Anda di halaman 1dari 11

II.

Teori Dasar
2.1. Darah, Serum dan Plasma
2.1.1. Darah
Darah merupakan salah satu jaringan dalam tubuh yang berbentuk cairan
berwarna merah. Darah didistribusikan melalui pembuluh darah dari jantung
keseluruh tubuh dan akan kembali lagi menuju jantung. Darah dibentuk dari dua
komponen yaitu komponen selular dan komponen non-selular. Komponen selular
sering disebut juga korpuskuli, yang terdiri dari tiga jenis sel yaitu eritrosit,
leukosit, dan trombosit. Komponen non-selular berupa cairan yang disebut plasma
Plasma darah terdiri dari air, protein, karbohidrat, lipid, asam amino, vitamin,
mineral dan lain sebagainya (Nugraha, 2015).

2.1.2. Serum
Serum adalah bagian cair darah yang tidak mengandung sel-sel darah dan
faktor-faktor pembekuan darah. Protein-protein koagulasi lainnya dan protein
yang tidak terkait dengan hemostasis, tetap berada dalam serum dengan kadar
serupa dalam plasma. Apabila proses koagulasi berlangsung secara abnormal,
serum mungkin mengandung sisa fibrinogen dan produk pemecahan fibrinogen
atau protrombin yang belum di konvensi (Sacher dan McPerson, 2012).

2.1.3. Plasma
Plasma adalah bagian cair dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah
tetapi masih mengandung faktor-faktor pembekuan darah. Plasma diperoleh
dengan cara memisahkan sel-sel darah dari darah (whole blood) dengan cara
sentrifugasi. Plasma yang terbentuk memiliki komposisi faktor pembekuan yang
berbeda sesuai dengan jenis antikoagulan yang ditambahkan (Nugraha, 2015).

Tabel 2.1 Perbedaan plasma dengan serum


Perbedaan Plasma Serum
Antikoagulan Perlu Tidak perlu
Fibrinogen Masih ada Tidak ada
Serat Fibrin Tidak ada Ada dalam gumpalan
Pemisahan sel Pemusingan Penggumpalan spontan
Komposisi Air, albumin, globulin, Air, albumin, globulin,
asam amino, hormon, asam amino, hormon,
enzim, limbah nitrogen, enzim, limbah nitrogen,
nutrisi, gas, dan nutrisi, dan gas
fibrinogen

Terdapat perbedaan yang jelas antara serum dan plasma. Plasma mencegah
proses penggumpalan darah sedangkan serum membiarkan terjadinya proses
penggumpalan darah. Plasma mengandung senyawa fibrinogen yaitu suatu protein
darah yang berubah menjadi jaring dari serat-serat fibrin pada peristiwa
penggumpalan, dimana senyawa tersebut sudah tidak ada lagi dalam serum. Di
dalam plasma fibrinogen tidak dapat berubah menjadi fibrin karena adanya
antikoagulan yang ditambahkan. Plasma memisahkan sel darah dalam bentuk
endapan sel utuh, yang dapat disuspensikan kembali dan digunakan untuk
berbagai tujuan. Sebaliknya, sel-sel yang terjebak dalam anyaman serat-serat
fibrin ketika serat-serat ini membentuk ikatan lintas serat dalam rangka menyusun
anyaman fibrin. Sel-sel darah yang menggumpal dalam pembentukan serum tidak
dapat dipergunakan lagi untuk berbagai tujuan (Sadikin, 2014).

2.2. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon,
hidrogen dan oksigen. Sebagai salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat
adalah penghasil energi di dalam tubuh (irawan, 2007).

