Anda di halaman 1dari 13

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada
penulis sehingga mampu menyelesaikan makalah tentang Kepailitan ini dengan tepat waktu.
Tak lupa pula salawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah menuntun kita ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan ini.
Tersusunnya makalah ini berkat usaha dan Saya ucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Pengantar Hukum Bisnis yang telah memberikan tugas ini kepada saya . Saya
menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh karena itu Saya
mengharapkan saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah yang saya buat. Selanjutnya,
semoga makalah yang Saya buat bermanfaat kepada pembaca umumnya dan kepada penulis
khususnya.

Banda Aceh, 15 Desember 2017


Penulis,

Maghfiratul Ikram

1
Daftar Isi

Kata pengantar ...............................................................................1


Daftar isi .......................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................3
B. Rumusan Masalah ................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepailitan ............................................................4
B. Dasar Hukum .........................................................................4
C. Tujuan Hukum Kepailitan .....................................................5
D. Asas-Asas Kepailitan ............................................................5
E. Golongan Orang Kepailitan ..................................................5
F. Proses Kepailitan ...................................................................6
I. Syarat-Syarat Kepailitan .............................................6
II. Permohonan Pernyataan Pailit ....................................8
III. Upaya Hukum .............................................................8
IV. Pengangkatan Kurator dan Hakim Pengawas .............8
V. Akibat Dijatuhkan Pailit ..............................................9
VI. Pengurusan Harta Pailit ...............................................9
VII. Berakhirnya Kepailitan ...............................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................12
Daftar Pustaka ...............................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu
sendiri udah ada sejak zaman Romawi. Kata bangkrut, yang dalam bahasa Inggris disebut
bankrupt berasal dari undang-undang di Italia yang disebut dengan banca rupta. Pada abad
pertengahan di Eropa, terjadi praktik kebangkrutan yang dilakukan dengan menghancurkan
bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan
membawa harta pada kreditornya. Adapun di Venetia (Itali) pada waktu itu, di mana para
pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi
membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar telah patah atau
hancur.
Sekarang ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam
hukumnya. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada bahkan sudah ada
undang-undang khusus sejak tahun 1905 dengan diberlakunya S.1905-217 juncto S. 1906-
348. Malahan, dalam pergaulan sehari-hari, kata-kata “bangkrut” sudah lama dikenal.
S. 1906-217 dan S. 1906-348 tersebut kemudian diubah dengan Perpu Nomor 1
Tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat sehingga menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tersebut adalah tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Kepailitan

2. Dasar Hukum

3. Tujuan Hukum Kepailitan

4. Asas-Asas Kepailitan

5. Golongan Orang Kepailitan

6. Proses Kepailitan

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepailitan

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak
mampu membayar pada lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan dari
usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan
putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor
pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan
pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualasan harta kekayaan tersebut untuk
membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan
struktur kreditor.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

B. Dasar Hukum

Dasar hukum berlakunya hukum kepailitan di Indonesia terdapat dalam


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (selanjutnya disebut dengan UU Kepailitan dan PPKU).

C. Tujuan Hukum Kepailitan

Tujuan hukum pailit sebenarnya adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan


umum atas kekayaan debitor (segala harta benda disita/dibekukan) untuk kepentingan
semua orang yang mengutangkannya (kreditor). Prinsipnya kepailitan itu adalah suatu
usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara
adil.

Dalam penjelasan UU Kepailitan dan PKPU, dikemukakan beberapa factor perlunya


pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai
berikut.
1. Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa
kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
2. Menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan
kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

4
3. Menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditur atau debitur sendiri, misalnya debitur berusaha untuk memberi keuntungan
kepada seseorang atau beberapa orang kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya
dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta
kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para
kreditur.

D. Asas-Asas Kepailitan

1. Asas Keseimbangan
UU Kepailitan dan PKPU mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari asas keseimbangan, yakni di satu sisi, terdapat ketentuan yang
dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh
debitur yang tidak jujur. Di sisi lain, terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak
bertikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha


Dalam UU Kepailitan dan PKPU terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsukan.

