Anda di halaman 1dari 53

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326438503

NYERI SECARA UMUM (GENERAL PAIN)

Chapter · July 2015

CITATIONS READS

0 7,251

1 author:

Shahdevi Nandar
Brawijaya University
37 PUBLICATIONS   15 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Dermatology and Neurology View project

mTOR and Epilepsy View project

All content following this page was uploaded by Shahdevi Nandar on 17 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


NYERI SECARA UMUM

GENERAL PAIN

HOW CITE THIS ARTICLE :

Kurniawan, S. N. 2015. Nyeri Secara Umum dalam Continuing


Neurological Education 4, Vertigo dan Nyeri. UB Press, Universitas
Brawijaya, Malang. p48-111
NYERI SECARA UMUM
Shahdevi Nandar Kurniawan
Lab / SMF Neurologi
FK-UB / RSSA Malang

Latar Belakang
Nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien-pasien untuk
mendatangi tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling umum
diberikan untuk pengobatan terhadap diri sendiri. Menurut The International
Association for the Study of Pain dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan
jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. 1
Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Nyeri akut seringkali
adaptif karena mengingatkan indvidu mengenai kehadiran dan lokasi dari cedera pada
lapisan jaringan dan mengkoreksi perilaku yang dapat menyebabkan atau berkontribusi
terhadapnya. Nyeri kronik, disisi lain merujuk pada nyeri yang berkelanjutan lebih
ringan dari tiga bulan walaupun terapi dan usaha-usaha untuk mengatasinya telah
dilakukan oleh pasien. Nyeri dapat berdampak pada semua area kehidupan seseorang
dan seringkali berasosisi dengan masalah-masalah fungsional, psikologis, dan sosial.
Lebih lanjut lagi, nyeri kronik dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
keluarga dan rekan-rekan penderita.1
Nyeri itu sendiri bisa disebabkan oleh beberapa peristiwa, salah satunya
tindakan injeksi. Nyeri adalah komplikasi yang secara umum terjadi ketika
dilakukannya tindakan injeksi. Nyeri pada pasien yang dilakukan karena tindakan
injeksi merupakan kategori nyeri nosiseptor mekanis yang diakibatkan oleh kerusakan
mekanis berupa tusukan jarum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 125 laki-laki,
80% melaporkan nyeri setelah tindakan injeksi diberikan. 1
Nyeri digolongkan sebagai gangguan sensorik positif. Pada hakikatnya nyeri
tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat diukur, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan bahkan menyakitkan. Nyeri
adalah suatu sensasi yang unik. Keunikannya karena derajat berat dan ringan nyeri yang
dirasakan tidak ditentukan hanya oleh intensitas stimulus tetapi juga oleh perasaan dan
emosi pada saat itu.2
Pada dasarnya nyeri adalah reaksi fisiologis karena reaksi protektif untuk
menghindari stimulus yang membahayakan tubuh. Tetapi bila nyeri tetap berlangsung
walaupun stimulus penyebab sudah tidak ada, berarti telah terjadi perubahan
patofisiologis yang justru merugikan tubuh. Sebagai contoh, nyeri karena pembedahan,
masih tetap dirasakan pada masa pasca bedah ketika pembedahan sudah selesai. Nyeri
semacam ini tidak saja menimbulkan perasaan tidak nyaman, tetapi juga reaksi stres,
yaitu rangkaian reaksi fisik maupun biologis yang dapat menghambat proses
penyembuhan. Nyeri patologis atau nyeri klinik inilah yang membutuhkan terapi. 3
Tinjauan pustaka

1
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain
adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana
diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan
yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar
belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks
nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium
mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri,
terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan
pasien dengan gangguan komunikasi.3
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari
nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan
mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan
merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri,
seperti :
• Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus
asa.
• Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka.
• Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga
meningkatkan kepekaan nyeri.
• Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi.
• Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme.

Mekanisme nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang
diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif.Sistem ini berjalan mulai dari perifer
melalui medulla spinalis, batang otak, talamus dan korteks serebri. Apabila telah
terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi
protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. 3
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan
kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau
noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri
inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.3
Nosiseptor (reseptor nyeri)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,
viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran
stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan
mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang
memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting).
Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke system saraf pusat
untuk interpretasi nyeri.1,3
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal
interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih

2
tinggi pada batang otak dan talamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya,
reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri dalam beradaptasi
adalah untuk proteksi, karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas
pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya
minimal. Rasa nyeri yang didapat dari jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan
kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena
iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada
20 sampai 30 menit.4

Gambar 1. Pain Pathway2


Klasifikasi nyeri
Rasa nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual. Adanya takut,
marah, kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu
dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti
mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi
(nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker). 4
Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas
setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat. Nyeri akut ini
dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa
dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien selama 1-6
bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan terjadi pada
penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau
infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai elemen nosiseptif dan neuropatik.
Nyeri kronik nonmalignant (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati)
sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik
yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat
pengobatan menjadi lebih sulit.4

3
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala
sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat)
pada saat nyeri muncul. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala
otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri. 4
Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri
nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan
suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang
bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan
respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.4
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural
pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen
sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien
yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap
analgesik opioid.4
Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh
dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering
kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri visceral seperti keram
sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral,
menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. 4
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot
polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.
Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin
iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari
jaringan.4
Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah,
tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.Penyakit yang
menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan
oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana
dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum parietal
sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama sekali.
Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada
daerah yang rusak.4.5
Penilaian nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri
paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan
untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien
dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. 7

4
Gambar 2. Wong Baker Faces Pain Rating Scale6

Gambar 3. Verbal Rating Scale6

Gambar 4. Numerical Rating Scale6

Gambar 5. Visual Analogue Scale6

5
Penanganan nyeri
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan
pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi
(multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang
baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).6
Farmakologis

Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral parenteral,


blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid
intraspinal.Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien,
prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang
digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan.
Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk
membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik
(dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik
(gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi
kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, spinal
cord stimulation, intracerebral stimulation).6

Gambar 6. Obat farmakologi untuk penanganan nyeri.6

6
Gambar 7. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Wargo BW, Burton AW: Cancer Pain. Pain Medicine & Management, Just
TheFact. 1st ed. McGraw-Hill. 2005.
2. Bennett M, Forbes K, Faull C. The principles of pain management. In: Faull
C,Carter Y, Woof R, eds.Handbook of palliative care.2nd ed. Oxford: Blackwell
Science. 2004.
3. Tamsuri Anas. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC. 2007
4. Adam RD and Victor M. Principles of Neurology 7nd ed. Mc. Graw Hill. New
York, Hal. 2001;p204-233.
5. Meliala L. Suryamiharja A. Purba JS, Anggraini H. Penuntun Praktis
Penanganan Nyeri Neuropatik. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI. 2000.
6. Purba, JS.,Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2010.
7. Priguna, S.Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. PT. Dian Rakyat, Jakarta.
2010.

7
CARPAL TUNNEL SYNDROME

Carpal tunnel syndrome (CTS) dan trigger finger merupakan dua penyakit pada
ekstremitas atas yang cukup sering terjadi.CTS merupakan kondisi dimana terjadi
jepitan saraf dan biasanya berhubungan dengan pekerjaan.Insiden CTS dalam satu
tahun sekitar 1 diantara 1000 penduduk. Pada pekerja di Washington terdapat sekitar 4
sampai 10 juta kasus CTS pada tahun 2005 dan diperkirakan 5 juta pekerja terkena CTS
pada tahun 2010.1 Sedangkan trigger finger atau stenosing tenosinovitis memiliki
insiden sekitar 28 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Prevalensi CTS dan trigger finger lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Angka kejadian tertinggi pada usia antara 45 sampai 60 tahun.
CTS terjadi akibat berbagai kondisi seperti inflammatory atau noninflammatory
arthropaty, trauma atau fraktur, diabetes mellitus, obesitas, hipotiroidism, kehamilan
dan faktor genetik. Resiko untuk terkena CTS meningkat dengan bertambahnya usia
dan kondisi perimenopause. Aktivitas kerja juga berperan pada terjadinya CTS.Trigger
finger sering terjadi berhubungan dengan penyakit lain seperti rheumatoid arthritis,
gout, carpal tunnel syndrome, de quervain disease, dan diabetes.2
Terapi carpal tunnel syndrome dan trigger finger secara umum dibagi menjadi
terapi non farmakologi, terapi farmakologi dan terapi pembedahan. Pada terapi non
farmakologi bisa dilakukan splinting, heating, stretching. Sedangkan terapi
farmakologi untuk mengontrol nyeri bisa menggunakan oral NSAID, injeksi
steroid.Pada kasus tertentu terapi pembedahan bisa menjadi pilihan untuk tatalaksana
CTS dan trigger finger. Setelah terapi pada umumnya akan sembuh dalam waktu 6
minggu tetapi beberapa kasus bisa muncul kembali gejala ulangan. Oleh karena itu
perlu dicari faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi serta prognosis
penyakit.1

Definisi

Carpal tunnel syndrome (CTS) disebabkan oleh kompresi saraf median di


pergelangan tangan. Ini adalah tempat yang paling sering terdiagnosis dari kompresi
saraf ekstremitas atas pada populasi orang dewasa di Amerika Serikat. Hal ini 3 kali
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.Secara anatomis, carpal tunnel
adalah kanal fibro-osseus yang berbatasan secara dorsal dengan tulang karpal dan
secara palmar dengan fleksor retinaculum. Tepi ulnaris dari kanal terbentuk oleh
triquetrum, pengait dari tulang hamatum, dan pisiform. Tepi radial dibentuk oleh
trapesium, skafoid, dan septum fasia dari fleksor karpi radialis. Isi dari carpal tunnel
meliputi 4 tendon sublimis, 4 tendon profunda, tendon fleksor polisis longus, dan
nervus medianus. CTS merupakan hasil dari kompresi saraf median dalam carpal
tunnel. Kompresi ini dapat disebabkan secara langsung dari fleksor retinakulum sendiri
atau dari peningkatan tekanan dalam kanal, seperti yang disebabkan oleh lesi yang
memenuhi ruangan. CTS juga dapat dipicu atau diperburuk oleh kelainan anatomi
carpal tunnel, infeksi, penyakit inflamasi, dan gangguan metabolisme. 1

Epidemiologi

Prevalensi CTS diperkirakan 50 kasus per 1.000 penduduk per tahun di Amerika
Serikat, mulai dari 0,1% hingga 9,2%. Kurangnya standar referensi untuk diagnosis
CTS dan kecenderungan menyalahgunakan diagnosis untuk orang dengan nyeri yang

8
berhubungan dengan aktivitas berarti bahwa banyak dari penyakit ini mungkin tidak
terdiagnosis secara akurat, dan dapat menyebabkan berbagai macam prevalensi seperti
yang dilaporkan dalam literatur. Sebuah survei cross sectional besar menganalisis
2.466 orang dewasa yang dipilih secara acak (terstratifikasi agar mewakili seluruh
populasi) untuk gejala CTS dan menemukan bahwa 14% melaporkan nyeri, mati rasa,
dan kesemutan di tangan dan pergelangan tangan, tapi setelah tes elektrodiagnostik
pasien simtomatik, hanya 4% dari populasi penelitian memiliki tes abnormal. 2
Jenkins et al, menganalisis 1.564 pasien yang didiagnosis dengan CTS dan
melaporkan kejadian tahunan 72 kasus per 100.000 penduduk per tahun, dengan CTS
dua kali lebih umum terjadi pada wanita. Usia rata-rata dalam penelitian tersebut
adalah 55 tahun, yang konsisten dengan penelitian sebelumnya, dengan insiden
tertinggi pada umumnya dilaporkan pada wanita di dekade keenam. Penelitian tersebut
juga menemukan bahwa semakin kurangnya sosial ekonomi berkorelasi dengan
peningkatan kejadian CTS (81/100.000 dibandingkan 62/100.000), peningkatan
gangguan fungsional dasar, dan paparan getaran berkaitan pekerjaan yang lebih besar. 2