2.2.1. Karbohidrat Sederhana


Monosakarida merupakan jenis karbohidrat sederhana yang terdiri dari 1
gugus cincin. Contoh dari monosakarida yang banyak terdapat di dalam sel tubuh
manusia adalah glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa sangat penting karena sel
tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energi (Irawan, 2007). Galaktosa
mempunyai rasa kurang manis jika dibandingkan dengan glukosa dan kurang larut
dalam air (Irawan, 2007). Fruktosa merupakan gula termanis, terdapat dalam madu
dan buah-buahan bersama glukosa. Fruktosa dapat terbentuk dari hidrolisis suatu
disakarida yang disebut sukrosa (Irawan, 2007).
Disakarida merupakan jenis karbohidrat yang banyak dikonsumsi oleh
manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Setiap molekul disakarida akan terbentuk
dari gabungan 2 molekul monosakarida. Contoh disakarida yang umum digunakan
dalam konsumsi sehari-hari adalah sukrosa yang terbentuk dari gabungan 1 molekul
glukosa dan fruktosa dan juga laktosa yang terbentuk dari gabungan 1 molekul
glukosa dan galaktosa (Irawan, 2007).

2.2.2. Karbohidrat Kompleks


Karbohidrat kompleks merupakan karbohidrat yang terbentuk oleh hampir
lebih dari 20.000 unit molekul monosakarisa terutama glukosa. Karbohidrat kompleks
juga disebut polisakarida dan dalam ilmu gizi, jenis karbohidrat kompleks yang
menjadi sumber utama bahan makanan yang umum dikonsumsi oleh manusia adalah
pati (starch). Polisakarida merupakan polimer monosakarida, mengandung banyak
satuan monosakarida yang dihubungkan oleh ikatan glikosida. Hidrolisis lengkap dari
polisakarida akan menghasilkan monosakarida (Irawan, 2007).

2.3. Glukosa

Gambar 2.1 Struktur glukosa

Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling penting dan


merupakan karbohidrat dalam makanan yang diserap dalam jumlah besar ke
dalam darah serta dikonversikan di dalam hati. Glukosa dalam tubuh dipecah
untuk menyediakan energi pada sel atau jaringan dan dapat disimpan sebagai
energi dalam sel sebagai glikogen. Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh dua
hormon yang berasal dari pankreas yaitu insulin dan glukagen. Insulin diperlukan
untuk permeabilitas membran sel terhadap glukosa dan untuk transportasi glukosa
ke dalam sel. Tanpa insulin, glukosa tidak dapat memasuki sel. Glukagon
menstimulasi glikogenolisis (pengubahan glikogen cadangan menjadi glukosa)
dalam hati. Menurut Panil (2008) sumber-sumber glukosa dalam darah adalah
glikogen, asam lemak dan protein. Menurut Khoirul (2013) terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah antara lain adalah olahraga,
asupan makanan, stress, usia dan hormon. Glukosa dapat disimpan di hati atau
otot sebagai glikogen, suatu polimer yang terdiri dari banyak residu glukosa
dalam bentuk yang dapat dibebaskan dan dimetabolisme sebagai glukosa. Karena
besarnya volume dan kandungan enzim untuk berbagai konversi metabolik, hati
berperan dalam mendistribusikan glukosa untuk menghasilkan energi (Wulandari,
2016).

2.4. Patofisiologis Hiperglikemia


Penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia) terjadi akibat asupan
makanan dengan gizi yang tidak seimbang atau darah terlalu banyak mengandung
insulin. Jika terjadi peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia), berarti insulin
yang beredar tidak mencukupi, kondisi ini disebut sebagai diabetes melitus. Kadar
gula darah puasa yang mencapai >125 mg/dL biasanya menjadi indikasi
terjadinya diabetes, dan untuk memastikan diagnosis saat gula darah mencapai
kadar tepat di garis normal atau tidak, harus dilakukan uji gula darah postprandial,
dan atau uji toleransi glukosa (Kee, 2013).
Penyerapan glukosa ke dalam sel diawali dengan penangkapan insulin
oleh insulin receptor substrat-1 (IRS-1) yang kemudian memberikan sinyal pada
GLUT 4 untuk memindahkan glukosa dari luar ke dalam sel. Keadaan
hiperglikemia kronis menyebabkan terjadinya glucose toxicity yang berakibat
pada penurunan ambilan glukosa di membran sel otot oleh karena terjadinya
gangguan translokasi pada GLUT 4, penurunan aktifitas IRS-1 sehingga terjadi
resistensi pada insulin. Hal ini menyebabkan glukosa plasma akan meningkat.
Resistensi insulin awalnya dapat ditoleransi dengan peningkatan sekresi insulin
yang apabila terjadi terus menerus akan menyebabkan kelelahan pada sel beta
pancreas yang mengakibatkan destruksinya sel beta sehingga berdampak pada
penurunan sekresi insulin (Kee, 2013).
2.5. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai kenaikan
kadar glukosa darah atau hiperglikemi. Hiperglikemi disebabkan oleh defisiensi
fungsional kerja insulin. Defisiensi insulin dapat disebakan oleh penurunan
sekresi insulin oleh sel β pankreas (Funk, 2011). Sel β pada usia lanjut masih aktif
tetapi sekresi insulin semakin sedikit dan kepekaan reseptor insulin menurun.
Menurunnya kemapuan sel β dan meningkatnya resistensi insulin mengakibatkan
hiperglikemia (Tjay&Rahardja, 2002).

