Anda di halaman 1dari 9

ISLAM DAN ETIKA KEDOKTERAN

ABSTARK

Kajian ini membahas tentang perspektif Islam terhadap etika kedokteran. Permasalahannya adalah
bagaimanakah konsep Islam berkaitan dengan etika kedokteran dengan kata lain, bagaimana peranan
Agama Islam terhadap pengaplikasian etika kedokteran. Kajian ini menghasilkan bahwa; penghayatan
dan ketaatan seorang dokter dalam melaksanakan ajaran agamanya adalah hal yang sangat menentukan
dalam pengaplikasian etika kedokteran. Sebagai suatu pendidikan profesi, pendidikan kedokteran
diharapkan dapat menghasilkan dokter yang –selain- menguasai ilmu teori dan praktik kedokteran, juga
memiliki perilaku dan etika yang mulia. Dalam praktek pengobatan dan perawatan pada pasien seorang
dokter perlu menerapkan prinsip-prinsip etika karena itu sangat berpengaruh pada keberhasilannya
dalam menyembuhkan pasien. Selain sikap itu khusus untuk menjaga nama baik atau keprofesionalan
seorang dokter, sikap-sikap etis dokter juga berkaitan dengan psikologi pasien. Seorang dokter, selain
memiliki potensi untuk menciptakan suasana, juga mampu membangun semangat untuk sembuh bagi
pasiennya.

Kata kunci:
Persspektif
Islam
Etika
kedokteran

PENDAHULUAN
Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak positif dan negativenya. Di antara
dampak positif tersebut misalnya terbukanya berbagai kemudahan dan kenyamanan baik dalam
lingkungan kesehatan, ekonomi, informasi, teknologi, social dan psikologi. Sedangkan dampak
negatifnya antara lain terjadinya dislokasi, sekularisasi, dehumanisasi dan sebagainya.
Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagi agama yang memberi perhatian
pada kaseimbangan hidup antara hubungan manusia dengan Tuhan, dan antara hubungan manusia
dengan manusia; antara urusan ibadah dengan urusan muamalah.
Keterkaitan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut diatas menjadi penting jika
dikaitkan dengan situasi kemanusiaan di zaman modern ini. Kita mengetahui bahwa dewasa ini manusia
menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Berbagai
kasus penyimpangan dalam berbagai sector dan lini kehidupan terjadi, termasuk misalnya
penyimpangan yang berkaitan dengan profesi kedokteran.
Pada jaman yang kian berkembang ini telah banyak terjadi berbagai macam kasus yang memperburuk
nama banyak dokter. Beberapa di antaranya mungkin dikarenakan oleh sikap dan perilaku seorang
Dokter dalam menghadapi dan melayani pasiennya. Oleh karena itu, dalam bertugas dan bekerja,
seorang dokter memerlukan suatu etika untuk menjalankan profesinya. Agar dapat tercapai suatu
keserasian, kecocokan dan komunikasi yang baik antara Dokter dengan pasien dan lingkungannya.
Untuk itu, dalam tulisan singkat ini akan dipaparkan bagaimana konsep Islam berkaitan dengan etika
kedokteran.

PENGERTIAN ETIKA
Secara etimologis, Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.
(Zubair, 1980:13). Dalam Bahasa Indonesia (1991), etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). (Poewadarminta:1991:278). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa
etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Secara terminologis, para ahli memberi pengertian etika dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandang masing-masing. Ahmad Amin (1983) misalnya mendefinisikan etika adalah ilmu
yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia di
dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Selanjutnya, dalam encyclopedia Britanika, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang
sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah dan
sebagainya.
Sementara itu, Ki Hajar Dewantara (1966) mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari soal
kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak gerik
pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbanjgan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang
dapat merupakan perbuatan.
Dari beberapa definisi etika tersebut dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat
hal sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
2. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran
maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki
kekurangan, kelebuhan dsb.
3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk,
mulia, terhormat, hina dan sebagainya.
4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan
zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk.