Faktor Resiko

Ada sejumlah faktor risiko yang terkait dengan terbentuknya CTS, faktor risiko
terbesar termasuk perempuan dan/atau kelebihan berat badan. Faktor-faktor ini
berhubungan kembali terhadap anatomi carpal tunnel. Telah dikemukakan bahwa
perempuan mungkin lebih rentan untuk mengalami CTS karena mereka cenderung
memiliki carpal tunnel yang lebih sempit dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu,
kelebihan berat badan atau obesitas lebih lanjut membuat kanal menjadi stenosis karena
jaringan adiposa terakumulasi dan menekan kanal dari luar, menciptakan ruangan yang
semakin terbatas. Faktor risiko penting lainnya termasuk kehamilan (yang diduga
disebabkan oleh meningkatnya beban cairan yang terjadi pada kehamilan), diabetes,
rheumatoid arthritis, hipotiroidisme, penyakit jaringan ikat, mononeuropati median
yang sudah ada sebelumnya, predisposisi genetik, penggunaan aromatase inhibitor, dan
faktor pekerjaan. Fakta bahwa obesitas, diabetes, dan rheumatoid arthritis merupakan
faktor risiko juga memberikan alasan penting lain mengapa menemukan rencana
pengobatan hemat biaya yang berhasil untuk CTS adalah penting. 3

Etiologi

Etiologi carpal tunnel syndrome adalah multifaktorial dengan hasil akhir umum
atau rasa sakit dan parestesia sepanjang distribusi saraf median. Para peneliti telah
menemukan bahwa faktor yang paling penting dari terbentuknya carpal tunnel
syndrome ini adalah peningkatan tekanan dalam carpal tunnel. Ini mungkin salah satu
alasan mengapa gerakan pergelangan tangan berulang-ulang tampaknya menyebabkan
CTS karena menggerakkan pergelangan tangan di luar posisi netral akan meningkatkan
tekanan di dalam kanal.
Sementara etiologi lengkap dari peningkatan tekanan intrakanal belum
sepenuhnya diketahui, telah dihipotesiskan bahwa kompresi anatomi dan/atau
peradangan dapat memainkan peran penting, dan pemeriksaan histologis saraf telah
menunjukkan adanya edema dan penebalan dinding pembuluh dalam endoneurium dan
perineurium, fibrosis, mielin yang menipis, dan degenerasi/regenerasi serabut saraf.
Tendon fleksor yang juga berjalan melalui carpal tunnel dapat mengalami
penebalan atau peradangan. Mungkin juga ada fibrosis non-inflamasi pada jaringan ikat
yang mengelilingi tendon, yang menyebabkan penyempitan lebih lanjut dari carpal

9
tunnel. Peradangan dapat terjadi sekunder terhadap proses penyakit lain yang terjadi,
seperti pada diabetes dan rheumatoid arthritis.
Faktor lain yang mempengaruhi tekanan carpal tunnel adalah posisi
pergelangan tangan. Posisi tekanan terendah meliputi posisi netral atau sedikit
menekuk. Setiap penyimpangan dari posisi ini secara proporsional meningkatkan
tekanan. Menurut Amirfeyz et al, peningkatan tekanan dalam carpal tunnel memiliki 3
cara perusakan terhadap carpal tunnel. Peningkatan tekanan dapat merusak 6 saraf
median secara langsung, mengganggu transportasi aksonal, atau bahkan menekan
pembuluh dalam perineurium dan dengan demikian menyebabkan iskemia ke saraf.

Gambar 1. Anatomi Carpal Tunnel.3

Beberapa penyebab dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian


carpal tunnel syndrome antara lain:
1. Herediter : neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy, misalnya
HMSN (hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
2. Trauma : dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan tangan
dan tangan, sprain pergelangan tangan, trauma langsung terhadap pergelangan
tangan.
3. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang
berulang-ulang. Seorang sekretaris yang sering mengetik, pekerja kasar yang
sering mengangkat beban berat dan pemain musik terutama pemain piano dan
pemain gitar yang banyak menggunakan tangannya juga merupakan etiologi dari
carpal turner syndrome.
4. Infeksi : tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
5. Metabolik : amiloidosis, gout, hipotiroid - neuropati fokal, khususnya sindrom
carpal tunnel juga terjadi karena penebalan ligamen, dan tendon dari simpanan zat
yang disebut mukopolisakarida.
6. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus,
hipotiroidi, kehamilan.

10
7. Neoplasma : kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
8. Penyakit kolagen vaskular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika, skleroderma,
lupus eritematosus sistemik.
9. Degeneratif : osteoartritis.
10. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis,
hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
11. Faktor stress.
12. Inflamasi : Inflamasi dari membrane mukosa yang mengelilingi tendon
menyebabkan nervus medianus tertekan dan menyebabkan carpal tunnel
syndrome.

Manifestasi Klinis

Gejala yang menggambarkan penyakit ini termasuk mati rasa, kesemutan, atau
nyeri terbakar di bagian volar dari satu atau kedua tangan, terutama terasa setelah
bekerja atau di malam hari. Gejala nokturnal menonjol pada 50% sampai 70% pasien.
Pasien sering terbangun di malam hari atau pagi hari dan menggoyangkan tangan
mereka untuk meringankan gejala-gejala tersebut.Gejala-gejala ini dapat dilaporkan
melibatkan seluruh tangan atau terlokalisasi ke ibu jari dan 2 atau 3 jari. Jika gejala
saraf menonjol hanya pada jari keempat dan kelima, diagnosis yang berbeda (misalnya,
neuropati ulnar atau C8 radikulopati) harus dipertimbangkan. Meskipun rasa sakit
terbakar sering menonjol di tangan dan telapak sisi pergelangan tangan, nyeri sakit
dapat menyebar ke daerah siku medial atau lebih proksimal ke bahu. Gejala proksimal,
terutama kesemutan di bagian radial tangan, dikombinasikan dengan nyeri siku lateral
harus memunculkan kemungkinan radikulopati C6.4

Tabel 1.Diagnosis klinis carpal tunnel syndrome.4

a. Gejala sensoris selama 1 bulan


a. Melibatkan setidaknya 2 digit dari digiti 1 sampai 4
b. Intermiten atau, jika konstan, sebelumnya intermiten
c. Dapat memiliki nyeri yang menyertai, namun tidak nyeri saja
b. Pencetus yang memberatkan (1 dari):
a. Tidur
b. Posisi tangan atau lengan yang dipertahankan
c. Kegiatan tangan repetitif
c. Gejala sensoris yang membaik dengan (1 dari):
a. Perubahan posisi tangan
b. Menggoyangkan tangan
c. Menggunakan bidai pergelangan tangan
d. Jika nyeri muncul, ini melibatkan tangan dan jari > proksimal
lengan/lengan bawah dan leher
e. Tidak ada riwayat atau temuan pemeriksaan yang menyarankan
diagnosis alternative

CTS harus dibedakan dari kompresi saraf median atau cabang-cabangnya di


lengan atau siku seperti yang terlihat pada sindroma pronator teres dan sindrom saraf
interoseus anterior.Kompresi akar servikal C6 dan C7 juga dapat menghasilkan gejala
yang mirip dengan yang tampak pada CTS. Pasien dengan CTS muncul dengan nyeri,
mati rasa, dan parestesia pada aspek palmar-radial tangan dalam distribusi saraf

11
median. Ini termasuk ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan sisi radial dari jari manis,
meskipun pasien mungkin menggambarkan gejala pada semua jari tangan. Gejala
sering memburuk pada malam hari dan membangunkan tidur pasien. Pasien dengan
CTS dapat menunjukkan keinginan untuk mengibaskan pergelangan tangan mereka
saat bangun untuk meringankan gejala. Pada kasus yang parah, kelemahan dalam
genggaman dan hilangnya ketangkasan dapat terlihat. 4

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan CTS mungkin memiliki tangan yang secara
klinis tampak normal. Namun, dalam kasus kompresi saraf lanjut, kelemahan dan atrofi
otot-otot tenar dapat terlihat. Perubahan sensorik dapat diperiksa dengan mengevaluasi
tes diskriminasi 2-titik, tes getaran, dan tes monofilamen. Perubahan motorik dapat
ditimbulkan oleh pengujian abduksi jempol. Manuver provokatif termasuk tes
kompresi Durkan, tes Phalen, dan tanda Tinel.
a) Phalen's test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila
dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan
diagnosa CTS.
b) Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan tomiquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan
sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
c) Tinel's sign : Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada
daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal
dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
d) Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit
Raynaud.
e) Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-
otot thenar.
f) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun
dengan alat dynamometer.
g) Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini
menyokong diagnosa CTS.
h) Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti
CTS, tes ini menyokong diagnosa.
i) Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari
telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita idak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnosis.
j) Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-
point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes
dianggap positif dan menyokong diagnosis.
k) Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan
keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus
medianus. Bila ada akan mendukung diagnosis CTS.

12
Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel test adalah tes yang
patognomonis untuk CTS.

Pemeriksaan Penunjang

Validasi diagnosis klinis CTS tergantung pada temuan perlambatan serabut


sensorik dan / atau motorik dari saraf median di carpal tunnel. Metode penelitian
konduksi saraf yang digunakan untuk menguji perlambatan seharusnya tidak
terpengaruh oleh suhu (baik suhu harus dipertahankan lebih dari 32 0C atau tes yang
tidak dipengaruhi oleh suhu harus digunakan). Studi-studi elektrodiagnostik (EDS) ini
harus memiliki spesifisitas yang tinggi, sensitivitas yang baik, dan tingkat kehandalan
yang tinggi. Tes tersebut juga harus meminimalkan kemungkinan usia atau
polineuropati yang menciptakan hasil yang menyesatkan atau positif palsu; ini sering
dapat dicapai dengan membandingkan saraf median saraf lain dalam jarak yang sama
pada pergelangan tangan. Tes NCV (nerve conduction velocity) sangat sensitif dan
spesifik untuk CTS. Jika pasien memiliki gambaran klinis yang positif terhadap CTS
tetapi hasilnya NCV negatif, dokter harus menyelidiki diagnosis banding klinis lain
seperti sindroma pronator, radikulopati serviks, atau tendonitis. Kurang dari 10%
pasien dengan CTS klinis memiliki memiliki hasil NCV yang normal. Dalam kasus ini,
dokter yang merawat harus yakin bahwa tes NCV yang paling sensitif dan spesifik telah
dilakukan.Jika tidak, permintaan untuk tes ini harus dilakukan.Pada beberapa kasus
dugaan CTS, tes NCV dapat diulang.
Tabel 2.Peran dari penelitian elektrodiagnostik pada diagnosis CTS.5

• Konfirmasi diagnosis :Lokalisir kelainan syaraf medianus terhadap carpal


tunnel.
• Singkirkan diagnosis alternatif yang menyerupai CTS.
• Diagnosis kelainan superimpose yang berperan terhadap gejala yang dapat
menyebabkan gejala berkelanjutan setelah pengobatan CTS (radikulopati
serviks, neuropati perifer).
• Tentukan keparahan nyeri neurogenic.
• Nilai dasar sebelum pembedahan.

Namun, kecuali jika ada kejadian intervensi yang signifikan atau perubahan
substansial dalam penilaian klinis, harus dilakukan penundaan minimal 1 tahun
sebelum mengulangi tes NCV, karena tidak mungkin perbedaan akan terlihat pada
interval waktu yang lebih singkat. Teknik NCV bersama dengan nilai-nilai referensi
dan batas atas dari nilai normal biasa digunakan untuk menguatkan diagnosis CTS
meliputi:
1. Latensi distal motorik median (8 cm). Catatan: Jika latensi distal motorik median
tidak normal, maka latensi distal motorik ulnar pada 8 cm harus berada dalam batas
normal (<3,9 ms). Kurang dari 4.5 ms.
2. Latensi distal sensorik median 8 cm yang tercatat (kelapa untuk pergelangan
tangan) atau 14 cm yang tercatat (indeks, panjang, atau jari manis untuk
pergelangan tangan).Jika salah satu dari tes ini digunakan sendirian, setidaknya
satu saraf sensorik lainnya di sisi ipsilateral harus normal.
3. Perbedaan latensi motorik median ulnar (abduktor polisis brevis [APB] vs
abduktor digiti minimi (ADM]) (8 cm).Kurang dari 1,6ms.