2.5.1. Klasifikasi Diabetes Mellitus


A. Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 biasa disebut dengan Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) diabetes tergantung insulin. Disebabkan oleh
kerusakan sel β pankreas yang mengakibatkan kurangnya sekresi insulin
secara mutlak. Terjadi pada usia dibawah 30 tahun dan dimulai pada usia
10-13 tahun (Tjay&Rahardja, 2002).
Penyebab kerusakan sel β terjadi setelah terkena infeksi oleh virus
Coxsackie virus B, Herpes dan virus parotitis. Virus dianggap sebagai
sebagian kecil penyebab DM tipe 1. Infeksi oleh virus tersebut
menyebabkan reaksi autoimun yang berlebihan untuk menanggulangi
virus, akibatnya sel pertahanan tubuh tidak hanya membunuh virus tetapi
juga ikut merusak sel-sel Langerhans (Tjay&Rahardja, 2002).
B. Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 biasa disebut Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) diabetes tidak tergantung insulin. DM tipe 2
umumnya muncul pada usia diatas 40 tahun, jumlahnya sekitar 90% dari
total seluruh DM. Disebabkan oleh resistensi insulin atau defisiensi
insulin. Tanda resistensi insulin yaitu adanya peningkatan lipolisis dan
peningkatan asam lemak bebas dan produksi gula yang berlebihan di hati.
Terjadi karena asupan kalori yang berlebihan, faktor keturunan, kelebihan
berat badan dan jarang olah raga (Priyanto, 2009).
C. Diabetes Melitus Gestasional
DM gestasional adalah DM yang terjadi selama kehamilan (Suyono,
2008). Diabetes gestasional dapat terjadi karena peningkatan hormon-
hormon seperti kortisol, progesteron dan prolaktin yang antagonis dengan
insulin sehingga timbul resistensi insulin (Funk, 2011).

2.6. Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi


Pengobatan diabetes melitus terdiri dari terapi non farmakologi dan
farmakologi. Terapi farmakologi diberikan apabila terapi non farmakologi tidak
bisa mengendalikan kadar glukosa darah. Tetapi pada pemberian terapi
farmakologi tetap diseimbangi dengan terapi non farmakologi (Yunir&Soebardi,
2007).
a. Terapi non farmakologi
1) Pengaturan Diet
Diet merupakan langkah penting dalam penanganan DM pada
pasien lansia. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan DM. Penurunan berat badan terbukti dapat mengurangi
resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap glukosa
(Muhcid dkk., 2005). Penurunan berat badan dapat mengurangi morbiditas
pada pasien obesitas dengan penyakit DM tipe 2 (Rejeski et al, 2012).
2) Olahraga
Olahraga pada lansia secara langsung dapat meningkatkan fungsi
fisiologis tubuh dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan
sirkulasi darah, menurunkan berat badan (Dellasega&Yonushonis, 2007).
3) Berhenti merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan
glukosa oleh sel (Tjay&Raharja, 2007). Dari penelitian yang dilakukan
terhadap subyek uji pasien lansia bahwa merokok 2 batang dalam sehari
dapat menyebabkan resiko nefropati dan menghambat absorbsi insulin
(Lee, 2009).

