Anda di halaman 1dari 8

BAB I

Mengenali Sosok Wirausaha

Sampai kini disepakati tidak ada rumusan wirausaha yang sifatnya universal.
Donald Kurotko menulis “…no single definition of entrepreneur exist and no one profile can represent
today’s entrepreneur.”

Setiap ahli dibidang kewirausahaan mempunyai kecendrungan membuat definisi sesuai dengan asumsi
wirausaha yang bagaimana yang dijadikan modelnya.

Wirausaha dari Kacamata Karakteristik

Menurut Law dan Hung (2009), upaya memahami karakteristik wirausaha dengan
menggunakan pendekatan aspek kepribadian menghasilkan karakteristik sebagai berikut: wirausaha
cenderung pengambil resiko, beorientasi mencapai hasil, komitmen, toleransi terhadap ketidakpastian
dan mempunyai visi.

Sedangkan ahli lain lebih menekankan kekhasan tindakan wirausaha adalah melakukan inovasi.
Tille dan Young (2006) menulis tentang aspek inovasi dalam kewirausahaan dengan menggunakan
pemikiran Schumpeter yang terkenal tentang peran khusus wirausaha yaitu melakukan perusakan yang
kreatif. Yang dimaksud disini adalah kegiatan berinovasi seorang wirausaha tidak hanya dalam aspek
produk baru, melainkan juga proses.

William Gartner (1990) melakukan upaya untuk memahami karakteristik wirausaha dan
kewirausahaan dengan melakukan penelitian dengan bertanya kepada para akademisi, pimpinan bisnis,
dan para politisi mengenai sifat khusus dari berbagai jenis wirausaha yang ditemui dan dijadikan model
oleh mereka. Jawaban yang diperolehnya ternyata luar biasa banyak, dan diringkas menjadi 90 sifat
tersebut.

Dengan banyaknya pendapat tentang karakteristik wirausaha, menandakan bahwa wirausaha


adalah seseorang yang tidak seragam. Masing-masing mempunyai karakteristik yang dan berbeda satu
dengan lainnya. Wickham (2004) membuat pembagian jenis wirausaha berdasarkan pertumbuhan
memulai dan mengembangkan usahanya.

Wirausaha dari Sudut Peran


Peran wirausaha yang khusus di masyarakat yang utama adalah memulai usaha baru,
menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Peran ini membuat wirausaha
meningkatkan kesejahteraan berjuta orang didunia, tetapi juga menimbulkan masalah, yaitu terjadinya
kesenjangan antara mereka yang dapat masuk ke lingkaran sosial baru dengan mereka yang
terpinggirkan.

Selain masalah sosial, masalah daya dukung alam yang terbatas juga muncul akibat dari
pembangunan ekonomi. Keinginan untuk terus melakukan pembangunan ternyata menguras sumber
daya alam. Wirausaha tidak dapat menutup diri hanya mencari laba. Kelestarian usahanya atau jangka
panjang usahanya sangat bergantung pada kepeduliannya pada dampak sosial yang ditimbulkan oleh
usahanya, dan bagaimana sumber daya alam juga diperhatikan kelestariannya.

Oleh karena itu akhir-akhir ini, selain peran dibidang ekonomi, wirausaha menambahkan
perannya di bidang menghadirkan dampak sosial dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan
peran baru tersebut, muncul kebutuhan jenis wirausaha baru yang disebut ecopreneurs atau
sustainability entrepreneurship

Pengertian Luas Wirausaha dan Kewirausahaan

Kewirausahaan yang sering diidentifikasikan dengan usaha kecil yang dipimpin seorang
wirausaha, juga sebagai pemilik dan pendiri, diperlukan juga di usaha besar yang lamban terbelit
tatanan birokrasi. Wirausaha didalam organisasi oleh Pinchot diberi nama intrapreneur. Para
intrapreneur ini menghadirkan berbagai inovasi, baik produk maupun proses baru, dalam suatu iklim
organisasi yang berkewirausahaan.

Kebutuhan adanya wirausaha juga ada pada pemerintahan. Hal ini ditujukan sebagai upaya
mencari pola baru menjalankan pemerintahan menjadi lebih cepat dalam menghadapi perubahan
tuntunan masyarakat dan persaingan global.

Bidang lain yang juga menunjukkan adanya karakteristik kewirausahaan adalah bidang
organisasi bermisi sosial, kesehatan dan pelestarian lingkungan. Organisasi nirlaba ini banyak didirikan
dan dipimpin oleh sociopreneur. Banyak masalah sosial, dan lingkungan yang membutuhkan keberanian
para wirausaha jenis ini agar masalah yang ada dapat diselesaikan secara inovatif.
BAB II

Menumbuhkembangkan kapasitas berwirausaha

Kapasitas Berwirausaha

Jack dan Anderson (1988) berpendapat, proses berwirausaha terdiri dari seni dan ilmu. Bagian
yang berupa aspek ilmu lebih memungkinkan dikembangkan dengan metode pengajaran konvensional,
sedangkan aspek seni dapat lebih dikembangkan dengan metode kreatif non-pengajaran.

