatalaksanan Terapi Dispepsia

Tujuan umum penatalaksanaan dispepsia yaitu untuk mengontrol gejala


dispepsia secara efektif, sedangkan tujuan khususnya disesuaikan dengan
penyebab dispepsia. Tujuan khusus tersebut akan dibahas pada masing-
masing penatalaksanaan dispepsia sesuai penyebabnya.

2.5.1. Terapi Farmakologi

Tujuan pengobatan uninvestigated dyspepsia adalah:

1. Untuk mengontrol secara efektif gejala dyspepsia.


2. Untuk mengidentifikasi dan mengobati infeksi H.pylori.

3. Untuk mencegah kekambuhan dan komplikasi.

Dispepsia umum ditemukan pada penyakit saluran cerna bagian atas,


misalnya pada penyakit refluks asam lambung ke esofagus
(gastroesophageal reflux disease atau GERD), gastritis (sakit maag), dan
peptic ulcer (ulkus peptik atau tukak saluran cerna). Di kalangan awam
rata-rata orang menyatakan dispepsia dalam istilah sakit maag. Ada
berbagai jenis pilihan terapi untuk dispepsia yang tersedia. Secara
umum, pilihan terapi dispepsia dapat dibagi menjadi golongan antasida,
golongan H2-receptor antagonist, proton pump inhibitor (PPI), dan
pelindung mukosa lambung. Di luar empat golongan tersebut, ada
beberapa obat lain yang juga digunakan untuk dispepsia.

1. H2-receptor antagonis, H2-receptor antagonist bekerja sebagai


inhibitor kompetitif terhadap histamin di reseptor H2 yang
terdapat di sel parietal lambung. Dengan mekanisme ini, H2-
receptor antagonist dapat menekan produksi asam lambung.
Karena secara klinis obat golongan ini sudah kalah unggul
daripada proton pump inhibitors dalam mengatasi keluhan
terkait asam lambung, H2- receptor antagonist hanya
diindikasikan untuk meredakan gejala dispepsia saja. Diduga
dapat timbul toleransi terhadap H2-receptor antagonist dengan
sebab yang belum jelas. Contoh-contoh: cimetidine, ranitidine,
famotidine.

2. Proton pump inhibitors atau PPI adalah salah satu obat


gastrointestinal yang paling banyak mendapat perhatian saat ini.
Termasuk salah satu golongan obat untuk dispepsia dan masalah
lambung. PPI merupakan derivat benzimidazol yang bekerja
pada bagian sekretori sel-sel parietal lambung dan berikatan
dengan saluran ion H+/K+-ATPase (pompa proton). Bagian ini
berperan pada tahap akhir produksi asam lambung. Oleh karena
itulah obat ini mampu menghasilkan penekanan asam lambung
lebih kuat dan lebih lama daripada obat-obat gastritis lainnya.

