Anda di halaman 1dari 33

A.

PENDAHULUAN
Sistem koagulasi manusia melakukan pemeliharaan terhadap keseimbangan antara
hemostasis dan distribusi darah ke jaringan. Perubahan patologis dalam sistem koagulasi
dapat mengakibatkan sebuah gangguan baik keadaan hipokoagulasi (yaitu,
kecenderungan untuk perdarahan terjadi tidak seharusnya) maupun keadaan
hiperkoagulasi (yaitu, kecenderungan untuk pembentukan trombus secara tidak tepat).
Sistem koagulasi bergantung pada level dan fungsi yang sesuai ari beberapa komponen
darah untuk memungkinkan terjadinya pembekuan normal. Proses pembekuan darah
bergantung pada interaksi platelet, endotel vaskular, otot polos pembuluh darah, protein
koagulasi terlarut, dan berbagai mediator biokimia lokal dan sistemik untuk menghasilkan
clot atau bekuan hemostatik.
Proses pembekuan darah yang normal mempunyai 3 tahap yaitu:

1. Fase koagulasi
Koagulasi diawali dalam keadaan homeostasis dengan adanya cedera
vascular. Vasokonstriksi merupakan respon segera terhadap cedera, yang diikuti
dengan adhesi trombosit pada kolagen pada dinding pembuluh yang terpajan
dengan cedera. Trombosit yang terjerat di tempat terjadinya luka mengeluarkan
suatu zat yang dapat mengumpulkan trombosit-trombosit lain di tempat tersebut.
Kemudian ADP dilepas oleh trombosit, menyebabkan agregasi trombosit.
Sejumlah kecil trombin juga merangsang agregasi trombosit, bekerja memperkuat
reaksi. Trombin adalah protein lain yang membantu pembekuan darah. Zat ini
dihasilkan hanya di tempat yang terluka, dan dalam jumlah yang tidak boleh lebih
atau kurang dari keperluan. Selain itu, produksi trombin harus dimulai dan
berakhir tepat pada saat yang diperlukan. Dalam tubuh terdapat lebih dari dua
puluh zat kimia yang disebut enzim yang berperan dalam pembentukan trombin.
Enzim ini dapat merangsang ataupun bekerja sebaliknya, yakni menghambat
pembentukan trombin. Proses ini terjadi melalui pengawasan yang cukup ketat
sehingga trombin hanya terbentuk saat benar-benar terjadi luka pada jaringan
tubuh. Factor III trombosit, dari membrane trombosit juga mempercepat
pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuklah sumbatan trombosit, kemudian
segera diperkuat oleh protein filamentosa (fibrin) (Sylvia dan Lloraine,2003).
Produksi fibrin dimulai dengan perubahan factor X menjadi Xa, seiring
dengan terbentuknya bentuk aktif suatu factor. Factor X dapat diaktivasi melalui
dua rangkaian reaksi. Rangkaian pertama memerlukan factor jaringan, atau
tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh endotel pembuluh darah pada saat
cedera karena faktor jaringan tidak terdapat di dalam darah, maka factor ini
merupakan factor ekstrinsik koagulasi, dengan demikian disebut juga jalur
ekstrinsik untuk rangkaian ini(Sylvia dan Lloraine,2003).
Rangkaian lainnya yang menyebabkan aktivasi factor X adalah jalur
intrinsic, disebut demikian karena rangkaian ini menggunakan factor-faktor yang
terdapat dalam system vascular plasma. Dalam rangkaian ini, terjadi reaksi
“kaskade”, aktivasi satu prokoagulan menyebabkan aktivasi bentuk pengganti.
Jalur intrinsic ini diawali dengan plasma yang keluar terpajan dengan kulit atau
kolagen di dalam pembuluh darah yang rusak. Factor jaringan tidak diperlukan,
tetapi trombosit yang melekat pada kolagen berperan. Faktor XII, XI, dan IX
harus diaktivasi secara berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor
X dapat diaktivasi. Zat-zat prakalikrein dan HMWK juga turut berpartisipasi, dan
diperlukan ion kalsium(Sylvia dan Lloraine,2003).
Dari hal ini, koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakan jalur
bersama. Aktivasi aktor X dapat terjadi sebagai akibat reaksi jalur ekstrinsik atau
intrinsik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa kedua jalur tersebut berperan
dalam hemostasis. Langkah selanjutnya pada pembentukan fibrin berlangsung jika
faktor Xa, dibantu fosfolipid dari trombosit yang diaktivasi, memecah protrombin,
membentuk trombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk
fibrin. Fibrin ini pada awalnya merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh
faktor XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jalinan fibrin yang kuat,
trombosit, dan memerangkap sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek
(retraksi bekuan), mendekatkan tepi-tepi dinding pembuluh darah yang cederadan
menutup daerah tersebut(Sylvia dan Lloraine,2003).

2. Penghentian pembentukan bekuan


Setelah pembentukan bekuan, sangat penting untuk melakukan pengakhiran
pembekuan darah lebih lanjut untuk menghindari kejadian trombotik yang tidak
diinginkan yang disebabkan oleh pembentukan bekuan sistemik yang berlebihan.
Antikoagulan yang terjadi secara alami meliputi antitrombin III (ko-faktor
heparin), protein C dan protein S. Antitrombin III bersirkulasi secara bebas di
dalam plasma dan menghambat sistem prokoagulan, dengan mengikat trombin
serta mengaktivasi faktor Xa, IXa, dan XIa, menetralisasi aktivitasnya dan
menghambat pembekuan. Protein C, suatu polipeptida, juga merupakan suatu
antikoagulan fisiologi yang dihasilkan oleh hati, dan beredar secara bebas dalam
bentuk inaktif dan diaktivasi menjadi protein Ca. Protein C yang diaktivasi
menginaktivasi protrombin dan jalur intrinsik dengan membelah dan
menginaktivasi faktor Va dan VIIIa. Protein S mempercepat inaktivasi faktor-
faktor itu oleh protein protein C. Trombomodulin, suatu zat yang dihasilkan oleh
dinding pembuluh darah, diperlukan untuk menimbulkan pengaruh netralisasi
yang tercatat sebelumnya. Defisiensi protein C dan S menyebabkan spisode
trombotik. Individu dengan faktor V Leiden resisten terhadap degradasi oleh
protein C yang diaktivasi(Sylvia dan Lloraine,2003).

3. Resolusi bekuan
Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya dipecahkan oleh
plasmin (fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi fibrin, menyebabkan
hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah protein plasma
spesifik inaktif di dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik plasmin aktif. Protein
dalam bersirkulasi, yang dikenal sebagai proaktivator plasminogen, dengan
adanya enzim-enzim kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan,
serta faktor XIIa, dikatalisasi menjadi aktivator plasminogen. Dengan adanya
enzim-enzim tambahan seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah
plasminogen, suatu protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin,
menjadi plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi
fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen), yang mengganggu
aktivitas trombin, fungsi trombosit dan polimerisasi fibrin, menyebabkan
hancurnya bekuan. Makrofag dan neutrofil juga berperan dalam fibrinolisis
melalui aktivitas fagositiknya (Sylvia dan Lloraine,2003).

 Keadaan Hipokoagulasi

Merupakan hal yang penting untuk dapat mengenali dan mengobati keadaan
hipokoagulasi yang sudah ada sebelumnya untuk menghindari timbulnya perdarahan masif
dan kemungkinan untuk transfusi produk darah yang tidak perlu. Pengobatan yang optimal
dari gangguan hypocoagulable adalah dilakukan dengan transfusi komponen darah yang
kurang secara selektif (misalnya, transfusi konsentrat faktor VIII daripada plasma segar beku
pada penderita hemofilia yang membutuhkan pembedahan). Keadaan Hipokoagulable baik
bawaan atau yang didapat; biasanya keduanya bisa terjadi secara bersamaan pada pasien yang
sama juga. Pengetahuan tentang kaskade koagulasi dan waktu paruh biologis elemen
koagulasi tertentu diperlukan untuk mengobati banyak gangguan hipokoagulasi secara efektif
(Gambar. 16-9, Tabel 16-8). Merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
mengkolaborasikan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan
laboratorium yang tepat untuk menemukan adanya kondisi hipokoagulable/gangguan
hiperkoagulasi bawaan dan/atau yang didapat pada pasien bedah. Setelah dianamnesis secara
langsung diketahui apakah pasien memiliki gangguan koagulasi, selanjutnya kita harus
mengajukan pertanyaan spesifik untuk memperoleh informasi tentang ada atau tidaknya
gangguan ini (Tabel 16-9). Jika jawaban pasien "ya" untuk semua pertanyaan ini, maka perlu
untuk ditanyakan tentang detail dan frekuensi masalah. Tergantung pada kompleksitas dari
keadaan hipokoagulasi atau hiperkoagulasi tersebut, konsultasi hematologi mungkin perlu
dipertimbangkan.68

 Defisiensi Faktor VIII (Hemofilia A)

Pasien dengan defisiensi faktor VIII, atau hemofilia A, mungkin dapat memerlukan
intervensi bedah yang sangat mendesak pada episode perdarahan (misalnya, kraniotomi
dekompresi perdarahan intrakranial atau fasciotomy untuk meringankan sindrom
kompartemen). Hemofilia A adalah keadaan resesif terkait-X yang terjadi dengan frekuensi 1
banding 5000 kelahiran laki-laki.69

Individu dengan hemofilia A menunjukkan berbagai gejala perdarahan, dengan


tingkat keparahan berbanding terbalik dengan tingkat aktivitas faktor VIII plasma mereka.
Normalnya, aktivitas faktor VIII berkisar antara 50% sampai 150% (atau 0,5-1,5 U/mL).
Hemofilia ringan terjadi pada pasien dengan tingkat aktivitas faktor VIII lebih besar dari 5%.
Hemofilia sedang terjadi pada pasien dengan tingkat aktivitas faktor VIII berkisar antara 1%
hingga 5%, dan gejala hemofilia yang berat memiliki tingkat aktifitas kurang dari 1% (atau
0,01 U/mL).69

Hemartrosis spontan merupakan ciri khas dari hemofilia berat. Berulangnya


perdarahan pada sendi menghasilkan degenerasi yang menimbulkan rasa yang sangat sakit
pada tulang rawan (hemophilic arthropathy) yang akhirnya dapat menghancurkan sendi
(Gambar. 16-11).70Penderita hemofilia dengan tingkat aktivitas faktor VIII 1% sampai 5%
pada umumnya tidak pernah mengalami perdarahan spontan, tetapi trauma dan tindakan
operatif dapat memicu pendarahan.Pendarahan intrakranial dan intraserebral merupakan
penyebab kematian paling sering pada penderita hemofilia. Sekitar setengah dari perdarahan
intracranial pada penderita hemofilia terjadi secara spontan. Perdarahan gastrointestinal dan
orofaringeal juga dapat terjadi. Perdarahan orofaringeal sangat penting untuk diperhatikan
karena dapat menyebabkan adanya gangguan pada jalan napas. Pada hemofilia berat, episode
perdarahan berulang dapat menghasilkan pembesaran pseudotumor yang dapat menyerang
jaringan lunak lokal dan tulang. Tindakan pengangkatan operatif pseudotumors berhubungan
dengan kejadian kematian yang tinggi meskipun penyediaan terapi perioperatif telah
direkomendasikan.71