13
4. Perbedaan latensi sensorik median ulnar terhadap digiti (14 cm), jari telunjuk atau
jari panjang dibandingkan dengan ulnaris tercatat pada jari kecil, atau perbedaan
median _ ulnaris yang tercatat di jari manis.Kurang dari 0,5 ms.
5. Perbedaan latensi sensorik median ulnar terhadap telapak tangan (8 cm).Kurang
dari 0,3 ms.
6. Perbedaan latensi sensorik medial radial terhadap jempol (10 cm).Kurang dari 0,6
ms.
7. Indeks sensorik gabungan (CSI).5

CSI dihitung dengan menambahkan 3 perbedaan latensi atas: CSI 5 (latensi


median pada 14 cm – latensi ulnaris di 14 cm) 1 (latensi median pada 8 cm di telapak
– latensi ulnaris pada 8 cm di telapak) 1 (latensi median untuk ibu jari pada 10 cm –
latensi radial ibu jari di 10 cm).
Batas atas normal berasal dari literatur yang telah dipublikasi. Batas latensi
sensorik dipilih untuk spesifisitas tinggi (yaitu, beberapa positif palsu). Dalam semua
kasus, dan terutama dalam kasus-kasus dengan hasil NCV pada garis batas, kontrol
suhu kulit harus didokumentasikan. Secara umum, nilai-nilai di atas direferensikan
tahan selama suhu kulit di kisaran 300C ke 340C. Suhu yang lebih rendah berhubungan
dengan hasil NCV yang secara palsu melambat. 5

Needle electromyography

Needle electromyography (EMG) kadang-kadang memiliki peran dalam


evaluasi elektrodiagnostik dari CTS. Jika presentasi klinis adalah klasik untuk gejala
CTS dan tidak ada tanda-tanda lain dan / atau gejala, dan hasil studi konduksi saraf
sepenuhnya normal, tidak adanya needle EMG atau hanya studi EMG terbatas dapat
diterima. Namun, ada situasi di mana masuk akal untuk melakukan needle EMG selama
evaluasi CTS:
1. Hasil studi konduksi saraf abnormal yang mengindikasikan CTS dan pasien
menunjukkan kehilangan atau kelemahan klinis otot-otot tenar, atau studi konduksi
saraf motorik median secara signifikan normal.
2. Electromyografer mencurigai kemungkinan diagnosis lain atau proses neuropatik
lain, atau di samping, CTS (misalnya, diabetes).
3. Ada riwayat crush injury akut atau trauma besar lainnya pada ekstremitas atas
distal.
4. Ada gejala proksimal (misalnya, leher kaku, nyeri teradiasi) yang menyarankan
serviksradiculopathy mungkin dapat muncul.5

Pengujian sensori kuantitatif

Beberapa tes fungsi sensorik (getaran, suhu, tekanan) telah dilaporkan dalam
literatur ilmiah yang berguna dalam situasi penyelidikan untuk membedakan antara
pasien dengan dan tanpa neuropati. Namun, karena teknik ini tidak bisa melokalisasi
lesi saraf tepi, hal ini tidak berguna untuk mendiagnosa penjepitan neuropati tertentu.

Tes diagnostik lainnya

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa magnetic resonance neurography dan


ultrasonografi mungkin memiliki manfaat dalam diagnosis CTS. Namun, tes ini belum
terbukti lebih akurat dibandingkan EDS dalam penelitian kualitas tinggi.5

14
Terapi

Terapi konservatif
Sebuah elemen penting untuk setiap intervensi CTS konservatif adalah untuk
mendokumentasikan perbaikan fungsi dan kemampuan untuk kembali bekerja. Karena
temuan keterlibatan saraf median di NCV sangat memprediksi hasil yang baik terhadap
operasi CTS, setiap pekerja yang diduga memiliki keterlibatan saraf median atau
dengan dokumentasi peningkatan latensi saraf median yang tidak mendapatkan
perbaikan fungsional yang berarti dan berkelanjutan dalam 6 sampai 8 minggu dari
berbagai intervensi konservatif atau kombinasi intervensi harus dirujuk ke spesialis
atau ahli bedah. Untuk saat ini, meskipun sebagian besar penelitian telah menunjukkan
manfaat jangka pendek yang berarti dan signifikan, studi tindak lanjut jangka panjang
yang dirancang lebih baik diperlukan untuk memperjelas keberlanjutan pereda gejala.
Dekompresi bedah lebih efektif secara umum dari tindakan konservatif tetapi dengan
potensi komplikasi dan efek samping yang lebih besar. 3
Beberapa intervensi konservatif telah menunjukkan manfaat dalam mengurangi
gejala dan meningkatkan fungsi dalam jangka pendek:
1. Posisi netral bidai pergelangan tangan yang digunakan secara nokturnal dan
intermitten selama paparan kerja telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala,
meningkatkan kekuatan pegangan, dan dalam memperbaiki NCV. Penelitian
melaporkan bahwa 30% sampai 70% dari pasien merespon positif dalam
beberapa bulan setelah memulai intervensi ini. Tidak ada bukti jelas pada
efektivitas desain sebuah bidai dengan lainnya.Jenis splints yang digunakan
dalam praktek klinis untuk CTS :
• Pergelangan tangan dalam posisi netral dan jari bebas.
• Pergelangan tangan dalam posisi netral dengan jari terbidai.
• Bidai cock-up, yaitu pergelangan tangan dalam keadaan sedikit ekstensi
dan jari bebas.
• Bidai cock-up dengan jari terbidai.
2. Glukokortikoid : suntikan steroid lokal ke dalam terowongan karpal telah
dibuktikan memberikan bantuan jangka pendek yang baik terhadap CTS.
Sekitar setengah dari semua pasien yang menerima pengobatan ini memerlukan
operasi dalam waktu 1 tahun. Suntikan tidak boleh lebih dari 2 suntikan. Steroid
oral tidak dianjurkan. Meskipun dapat memiliki manfaat jangka pendek dari
steroid oral, risiko efek samping yang serius (misalnya, nekrosis avaskular)
mungkin akan melebihi manfaat. Sebuah larutan 40 mg (1ml) metilprednisolon
dan 0,5 mL 1% lidokain harus disiapkan. Sebelum memberikan injeksi, pasien
diberitahu akan ada perasaan tebal di telapak tangan seiring cairan disuntikkan,
tetapi mereka harus mengomunikasikan setiap mengalami parestesia pada
digiti. Tendon palmaris diidentifikasi dengan menginstruksikan pasien untuk
mencubit ibu jari dan jari kecil sementara pergelangan tangan sedikit
diregangkan. Sebuah jarum 25-gauge dimasukkan ke distal lipatan fleksi
pergelangan tangan secara ulnar dari palmaris longus dan kemiringan 45° secara
distal. Jarum dapat dimasukkan sedikit ke ulnar dari garis tengah sesuai dengan
jari manis jika tendon palmaris longus tidak teraba atau tidak dapat
diidentifikasi. Jarum dimajukan sampai menyentuh lantai kanal. Jarum segera
ditarik sepenuhnya dan diarahkan ke tempat lain jika parestesia saraf median
terasa dengan insersi. Jika ada gejala saraf median yang timbul, larutan yang
disiapkan sebelumnya disuntikkan.

15
Suntikan kortikosteroid dari tangan dan pergelangan tangan berhubungan
dengan tingkat komplikasi yang rendah. Beberapa laporan kasus telah
mendokumentasikan robekan tendon setelah penyuntikan, meskipun tidak ada
hubungan antara penyebab pemberian kortikosteroid dan robekan tendon yang
telah teridentifikasi.Kebanyakan menyarankan injeksi intratendinous dihindari
untuk mencegah gangguan yang dimediasi kortikosteroid dari kolagen dalam
tendon. Pasien diabetes harus diperingatkan bahwa kadar glukosa serum mereka
dapat meningkat untuk jangka waktu 2 sampai 3 hari setelah injeksi; mendorong
pasien untuk rajin memantau kadar glukosa darah mereka selama periode itu
dan memodifikasi rejimen kontrol glikemik mereka atau mencari bantuan medis
yang tepat jika kadarnya meningkat. Meskipun beberapa preparat kortikosteroid
tersedia, preparat yang kurang larut diyakini lebih mudah mengiritasi jaringan
lunak dan telah mengakibatkan depigmentasi serta atrofi jaringan subkutan,
terutama pada pasien berkulit gelap dan tipis.

Gambar 2. Injeksi pada Carpal Tunnel.1

3. Latihan dan intervensi mobilisasi, seperti rejimen latihan peregangan


lengan/pergelangan di rumah, mungkin bermanfaat, tapi dasar bukti untuk jenis
pengobatan ini adalah lemah. Intervensi yang berpusat pada pekerjaan untuk
mengurangi paparan diyakini akan bernilai, terutama didasarkan pada studi
epidemiologi dan pendapat konsensus. Modifikasi pekerjaan: mengurangi
intensitas tugas-tugas manual jika memungkinkan dapat mencegah
perkembangan dan mempromosikan pemulihan dari CTS. Dalam kebanyakan
kasus, pasien dapat terus bekerja selama pengobatan konservatif. Jika
modifikasi pekerjaan ini tidak mungkin atau jika pasien tidak dapat terus
bekerja meskipun diberikan pengobatan konservatif, maka pembedahan CTR
harus dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan.

Perlakuan berikut ini tidak dianjurkan untuk CTS karena tidak ada bukti bertentangan
yang memadai mengenai keefektifan :
1. Vitamin B6 (pyridoxine)
2. Diuretik oral
3. Magnet
4. Laser
5. Suntikan botulinum toxin

16
6. Iontophoresis

Pembedahan

Untuk pasien dengan CTS yang dikonfirmasi oleh studi elektrodiagnostik


(EDS), operasi carpal tunnel lebih efektif dalam mengurangi gejala dari pengobatan
konservatif seperti pembidaian. Dekompresi saraf median di pergelangan tangan
dengan pelepasan ligamentum karpal transversal adalah prosedur pembedahan pilihan
dan dapat secara efektif dilakukan baik dengan pendekatan terbuka atau endoskopi.
Keduanya terliputi oleh departemen.Tidak ada bukti bahwa kualitas tenosinovektomi,
neurolysis internal dan beberapa prosedur tambahan lainnya meningkatkan hasil klinis
CTS, dan prosedur ini meningkatkan risiko trauma neurologis tambahan ke syaraf
medianus.Semua kriteria berikut yang harus dipenuhi untuk operasi untuk diotorisasi:
1. Presentasi klinis konsisten dengan CTS.
2. Kriteria EDS untuk CTS telah dipenuhi.
3. Pasien gagal untuk merespon pengobatan konservatif yang termasuk
bidaipergelangan dan / atau injeksi.

Jika gejala kembali setelah operasi.


Kejadian CTS berulang adalah jarang.Hasil operasi revisi tidak bisa ditebak.
Dalam rangka untuk menentukan apakah perlu atau tidak seorang pasien yang telah
menjalani operasi CTS sebelumnya sesuai dengan operasi revisi, setidaknya satu dari
kriteria berikut harus dipenuhi:
1. Gejala dan tanda-tanda harus setidaknya separah gejala pra operasi.
2. Hasil EDS harus setidaknya separah seperti yang pra operasi EDS.
3. Ada tanda-tanda elektrodiagnostik dari saraf median yang memburuk.
Secara umum, akan sangat membantu untuk menunggu setidaknya 6 bulan dari waktu
operasi awal sebelum mempertimbangkan operasi revisi, kecuali ada tanda-tanda
komplikasi bedah yang signifikan. Masa penantian ini memungkinkan waktu yang
cukup untuk penyembuhan, maturasi bekas luka, rehabilitasi, dan perbaikan klinis.