3. PPI memiliki beberapa class effect. Pertama dari segi indikasi.


Seluruh PPI diindikasikan untuk gastritis dan perdarahan saluran
cerna dengan efektivitas klinis hampir sama. Selain itu juga PPI
digunakan sebagai salah satu terapi eradikasi H.pylori bersama
dengan beberapa antibiotika. Apapun PPI yang digunakan untuk
kasus ini, efektivitasnya relatif sama. Efek samping seluruh PPI
juga relatif sama, yaitu sakit kepala, diare, mual, dan nyeri perut.
Obat ini sebaiknya dikonsumsi 30-60 menit sebelum makan
pada pagi hari, karena konsumsi setelah makan dapat
menurunkan efektivitas obat sampai dengan 50- 60%. PPI juga
diformulasi dalam bentuk tablet salut enterik sehingga tidak
mudah rusak oleh asam lambung.
(Gambar 2.4 Tatalaksana terapi untuk pasien dyspepsia yang tidak perlu dirujuk)
Gambar 2.5 Tatalaksana Terapi Non-ulcer Dispepsia
Gambar 2.6 Tatalaksana terapi dyspepsia karena pengunaan obat-obatan
2.5.2. Terapi Non Farmakologi
1. Perubahan life style, termasuk menurunkan berat badan, makan makanan sehat
dan berhenti merokok (Putri & Suryaningsih, 2017).
a. Penelitian mengenai life style untuk mengurangi gejala dispepsia sedikit
dan tidak meyakinkan
b. Studi epidemiologi menunjukan hubungan antara obesitas dan GORD,
tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara dispepsia dan faktor-faktor
lain seperti: merokok, alkohol, kopi, dan makanan. Merokok, alkhol,
kopi, coklat memiliki efek relaksasi pada sfingter esofagus bawah.
Obesitas dapat mengacaukan sfingter esophagus bawah dengan
mekanisme menekan diafragma. Merokok meningkatkan pengeluaran
asam lambung dan menunda pengosongan asam lambung. Alkhol
secara langsung menyebabkan luka pada mukosa lambung dan
menyebabkan NUD. Makanan berlemak dapat menunda pengosongan
lambung dan juga mempengaruhi GORD. Walaupun demikian
perubahan life style dapat memberikan efek pada beberapa pasien dan
secara umum bermanfaat sehingga menyebabkan perubahan life style
merupakan faktor yang penting.
2. Terapi fisiologi
Terapi fisiologi meliputi psikoterapi dan terapi perilaku, dapat
mengurangi gejala dispepsia pada beberapa pasien. Pasien dengan NUD pada
3 percobaan kecil diberikan intervensi, intervensi pada percobaan pertama
berupa 6 sesi relaksasi dan sesi analisis situasi dalam waktu 90 menit selama
12 minggu. Percobaan kedua lagi berupa 10 sesi terapi individual kongnitif
dalam waktu 45 menit selama 4 bulan dan percobaan ketiga menggunakan sesi
terapi psikodinamik selama 3 jam, diikuti oleh 6 sesi dalam waktu 50 menit.
Secara psikologi menunjukan penurunan gejala dispepsia dalam waktu 3 bulan
dan berlangsung lama hingga 1 tahun (Putri & Suryaningsih, 2017).
III. ALAT DAN BAHAN
Alat :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.
Bahan :
1. Text Book
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

IV. STUDI KASUS

 Ny. XY, 38 thn, datang ke apotek mengeluhkan rasa sesak, kembung,


tidak enak di perut bagian ulu hati. Pasien mengurangi rasa tidak enak
dengan cara beberapa kali makan dalam sehari. Pasien sudah
mengalami gejala tersebut selama 2 minggu terakhir. Pasien juga tidak
mengeluhkan hal yang lain. Pasien memiliki riwayat penyakit "maag"
dan mengobati dirinya dengan obat maag saja. Ny. XY belum
mengkonsumsi obat lainnya. Apoteker dari apotek ABC memberikan
polysilane® kepada Nn. XY. Temukan DRP pada kasus ini?
 Nn. W, 26 thn, pergi ke dokter umum kembali dengan mengeluhkan
nyeri di ulu hati rasa bagian atas dan bawah, mual, penurunan nafsu
makan yang belum bilang. Pasien rasa sudah mengalami gejala tersebut
selama 15 hari terakhir. Sebelumnya pasien mendapatkan obat
ranitidine tablet dan antasida sirup. Akhirnya Nn. W mendapatkan
rujukan untuk melakukan endoskopi di RS. Hasi! dari endoskopi
adalah gastritis ec dyspepsia. Pasien kembali ke dokter dengan
membawa hasilnya dan mendapatkan obat berupa sulcrafat sirup,
omeprazole tablet, domperidone tablet, dan antasida sirup.
Temukan DRP pada kasus ini?
 PEMBAHASAN KASUS PERTAMA

PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Tn. / Ny. Xy

Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS :


Usia : 38 th Tgl. KRS :
Tinggi badan : -
Berat badan :-

Presenting Complaint : Mengeluh sesak, kembung, tidak enak diperut bagian ulu
hati

Diagnosa kerja :Unvestigated Dispepsia


Diagnosa banding : Dispepsia akut (<4 minggu) yaitu 2 minggu terakhir

 Relevant Past Medical History:


Riwayat penyakit maag

Drug Allergies:-

Tanda-tanda Vital tgl tgl Tgl


Tekanan darah
Nadi
Suhu
Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
digunakan (literatur)
Untuk
meredakan asam
lambung 3-4 x sehari 1-2
1 Polysilane tab 2 X 1 tab
berlebih, tab
gastritis, tukak
lambung