PERKEMBANGAN ILMU KEDOKTERAN


1. Awal Perkembangan Sebelum Islam
Ilmu kedokteran tidak lahir dalam waktu semalam, ungkap Dr. Ezzat Abouleist dalam mengurai
bukunya. Keilmuan yang berkembang dan praktek-prakteknya tidak tanpa mula. Tapi mempunyai
sejarah panjang yang dihasilkan para pendahulu hingga hasilnya dapat dilihat saat ini. Awal mula
kelahirannya dimulai pada masa peradaban Yunani. Dan bangsa-bangsa lain sekitar pada masa itu.
Dalam peradaban Yunani, orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era
ini, menurut penulis Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau
tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran adalah
Hippocrates atau `Ypocras' (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan.
Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun
lebih dari 60 risalah ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis
risalah pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama beberapa abad.
Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen (2 M). Ketika era kegelapan
mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam
yang telah berkembang pesat di Timur Tengah, menurut Ezzat Abouleish, seperti halnya lmu-ilmu yang
lain.
2. Pada Masa Peradaban Islam
a. Masa Awal
Perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut. Periode pertama dimulai
dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa
Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan Persia
secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab.
Rujukan pertama kedokteran terpelajar dibawah kekuasaan khalifah dinasti Umayyah, yang
memperkerjakan dokter ahli dalam tradisi Helenistik. Pada abad ke-8 sejumlah keluarga dinasti
Umayyah diceritakan memerintahkan penterjemahan teks medis dan kimiawi dari bahasa Yunani ke
bahasa Arab. Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa khalifah dinasti Umayyah, Umar ibn Abdul Aziz
(p.717-20) memerintahkan penterjemhan dari bahasa Siria ke bahasa Arab sebuah buku pegangan
medis abad ketujuh yang ditulis oleh pangeran Aleksandria Ahrun.
Pengalihbahasaan literatur medis meningkat drastis dibawah kekuasaan Khalifah Al-Ma'mun
dari Diansti Abbasiyah di Baghdad. Para dokter dari Nestoria dari kota Gundishpur dipekerjakan dalam
kegiatan ini. Sejumlah sarjana Islam pun terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer
pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Yuhanna Ibn Masawayah (w. 857), Jurjis Ibn-
Bakhtisliu, serta Hunain Ibn Ishak (808-873 M) ikut menerjemahkan literatur kuno dan dokter masa
awal.
Karya-karya original ditulis dalam bahasa Arab oleh Hunayn. Beberapa risalah yang ditulisnya,
diantaranya al-Masail fi al-Tibb lil-Mutaallimin (masalah kedokteran bagi para pelajar) dan Kitab al-Asyr
Maqalat fi al-Ayn (sepuluh risalah tentang mata). Karya tersebut berpengaruh dan sangat inovatif,
walaupun sangat sedikit memaparkan observasi baru. Karya yang paling terkenal dalam periode awal ini
disusun oleh Ali Ibn Sahl Rabban al-Tabari (783-858), Firdaws al-Hikmah. Dengan mengadopsi satu
pendekatan kritis yang memungkinkan pembaca memilih dari beragam praktek, karya ini merupakan
karya kedokteran Arab komprehensif pertama yang mengintegrasikan dan memuat berbagai tradisi
kedokteran waktu itu.
Perkembangan tradisi dan keberagaman yang nampak pada kedokteran Arab pertama, dikatan
John dapat dilacak sampai pada warisan Helenistik. Dari pada khazanah kedokteran India. walaupun
keilmuan kedokteran India kurang terlalu mendapat perhatian, tidak menafikan adanya sumber dan
praktek berharga yang dapat dipelajari. Warisan ilmiah Yunani menjadi dominan, khususnya helenistik,
John Esposito mengatakan “satu kesadaran atas (perlunya) lebih dari satu tradisi mendorong untuk
pendekatan kritis dan selektif “,Seperti dalam sains Arab awal.
b. Masa Kejayaan
Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS)
besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan
pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru. Tak heran, bila
penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan
peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran,
hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,'' papar Ezzat
Abouleish.
Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi,
Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon. Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama
Razes. Ia pernah menjadi dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu
pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Buku
kedokteran yang dihasilkannya berjudul “Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) dan “Al-Hawi”.
Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia adalah
ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi
dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk
menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah.
Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, 'Al-Tastif Liman Ajiz'an Al-Ta'lif' -
ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-
17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol
dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga
menulis buku tentang tentang operasi gigi.
Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah satu
kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine.
Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata. Hingga
abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di Eropa.
Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter
kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia
kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu berisi
rangkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul 'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik
kedokteran.
Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia terlahir di awal
era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala RS Al-Mansuri di
Kairo. Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah 'Mujaz Al-Qanun'. Buku
itu berisi kritik dan penambahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina. Beberapa nama dokter Muslim
terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang
dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan Al-
Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.
Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa
stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di
abad pertengahan. sampai disini, penulis tidak akan menjelaskan nasib Ilmu kedokteran masa
kemunduran Islam. Karena sudah jelas Peradaban Islam mengalami kematian. Oleh karena itu, dalam
sub-bab selanjutnya penulis akan terus menulusuri warisan-warisan peradaban Islam berkaitan dengan
bidang ini. Karena banyak sekali warisan peradaban Islam dalam bidang kedokteran, baik itu berupa
teori-teori pengobatan, lembaga-lembaga, beserta sistemnya.
ISLAM DAN PELAYANAN KESEHATAN
Pelayanan kesehatan dalam Islam hendaklah memenuhi keriteria sebagai berikut :
1. Profesionalisme
Menurut Islam pelayanan kesehatan tidak boleh dilakukan oleh orang yang bukan ahli atau bukan
profesinya. Islam mengancam dengan hukuman berat kepada orang yang membuka praktek pengobatan
tanpa ada ijasah. Rasulullah SAW. Bersabda : “Barang siapa menjadi tabib (dokter) tetapi ia tidak pernah
belajar ilmu kedokteran sebelumnya maka ia akan menanggung risikonya” (ditakhrij Abu Daud dan
Nasa’i)
Apa yang diungkapkan dalam hadis di atas merupakan apa yang oleh masyarakat kita sekarang disebut
dengan syahadah (ijasah) kedokteran, artinya jika seseorang mengobati pasien sedang ia tidak
memahami ilmu kedokteran maka ia harus menanggung di depan Undang-Undang atas kesalahan
pengobatan yang dilakukannya.
2. Pertanggungjawaban
Hadis di atas juga memberikan pengertian lain yang tidak kalah pentingya dengan diktum pertama, yaitu
pertanggungjawaban terhadap kesalahan pelayanan pengobatan.
Undang-Undang juga melindungi kesalahan dokter jika kesalahan itu tidak terbukti ada unsur
kesengajaannya atau keteledorannya. Hadis di atas hanya membatasi pertanggungjawaban atas orang
yang melakukan praktek tanpa izin praktek sebelumnya.
3. Setiap penyakit ada obatnya
Apabila ada penyakit yang hingga sekarang belum bisa disembuhkan oleh ilmu medis, oleh karena
memang keterbatasan ilmu kita. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar kita senantiasa berupaya
melakukan penelitian sehingga menemukan obat yang dapat menyembuhkannya. Rasulullah SAW.
Bersabda: “Sesungungnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya. Maka jika
didapatkan obat maka sembuhlah ia dengan izni Allah”.
4. Spesialisasi
Islam mendorong spesialisasi (keahlian khusus) dalam pelayanan kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar
setiap dokter benar-benar ahli dalam bidang yang ditekuninya. Itulah sebabnya maka setiap kali
Rasulullah melihat beberapa dokter yang merawat pasien beliau bertanya: “Siapakah di antara kalian
yang lebih menguasai spesialisasi tentang penyakit ini”.
Apabila beliau melihat seorang di antara mereka yang lebih mengetahui (ahli), maka beliau
mendahulukan di antara yang lainnya.
5. Tidak mengobati sebelum meneliti secara cermat
Dilarang mengobati sebelum meneliti pasien dengan tepat sehingga akan tahu jenis penyakit dan sebab-
sebabnya. Syabardal, seorang tabib Bani Najran datang kepada Rasulullah SAW. Berkata: “Demi
Bapakku, engkau dan ibuku, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini adalah seorang dokter dan tukan
tenung kaumku pada masa jahiliyah, apa yang baik bagiku”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “janganlah
kamu mengobati seseorang sehingga kamu yakin benar penyakitnya”.