Di Amerika Serikat, diagnosis dan pengelolaan hemofilia A dicapai dengan waktu


tromboplastin parsial teraktivasi (aPTT) berbasis penilaian 1-tahap. APTT nilainya akan
memanjang secara abnormal pada seluruh penderita hemofilia. Waktu protrombin (PT),
waktu trombin (TT), waktu perdarahan, jumlah platelet, dan fungsi platelet biasanya normal
pada pasien hemofilia.69

Hemofilia A biasanya diterapi dengan pemberian konsentrat faktor VIII. Tujuan


terapi kronis adalah untuk mempertahankan tingkat aktivitas faktor VIII pada nilai sekitar 3%
dari normal untuk mengurangi kejadian perdarahan intrakranial spontan dan meminimalkan
perdarahan intraartikular spontan.69 Konsentrat turunan plasma dan konsentrat rekombinan
faktor VIII saat ini tersedia, dan keduanya memberikan efektifitas pengobatan yang sama
(Tabel 16-10). Tujuan terapi untuk periode akut adalah untuk terapi pada episode perdarahan
yang mengancam jiwa (misalnya, perdarahan intrakranial atau perdarahan ekstremitas yang
mengancam). Tujuannya adalah untuk mencapai level aktivitas faktor VIII berkisar antara
50% sampai 100% dari normal, seperti yang diperkirakan pada penilaian 1-tahap berbasis
aPTT.

Salah satu pertimbangan anestesi untuk pasien dengan hemofilia A adalah


bagaimana agar tingkat aktivitas faktor VIII pra operasi dapat meningkat hingga sekitar 100%
dari normal. Selain itu, sesuatu yang sangat beralasan untuk menghindari obat antiinflamasi
nonsteroid (misalnya, ibuprofen atau ketorolak) karena obat-obat tersebut dapat memicu
hematuria gross spontan pada penderita hemofilia. Pasien yang membutuhkan pungsi lumbal,
pertama-tama harus dilakukan pengembalian tingkat aktivitas faktor VIIIhingga mencapai
sekitar 100% dari normal; data hasil tentang anestesi spinal pada penderita hemofilia saat ini
tidak tersedia, tetapi tujuan terapi yang sama dibenarkan jika manfaat dari anestesi spinal
lebih besar daripada resiko yang mungkin timbul. Pemberian konsentrat faktor VIII pada
penderita hemofilia dengan perdarahan aktif faring mungkin tidak memberikan perlindungan
akut pada jalan napas ; sehingga intubasi elektif mungkin diperlukan untuk mencegah
terjadinya obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa.69 Perdarahan yang terjadi pada
penderita hemofilia atau mereka yang membutuhkan profilaksis karena mendapat pengobatan
yang dapat menyebabkan inhibisi faktor VIII, rekombinan faktor VII teraktivasi (NovoSeven)
diindikasikan untuk diberikan. Selain itu, anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik
yang baik akan mengungkapkan apakah pada penderita hemofilia telah terjadi pengembangan
toleransi narkotika yang berhubungan dengan pengobatan awal pada komplikasi nyeri terkait
dengan penyakit (misalnya, hemophilic arthropathy atau adanya bekuan darah ureter).

 Defisiensi Faktor IX (Hemofilia B)


Defisiensi faktor IX, juga disebut hemofilia B, atau penyakit Natal, merupakan hasil
pada sebuah sindrom klinis yang mirip dengan hemofilia A. Hemofilia B diturunkan dengan
sifat gen resesif terkait-X dan terjadi pada 1 dari 30 000 kelahiran laki-laki. Manifestasi klinis
hemofilia B sama dengan yang dijelaskan pada hemofilia A. Hemofilia B ringan, sedang, dan
berat dikategorikan dengan kriteria yang sama untuk pengkategorian hemofilia A (yaitu
hemofilia B berat jika tingkat aktivitas faktor IX kurang dari 1% [atau 0,01
U/mL]).Keparahan penyakit berkaitan dengan aktivitas faktor IX plasma; pasien dengan
aktivitas kurang dari 1% akan menunjukkan gejala hemartrosis spontan, perdarahan
intramuskular, dan hematuria gross. Diagnosis hemofilia B juga dibuat dengan penilaian 1-
tahap berbasis aPTT. aPTT akan memanjang pada pasien dengan hemofilia B, tetapi akan
membaik ketika plasma pasien dicampur dengan jumlah yang sama dengan plasma dari
individual yang normal.69
Hemofilia B diterapi dengan pemberian konsentrat faktor IX. Konsentrat Faktor IX
tersedia dalam bentuk sediaan rekombinan atau plasma. Waktu paruhplasma faktor IX baik
yang ditransfusikan ataupun yang endogen adalah sekitar 18 jam. Tingkat aktivitas yang
sama dari faktor pengganti ini ditargetkan seperti target tingkat aktivitas pada hemofilia A.
Perkembangan antibodi penghambatan dapat mempersulit pengobatan defisiensi faktor VIII
dan defisiensi faktor IX. Antibodi muncul lebih sering pada pasien yang diterapi dengan
konsentrat faktor dengan kemurnian yang amat tinggi (angka kejadiannya sekitar 1% -4%
pada pasien dengan defisiensi faktor IX yang berat).69 Rekombinan faktor VII teraktivasi
(rVIIa atau NovoSeven) disetujui oleh FDA untuk pengobatan hemofilia B pada pasien
dengan inhibitor faktor IX.72 Implikasi untuk anestesi pada defisiensi faktor IX adalah analog
dengan yang terjadi pada hemofilia A.

Tabel 16-8 Rangkuman Defisiensi Faktor-faktor Pembekuan

 Penyakit Von Willebrand


Penyakit von Willebrand (vWD) merupakan sebuah gangguan pada fungsi platelet
yang disebabkan karena berkurangnya fungsi normal dari faktor von Willebrand (vWF).
vWD dapat mengakibatkan keadaan hipokoagulasi yang bermanifestasi sebagai episodes
perdarahan.73 vWD adalah penyakit bawaan autosomal dominan dengan rasio kejadian laki-
laki:perempuan sekitar 1%.
vWF memainkan 2 peran utama dalam proses hemostatik. Pertama, vWF bertindak
sebagai jembatan antara reseptor platelet dan kolagen terekspose pada endotelium yang rusak.
Pada mulanya platelet mengikat kolagen terekspose pada endotelium yang rusak melalui
glikoprotein Ib-vWF,kemudian terdapat interaksi kolagen yang diikuti oleh adhesi platelet
yang lebih kuat pada molekul kolagen melalui glikoprotein IIb/IIIa-vWF dan interaksi
kolagen. vWF memungkinkan platelet untuk membuat plug utama pada endotelium yang
rusak tersebut dan memulai proses hemostatik di lokasi pembuluh darah yang cedera. vWF
juga bertindak sebagai jembatan antara reseptor platelet, khususnya antara reseptor
glikoprotein IIb/IIIa, untuk memungkinkan terbentuknya agregasi platelet.73 Kedua, vWF
beredar dalam plasma untuk menciptakan sebuah kompleks terikat pada faktor VIII dan
memberikan perlindungan untuk faktor VIII terhadap proses pemecahan oleh proteolitik.73,74
Ada bermacam tingkat keparahan perdarahan terkait dengan vWD. Individu dengan
vWD sedang atau berat cenderung memiliki episode perdarahan yang normal di masa kecil
atau pada usia dewasa muda. Mayoritas individu yang terkena vWD hanya pada tingkat
keparahan ringan hingga sedang. Gejala vWD antara lain termasuk mudah memar, epistaksis,
dan perdarahan pada selaput lendir. Menorrhagia dan perdarahan gastrointestinal yang
mengancam nyawa bisa saja terjadi pada vWD. Prosedur bedah juga dapat dikaitkan dengan
terjadinya perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan vWD.73
Diagnosis vWD sangat kompleks dan dibuat dengan pemeriksaan laboratorium pada
beberapa hal termasuk antigen vWF, aktivitas vWF, aktivitas faktor VIII, dan waktu
perdarahan. Pemeriksaan ini akan diikuti oleh pemeriksaan seri kedua untuk menentukan
klasifikasi vWD dan pemeriksaan agregasi platelet terinduksi ristocetin serta studi vWF
multimer.73
Terapi vWD tergantung pada jenis vWD yang telah didiagnosis (Tabel 16-11 dan
16-12). Penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid dapat lebih merusak fungsi platelet yang
sudah terganggu sebelumnya dan merupakan kontraindikasi pada vWD. Korelasi tingkat
diagnostik dari kelainan uji laboratorium pasien vWD dengan tingkat keparahan perdarahan
yang terjadi sangatlah rendah, oleh karena itu target empiris terapi vWD harus dikejar.
Tujuan terapi untuk periode perioperatif adalah tingkat aktivitas vWF dan faktor VIII harus
mencapai 50% sampai 100% dari normal, analog dengan tujuan pengobatan episode
perdarahan pada pasien vWD pada umumnya.73
vWF dan tingkat aktivitas faktor VIII meningkat pada pasien vWD yang mendapat
DDAVP (1-desamino-8-d-argininevasopressin atau desmopresin) intravena dan memberikan
produk darah plasma kaya turunan vWF. Penggunaan agen hemostatik topikal (misalnya, lem
fibrin, Gel-busa, atau trombin-direndam Surgicel) juga akan memmbantu meningkatkan
hemostasis pada pasien vWD.73 Alternatifnya adalah pemberian konsentrat vWF intravena
(IV) (misalnya, humat P) pada pasien yang tidak memberikan respon positif terhadap terapi
DDAVP. Pasien hamil dengan vWD harus mendapat perhatianan khusus. Meskipun
rekomendasi berbasis bukti pada blokade neuraksial sentral kasus vWD tidak ada,
pertimbangan harus diberikan terkait bukti bahwa blokade tersebut menyebabkan hematoma
spinal atau epidural yang permanen. Tingkat vWF biasanya meningkatkan 2 sampai 3 kali di
atas baseline selama trimester kedua dan trimester ketiga kehamilan dan dapat memicu
terjadinya komplikasi perdarahan. Peningkatan tingkat keparahan ini harus diverifikasi oleh
pemeriksaan tertentu karena peningkatan vWF ini sifatnya tidak universal, dan beberapa
pasien dengan defek vWF kualitatif tidak akan memperbaiki aktivitas vWF mereka selama
kehamilan. DDAVP dapat diberikan kepada pasien vWD yang merupakan pekerja aktif untuk
mengetahui apakah pasien memiliki respon positif terhadap terapi ini. Terapi penggantian
vWF dapat diberikan kepada pasien yang masih memiliki episode perdarahan setelah
pemberian DDAVP. Pasien yang tidak diketahui respon terapinya terhadap DDAVP harus
diterapi dengan konsentrat vWF. Agen antifibrinolytic analog Lysine (misalnya, asam ε-
aminocaproic dan asam traneksamat) telah berhasil digunakan sebagai terapi tambahan
maupun monoterapi pada beberapa pasien dengan perdarahan terkait vWD.73

Tabel 16-9 Pertanyaan Penialaian Praanestetik Pada


Kelaianan Koagulasi

 Defisiensi Faktor Kelainan Yang Jarang Terjadi

Defisiensi pada faktor V, VII, X, dan XI telah dijelaskan semuanya dan merupakan
sesuatu yang jarang terjadi. Pembaca perlu melakukan review yang sangat mendalam tentang
gangguan ini untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, karena gangguan hipokoagulasi jenis
ini tidak dibahas dalam lingkup teks ini.75 Tabel 16-8 memberikan beberapa informasi rinci
tentang defisiensi faktor ini dan pengobatannya.