RR

LABORATORY TEST
Test (normal range) tgl tgl
WBC (4000-10000/mm3)
Hb (L: 13-17 g/dL)
RBC (4-6x106/mm3)
Hct (L:40-54%)
PLT (150000-450000/mm3)
Gula darah puasa (76-110 mg/dL)
Gula darah 2 jam PP (90-130 mg/dL)
Cholesterol (150-250 mg/dL)
TG (50-200 mg/dl)
Uric acid (L:3,4-7 mg/dL)
Albumin (3,5-5,0 g/dL)
SGOT (0-35 u/L)
SGPT (0-37 u/L)
BUN (10-24 mg/dL)
Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl)
Natrium (135-15 mEq/L)
Kalium (3,5-5,0 mEq/L)

No Further Information Required Alasan


Pentingnya mempertanyakan lifestyle
yaitu dimana lifestyle yang buruk
merupakan salah satu faktor pemicu
dispepsia. Life style buruk hampir
terjadi disetiap kalangan pasien bila
dilihat dari faktor ekonominya.
Sehingga sangat penting diketahui jenis
pekerjaan maupun kegiatan yang
Lifestyle : Mengenai pekerjaan atau sedang ditekuni atau sedang dilakukan
kegiatan pasien, informasi pola oleh pasien. Data penunjang ini
1.
hidup pasien (terkait makanan, nantinya akan dihubungkan dengan
istirahat, olahraga, maupun diet). pola hidup psien misalnya konsumsi
makanan yang kurang sehat, makan
dengan waktu yang tidak teratur,
kurang istirahat dan olahraga.
Jawaban pertanyaan :
Pasien tidak merokok,, tidak meminum
alkohol, Istirahat 6 jam sehari, namun
hari sebelumnya pasien sempat makan
pedas yaitu bubur
Adanya riwayat penyakit dan alergi
memungkinkan terjadinya atau
dikaitan dengan faktor pemicu
2. Riwayat penyakit dan alergi pasien
dispepsia. Memungkinkan adanya
interaksi antar obat maupun interaksi
obat dengan makanan.
Jawaban pertanyaan :
Pasien memiliki riwayat penyakit maag
dan tidak mempunyai alergi terhadap
obat apapun.
Adanya riwayat penggunaan obat dapat
menjadi faktor timbulnya dyspepsia.
Konsumsi obat-obatan tertentu dapat
memicu ternyadinya dyspepsia.
Adapun obat-obatannya yaitu
penggunaan obat NSAID,
3. Riwayat penggunaan obat
kortikosteroid, CCB, Teofilin, Nitrat,
dan Bifosfonat.
Jawaban Pertanyaan :
- Pasien mengkonsumsi polysiline.
- Pasien tidak minum obat golongan
NSAID
Dosis obat dapat memicu terjadinya
gejala dyspepsia, terutama penggunaan
obat dengan dosis yang berlebih.
4. Dosis Penggunaan Obat
Jawaban Pertanyaan :
Pasien mengkonsumsi polysiline
dengan dosis 2 x sehari 1 tab
Untuk mengetahui kondisi dyspepsia
yang dialami pasien, termasuk kedalam
Berat Badan, Tinggi Badan, Suhu
5. dyspepsia jenis apa.
Tubuh, dan Tekanan Darah
Jawaban pertanyaan :
Ideal
Problem List (Actual Problem)
Medical Pharmaceutical
1 Maag 1 M 1.1 Obat tidak efektif
/pengobatan gagal
2 2 P 3.1 Dosis obat terlalu rendah
3 3
4 4
5 5