ISLAM SUMBER ETIKA TERTINGGI


Pertanyaan yang segera timbul ialah apakah kewajiban-kewajiban seorang dokter seperti
terdapat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, serta sumpah yang telah diikrarkan menurut lapal
sumpah dokter, sudah pasti dapat menjamin seorang dokter untuk tidak melakukan penyelewengan dan
pelanggaran?
Kebiasaan membuktikan bahwa ajaran etika yang semata-mata hanya bersumber dari manusia
akan mudah dilanggar bagaimanapun indah rumusannya, termasuk SUMPAH HIPOCRATES tidak akan
ada artinya bila tidak disertai dengan iman kepada Allah swt. karena rumusan-rumusan etika itu dapat
saja dilanggar tanpa ada sangsi, bahkan dapat dihindarkan dengan berbagai dalih dan alasan sehingga
yang berwajib tidak bisa berbuat apa-apa andaikata tidak ada pengaduan dari pasien atau masyarakat.
Untuk itulah Allah swt. Pencipta alam semesta menurunkan agama kepada manusia dan
beberapa kitab suci untuk dipedomani dan diutus Rasul-Rasul untuk menjadi contoh tauladan dalam
melaksanakan dan mempraktekkan ajaran etika yang dikehendaki oleh Allah swt.
Perlu diketahui bahwa salah satu misi Rasulullah yang amat penting ialah untuk meningkatkan
akhlak ummat manusia. Hal itu dijelaskan sendiri oleh Rasulullah: “Sesungguhnya saya diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R. Malik).
Sebagai utusan Allah, beliau menunjukkan dalam praktek hidup dan kehidupannya sehari-hari contoh-
contoh akhlak yang baik, sehingga Allah memuji seperti yang dinyatakan Tuhan dalam Al-Quran: “Dan
engkau sesungguhnya memunyai akhlak yang tinggi. (QS: Al-Qalam: 4).
Sesungguhnya akhlak yang dibawa dan dikembangkan oleh Rasulullah saw adalah banyak,
meliputi segala segi dan sector kehidupan manusia. Saad bin Hisyam, seorang sahabat pernah bertanya
kepada Aisyah, apakah isi akhlak Rasulullah itu? Aisyah menjawab dengan mengajukan pertanyaan:
“Bukankah anda sudah membaca Al-Qur’an? Isi Al-Qur’an itulah yang menjadi inti sari akhlak beliau”.
Tetapi karena banyak manusia yang tidak memerhatikan etika Rasulullah yakni Al-Qur’an
akibatnya mereka ditimpakan kesengsaraan dan kehinaan seperti yang digambarkan oleh Allah swt.
Yang artinya: “Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat
kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan”. (QS Ali Imran: 112).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia yang akan selamat ialah manusia yang berpegang teguh
kepada agama, yakni mereka yang senantiasa memelihara hubungannya dengan Allah dan sesama
manusia. Apabila kedua hubungan ini tidak mereka pelihara atau dengan kata lain mereka tidak
mendasarkan hidupnya kepada agama, pasti mereka akan celaka dan sengsara dalam kehidupan yang
sesat.
Ajaran pokok dalam agama ialah percaya akan adanya Allah swt. Allah penuntun hidup yang
sebaik-baiknya, ia selalu bersama manusia, ia melihat dan mengetahui apa yang diperbuat oleh
manusia, kemudian ia akan membalas segala kebaikan dan kejahatan yang telah diperbuat oleh manusia
di dunia dengan balasan yang adil dan setimpal.
Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tujuan hidup dan tugas manusia di dunia. yang pertama
tujuan diciptakan manusia ialah untuk menjadi hambanya yang taat kepada perintah-Nya dan menjauhi
semua larangan-Nya. Tersebut di dalam surat az-zariyat: 56 Allah berfirman: “Dan tidaklah aku jadikan
jin dan manusia, melainkan hanya untuk mengabdikan diri kepadaku.
Sedang fungsi manusia ialah sebagai khalifah Allah dimuka bumi, pengelolah semua yang ada dimuka
bumi untuk kebaikan manusia dan alam isinya. Tersebut dalam surat Al-Anbiya:107 “Dan ingatkah ketika
Tuhanmu berkata kepada malaikat: “sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di muka bumi”.