3. Asas Keadilan
Asas Keadilan dalam kepailitan mengandung pengertian bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kewenang-
wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-
masing terhadap debitur dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.

4. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam UU Kepailitan dan PKPU mempunyai pengertian bahwa
sistem hukum formal dan hukum materialnya merupakan satu kesatuan yang utuh
dari sistem hukum acara perdata nasional.

E. Golongan Orang Berpiutang

Menurut Pasal 55 UU No.37 Tahun 2004, para kreditor dapat dibagi dalam beberapa
golongan:

1. Golongan separatisen, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak


tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, biasanya disebut
kreditor preferen yaitu para kreditor yang mempunyai hak didahulukan, disebut
demikian karena para kreditor yang telah diberikan hak untuk mengeksekusi sendiri
haknya dan melaksanakan seolah-olah tidak ikut campur. Dalam arti lain, kreditor
ini dapat menyelesaikan secara terpisah di luar urusan kepailitan. Meskipun

5
demikian, untuk melaksanakannya menurut ketentuan undang-undang para kreditor
tidak bisa langsung begitu saja melaksanakannya.
2. Golongan dengan hak privilege, yaitu orang-orang yang mempunyai tagihan yang
diberikan kedudukan istimewa, sebagai contoh, penjual barang yang belum
menerima bayarannya, mereka ini menerima pelunasan terlebih dulu dari
pendapatan penjualan barang yang bersangkutan setelah itu barulah kreditor lainnya
(kreditor konkuren).

F. Proses Kepailitan

I. Syarat-Syarat Kepailitan
Hal mengenai syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit telah
diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi “Debitor
yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitpun
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, bai katas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditornya.”
Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengajukan permohonan pailit
terhadap debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1. Debitur yang ingin dipailitkan mempunyai sedikitnya dua utang, artinya
mempunyai dua atau lebih kreditur. Oleh karena itu, syarat ini disebut syarat
concursus credituorium.
2. Debitur tidak melunasi sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya.
3. Utang yang tidak dibayar lunas itu haruslah utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih (due/expired and payable). Yang dimaksud dengan utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang
yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda
oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau
majelis arbitrase.
Pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit adalah sebagai
berikut:
1. Kreditur atau beberapa kreditur
Kreditur dalam pengertian diatas meliputi kreditur konkuren, kreditur separatis,
maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur
preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa
kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta
debitur dan haknya untuk didahulukan.

2. Debitur sendiri
Seorang debitur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
dirinya (voluntary petition) apabila memenuhi syarat, yaitu mempunyai dua atau

6
lebih kreditur dan debitur sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih.

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum


Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk
kepentingan umum dan syarat untuk pengajuan permohonan pailit telah
dipenuhi. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa
dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:
a. Debitur melarikan diri
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan
c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
badan usaha yang lain yang menghimpun dana dari masyarakat luas.
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas
e. Debitur tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

4. Bank Indonesia
Pengajuan permohonan penyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan
kewenangan BI dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan
kondisi perbankan secara keseluruhan sehingga tidak perlu
dipertanggungjawabkan.

5. Badan Pegawasan Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)


Permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam karena lembaga tersebut
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang
diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan. Bapepam juga mempunyai
kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk
instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya
kewenangan BI terhadap bank.

6. Menteri Keuangan
Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana
pension, atau BUMN yang bergerak dalam bidang kepentingan publik,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri keuangan.

II. Permohonan Pernyataan Pailit

Putusan atau permohonan pernyataan pailit dan lain-lain yang berkaitan dengan
itu ditetapkan oleh Pengadilan Niaga yang wilayah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan hukum debitur. Berkenaan dengan ketentuan tersebut maka permohonan
pernyataan pailit diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga yang berwenang.