Timmons dan Stevenson (1985) berpendapat, kewirausahaan adalah suatu proses belajar
sepanjang hidup dan cara yang baik untuk belajar kewirausahaan adalah menggabungkan belajar dari
pengalaman langsng dan dari sumber pendidikan formal.

Menggunakan kerangka berpikir Jamieson (1984), ada tiga kategori pendidikan kewirausahaan.
Pertama, pendidikan tentang kewirausahaan, umumnya untuk memberikan pengenalan tentang dunia
kewirausahaan. Kedua, pendidikan untuk menjadi wirausaha. Ketiga, pendidikan bagi wirausaha untuk
dapat menjalankan usahanya lebih baik dan bertumbuh.

Pendidikan berwirausaha

Tingkat keberhasilan suatu institusi menyelenggarakan program kewirausahaan dipengaruhi


oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Institusi yang berkarakter kewirausahaan akan lebih
memungkinkan melahirkan wirausaha yang berkualitas.

Hal ini berlaku juga di organisasi yang ingin menampung adanya wirausaha internal atau
intrapreneur. Organisasi yang berbudaya kewirausahaan akan menjadi tempat yang baik untuk lahir dan
berkaryanya wirausaha. Akan tetapi, salah satu permasalahan yang akan muncul adalah mengenai
ketersediaan ruang dan peluang untuk melakukan kegiatan kewirausahaan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebuah institusi maupun organisasi dapat


mengembangkan suatu unit baru untuk menampung kegiatan kewirausahaan yang tidak terkekang oleh
budaya birokrasi organisasi. Salah satunya adalah membentuk unit pengembangan kewirausahaan
(entrepreneurship development center) yang memiliki tanggung jawab dan kebebasan bergerak lebih
luas.
Ada banyak jalan untuk menjadi wirausaha yang sukses. Jalan mengembangkan wirausaha
melalui proses “pendidikan berwirausaha” adalah suatu alternatif. Jalan lain adalah dengan belajar dari
pengalaman sendiri, yang biasanya ditempuh dengan pola coba-coba.

Selain keduanya, jalan lain adalah mempelajari pengalaman para pebisnis sukses. Melalui rekam
jejak jatuh bangun pebisnis tersebut, calon wirausaha dapat memaknai perjalanan berwirausaha itu
penuh dengan halangan, kesulitan, bahkan kegagalan.

Menurut data statistik yang dihimpun di sejumlah negara maju, pola coba-coba dalam
mengembangan sebuah usaha baru hanya akan menghasilkan 50% usaha berhasil mampu melampui
tahun kedua. Data juga menunjukkan hanya 20% usaha yang mampu melewati tantangan hingga tahun
ketujuh. Data statistik juga mencatat bahwa para wirausaha yang telah gagal usahanya, ada yang
bangun kembali, mencoba kembali dengan memanfaatkan pengalaman masa lalu.

Kesimpulan yang dapat diambil dari data statistik tersebut adalah wirausaha tidak pernah
menyerah dalam kegagalan-kegagalan awal. Akan tetapi, ketika wirausaha ingin membuka kembali
usaha yang baru, pengalaman tersebut dapat diakumulasikan sebagai pembelajaran tersendiri. Konsep
tersebut sejalan dengan model yang dikembangkan dalam pendidikan berwirausaha.

Tantangan pendidikan wirausaha

Salah satu tantangan yang dihadapi pada pendidikan kewirausahaan adalah keterbatasan waktu.
Selain itu, terdapat tantangan khusus dari sudut pandang variasi jenis usaha yang tersedia. Variasi jenis
usaha ini mendorong munculnya pertentangan mengenai konsep wirausaha . Ada yang membatasi pada
mereka yang bergerak di bidang bisnis saja disebut sebagai wirausaha. Namun, ada yang berpandangan
lebih longgar, misal siapa saja yang melakukan inovasi adalah wirausaha.

Peter Ducker (1985) berpendapat: “the entrepreneur always searches for change, responds to it,
and exploits is as an opportunity.” Melalui pendapat tersebut dapat dikonsepkan kewirausahaan sebagai
tindakan menciptakan suatu yang baru, berbeda, diperlukan dan dilakukan di banyak bidang, serta tidak
hanya di bidang bisnis saja.

Selanjutnya, muncul anggapan bahwa seorang wirausaha adalah mereka yang berhasil
menghadapi tantangan besar. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Timmons dan Spinelli (2003)
berpendapat: “Successful entrepreneurs are not gamblers; they take calculated risks. … they are willing
to take a risk; however in deciding to do o, they calculate the risk carefully and thoroughly and do
everything possible to get the odds in their favor.”