Kemudian Allah menjelaskan untuk siapa manusia bekerja di dunia ini. tersebut dalam surat Al-An’am:
162 “katakanlah: sesunggguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam. Ayat ini menjelaskan bahwa apapun yang kita kerjakan di dunia ini adalah untuk Allah
semata. Hanya kepada-Nya manusia menyembah dan memohon pertolongan.
Setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan niat untuk mencari keridhaan Tuhan, maka
perbuatan itu akan menjadi ibadah di sisi Allah swt. Dengan adanya sanksi (pahala dan dosa) atas setiap
perbuatan manusia, maka mereka yang secara konsisten melakukan segala jenis kebajikan dengan dasar
keimanan dan keikhlasan, ia pasti merasa puas dan bahagia serta memeroleh kemantapan dan
ketenangan dalam jiwanya.
Jiwa yang puas, tenang dan bahagia akan sulit berbuat pelanggaran dan penyelewengan, karena justru
perbuatan yang demikian itu, akan mengganggu ketentraman jiwanya, karena ia merasa diri berdosa.
Dan bagi seorang yang telah memiliki penghayatan dan ketaatan yang baik dalam melaksanakan ajaran
agamanya, maka berbuat dosa, walau sekecil apapun, jiwanya pasti tidak bisa tentram kecuali setelah
ia bertobat dengan sungguh-sungguh kepada Allah swt. Dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan
benar-benar selanjutnya berbuat kebajikan.
Karena itu, seorang dokter yang taat beragama, ia tidak hanya semata-mata melihat perbuatannya itu
sekedar menunaikan kewajiban, tetapi juga sekaligus menilai perbuatannya itu sebagai ibadah kepada
Allah swt.
Seorang dokter yang telah bersumpah akan membaktikan hidupnya demi kepentingan
perikemanusiaan, menjalankan tugasnya dengan cara yang terhormat dan bersusila, kesehatan
penderita senantiassa diutamakan, menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan, tidak
mempergunakan pengetahuan kedokterannya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum perikemanusiaan, begitu pula seperti yang tercantum dalam kode Etik Kedokteran Indonesia.
Semua itu dilakukan bukan semata-mata sekedar sebagai sumpah melainkan lebih daripada itu, ia justru
melakukan itu karena dipandang dan dirasakan sebagai ibadah dan perintah dari Allah swt. bahkan
sebagai amanah yang apabila dilaksanakan dengan baik pasti ia akan memeroleh pahala di sisi Tuhan
dan kalau tidak ia akan memeroleh murka dari pada-Nya.
Karena itu mengucapkan sumpah seperti yang biasa dilakukan pada penyumpahan dokter, adalah
bukan suatu ucapan yang boleh diremehkan atau dilalaikan begitu saja, karena orang yang bersumpah
itu pada hakikatnya adalah orang yang mengucapkan suatu janji di hadapan Tuhan dan menjadikan
Tuhan sebagai sanksi dengan menyebut nama-Nya atau sifat-Nya secara langsung dalam janjinya itu.
Sumpah memunyai arti menguatkan sesuatu dengan mengucapkan nama Allah seperti: Demi
Allah (wallahi, wabillahi, watallahi) dan seterusnya. Seorang dokter yang telah berjanji dengan
mengucapkan sumpah kedokteran kemudian diperkuat dengan sumpah menurut agama, maka ia
sungguh-sungguh telah terikat dengan ikrarnya itu. Sumpah di sini artinya keterikatan tetapi dilakukan
dengan penuh kesadaran, kesengajaan, kerelaan, bukan karena paksaan, dan karena itulah seorang
dokter dengan sumpahnya itu ia berani dengan sungguh-sungguh mempertaruhkan kehormatan dan
jiwanya.
Karenanya para dokter yang sungguh-sungguh menghayati sumpahnya tidak mengherankan
apabila mereka selalu siap dalam tempo 24 jam untuk menunaikan tugas baktinya memberikan
pertolongan kepada penderita dengan tekad bahwa kesehatan penderita senantiasa ia utamakan dalam
rangka membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan.
