Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, perawat menginginkan
perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Dulu membantu
pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan
asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri
sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan. Tuntutan perubahan
paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk hubungan perawat
dengan manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik keperawatan dilihat
sebagai profesi, maka harus ada otoritas atau kewenangan, ada kejelasan
batasan, siap melakukan apa. Karena diberi kewenanagan maka perawat
bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab terhadap tiap keputusan dan
tindakan yang dilakukan. Tuntutan perubahan paradigm tersebut tidak
mencerminkan kondisi di lapangan yang sebenarnya, hal ini di buktikan
perawat di berbagai daerah mengeluhkan mengenai semaraknya razia
terhadap praktik perawat sejak perberlakuan UU Nomor 29 Tahun 2004
tentang praktik kedokteran. Pelayanan keperawatan diberbagai rumah sakit
belum mencerminkan praktik pelayanan keperawan professional. Metode
pemberian asuhan keperawatan yang dilaksanakan belum sepenuhnya
berorientasi pada upaya pemenuhan kebutuhan klien, melainkan lebih
berorientasi pada pelaksanaan tugas rutin seorang perawat.
Nursing di Indonesia yang tergolong masih muda dibandingkan dengan di
Negara barat memang jauh. Bahkan diantara Negara-negara Asia sekalipun.
Meskipun demikian geliat perubahan yang dimulai sejak tujuh tahun terakhir
di tanak air merupakan upaya positif yang sudah pasti memerlukan dukungan
semua pihak. Tetapi yang lebih penting adalah dukungan pemikiran-pemikiran
kritis terutama dari nurse itu sendiri. Pola piker kritis ini merupakan tindakan
yang mendasari evidence-based practice dunia nursing yang memerlukan
proses pembuktian sebaimana proses riset ilmiah. Pola piker tersebut bukian
berarti mengharussan setiap individu menjadi peneliti/ research. Sebaliknya,
sebagai landasan dalam praktek nursing sehari-hari. Dengan demikian

1
kemampuan merefleksikan kenyataan praktis lapangan dengan dasar ilmu
nursing ataupun disiplin ilmu lainnya, baik dalam nursing proses kepada
paasien ataupun dalam melaksanakan program pendidikan nursing, sudah
seharusnya menyatu dalam intelektualitas nurses.

B. Tujuan
Untuk mengatehui deskripsi aspek legal keperawatan, dasar hukum
keperawatan, standar praktik keperawatan saerta tanggung jawab dan
tanggung gugat perawat.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Legal

Legal merupakan sesuatu yang dianggap sah oleh hukum dan undang-
undang (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Setiap aturan yang berlaku untuk
seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas atau fungsi perawat
adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu
berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik
dapat dihindarkan. Hukum mengatur perilaku hubungan antar manusia
sebagai subjek hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Dalam kehidupan
manusia, baik secara perorangan maupun berkelompok, hukum mengatur
perilaku hubungan baik antara manusia yang satu dengan yang lain, antar
kelompok manusia, maupun antara manusia dengan kelompok manusia.
Hukum dalam interaksi manusia merupakan suatu keniscayaan
(Praptianingsih, 2006).
Hal legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu
bentuk. Hak legal ini lebih banyak berbicara tentang hukum dan sosial.
Contoh kasus mengeluarkan peraturan bahwa perawat memperoleh
tunjangan setiap bulan, maka setiap perawat yang telah memenuhi syarat
yang ditentukan berhak untuk mendapat tunjangan tersebut (Hasyim &
Prasetyo, 2012). Aspek legal keperawatan adalah aspek aturan keperawatan
dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan
tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan
kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan (Hariyati,
2006).
Perawat perlu tahu tentang hukum yang mengatur praktik, misal untuk
memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang
dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum.