7
Panitera Pengadilan Niaga mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada
tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda
terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yag berwenang dengan tanggal yang
sama dengan tanggal pendaftaran. Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan hari siding. Sidang pemerikasaan atas permohonan
pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan
yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggarakan siding sampai dengan paling
lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

III. Upaya Hukum

Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan


pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Permohonan kasasi ke MA
diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi
diucapkan dengan mendaftarkan kepada panitera pengadilan yang telah memutuskan
permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi tersebut, selain dapat diajukan oleh
debitur dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga
dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat
pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.

Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari


siding paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan kasasi dilakukan paling lambat
20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh MA. Terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat
diajukan peninjauan kembali ke MA.

IV. Pengangkatan Kurator dan Hakim Pengawas

Putusan pernyataan pailit harus mengangkat kurator dan seorang hakim


pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Kurator adalah balai harta peninggalan
atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan
membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan
undang-undang. Sementara itu, yang dimaksud dengan hakim pengawas adalah hakim
yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang lebih dari tiga perkara.

Kurator berwenang dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau


pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit, meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan

8
pemberesan dalam ketentuan ini adalah penguangan aktiva untuk membayar atau
melunasi utang.

Apabila putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau
peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau
pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan tersebut
tetap sah dan mengikat debitur.

V. Akibat Dijatuhkannya Pailit

Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitur sejak putusan itu
dikeluarkan oleh hakim dimasukkan ke dalam harta pailit. Dengan kata lain, akibat
putusan pailit dan sejak putusan itu, harta kekayaan debitur berubah statusnya menjadi
harta pailit. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

1. Debitor kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan
harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai dan lain sebagainya, serta
segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitannya sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan.
2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.
3. Untuk melindungi kepentingan kreditor, selama putusan atas permohonan
pernyataan pailit belum diucapkan, kreditor dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk:
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor.
b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitor,
menerima pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau pengagunan kekayaan
debitor. (Pasal 10)
4. Harus diumumkan di dua surat kabar. (Pasal 5 Ayat 4)

VI. Pengurusan Harta Pailit

1. Hakim Pengawas
Hakim pengawas seperti yang diatur dalam Pasal 65, adalah hakim yang
diangkat oleh pengadilan untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
a. Kalau masalah kepailitannya besar (kakap) dapat diangkat panitia kreditor.
b. Memimpin rapat verifikasi, rapat untuk mengesahkan piutang-piutang.
2. Kurator
a. Tugas Kurator
Menurut Pasal 69 UU No.37 Tahun 2004, kurator memiliki tugas:
1. Melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit
2. Segala perbuatan kurator tidak harus mendapat per-setujuan dari debitor
(meskipun dipersyaratkan)

9
3. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga (dalam rangka
meningkatkan nilai harta pailit)
4. Kurator itu bisa Balai Harta Peninggalan (BHP) atau kurator lainnya.
(Pasal 70 Ayat 1)

b. Menjadi Kurator
Menurut Pasal 70 Ayat 2 yang dapat menjadi kurator adalah:
a. Orang perseorangan yang memiliki keahlian khusus untuk itu
(mengurus atau membereskan harta pailit dan berdomisili di wilayah
RI)
b. Terdaftar di Departemen Hukum dan Perundang-undangan

c. Kurator Dapat Diganti


Menurut Pasal 71 Ayat 11 UU No. 37 Tahun 2004 seorang kurator dapat
diganti, pengadilan dapat mengganti, memanggil, mendengar kurator atau
mengangkat kurator tambahan:
1. Atas permohonan kurator sendiri
2. Atas permohonan kurator lainnya, jika ada
3. Usulan hakim pengawas
4. Atas permintaan debitor pailit
5. Atas usul kreditor konkuren

d. Tanggung Jawab Kurator


Menurut Pasal 72 UU No. 37 Tahun 2004, seorang kurator mempunyai
tanggung jawab:
1. Terhadap kesalahan atau kelainan dalam tugas pengurusan atau
pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.
2. Kurator yang ditunjuk untuk tugas khusus berdasarkan putusan
pernyataan pailit, berwenang untuk bertindak sendiri sebatas tugasnya.
(Pasal 73 Ayat 3)
3. Kurator harus menyampaikan kepada hakim pengawas mengenai
keadaan harta pailit dan pelaksaan tugasnya setiap tiga bulan. (Pasal 74
Ayat 1)
4. Upah kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri
Hukum dan Perundang-undangan.