Hal tersebut menunjukkan besar kecil tantangan bukanlah indikator utama bagi seorang
wirausaha. Hal yang lebih penting adalah kapasitas dan kompetensinya dalam mengelola risiko sehingga
dapat mengambil keputusan yang paling tepat. Kemampuan pengelolaan risiko seorang wirausaha
dapat diidentifikasi dari cara mereka melakukan analisis risiko dengan memperhitungkan sumber daya
yang dimiliki.

Pengembangan Wirausaha

Setelah mengidentifikasi tantangan seorang wirausaha, konsep selanjutnya yang kritikal adalah
pemilihan area usaha yang akan dijalani. Fokus bidang yang ingin dipilih diantaranya dipengaruhi oleh
siapa yang akan diterima dalam proses, dilihat dari latar belakang pendidikan dan keahliannya. Selain itu
faktor keluarga juga berkontribusi signifikan dalam pemilihan bidang usaha. Pilihan jenis bidang usaha
juga dapat muncul dari hobi atau juga berasal dari lingkungan kampus itu sendiri. kadar risiko dalam
proses berwirausaha juga menjadi tantangan tersendiri untuk memilih sebuah bidang usaha.

Untuk merancang program kewirausahaan, berikut ini empat komponen desain program: (1)
untuk siapa? Menetapkan latar belakang dan motivasi berwirausaha, (2) mengapa program ini
diperlukan? Menetapkan tujuan program, (3) apa isi program? Menetapkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang ingin dihasilkan untuk mencapai tujuan program dengan karakteristik peserta yang
diterima, (4) bagaimana proses belajarnya: menetapkan metode belajar mengajar.
Komponen Desain Pengembangan Kewirausahaan

Modifikasi Model yang Dibuat D. Rae, Dikutip dari Bahan yang Ditulis Dari L. Edwards & E.J. Muir

Modal dan Kapasitas Berwirausaha

Pengertian modal dalam konteks berwirausaha lebih luas dari modal dana. Pengertian tentang
apa saja yang disebut sebagai modal dan sumber daya kewirausahaan masih belum seragam. Untuk
membantu mengidentifikasi jenis modal kewirausahaan digunakan empat elemen, yaitu:
1. modal ekonomi

2. modal sosial

3. modal manusia

4. modal industri.

Pengembangan Modal Sosial

Rencana pengembangan modal sosial dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

1. Dimulai dengan mengetahui ke mana, yaitu dalam bidang/arena usahanya,

2. Di amna posisi modal sosisal saat ini di arena usaha tersebut, melalui audit modal sosial yang
dimiliki saat ini,

3. Merencanakan kegiatan pengembangan modal sosial dengan memanfaatkan teori serta alat-
alat/teknik/keterampilan mengembangkan hubungan sosial.

Penetapan Bidang Usaha

Langkah pertama penetapan bidang usaha tidak selalu berlangsung dengan mudah. Dua kecendrungan
yang sering muncul:

1. Arena usaha dirumuskan terlalu sempit

2. Arena usaha dirumuskan terlalu luas.

Audit Modal Sosial

Tahap audit modal sosial dibuat dengan lebih dahulu membuat evaluasi atas jejaring sosial di
tingkat keluarga, teman, dan komunitas yang saat ini dipunyai. Fokus awal evaluasi modal sosial dimulai
dengan membuat peta jejaring sosial yang mempunyai keeratan yang tinggi.

Rencana Pengembangan Modal Sosial

Tahap terakhir dalam pengembangan modal sosial adalah perencanaan pengembangan modal
sosial. Pada tahap ini ada tiga jenis jejaring sosial yang perlu direncanakan, yaitu memanfaatkan jejaring
sosial yang bertipe erat (bonding social capital), merencanakan memperluas jejaring yang sifatnya
memberi akses ke peluang, informasi, dan sarana baru (bridging social capital), dan mengidentifikasi
pengambil keputusan di bidang perizinan dan bagaimana memperoleh akses kepada pengambil
keputusan ini (linking social capital to gate keepers).

Karakterisitik institusi penyelenggara pengembangan kewirausahaan

Penelitian tentang karakteristik institusi pendidikan yang menyelenggarakan program


kewirausahaan di tingkat universitas di Amerika Serikat, Denmark, dan Canada yang dilakukan oleh
National Agency for Enterprise and Construction tahun 2004, menggunakan kriteria sebagai berikut:

1. Keterlibatan praktisi

2. Pengajar yang mempunyai pengalaman berwirausaha.

3. Pelatihan dalam metode pendidikan untuk para praktisi yang mengajar.

4. Magang

5. Hubungan dengan dunia bisnis

6. Tokoh panutan

7. Pengembangan kepribadian siswa

8. Metode belajar mengajar (pedadogi) yang inovatif

9. Bervisi kewirausahaan

Anda mungkin juga menyukai