B. Perjanjian atau Kontrak dengan Penanggung Jawab

Kontrak mengandung arti ikatan persetujuan atau perjanjian resmi antara


dua atau lebih untuk mengerjakan sesuatu. Dalam konteks hukum, kontrak

3
sering disebut dengan perjanjian atau perikatan (Dalami, Rochimah &
Suryani, 2010). Hukum perikatan diatur dalam UU hukum perdata pasal 12
ayat 39 “Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang
tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum
yang termasuk dalam bab ini dan bab yang lalu. “Lebih lanjut menurut
ketentuan pasal 1234 KUHP, setiap perikatan adalah untuk memberikan,
berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Perikatan dikatakan sah bila memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang berbuat perjanjian


(consencius)
2. Ada kecakapan terhadap pihak-pihak untuk membuat perjanjian
(capacity)
3. Ada sesuatu hal tertentu (a certain subject matter) dan ada sesuatu sebab
yang halal (legal cause)
4. Kontrak perawat-pasien dilakukan sebelum melakukan tindakan asuhan
keperawatan
5. Kontrak juga dilakukan sebelum menerima dan diterima ditempak kerja
6. Kontrak P-PS digunakan untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak
yang bekerja sama
7. Kontrak juga untuk menggugat pihak yang melanggar kontrak yang
disepakati (Dalami et al, 2010). Batas tanggung jawab keperawatan
antara lain menjalankan pesanan dokter, melaksanakan intervensi
keperawatan mandiri atau yang di delegasi.
Menurut Beeker dalam Kozier (1990) empat hal yang harus diperhatikan
perawat untuk melindungi mereka secara hukum yaitu:
a. Tanyakan pesanan yang ditanyakan pasien
b. Tanyakan setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah
c. Tanyakan dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan
komunikasi
d. Tanyakan pesanan (standing order) terutama bila perawat tidak
berpengalaman.
Perawat harus memperhatikan beberapa prekausi dalam melaksanakan
intervensi keperawatan, antara lain:

4
a. Ketahui pembagian tugas (job description) mereka
b. Ikuti kebijakan dan prosedur yang ditetapkan ditempat kerja
c. Selalu identifikasi pasien, terutama sebelum melaksanakan intervensi
utama
d. Pastikan bahwa obat yang benar diberikan dengan dosis rute, waktu
dan pasien yang benar
e. Lakukan setiap prosedur secara tepat
f. Catat semua pengkajian dan perawatan yang diberikan dengan cepat
dan akurat
g. Catat semua kecelakaan yang mengenai pasien Jalin dan
pertahankan hubungan saling percaya yang baik (rapport) dengan
pasien
h. Pertahankan kompetisi praktik keperawatan
i. Mengetahui kekuatan dan kelemahan perawat
j. Sewaktu mendelegasikan tanggungjawab keperawatan pastikan
bahwa orang yang diberikan delegasi tugas mengetahui apa yang
harus dikerjakan dan orang tersebut memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan
k. Selalu waspada saat melakukan intervensi keperawatan dan
perhatikan secara penuh setiap tugas yang dilaksanakan.

C. Aspek Legal dalam Keperawatan

Beberapa aspek legal dalam keperawatan mempunyai fungsi hukum


dalam praktik keperawatan, seperti memberikan kerangka untuk menentukan
tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum dan bisa
membedakan tanggungjawab perawat dengan tanggungjawab profesi yang
lain. Selain itu, hukum juga membantu menentukan batas-batas kewenangan
tindakan keperawatan mandiri dan membantu dalam mempertahankan
standar praktik keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki
akuntabilitas dibawah hukum (Kozier, 1990).

D. Perlindungan Legal untuk Perawat


Perawat harus mendapat perlindungan atau payung hukum dalam
menjalankan praktiknya terhadap kejadian malpraktik dan kelalaian pada