3. Panitia Kreditor

Dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, pengadilan


dapat membentuk panitia kreditor sementara terdiri dari tiga orang yang dipilih
dari kreditor yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada kreditor.

10
Setelah pencocokan utang selesai dilakukan, hakim pengawas wajib
menawarkan kepada kreditor untuk membentuk panitia kreditor tetap.

VII. Berakhirnya Kepailitan

Segera setelah kepada kreditur yang telah dicocokkan piutangnya dibayarkan


dalam jumlah penuh piutang mereka atau segera setelah daftar pembagian penutup
menjadi mengikat maka berakhirlah kepailitan. Untuk selanjutnya, kurator
berkewajiban:
1. Membuat pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam berita negara
Republik Indonesia dan surat kabar
2. Memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dsn pemberesan yang
telah dilakukannya kepada hakim pengawas paling lama tiga puluh hari setelah
berakhirnya kepailitan
3. Menyerahkan semua buku dan dokumen mengenai harta pailit yang ada pada
kurator kepada debitur dengan tanda bukti penerimaan yang sah

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam Undang-Undang Kepailitan hasil revisi ini dapat kita lihat bahwa pada
prinsipnya Undang-Undang Kepailitan berupaya untuk mengakomodasikan
kepentingan dari seluruh pihak yang terkait dengan dinyatakannya kepailitan atas
seorang debitur. Tidak hanya kepentingan dari kreditur (konkuren), melainkan juga
kepentingan dari kreditur preferens, kreditur istimewa dengan hak privilege, kreditur
dengan hak retensi, maupun kelangsugan usaha debitur (pailit) yang bersangkutan,
sehingga pada akhirnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang sebaik-baiknya bagi
semua pihak.
Putusan pernyataan pailit secara tidak langsung meng”kebiri” hak perdata dari
debitur yang dinyatakan pailit, sebagaimana layaknya seseorang yang ditaruh di
bawah pengampunan. Seluruh hak perdata dari debitur pailit tersebut selanjutnya
dilaksanakan oleh kurator, yang demi hukum mengambil alih segala hak dan
kewajiban debitur pailit terhadap pihak ketiga, termasuk pengurusan harta kekayaan
debitur pailit, dengan segala akibat hukumnya. Kurator diberikan hak dan kewajiban
untuk mecocokkan segala utang-piutang debitur pailit, termasuk untuk membela
kepentingan debitur pailit di muka pengadilan, mengawasi, mencegah
dilaksanakannya dan/atau meminta pembatalan penjualan dan pengalihan harta benda
debitur pailit kepada pihak ketiga, baik yang dilakukan berdasarkan perintah hakim
maupun yang dilakukan secara sukarela. Selanjutnya untuk melindungi kepentingan
kreditur (konkuren) atas pelunasan kewajiban debitur pailit melalui harta pailit yang
masih tersedia, dapat kita lihat bahwa Undang-Undang Kepailitan memberikan hak
kepada kreditur tertentu untuk menentang pencocokan utang-piutang tertentu yang
dianggap tidak benar dengan menjadi pihak dalam sengketa. Pengaturan yang
diberikan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik dan konsisten tidak
hanya dihadapan pengadilan, melainkan juga oleh mereka yang terlibat secara
langsung sebagai pengurus harta pailit (kurator), agar kepailitan tidak menjadi
“escape” bagi debitur nakal dari utang-piutang.

12
Daftar Pustaka

Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas. 2011. Pokok-Pokok Hukum Bisnis.
Jakarta: Salemba Empat.

Saliman, Rasyid Abdul. 2005. Hukum Bisnis untuk Perusahaan. Jakarta: Kencana.

Simatupang, Richard Burton. 2007. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka
Cipta.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2002. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.

13

Anda mungkin juga menyukai