Prognosis

Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik.Bila
keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi harus
dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya
dilakukan pada penderita yang sudah lama menderita CTS penyembuhan post
operatifnya bertahap. Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh
perbaikan maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini:
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap nervus
medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema,
perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik. Sekalipun
prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik, tetapi
resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

TRIGGER FINGER
17
Definisi

Trigger finger atau digital stenosing tenosynovitis, merupakan proses inflamasi


selubung tendon digital flexor yang dapat mengakibatkan pembentukan nodul pada
tendon flexor. Tendon flexor digitorum superficialis dan flexor digitorum profundus
bergerak dalam selubung fibro-osseus, yang dipertahankan oleh fibrous pulley
sehingga gerakannya efisien.6 Perubahan pada tendon flexor atau selubungnya
menyebabkan nyeri dan kesulitan atau ketidakmampuan untuk ekstensi jari akibat
ketidakmampuan tendon flexor untuk meluncur melalui A1 pulley (annular pulley
pertama). Kelainan ini menghalangi tendon untuk ekstensi dan kembali ke posisi awal,
sering mengakibatkan locked finger. Beberapa faktor seperti proliferasi synovial dan
fibrosis selubung flexor berhubungan dengan trigger finger tetapi belum ada konsensus
yang menjelaskan etiologi .7

Epidemiologi

Trigger finger merupakan salah satu kelainan patologis yang paling sering
terjadi pada ekstremitas atas (28 kasus per 100.000 per tahun). Lebih sering terjadi pada
wanita (wanita : laki-laki = 4:1). Penyakit ini dapat ditemukan ditemukan pada semua
usia tetapi umumnya ditemukan pada usia >45 tahun.
Frekuensi kejadian trigger finger secara berurutan sering mengenai ibu jari,
annular, jari tengah, jari kelingking dan jari telunjuk.8 Pada dewasa jari tengah yang
paling sering terkena sedangkan pada anak-anak ibu jari yang paling sering terkena.

Etiologi

Berdasarkan penyebabnya trigger finger dapat dibedakan menjadi


1. Primer (Idiopatik)
2. Sekunder
- Diabetes
- Rheumatoid arthritis
- Hipotiroidisme
- Histiositosis
- Amiloidosis
- Gout

18
Gambar 3. Anatomi tangan6

Gambar 4. Frekuensi jari yang sering terkena pada trigger finger dewasa.6

19
Klasifikasi

Quinnell mengklasifikasikan trigger finger menjadi 5 tipe berdasarkan gerakan


flexi dan ekstensi.

Tabel 3. Klasifikasi trigger finger menurut Quinnell.7

Tipe Gejala Klinis


0 Pergerakan normal
I Pergerakan tidak seimbang/tidak mulus
II Dikoreksi secara aktif
III Dikoreksi secara pasif
IV Deformitas

Tabel 4. Gradasi trigger finger menurut Quinnell.7

Stage Gejala
1 Normal
2 Nodul yang nyeri saat dipalpasi
3 Mencetuskan
4 Sendi proximal interphalang (PIP) yang terkunci/flexi
terbuka dengan extensi aktif
5 Sendi proximal interphalang (PIP) yang terrkunci/flexi
terbuka dengan extensi pasif
6 Sendi PIP tetap terkunci/deformitas

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang bisa didapatkan pada trigger finger baik dari anamnesis
maupun pemeriksaan fisik antara lain :
• Tenosinovitis dari tendon flexor selalu mendahului gejala mekanik dari trigger
finger, mengakibatkan nyeri di atas tendon saat palpasi, peregangan pasif, atau
melawan flexi secara isometris.
• Nodul lunak terpalpasi pada bagian palmar dari sendi metacarpopalangeal dari
jari yang terkena.
• Nyeri dicetuskan oleh flexi dari jari yang terkena.
• Terkunci atau hilangnya gerak ekstensi aktif dari jari.
• Jari dapat tetap pada posisi flexi.
• Biasanya mengenai satu jari. Jika lebih dari satu jari terkena, kemungkinan
terdapat penyebab sistemik seperti diabetes, rheumatoid arthritis.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium :
• Darah lengkap
• Elektrolit, ureum, kreatinin
• Gula darah, Hb A1c

20
• Fungsi thyroid : T3, T4, TSH
• Rheumatoid factor/ anti CCP antibody
• Asam urat
Pemeriksaan Radiologi :
• Pemeriksaan foto polos kurang membantu jika penyebab sekunder tidak
mengenai organ lain ( misalnya rheumatoid lung).
• Pemeriksaan USG musculoskeletal dapat berguna untuk mengetahui
karakteristik lesi dan sebagai guiding terapi.

Gambar 5. USG untuk guiding terapi injeksi dan penebalan pulley.8

Differensial diagnosis

• Dupuytren’s contracture
• De quervain tenosynovitis
• Acute digital tenosynovitis
• Proliferative tenosynovitis
• Ulnar collateral ligament injury (gamekeeper’s thumb)
• Carpal tunnel syndrome
• Flexor tendon rupture
• MCP osteoarthritis

Terapi

Tujuan terapi pada trigger finger adalah untuk mengurangi edema dan inflamasi
pada selubung tendon flexor dan mempermudah gerakan tendon dibawah A1 pulley
pada sendi metacarpophalangeal.

Terapi non farmakologi


- Kompres dingin, splinting selama 4-6 minggu
Pada salah satu penelitian disebutkan bahwa 54% gejala akan membaik pada
pasien yang dilakukan splinting selama 6 minggu. Akan tetapi, agar splint efektif
maka harus digunakan dalam jangka waktu lama yang membutuhkan kepatuhan
pasien.7 Splint dipasang siang dan malam hari. Splinting terutama dilakukan pada

21
pasien dengan gejala < 6 bulan dan derajat trigger finger yang ringan belum ada
kontraktur jari. Fisioterapi dengan peregangan dan sinar. 6

Terapi akut :
- Pada idiopatik trigger finger, injeksi steroid dengan anestesi lokal dapat digunakan
jika pasien tidak berespon dengan terapi konservatif. Injeksi yang digunakan yaitu
1 ml lidocain 0,5% dicampur dengan 1 ml triamcinolone 40mg/ml. Jika gejala tidak
membaik dalam 6 minggu, injeksi ulangan dapat dilakukan.
- Kontrol nyeri : NSAID oral, NSAID topikal.

Gambar 6. Injeksi di telapak tangan pada trigger finger.9

Setelah injeksi steroid, gejala biasanya membaik dalam 3-5 hari, jari yang
mengunci akan kembali normal pada 60% kasus dalam 2-3 minggu. Jika gejala
berulang, injeksi ulang steroid memperbaiki gejala pada ≥ 80% pasien. Faktor yang
mempengaruhi kegagalan terapi injeksi steroid antara lain usia muda, insulin dependent
diabetes mellitus, multipel jari, dan riwayat tendinopati lainnya pada ekstremitas atas. 9
Jika dipertimbangkan untuk injeksi steroid maka perlu konsul atau rujuk ke dokter
spesialis reumatologi atau bedah ortopedi. Komplikasi injeksi steroid jarang terjadi.
Komplikasi yang bisa terjadi antara lain fat necrosis, depigmentasi kulit, dan rupture
spontan tendon flexor.6

Terapi kronis :
- Operasi diindikasikan pada pasien dengan gejala yang refrakter (locked digits).
Meskipun sudah diberi terapi non farmakologi dan terapi akut.
- Operasi juga diindikasikan pada pasien dengan gejala berulang meskipun telah
dilakukan injeksi steroid 2 kali.

Operasi merupakan gold standard terapi dan memiliki angka kesuksesan yang
tinggi dengan morbiditas yang minimal. Kekambuhan dan gejala yang persisten dapat
terjadi, sering akibat kesalahan teknis dari release A1 pulley yang tidak adekuat.
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah nyeri, scar, infeksi, dan kerusakan nervus.
Operasi bisa dilakukan dengan 2 macam cara yaitu open dan percutaneus. Percutaneus
release A1 pulley dapat dilakukan pada pasien dengn trigger finger klasifikasi Quinnell
tipe II sampai IV.7

Teknik operasi percutaneus

22
1. Menentukan lokasi anatomi
Studi anatomi mengindikasikan bahwa jarak dari lipatan telapak tangan-jari ke
lipatan proximal interphalang sebanding dengan jarak antara lipatan telapak
tangan-jari ke tepi proximal A1 pulley.A2 pulley dapat dilindungi dengan
merelease A1 pulley 5 mm proximal dari lipatan telapak tangan-jari.
A B

Gambar 7. Landmark A1 pulley (A) Jari tengah, (B) jari telunjuk, jari kelingking. 7

2. Persiapan pasien
Peralatan yang digunakan antara lain duk steril, jarum ukuran 19 gauge, marking
pen, larutan antiseptic, 2 ml anestesi. Setelah pasien diberikan inform consent,
pasien diposisikan dengan tangan yang sakit dalam posisi supinasi. Telapak tangan
dan jari yang terken diolesi dengangan larutan antiseptik.Jari yang terken
diletakkan diatas duk steril.
3. Prosedur operasi
A1 pulley dipalpasi diatas caput metacarpal saat fleksi–ekstensi aktif. Dengan
marking pen, gambar garis longitudinal axis di jari dan injeksikan 2 ml anestesi
local secara subkutan di sekitar A1 pulley.

Gambar 8. Anestesi kulit dan jaringan subkutan.7

23
Tahap operasi
1. Jari dihiperekstensikan untuk memindahkan struktur neurovascular ke dorsal.

Gambar 9. Ekstensi sendi metacarpophalang.7

2. Jarum diposisikan membentuk sudut untuk mengarahkan insisi, paralel dengan


longitudinal axis jari.

Gambar 10. Posisi jarum saak akan insisi.7

3. Jarum ukuran 19 gauge ditusuk tegak lurus terhadap kulit pada lokasi A1 pulley.

Gambar 11. Jarum ditusukkan hingga mencapai tendon flexor.7

4. Lokasi jarum di tendon flexor dikonfirmasi dengan memfleksikan jari dan secara
simultan akan bergeser.

24
Gambar 12. Jarum berrgeser ketika jari difleksikan.7

5. Jarum kemudian ditarik perlahan hingga lepas dari tendon flexor.


6. Pergerakan longitudinal jarum dilakukan untuk merelease A1 pulley. Tidak
aadanya grating sentsation menunjukkan pemotongan yang komplit. Jarum
dikeluarkan dan pasien diminta untuk memfleksikan dan mengekstensikan jari
beberapa kali. Tidak perlu dibebat atau diimobilisasi.

Gambar 13. Menginsisi A1 pulley.7

Perawatan post operasi


Menggerakan jari secara bebas diperbolehkan setelah prosedur operasi dan
pasien diperbolehkan untuk menggunakan tangan untuk aktivitas asal tidak terlalu
berat.

Rehabilitasi dan Recovery


Biasanya tidak perlu rehabilitasi.Jika nyeri menetap lebih dari 7 hari, indikasi
terapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wysocki, Robert W. Biswas, Debdut. Bayne, Christopher O. Injection Therapy in the


Management of Musculoskeletal Injuries: Hand and Wrist. Section of Hand and Elbow
Surgery. Department of Orthopaedic Surgery, Rush University Medical Center,
Chicago, IL. 2012. Page 132 -141.
2. Duckworth, Andrew D. Jenkins, Paul J. McEachan, Jane E. Diagnosing Carpal Tunnel
Syndrome. Department of Orthopaedic Surgery, Queen Margaret Hospital, Fife; and
the Department of Orthopaedic Surgery, Glasgow Royal Infirmary, Glasgow, United
Kingdom. 2014. Page 1403 -1407.
3. Song, Jena. Pilot study: efficacy of acupuncture with standard treatment to Treat carpal
tunnel syndrome. A master’s thesis submitted in partial fulfillment of the Requirements
for the master of public health degree in the Graduate school of biomedical sciences,
icahn school of medicine, At mount Sinai. 2015. Page 1 – 36.
4. Franklin, Gary M. Friedman, Andrew. Work-Related Carpal Tunnel Syndrome.
Departments of Environmental and Occupational Health Sciences, Neurology, and
Health Services, University of Washington. 2015. Page 1 -15.
5. Watson, James C. The Electrodiagnostic Approach to Carpal Tunnel Syndrome.
Department of Neurology, Mayo Clinic, 200 First Street SW, Rochester, MN 55905,
USA. 2012. Page 457- 478.
6. Colbourn, Julie. Heath, Noel. Manary, Sherry. Pacifico, Denette. Effectiveness of
Slinting for Treatment of Trigger Finger.Journal of Hand Therapy. 2008. 21:336-43.