Seorang dokter yang telah bersumpah menurut agama yang diyakininya, pasti akan berusaha
menjadi seorang dokter yang baik, menunaikan tugas profesinya dengan penuh rasa tanggung jawab di
hadapan Tuhan yang maha Kuasa. Dan kalau ia sudah taat kepada agamanya pasti akan senantiasa sadar
bahwa dirinya selalu dalam control dan pengawasan Tuhannya. Ia yakin akan firman tuhan yang artinya:
“apakah ia tidak mengetahui bahwa Allah senantiasa memerhatikan dia”. Di ayat lain, dikatakan: “Dan
Allah itu selalu beserta kamu dimana saja kamu berada”. Dan firman Tuhan: “Dan kami lebih dekat dari
padanya dari urat lehernya sendiri”.
Statement diatas membuahkan sebuah konsistensi bahwa manusia bisa saja ditipu dan
dibohongi, tapi kepada Tuhan tidak akan bisa ditipu dan dibohongi. Bukankah Dia maha mengetahui lagi
maha bijaksana?
Kesadaran seperti ini hanya bisa lahir dari seseorang yang telah menghayati ajaran agamanya.
Lahir sebagai manifestasi dari komitmen keimanannya terhadap adanya yang maha Ghaib, dirasakan
dalam lubuk jiwanya yang paling dalam, sebagai zat yang maha agung lagi maha tinggi. Yaitu Allah swt.,
pencipta alam semesta dan hanya kepada-Nyalah semua makhluk akan kembali.
Keyakinan seperti ini akan melahirkan sebuah dorongan batin untuk menyembah serta menyerah diri
kepada kehendak-Nya. Dan itulah dia Islam. Islam artinya penyerahan diri kepada kehendak Tuhan, dan
inipun merupakan tempat pemberhentian terakhir dari perjalanan akal dan fikiran manusia. Seorang
dokter yang telah memberikan pertolongan kepada pasiennya, dengan semua ilmu dan kemampuan
yang ada padanya, namun pada akhirnya ia juga terpaksa menyerah dan mengaku suatu kenyataan
dimana kehendak Tuhan jugalah yang menentukan. Tuhan adalah “fa’alun lima yurid” (berbuat apa yang
ia kehendaki). “wafauqa kulli ziy ‘ilmin ‘alim” (dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada
lagi yang maha mengetahui).
Penyerahan diri secara mutlak ini, membuat manusia mencapai kemerdekaan hakiki. Dan
kemerdekaan hakiki ini hanya bisa dicapai dengan pengabdian kepada Tuhan. Lepas dari ikatan duniawi
dan lepas dari ikatan hawa nafsu. Namun, manusia dalam usahanya menuju kepada kesempurnaan ini
senantiasa dikalahkan dan dijajah oleh hawa nafsunya. Dan setiap kali manusia dijajah oleh hawa nafsu,
maka hilanglah kemerdekaan hakiki yang selalu didambakan olehnya. Karena itu perjuangan melawan
hawa nafsu adalah sangat berat. Dan beratnya itu diakui sendiri oleh Nabi besar Muhammad saw. Dalam
sabda beliau: “kami kembali dari perjuangan yang lebih kecil menuju ke perjuangan yang lebih besar”.
Seorang dokter yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, tidak memerhatikan etika, pasti akan
melakukan berbagai tindakan yang sangat merugikan pasien, bahkan bukan tidak mungkin melakukan
pemerasan terhadap pasien demi memenuhi kesenangan hawa nafsunya yang tidak pernah puas itu,
sehingga dokter bukan lagi pemberi ketenangan, kesembuhan dan kebahagiaan kepada pasien,
melinkan penderitaan lahir batin.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam hubungan dokter dengan pasien. Pasien membutuhkan dokter untuk
pengobatan, demi kesembuhan mereka dari penyakit yang mereka derita. Dalam hal ini dokter
membutuhkan pula uang dari pasien. Maka sebagai orang sakit tentu dia bersedia untuk memberikan
apapun asal dia dapat disembuhkan dari penyakitnya. Ia bersedia memberikan pengorbanan apapun
demi keselamatan dan kesehatan dirinya. Dalam suasana seperti ini, bila dokter tidak dibekali dengan
etika dan agama, maka iapun dapat menghendaki sebanyak mungkin lagi dari penderita, apatahlagi
apabila dokter ini tidak beriman da bertaqwa kepada Allah swt.