5
keadaan daruta, sebagai contoh: di Amerika Serikat UU yang mengatur legal
keperawatan diberi nama Good Samaritan Acts yang memberikan
perlindungan tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan pada
keadaan darurat. Selain itu, di Kanada terdapat UU lalu lintas yang
memperbolehkan setiap orang untuk menolong korban pada setiap situasi
kecelakaan yang bernama Traffic Act. Di Indonesia sendiri diatur oleh UU
kesehatan No.23 tahun 1992. Undang-undang RI No.23 tahun 1992 tentang
kesehatan telah beberapa tahun hadir ditengah-tengah kita. UU ini berisi
peraturan-peraturan hukum yang bertujuan untuk peningkatan derajat
kesehatan seluruh anggota masyarakat. UU ini dengan demikian akan
melibatkan instansi-instansi terkait dan juga melibatkan pemberi pelayanan
kesehatan (medical providers) dan penerima kesehatan (medical receiversi).
Undang-undang kesehatan ini merupakan produk hukum yang bernuansa
luas di bidang kesehatan, sehingga sembilan (9) undang-undang dibidang
kesehatan yang telah ada sebelumnya harus dicabut karena sudah
diakomodir dalam undang-undang ini termasuk diantaranya UU tentang
pembukaan apotek (1953), UU pokok kesehatan (1960), UU tenaga
kesehatan (1963), UU tentang hygiene (1966) dan UU kesehatan jiwa (1966).
Karena pada waktu yang sama dengan proses kelahiran UU kesehatan ini, di
Indonesia berkembang pula pengetahuan Hukum Kesehatan yang relatif
baru, maka kini ada dua istilah yang makin sering didengar yaitu UU
kesehatan dan Hukum kesehatan. Antara keduanya terdapat kesamaan yaitu
mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang
kesehatan, tetapi juga ada perbedaannya. Oleh sebab itu keduanya perlu
ditelaah terlebih dahulu (Hanafiah & Amir, 1999). Pelanggaran hukum dapat
bersifat perdata maupun pidana. Pelanggaran yang bersifat perdata
sebagaimana tertera pada UU No.23 tahun 1992 pada pasal 55 ayat (1) dan
ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas ganti
rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal yang berhubungan
dengan ganti rugi dapat bersifat negosiasi atau diselesaikan melalui
pengadilan. Pelanggaran yang bersifat pidana sebagaimana disebutkan
dalam UU No.23 tahun 1992 pada Bab X Ketentuan Pidana berupa pidana
6
penjara dan/atau pidana denda, atau sebagaimana pada pasal 61 dan 62 UU
No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61: Penentuan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau
pengurusnya Pasal 62: (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana
dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (2) Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat
(1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku (Ake, 2003).

E. Bidang Pekerjaan Perawat yang beresiko melakukan kesalahan

Menurut Vestal (1995) dalam Ake (2003), mengidentifikasi tiga area yang
memungkinkan perawat beresiko melakukan kesalahan, yaitu tahap
pengkajian keperawatan (assesment errors), perencanaan keperawatan
(planning errors) dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors).
Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:

1. Assesment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data atau


informasi tentang pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi
informasi yang diperlukan, seperti data hasil pemeriksaan laboratorium,
tanda-tanda vital atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan
segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada
ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan
mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk
menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan
data dasar secara komprehensif dan mendasar.
2. Planning errors, termasuk hal-hal berikut:
a. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya
dalam rencana keperawatan

7
b. Kegagalan dalam mengkomunikasikan secara efektif rencana
keperawatan yang telah dibuat, misalnya menggunakan bahasa
dalam rencana keperawatan yang tidak dipahami perawat lain
c. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan
yang disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana
keperawatan
d. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
Untuk mencegah kesalahan tersebut, jangan hanya menggunakan
perkiraan dalam membuat rencana keperawatan tanpa
mempertimbangkan dengan baik. Seharusnya dalam penulisan harus
memakai pertimbangan yang jelas berdasarkan masalah pasien. Bila
dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang
terkumpul. Rencana harus realistis berdasarkan standar yang telah
ditetapkan, termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien.
Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun tulisan. Lakukan
tindakan berdasarkan rencana dan lakukan secara hati-hati sesuai
instruksi yang ada.