25
7. Sato, Edson Sasahara; Santos, Joao Baptista Gomes dos; Belloti, Joao Carlos; Albertoni,
Walter Manna; Faloppa, Flavio. Percutaneous Release Trigger Fingers.. . Department
of Orthopedics and Traumatologi UNIFESP, University of Sao Paulo. Brazil. Hand
Clin. 2014. 30:39-45.
8. Orlandi, Davide. Corazza, Angelo. Silvestri, Enzo. Serafini, Giovanni. Savarino,
Edoardo Vincenzo. Garlaschi, Giacomo., Mauri, Giovanni., Cimmino, Marco
Amedeo., Sconfienza, Luca Maria. Ultrasound-guided procedurs around the wrist and
hand: How to do. European Journal of RAdiologi. 2014. 83: 1231-1238.
9. Rozental, Tamara D., Zurakowski, David, Blazar, Philip E. Trigger Finger: Prognostic
Indicators of Recurrence Following Corticosteroid Injection. Departments of
Orthopaedic Surgery, Beth Israel Deaconess Medical Center. Boston, Massachusetts.
2008. 90:1665-72.

GUYON’S CANAL SYNDROME

Latar Belakang

Guyon’s canal syndrome adalah kompresi neuropati dari saraf ulnar yang pada
pergelangan tangan atau tangan yang bisa meyebabkan gangguan motorik, sensorik

26
atau kombinasi dari sensorik dan motorik tergantung dari lokasi salurannya. Faktor
etiologi yang sering terjadi adalah kompresi saraf ulnaris di pergelangan tangan dengan
ganglion. Bagaimanpun, kondisi lainnya seperti anomali lengkungan
muskulotendineus, penyakit arteri ulnar, lipoma, fraktur, trauma langsung dari sisi
ulnar pergelangan tangan, kegiatan yang hiperekstensi pergerangan tangan yang
berlebihan dan trauma kerja yang mungkin adanya penekanan pada saraf ulnar
dipergelangan tangan.1,2
Guyon’s canal syndrome merupakan penyakit tersering yang kedua yang
disebabkan kompresi pada daerah pergelangan tangan atau tangan. Mekanisme
kerusakan pada Guyon’s canal syndrome terletak pada pergelangan tangan berdekatan
dengan carpal tunnel, dibatasi dengan ligament carpal transversal. 1,3
Guyon’s canal syndrome pertama kali dijelaskan oleh Guyon pada tahun 1861,
sebua fibro-osseus terletak pada palmar dari sisi ulnar pergelangan tangan. Didalam
canal,arteri unlaris dan saraf ulnaris yang berdampingan dari proximal kedistal,
keduanya dilindungi oleh canal fibro-osseus.3
Kompresi saraf ulnaris dapat terjadi dimana saja yang berhubungan langsung
ke kanal Guyon, yang ditandai adanya gejala sensoris dan motorik. Ada beberpa
kemungkinan penyebabnya yang mencakup ganglia, fraktur tulang carpal, penyakit
arteri ulnar, otot anomalus, rheumatoid arthritis dan lipoma. 2
Definisi
Guyon’s canal syndrome merupakan suatu kelainan karena kompresi saraf dari
saraf ulna pada pergelangan tangan atau tangan sehingga menyebabkan gangguan
motorik, sensorik atau kombinasi dari motorik dan sensorik tergantung dari salurannya.
Saraf ulnaris merupakan perpanjangan dari pleksus brakilais medialis. Ini merupakan
saraf gabungan yang memasok persarafan ke otot-otot lengan bawah dan tangan serta
memerikan sensasi selama setengah medial keempat dan digit kelima dan bagian dari
ulnar aspek posterior tangan.3
Tekanan atau cedera saraf pada saraf ulnaris dapat menyebabkan denervasi dan
kelumpuhan otot-otot yang disediakan oleh saraf. Pasien yang sering terkana sering
mengalami mati rasa dan kesemutan di sepanjang jari kelingking dan setengah ulnar
dari jari manis. Salah satu konsekuensi paling berat adalah hilangnya fungsi otot
intrinsik di tangan. Ketika saraf ulnaris dibagi di pergelangan tangan, hanya opponens
polisis, fleksor polisis brevis superfisial dan lateral 2 lumbrical berfungsi. 3
Penekanan saraf ini dapat menimbulkan suatu masalah, jika penghimpitan
berlangsung lama, aliran darah dan nutrisi ke sel saraf terganggu akibatnya sel saraf
akan mati dan menimbulkan kerusakan permanen. Kerusakan tersebut dapat berupa
hilangnya sensasi atau fungsi.3
Nervus ulnaris merupakan cabang utama dari fasiculus medialis berada
disebelah medial a.axilaris, selanjutnya berada di sebelah medial a.brachialis.pada
pertengahan brachium, saraf ini berjalan kearah dorsal menembus septum
intramusculare medial, berjalan terus ke caudala dan berada pada pada facies dorsalis
epicondylus medialis humeri, yaitu di dalam sulcus nervi ulnaris humeri. Di daerah
brachium n.ulnaris tidak memberi percabangan.3
Nervus ulnaris adalah bagian akhir dari plexus brachialis medialis, setelah
cabang medial dari nervus medianus terpisah dari nervus ulnaris dengan saraf dari
cervical 8-thoracal 1. Awalnya nervus ulnaris terletak dimedial arteri axilaris dan

27
kemudian disebelah arteri brcahialis sampai kebagian tengah lengan, menembus
septum intramuscular dan mengikuti ujung medial dari otot tricep sampai berada
diantara olecranon dan epicondilus medialis humeri.Selanjutnya, menyilang pada siku
membentuk percabangan pada flexor carpi ulnaris dan setengah medial flexor
digitorum profundus. Nervus ini terdapat diantara 2 flexor carpi ulnaris yang berjalan
sampai ketangan diantara 2 otot dan flexor digitorum profundus.4,5
Disebelah distal pertengahan antebrachium, n.ulnaris memberi 2 cabang
cutaneous, sebagai berikut :
1. Ramus dorsalis yang berjalan kedorsal, berada disebelah profunda tendo
m.flexor carpi ulnaris, mempersarafi kulit pada sisi ulnaris manus dan facies
dorsalis 1 jari sejauh plannx intermedia.
2. Ramus palmaris, yang mempersarafi kulit sisi ulnaris pergelangan tangan
dan manus.
Pada ujung distal antebrachium n.ulnaris berjalan berdampingan dengan arteri
ulnaris. Pada proksimal pergelangan tangan memberi percabangan dorsal yang
memberi persarafan sensoris. Nervus ulnaris bersama-sama a.ulnaris masuk kedaerah
manus melalui Guyon canal membentuk persarafan sensoris atau superfisial.
Nervus ulnaris dan cabang-cabangnya menginervasi otot-otot pada lengan
bawah dan tangan yaitu :
1. Pada daerah lengan bawah, melalui ramus muskular n.ulnaris, mempersarafi
:
a. Flexor carpi ulnaris
b. Flexor digitorum profundus.
2. Pada daerah tangan (manus), melalui cabang motorik n.ulnaris
mempersarafi :
Otot-otot hypothenar :
• Opponens digiti minimi
• Abductor digiti minimi
• Flexor dgiti minimi brevis
• Adductor pollicis
• Muskulus lumbricalis 3 dan 4
• Interosseus dorsal
3. Pada daerah tangan (manus), melalui cabang sensoris n.ulnaris
mempersarafi palmaris brevis.

28
Gambar 1. Saraf ulnaris2

Saraf ulnaris
Secara umum neuropati adalah terjepitnya saraf ulnaris disiku seperti CTS.
Terjepitnya saraf ulnaris mungkin melemahkan dan mematahakan semangat karena
nyeri dan gangguan pada fungsi tangan. Laporan pertama dari pengobatan secara
pembedahan pada saraf ulnaris yang terkompresi pada siku dikaitkan oleh Henry Earle
pada tahun 1816, yang mana saraf ulnaris dipotong proksimal kesiku untuk pengobatan
nyeri berat pada disribusi saraf ulnaris. Pada abad ke 19 dan 20 beberapa laporan yang
yang diterbitkan menjelasakn kelumpuhan saraf ulnaris sesudah trauma siku.Pada
1898, Curtis melaporkan subkutan anterior pertama transposisi saraf ulnaris pada
seorang pasien yang mengalami ulnaris neuritis setelah fraktur condylar bilateral.Pada
tahun 1922, Buzzard menjelaskan neuritis kronis pada siku dan menghubungkannya
dengan dengan penggunaan lengan yang berlebihan dan tangan dalam posisi tertekuk.
Pada tahun 1956 Feindel dan Stratford mengusulkan penunjukan terowongan kubiti
untuk menggambarkan situs kompresi saraf ulnaris di siku dan dibandingkan dengan
saraf median yang terkompresi di pergelangan tangan. 5

29
Gambar 2. Saraf medial antebrachial cutaneous2
Etiologi
Etiologi dari Guyon’s canal syndrome ada beberapa macam penyebab yaitu :
• Ganglion krista (80% dari penyebab non traumatic)
• Lipoma
• Trauma berulang
• Thrombosis arteri ulnaris atau aneurisma
• Fraktur
• Dislokasi
• Arthritis inflamasi
• Palmaris brevis hypertrophy.5
Patofisiologi
Pada Guyon’s canal syndrome secara patofiologi hampir bersamaan dengan
Cubital tunnel syndrome. Berdasarkan posisi antominya, maka dapat dengan mudah
nervus ulnaris untuk terperangkap dan mengalami trauma karena sebab yang
bervariasi.3
Cubital tunnel syndrome berkembang terjadi sebagai akibat trauma akut
maupun kronik. Meskipun tidak biasa, Cubital tunnel syndrome akut mungkin terjadi
akibat benturan langsung pada siku bagian posterior sehingga menyebabkan
berkembangnya jaringan parut didalam tunner (terowongan) yang selanjutnya
menimbulkan kompresi. Bisa juga benturan tersebut merusak tulang atau ligament di
daerah yang menekan saraf, atau menyebabkan saraf sangat peka terhadap penekanan
yang lebih lanjut.3,5
Pada trauma kompresi kronik, cubital tunnel syndrome biasanya berkembang
dari kekuatan m.fleksor carpi ulnaris atau periode panjang dimana siku dalam posisi
fleski.Selama siku dalam fleksi, kedua ujung fleksor carpi ulnaris tertarik secara
terpisah seperti halnya processus olecranon bergerak menjauh dari humerus. Tunnel
menjadi lebih sempit dan akibatnya terjadi peningkatan tekanan pada saraf ulnaris.5