Tabel 16-10 Knsentrat Faktor VIII yang Terlisensi di Amerika Serikat


 Defisiensi Faktor Kontak
Faktor XII, kininogen berat molekul tinggi, dan prekallikrein merupakan faktor
kontak pada kaskade koagulasi (Gambar 16-9.); diagnosis definitif dibuat dengan
pemeriksaan spesifik terhadap faktor kontak yang kurang. Defisiensi faktor kontak tidak
terkait dengan kejadian pendarahan, walaupun pada pasien-pasien ini menunjukkan aPTT
yang memanjang. Tidak ada pengobatan perioperatif tertentu yang diperlukan pada kelainan
ini.75

Gambar 16-11 Artropati Hemofilia pada Sendi


Lutut

Tabel 16-11 Klasifikasi Penyakit von Willebrand


Tabel 16-12Pendekatan Pengobatan Penyakit von Willebrand

 Defisiensi Faktor XII


Faktor XIII penting untuk stabilisasi struktur bekuan fibrin; menciptakan ikatan
silang peptida antarhelai fibrin di bekuan darah (Gambar. 16-9). Bekuan darah yang jumlah
ikatan silang peptidanya kurang akan sangat tidak stabil, permeabel terhadap darah, dan
rentan terhadap fibrinolisis serta menyediakan kerangka pondasi yang buruk untuk
penyembuhan luka. Meskipun 3 bentuk berbeda dari defisiensi faktor XIII bawaan telah
dijelaskan, ketiga bentuk ini sangat jarang terjadi. Tetapi kesemuanya cenderung
menimbulkan perdarahan perioperatif yang berat, serta akan terjadi perdarahan seumur hidup
ketika aktivitas faktor XIII kurang dari 1%. Perdarahan dapat muncul mulai dari lahir dan
dapat berlangsung sampai seumur hidup. Meskipun sebagian besar episode perdarahan yang
timbul dipicu oleh trauma, perdarahan intrakranial spontan dapat pula terjadi.75,77
Diagnosis definitif dari defisiensi faktor XIII dibuat berdasar pada pemeriksaan tes
kelarutan clot spesifik dan pemeriksaan untuk mengukur tingkat defisiensi faktor XIII.
Munculnya defisiensi faktor XIII didapat melibatkan generasi autoantibodi faktor XIII.75,77
Terapi defisiensi faktor XIII dilakukan dengan pemberian plasma beku segar atau
kriopresipitat. Di Eropa, konsentrat faktor XIII (Fibrogammin-P) tersedia untuk digunakan
sebagai terapi gangguan ini. Hemostasis normal terjadi dengan tingkat aktivitas faktor XIII
yang lebih besar dari 5%. Persiapan pra operasi individu dengan tingkat aktivitas faktor XIII
kurang dari 5% bertujuan untuk memberikan 2 sampai 3 mL/kg plasma beku segar atau 1 unit
kriopresipitat per 10 sampai 20 kg berat badan. Waktu paruh plasma faktor XIII yang panjang
(9-10 hari) biasanya membuat kebutuhan untuk re-dosis tidak diperlukan. Suplementasi
faktor XIII seumur hidup ditunjukkan pada individu dengan tingkat aktivitas faktor XIII yang
sangat rendah untuk mencegah terjadinya perdarahan intrakranial, bahkan ketika operasi
tidak direncanakan perlu untuk dilakukan. Pengobatan pada individu yang telah
mengembangkan antibodi penghambatan faktor XIII bersifat kompleks dan mungkin akan
melibatkan transfusi tukar, pemerian platelet (platelet diketahui mengandung faktor XIII),
atau pemberian imunosupresan (misalnya gamma globulin intravena, steroid, dan
siklofosfamid).75,77

 Afibrinogenemia
Fibrinogen berfungsi sebagai molekul prekursor untuk fibrin bangunan protein dari
bekuan darah. Defisiensi fibrinogen kongenital atau yang didapat menghasilkan gangguan
perdarahan yang penting secara klinis, terutama pada pasien bedah. Afibrinogenemia
homozigot kongenital merupakan gangguan yang langka yang berhubungan dengan tingkat
keparahan bervariasi pada masalah perdarahan (misalnya, mudah memar, perdarahan
mukosa, hematuria, hemartrosis, hemoperikardium, hemoperitoneum, menometrorrhagia,
komplikasi obstetri, perdarahan intraserebral, dan ruptur limpa spontan). Pasien-pasien ini
tidak memiliki fibrinogen yang terdeteksi pada serum serta memiliki PT, aPTT, dan TT
memanjang; episode plateletopenia sesekali; dan pada pemeriksaan fibrinogen plasma
menunjukkan tidak adanya fibrinogen terdeteksi.75
Tingkat fibrinogen pra operasi harus dikembalikan pada level 50 sampai 100 mg/dL
dengan memberikan infus kriopresipitat atau konsentrat fibrinogen ketegori turunan manusia
(Riastap). Lima sampai sepuluh unit kriopresipitat diperlukan untuk meningkatkan kadar
fibrinogen pada level 50 sampai 100 mg/dL. Sebuah unit tunggal kriopresipitat mengandung
sekitar 250 sampai 300 mg fibrinogen dan diharapkan dapat menaikkan tingkat fibrinogen
plasma sekitar 10 mg / dL. Kadar fibrinogen akan bertahan selama 2 sampai 4 hari setelah
pemberian. Rumus berikut ini digunakan untuk menentukan dosis yang diperlukan dari
konsentrat fibrinogen:
atau, ketika kadar fibrinogen tidak diketahui, diberikan 70 mg / kg berat badan
konsentrat fibrinogen.78 Operasi terkait perdarahan pasca operasi dengan penurunan kadar
fibrinogen harus dipantau perioperatif setiap hari. Trombosis telah dilaporkan pada pasien
dengan kadar fibrinogen normal dengan pemberian infus kriopresipitat.75,79

 Disfibrinogenemia
Banyak varian disfibrinogenemia kongenital yang dikenal. Berbagai varian tersebut
memiliki berbagai kelainan konversi abnormal fibrinogen ke fibrin. Kebanyakan individu
mengalami disfibrinogenemia heterozigot dan biasanya memiliki kadar fibrinogen plasma
sebesar hampir 50% dari kadar plasma normal, sehingga memungkinkan hemostasis efektif.
Beberapa varian disfibrinogenemia memiliki kadar fibrinogen jauh di bawah normal atau
meskipun kadarnya normal biasanya berhubungan dengan masalah perdarahan jika varian
abnormal tersebut mempengaruhi fungsi fibrinogen.75
Manifestasi klinis dari disfibrinogenemia meliputi: trombosis (17%), perdarahan
ringan setelah trauma (20%), manifestasi trombotik dan hemoragik (20%), tidak ada
fenomena hemoragik atau asimptomatik (43%). pasien yang mengalami disfibrogenemia
yang menunjukkan masalah perdarahan biasanya akan bermanifestasi sebagai perdarahan
jaringan lunak, mudah memar, menorrhagia, dan paling sering perdarahan perioperatif.
Individu yang memiliki manifestasi trombosis dapat mengalami trombosis tersebut di vena
(misalnya, trombosis vena, emboli paru) maupun di arteri (misalnya, trombosis aorta dan
arteri karotis). Individu dengan manifestasi trombosis dapat memiliki gangguan sistem
koagulasi lain secara bersamaan (misalnya, mutasi Leiden faktor Vatau trombofilia lainnya)
mengakibatka kecenderungan darah tidak dapat menggumpal. Penyembuhan luka bedah yang
buruk dapat dikaitkan dengan kejadian disfibrinogenemia.75
Hasil pemeriksaan laboratorium standar untuk sistem koagulasi (misalnya, PT,
aPTT, TT) biasanya memanjang meskipun kadar fibrinogennya normal. Hal ini dikarenakan
adanya cacat fungsional pada fibrinogen yang beredar. Waktu reptilase sering memanjang
dan pemeriksaan immunoelektroforesis fibrinogen menggunakan gel agarosa biasanya
menunjukkan pola migrasi protein abnormal. Disfibrinogenemia yang didapat yang
berhubungan dengan penyakit hepar dapat dibedakan dari disfibrinogenemia kongenital
karena disfibrinogenemia yang didapat ini akan menunjukkan penurunan kadar faktor
pembekuan lain yang disintesis oleh hepar.
Disfibrinogenemia simptomatik diterapi dengan pemberian kriopresipitat dengan
cara yang sama seperti yang telah dijelaskan pada bagian Afibrinogenemia bab ini (yaitu
tujuannya adalah untuk mengembalikan kadar fibrinogen fungsional pada angka 50-100
mg/dL). Plasma beku segar atau konsentrat fibrinogen (misalnya Riastap) juga dapat
diberikan untuk mengembalikan tingkat fungsional fibrinogen menjadi normal. Varian
trombotik dari disfibrinogenemia memerlukan terapi antikoagulan intravena dengan heparin
unfractionated dan selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk antikoagulation oral.78

 Defisiensi Protrombin (Faktor II)