Pharmaceutical problem
Subjective ( symptom )
Pasien mengeluh sesak, kembung, tidak enak diperut bagian ulu hati.
Objective ( signs )
Berat badan dan tinggi badan pasien ideal
Assessment ( with evidence )
 Pasein mengkonsumsi polysiline : M 1.1 obat tidak efektif / pengobatan gagal
P 3.1 Dosis terlalu rendah
Plan ( including primary care implication )
Terapi Farmakologi
 Penggantian obat polysiline karena pengguanan obat tersebut tidak efektif
diganti menggunakan Golongan PPI yaitu Omeprazole 20 mg 1 x sehari
Terapi Non Farmakologi (Hadi Sujono, 2010)
 Kurangi makanan pedas, makanan asam, dan kurangi mengkonsumsi
alcohol.
 Manajemen stres
 Cukup istirahat
 Diet dengan makanan yang sedikit kalori.
 Diet dengan makanan yang banyak mengandung susu dan dalam porsi yang
kecil.
 Makanan-makanan yang lembek sehingga mudah untuk dicerna, tidak bisa
dan dapat menetralisir asam HCl.
Monitoring
 Efektivitas
- Cek tingkat penurunan gejala
- Sesak dimonitoring apakah membaik atau memburuk
- Pemberian terapi obat dipantau, apakah dapat menurunkan gejala
dyspepsia yang dialami atau tidak
 Efek Samping
- Omeprazole: Sakit kepala, nyeri abdominal, diare, mual
PEMBAHASAN