30
Mekanisme kerusakan pada Guyon’s canal syndrome sedikit berbeda. Guyon
canal terletak pada pergelangan tangan berdekatan dengan carpal tunnel. Dibatasi oleh
ligament carvap tranversal. Nervus ulnar dan arterinya berjalan melalui Guyon canal.
Karena tidak ada tendon yang berjalan melalui guyon canal yang dapat menekan saraf,
maka kompressi patologis pada Guyon’s canal syndrome berasal dari faktor ekstrinsik,
berupa kompressi neuropati akut ataupun kronik dimana pergelangan tangan berada
dalam posisi hiperekstensi.3
Seddon pada tahun 1972 dan Sunderland pada tahun 1978 telah
mengklasifikasikan patofisiologi terjadinya penjepitan saraf ulnaris berdasarkan trauma
saraf, dimana terdapat 3 jenis trauma :
1. Neuropraxia, merupakan episode transien dari paralis motoric komplit
dengan sedikit keterlibatan sensoris atau otonomik. Hal ini biasanya
sekunder karena tekanan mekanik transien. Bila tekanan ini dihilangkan
maka dapat dikembalikan fungsi normalnya.
2. Axonotmesis adalah trauma yang lebih parah yang menyebabkan hilangnya
kontinuitas akson tapi tetap ada kontinuitas selaput Schwann. Terdapat
paralisis komplit pada motoris, sensoris, otonomik, dan denervasi atrofi otot
bisa terjadi progresif. Penyembuhan tergantung oleh bebepara faktor,
termasuk menghilangkan kompresi secara bertahap dan regenarasi akson.
Waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan fungsi tergantung pada jarak
antara denervasi otot dan regenarasi akson proksimal. Dapat terjadi
penyembuhan komplit
3. Neurotmesis adalah trauma yang paling berat, hal ini menyebabkan
kehilangan seluruh kontinuitas akson dan lapisan schwann. Jarang terjadi
penyembuhan komplit, dan jumlah kehilangan hanya dapat ditentukan
selama beberapa waktu. Regenarasi akson tanpa lempeng saraf yang intak
mempersarafi kembali serat otot yang bukan bagian jaringan awalnya. 5
Tanda dan Gejala
Temuan fisik termasuk rasa tebal sekitar saraf ulnaris pada pergelangan tangan.
Tanda Tinel positif saraf ulnar melintang carpal ligamen. Jika cabang sensoris terkena,
berkurangnya sensasi terjadi pada sisi ulnar pada tangan dan jari kelingking dan ulnar
pada setengah jari manis. Tergantung pada lokasi saraf yang terkena, pasien dapat
mengalami kelemahan pada otot instrinsik pada tangan yang ditandai dengan
ketidakmampuan membuka jari-jari, kelemahan pada otot hipotenar, maupun
keduanya.1,2,6
Pemeriksaan Penunjang
Elektromiografi membantu menyingkirkan adanya radiculopaty cervical,
polyneuropaty diabetes, dan tumor Pancoast dari sindrom ulnar tunnel. Foto polos
radiografi diindikasikan pada semua pasien yang mengalami Guyon’s canal syndrome
untuk menyingkirkan adanya proses patologi dari tulang. Berdasarkan keadaan klinis
pasien, pemeriksaan tambahan termasuk tes darah lengkap, tingkat keasaman urin, laju
sedimen eritrosit, dan antinuclear antibody test mungkin diindikasikan. Magnetic
resonance imaging (MRI) pada pergelangan tangan diindikasikan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan apakah ketidakstabilan sendi. 1,2,6
Diagnosis Banding

31
Guyon cannal syndrome sering disalah diagnosa sebagai artritis pada sendi
carpometacarpal, cervical radiculopathy, tumor Pancoast’s dan neuropaty
diabetes.Pasien dengan arthritis pada sendi carpometacarpal biasanya mempunyai bukti
radiografi dan temuan klinis yang mengarah pada arthritis. Kebanyakan pasien dengan
cervical radiculopathy mempunyai perubahan refleks, motorik, dan sensoris terkait
dengan nyeri leher, dimana pasien dengan Guyon’s canal syndrome tidak mengalami
perubahan refleks, motorik maupun sensorik yang terbatas pada saraf ulnar distal.3,5
Diabetes polineuropathy secara umum bermanifestasi sebagai defisit sensoris
simetris termasuk pada seluruh tangan, dibanding dengan keterbatasan distribusi pada
saraf ulnar.Cervical radiculopathy dan penjepitan saraf ulnar dapat disebut sebagai
sindrom “double crush”. Dikarenakan guyon cannal syndrome sering terdapat pada
pasien dengan diabetes, diabetes polineuropathy biasanya terjadi pada pasien diabetes
dengan guyon cannal syndrome. Tumor Pancoast’s menyerang medial cord pada plexus
brachialis yang juga dapat menyebabkan terjepitnya saraf ulnar dan harus disingkirkan
dengan foto thorax lordotic apical.3
Terapi
Terapi awal pada nyeri dan ketidakmampuan fungsional dikaitkan dengan
guyon cannal syndrome harus termasuk dalam kombinasi obat non steroid anti
inflamasi (NSAIDs) atau cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor dan terapi fisik.
Aplikasi lokal panas dan dingin dapat berguna.Gerakan berulang yang memicu
sindrome harus dihindari. Pada pasien yang tidak respon pada modalitas terapi ini,
penyuntikan pada saraf di terowongan ulnar dengan anestesi lokal dan steroid dapan
menjadi langkah yang masuk akal. Jika gejala guyon cannal syndrome muncul kembali,
tindakan pembedahan dan dekompresi pada saraf ulnar dapat diindikasikan. 1,6
Komplikasi
Komplikasi utama berkaitan dengan guyon cannal syndrome adalah pada
diagnosis dan terapi yang terlambat. Keterlambatan ini dapat menyebabkan defisit saraf
secara permanen yang merupakan hasil dari lamanya jepitan saraf ulnaris yang tidak
ditangani. Kegagalan klinisi untuk mengenali inflamasi akut atau infeksi arthritis pada
pergelangan tangan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada sendi dan nyeri
kronis dan ketidakmampuan fungsional.1,6

DAFTAR PUSTAKA

1. Kwak KW, Kim MS, Chang CH, et al. Ulnar NerveCompression in Guyon's
Canal by Ganglion Cyst. J Korean Neurosurg Soc 2011;49(2):139-41.
2. Pierre-Jerome C1, Moncayo V, Terk MR. The Guyon's canal in perspective:
3-T MRI assessment of the normal anatomy, the anatomical variations and
the Guyon's canal syndrome. Surg Radiol Anat. 2011 Dec;33(10):897-903.
3. Steven D. Waldman MD. Atlas Of Commen Pain Syndromes.2008. Chapter
46,133-135.
4. Turkiye Klinikleri J Med. Guyon’s canal syndrome Secondary to Ulnar
Artery Stenosis Caused by a Constricting Fibrous Band; a Rare Cause of
Ulnar Nerve Compression. 2011;31(4):1030-3.

32
5. H. Richard Winn MD. Youmans neurogical surgery chapter 236.2011,
p2427-2439.
6. Aguiar PH, Bor-Seng-Shu E, Gomes-Pinto F, Almeida- Leme RJ, Freitas
AB, Martins RS, Nakagawa ES, Tedesco-Marchese AJ: Surgical
management of Guyon’s canal syndrome an ulnar nerve entrapment at the
wrist: Report of two cases. Arq Neuropsiquiatr. 2001;59(1):106-11.

DE QUERVAIN’S SYNDROME

33
De Quervain’s syndrome dikenal dengan beberapa macam cara penulisan. Pada
beberapa referensi seperti pada kamus Dorland tertulis de Quervain’s disease, pada
kamus Stedman tertulis de Quervain disease, pada kamus M-W medical
dictionary tertulis de Quervain’s disease dan pada kamus Wikipedia tertulis de
Quervain’s syndrome. Sebagian besar referensi menuliskan penyakit ini dengan de
Quervain’s disease. Penyakit ini disebut juga dengan de Quervain’s
tenosynovitis atau de Quervain’s syndrome. Ada pula yang menyebut penyakit ini
dengan nama washerwoman’s sprain karena lebih banyak menyerang wanita daripada
pria.1,2,3

De Quervain’s syndrome dinamakan sesuai dengan nama orang yang pertama


kali mendeskripsikan penyakit ini yaitu Fritz de Quervain (1868-1940), seorang ahli
bedah Swiss yang lahir pada tanggal 4 Mei 1868 dan meninggal pada tahun 1940 akibat
penyakit pankreatitis akut yang dideritanya. Penyakit ini dideskripsikan untuk yang
pertama kalinya oleh Fritz de Quervain pada tahun 1895. Awalnya, Fritz de Quervain
mendeskripsikan penyakit ini dengan apa yang kita kenal sebagai tenovaginitis yaitu
proliferasi jaringan fibrosa retinakulum otot-otot ekstensor dan tendon sheath dari otot
ekstensor polisis brevis dan otot abduktor polisis longus. Beberapa tahun kemudian,
terjadi stenosis tenosynovitis dari kedua tendon tersebut (kompartemen dorsal pertama)
hingga kemudian penyakit ini dikenal dengan nama de Quervain’s tenosynovitis. Fritz
de Quervain juga banyak menulis buku-buku yang memperkenalkan prosedur teknik
tiroidektomi sehingga dikenal pula penyakit pada tiroid dengan nama yang sama
yaitu de Quervain’s Thyroiditis.2,3

Definisi

De Quervain’s syndrome merupakan penyakit dengan nyeri pada daerah


prosesus stiloideus akibat inflamasi kronik pembungkus tendon otot abduktor polisis
longus dan ekstensor polisis brevis setinggi radius distal dan jepitan pada kedua tendon
tersebut. 4,5

De Quervain’s syndrome atau tenosinovitis stenosans ini merupakan


tendovaginitis kronik yang disertai penyempitan sarung tendon. Sering juga ditemukan
penebalan tendon. 5

Lokasi de Quervain’s syndrome ini adalah pada kompartemen dorsal pertama


pada pergelangan tangan. Kompartemen dorsal pertama pada pergelangan tangan
termasuk di dalamnya adalah tendon otot abduktor polisis longus (APL) dan tendon
otot ekstensor polisis brevis (EPB). Pasien dengan kondisi yang seperti ini biasanya
datang dengan nyeri pada aspek dorsolateral dari pergelangan tangannya dengan nyeri
yang berasal dari arah ibu jari dan / atau lengan bawah bagian lateral. Kondisi seperti
ini mempunyai respon yang baik terhadap penanganan non bedah. 3

34
Gambar 1. Kompartemen daerah tepi lateral dari snuffbox.1

Gambar 2. Tampak daerah stiloid radius menonjol.1

Epidemiologi

Angka kejadian di USA untuk penyakit ini relatif, terutama di antara orang-
orang yang menunjukkan aktivitas yang menggunakan tangan berulang-ulang, seperti
pekerja pemasangan bagian-bagian mesin tertentu dan sekretaris.3
Mortalitas tidak berhubungan dengan kondisi penyakit ini.Beberapa morbiditas
yang dilaporkan mungkin terjadi pada pasien dengan riwayat nyeri progresif di mana
berhubungan dengan aktivitas yang memerlukan penggunaan tangan yang terkena. De
Quervain’s syndrome lebih banyak diderita oleh orang dewasa dibanding pada anak-
anak.3
Hingga saat ini belum ditemukan adanya korelasi yang nyata antara insiden de
Quervain’s syndrome dengan sejumlah ras tertentu. Meskipun penyakit seperti ini
sering dijumpai pada pria dan wanita, tetapi de Quervain’s syndrome menunjukkan
jumlah yang signifikan di mana lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada

35
pria. Beberapa sumber bahkan memperlihatkan rasio yang sangat tinggi pada wanita
dibandingkan pada pria, yaitu 8 : 1. Menariknya, banyak wanita yang menderita de
Quervain’s syndrome selama kehamilannya atau selama periode postpartum. 3

Etiologi

Trauma minor yang berulang-ulang umumnya memberikan kontribusi terhadap


perkembangan penyakit de Quervain’s syndrome. Aktivitas-aktivitas yang mungkin
menyebabkan trauma ulangan pada pergelangan tangan termasuk faktor pekerjaan,
tugas-tugas sekretaris, olahraga golf, atau permainan olahraga yang menggunakan
raket. 3

Gambar 3. Trauma ulangan pada pergelangan tangan.4

Faktor-faktor lain yang mungkin dapat memberikan kontribusi terjadinya de


Quervain’s syndrome antara lain : 3,6,7
• Trauma akut pada tangan terutama ibu jari.
• Berhubungan dengan rheumatoid arthritis.
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi inflamasi tendon yang terjadi berhubungan
dengan gesekan yang berlebihan / berkepanjangan antara tendon dan pembungkusnya,
terjadi misalnya pada wanita yang pekerjaannya memeras kain. 4,7

Anatomi dan Fisiologi

Tendon adalah penghubung antara tulang dan otot. Tendon ada yang
dibungkus dengan pembungkus tendon (tendon sheath), ada pula yang tidak dan
langsung melekat pada tulang. 8,9