ISLAM DAN ETIKA KEDOKTERAN
Khusus untuk kasus penyimpangan yang terjadi berkaitan dengan etika kedokteran yang mungkin saja
bersifat individual, namun apabila dilihat lebih lanjut, mungkin hanya karena kehkilafan dari dokter yang
bersangkutan atau dokter yang bersangkutan kurang menghayati akan etika kedoketeran dan untuk ini
mungkin salah satu sebabnya adalah karena pendidikan etika kedokteran kita tidak dilandasi dengan
suatu kesadaran yang lebh mendalam dan lebih mengakar, yaitu suatu kesadaran yang tidak hanya
memperkokoh tanggung jawab moril manusia sebagai makhluk indifidual dan social semata, tetapi dan
bahkan lebih dari itu semua, ia dituntut memiliki tanggung tawab relegius, sebuah tanggung jawab yang
tidak hanya mengacu kepada sebuah kesuksesan administrative, tetapi juga tanggung jawab yang
bersifat ketuhanan dengan sebuah prinsip bahwa apapun yang diperbuat, kecil dan besar, pasti akan
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah swt.
Penghayatan dan ketaatan seorang dokter dalam melaksanakan ajaran agamanya adalah suatu
summbangan yang sangat positif untuk berhasilnya pendidikan etika kedokteran. Sebagai suatu
pendidikan profesi, pendidikan kedokteran diharapkan dapat menghasilkan dokter yang menguasai ilmu
teori dan praktik kedokteran beserta perilaku dan etika yang mulia pula. Dalam upacara wisuda semua
calon dokter harus mengucapkan sumpah dokter dengan disaksikan oleh Dekan, Direktur Rumah Sakit,
Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan, para dosen dan anggota keluarga. Dalam mengikrarkan
sumpah yang didampingi oleh para pemuka agama, calon dokter berjanji akan mengamalkan Kode Etik
Kedokteran. Dengan adanya hal tersebut diharapkan kelak para calon dokter akan menjadi dokter yang
beretika mulia, bertanggungjawab dan taat pada hukum yang berlaku.
Dalam praktek pengobatan dan perawatan pada pasien perlu diterapkan etika. Para dokter harus
memiliki sikap tersebut dalam menjalankan profesinya itu. Karena itu sangat berpengaruh pada
keberhasilannya dalam menyembuhkan pasien. Selain sikap itu khusus untuk menjaga nama baik atau
keprofesionalan seorang dokter, sikap-sikap etis dokter juga berkaitan dengan psikologi pasien.
Bagaimana seorang dokter mampu menciptakan suasana, menciptakan rasa percaya diri untuk sembuh
dan sebagainya.
Profesi dokter yang disandang seseorang, sangat terhomat di mata pasiennya. Oleh karena itu untuk
menjaga kehormatan, nama baik maupun keharmonisan antara dokter dan pasiennya, perlu diterapkan
sikap-sikap etis yang diemban para dokter. Berangkat dari situ, tradisi kedoteran para era kejayaan Islam
menetapkan peraturan atau kode etik harus diemban oleh para dokter. Hingga era kekhalifahan Usmani
peraturan berjalan sangat ketat. Para dokter muslim diwajibkan memegang teguh etika kedokteran
dalam mengobati pasiennya.
Islam adalah agama samawi pertama yang membebaskan ilmu pengetahuan dan ilmu medis dari
kekuasaan agamawan. Islam melarang mengobati pasien dengan pendekatan agama (religious
approach) dan doa semata. Islam merupakan agama pertama yang mengakui otoritas ilmu
pengetahuan, ilmu medis dan ilmu obat-obatan
kitab “Tarikh al- Thibb” (sejarah kedokteran) menjelaskan bahwa pada masa kefakuman pemerintah
teokrasi di Eropa, pengobatan sepenuhnya berada di tangan tokoh-tokoh agama. Dan tak seorang pun
selain mereka yang diberi wewenang untuk melakukan pengobatan kepada pasien, bahkan pernah
gereja memerintahkan untuk membakar hidup-hidup para tabib (dokter) dan sarjana atau menyiksa
mereka di ujung tombak hingga mati. Maka Islam pun datang dengan persepektif baru, yaitu :
Menurut Islam, sakit merupakan qadla dan qadar Allah yang diturunkan kepada mukmin dan juga
kepada kafir, tetapi seorang mukmin wajib bersabar terhadap cobaan yang menimpanya, sedang
bersabar (dari cobaan itu) akan diberi pahala dan mendapatkan kebaikan di sisi Allah.