Pada praktikum farmakoterapi terkait penyakit dyspepsia, dimana dyspepsia


merupakan perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas atau dada
bagian bawah. Terkait kasus yang telah diberikan Pasien atas nama Ny. XY, 38 thn,
datang ke apotek mengeluhkan rasa sesak, kembung, tidak enak di perut bagian ulu
hati. Pasien mengurangi rasa tidak enak dengan cara beberapa kali makan dalam sehari.
Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 2 minggu terakhir. Pasien juga tidak
mengeluhkan hal yang lain. Pasien memiliki riwayat penyakit "maag" dan mengobati
dirinya dengan obat maag saja. Ny. XY belum mengkonsumsi obat lainnya. Apoteker
dari apotek ABC memberikan polysilane® kepada Nn. XY Ada beberapa hal kurang
dalam informasi pasien mendukung dalam memberikan penanganan terapi dispepsia
yaitu :
1. Lifestyle
Mengenai pekerjaan atau kegiatan pasien, informasi pola hidup pasien
(terkait makanan, istirahat, olahraga, maupun diet). Pentingnya
mempertanyakan lifestyle yaitu dimana lifestyle yang buruk merupakan salah
satu faktor pemicu dispepsia. Life style buruk hampir terjadi disetiap kalangan
pasien bila dilihat dari faktor ekonominya. Sehingga sangat penting diketahui
kegiatan yang sedang ditekuni atau sedang dilakukan oleh pasien. Data
penunjang ini nantinya akan dihubungkan dengan pola hidup pasien misalnya
konsumsi makanan yang kurang sehat, makan dengan waktu yang tidak teratur,
kurang istirahat dan olahraga. Menurut hasil data yg didapat dari pasien Pasien
tidak merokok,, tidak meminum alkohol, Istirahat 6 jam sehari, namun hari
sebelumnya pasien sempat makan pedas yaitu bubur.
2. Riwayat penyakit dan alergi pasien
Adanya riwayat penyakit dan alergi memungkinkan terjadinya atau
dikaitan dengan faktor pemicu dispepsia. Memungkinkan adanya interaksi
antar obat maupun interaksi obat dengan makanan. Dari data yang diperoleh
bahwa Pasien memiliki riwayat penyakit maag dan tidak mempunyai alergI
terhadap obat apapun.
3. Riwayat penggunaan obat
Adanya riwayat penggunaan obat dapat menjadi faktor timbulnya
dyspepsia. Konsumsi obat-obatan tertentu dapat memicu ternyadinya
dyspepsia. Adapun obat-obatannya yaitu penggunaan obat NSAID,
kortikosteroid, CCB, Teofilin, Nitrat, dan Bifosfonat. Data pasien yang
diperoleh pasien mengkonsumsi obat polisyline dan tidak mengkonsumsi
NSAID
4. Dosis Penggunaan Obat
Dosis obat dapat memicu terjadinya gejala dyspepsia, terutama
penggunaan obat dengan dosis yang berlebih. Dari data yang diperoleh Pasien
mengkonsumsi polysiline dengan dosis 2 x sehari 1 tab
5. Berat Badan, Tinggi Badan
Untuk mengetahui kondisi dyspepsia yang dialami pasien, termasuk
kedalam dyspepsia jenis apa. Sehingga data yang diperoleh yaitu ideal
Dalam penyelesain kasus tersebut apakah pasien mengalami dyspepsia, maka
langkah yang digunakan menggunakan metode SOAP melihat Subjectivenya, Objektif,
Assment beserta Plann yang akan digunakan untuk penunjang tataklasana terapi pasien
serta apa saja yang harus dimonitoring dari efektivitas sama mengetahui efek samping
yang timbul dari penggunaan obat.
Data yang dipeoleh melihat Subjektif pasien dimana pasien mengalami keluhan
mengeluh sesak, kembung, tidak enak diperut bagian ulu hati. Dilihat dari gejala yang
muncul pasien mengalami tanda-tanda dyspepsia dimana Menurut Gejala atau
manifestasi klinis dari dispepsia yaitu nyeri perut, rasa perih di ulu hati, perut kembung,
mual kadang-kadang sampai muntah, nafsu makan berkurang, rasa panas di dada atau
perut. Dengan melihat gejala tersebut, pasien dapat mengalami dyspepsia Hadi,2010).
Selain dilihat dari tanda klinis, keluhan pasien dari faktor resiko seperti pola makan
pasien, kondisi psikologi pasien karean aktivitas yang dilakukan pasien. Karena pasien
sebelum mengalami keluhan, pasien sempat mengkonsumsi makanan pedas. Makanan
pedas dapat merangsang sekresi asam lambung berlebih sehingga mucul gejala sindom
dyspepsia. Peningkatan sekresi asam lambung yang melampaui batas akan mengiritasi
mukosa lambung sehingga timbul gastritis dan tukak (Adri,2011). Hall ini disebabkan
karena asam lambung yang berlebihan dan adanya penurunan kontraktilitas lambung
yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Selain itu, stres
mengubah sekresi asam lambung, motilitas, dan vaskularisasi saluran pencernaan
(Bentar, 2014).
Assesment merupakan analisis dan interpretasi berdasarkan data yang
terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis
atau masalah potensial, serta perlu tidaknya dilakukan tindakan segera. Pada kasus ini
assasment yang didapatkan menurut PCNE (2017) :
M1.1 Obat tidak Efektif / pengobatan gagal dan P3.1 Dosis terlalu rendah
Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan
pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga
kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki.
Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, jangka waktu terapi yang terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute
pemberian, dan sediaan obat tidak tepat. (Cipolle et al, 1998)
Plan adalah tindak lanjut dari assesment atau penilaian yang sudah dilakukan
sebelumnya, hal-hal yang dapat dilakukan terhadap pasien, meliputi treatment yang
diberikan, pemantauan (efektivitas terapi, efek samping obat) dan endpoint therapy
informasi pada pasien. Tujuan dari tatalakasana terapi penyakit dyspepsia yaitu untuk
mengontrol gejala dyspepsia secara efektif dan mencegah kekekambuhan dan
komplikasi.
1. Terapi Farmakologi
Omeprasol dengan dosis 20 mg 1 x sehari. Omeprazol bekerja spesifik sebagai
penghambat pompa asam di sel parietal, basa lemah dikonsentrasikan dan
diubah menjadi bentuk aktif dalam lingkungan asam pada kanalikuli
intraselular melalui penghambat enzim H+/K+-ATPase, yang sangat reaktif
berikatan dengan kelompok sulphydryl pada Na+/K+-ATPase. Sifatnya yang
irreversibel ini menginaktifkan enzim sehingga terjadi penghambatan sekresi
asam, dimana dosis tunggal 20 mg mampu mengurangi 90% asam lambung
selama 24 jam.26 Studi di Australia mendapatkan omeprazol lebih baik
dibandingkan plasebo dalam mengatasi dispepsia fungsional pada dosis standar
20 mg dan dosis rendah 10 mg. Omeprazol diindikasikan untuk pengobatan
refluks esofagus, ulkus duodenal, ulkus lambung, NSAID yang berhubungan
dengan erosi lambung dan ulkus duodenal, dispepsia, sindroma Zollinger
Ellison, dan pengobatan ulkus peptik. PPI merupakan pilihan yang tepat untuk
penggunaan NSAID daripada H2 reseptor antagonis atau sulkrafat, karena
selain dapat menekan produksi asam, PPI juga mempunyai efek dapat
mencegah kekambuhan ulcer (Berardy dan Lynda, 2005). Obat golongan PPI
yaitu omeprazole yang digunakan pada pasien gastritis dan dispepsia sebanyak
65 pasien (27.90%) hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rinza (2016) yang menyatakan bahwa penggunaan obat gastritis maupun
dispepsia yang paling banyak digunakan adalah omeprazole. Pasien dengan
kondisi gangguan lambung yang harus tetap menggunakan OAINS maka dosis
OAINS harus dikurangi atau beralih menggunakan parasetamol, non
asetilsalisilat, atau COX-2 selektif inhibitor karena selektif menghambat COX-
2 yang berperan dalam proses inflamasi namun tidak menghambat COX-1 yang
memiliki peran dalam menjaga integritas mukosa lambung (Berardi and
Welage, 2008). PPI merupakan obat pilihan ketika OAINS harus tetap
digunakan, PPI sebagai penekan asam yang diperlukan untuk mempercepat
penyembuhan tukak (Berardi and Welage, 2008); (Diyah,2008)
2. Terapi Non Farmakologi
1. Kurangi makanan pedas, makanan asam, dan kurangi mengkonsumsi
alkohol karena dapat menyebabkan sekskeresi asam kambung berlebih
sehingga dapat melukai mukosa lambung.
2. Manajemen stres, dikarenakan Ny. Nina merupakan pegawai bank dapat
diasumsikan jika pekerjaan Ny. Nita ini menyebabkan stres berlebih maka
dari itu dapat disarankan Ny, Nita menghabiskan akhir pekan untuk piknik
atau refreshing diri.
3. Cukup istirahat
4. Diet dengan makanan yang sedikit kalori, porsi makanan diberikan lebih
sedikit namun sering disarankan makanan yang rendah lemak, rendah serat,
tidak pedas dan mudah di cerna di dalam lambung.
5. Diet dengan makanan yang banyak mengandung susu dan dalam porsi yang
kecil untuk mengurangi sekresi asam lambung yang berlebih
6. Makanan-makanan yang lembek sehingga mudah untuk dicerna, dan dapat
menetralkan asam HCl (asam lambung)
Monitoring dilakukan untuk memantau terapi yang digunakan pasien dengan
melakukan cek tingkat penurunan gejala, apabila tidak adanya penurunan gejala terapi
obat dapat diganti sesak dimonitoring apakah membaik atau memburuk, jika sesak
mulai berangsur menghilang dan pemberian terapi obat dipantau, apakah dapat
menurunkan gejala dyspepsia yang dialami atau tidak.