F. Kewajiban Perawat

1. Mempunyai izin untuk melakukan pekerjaan maupun untuk melakukan


praktik keperawatan
2. Membantu program pemerintah di bidang kesehatan
3. Meningkatkan mutu pelayanan profesi
4. Mencantumkan surat izin praktik perawat di ruang praktikya (perorangan)
5. Memenuhi persyaratan mutu layanan dalam bentuk ketersediaan sarana
dan prasarana minimal bagi perawat dan berpraktik sesuai dengan
peraturan perundangan
6. Menjalankan fungsi keperawatan berdasarkan ketentuan
7. Mengumpulkan sejumlah angka kredit (Ketentuan MenPan 94/2001).

8
G. Undang-Undang yang Berkaitan dengan Praktik Keperawatan

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

Bab II (tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa


pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan
hukum.
2. UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960.UU ini
membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana.Tenaga
sarjana meliputi dokter, doter gigi dan apoteker.Tenaga perawat termasuk
dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan
rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan
tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker.Pada
keadaan tertentu kepada tenaga pendidik rendah dapat diberikaqn
kewenangan terbats untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan
langsung. UU ini boleh dikatakan sudah using karena hanya
mengklaripikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana
dan bukan sarjana).UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi
tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya.Dalam UU ini juga
belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti
sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum
tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada
tenaga kesehatan lainnya.
3. UU kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang wajib kerja paramedis
Pada pasal 2,ayat (3) dijelasakan bahwa tenaga kesehatan sarjana
muda, menengah dan rendah wqajib menjalankan wajib kerja pada
pemerintah selama 3 tahun.Dalam pasal 3 dihelaskan bahwa selama
bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksut pada pasal 2
memiliki kedudukan sebagain pegawai negeri sehingga peraturan-
peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.UU ini untuk
saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam
mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas
dalam UU tersebut sebagai contoh bagai mana sisitem rekruitmen calon
pesrta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankaqn

9
wajib kerja dll. Yang perlu diperhatikan dalam UU ini,lagi posisi perawat
dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan
akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek propesionalisasian,
perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap
pelayanannya sendiri.
4. SK Menkes No. 262/per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan para medis menjadi dua golongan yaitu paramedic
keperawatan (termasuk bidan) dan paramedic non keperawata.Dari aspek
hukum, sartu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi
terpisah tetapi juga termasuk kategori tenaga keperawatan.
5. Permenkes. No. 363/ Menkes/ per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara
tenaga keperawatan dan bidan.Bidan seperti halnya dokter, diizinkan
mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara
resmi tidak diizinkan.Dokter dapat membuka praktik swasta untuk
mengobati orang sakit dan bidan dapat menolong persalinan dan
pelayanan KB.Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi
propesi keperawatan. Kita ketahuai Negara lain perawat diizinkan
membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus
menggantikan atau mengisi kekujrangan tenaga dokter untuk mengobati
penyakit terutam dipuskesmas- puskesmas tetapi secara hukum hal
tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang
pelayanan dirumah.Bila memang secara resmi tidak diakui, maka
seharusnya perawat dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan
untuk benar-benar melakuan nursing care.
6. SK Mentri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/
1986,tanggal 4 Nopember 1989, tentang jabatan fungsional tenaga
keperawatan dan system kredit poin.
Dalam system ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik
jabatannya atau naik pangkatnya setiap 2 tahun bila memenuhi angka
kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah:
penyenang kesehatan, yang sudah mencapai golongan II/a, Pengatur
Rawat/ Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan
Sarjana/S I Keperawatan. System ini menguntungkan perawat karena
10
dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/ golongan
atasannya
7. UU kesehatan No. 23 tahun 1992
Merupakan UU yang banyak member kesempatan bagi
perkembangan termasuk praktik keperawatan professional karena dalam
UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,
maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan.
Beberapa pernyataan UU kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai
sebagai acuan pembuatan UU praktik keperawatan adalah :
a. Pasal 32 ayat 4
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu.
b. Pasal 53 ayat I
Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesui dengan profesinya.
c. Pasal 53 ayat 2
Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Legal merupakan sesuatu yang dianggap sah oleh hukum dan undang-
undang (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

B. Saran

12

Anda mungkin juga menyukai