b. Terapi farmakologi
Lansia dengan DM tipe 2 tetap memiliki kemampuan memproduksi
insulin, sehingga penatalaksanaan DM dengan diet dapat mengendalikan kontrol
glukosa darah. Namun, apabila penderita tidak melakukan pembatasan makan
dengan ketat atau apabila penyakit tidak terdeteksi dari awal maka terapi
farmakologi dapat diberikan (Dellasega&Yonushonis, 2007).
1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
a) Pemicu sekresi insulin
Golongan sulfonilurea sering disebut insulin secretagogue. Mekanisme
kerja golongan sulfonilurea merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β
Langerhans pankreas (Suherman, 2008). Untuk pasien lansia tidak
direkomendasikan pemberian klorpropamid dan glibenklamid karena
menimbulkan efek hipoglikemi berat. Sulfonilurea yang direkomendasikan untuk
lansia yaitu obat yang diekskresikan melalui hati dan mempunyai masa kerja
pendek misalnya glipizid dan glikazid (Lee, 2009).
b) Penambah sensitifitas insulin
Tiazolidindion merupakan agonis Peroxsisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-) yang sangat selektif dan poten. Peningkatan
sensitifitas insulin dapat merangsang transport glukosa ke sel dan meningkatkan
oksidasi asam lemak (Suherman, 2008). Pemberian tiazolidindion untuk lansia
dapat meningkatkan HDL dan menurunkan trigliserid (Subramaniam & Gold,
2005). Hasil penelitian terhadap pasien dengan usia ≥ 60 tahun, tiazolidindion
dikontraindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung kelas 1-4 (Lee, 2009).
c) Golongan penghambat glukosidase α (Acarbose)
Obat golongan ini dapat memperlambat absorbsi polisakarida dan
disakarida di usus halus (Suherman, 2008).Penghambatan enzim α-glikosidase
dapat mengurangi pencernaan karbohidrat dan absorbsinya, sehingga mengurangi
peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita DM (Muhcid dkk., 2005).
Untuk mendapat efek maksimal, acarbose diberikan pada suapan pertama.Efek
samping yang paling sering yaitu flatulen (Soegondo, 2007).

d) Golongan penghambat glukoneogenesis


Metformin digunakan sebagai obat pilihan pertama pada penderita DM
tipe 2 dan DM obesitas, karena keamananterhadap kardiovaskuler. Metformin
menurunkan kadar glukosa darah melalui penurunan produksi glukosa hepar dan
meningkatkan absorbsi glukosa di otot rangka (Hardiman, 2012).
2) Insulin
Insulin merupakan hormon polipeptida yang di sekresi oleh sel β
pankreas.Insulin dapat dirusak oleh enzim pencernaan sehingga diberikan
melalui injeksi (Suherman, 2008). Insulin yang dikeluarkan oleh sel-sel β
pankreas langsung ditransfusi ke dalam hati melalui vena porta, kemudian
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Insulin di dalam tubuh
membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel (Muhcid dkk., 2005).

2.7. Spektrofotometri UV-Vis


Spektrofotometri Sinar Tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi
cahaya oleh suatu system kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002).
Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400nm, dan
sinar tampak (visible) mempunyai panjang gelombang 400-750 nm.
Spektrofotometri digunakan untuk mengukur besarnya enetgi yang diabsorbsi atau
diteruskan. Sinar radiasi monokromatik akan melwati larutan yang mengandung
zat yang dapat menyerap sinar radiasi tersebut (Harmita, 2006). Spektrum UV-Vis
sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di
dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang
gelombang terntentu dengan menggunakan hukum Lambert-beer (Harmita, 2006).
2.8. Hukum Lambert-beer
Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan linearitas antara absroban
dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan.
Dalam hokum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan yaitu :
a. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis
b. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang
yang sama
c. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung
terhadap yang lain dalam larutan tersebut
d. Tidak terjadi fluoresensi atau fosforisensi
e. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan
Hukum Lambert-Beer dinyatakan dalam persamaan :
A = a.b.c
Keterangan :
A = absorban
a = absorpsivitas molar
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi
salah satu syarat senyawa dianalisis dengan spektrofotometri adalah
karena senyawa tersebut mengandung gugus kromofor. Kromofor adalah gugus
fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika diikat oleh
gugus ausokrom. Hamper semua kromofor mempunyai ikatan rangkap
berkonjugasi (diena(C=C-C=C), dienon (C=C-C=O), bensen dan lain-lain.
Ausokrom adalah gugus fungsional yang mempunyai electron bebas, seperti –OH,
NH2, NO2, -X (Harmita, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Day, R. A. and A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi


Keenam. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Dellasega, C. & Yonushonis, E. M. 2007. Diabetes Melitus Pada Lansia, Dalam
Stanley, M. S. & Beare, P. G. (eds.), Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi
Kedua, diterjemahkan oleh Juniarti & Kurnianingsih, S. 199-200. 202-203.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Em Yunir, Suharko Soebardi. 2007. Terapi non farmakologis pada diabetes
mellitus Buku ajar ilmu penyakit dalam Ed 4. Jilid 3. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal. 1862-4.
Funk JL, Feingold KR, 2014. Disorders of the endocrine pancreas.
Pathophysiology of Disease. An introduction to clinical medicine. 7th ed.
New York (NY): Lange Medical Books/McGraw-Hill.
Hardiman, D., 2012. The Postmeal hyperglycaemia and its vascular effects in type-2
diabetes mellitus. Editor: Hardiman, J., Kartodarsono, S., Sugiarto, Arifin,
Clinical And Basic Science, Global Chakkengens In Prevention And Treatment
of Endocrinology Disease. 167-169. Surakarta: Perkumpulan Endrokrin
Indonesia.
Harmita, 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi. Jakarta:
Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia.
Irawan, M Anwari. 2007. Karbohidrat. Sport Science Brief, Volume 1. Nomor 3.
Kee J.L. 2013. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan diagnostic. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Khoirul, A. 2013. Perbedaan Kadar Gula Darah Sebelum Dan Sesudah Senam
Diabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi.
Lee, F. T. 2009. Advances in Diabetes Theraphy in the Elderly. J Pharm Pract Res.
39: 63-7.
Muchid A, Umar F, Ginting M Nur, Basri Camelia dkk. 2005. Pharmaceutical
Care Untuk Penyakit Diabetes Melitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik, Direktorat jenderal Bina kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Nugraha, Gilang. 2015. Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar.
Jakarta: CV Trans Info Medika.
Panil, Z. 2008. Memahami Teori Dan Praktik Biokimia Dasar Medis. Jakarta: EGC,
182–84.
Priyanto, 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Lembaga Studi Dan
Konsultasi Farmakologi.
Rejeski, W. J., Edward, H., Alain, G., Bertoni, Bray, G. A., Evans, G., Greg., Zhang,
Q. 2012. Lifesyle Change And Mobility In Obese Adult with Type 2 Diebetes. N
Engl J Med. 366;13.
Sacher RA, McPherson RA. 2012. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Edisi 11. Jakarta: EGC.
Sadikin, M. 2014. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.
Soegondo, S. 2007. Prinsip Pengobatan Diabetes Insulin dan Obat Hipoglikemik
Oral. Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I. (eds.). Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu, 119-125, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Subramaniam, I., & Gold, J. 2005. Diabetes Mellitus in Elderly-An Overview. Journal
of Indian Academyof Geriatrics. 2: 77-81.
Suherman, S. K. 2008. Insulin dan Antidiabetik Oral. Dalam Gunawan, S. G.,
Setiabudy, R., Nafrialdi, & Elysabeth (eds.), Farmakologi dan Terapi, Edisi 5,
490-493, Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tjay dan Rahardja, 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek
Sampingnya, Edisi V. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia.
Wulandari, S. 2016. Gambaran Kadar Glukosa Darah Dalam Sampel Serum Dengan
Plasma NaF Yang Ditunda 1 Dan 2 Jam Di Stikes Muhammadiyah Ciamis.
Skripsi.

Anda mungkin juga menyukai