KESIMPULAN
Berdasarkan kasus pasien Xy yang didiagnosa mengalami dispepsia, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. dispepsia merupakan perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen
bagian atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin
digunakan oleh pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi
atau flatus.
2. Patofisiologi yang berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah
hipersekresri asam lambung, infeksi helicobakter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas visceral.
3. Klasifikasi dyspepsia dilakukan untuk tindakan endoskopi dapat dibedakan
menajdi uninvestigated dyspepsia dan investigated dyspepsia
:Uninvestigated dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien
mengalami gejala nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdominal atas,
heartburn, refluks asam lambung dengan atau tanpa bloating mual muntah,
namun bukan merupakan tanda kondisi yang berbahaya (alarm signs)
vsehingga tidak memerlukan pemeriksaan endoskopi. Dan Investigated
dyspepsia merupakan suatu kondisi dimana pasien mengalami tanda
kondisi yang berbahaya (alarm signs) sehingga memerlukan pemeri8ksaan
edoskopi untuk mengetahui penyebab terjadinya dyspepsia.
4. Tatalaksana penyakit dispepsia sebagai berikut :
Terapi Farmakologi :
 Golongan PPI yaitu Omeprazole 20 mg 1 x sehari
Terapi Non Farmakologi (Hadi Sujono, 2010) :
 Kurangi makanan pedas, makanan asam, dan kurangi
mengkonsumsi alcohol.
 Manajemen stress
 Cukup istirahat
 Diet dengan makanan yang sedikit kalori.
 Diet dengan makanan yang banyak mengandung susu dan dalam
porsi yang kecil.
 Makanan-makanan yang lembek sehingga mudah untuk dicerna,
tidak bisa dan dapat menetralisir asam HCl.

Anda mungkin juga menyukai