Islam tidak mengakui bahwa iman dan doa semata mempunyai pengaruh secara langsung dan
mendasar, tetapi juga mengakhiri pengaruh keduanya dalam proses terapi. Islam juga tidak mengakui
proses pengobatan yang hanya didominasi dari tokok-tokoh agama, tetapi Islam mendorong agar
menghormati ilmu medis, sains dan dokter serta mencari pertolongan dari mereka, juga menghormati
penemuan obat-obatan dan perkembangan ilmu kedokteran.
Islam berpandangan bahwa upaya menjaga kesehatan dan meminta pertolongan dokter tidaklah berarti
menghindari qadla dan qadar Tuhan, bahkan pengobatan dengan cara apapun merupakan qadla dan
qadar Allah.
Ketika rasullah SAW tiba di Madinah dan menegakkan kedaulatan di sana, banyak orang-orang yang
datang kepada beliau untuk disembuhkan dengan syafaah dan doa. Tetapi mereka terkejut ketika belau
bersabda. “Panggillah mereka (dokter) untuknya”. Mereka berkata dengan heran; “Engkau berkata
begitu wahai Rasullah?” beliau menjawab; “Ya ambilah pengobatan dari hamba Allah. “Sesungguhnya
Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga menurunkan obat untuknya, kecuali satu”. Mereka
bertanya: Apa itu? Jawab beliau. “Penyakit tua”.
Suatu ketika sekelompok sahabat bertanya kepada rasulullah SAW : Wahai Rasulullah, apahah obat-
obatan yang senantiasa kami pakai, dan perawatan yang selalu kami lakukan bukan ketentuan Allah?
Jawab beliau; “Bahkan semua itu dari ketentuan Alloh”.
Jadi peran Islam dalam membebaskan ilmu kedokteran dan medis dari otoritas tokoh-tokoh agama,
bahkan membebaskan belenggu taklid, khurafah dan pemikiran-pemikiran sesat yang menghalangi dan
mematikan kreativitas ilmiah. Islam adalah agama pertama yang mengangkat para dokter pada posisi
terhormat dan mapan.
Islam adalah agama pertama yang memikirkan kesejahteraan dokter dan praktek kedokteran. Islam
membebaskan pengobatan medis dari cengkraman tokoh-tokoh agama dan meletakkan hubungan yang
harmonis dengan antara ilmu dan agama. Islam menempatkan di antara keduanya pada proporsi dan
profesinya masing-masing.

PENUTUP.
Dari fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa, betapa pentingnya nilai-nilai agama Islam
menjiwai etika kedokteran yang selalu menjadi ikrar bagi para dokter kita. Hal ini memang berat,
makanya butuh perjuangan kearah lebih baik dan sempurnah, sebab pengabdi kemanusiaan adalah
sebuah prestise yang sangat mulia dan didambakan, dan prestise itulah yang mesti dimiliki oleh setiap
dokter kita. Wallahu a’lam bissawab.

Daftar Pustaka:
1. Akbar, Haji Ali, Peranan Kode Etik Kedokteran Dalam Kehidupan Professi Kedokteran, 1981.
2. Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Qairo: Mustafa al-Halaby, 1954.
3. Ramli, Med Ahmad, Peraturan-Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam,
Jakarta: Balai Pustaka, 1968.
4. Sabiq, Sayyid, Fiqhussunnah, Qairo: Maktabah al-Adab, 1967.
5. Sina, Ibnu, al-Qanun fi al-Thib, Bayrut: Muassasah al-Ma’arif, 1993.
6. Suryadipura, R. Paryana, Manusia dengan Atomnya, Dalam Keadaan Sehat dan Sakit
(Anthtropobiologie berdasarkan Atomphysica), Semarang: Pt. Usaha Mahasiswa, 1958.

Anda mungkin juga menyukai