36
Gambar 4. Tendon otot abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis.4

Pergelangan tangan bagian dorsal yang terdiri dari otot-otot ekstensor


dibungkus oleh sebuah retinakulum ekstensor yang berjalan melalui tulang-tulang
karpal. Retinakulum ini terdiri dari jaringan fibrosa. Bagian medial dari retinakulum ini
melekat pada os pisiform dan os hamate sementara bagian lateralnya melekat pada
bagian distal dari os radius. Ada enam kompartemen jaringan fibrosa yang melalui otot-
otot ekstensor ini. Kompartemen ini dipisahkan satu sama lain oleh jaringan fibrosa.
Setiap kompartemen dibungkus oleh tendon sheath yang berisi cairan sinovial dan
semuanya dibungkus oleh retinakulum tadi. 8,9,10

Gambar 5. Retinakulum otot-otot ekstensor, tendon sheath, dan potongan


transversal tendon sheath.5
Struktur kompartemen dari radial ke ulnar adalah kompartemen pertama
yang terdiri dari tendon otot ekstensor polisis brevis dan tendon otot abduktor
polisis longus, kompartemen kedua yang terdiri dari tendon otot ekstensor karpi
radialis brevis dan tendon otot ekstensor karpi radialis longus, kompartemen ketiga

37
yaitu tendon otot ekstensor polisis longus, kompartemen keempat yaitu tendon otot
ekstensor digitorum dan otot ekstensor indicis, kompartemen kelima adalah tendon
otot ekstensor digiti minimi, dan kompartemen keenam adalah tendon otot
ekstensor karpi ulnaris. 8,9,10,18

Gambar 6. Kompartemen pertama sampai kompartemen keenam.5

De Quervain’s syndrome adalah stenosis pada tendon sheathkompartemen


dorsal pertama pergelangan tangan. Kompartemen ini terdiri dari tendon otot
abduktor polisis longus dan otot ekstensor polisis brevis.1,3,10,11,12,13,14

Gambar 7. Kompartemen dorsal pertama.5

38
Tendon pada otot ekstensor polisis brevis berfungsi pada pergerakan ekstensi
polluks, sedangkan tendon pada otot abduktor polisis longus berfungsi sebagai
pergerakan abduksi pada polluks.8,9,10
Di antara kedua tendon ini berjalan cabang dari nervus radialis sebagai
sensoriknya sehingga jika terjadi stenosis pada kompartemen ini akan merangsang
terjadinya nyeri oleh iritasi pada nervus radialis. 8,9

Patofisiologi

Kompartemen dorsal pertama pada pergelangan tangan termasuk


pembungkus tendon yang menutupi tendon otot abduktor polisis longus dan tendon otot
ekstensor polisis brevis pada tepi lateral. Inflamasi pada daerah ini umumnya terlihat
pada pasien yang menggunakan tangan dan ibu jarinya untuk kegiatan-kegiatan yang
repetitif. Karena itu, de Quervain’s syndrome dapat terjadi sebagai hasil dari
mikrotrauma kumulatif (repetitif). 3,7
Pada trauma minor yang bersifat repetitif atau penggunaan berlebih pada
jari-jari tangan (overuse) menyebabkan malfungsi dari tendon sheath. Tendon
sheath yang memproduksi cairan sinovial mulai menurun produksi dan kualitas
cairannya. Akibatnya, pada penggunaan jari-jari selanjutnya terjadi pergesekan otot
dengan tendon sheath karena cairan sinovial yang berkurang tadi berfungsi sebagai
lubrikasi. Sehingga terjadi proliferasi jaringan ikat fibrosa yang tampak sebagai
inflamasi dari tendon sheath. Proliferasi ini menyebabkan pergerakan tendon menjadi
terbatas karena jaringan ikat ini memenuhi hampir seluruhtendon sheath. Terjadilah
stenosis atau penyempitan pada tendon sheathtersebut dan hal ini akan mempengaruhi
pergerakan dari kedua otot tadi. Pada kasus-kasus lanjut akan terjadi perlengketan
tendon dengan tendon sheath. Pergesekan otot-otot ini merangsang nervus yang ada
pada kedua otot tadi sehingga terjadi perangsangan nyeri pada ibu jari bila digerakkan
yang sering merupakan keluhan utama pada penderita penyakit ini. 1,3,11,15
Pembungkus fibrosa dari tendon abduktor polisis longus dan ekstensor
polisis brevis menebal dan melewati puncak dari prosesus stiloideus radius. 4,6,7

Diagnosis

Kelainan ini sering ditemukan pada wanita umur pertengahan.Gejala yang


timbul berupa nyeri bila menggunakan tangan dan menggerakkan kedua otot tersebut
yaitu bila menggerakkan ibu jari, khususnya tendon otot abduktor polisis longus dan
otot ekstensor polisis brevis.Perlu ditanyakan juga kepada pasien riwayat terjadinya
nyeri. Sebagian pasien akan mengungkapkan riwayat terjadinya nyeri dengan trauma
akut pada ibu jari mereka dan sebagian lainnya tidak menyadari keluhan ini sampai
terjadi nyeri yang lambat laun makin menghebat. Untuk itu perlu ditanyakan kepada
pasien apa pekerjaan mereka karena hal tersebut akan memberikan kontribusi sebagai
onset dari gejala tersebut khususnya pada pekerjaan yang menggunakan jari-jari tangan.
Riwayat penyakit lain seperti pada rheumatoid arthritis dapat menyebabkan pula
deformitas dan kesulitan menggerakkan ibu jari. Pada kasus-kasus dini, nyeri ini belum
disertai edema yang tampak secara nyata (inspeksi), tapi pada kasus-kasus lanjut
tampak edema terutama pada sisi radial dari polluks.3,10,11,12,13,14,15

Pada pemeriksaan fisik, terdapat nyeri tekan pada daerah prosesus stiloideus
radius, kadang-kadang dapat dilihat atau dapat teraba nodul akibat penebalan
pembungkus fibrosa pada sedikit proksimal prosesus stiloideus radius, serta rasa nyeri

39
pada adduksi pasif dari pergelangan tangan dan ibu jari. Bila tangan dan seluruh jari-
jari dilakukan deviasi ulnar, penderita merasa nyeri oleh karena jepitan kedua tendo di
atas dan disebut uji Finkelstein positif.4,5,6,7,16

Gambar 8. Inflamasi pada tendon sheath dari kompartemen dorsal pertama.4

Tanda-tanda klasik yang ditemukan pada de Quervain’s syndrome adalah tes


Finkelstein positif. Cara melakukannya adalah dengan menyuruh pasien untuk
mengepalkan tanganya di mana ibu jari diletakkan di bagian dalam dari jari-jari lainnya.
Si pemeriksa kemudian melakukan deviasi ulnar pasif pada pergelangan tangan si
pasien yang dicurigai di mana dapat menimbulkan keluhan utama berupa nyeri
pergelangan tangan daerah dorsolateral. 3,16

Gambar 9. Daerah yang nyeri pada de Quervain’s syndrome.7

40
Lakukan tes Finskelstein secara bilateral untuk membandingkan dengan bagian
yang tidak terkena. Hati-hati memeriksa ”the first carpometacarpal (CMC) joint” sebab
bagian ini dapat menyebabkan tes Finskelstein positif palsu. 6 Selain dengan tes
Finkelstein harus diperhatikan pula sensorik dari ibu jari, refleks otot-otot, dan
epikondilitis lateral pada tennis elbow untuk melihat sensasi nyeri apakah primer atau
merupakan referred pain. 3,12,13,15

Gambar 10. Tes Finkelstein, si pemeriksa melakukan deviasi ulnar pasif


pada pergelangan tangan pasien.7

Gambar 11. Tes Finkelstein.7

Gambar 12. Hitchhiker sign.8

41
Gambar 13. Brunelli test.8

Brunelli menggambarkan sebuah manuver serupa yang dilakukan dengan


memiliki pasien aktif radial menculik ibu jari dengan pergelangan tangan pada deviasi
radial. untuk secara khusus mengevaluasi untuk memicu, pasien melakukan manuver
dengan penculikan palmaris menolak ibu jari diikuti dengan adduksi dan fleksi. ujian
juga harus mencakup manuver untuk membedakan penyebab umum lainnya sakit
pergelangan tangan radial sisi. Pasien dengan radang sendi ibu jari carpometacarpal
(CMC) akan memiliki kelembutan lokal lebih distal pada sendi CMC. Sebuah jempol
CMC menggiling akan mereproduksi rasa sakit pasien dengan ibu jari CMC
arthritis. Manuver ini melibatkan menggenggam dan memutar jempol metakarpal
sementara plucing beban aksial.Krepitasi dan nyeri int sendi CMC akan
terjadi.Persimpangan sindrom, sebuah tendosynovitis kompartemen ekstensor kedua,
menyebabkan rasa sakit hanya proksimal ke daerah terlibat dalam tenosynovitis
Quervain de. Sindrom persimpangan terjadi di wilayah 4 cm proksimal sendi karpal
radial.Di wilayah ini, otot kompartemen ekstensor pertama menyeberangi dangkal ke
ekstensor carpi radialis brevis dan longus tendon dari kompartemen ekstensor
kedua. Pada pemeriksaan, krepitasi akan dicatat di wilayah ini saat melakukan manuver
Finkelstein. Pasien dengan radang sendi karpal radial akan memiliki rentang
pergelangan tangan terbatas gerak dan nyeri tekan pada sendi karpal radial dan bukan
kompartemen ekstensor punggung pertama.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk menunjang diagnosis
penyakit ini. Kadang dilakukan pemeriksaan serum untuk melihat adanya
faktor rheumatoid untuk mengetahui penyebab penyakit ini, tetapi hal ini juga tidak
spesifik karena beberapa penyakit lain juga menghasilkan faktorrheumatoid di dalam
darahnya.3,10,14
Pemeriksaan radiologik secara umum juga tidak ada yang secara spesifik
menunjang untuk mendiagnosis penyakit ini. Akan tetapi, penemuan terbaru dalam
delapan orang pasien yang dilakukan ultrasonografi dengan transduser 13 MHz resolusi
tinggi diambil potongan aksial dan koronal didapatkan adanya penebalan dan edema
pada tendon sheath. Pada pemeriksaan dengan MRI terlihat adanya penebalan
pada tendon sheath tendon otot ekstensor polisis brevis dan otot abduktor polisis
longus. Pemeriksaan radiologis lainnya hanya dipakai untuk kasus-kasus trauma akut
atau diduga nyeri oleh karena fraktur atau osteonekrosis. 3,10

42
Diagnosis banding

Diagnosis banding dari de Quervain’s syndrome adalah sebagai berikut :3,10,11,13,14


1. Carpal Tunnel Syndrome, di mana pada penyakit ini dirasakan nyeri pada ibu jari
tangan. Nyeri ini tidak hanya dirasakan pada ibu jari tangan, akan tetapi dapat ke
seluruh pergelangan tangan bahkan dapat sampai ke lengan. Carpal Tunnel
Syndrome adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh kompresi pada nervus
medianus akibat inflamasi pada pergelangan tangan. Penyebab inflamasi dapat
karena suatu infeksi, trauma, atau penggunaan berlebihan pada pergelangan
tangan (overuse). Gejala lain pada penyakit ini adalah adanya rasa panas dan
kelemahan pada otot-otot pergelangan tangan.
2. Osteoarthritis pada persendian di pergelangan tangan.
3. Kienbock disease yaitu osteonekrosis pada os lunate.
4. Degenerative arthritis pada sendi radioscaphoid, cervical radiculopathy
terutama pada segmen C5 atau C6.
5. Cheiralgia paresthetica atau neuropati pada sensorik dari nervus radial.
6. Fraktur scaphoid yang tampak sebagai nyeri pada daerah snuff box pada
kompartemen dorsal pertama.
7. Intersection syndrome di mana tenosynovitis terjadi pada tendon dari
kompartemen dorsal pertama (tendon otot ekstensor polisis brevis dan otot
abduktor polisis longus) sampai ke tendon dari kompartemen dorsal kedua (otot
ekstensor karpi radialis longus dan otot ekstensor karpi radialis brevis) dengan
gejala nyeri dan inflamasi pada bagian distal pada daerah dorsolateral dari lengan
bawah. Nyeri pada penyakit ini lebih kurang di daerah lateral dibandingkan
pada de Quervain’s syndrome.