Defisiensi protrombin terdiri dari defisiensi kuantitatif (hipoprotrombinemia) atau
defisiensi kualitatif (disprotrombinemia). Protrombin biasanya dikonversi menjadi trombin
(faktor IIa) (Gambar. 16-9). Trombin diperlukan untuk konversi fibrinogen menjadi fibrin,
yang berfungsi sebagai kerangka protein bekuan darah. Disprotrombinemia merupkan
gangguan yang sangat langka, dapat berupa homozigot, heterozigot, ataupun heterozigot
gabungan.75
Individu heterozigot umumnya memiliki tingkat aktivitas protrombin sebesar 50%,
tingkat kuantitatif protrombin yang normal dan tidak menunjukkan gejala atau gejala
perdarahan hanya ringan (misalnya dapat berkembang pendarahan setelah prosedur bedah).
Individu homozigot atau gabungan heterozigot menunjukkan episode perdarahan seumur
hidupnya.75
Disprotrombinemia definitif didiagnosis menggunakan pemeriksaan aktivitas
protrombin fungsional. PT dan aPTT biasanya memanjang; keduanya terkoreksi saat
dicampur 1:1 dengan plasma normal. Gangguan fungsi hepatis dapat menyebabkan
disprotrombinemia yang didapat. Disprotrombinemia yang didapat berbeda pada gangguan
sintetis hepatis multipel yang muncul pada keadaan tidak adanya masalah perdarahan.75
Disprotrombinemia simptomatik dapat diterapi dengan pemberian plasma beku segar
dengan dosis 15 sampai 20 mL/kg diikuti dengan 3 mL/kg setiap 12 sampai 24 jam (rejimen
yang sesuai untuk individu dengan perdarahan hebat), pemberian konsentrat protrombin
kompleks dengan dosis 20 U/kg protrombin dilanjutkan dengan 5 U/kg setiap 24 jam,
pemberian harus dilakukan dengan cermat agar tidak melebihi dosis tersebut untuk
menghindari resiko tromboembolisme, atau transfusi tukar plasma untuk mengembalikan
kadar normal protrombin.75

 Keadaan Hipokoagulasi Terinduksi Obat


Komplikasi trombotik yang terkait dengan operasi dan intervensi koroner perkutan
telah mendorong dilakukannya pengembangan obat-obatan antikoagulan intravena, subkutan,
dan oral. Dua kelas umum obat antikoagulan adalah antiplatelet dan agen antitrombotik.79,80

Sangat penting untuk mengetahui profil farmakodinamik dan farmakokinetik obat


yang mempengaruhi sistem koagulasi agar dapat membuat keputusan yang aman mengenai
tindakan saat prosedur bedah. Tindakan yang aman dari anestesi regional membutuhkan
pengetahuan tentang bagaimana obat ini mempengaruhi sistem koagulasi. Waktu paruh obat
antikoagulan tidak dapat digunakan untuk memprediksi durasi efeknya pada sistem koagulasi
jika obat-obatan ini secara ireversibel menghambat satu atau lebih aspek dari sistem
koagulasi. Sebagai contoh, aspirin memiliki waktu paruh eliminasi dari 15 sampai 20 menit
tapi secara permanen menghambat aktivasi platelet melalui jalur enzimatik selektif.81
Pertimbangan rute eliminasi dan fungsi organ individu pasien diperlukan untuk memprediksi
efek obat-obatan ini. Misalnya, fungsi ginjal yang terganggu akan memperpanjang waktu
paruh eliminasi dari obat yang bergantung pada ginjal untuk membersihkan bentuk aktifnya.
Dalam beberapa kasus, supresi atau suplementasi komponen sistem koagulasi diperlukan
untuk memungkinkan pelaksanaan prosedur invasif yang aman (yaitu pasien yang secara
sistemik ter-antikoagulasi dengan heparin unfractionated mungkin memerlukan pemberian
protamine untuk menetralisir efek dari kompleks antithrombin heparin pada faktor II dan
faktor X teraktifasi).

 Agen Antirombotik

Agen antitrombotik terdiri dari 5 subkategori: heparin unfractionated (UFH),


heparin berat molekul rendah (LMWH), inhibitor faktor X teraktivasi, inhibitor trombin
langsung, dan kumarin. Agen antitrombotik digunakan baik sebagai pengobatan maupun
profilaksis terhadap kejadian trombosis.79

UFH, molekul besar yang diekstrak dari usus babi atau paru-paru sapi, memberikan
efek antitrombotik terutama melalui interaksi dengan antitrombin (Gambar. 16-9). Kompleks
heparin-antitrombin memungkinkan peningkatan sekitar 1000-kali lipat kemampuan heparin
untuk menghambat aktivitas faktor II (protrombin) dan aktivitas faktor X teraktivasi.82 Hasil
kerja UFH adalah penekanan terhadap kaskade koagulasi, sebagaimana tercermin pada
kejadian pemanjangan aPTT dan waktu pembekuan teraktivasi (ACT) yang pemanjangannya
tersebut tergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Waktu paruh efek antikoagulan dari
UFH seperti yang diperkirakan berdasarkan aPTT adalah sekitar 1,5 jam terlepas dari
besarnya dosis heparin. Sebaliknya, waktu paruh fungsional bervariasi tergantung dengan
besarnya dosis yang diberikan,mulai dari sekitar 40 sampai 150 menit, dengan dosis yang
lebih besar menghasilkan durasi efek yang lebih lama. Waktu paruh eliminasi UFH ini tidak
terpengaruh oleh kejadian disfungsi ginjal karena obat ini dibersihkan dari plasma dengan
cara pemindahan ke ruang ekstravaskular kemungkinan besar ke sistem retikuloendotelial.
Dosis UFH dihitung sesuai dengan berat badan yang sebenarnya; tergantung pada tujuan
antikoagulasi, skema pemberian dosis yang digunakan berbeda (misalnya, inisiasi bypass
kardiopulmoner membutuhkan bolus sekitar 300 U/kg, sedangkan pengobatan trombosis vena
membutuhkan bolus IV sekitar 5000 unit ditambah infus).82Monitoring laboratorium
diperlukan (misalnya, aPTT, ACT, konsentrasi heparin whole-blood, atau aktivitas anti-faktor
Xa) karena beberapa individu menunjukkan ketidakpekaan pada terapi heparin.83 Dibutuhkan
waktu 4 jam setelah penghentian terapi IV heparin untuk dapat mencapai aPTT kurang dari
35 detik, menunjukkan pengurangan efek antikoagulan UFH, sebelum memulai prosedur
bedah elektif ataupun mencoba tindakan blokade neuroaksial pusat yang aman. Alternativnya
adalah protamine sulfat IV dapat diberikan dengan cepat untuk menetralisir efek antikoagulan
UFH ini. Dalam prakteknya, protamin diberikan dalam rentang dosis 0,7-1,3 mg:100 unit
pemberian UFH, atau alternatif dosis protamine dapat dititrasi dengan memberikan dosis
kecil (25-50 mg) dan kemudian memeriksa ACT atau aPTT untuk menilai apakah nilai ACT
dan/atau aPTT tersebut telah kembalinormal. Protamine paling baik diberikan perlahan-lahan
untuk mencegah hipotensi sistemik dan/atau hipertensi pulmonum. Rekomendasi tambahan
khusus yang terkait dengan pengobatan UFH dapat ditemukan pada Pedoman Praktek Klinis
American Society of Regional Anestesi dan Pain Medicine.84

LMWH dikembangkan untuk menciptakan agen antitrombotik yang tidak


memerlukan pemantauan antikoagulan pada pasien tanpa insufisiensi ginjal. LMWH
dihasilkan dari UFH dengan proses penurunan ukuran rantai polisakarida dari molekul
heparin, menghasilkan molekul yang lebih kecil dengan aktivitas anti-aktivasi faktor X yang
poten. Baik UFH maupun LWMH membutuhkan antitrombin untuk memaksimalkan efek
kerjanya pada faktor X teraktivasi (Gambar. 16-9). Sejumlah persediaan LWMH telah siap
untuk digunakan pada penggunaan klinis: enoxaparin (Lovenox), dalteparin (Fragmin),
ardeparin (Normiflo), dan tinzaparin (Innohep). Pasien dengan insufisiensi ginjal yang
menerima LMWH memerlukan penyesuaian dosis dan pemantauan plasma aktivitas anti-
pengaktivan faktor X.85,86 Waktu paruh eliminasi berbagai sedian LMWH bervariasi mulai
dari 3 sampai 5 jam. Oleh karena itu dibutuhkan waktu 24 jam setelah pemberian dosis tinggi
LMWH (yaitu, setiap dosis enoxaparin >1 mg/kg atau dalteparin >120 U/kg) sebelum
kemudian dilakukan prosedur bedah elektif atau percobaan blockade neuroaksial pusat.84
Meskipun efek antikoagulan dari LMWH sebagian dapat dilawan balik dengan protamine
sulfat, penggunaannya telah dikaitkan dengan kejadian peningkatan komplikasi perdarahan
perioperatif, meskipun protamine telah diberikan.87

Inhibitor faktor X teraktifasi fondaparinux (Arixtra) memerlukan interaksi dengan


antitrombin untuk memaksimalkan efek antikoagulannya. Setelah terikat dengan antitrombin,
kompleks fondaparinux-antitrombin secara selektif meningkatkan kemampuan antitrombin
untuk menghambat aktivitas faktor X teraktivasi sebesar sekitar 300 kali lipat. Molekul yang
lebih kecil dari LMWH dan tidak menimbulkan pembentukan atau bereaksi dengan antibodi
faktor platelet 4 (PF4) berhubungan dengan plateletopenia tipe II terinduksi heparin. Waktu
paruh eliminasi adalah sekitar 17 sampai 21 jam. Tidak ada rekomendasi yang pasti untuk
pengelolaan obat ini sebelum mencoba tindakan blokade neuroaksial, meskipun sebenarnya
dianjurkan untuk menggunakan teknik penempatan jarum tunggal atraumatik dan
menghindari pemasangan kateter dalam waktu lama jika prosedur neuroaksial diperlukan.
Meskipun tidak ada rekomendasi berbasis bukti, menunda operasi elektif selama kurang lebih
5 waktu paruh, atau 4 hari, adalah strategi manajemen konservatif yang baik untuk pasien
yang diobati dengan obat ini.84 Karena hanya ada gangguan metabolisme yang minimal dan
rute utama dari eliminasi adalah ginjal, penyesuaian dosis diperlukan untuk pasien dengan
insufisiensi ginjal. Pemeriksaan kadar plasma anti-faktor X teraktivasi tidak diperlukan dalam
kasus ketiadaan insufisiensi renal.85

Inhibitor trombin langsung (DTI) terdiri dari dabigatran (Pradaxa), lepirudin


(Refludan), argatroban, desirudin (Iprivask), dan bivalirudin (Angiomax). Obat-obat ini
memaksimalkan efek mereka dengan melakukan interaksi dengan trombin yang bebas atau
terikat dengan clot untuk menghambat konversi fibrinogen menjadi fibrin (Gambar. 16-9).
DTI tidak bergantung pada adanya antitrombin untuk melakukan kerja mereka. Obat-obatan
ini diberikan untuk mengobati atau mencegah kejadian trombosis, termasuk pengobatan
pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan dengan atau beresiko untuk mengalami
plateletopenia terinduksi heparin (argatroban) atau PCI (bivalirudin).88 Waktu paruh obat ini
bervariasi (Tabel 16 -13). Bivalirudin baru-baru ini menunjukkan bahwa antikoagulan ini
aman dan efektif untuk pasien bedah jantung yang memerlukan bypass kardiopulmoner.89,90
Meskipun tidak ada rekomendasi berbasis bukti, manajemen konservatif menunjukkan bahwa
pasien dengan infus kontinu DTI seharusnya dihentikan dalam 5 waktu paruh eliminasi
sebelum operasi atau blokade neuroaksial; tidak ada obat antidotum untuk perdarahan terkait
DTI.84 DTI tidak menimbulkan pembentukan atau bereaksi silang dengan antibodi PF4 terkait
dengan plateletopenia tipe II terinduksi heparin dan karena itu berguna untuk mencegah dan
mengobati peristiwa trombosis pada pasien dengan sindrom ini. Efek klinis dari DTI biasanya
diikuti dengan perubahan aPTT atau ACT. Dabigatran adalah satu-satunya DTI oral
berlisensi FDA yang tersedia di Amerika Serikat dan memiliki waktu paruh sekitar 17 jam
(jauh lebih panjang dari waktu paruh DTI IV) pada pasien dengan fungsi ginjal normal, perlu
dilakukan penghentian obat ini sekitar 4 sampai 5 hari sebelum menerapkan tindakan blokade
neuroaksial pusat atau prosedur anestesi regional.84,91

Coumarin, subkelas dari antitrombotik oral, memaksimalkan efek antikoagulan


mereka dengan menghambat sintesis hepatik faktor koagulasi yang tergantung vitamin K.
Coumarin menghambat sintesis faktor II, VII, IX, dan X serta protein C dan S. Penilaian PT
atau rasio normalisasi internasional (INR) dapat digunakan untuk mengukur kadar atau
aktivitas yang rendah dari protein koagulasi spesifik ini. Faktor koagulasi yang tergantung
vitamin K berpartisipasi pada jalur koagulasi ekstrinsik dan jalur umum (Gambar 16-9.); oleh
karena itu, PT atau INR adalah pemeriksaan terbaik untuk menilai efek Coumarin. PT
dilaporkan sebagai INR untuk menghindari variasi nilai mutlak PT antar-laboratorium.79
Warfarin adalah satu-satunya coumarin berlisensi FDA. Obat ini dimetabolisme oleh hepar
dan memiliki waktu paruh eliminasi dari 20 jam sampai 60 jam. Efek antikoagulan dari
warfarin memerlukan waktu beberapa hari untuk mereda tergantung pada tingkat efek
warfarin itu sendiri. Pemberian vitamin K akan mengurangi waktu efek warfarin mereda, tapi
mungkin akan sulit untuk mencapai kembali efek terapetik warfarin, sehingga menyulitkan
terapi antikoagulasi pasca operasi. Alternativnya adalah pemberian plasma beku segar akan
mengembalikan efek antikoagulan dari warfarin. Namun, antikoagulasi bisa timbul kembali
beberapa jam kemudian terkait semakin lama waktu paruh warfarin jika dibandingkan kadar
faktor koagulasi yang dihambat maka semakin cepat efek warfarin timbulkembali (waktu
paruh warfarin adalah 20-60 jam; waktu paruh faktor VII adalah sekitar 6 jam). Pemberian
konsentrat kompleks protrombin (misalnya, Beriplex) mungkin menawarkan pilihan lain
untuk mengembalikan dengan cepat dan efektif efek warfarin ini. Perdarahan operasi yang
berlebihan dan anestesi neuroaksial terkait dengan hematoma spinal atau epidural dapat
terjadi jika warfarin tidak dinetralisir.84 Individu dengan peningkatan resiko trombosis yang
serius harus diberi antikoagulan dengan agen antitrombotik kedua via intravena atau subkutan
(misalnya, UFH, LMWH, atau inhibitor trombin langsung aksi cepat) sebelum warfarin
dihentikan atau dinetralkan. Titrasi terapi antitrombotik sangat kompleks jika digunakan lebih
dari 1 agen antitrombotik atau ketika defisiensi faktor sudah ada sebelumnya.

Pedoman dariAmerican Society of Regional Anesthesia merekomendasikan


penghentian warfarin 5 hari sebelum mencoba tindakan blokade neuroaksial pusat atau
anestesi regional dan memverifikasi bahwa efek warfarin telah mereda dengan dasar nilai
INR <1.4.84

 Agen Antiplatelet

5 subkategori agen antiplatelet antara lain obat anti inflamasi nonsteroid, inhibitor
reseptor glikoprotein IIb / IIIa, inhibitor adhesi platelet, platelet adenosine diphosphate
(ADP) antagonis reseptor, dan agen pembatas produksi platelet. Plateletdapat diaktifkan
dengan lebih dari 1 stimulus dan karena itu tidak semua agen antiplatelet akan membuat
pasien bedah memiliki peningkatan resiko pendarahan. Memang sebenarnya obat antiplatelet
telah terbukti cukup bermanfaat untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular.92,93
Meningkatnya penggunaan obat herbal di Amerika Serikat telah menarik perhatian terhadap
efek antikoagulan dari agen ini; Data berbasis bukti yang menggambarkan interaksi obat
herbal dengan obat lain dan efeknya pada perjalanan klinis patients bedah sangat
terbatas.84,94,95

Tabel 16-13 Waktu paruh Obat DTI

Obat Anti-inflamasi Nonsteroid.Aspirin memberikan efek antiplatelet yang


bersifat ireversibel dalam menghambat enzim siklooksigenase platelet. Hal Ini mencegah
pembentukan tromboksan A2 dari asam arakidonat untuk membentuk platelet, yang pada
gilirannya akan mencegah aktivasi platelet dan agregasi serta pelepasan tromboksan A2, yang
notabene akan memicu aktivasi plateletlebih lanjut. Platelet yang normal memiliki rata-rata
waktu hidup sekitar 10 hari; sehingga bisa memakan waktu hingga 5 hari untuk setengah
fungsi normal platelet dapat kembali setelah pengobatan dengan aspirin, meskipun
pengukuran konsentrasi platelet hasilnya normal. Waktu paruh aspirin adalah 15 sampai 20
menit dalam plasma, dan mengalami metabolisme terutama di hepar serta mengalami
metabolisme esterase di plasma. Obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) lain, seperti
ibuprofen, ketorolak, dan naproxen, menghasilkan penghambatan siklooksigenase platelet
secara reversibel. Oleh karena itu, kembalinya fungsi platelet berkorelasi dengan waktu paruh
obat dan manajemen perioperatif dengan agen-agen antiplatelet ini mudah dicapai bila kita
menganggap bahwa setelah menunggu 5 waktu paruh berlalu setelah dosis terakhir, efek dari
NSAID ini akan benar-benar hilang. Untuk aspirin diperlukan strategi pengobatan
perioperatif yang berbeda. Setelah aspirin tereliminasi, efek antiplatelet aspirin hanya dapat
diatasi dengan transfusi platelet.81 Tetapi masih menjadi sebuah keraguan apakah NSAID
menyebabkan perdarahan padapasien bedah secara signifikan. Jika NSAID adalah satu-
satunya pengaruh penghambatan pada kaskade koagulasi, maka blokade neuroaksial pusat
dapat dengan aman dilakukan.84

Pada pasien tertentu dengan penyakit pembuluh darah arteri perifer yang parah,
disarankan untuk melanjutkan pemberian aspirin perioperatif.96

Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIB/ IIIA.Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIB/


IIIA yang tersedia hanya dalambentuk sediaan IV dan merupakan salah satu penghambat
fungsi platelet yang paling ampuh. Inhibitor reseptor GP IIb / IIIa disetujui untuk penggunaan
klinis di Amerika Serikat saat adalah abciximab (ReoPro), eptifibatide (Integrili), dan
tirofiban (Aggrastat). Platelet diaktifkan oleh berbagai stimulus, termasuk tromboksan, ADP,
epinefrin, serotonin, dan tegangan geser mekanik. Jalur akhir yang umum dari aktivasi
platelet akan melibatkan agregasi platelet melalui interaksi reseptor GP IIb / IIIa dengan
fibrinogen maupun vWF sebagai molekul penjembatan. Penghambatan lengkap langkah
terakhir dari agregasi platelet bisa membuat pasien benar-benar mengalami
thrombasthenic.97-99

Abciximab adalah bagian Fab dari antibodi monoklonal chimeric manusia/murine


7E3 yang bekerja dengan melawan reseptor GP IIb/IIIa platelet. Dalam dosis terapi yang
tepat akan membuat terjadinya penurunan yang signifikan pada kemampuan agregasi platelet.
Terjadi plateletopenia yang signifikan pada sekitar 1% sampai 2% pasien yang menggunakan
abciximab.97 Abciximab juga menghambat pembentukan trombus dengan menekan jaringan
trombin yang terinduksi faktor. Obat disetujui FDA untuk digunakan sebagai obat tambahan
pada intervensi koroner perkutan (PCI) dan pengobatan angina refrakter. Abciximab
memiliki waktu paruh plasma sekitar 30 menit. Namun, setelah terikat pada reseptor GP IIb /
IIIa platelet, obat ini akan tetap berada dalam sirkulasi hingga 15 hari. Mekanisme yang
terjadi adalah dugaan terjadinya proses migrasi dari platelet ke platelet. Efek anti-agregasi
berlangsung 12 sampai 48 jam. Transfusi platelet sebagian dapat mengembalikan fungsi
platelet jika perdarahan signifikan terjadi pada 12 sampai 48 jam setelah pemberian via
infus.97 Blokade neuroaksial pusat tidak boleh dilakukan dalam waktu 24 sampai 48 jam
setelah pemberian abciximab.84 Penundaan operasi jantung pada pasien dengan kondisi yang
stabil yang diobati dengan abciximab selama 12 sampai 24 jam akan memungkinkan
kembalinya fungsi platelet.

Tirofiban, antagonis kimia non-peptida dari reseptor GP IIb/IIIa platelet,


menghasilkan pengurangan tingkat agresgasi platelet reversibel sebesar >90%. Tirofiban
disetujui FDA untuk pengobatan sindrom koroner akut (ACS) pada pasien yang menjalani
angioplasti atau menjadi sedang menjalani pengobatan medis.98 Waktu paruhnya sekitar 90
hingga 180 menit; kemudian sebagian besar mengalami ekskresi melalui ginjal sebagai
produk obat yang tidak berubah. Blokade neuroaksial pusat harus ditunda selama 4 sampai 8
jam pada pasien yang menerima tirofiban.84 Tidak terjadi peningkatan resiko perdarahan
setelah bedah koroner darurat.100 Tidak ada rekomendasi khusus untuk pasien bedah umum
saat ini . Eptifibatide adalah molekul heptapeptide yang menghambat reseptor GP IIb/IIIa
platelet dan merupakan inhibitor agregasi platelet yang poten, telah mendapat persetujuan
FDA untuk digunakan dalam PCI dan pengobatan ACS. Obat ini dieliminasi dari sirkulasi
oleh ginjal dengan waktu paruh 2,5 jam. Sekitar 71% dari obat tersebut tereliminasi dalam
bentuk yang tidak mengalami metabolisme.99 Penundaan selama 4 sampai 8 jam dianjurkan
setelah penghentian obat ini sebelum mencoba blokade neuroaksial pusat.84 Data dari
percobaan besar menunjukkan bahwa aman untuk melakukan operasi koroner dalam waktu 2
jam setelah penghentian eptifibatide.99

Antagonis ADP Clopidogrel (Plavix), tiklopidin (Ticlid), dan prasugrel (Effient)


adalah antagonis reseptor ADP yang disetujui FDA, secara selektif dan ireversibel
menghambat agregasi platelet yang diinduksi ADP dengan mengeblok reseptor P2Y12 ADP
di permukaan platelet. Agen oral ini kurang berefek pada prostasiklin dan sintesis
tromboksan dan bekerja dengan mencegah reseptor P2Y12 ADP platelet dari transmisi sinyal
ke platelet untuk mengaktifkan kompleks reseptor GP IIb/IIIa.
Clopidogrel disetujui penggunaannya oleh FDA untuk mengurangi kejadian
trombosis terkait infark miokard atau stroke dan penyakit arteri perifer. Selain itu, clopidogrel
disetujui untuk pengobatan PCI dan manajemen medis sindrom koroner akut. Clopidogrel
dan ticlopidine mengalami metabolisme hepatik yang luas. Clopidogrel diekskresikan dalam
urin dan feses. Waktu paruh clopidogrel adalah sekitar 8 jam.101 Sifat ireversibel efek inhibisi
clopidogrel pada platelet membutuhkan 5 sampai 7 hari sebelum jumlah platelet fungsional
kembali normal. Tujuh hari merupakan waktu yang direkomendasikan setelah pengobatan
dengan obat ini sebelum dilakukan tindakan blokade neuroaksial sentral.84 Pasein yang
diobati dengan Clopidogrel menunjukkan perdarahan yang signifikan dan transfusi
dibutuhkan setelah tindakan bedah jantung.102 Rekomendasi berbasis bukti belum ada untuk
pasien bedah umum saat ini.

Tiklopidin merupakan obat yang disetujui FDA untuk stenting koroner dalam
hubungannya dengan terapi aspirin. Tiklopidin juga disetujui FDA untuk terapi profilaksis
pada stroke tromboemboli. Setidaknya 1 metabolit dari tiklopidin adalah inhibitor poten
agregasi platelet yang diinduksi ADP. Metabolit ini diekskresikan terutama melalui urin.
Tiklopidin dilaporkan memiliki waktu paruh 12,6 jam, yang meningkat secara dramatis
dalam 5 hari dengan dosis yang diulang. Tiklopidin digunakan lebih jarang daripada
clopidogrel karena efek toksisitas (misalnya neutropenia, agranulositosis, dan purpura
plateletopenia trombosis.103 Penundaan dalam waktu 14 hari setelah penghentian obat ini
dianjurkan sebelum mencoba tindakan blokade neuroaksial pusat.84 Rekomendasi berbasis
bukti tidak ada untuk pasien bedah umum saat ini.

Baru-baru ini inhibitor reseptor P2Y12 yang disetujui FDA , prasugrel,


dimetabolisme oleh usus dan serum esterases sebaik seperti jika dimetabolisme oleh hepar.
Obat ini diberikan untuk mengurangi angka kejadian kardiovaskular trombotik (termasuk
stent trombosis) pada pasien dengan ACS yang diterapi dengan PCI. Efek prasugrel pada
platelet analog dengan clopidogrel dan akan berkurang sekitar 5 sampai 9 hari setelah
penghentian. Obat ini memiliki waktu paruh sekitar 7 jam, yang irelevan karena obat ini
secara ireversibel menghambat agregasi platelet yang dimediasi ADP.104 Rekomendasi
perioperatif berhubungan dengan perdarahan dan anestesi regional identik dengan
penggunaan clopidogrel.

Inhibitor Adhesi Platelet. Dipyridamole (Persantine, Aggrenox) dan cilostazol


(Pletal) adalah obat yang diklasifikasikan sebagai inhibitor adhesi platelet. Dipyridamole,
tersedia dalam bentuk sediaan oral dan IV, memiliki mekanisme kerja kompleks yang
akhirnya menghambat agregasi platelet dengan memblokir aktivasi platelet dengan ADP,
kolagen, dan platelet-activating factor. Dipyridamole disetujui FDA untuk digunakan sebagai
terapi tambahan bersama dengan warfarin untuk profilaksis terhadap komplikasi
tromboemboli terkait dengan penggantian katup jantung dan untuk digunakan dengan talium
dalam studi pencitraan miokard. Obat ini juga diberikan untuk mencegah kejadian
tromboemboli yang terkait dengan operasi koroner. Dipyridamole mengalami metabolism
hepatik dan memiliki waktu paruh sekitar 9 sampai 13 jam.105

Terapi Dipyridamole dikaitkan dengan kejadian perdarahan. Resiko yang timbul bisa
lebih besar bila dipyridamole dikombinasikan dengan aspirin. Kombinasi dipyridamole dan
aspirin, Aggrenox, tersedia dalam bentuk sediaan komersial. Aggrenox disetujui FDA untuk
digunakan sebagai profilaksis kejadian serebrovaskular pada pasien dengan riwayat stroke
atau TIA.106 Dirkomendasikan untuk menunda tindakan anestesi neuroaksial pusat selama 7
hari setelah terapi Aggrenox untuk memungkinkan terjadinya pemulihan trombosit yang
normal sekitar 50%. Beberapa publikasi literatur tidak menyarankan penggunaan
dipyridamole saja sebelum dilakukan operasi elektif atau blokade neuroaksial; namun, karena
dipyridamole bekerja dengan menekan agregasi platelet, mungkin suatu hal yang bijaksana
untuk menghindari operasi elektif dan blokade neuroaksial selama 4 hari. Satu laporan meta-
analisis menyimpulkan bahwa di antara obat antiplatelet, dipyridamole memiliki insiden
terendah dari komplikasi perdarahan.107 Dalam uji coba besar obat antiplatelet yang
digunakan untuk pencegahan stroke pada pasien medis, tidak terdapat perbedaan antara
dipyridamole dengan plasebo dalam hal terjadinya komplikasi perdarahan.108

Cilostazol meningkatkan adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular dengan


menghambat enzim phosphodiesterase III. Peningkatan kadar cAMP menyebabkan
penghambatan agregasi platelet secara reversibel. Obat ini disetujui FDA untuk digunakan
dengan tujuan pengurangan gejala klaudikasio intermiten. Obat ini secara ekstensif
dimetabolisme oleh hepar menjadi metabolit aktif yang terutama akan diekskresikan oleh
ginjal dan memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 11 sampai 13 jam. Karena tidak ada
rekomendasi berbasis bukti, pendekatan manajemen konservatif yang dilakukan adalah
menunda operasi elektif atau blokade neuroaksial pusat selama 48 jam setelah pemberian.109

 Terapi Herbal
Swamedikasi dengan terapi herbal telah meningkat di Amerika States.94 Pilihan
terapi herbal kini diakui memiliki efek yang merusak pada unsur kaskade koagulasi,
meskipun ada penelitian yang menjelaskan tentang itu masih kurang.95 Garlic, ginkgo,
ginseng, jahe, feverfew , minyak ikan, dan dong quai telah terlibat sebagai penghambat
hemostasis normal; beberapa agen ini dapat mengganggu agregasi platelet.84,94,95 Ahli
Anestesiologi selama evaluasi pra operasi harus secara rutin menanyakan apakah pasien
mengkonsumsi suplemen herbal. Pasien yang mengkonsumsi suplemen herbal harus
disarankan untuk menghentikan penggunaannya sebelum operasi. Kurangnya literatur
membuatnya hal ini menjadi sesuatu yang tidak pasti apakah perlu untuk merekomendasikan
penundaan prosedur bedah elektif atau blokade neuroaksial untuk pasien yang menggunakan
suplemen herbal ini. Ada dugaan bahwa penggunaan bersamaan antiplatelet atau agen
antitrombotik lain dengan suplemen herbal ini bisa menunjukkan efek penekan sinergis pada
sistem koagulasi.

 Keadaan Hiperkoagulasi

Trombofilia atau keadaan hiperkoagulasi, merupakan keadaan yang memungkinkan


peningkatan resiko unuk pasien bedah mengalami peristiwa trombotik pasca operasi. Banyak
dari keadaan hiperkoagulasi dikelola dengan terapi antikoagulan sistemik yang bersifat
sementara maupun seumur hidup. Pengaruh lingkungan (misalnya trauma, operasi, infeksi
atau pemberian sebuah obat) akan meningkatkan kemungkinan pasien mengalami gangguan
hiperkoagulasi kongenital ataupun hiperkoagulasi yang didapat, sehingga dapat berkembang
keadaan tromboemboli dan dapat mempengaruhi manajemen perioperatif pada pasien
ini.110,111 Beberapa trombofilia saat ini telah diketahui dan ahli anestesi harus terbiasa dengan
hal tersebut agar dapat membantu dalam menyediakan perawatan perioperatif yang optimal
pada pasien. Penghentian dan reinisiasi antikoagulan sistemik dalam periode perioperatif
paling aman dikelola bersama dengan seorang ahli hematologi.

 Defisiensi Antitrombin

Antitrombin (juga disebut antitrombin III) adalah protein plasma yang diproduksi
oleh hati berguna mencegah hiperkoagulabilitas dengan mengikat dan menetralkan trombin,
faktor IXa, Xa, XIa, dan XIIa (Gambar. 16-9). Defisiensi antitrombin (AT) dikaitkan dengan
kecenderungan untuk terjadinya trombosis. Defisiensi AT merupakan gangguan kongenital
yang diturunkan dengan sifat autosomal dominan dimana prevalensi kejadiannya 1 banding
250 sampai 500 orang.112 Individu dengan riwayat kejadian trombotik yang tidak dapat
dijelaskan harus dievaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan ini.

Defisiensi AT bisa terjadi karena adanya penurunan sintesis protein ini (tipe I) atau
karena adanya penurunan dari aktivitas protein ini walaupun kadarnya normal (tipe II). Kadar
AT sekitar 75% sampai 120% pada individu normal. Kadar AT diukur menggunakan
pemeriksaan tertentu. Keadaan penyakit yang berhubungan dengan penurunan aktivitas AT
antara lain sepsis, disseminated intravascular coagulation (DIC), luka bakar, trombosis akut,
penyakit hepar, trauma berat, dan nefritis.112

Pasien dengan defisiensi AT memiliki kecenderungan untuk memiliki trombosis


vena dalam juga dan karena itu sering dilakukan pemberian warfarin secara kontinu.
Manajemen perioperatif antikoagulan harus disesuaikan dengan intervensiatau prosedur
bedah yang direncanakan. Pembedahan menginduksi keadaan protrombotik dan
meningkatkan resiko terjadinya trombosis perioperatif.113

Antikoagulasi dengan UFH sering diperlukan pada keadaan perioperatif. Yang tidak
kalah penting, banyak pasien defisiensi AT menunjukkan resistensi relatif terhadap UFH
karena antikoagulasi UFH membutuhkan kopling dengan AT untuk menginduksi peningkatan
efek penetralan AT pada faktor prokoagulan IIa, IXa, Xa, Xia, dan XIIa.83 Pemeriksaan ACT
atau aPTT akan menunjukkan adanya resistensi heparin pada pasien dengan defisiensi AT.
Resistensi heparin dalam konteks ini didefinisikan sebagai kegagalan UFH untuk
menghasilkan kadar AACT atau aPTT yang diharapkan pada ACT atau aPTT yang
memanjang. Resistensi heparin karena defisiensi AT paling efisien diterapi dengan plasma
turunan, konsentrat AT III yang dimurnikan (Thrombate). Sebuah bolus konsentrat AT III
pada dosis 50 IU / kg telah direkomendasikan untuk pengobatan. Jika konsentrat AT III tidak
digunakan, resistensi heparin dapat diterapi dengan 2 sampai 4 unit plasma beku segar
dengan efek terapi ini dinilai dengan pemeriksaan ACT atau aPTT.114

 Defisiensi Protein C

Protein C adalah protein yang disintesis oleh hepar dengan bergantung pada vitamin
K, jika dikonversi ke bentuk aktifnya (protein C teraktivasi), efek antikoagulan terjadi
melalui interaksi dengan faktor Va dan VIIIa (Gambar. 16-9). Defisiensi protein C dapat
terjadi karena cacat kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini diperkirakan terjadi dengan
prevalensi 1 banding 200-500.115 Banyak pasien dengan defisiensi protein C menunjukkan
kecenderungan protrombotik dan memerlukan antikoagulan sistemik. Defisiensi protein C
didiagnosis dengan pemeriksaan aPTT berbasis clotting.116 Penegakan diagnosis defisiensi
protein C pada pasien yang baru saja diobati dengan warfarin merupakan sesuatu yang sangat
kompleks. Pasien dengan defisiensi protein C memerlukan intervensi bedah dengan
modifikasi perioperatif terapi antikoagulasi.

 Defisiensi Protein S

Protein S disintesis terutama di hepar dan berfungsi sebagai kofaktor untuk protein C
teraktivasi. Defisiensi kuantitatif dan kualitatif protein Skonenital telah dijelaskan. Pasien
dengan defisiensi protein S dapat memiliki kecenderungan protrombotik dan dapat
dipertahankan dengan antikoagulan oral sistemik sebagai pasien rawat jalan; Oleh karena itu,
hal ini membutuhkan modifikasi perioperatif terhadap regimen rawat jalan pasien.112

 Faktor V Leiden (Resisten Protein C Teraktivasi)

Faktor V Leiden juga disebut sebagai resistensi protein C teraktivasi, berhubungan


dengan peristiwa tromboemboli vena berulang. Hal ini disebabkan adanya single point
mutation pada gen yang mengkode faktor V. Mutasi ini biasa terjadi pada pasien yang
mengalami kejadian trombotik. Keadaan ini umumnya didiagnosis dengan pemeriksaan
berbasis aPTT. Pasien dengan mutasi faktor V Leiden mungkin mengkonsumsi antikoagulan
oral sistemik sementara atau seumur hidup.112

 Mutasi G20210 Protrombin

Protrombin atau faktor II merupakan elemen penting pada kaskade koagulasi.


Individu dengan mutasi single base pair subtitution akan mengekspresikan aktivitas
protrombin plasma yang lebih tinggi terkait dengan terjadinya penyakit tromboemboli pada
pasien ini. Gangguan ini merupakan trombofilia kedua yang paling umum terjadi dengan
prevalensi 2% pada orang kulit putih dan variasi geografis yang cukup. Keadaan ini
umumnya didiagnosis menggunakan pemeriksaan PCR.112

 Trombositopenaia Terinduksi Heparin

Trombositopenia terinduksi heparin (HIT) melibatkan respon imun terhadap


pemberian heparin berat molekul rendah maupun unfractionated yang menghasilkan aktivasi
trombosit patologis penyebab trombosis arteri dan/atau vena dengan atau tanpa iskemia dan
infark jaringan terkait. Ada 2 jenis HIT. Tipe I adalah aktivasi trombosit non-imun pada
pasien yang diterapi dengan heparin dan menyebabkan penurunan ringan trombosit yang
beredar di sirkulasi darah. HIT tipe II atau trombositopenia terinduksi heparin dengan
sindrom trombotik (HITTS) merupakan gangguan yang melibatkan sistem imun. Hal ini
disebabkan adanya interaksi dari antibodi imunoglobulin (IgG) terkait heparin dengan
kompleks molekul faktor trombosit 4 (PF4) dan heparin. Ikatan antibodi IgG-heparin-PF4
merangsang aktivasi platelet melalui reseptor FcγIIa platelet. Setelah trombosit diaktifkan
kemudian akan dirilis mediator biokimia internal yang menginduksi agregasi platelet dan
merangsang trombosit lain untuk menjadi aktif. Mediator biokimia yang sama yang
dilepaskan oleh trombosit teraktivasi juga akan merangsang pembentukan trombin. Agregasi
platelet yang terinduksi antibodi IgG-heparin-PF4 bersama dengan trombin berkontribusi
terhadap pembentukan trombus. Meskipun trombosis vena terjadi paling sering pada HIT tipe
II, trombosis arteri ternyata bisa terjadi, terutama pada lokasi gangguan arteri (misalnya
lokasi aortotomi pada operasi jantung). Trombus dapat menyebabkan iskemia dan/atau infark
organ. Kehilangan anggota tubuh dan kerusakan organ vital seperti gagal ginjal atau stroke
merupakan komplikasi dari gangguan ini.117

Banyak informasi tentang HIT tipe II yang kurang dipahami. Hanya sebagian dari
pasien yang terpapar heparin membentuk antibodi IgG yang ditujukan untuk heparin dan PF4
(biasanya disebut antibodi PF4). Hanya sebagian kecil dari pasien yang membentuk antibodi
PF4 akan menimbulkan trombositopenia dan kejadian trombotik. Setidaknya penurunan
jumlah trombosit sebesar 50% dari baseline sebelum pemberian heparin lebih baik untuk
dijadikan dasar penetapan diagnosis HIT tipe II. Penggunaan kriteria laboratorium absolut
kurang dari 150.000 trombosit/mm3 tidak sepenuhnya tepat untuk mendiagnosis HIT tipe II.
Pasien yang menghasilkan antibodi PF4 pada paparan awal heparin biasanya dalam 5 hari
kedepan akan membentuk antibodi PF4 dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan
trombositopenia.117 Pasien yang sebelumnya telah terpapar heparin dan telah menghasilkan
antibodi PF4 dalam 100 hari terakhir dapat menimbulkan trombositopenia lebih cepat.
Sebaliknya respon trombositopenik dan trombotik dapat terjadi dalam beberapa beberapa hari
hingga beberapa minggu setelah penghentian terapi heparin.118

HIT tipe II dapat didiagnosis dengan menggunakan pemeriksaan antigen (sangat


sensitif) atau pemeriksaan aktivasi platelet (sangat spesifik); pemeriksaan ini diindikasikan
pada pasien dengan riwayat trombositopenia sementara yang berhubungan dengan pemberian
heparin atau pada pasien yang menerima heparin dengan riwayat HIT tipe II sebelumnya.
Pemeriksaan antigen menggunakan enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) digunakan
untuk mendeteksi keberadaan antibodi PF4 dan telah terbukti sangat sensitif.117,119 Alat
pemeriksaan aktivasi dapat mendeteksi antibodi PF4 dengan cara mendeteksi kemampuan
antibodi PF4 tersebut mengaktifkan trombosit terkait adanya heparin. Pemeriksaan rilis
serotonin trombosit adalah contoh dari pemeriksaan aktivasi yang mendeteksi HIT tipe II
dengan mengukur pelepasan serotonin berlabel 14C dari trombosit yang diaktifkan oleh
heparin terkait adanya antibodi PF4.117

Pengobatan HIT tipe II terdiri dari penghentian heparin langsung dan lengkap dari
berbagai rute. Selain itu, antikoagulan sistemik langsung diindikasikan pada situasi
trombosis; agen pengobatan yang saat ini menjadi pilihan adalah inhibitor trombin langsung
(DTI). Setelah kadar sistemik dari DTI tercapai, antikoagulan oral dengan coumarin dapat
mulai diberikan dan DTI dihentikan. Terapi coumarin oral tidak boleh dimulai sampai
penekanan trombin yang efektif telah dicapai untuk menghindari nekrosiskulit yang diinduksi
warfarin.120

Mengingat semakin meluasnya penggunaan heparin, HIT tipe II merupakan


pertimbangan penting bagi ahli anestesi. Heparin harus dihindari pada pasien dengan HIT
tipe II dan titer antibodi PF4 ditingkatkan untuk mencegah pengendapan trombotick. Pasien
dengan sedikit riwayat titer antibodi PF4 tinggi tidak harus diobati dengan heparin jika hal ini
dapat dihindari (yakni menggunakan DTI). Tidak ada agen antidotu, yang tersedia untuk DTI;
supresi DTI terhadap trombin akan mereda ketika obat ini diliminasi dari sirkulasi.

Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan ketidakseimbangan


fisiologis antara proses pembentukan trombus dan fibrinolisis. Perdarahan patologis,
trombosis patologis atau keduanya dapat terjadi pada DIC. Banyak penyakit yang telah
diidentifikasi sebagai penyebab DIC (Tabel 16-14). Semua keadaan penyakit ini memiliki
kesamaan intenstas produksi, stimulasi berkelanjutan aksis koagulasi, dicapai oleh mediator
inflamasi dan mengakibatkan disregulasi koagulasi dan/atau fibrinolisis. Hubungan DIC
dengan peradangan dapat menjelaskan mengapa kondisi ini dikaitkan dengan sindrom
disfungsi multiorgan dan sindrom gangguan pernapasan akut, dua gangguan yang ditandai
dengan adanya regulasi respon inflamasi yang tidak adekuat. Mekanisme patofisiologi dari
DIC tidak sepenuhnya dipahami. Trombosis patologis pada tingkat mikrosirkulasi akan
menghasilkan malperfusi organ, iskemia, infark, dan disfungsi konsumsi patologis elemen
koagulasi yang penting (misalnya, trombosit, fibrinogen, dan protein koagulasi larut).
Disregulasi fibrinolisis dapat berkontribusi untuk terjadinya trombosis terkait DIC (ada
supresi berlebihan pada fibrinolisis dari inhibitor-1 activator plasminogen yang berlebihan)
atau perdarahan terkait DIC (yaitu dengan stimulasi fibrinolisis berlebihan dari mediator
peradangan tingkat tinggiseperti interleukin-1, interleukin-6, interleukin-10, dantissue
necrosis factor).121

Diagnosis DIC dilihat dari 2 sudut pandang. Pertama, karena DIC adalah manifestasi
dari proses penyakit primer, salah satu hal yang harus diselidiki adalah penyebab klinis
potensial yang dapat menimbulkan DIC tersebut (Tabel 16-14). Kedua, meskipun DIC
awalnya sering diduga sebagai diagnosis klinis, nilai-nilai laboratorium utama dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Beberapa pihak menganjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti aPTT, PT, TT, fibrinogen, kadar produk
degradasi fibrin (FDP), kadar d-dimer, dan hitung darah lengkap. Meskipun peningkatan FDP
atau d-dimer, pemanjangan aPTT, PT, dan TT serta tingkat fibrinogen yang menurun dan
konsentrasi trombosit tidak semuanya terlihat pada pasien DIC, tetapi pemeriksaan tersebut
dapat berguna untuk membuat diagnosis dengan bukti klinis yang kuat.121

Pengobatan DIC yang paling tepat adalah pengobatan yang ditujukan pada penyebab
yang mendasari gangguan tersebut (misalnya drainase abses intra-abdominal dan pemberian
antibiotik pada pasies sepsis). Usaha komprehensif untuk memperbaiki kelainan laboratorium
mungkin tidak diperlukan pada semua kasus DIC, terutama pada pasien yang memerlukan
tindakan pembedahan. Tujuan perioperatif yaitu mempertahankan konsentrasi trombosit pada
kisaran 25 000 sampai 50 000/uL dan kadar fibrinogen lebih besar dari 50 mg/dL. Namun
sedikit studi yang menjelaskan manajemen yang bagaimana yang paling efektif untuk pasien
dengan DIC. Saat ini, kecuali pada sindrom Trousseau, antikoagulan tidak dianjurkan
digunakan sebagai pengobatan DIC. Pemberian konsentrat antitrombin, meskipun dianjurkan
oleh beberapa ahli, sebenarnya juga tidak direkomendasikan.121 Pasien pendarahan DIC harus
diresusitasi dengan tepat untuk mengembalikan volume intravaskular ke tingkat yang sesuai
dengan kebutuhan perfusi organ. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, koagulopati ini tidak
akan membaik hingga penyebab DIC diobati dengan tepat.

 Hiperhomosisteinemia

Hiperhomosisteinemia telah ditetapkan sebagai faktor resiko independen terjadinya


stroke, infark miokard, penyakit arteri karotis, dan trombosis vena. Kadar homosistein plasma
sebagian ditentukan secara genetik, namun ternyata juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
khususnya oleh asupan asam folat dan vitamin B12 serta B6. Hiperhomosisteinemia terjadi
pada 10% sampai 20% dari pasien yang mengalami trombosis vena. Hiperhomosisteinemia
didiagnosis dengan mengukur kadar homosistein plasma. Tidak ada rekomendasi khusus
untuk pengelolaan perioperatif pasien dengan hiperhomosisteinemia, meskipun suplementasi
vitamin dapat mengurangi kadar homosistein plasma pada orang tua. Penurunan kadar
homosistein oleh suplementasi vitamin belum terbukti menurunkan resiko penyakit pembuluh
darah. Mungkin lebih bijak jika obat ini digunakan untuk profilaksis trombosis vena pasca
operasi, terutama pada populasi yang dianggap beresiko untuk mengalami trombosis pasca
operasi (misalnya pasien bedah ortopedi). Namun, tidak ada rekomendasi khusus tentang
regimen antitrombotik atau pengobatan antiplatelet yang terbaik.112

 Sindrom Antibodi Antipospolipid

Antibodi antifosfolipid diarahkan untuk melawan protein yang mengikat fosfolipid,


terdiri dari 2 sub kelompok utama: antikoagulan lupus dan antibodi antikardiolipin.
Antikoagulan lupus (LA) merupakan antibodi yang memperpanjang hasil pemeriksaan
koagulasi bergantung fosfolipid (misalnya aPTT). Antibodi antikardiolipin (aCL) memiliki
target berupa congener molekul cardiolipin (protein jantung sapi). Antibodi aCL memiliki
afinitas vitro untuk mengikat cardiolipin. Pasien dengan trombosis arteri atau vena (lebih
umum terjadi pada gangguan ini) yang memiliki antibodi LA dan aCL merupakan pasien
yang memiliki sindrom antibodi antiphospholipid (APS). APS primer terjadi begitu saja,
sedangkan APS sekunder terjadi akibat adanya penyakit lainnya, seperti lupus eritematosus
sistemik (SLE).112

Pengobatan APS sangat rumit karen kurangnya standarisasi laboratorium dan uji
coba pengobatan secara acak. Tergantung pada pemeriksaan ini, antibodi antifosfolipid
dilaporkan ada pada kadar hingga 10% pada orang sehat dan 30% sampai 50% pada pasien
dengan SLE. Antibodi ini lebih sering terdeteksi pada pasien dengan trombosis, tapi
hubungan kausal langsung tetap belum terbukti. Relevansi klinis dari titer antibodi
antifosfolipid transien atau titer antibodi antifosfolipid rendah sangat tidak jelas.122

Kriteria Sapporo mendefinisikan APS jika terdapat minimal 1 kriteria klinis dan 1
kriteria laboratorium. Kriteria klinis yang dimaksud antara lain trombosis arteri, vena, atau
pembuluh darah kecil terkonfirmasi, kematian janin berulang sebelum minggu ke-10
kehamilan, atau kelahiran prematur akibat insufisiensi plasenta, eklampsia, atau preeklamsia.
Kriteria laboratorium antara lain titer antibodi IgG atau IgM aCL sedang atau tinggi atau
adanya LA pada 2 atau lebih pemeriksaan terpisah setidaknya dalam waktu 6 minggu.112,122
Pasien APS dengan trombosis arteri cenderung memiliki kekambuhan, sedangkan
mereka yang mengalami trombosis vena juga cenderung mengalami kekambuhan.
Pengobatan awal terdiri dari pemberian UFH atau LMWH selama 5 hari kemudian
dilanjutkan pemberian warfarin intensitas sedang (INR 2,0-3,0) selama 6 bulan atau lebih
atau bahkan seumur hidup.112,122

Trombosis arteri pada APS paling sering melibatkan sirkulasi otak. Penelitian belum
menunjukkan perbedaan resiko kejadian trombotik pada pasien yang diobati dengan warfarin
dibandingkan pasien yang diobati dengan aspirin. Wanita hamil dengan riwayat APS dan
keguguran diberikan UFH (5000 unit subkutan dua kali sehari) dan aspirin (75-81 mg/hari).
Konsensus berpendapat bahwa aspirin 81 mg/hari dapat dipertimbangkan individudengan
APS asimtomatik yang tidak sedang hamil. Pengobatan optimal pasien dengan antibodi
antifosfolipid yang memiliki trombosis arteri dan tidak melibatkan SSP masih belum jelas.
Banyak dari pasien ini dirawat secara empiris dengan terapi warfarin jangka panjang.112,122

 Thalasemia

Thalassemia merupakan kelaianan hemolitik kongenital parsial maupun komplit


yang disebabkan adanya defisiensi hemoglobin α atau sintesis rantai β-globin. Individu karier
homozigot dari cacat gen β-globin akan menderita anemia berat dan memerlukan transfusi
darah kronis, sehingga sering mengakibatkan terjadinya kelebihan zat besi dan kegagalan
organ progresif. Seiring dengan terjadinya peningkatan perawatan kepada pasien thalassemia
maka akan terjadi pula peningkatan harapan hidup secara signifikan; biasanya juga disertai
keadaan hiperkoagulasi kronis yang berkepanjangan.123

Kejadian tromboemboli otak, trombosis vena dalam (DVT), emboli paru, dan
trombosis arteri berulang telah dijelaskan pada subtipe yang berbeda dari thalassemia.
Temuan ekokardiografi menunjukkan adanya hipertensi pulmonal dan disfungsi ventrikel
kanan pada kebanyakan pasien dengan thalassemia, sesuai dengan temuan otopsi yang umum
dimana terdapat lesi trombotik di arteri paru, memberikan dukungan kuat adanya kejadian
tromboembolisme pulmoner berulang.123

Pasien thalassemia memiliki kadar protein C dan S yang rendah, peningkatan


konsumsi platelet, dan aktivasi berkelanjutan dari trombosit, monosit, granulosit, dan
endotelium. Ada bukti yang menunjukkan adanya produksi trombin terus menerus dan
adanya peningkatan fibrinolisis. Baru-baru ini telah disarankan bahwa terapi profilaksis
antitrombotik harus diberikan kepada pasien thalassemia yang memiliki faktor resiko
terjadinya trombosis transien, seperti operasi, imobilisasi, dan kehamilan.123

 Hiperkoagulasi Paraneoplastik

Trombosis arteri dan vena dikenal sebagai salah satu komplikasi dari kanker, dengan
kejadian tromboemboli vena merupakan komplikasi yang paling umum. Trombosis saat ini
menjadi penyebab paling sering kedua kematian pada kanker. Sistem hemostatik memainkan
peran penting dalam angiogenesis tumor. Sel tumor menghasilkan faktor jaringan yang secara
langsung mengaktivasi faktor X,kemudian membentuk prokoagulan microenvironment125
(Gambar. 16-8). Interaksi monosit dan makrofag dengan sel-sel ganas menyebabkan
pelepasan tumor necrosis factor, interleukin-1, dan interleukin-6. Sitokin ini menyebabkan
kerusakan endotel dan pengelupasan sel-sel endotel akibat paparan dari permukaan
trombogenik (terpapar kolagen). Interaksi sel tumor dan makrofag juga akan mengaktifkan
trombosit, faktor XII, dan faktor X yang kemudian akan memproduksi trombin dan
selanjutnya trombosis.126 Pemberian agen kemoterapi lebih lanjut akan meningkatkan risiko
tromboemboli. Risiko-risiko tromboemboli bervariasi tergantung pada jenis tumor,
kemoterapi, penggunaan agen perangsang erythropoietin, penggunaan kateter vena sentral,
dan operasi. Banyak pasien kanker menerima terapi antikoagulan jangka panjang dengan
LMWH.126

 Purpura Trombositopenia Trombotik

Purpura trombositopenia trombotik (TTP) adalah gangguan agregasi platelet yang


menyebabkan oklusi mikrovaskuler. Gangguan ini terdiri dari bentuk familial dan bentuk
yang didapat; mekanismenya masih belum diketahui secara jelas. TTP Idiopatik tampaknya
terjadi secara acak, sedangkan obat-obat tertentu seperti tiklopidin, clopidogrel, dan berbagai
agen kemoterapi dapat dikaitkan dengan kejadian TTP. Hal ini ditandai dengan adanya
anemia hemolitik berat dan trombositopenia bersamaan dengan berbagai manifestasi
neurologis dan psikiatris lainnya. Pasien mungkin mengalami hematuria, proteinuria, dan
iskemia arteri retina, koroner, dan arteri abdominal. Pemeriksaan koagulasi biasanya
menunjukkan hasil yang normal selama tahap awal kejadian TTP, tetapi DIC dapat muncul
jika terjadi nekrosis jaringan yang signifikan. Terapi pada gangguan terdiri dari pemberian
FFP, glukokortikoid, dan pertukaran plasma dengan plasma beku segar.127

Tabel 16-14 Proses yang Dapat menginduksi DIC

Anda mungkin juga menyukai