PENDAHULUAN
Sistem koagulasi manusia melakukan pemeliharaan terhadap keseimbangan antara
hemostasis dan distribusi darah ke jaringan. Perubahan patologis dalam sistem koagulasi
dapat mengakibatkan sebuah gangguan baik keadaan hipokoagulasi (yaitu,
kecenderungan untuk perdarahan terjadi tidak seharusnya) maupun keadaan
hiperkoagulasi (yaitu, kecenderungan untuk pembentukan trombus secara tidak tepat).
Sistem koagulasi bergantung pada level dan fungsi yang sesuai ari beberapa komponen
darah untuk memungkinkan terjadinya pembekuan normal. Proses pembekuan darah
bergantung pada interaksi platelet, endotel vaskular, otot polos pembuluh darah, protein
koagulasi terlarut, dan berbagai mediator biokimia lokal dan sistemik untuk menghasilkan
clot atau bekuan hemostatik.
Proses pembekuan darah yang normal mempunyai 3 tahap yaitu:
1. Fase koagulasi
Koagulasi diawali dalam keadaan homeostasis dengan adanya cedera
vascular. Vasokonstriksi merupakan respon segera terhadap cedera, yang diikuti
dengan adhesi trombosit pada kolagen pada dinding pembuluh yang terpajan
dengan cedera. Trombosit yang terjerat di tempat terjadinya luka mengeluarkan
suatu zat yang dapat mengumpulkan trombosit-trombosit lain di tempat tersebut.
Kemudian ADP dilepas oleh trombosit, menyebabkan agregasi trombosit.
Sejumlah kecil trombin juga merangsang agregasi trombosit, bekerja memperkuat
reaksi. Trombin adalah protein lain yang membantu pembekuan darah. Zat ini
dihasilkan hanya di tempat yang terluka, dan dalam jumlah yang tidak boleh lebih
atau kurang dari keperluan. Selain itu, produksi trombin harus dimulai dan
berakhir tepat pada saat yang diperlukan. Dalam tubuh terdapat lebih dari dua
puluh zat kimia yang disebut enzim yang berperan dalam pembentukan trombin.
Enzim ini dapat merangsang ataupun bekerja sebaliknya, yakni menghambat
pembentukan trombin. Proses ini terjadi melalui pengawasan yang cukup ketat
sehingga trombin hanya terbentuk saat benar-benar terjadi luka pada jaringan
tubuh. Factor III trombosit, dari membrane trombosit juga mempercepat
pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuklah sumbatan trombosit, kemudian
segera diperkuat oleh protein filamentosa (fibrin) (Sylvia dan Lloraine,2003).
Produksi fibrin dimulai dengan perubahan factor X menjadi Xa, seiring
dengan terbentuknya bentuk aktif suatu factor. Factor X dapat diaktivasi melalui
dua rangkaian reaksi. Rangkaian pertama memerlukan factor jaringan, atau
tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh endotel pembuluh darah pada saat
cedera karena faktor jaringan tidak terdapat di dalam darah, maka factor ini
merupakan factor ekstrinsik koagulasi, dengan demikian disebut juga jalur
ekstrinsik untuk rangkaian ini(Sylvia dan Lloraine,2003).
Rangkaian lainnya yang menyebabkan aktivasi factor X adalah jalur
intrinsic, disebut demikian karena rangkaian ini menggunakan factor-faktor yang
terdapat dalam system vascular plasma. Dalam rangkaian ini, terjadi reaksi
“kaskade”, aktivasi satu prokoagulan menyebabkan aktivasi bentuk pengganti.
Jalur intrinsic ini diawali dengan plasma yang keluar terpajan dengan kulit atau
kolagen di dalam pembuluh darah yang rusak. Factor jaringan tidak diperlukan,
tetapi trombosit yang melekat pada kolagen berperan. Faktor XII, XI, dan IX
harus diaktivasi secara berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor
X dapat diaktivasi. Zat-zat prakalikrein dan HMWK juga turut berpartisipasi, dan
diperlukan ion kalsium(Sylvia dan Lloraine,2003).
Dari hal ini, koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakan jalur
bersama. Aktivasi aktor X dapat terjadi sebagai akibat reaksi jalur ekstrinsik atau
intrinsik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa kedua jalur tersebut berperan
dalam hemostasis. Langkah selanjutnya pada pembentukan fibrin berlangsung jika
faktor Xa, dibantu fosfolipid dari trombosit yang diaktivasi, memecah protrombin,
membentuk trombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk
fibrin. Fibrin ini pada awalnya merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh
faktor XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jalinan fibrin yang kuat,
trombosit, dan memerangkap sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek
(retraksi bekuan), mendekatkan tepi-tepi dinding pembuluh darah yang cederadan
menutup daerah tersebut(Sylvia dan Lloraine,2003).
3. Resolusi bekuan
Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya dipecahkan oleh
plasmin (fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi fibrin, menyebabkan
hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah protein plasma
spesifik inaktif di dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik plasmin aktif. Protein
dalam bersirkulasi, yang dikenal sebagai proaktivator plasminogen, dengan
adanya enzim-enzim kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan,
serta faktor XIIa, dikatalisasi menjadi aktivator plasminogen. Dengan adanya
enzim-enzim tambahan seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah
plasminogen, suatu protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin,
menjadi plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi
fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen), yang mengganggu
aktivitas trombin, fungsi trombosit dan polimerisasi fibrin, menyebabkan
hancurnya bekuan. Makrofag dan neutrofil juga berperan dalam fibrinolisis
melalui aktivitas fagositiknya (Sylvia dan Lloraine,2003).
Keadaan Hipokoagulasi
Merupakan hal yang penting untuk dapat mengenali dan mengobati keadaan
hipokoagulasi yang sudah ada sebelumnya untuk menghindari timbulnya perdarahan masif
dan kemungkinan untuk transfusi produk darah yang tidak perlu. Pengobatan yang optimal
dari gangguan hypocoagulable adalah dilakukan dengan transfusi komponen darah yang
kurang secara selektif (misalnya, transfusi konsentrat faktor VIII daripada plasma segar beku
pada penderita hemofilia yang membutuhkan pembedahan). Keadaan Hipokoagulable baik
bawaan atau yang didapat; biasanya keduanya bisa terjadi secara bersamaan pada pasien yang
sama juga. Pengetahuan tentang kaskade koagulasi dan waktu paruh biologis elemen
koagulasi tertentu diperlukan untuk mengobati banyak gangguan hipokoagulasi secara efektif
(Gambar. 16-9, Tabel 16-8). Merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
mengkolaborasikan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan
laboratorium yang tepat untuk menemukan adanya kondisi hipokoagulable/gangguan
hiperkoagulasi bawaan dan/atau yang didapat pada pasien bedah. Setelah dianamnesis secara
langsung diketahui apakah pasien memiliki gangguan koagulasi, selanjutnya kita harus
mengajukan pertanyaan spesifik untuk memperoleh informasi tentang ada atau tidaknya
gangguan ini (Tabel 16-9). Jika jawaban pasien "ya" untuk semua pertanyaan ini, maka perlu
untuk ditanyakan tentang detail dan frekuensi masalah. Tergantung pada kompleksitas dari
keadaan hipokoagulasi atau hiperkoagulasi tersebut, konsultasi hematologi mungkin perlu
dipertimbangkan.68
Pasien dengan defisiensi faktor VIII, atau hemofilia A, mungkin dapat memerlukan
intervensi bedah yang sangat mendesak pada episode perdarahan (misalnya, kraniotomi
dekompresi perdarahan intrakranial atau fasciotomy untuk meringankan sindrom
kompartemen). Hemofilia A adalah keadaan resesif terkait-X yang terjadi dengan frekuensi 1
banding 5000 kelahiran laki-laki.69
Defisiensi pada faktor V, VII, X, dan XI telah dijelaskan semuanya dan merupakan
sesuatu yang jarang terjadi. Pembaca perlu melakukan review yang sangat mendalam tentang
gangguan ini untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, karena gangguan hipokoagulasi jenis
ini tidak dibahas dalam lingkup teks ini.75 Tabel 16-8 memberikan beberapa informasi rinci
tentang defisiensi faktor ini dan pengobatannya.
Afibrinogenemia
Fibrinogen berfungsi sebagai molekul prekursor untuk fibrin bangunan protein dari
bekuan darah. Defisiensi fibrinogen kongenital atau yang didapat menghasilkan gangguan
perdarahan yang penting secara klinis, terutama pada pasien bedah. Afibrinogenemia
homozigot kongenital merupakan gangguan yang langka yang berhubungan dengan tingkat
keparahan bervariasi pada masalah perdarahan (misalnya, mudah memar, perdarahan
mukosa, hematuria, hemartrosis, hemoperikardium, hemoperitoneum, menometrorrhagia,
komplikasi obstetri, perdarahan intraserebral, dan ruptur limpa spontan). Pasien-pasien ini
tidak memiliki fibrinogen yang terdeteksi pada serum serta memiliki PT, aPTT, dan TT
memanjang; episode plateletopenia sesekali; dan pada pemeriksaan fibrinogen plasma
menunjukkan tidak adanya fibrinogen terdeteksi.75
Tingkat fibrinogen pra operasi harus dikembalikan pada level 50 sampai 100 mg/dL
dengan memberikan infus kriopresipitat atau konsentrat fibrinogen ketegori turunan manusia
(Riastap). Lima sampai sepuluh unit kriopresipitat diperlukan untuk meningkatkan kadar
fibrinogen pada level 50 sampai 100 mg/dL. Sebuah unit tunggal kriopresipitat mengandung
sekitar 250 sampai 300 mg fibrinogen dan diharapkan dapat menaikkan tingkat fibrinogen
plasma sekitar 10 mg / dL. Kadar fibrinogen akan bertahan selama 2 sampai 4 hari setelah
pemberian. Rumus berikut ini digunakan untuk menentukan dosis yang diperlukan dari
konsentrat fibrinogen:
atau, ketika kadar fibrinogen tidak diketahui, diberikan 70 mg / kg berat badan
konsentrat fibrinogen.78 Operasi terkait perdarahan pasca operasi dengan penurunan kadar
fibrinogen harus dipantau perioperatif setiap hari. Trombosis telah dilaporkan pada pasien
dengan kadar fibrinogen normal dengan pemberian infus kriopresipitat.75,79
Disfibrinogenemia
Banyak varian disfibrinogenemia kongenital yang dikenal. Berbagai varian tersebut
memiliki berbagai kelainan konversi abnormal fibrinogen ke fibrin. Kebanyakan individu
mengalami disfibrinogenemia heterozigot dan biasanya memiliki kadar fibrinogen plasma
sebesar hampir 50% dari kadar plasma normal, sehingga memungkinkan hemostasis efektif.
Beberapa varian disfibrinogenemia memiliki kadar fibrinogen jauh di bawah normal atau
meskipun kadarnya normal biasanya berhubungan dengan masalah perdarahan jika varian
abnormal tersebut mempengaruhi fungsi fibrinogen.75
Manifestasi klinis dari disfibrinogenemia meliputi: trombosis (17%), perdarahan
ringan setelah trauma (20%), manifestasi trombotik dan hemoragik (20%), tidak ada
fenomena hemoragik atau asimptomatik (43%). pasien yang mengalami disfibrogenemia
yang menunjukkan masalah perdarahan biasanya akan bermanifestasi sebagai perdarahan
jaringan lunak, mudah memar, menorrhagia, dan paling sering perdarahan perioperatif.
Individu yang memiliki manifestasi trombosis dapat mengalami trombosis tersebut di vena
(misalnya, trombosis vena, emboli paru) maupun di arteri (misalnya, trombosis aorta dan
arteri karotis). Individu dengan manifestasi trombosis dapat memiliki gangguan sistem
koagulasi lain secara bersamaan (misalnya, mutasi Leiden faktor Vatau trombofilia lainnya)
mengakibatka kecenderungan darah tidak dapat menggumpal. Penyembuhan luka bedah yang
buruk dapat dikaitkan dengan kejadian disfibrinogenemia.75
Hasil pemeriksaan laboratorium standar untuk sistem koagulasi (misalnya, PT,
aPTT, TT) biasanya memanjang meskipun kadar fibrinogennya normal. Hal ini dikarenakan
adanya cacat fungsional pada fibrinogen yang beredar. Waktu reptilase sering memanjang
dan pemeriksaan immunoelektroforesis fibrinogen menggunakan gel agarosa biasanya
menunjukkan pola migrasi protein abnormal. Disfibrinogenemia yang didapat yang
berhubungan dengan penyakit hepar dapat dibedakan dari disfibrinogenemia kongenital
karena disfibrinogenemia yang didapat ini akan menunjukkan penurunan kadar faktor
pembekuan lain yang disintesis oleh hepar.
Disfibrinogenemia simptomatik diterapi dengan pemberian kriopresipitat dengan
cara yang sama seperti yang telah dijelaskan pada bagian Afibrinogenemia bab ini (yaitu
tujuannya adalah untuk mengembalikan kadar fibrinogen fungsional pada angka 50-100
mg/dL). Plasma beku segar atau konsentrat fibrinogen (misalnya Riastap) juga dapat
diberikan untuk mengembalikan tingkat fungsional fibrinogen menjadi normal. Varian
trombotik dari disfibrinogenemia memerlukan terapi antikoagulan intravena dengan heparin
unfractionated dan selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk antikoagulation oral.78
Agen Antirombotik
UFH, molekul besar yang diekstrak dari usus babi atau paru-paru sapi, memberikan
efek antitrombotik terutama melalui interaksi dengan antitrombin (Gambar. 16-9). Kompleks
heparin-antitrombin memungkinkan peningkatan sekitar 1000-kali lipat kemampuan heparin
untuk menghambat aktivitas faktor II (protrombin) dan aktivitas faktor X teraktivasi.82 Hasil
kerja UFH adalah penekanan terhadap kaskade koagulasi, sebagaimana tercermin pada
kejadian pemanjangan aPTT dan waktu pembekuan teraktivasi (ACT) yang pemanjangannya
tersebut tergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Waktu paruh efek antikoagulan dari
UFH seperti yang diperkirakan berdasarkan aPTT adalah sekitar 1,5 jam terlepas dari
besarnya dosis heparin. Sebaliknya, waktu paruh fungsional bervariasi tergantung dengan
besarnya dosis yang diberikan,mulai dari sekitar 40 sampai 150 menit, dengan dosis yang
lebih besar menghasilkan durasi efek yang lebih lama. Waktu paruh eliminasi UFH ini tidak
terpengaruh oleh kejadian disfungsi ginjal karena obat ini dibersihkan dari plasma dengan
cara pemindahan ke ruang ekstravaskular kemungkinan besar ke sistem retikuloendotelial.
Dosis UFH dihitung sesuai dengan berat badan yang sebenarnya; tergantung pada tujuan
antikoagulasi, skema pemberian dosis yang digunakan berbeda (misalnya, inisiasi bypass
kardiopulmoner membutuhkan bolus sekitar 300 U/kg, sedangkan pengobatan trombosis vena
membutuhkan bolus IV sekitar 5000 unit ditambah infus).82Monitoring laboratorium
diperlukan (misalnya, aPTT, ACT, konsentrasi heparin whole-blood, atau aktivitas anti-faktor
Xa) karena beberapa individu menunjukkan ketidakpekaan pada terapi heparin.83 Dibutuhkan
waktu 4 jam setelah penghentian terapi IV heparin untuk dapat mencapai aPTT kurang dari
35 detik, menunjukkan pengurangan efek antikoagulan UFH, sebelum memulai prosedur
bedah elektif ataupun mencoba tindakan blokade neuroaksial pusat yang aman. Alternativnya
adalah protamine sulfat IV dapat diberikan dengan cepat untuk menetralisir efek antikoagulan
UFH ini. Dalam prakteknya, protamin diberikan dalam rentang dosis 0,7-1,3 mg:100 unit
pemberian UFH, atau alternatif dosis protamine dapat dititrasi dengan memberikan dosis
kecil (25-50 mg) dan kemudian memeriksa ACT atau aPTT untuk menilai apakah nilai ACT
dan/atau aPTT tersebut telah kembalinormal. Protamine paling baik diberikan perlahan-lahan
untuk mencegah hipotensi sistemik dan/atau hipertensi pulmonum. Rekomendasi tambahan
khusus yang terkait dengan pengobatan UFH dapat ditemukan pada Pedoman Praktek Klinis
American Society of Regional Anestesi dan Pain Medicine.84
Agen Antiplatelet
5 subkategori agen antiplatelet antara lain obat anti inflamasi nonsteroid, inhibitor
reseptor glikoprotein IIb / IIIa, inhibitor adhesi platelet, platelet adenosine diphosphate
(ADP) antagonis reseptor, dan agen pembatas produksi platelet. Plateletdapat diaktifkan
dengan lebih dari 1 stimulus dan karena itu tidak semua agen antiplatelet akan membuat
pasien bedah memiliki peningkatan resiko pendarahan. Memang sebenarnya obat antiplatelet
telah terbukti cukup bermanfaat untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular.92,93
Meningkatnya penggunaan obat herbal di Amerika Serikat telah menarik perhatian terhadap
efek antikoagulan dari agen ini; Data berbasis bukti yang menggambarkan interaksi obat
herbal dengan obat lain dan efeknya pada perjalanan klinis patients bedah sangat
terbatas.84,94,95
Pada pasien tertentu dengan penyakit pembuluh darah arteri perifer yang parah,
disarankan untuk melanjutkan pemberian aspirin perioperatif.96
Tiklopidin merupakan obat yang disetujui FDA untuk stenting koroner dalam
hubungannya dengan terapi aspirin. Tiklopidin juga disetujui FDA untuk terapi profilaksis
pada stroke tromboemboli. Setidaknya 1 metabolit dari tiklopidin adalah inhibitor poten
agregasi platelet yang diinduksi ADP. Metabolit ini diekskresikan terutama melalui urin.
Tiklopidin dilaporkan memiliki waktu paruh 12,6 jam, yang meningkat secara dramatis
dalam 5 hari dengan dosis yang diulang. Tiklopidin digunakan lebih jarang daripada
clopidogrel karena efek toksisitas (misalnya neutropenia, agranulositosis, dan purpura
plateletopenia trombosis.103 Penundaan dalam waktu 14 hari setelah penghentian obat ini
dianjurkan sebelum mencoba tindakan blokade neuroaksial pusat.84 Rekomendasi berbasis
bukti tidak ada untuk pasien bedah umum saat ini.
Terapi Dipyridamole dikaitkan dengan kejadian perdarahan. Resiko yang timbul bisa
lebih besar bila dipyridamole dikombinasikan dengan aspirin. Kombinasi dipyridamole dan
aspirin, Aggrenox, tersedia dalam bentuk sediaan komersial. Aggrenox disetujui FDA untuk
digunakan sebagai profilaksis kejadian serebrovaskular pada pasien dengan riwayat stroke
atau TIA.106 Dirkomendasikan untuk menunda tindakan anestesi neuroaksial pusat selama 7
hari setelah terapi Aggrenox untuk memungkinkan terjadinya pemulihan trombosit yang
normal sekitar 50%. Beberapa publikasi literatur tidak menyarankan penggunaan
dipyridamole saja sebelum dilakukan operasi elektif atau blokade neuroaksial; namun, karena
dipyridamole bekerja dengan menekan agregasi platelet, mungkin suatu hal yang bijaksana
untuk menghindari operasi elektif dan blokade neuroaksial selama 4 hari. Satu laporan meta-
analisis menyimpulkan bahwa di antara obat antiplatelet, dipyridamole memiliki insiden
terendah dari komplikasi perdarahan.107 Dalam uji coba besar obat antiplatelet yang
digunakan untuk pencegahan stroke pada pasien medis, tidak terdapat perbedaan antara
dipyridamole dengan plasebo dalam hal terjadinya komplikasi perdarahan.108
Terapi Herbal
Swamedikasi dengan terapi herbal telah meningkat di Amerika States.94 Pilihan
terapi herbal kini diakui memiliki efek yang merusak pada unsur kaskade koagulasi,
meskipun ada penelitian yang menjelaskan tentang itu masih kurang.95 Garlic, ginkgo,
ginseng, jahe, feverfew , minyak ikan, dan dong quai telah terlibat sebagai penghambat
hemostasis normal; beberapa agen ini dapat mengganggu agregasi platelet.84,94,95 Ahli
Anestesiologi selama evaluasi pra operasi harus secara rutin menanyakan apakah pasien
mengkonsumsi suplemen herbal. Pasien yang mengkonsumsi suplemen herbal harus
disarankan untuk menghentikan penggunaannya sebelum operasi. Kurangnya literatur
membuatnya hal ini menjadi sesuatu yang tidak pasti apakah perlu untuk merekomendasikan
penundaan prosedur bedah elektif atau blokade neuroaksial untuk pasien yang menggunakan
suplemen herbal ini. Ada dugaan bahwa penggunaan bersamaan antiplatelet atau agen
antitrombotik lain dengan suplemen herbal ini bisa menunjukkan efek penekan sinergis pada
sistem koagulasi.
Keadaan Hiperkoagulasi
Defisiensi Antitrombin
Antitrombin (juga disebut antitrombin III) adalah protein plasma yang diproduksi
oleh hati berguna mencegah hiperkoagulabilitas dengan mengikat dan menetralkan trombin,
faktor IXa, Xa, XIa, dan XIIa (Gambar. 16-9). Defisiensi antitrombin (AT) dikaitkan dengan
kecenderungan untuk terjadinya trombosis. Defisiensi AT merupakan gangguan kongenital
yang diturunkan dengan sifat autosomal dominan dimana prevalensi kejadiannya 1 banding
250 sampai 500 orang.112 Individu dengan riwayat kejadian trombotik yang tidak dapat
dijelaskan harus dievaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan ini.
Defisiensi AT bisa terjadi karena adanya penurunan sintesis protein ini (tipe I) atau
karena adanya penurunan dari aktivitas protein ini walaupun kadarnya normal (tipe II). Kadar
AT sekitar 75% sampai 120% pada individu normal. Kadar AT diukur menggunakan
pemeriksaan tertentu. Keadaan penyakit yang berhubungan dengan penurunan aktivitas AT
antara lain sepsis, disseminated intravascular coagulation (DIC), luka bakar, trombosis akut,
penyakit hepar, trauma berat, dan nefritis.112
Antikoagulasi dengan UFH sering diperlukan pada keadaan perioperatif. Yang tidak
kalah penting, banyak pasien defisiensi AT menunjukkan resistensi relatif terhadap UFH
karena antikoagulasi UFH membutuhkan kopling dengan AT untuk menginduksi peningkatan
efek penetralan AT pada faktor prokoagulan IIa, IXa, Xa, Xia, dan XIIa.83 Pemeriksaan ACT
atau aPTT akan menunjukkan adanya resistensi heparin pada pasien dengan defisiensi AT.
Resistensi heparin dalam konteks ini didefinisikan sebagai kegagalan UFH untuk
menghasilkan kadar AACT atau aPTT yang diharapkan pada ACT atau aPTT yang
memanjang. Resistensi heparin karena defisiensi AT paling efisien diterapi dengan plasma
turunan, konsentrat AT III yang dimurnikan (Thrombate). Sebuah bolus konsentrat AT III
pada dosis 50 IU / kg telah direkomendasikan untuk pengobatan. Jika konsentrat AT III tidak
digunakan, resistensi heparin dapat diterapi dengan 2 sampai 4 unit plasma beku segar
dengan efek terapi ini dinilai dengan pemeriksaan ACT atau aPTT.114
Defisiensi Protein C
Protein C adalah protein yang disintesis oleh hepar dengan bergantung pada vitamin
K, jika dikonversi ke bentuk aktifnya (protein C teraktivasi), efek antikoagulan terjadi
melalui interaksi dengan faktor Va dan VIIIa (Gambar. 16-9). Defisiensi protein C dapat
terjadi karena cacat kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini diperkirakan terjadi dengan
prevalensi 1 banding 200-500.115 Banyak pasien dengan defisiensi protein C menunjukkan
kecenderungan protrombotik dan memerlukan antikoagulan sistemik. Defisiensi protein C
didiagnosis dengan pemeriksaan aPTT berbasis clotting.116 Penegakan diagnosis defisiensi
protein C pada pasien yang baru saja diobati dengan warfarin merupakan sesuatu yang sangat
kompleks. Pasien dengan defisiensi protein C memerlukan intervensi bedah dengan
modifikasi perioperatif terapi antikoagulasi.
Defisiensi Protein S
Protein S disintesis terutama di hepar dan berfungsi sebagai kofaktor untuk protein C
teraktivasi. Defisiensi kuantitatif dan kualitatif protein Skonenital telah dijelaskan. Pasien
dengan defisiensi protein S dapat memiliki kecenderungan protrombotik dan dapat
dipertahankan dengan antikoagulan oral sistemik sebagai pasien rawat jalan; Oleh karena itu,
hal ini membutuhkan modifikasi perioperatif terhadap regimen rawat jalan pasien.112
Banyak informasi tentang HIT tipe II yang kurang dipahami. Hanya sebagian dari
pasien yang terpapar heparin membentuk antibodi IgG yang ditujukan untuk heparin dan PF4
(biasanya disebut antibodi PF4). Hanya sebagian kecil dari pasien yang membentuk antibodi
PF4 akan menimbulkan trombositopenia dan kejadian trombotik. Setidaknya penurunan
jumlah trombosit sebesar 50% dari baseline sebelum pemberian heparin lebih baik untuk
dijadikan dasar penetapan diagnosis HIT tipe II. Penggunaan kriteria laboratorium absolut
kurang dari 150.000 trombosit/mm3 tidak sepenuhnya tepat untuk mendiagnosis HIT tipe II.
Pasien yang menghasilkan antibodi PF4 pada paparan awal heparin biasanya dalam 5 hari
kedepan akan membentuk antibodi PF4 dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan
trombositopenia.117 Pasien yang sebelumnya telah terpapar heparin dan telah menghasilkan
antibodi PF4 dalam 100 hari terakhir dapat menimbulkan trombositopenia lebih cepat.
Sebaliknya respon trombositopenik dan trombotik dapat terjadi dalam beberapa beberapa hari
hingga beberapa minggu setelah penghentian terapi heparin.118
Pengobatan HIT tipe II terdiri dari penghentian heparin langsung dan lengkap dari
berbagai rute. Selain itu, antikoagulan sistemik langsung diindikasikan pada situasi
trombosis; agen pengobatan yang saat ini menjadi pilihan adalah inhibitor trombin langsung
(DTI). Setelah kadar sistemik dari DTI tercapai, antikoagulan oral dengan coumarin dapat
mulai diberikan dan DTI dihentikan. Terapi coumarin oral tidak boleh dimulai sampai
penekanan trombin yang efektif telah dicapai untuk menghindari nekrosiskulit yang diinduksi
warfarin.120
Diagnosis DIC dilihat dari 2 sudut pandang. Pertama, karena DIC adalah manifestasi
dari proses penyakit primer, salah satu hal yang harus diselidiki adalah penyebab klinis
potensial yang dapat menimbulkan DIC tersebut (Tabel 16-14). Kedua, meskipun DIC
awalnya sering diduga sebagai diagnosis klinis, nilai-nilai laboratorium utama dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Beberapa pihak menganjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti aPTT, PT, TT, fibrinogen, kadar produk
degradasi fibrin (FDP), kadar d-dimer, dan hitung darah lengkap. Meskipun peningkatan FDP
atau d-dimer, pemanjangan aPTT, PT, dan TT serta tingkat fibrinogen yang menurun dan
konsentrasi trombosit tidak semuanya terlihat pada pasien DIC, tetapi pemeriksaan tersebut
dapat berguna untuk membuat diagnosis dengan bukti klinis yang kuat.121
Pengobatan DIC yang paling tepat adalah pengobatan yang ditujukan pada penyebab
yang mendasari gangguan tersebut (misalnya drainase abses intra-abdominal dan pemberian
antibiotik pada pasies sepsis). Usaha komprehensif untuk memperbaiki kelainan laboratorium
mungkin tidak diperlukan pada semua kasus DIC, terutama pada pasien yang memerlukan
tindakan pembedahan. Tujuan perioperatif yaitu mempertahankan konsentrasi trombosit pada
kisaran 25 000 sampai 50 000/uL dan kadar fibrinogen lebih besar dari 50 mg/dL. Namun
sedikit studi yang menjelaskan manajemen yang bagaimana yang paling efektif untuk pasien
dengan DIC. Saat ini, kecuali pada sindrom Trousseau, antikoagulan tidak dianjurkan
digunakan sebagai pengobatan DIC. Pemberian konsentrat antitrombin, meskipun dianjurkan
oleh beberapa ahli, sebenarnya juga tidak direkomendasikan.121 Pasien pendarahan DIC harus
diresusitasi dengan tepat untuk mengembalikan volume intravaskular ke tingkat yang sesuai
dengan kebutuhan perfusi organ. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, koagulopati ini tidak
akan membaik hingga penyebab DIC diobati dengan tepat.
Hiperhomosisteinemia
Pengobatan APS sangat rumit karen kurangnya standarisasi laboratorium dan uji
coba pengobatan secara acak. Tergantung pada pemeriksaan ini, antibodi antifosfolipid
dilaporkan ada pada kadar hingga 10% pada orang sehat dan 30% sampai 50% pada pasien
dengan SLE. Antibodi ini lebih sering terdeteksi pada pasien dengan trombosis, tapi
hubungan kausal langsung tetap belum terbukti. Relevansi klinis dari titer antibodi
antifosfolipid transien atau titer antibodi antifosfolipid rendah sangat tidak jelas.122
Kriteria Sapporo mendefinisikan APS jika terdapat minimal 1 kriteria klinis dan 1
kriteria laboratorium. Kriteria klinis yang dimaksud antara lain trombosis arteri, vena, atau
pembuluh darah kecil terkonfirmasi, kematian janin berulang sebelum minggu ke-10
kehamilan, atau kelahiran prematur akibat insufisiensi plasenta, eklampsia, atau preeklamsia.
Kriteria laboratorium antara lain titer antibodi IgG atau IgM aCL sedang atau tinggi atau
adanya LA pada 2 atau lebih pemeriksaan terpisah setidaknya dalam waktu 6 minggu.112,122
Pasien APS dengan trombosis arteri cenderung memiliki kekambuhan, sedangkan
mereka yang mengalami trombosis vena juga cenderung mengalami kekambuhan.
Pengobatan awal terdiri dari pemberian UFH atau LMWH selama 5 hari kemudian
dilanjutkan pemberian warfarin intensitas sedang (INR 2,0-3,0) selama 6 bulan atau lebih
atau bahkan seumur hidup.112,122
Trombosis arteri pada APS paling sering melibatkan sirkulasi otak. Penelitian belum
menunjukkan perbedaan resiko kejadian trombotik pada pasien yang diobati dengan warfarin
dibandingkan pasien yang diobati dengan aspirin. Wanita hamil dengan riwayat APS dan
keguguran diberikan UFH (5000 unit subkutan dua kali sehari) dan aspirin (75-81 mg/hari).
Konsensus berpendapat bahwa aspirin 81 mg/hari dapat dipertimbangkan individudengan
APS asimtomatik yang tidak sedang hamil. Pengobatan optimal pasien dengan antibodi
antifosfolipid yang memiliki trombosis arteri dan tidak melibatkan SSP masih belum jelas.
Banyak dari pasien ini dirawat secara empiris dengan terapi warfarin jangka panjang.112,122
Thalasemia
Kejadian tromboemboli otak, trombosis vena dalam (DVT), emboli paru, dan
trombosis arteri berulang telah dijelaskan pada subtipe yang berbeda dari thalassemia.
Temuan ekokardiografi menunjukkan adanya hipertensi pulmonal dan disfungsi ventrikel
kanan pada kebanyakan pasien dengan thalassemia, sesuai dengan temuan otopsi yang umum
dimana terdapat lesi trombotik di arteri paru, memberikan dukungan kuat adanya kejadian
tromboembolisme pulmoner berulang.123
Hiperkoagulasi Paraneoplastik
Trombosis arteri dan vena dikenal sebagai salah satu komplikasi dari kanker, dengan
kejadian tromboemboli vena merupakan komplikasi yang paling umum. Trombosis saat ini
menjadi penyebab paling sering kedua kematian pada kanker. Sistem hemostatik memainkan
peran penting dalam angiogenesis tumor. Sel tumor menghasilkan faktor jaringan yang secara
langsung mengaktivasi faktor X,kemudian membentuk prokoagulan microenvironment125
(Gambar. 16-8). Interaksi monosit dan makrofag dengan sel-sel ganas menyebabkan
pelepasan tumor necrosis factor, interleukin-1, dan interleukin-6. Sitokin ini menyebabkan
kerusakan endotel dan pengelupasan sel-sel endotel akibat paparan dari permukaan
trombogenik (terpapar kolagen). Interaksi sel tumor dan makrofag juga akan mengaktifkan
trombosit, faktor XII, dan faktor X yang kemudian akan memproduksi trombin dan
selanjutnya trombosis.126 Pemberian agen kemoterapi lebih lanjut akan meningkatkan risiko
tromboemboli. Risiko-risiko tromboemboli bervariasi tergantung pada jenis tumor,
kemoterapi, penggunaan agen perangsang erythropoietin, penggunaan kateter vena sentral,
dan operasi. Banyak pasien kanker menerima terapi antikoagulan jangka panjang dengan
LMWH.126