Pengobatan

Pengobatan yang dilakukan adalah dengan terapi konservatif dan intervensi


bedah. Pada terapi konservatif kasus-kasus dini, sebaiknya penderita menghindari
pekerjaan yang menggunakan jari-jari mereka. Hal ini dapat membantu penderita
dengan mengistirahatkan (immobilisasi) kompartemen dorsal pertama pada ibu jari
(polluks) agar edema lebih lanjut dapat dicegah. Idealnya, immobilisasi ini dilakukan
sekitar 4-6 minggu. Kompres dingin pada daerah edema dapat membantu menurunkan
edema (cryotherapy). Jika gejala terus berlanjut dapat diberikan obat-obat anti
inflamasi baik oral maupun injeksi. Beberapa obat oral dan injeksi yang diberikan
sebagai berikut :3,10,11
1. Nonsteroid anti-inflammatory drug misalnya ibuprofen yang merupakandrug of
choice untuk pasien dengan nyeri sedang. Bekerja sebagai penghambat reaksi
inflamasi dan nyeri dengan jalan menghambat sintesa prostaglandin. Dosis
dewasa 200-800 mg, sedang dosis untuk anak-anak usia 6-12 tahun 4-10
mg/kgBB/hari. Untuk anak > 12 tahun sama dengan dewasa. Adapun kontra
indikasi pemberian obat ini adalah adanya riwayat hipersensitif, ulkus peptikum,
perdarahan gastrointestinal atau perforasi, insufisiensi ginjal, atau resiko tinggi
terjadinya perdarahan. Interaksi obat dengan aspirin dapat meningkatkan efek
samping dari obat ini, kombinasi dengan probenesid dapat meningkatkan
konsentrasi obat di dalam darah. Pada pasien-pasien dengan hipertensi, dapat
diberikan kombinasi antara obat ini dengan obat anti hipertensi seperti captopril,
beta blocker, furosemid, dan thiazid. Obat ini tidak aman diberikan untuk wanita

43
hamil terutama kehamilan pada trimester ketiga (berpotensi untuk menyebabkan
menutupnya duktus arteriosus).
2. Kortikosteroid dapat digunakan sebagai anti inflamasi karena dapat mensupresi
migrasi dari sel-sel polimorfonuklear dan mencegah peningkatan permeabilitas
kapiler. Pada orang dewasa dapat diberikan dosis 20-
40mg metilprednisolon atau dapat juga diberikan hidrokortison yang dicampur
dengan sedikit obat anestesi lokal misalnya lidokain. Campuran obat ini
disuntikkan pada tendon sheath dari kompartemen dorsal pertama yang terkena.
Harus diperhatikan agar jangan sampai menyuntikkan campuran obat ini
langsung pada tendonnya karena dapat menyebabkan kelemahan pada tendon dan
potensial untuk terjadinya ruptur. Penyuntikan campuran obat ini juga hendaknya
dicegah jangan sampai terlalu superfisial dari jaringan subkutan karena dapat
menyebabkan depigmentasi pada kulit. Untuk pasien-pasien yang menderita
diabetes melitus sebaiknya dilakukan pengontrolan glukosa darah karena
pemberian kortikosteroid lokal dapat menyebabkan peningkatan glukosa darah
sementara.

Pada tahap awal diberikan analgetik atau injeksi lokal kortikosteroid serta
mengistirahatkan pergelangan tangan, tetapi kadang-kadang penyembuhan hanya
bersifat sementara. Operasi dilakukan pada penderita yang resisten atau untuk
meredakan nyeri secara permanen dengan membuka bagian sarung tendon yang
sempit. 4,5

Rehabilitatif

Fisioterapi : dengan memberikan modalitas terapi berupa stimulasi listrik TENS untuk
mengurangi nyeri dan terapi panas SWD yang juga digunakan untuk
mengurangi nyeri serta mengurangi inflamasi yang terjadi.
Ortotik-Prostetik : dengan memberikan splint untuk mengistirahatkan ibu jari dan
pergelangan tangan.

Gambar 14.Splint.7
Splint tidak diperkenankan dipakai sepanjang hari secara terus menerus, pasien perlu
membuka splint minimal 2 kali dalam sehari. Saat splint dilepas, pasien dapat
melakukan latihan-latihan sebagai berikut :

44
• Opposition stretch : letakkan tangan anda di atas meja, angkat pergelangan
tangan. Kemudian ujung ibu jari menyentuh ujung jari kelingking. Tahan posisi
tersebut selama kurang lebih 6 detik. Ulangi 10 kali.
• Wrist stretch : dengan tangan yang lain, Bantu tangan sisi yang lain untuk
menahan dalam posisi fleksi selama 15-30 detik. Kemudia dengan cara yang
sama, tahan dalam posisi ekstensi dalam rentang waktu yang sama. Lakukakan
masing-masing 3 kali untuk tiap tangan. Sendi siku tetap dalam kondisi lurus.
• Wrist flexion : genggam sebuah sabun dalam posisi tangan supinasi. Lakukan
gerakan fleksi pada sendi pergelangan tangan secara perlahan. Lakukan 10 kali.
Beban dapat secara perlahan ditingkatkan.
• Wrist radial deviation strengthening : tangan diposisikan miring, sehingga ibu
jari berada di bagian atas. Genggan sabun. Lakukan gerakan deviasi kea rah radial
tanpa menggerakkan lengan. Lakukan 10 kali.
• Wrist extension : genggam sebuah sabun dalam posisi tangan pronasi. Lakukan
gerakan fleksi pada sendi pergelangan tangan secara perlahan. Lakukan 10 kali.
Beban dapat secara perlahan ditingkatkan.
• Grip strengthening : genggam sebuah bola. Lalu remas-remas selama 5 detik.
Lakukan 10 kali.
• Finger spring : letakkan karet gelang sehingga melingkari semua jari-jari tangan.
Lakukan gerakan abduksi dan aduksi. Ulangi 10 kali.

Intervensi bedah diperlukan jika terapi konservatif tidak efektif lagi terutama
pada kasus-kasus lanjut di mana telah terjadi perlengketan padatendon sheath. Prosedur
operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :3,10,14,18
Digunakan anestesi lokal dan turniket. Setelah kulit disterilkan, gunakan
turniket dan infiltrasi kulit pada daerah kompartemen dorsal pertama dengan
menggunakan anestesi lokal secukupnya. Lalu dibuat insisi pada kulit yang mulai dari
dorsal ke volar dalam arah transversal-oblik, sejajar dengan lipatan-lipatan kulit
melewati daerah yang lunak dari kompartemen dorsal pertama. Insisi longitudinal
dianjurkan untuk membuat area yang lebih panjang di mana skar kulit mungkin saja
melekat pada nervus kutaneus dan tendon. Tindakan diseksi tajam hanya sampai pada
lapisan dermis dan tidak sampai ke lapisan lemak subkutaneus, menjauhi cabang-
cabang nervus radialis superfisialis. Setelah menarik tepi kulit, gunakan diseksi tumpul
pada lemak subkutaneus. Kemudian cari dan lindungi cabang-cabang sensoris dari
nervus radialis superfisialis, biasanya terletak di bagian dalam dari vena-vena
superfisialis. Kenali tendon proksimal sampai penyempitan ligamen dorsal dan tendon
sheath, kemudian buka kompartemen dorsal pertama pada sisi dorsoulnar. Dengan ibu
jari yang abduksi dan pergelangan tangan yang fleksi, angkat tendon otot abduktor
polisis longus dan otot ekstensor polisis brevis dari tempatnya. Jika tendon otot-otot
tersebut sulit untuk dibebaskan, carilah additional “aberrant” tendons dan
kompartemen-kompartemen yang terpisah. Kemudian tutup insisi kulit dan
menggunakan balutan dengan tekanan yang rendah.

45
Gambar 15. Teknik operasi pada de Quervain’s Syndrome.8

Prognosis
Prognosis penyakit ini umumnya baik. Pada kasus-kasus dini, biasanya
berespon dengan baik pada terapi konservatif. Sedangkan pada kasus-kasus lanjut dan
tidak memberikan respon yang baik dengan terapi konservatif, dilakukan tindakan
bedah untuk dekompresi pada kompartemen dorsal pertama dari pergelangan tangan.
Umumnya berlangsung dengan baik, morbiditas dapat terjadi jika terjadi komplikasi
pasca operasi misalnya adhesi tendo atau subluksasi volar tendon. 3,10,11,12,13,14,15
Pasien dengan de Quervain’s syndrome perlu untuk menghindari aktivitas-
aktivitas repetitif tertentu dari pergelangan tangan atau dari ibu jari hingga pengobatan
yang adekuat tercapai.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Polsdorfer, R, de Quervain’s Tenosynovitis, available at


http://healthlibrary.epnet.com, last reviewed November 2011.
2. NN, Biography of Fritz de Quervain, available at
http://www.whonamedit.com/doctor.cfm, 1994-2001.
3. Foye, PM, de Quervain’s Tenosynovitis, available at
http://www.emedicine.com/pmr/topic36.htm, last updated October 13, 2005.
4. Rasjad, C, Penyakit de Quervain (Tenovaginitis Stenosans) dalamPengantar
Ilmu Bedah Ortopedi, Penerbit Bintang Lamumpatue, Ujung Pandang, 1998.
halaman : 228-9.
5. Sjamsuhidajat, R. , Tenosinovitis Stenosans dalam Buku-Ajar Ilmu Bedah,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1998. halaman : 1246.
6. Duckworth, T. , De Quervain’s Teno-Vaginitis in Lectura Notes On
Orthopaedics And Fractures, Second Edition, P G Publishing Pte Ltd,
Singapore, 1985. page : 249.

46
7. Bunnel, S. , Stenosing Tenosynovitis at Radiostyloid Process (de Quervain’s
Disease) in Surgery of The Hand, Third Edition, Pitman Medical Publishing
Co., LTD, London, 1992. page 774-5.
8. Chase, RA, Anatomy in Atlas of Hand Surgery, Stanford University School of
Medicine, W.B. Saunders Company, California, 1973. page : 3-20.
9. Weinsten, SL et all, The Wrist and Hand in Turek’s Orthopaedics, Fifth
Edition, JB Lippincott Company, Philadelphia, 1992. page : 428-30.
10. Gulf, MD, de Quervain’s Disease, available at
http://www.gulfmd.com/deQuervain’sdisease.grd.drt..
11. Natarajan, M, Wrist and Hand in Text Book of Orthopaedics, MN Orthopaedic
Hospital, Tamil Nadu, India, 1985. page : 163-6.
12. Sahin, B, Hand, Anatomy, available at
http://www.emedicine.com/org.anatomyofthehand.trs. , last updated July 28,
2003.
13. McRae, Ronald, The Wrist in Clinical Orthopaedic Examination, Third
Edition, Churchill Livingstone, Edinburgh London Melbourne and New York,
1990. page : 71-86.
14. Chien, JA, et all, Focal Radial Styloid Abnormality as Manifestation of De
Quervain Tenosynovitis, available athttp://www.americanjournal.com/org.
15. Lech, O, et all, Stenosing Tenosinovitis of The First Compartment De
Quervain’s Disease, available
athttp://www.healthinformation.com/orthoped/topic482.htm.
16. Schwartz, SI, et all, Tendon Entrapment Syndrome of First Extensor
Compartment (deQuervain’s Disorder) in Principles of Surgery, Fifth Edition,
McGraw-Hill Information Services Company, USA, 1989. page : 2066-7.
17. Pictures of de Quervain’s syndrome available at http://www.google.com.
18. Wright, PE, Carpal Tunnel, Ulnar Tunnel, and Stenosing
Tenosynovitis in Campbell-Operative Orthopaedics, 10th Edition, 2004. Part
XVIII, chapter 73.

47

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai