Anda di halaman 1dari 23

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN REFERAT

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL SEPTEMBER 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

SHAKEN BABY SYNDROM

OLEH:

Nur Martina Rufia, S.Ked (K1A1 14 035)


Waode Fitriani, S.Ked (K1A1 14 047)

PEMBIMBING:
dr. Denny Mathius, Sp.F., M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KEDOKTERAN

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Shaken Baby Syndrom


Nama : 1. Nur Martina Rufia, S.Ked (K1A1 14 035)

2. Waode Fitriani, S.Ked (K1A1 14 047)

Program Studi : Pendidikan Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada

Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas

Halu Oleo

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Denny Mathius, Sp.F., M. Kes


SHAKEN BABY SYNDROM

Nur Martina Rufia,Waode Fitriani, Denny Mathius

A. PENDAHULUAN
Kekerasan fisik adalah salah satu penyebab terbanyak cedera kepala

serius pada bayi dan anak. Kecurigaan kearah kekerasaan fisis harus

dipertimbangkan jika ditemukan anak usia kurang dari satu tahun mengalami

cedera intracranial. Shaken baby syndrome adalah salah satu bentuk dari

kekerasan fisis anak yang menyebabakan angka kematian dan kecacatan

tertinggi.1

Insiden shaken baby syndrome berkisar antara 20-30 kasus per

100.000 anak usia dibawah satu tahun, dengan kecenderungan menurun

sesuai bertambahnya usia. Angka kejadian sebenarnya diperkirakan lebih

tinggi daripada yang dilaporkan. Angka kematian diperkirakan 20%, dengan

disabilitas pada hampir dua pertiga penderita yang selamat.1

Shaken baby syndrome/ SBS merupakan kerusakan pada otak anak

yang disertai dengan perdarahan pada sisi bola mata bagian dalam dan

kadang luka-luka lain. Kerusakan pada otak tersebut disebabkan oleh karena

kekerasan pada anak yang disertai dengan ancaman dan guncangan yang

keras, dimana konsekuensi jangka panjang dapat menyebabkan kesulitan

dalam belajar, cacat secara fisik, kebutaan total atau parsial, kerusakan

pendengaran, cacat suara atau cara bicara, cacat teori, kelumpuhan, tingkah

laku yang abnormal dan kematian.2


B. DEFINISI

Shaken baby syndrome merupakan suatu terminology yang digunakan

untuk menyebut kekerasan yang dialami anak, umumnya dilakukan oleh

orang tua atau pengasuh secara sengaja ataupun tidak sengaja. Bayi

diguncang dengan kuat umumnya bertujuan menghentikan tangisan atau

rengekan. Sindrom ini biasanya dialami oleh anak berusia dibawah satu tahun

dan dapat mengakibatkan cedera otak permanen atau kematian. Diagnosis

shaken baby syndrome. didasarkan pada trias gejala klinis yakni perdarahan

subdural, perdarahan retina, dan ensefalopati. Bukti objektif dari kekerasan

seperti memar atau patah tulang tidak selalu diperlukan dalam membuat

diagnosis. 1

Istilah Shaken baby syndrome pertama kali dipopulerkan oleh John

Caffey (1972), seorang dokter radiologi pediatri yang menunjukan kumpulan

gejala berupa perdarahan retina, perdarahan subdural atau subrakhnoid, tanpa

adanya tanda cedera kepala eksternal. Sebelumnya Tardieu (1860)

melaporkan adanya pembekuan darah pada permukaan otak beberapa anak di

Paris yang meninggal karena kekerasan fisik. Pada tahun 1964, John Caffey

melaporkan adanya perdarahan subdural pada enam bayi yang meninggal

tanpa penyebab atau mekanisme cedera yang jelas. Guthkelch (1971), seorang

dokter bedah saraf berpendapat bahwa perdarahan subdural dapat disebabkan

oleh guncangan secara manual terhadap bayi, tanpa adanya benturan kepala

terhadap permukaan apapun. Satu tahun kemudian, John Caffey

memperkenalkan istilah whiplash shaken baby syndrome, yang kemudian


lebih popular dikenal dengan shaken baby syndrome. Pada tahun 2009,

American Academy of pediatrics mengeluarkan pedoman yang menyarankan

penggunaan terminology abusive head trauma dalam diagnosis atau penelitian

medis, dengan tujuan melibatkan berbagai mekanisme cedera, baik primer

ataupun sekunder yang diakibatkan oleh kekerasan pada anak. 3

C. EPIDEMIOLOGI

Shaken baby syndrome adalah salah satu bentuk kekerasan fisis pada

anak yang menyebabkan angka kematian dan kecacatan cukup tinggi.

Kekerasan menjadi penyebab ketiga cedera kepala anak setelah jatuh dan

kecelakaan bermotor di Amerika, bahkan menjadi penyebab utama pada anak

umur kurang dari satu tahun. Insiden shaken baby syndrome berkisar antara

20-30 kasus per 100.000 anak usia dibawah satu tahun, dengan

kecenderungan menurun sesuai bertambahnya usia anak. Hal ini diperkirakan

terkait dengan tangisan lama dan sulit dihentikan yang umum terjadi pada

anak kurang dari 1 tahun, dengan peningkatan mulai usia 1 bulan dan

mencapai puncak pada usia 2 bulan. 1

Angka kamatian mendekati 20% dengan disabilitas yang signifikan

pada hamper 60-70 % penderita yang hidup. Angka kematian tertinggi

didapatkan pada kelompok usia 1-2 bulan terkait dengan kerentanan anak

pada usia yang lebih muda. Anak yang lebih tua lebih mungkin bertahan

hidup, dengan kemungkinana mengalami akibat jangka panjang dari

cederanya. Kecacatan yang dapat terjadi berupa kebutaan, spastisitas, kejang,

mikrosefali, pembesaran ventrikel, atrofi serebri, atau ensefalomalasia. 1.4


D. FAKTOR RISIKO SHAKEN BABY SYNDROME

1. Episode tangisan bayi

Tangisan yang tidak bisa dihibur atau berlebihan adalah pemicu

paling umum untuk mengguncang bayi. Semua episode tangisan biasanya

meningkat pada bulan pertama setelah lahir, puncaknya pada bulan kedua,

dan menurun setelahnya. Hal Ini diekspresikan dalam grafik di bawah ini,

yang menunjukkan jam normal bayi yang menangis sejak lahir sampai usia

3 bulan. 5

Gambar 1. Jam normal bayi menangis 6

Tangisan bayi bisa menjadi masalah yang membuat frustasi bagi

orang tua dan pengasuh yang mungkin tidak mengerti bahwa tangisan

adalah tahap perkembangan normal dan akan menurun seiring

bertambahnya usia bayi. Persepsi orang tua kadang mengenggap menangis

sebagai masalah sehingga menjadi faktor risiko paling umum untuk SBS.
Masalah menangis juga terkait dengan penyapihan dini dari ASI,

seringnya mengganti susu formula, dan gejala depresi orang tua.5

2. Masalah Tidur Bayi

Lima belas hingga tiga puluh lima persen orang tua melaporkan

masalah dengan tidur bayi mereka selama 6 bulan pertama kehidupan.

Masalah tidur yang umum terjadi termasuk kesulitan membuat bayi tidur

pada awal malam dan kesulitan menenangkan bayi semalaman . Mencegah

masalah tidur bayi dapat mengurangi tingkat depresi orang tua sangat

penting dengan ibu menyusui yang mungkin enggan menerimanya

pengobatan farmakologis untuk depresi.5

3. Kelelahan dan Depresi Ibu

kelelahan ibu pascapersalinan didefinisikan sebagai

ketidakseimbangan antara aktivitas dan beristirahat. Kelelahan adalah

keadaan yang terus berlanjut melalui ritme sirkadian dan tidak dapat

dihilangkan melalui satu periode tidur.5

Sebagian besar ibu baru melaporkan masalah kelelahan, dan

tangisan bayi yang mengganggu adalah alasan yang paling sering

dilaporkan orang tua untuk berkonsultasi dengan ahli kesehatan. Tak

heran, terjadinya kelelahan pasca melahirkan dikaitkan dengan banyaknya

tangisan bayi. Dalam kasus terburuk, tangisan bayi dan peningkatan

kelelahan dapat terakumulasi menjadi lingkaran setan dan berdampak

negatif terhadap kesehatan keluarga.5


Menenangkan bayi yang menangis sambil mengatasi kelelahan

pribadi bisa menjadi tantangan. Kelelahan ibu telah diidentifikasi sebagai

prediktor depresi pascapartum, dan bayi yang terus-menerus menangis

berada pada risiko yang lebih tinggi untuk sindrom bayi terguncang atau

bentuk pelecehan anak lainnya.5

E. MEKANISME SHAKEN BABY SYNDROM

Pada prinsipnya, cedera otak dapat diakibatkan oleh mekanisme

transisional atau rotasional. Mekanisme translasional diakibatkan oleh

gerakan linear dari otak, seperti ketika jatuh, dan biasanya relative ringan,

dengan gejala paling berat berupa fraktur tengkorak. Shakem baby syndrome

terjadi akibat mekanisme akselerasi rotasional pada kepala, yang kemudian

menggerakan otak dari aksis sentral atau hubungannya dengan batang otak.

Untuk mengakibatkan shaken baby dyndrom dibutuhkan guncangan yang

cukup keras. 1

Guncangan yang cukup keras pada bayi menyebabkan gerakan kepala

bayi yang tidak terkendali, karena otot leher bayi yang belum cukup kuat

menopang kepala. Kepala bayi yang relative berat dan besar dibandingkan

ukuran tubuhnya. Selain itu, otak bayi memerlukan ruang untuk tumbuh

sehingga terdapat rongga atau celah antara tengkorak dan otak. Pergerakan

otak dalam ruang subdural ini dapat menyebabkan peregangan dan robekan

pada bridging vein yang memanjang dari korteks sampai kesinus vena duralis.

Perdarahan yang terjadi sebanyak 2-15 ml tidak signifikan untuk

menyebabkan terjadinya kehilangan darah yang berakibat fatal. Meskipun


demikian, perdarahan ini dapat menjadi petunjuk yang jelas adanya

guncangan, terutama jika tidak ditemukan riwayat trauma jika tidak

ditemukan riwayat trauma kepala berat.1

Pada shaken baby syndrome terjadinya cedera aksonal yang dikenal

dengan istilah diffuse axonal injury. Peneilitian pada binatang menunjukan

bahwa guncangan sendiri tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya diffuse

axonal injury. Kemajuan dibidang biomarker dan neuroimaging menunjukan

bahwa pada shaken baby syndrome, cedera awal diakibatkan oleh hipoksia.

Hipoksia kemudian menyebabkan terjadinya udem serebri yang diikuti

dengan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak

yang menyebabkan iskemia.7

Pernyebab awal terjadinya hipoksia adalah gangguan pernapasan yang

sering ditemukan pada bayi yang diguncang. Hasil otopsi menunjukan hal ini

mungkin diakibatkan oleh kerusakan batang otak yang khas dan disurigai

berkaitan dengan kondisi bayi dengan kepala yang relative besar disbanding

ukuran tubuh serta tonus otot leher yang lemah. Semakin muda bayi, semakin

besar risiko terjadinya cedera. Mekanisme terjadinya cedera otak pada shaken

baby syndromdapat dilihat pada gambar.2 7


Gambar 2. Mekanisme shaken baby syndrome7

A. GEJALA KLINIS PADA SHAKEN BABY SYNDROM

Gejala klinis pada Shaken baby syndrome bervariasi dari ringan

sampai berat, seperti perubahan perilaku, penurunan nafsu makan, muntah

proyektil, sulit menelan atau menghisap, sulit bernafas, kejang dan penurunan

kesadaran. Segera setelah kejadian, anak biasanya akan terlihat tidak seperti

biasanya. Gejala nonspesifik dapat menetap selama beberapa hari berupa sulit

makan, muntah, lemas atau mudah menangis. Gejala yang tidak spesifik

terkadang tidak terdiagnosis karena dianggap berkaitan dengan infeksi,

gangguan makan, atau kolik. Pada anak-anak ini, gejala dapat muncul

dikemudian hari dalam bentuk gangguan tumbuh kembang. 1

Pada cedera otak yang berat, dapat terjadi penurunan kesadaran

beberapa saat setelah kejadian. Berbeda dengan perdarahan epidural, tidak

ditemukan adanya lucid interval. Anak dapat menunjukan gejala pucat,


hipotermi dan syok. Ubun-ubun besar (fontanela) menegang/ menonjol dan

pola napas menjadi tidak teratur atau bahkan apnea. Trias gejala yang paling

sering ditemukan berupa perdarahan subdural, perdarahan retina dan

ensefalopati. 1

1. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural disebabkan oleh pergerakan otak dalam ruang

subdural yang menyebabkan peregangan dan robekan pada bridging vein

yang memanjang dari korteks sampai ke sinus vena duralis. Perdarahan ini

dapat menjadi petunjuk yang jelas adanya guncangan, terutama jika tidak

ditemukan riwayat trauma kepala berat. Perdarahan subdural yang terjadi

memiliki ukuran dan lokasi bervariasi, namun paling sering didapatkan

pada fisura interhemisfer dan lebih jarang pada konveksitas hemisfer. Pada

beberapa kondisi juga didapatkan adanya perdarahan subarachnoid.

Perdarahan subdural pada bayi umumnya diakibatkan oleh trauma kepala.

Penyebab yang lain seperti gangguan pembekuan darah, penyakit

metabolic, atau malformasi pembuluh darah,. CT-scan kepala merupakan

pemeriksaan yang umum dikerjakan pertama kali untuk melihat adanya

perdarahan subdural, yang kemudian dapat diikuti dengan pemeriksaan

MRI kepala bebrapa hari kemudia jika diperlukan. Pada gambar 3-5

terlihat perdarahan subdural pada shaken baby syndrome. 1.3


Gambar 3. Perdarahan subdural pada shaken baby syndrome1

Gambar 4. foto hasil otopsi bayi usia 4 bulan dengan perdarahan subdural

terkait shaken baby syndrome.1


Gambar 5. Gambaran CT scan menunjukan perdarahan subdural terkait

shaken baby syndrome (panah hitam) dan bridging vein (panah kuning)1

2. Perdarahan retina

Perdarahan retina merupakan salah satu gejala klasik cedera kepala

yang bukan diakibatkan kecelakaan. Perdarahan dapat terjadi unilateral

atau bilateral, dan ditemukan bersamaan dengan perdarahan subdural.

Beratnya cedera kepala berkolerelasi dengan derajat perdarahan retina.

Perubahan pertama yang terjadi adalah perdarahan intra retinal dan

subhialoid, yang diikuti oleh ablasio retina dan terakhir perdarahan

koroidal dan vitreus. Lokasi perdarahan kebanyakan ditemukan pada area

perifer, meskipun tidak mudah untuk dilihat. 1.3

Penyebab terjadinya perdarahan retina belum diketahui dengan

pasti. Bebrapa teori berpendapat, pergerakan osilasi dari lensa dan vitreus

mata akan menyebabkan traksi pada hubungan antara retina dengan

vitreous sehingga terjadi perdarahan. Teori lain berpendapat persarahan


retina terjadi sebagai akibat peningkatan tekanan intrakanial yang

kemudian menyebabkan peningkatan tekanan balik pada vena retina

sentralis. Penyebab lain perdarahan retina non-trauma adalah gangguan

pembekuan darah, vaskulopati, atau malformasi intracranial. Perdarahan

retina jugadiakibatkan oleh meningitis, hipertensi intracranial atau

kelainan metabolic. Contoh perdarhan retina diperlihatkan pada gambar 6.1

Gambar 6. Gambaran perdarahan retina dan funduskopi terkait shaken

baby syndrome1

3. Ensefalopati

Istilah ini mencakup berbagai manifestasi klinis dari deficit

neurologis yang terjadi pada shaken baby syndrome, pada shaken baby

syndrome, ensefalopati disebabkan oleh cedera otak karena udem serebri

dan atau diffuse axonal injury. Mekanisme akselerasirotasional

menyebabkan gangguan pernapasan sehingga terjadi hipoksia. Hipoksia

kemudian menyebabkan terjadinya udem serebri yang diikuti dengan

peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak,

kerusakan otak lebih lanjut diakibatkan oleh iskemia yang ditimbulkan

oleh penurunan perfusi otak, sehingga terjadi ensefalopati hipoksik


iskemik. Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat, diantaranya

perubahan perilaku, penurunan nafsu makn, muntah proyektil, sulit

menelan atau menghisap, sulit bernapas, kejang, dan penurunan

kesadaran.1,3

B. PEMERIKSAAN PADA SHAKEN BABY SYNDOROME

Pada pasien dengan gejala klinis penurunan kesadaran tanpa penyebab

yang jelas, kemungkinan kearah shaken baby syndrome harus

dipertimbangkan dengan serius. Anamnesis harus dilakukan dengan dengan

lengkap dan cermat, karena pengantar pasien yang melakukan kekerasan

mungkin tidak menyadari akibat dari tindakannya atau menutup-nutupi.

Pemeriksaan fisis untuk mencari kearah tanda-tanda kekerasan anak harus

dikerjakan menyeluruh, dengan penekanan pada trias gejala shaken baby

syndrome berupa perdarahan subdural, perdarahan retina, dan ensefalopati

seperti yang telah dijelaskan sebelumnhya. Pemeriksaan juga perlu dilakukan

untuk mencari tanda-tanda kekerasan lain pada tubuh pasien seperti memar,

patah tulang rusuk, patah tulang panjang, atau cedera abdomen. Jika

ditemukan tanda-tanda tersebut harus didokumentasikan dengan baik.1

Pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala digunakan untuk membantu

menunjukan letak kelainan di otak. Ameican Academy of pediatrics

menyarankan pemeriksaan CT-scan kepala tanpa kontras sebagai

pemeriksaan awal untuk mendeteksi adanya perdarahan subdural.

Pemeriksaan sebaiknhya memperlihatkan bone windaow dan soft tissue

widow dan dapat diulang jika ditemukan perburukan deficit neurologis.1


Pemeriksaan MRI kepala dapat dipertimbangkan 2-3 hari setelah

kejadian sebagai pemeriksaan tambahan setelah CT-scan untuk mengevaluasi

akibat lanjutan cedera otak pada bayi. Tidak tersedianya MRI dibeberapa

daerah dan keterbatasan kondisi pasien menyulitkan untuk tindakan MRI,

serta kurangnya sensitifitas dan spesifisitas MRI dalam mengevaluasi

perdarahan intracranial. 1

Pemeriksaan skeletal pada tangan, kaki, tulang panjang, tengkorak,

tulang belakang, dan rusuk sebaiknya dikerjakan segera. Fraktur multipel,

bilateral, yang melewati sutura tengkorak kemungkinan bersifat non-

accidental. Fraktur tunggal atau multiple pada midshaft atau metafisis tulang

panjang atau tulang rusuk juga menunjukan hal yang sama. Pada pasien

tertentu pemeriksaan skeletal dapat diulang dua minggu lagi dengan tujuan

menunjukan proses pembentukan callus.1

Dalam kasus yang diikuti dengan kematian, otopsi forensik wajib

dilakukan. Seringkali pemeriksaan eksternal tidak menemukan adanya luka.

Perdarahan subdural dapat dibedakan pada tingkat makroskopik karena

hematoma bilateral subdural seringkali dalam jumlah yang rendah, muncul

sebagai hematik tipis pada anak di bawah 1 tahun dan dapat meningkat

ukurannya pada anak-anak yang lebih tua. Pemeriksaan mikroskopis jaringan

otak mengungkapkan cedera aksonal difus, yang paling sering terjadi pada

anak di atas 1 tahun, disorot menggunakan penentuan imunohistokimia dari

protein prekursor beta amiloid (b-APP).8


Dalam kasus di mana SBS dicurigai, diagnosis banding harus

mengidentifikasi situasi kekerasan fisik berulang pada anak. Pemeriksa

forensik harus menyingkirkan perdarahan lama di ruang dural, ruang

leptomeningeal, parenkim serebral, meduler di tulang belakang atau di retina.

Pemeriksaan mikroskopis jaringan dengan pewarnaan Prusian blue akan

menyoroti proses perbaikan kronis di otak akibat makrofag dan astrosit yang

diaktifkan.8

Diagnosis otopsi sulit dan harus menghubungkan data yang diberikan

oleh polisi dengan cerita keluarga dan riwayat kesehatan anak sejak lahir.

Karena triad diagnosis klasik: hematoma di ruang subdural, bintik-bintik

perdarahan di lapisan retinal dan ensefalopati difus serebral tidak spesifik dan

tidak ada temuan klinis atau otopsi yang patognomonik, diagnosis harus

dibuat dengan sangat hati-hati mengingat kedua diagnosis banding klinis dan

kemungkinan trauma tak disengaja yang diderita anak.8

Interpretasi hematoma subdural yang ditemukan pada nekropsi

membutuhkan kehati-hatian yang maksimal. Hematoma subdural dapat

terjadi pada jenis trauma lain (jatuh tidak disengaja, melahirkan, setelah

prosedur pembedahan) dan / atau mungkin karena penyebab vaskular,

penyakit hematologi, penyakit metabolik, atau infeksi. Perdarahan

subarachnoid juga dapat disebabkan oleh: koagulopati, vaskulopati,

trombositopenia alloimune neonatal, defisiensi vitamin K, edema serebral,

trombosis vena intrakranial. Trombosis vena intrakranial terkait edema fokal,


perdarahan fokal: sub arachnoidian, sub spinal, subdural. Hematoma subdural

muncul juga pada penyakit menular: meningitis, ensefalitis hemoragik.8

Perdarahan di retina dan saraf optik disebabkan oleh berbagai

penyebab yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial:

infeksi, ensefalopati hipoksia, edema serebral oleh etiologi pasca trauma,

metabolik atau idiopatik. Perdarahan retina awal adalah makula kecil, terletak

di satu lapisan retina, tetapi dengan evolusi parah meluas ke semua lapisan

retina dan humor vitreus, didistribusikan lebih perifer di ora serrata.8

Pada ensefalopati biasanya ditsebakan oleh cedera aksonal difus

namun hal ini harus dibedakan karena cedera aksonal difus awalnya dianggap

sebagai efek traumatis spesifik karena gerakan tidak terbatas dan rotasi kepala

yang dipercepat. Namun, banyak penelitian yang diterbitkan baru-baru ini

menunjukkan bahwa cedera aksonal difus dapat berkorelasi baik dengan

penyakit lain yang lebih umum yang memengaruhi materi putih. Diantaranya

adalah penyakit atau kondisi demielinasi seperti sepsis yang menyebabkan

iskemia otak dan hipoksia. Dengan demikian, cedera aksonal difus adalah

istilah umum yang menyatakan semua jenis cedera aksonal baik dengan pola

traumatis dan nontraumatik yang terlibat.8

Baik ahli forensik dan dokter medis harus hati-hati membuat

metaphyseal fraktur tulang panjang dan untuk mempertimbangkan

kemungkinan diagnosis banding dengan penyakit metabolik dan gangguan

chondrodysplasic: defisiensi vitamin D, defisiensi kalsium parah,

hipofosfatemia, Sindrom Jansen. Kekurangan vitamin D (Rickets) bisa


menyebabkan osteopenia, perubahan deformasi tengkorak, pembengkakan

sendi tulang rusuk dan lesi metafisis yang khas di tulang panjang, patah

tulang patologis. Ini perubahan radiografi bersifat sementara, asimtomatik

dan dapat diartikan sebagai tanda-tanda kekerasan pada anak dalam kasus

dengan diagnosis klinis yang salah.8

C. LANDASAN HUKUM

Shaken Baby Sindrom dapat merusak sel-sel otak dan membuat otak

kekurangan oksigen, yang dapat menyebabkan kematian atau kerusakan

permanen pada otak. Ini masuk kategori penganiayaan anak (child abuse).

Mengguncang bayi bisa karena orangtua atau pengasuh tidak sabar

menghadapi anak yang terus menangis. Sesaat setelah diguncang, tangis bayi

makin menjadi dan perlahan tangis mereda karena otaknya rusak. Di sejumlah

negara, tidak sedikit orangtua yang dituntut dan dibawa ke pengadilan karena

dugaan telah terjadi Shaken Baby Sindrom ( Sindrom mengguncang bayi)

 Bab IX Pasal 89 KUHP menentukan bahwa orang pingsan atau membuat

orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 89 KUHP dapat diketahui bahwa kekerasan

adalah suatu perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan

jasmani secara tidak sah, membuat orang tidak berdaya. melakukan

kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara

tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam

senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan


melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan

atau tidak berdaya 9

 Pasal 13 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

menentukan bahwa: (1). Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,

wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,

berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi, b.

Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, c. Penelantaran, d. Kekejaman,

kekerasan dan penganiayaan, e. Ketidakadilan dan f. Perlakuan salah

lainnya. (2). Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan

segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka

pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

1. Pasal 59 menentukan:

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung

jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, korban

kekerasan baik fisik dan atau mental. 2. Pasal 64 ayat (3) menentukan:

Akan tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, 379,

dan ayat pertama dari Pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan yang

diteruskan dan jumlah dari harga kerugian atas kepunyaan orang lantaran

perbuatan terus-menerus itu semua lebih dari Rp 25,- maka masing-masing

dihukum menurut ketentuan pidana dalam Pasal 362, 372, 378, dan 406.10

3. Pasal 69 menentukan:
(1) Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan

oleh susunan dalam Pasal 10. (2) Dalam hal hakim boleh memilih antara

beberapa hukuman pokok maka pada perbandingan hanya hukuman yang

terberat saja yang boleh dipilihnya. (3) Perbandingan beratnya hukuman

pokok yang sejenis, ditentukan oleh maksimumnya. (4) Perbandingan

lamanya hukuman pokok yang tidak sejenis, begitupun hukuman pokok

yang sejenis ditentukan oleh maksimumnya. 10

4. Pasal 80 menentukan:

(1) Tiap-tiap perbuatan penuntutan mencegah daluwarsa (lihat waktu) asal

saja perbuatan itu diketahui oleh yang dituntut atau diberitahukan

kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang umum.

(2) Sesudah cegahan itu maka mulailah tempo daluwarsa (lihat waktu)

yang baru.

5. Pasal 81 menentukan: Mempertangguhkan penuntutan untuk sementara

karena ada perselisihan tentang hukum yang harus diputuskan lebih dulu

oleh satu mahkamah lain, mempertangguhkan penuntutan untuk

sementara.

6. Pasal 82 menentukan:

(1) Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang terancam hukuman

utama tak lain daripada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda

dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos

perkara, jika penuntutan telah dilakukan, dengan izin amtenar yang

ditumjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.


(2) Jika perbuatan itu terancam selainnya denda juga rampasan, maka

harus diserahkan juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar

harganya, yang ditaksir oleh amtenar yang tersebut dalam ayat pertama.

(3) Dalam hal hukuman itu ditambah disebabkan berulang-ulang membuat

kesalahan, boleh juga tambahan itu dikenakan, jika hak menuntut

hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dahulu telah gugur menurut

ayat pertama dan kedua dari pasal itu.

(4) Peraturan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa,

yang umumnya sebelum melakukan perbuatan itu belum cukup 16 (enam

belas) tahun.10
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwarba I.2016.pendekatan diagnosis dan tatalaksana awal perdarahan

intracranial pada shaken baby syndrome. PKB Ilmu Kesehatan Anak XV1.

FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

2. Mian, et al. 2014. Shaken baby syndrome: A Review. Fetal and pediatric

pathology. ttps://www.researchgate.net/publication/271220486

3. Kemp Le roux A, Burger E. 2014. Shaken Baby Syndrome: A South African

Medico-Legal Perspective. Per / Pelj (17)4

4. Scheimberg I, Mack J. 2013. ‘‘Shaken baby syndrome’’ and forensic

pathology. Forensic Science Medicine and Pathology

5. Laughton F, et al.2013. KY: Shaken baby syndrome. Atrain education.inc

6. CDC. A Journalit’s guide to shaken baby syndrome: A preventable tragedy.

Departement of health and human health center for disease control and

preventive.

7. Blumenthal I.2002.Review: shaken baby syndrome. Postgrad Med J

2002;78:732–735

8. Dunchea RM, et al. 2017. Forensic and clinical diagnosis in "shaken baby

syndrome", between child abuse and iatrogenic abuse. Journal of Mind and

Medical Sciences vol.4

9. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Kuhp) Buku Kesatu Republik

Indonedia

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak

Anda mungkin juga menyukai