Anda di halaman 1dari 51

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Waode Fitriani

NIM : K1A1 14 047

Judul Referat : Coagulation Disorder

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Tety Yuniarti Sudiro, Sp. PD FINNASIM


COAGULATION DISORDER
Waode Fitriani, Tety Yuniarti Sudiro
A. Pendahuluan
Gangguan pembekuan darah (yang juga disebut trombofilia atau
hiperkoagulasi) adalah penyakit yang melibatkan pembekuan darah secara
berlebihan – bahkan pada daerah di mana seharusnya pembekuan tidak boleh
terjadi; seperti pada pembuluh darah – sehingga mengakibatkan kondisi yang
membahayakan jiwa.
Setiap orang mengetahui bahwa pendarahan pada akhirnya akan berhenti
ketika terjadi luka atau terdapat luka lama yang mengeluarkan darah kembali.
Saat pendarahan berlangsung, gumpalan darah beku akan segera terbentuk
dan mengeras, dan luka pun pulih seketika. Sebuah kejadian yang mungkin
tampak sederhana dan biasa saja di mata Anda, tapi tidak bagi para ahli
biokimia. Penelitian mereka menunjukkan, peristiwa ini terjadi akibat
bekerjanya sebuah sistem yang sangat rumit. Hilangnya satu bagian saja yang
membentuk sistem ini, atau kerusakan sekecil apa pun padanya, akan
menjadikan keseluruhan proses tidak berfungsi.
Darah harus membeku pada waktu dan tempat yang tepat, dan ketika
keadaannya telah pulih seperti sediakala, darah beku tersebut harus lenyap.
Sistem ini bekerja tanpa kesalahan sedikit pun hingga bagian-bagiannya yang
terkecil. Jika terjadi pendarahan, pembekuan darah harus segera terjadi demi
mencegah kematian. Di samping itu, darah beku tersebut harus menutupi
keseluruhan luka, dan yang lebih penting lagi, harus terbentuk tepat hanya
pada lapisan paling atas yang menutupi luka. Jika pembekuan darah tidak
terjadi pada saat dan tempat yang tepat, maka keseluruhan darah pada
makhluk tersebut akan membeku dan berakibat pada kematian.
Proses pembekuan darah yang normal mempunyai 3 tahap yaitu:

2
1. Fase koagulasi
Koagulasi diawali dalam keadaan homeostasis dengan adanya
cedera vascular. Vasokonstriksi merupakan respon segera terhadap cedera,
yang diikuti dengan adhesi trombosit pada kolagen pada dinding
pembuluh yang terpajan dengan cedera. Trombosit yang terjerat di tempat
terjadinya luka mengeluarkan suatu zat yang dapat mengumpulkan
trombosit-trombosit lain di tempat tersebut. Kemudian ADP dilepas oleh
trombosit, menyebabkan agregasi trombosit. Sejumlah kecil trombin juga
merangsang agregasi trombosit, bekerja memperkuat reaksi.
Trombin adalah protein lain yang membantu pembekuan darah.
Zat ini dihasilkan hanya di tempat yang terluka, dan dalam jumlah yang
tidak boleh lebih atau kurang dari keperluan. Selain itu, produksi trombin
harus dimulai dan berakhir tepat pada saat yang diperlukan. Dalam tubuh
terdapat lebih dari dua puluh zat kimia yang disebut enzim yang berperan
dalam pembentukan trombin. Enzim ini dapat merangsang ataupun
bekerja sebaliknya, yakni menghambat pembentukan trombin. Proses ini
terjadi melalui pengawasan yang cukup ketat sehingga trombin hanya
terbentuk saat benar-benar terjadi luka pada jaringan tubuh. Factor III
trombosit, dari membrane trombosit juga mempercepat pembekuan
plasma. Dengan cara ini, terbentuklah sumbatan trombosit, kemudian
segera diperkuat oleh protein filamentosa (fibrin).
Produksi fibrin dimulai dengan perubahan factor X menjadi
Xa, seiring dengan terbentuknya bentuk aktif suatu factor. Factor X dapat
diaktivasi melalui dua rangkaian reaksi. Rangkaian pertama memerlukan
factor jaringan, atau tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh endotel
pembuluh darah pada saat cedera karena faktor jaringan tidak terdapat di
dalam darah, maka factor ini merupakan factor ekstrinsik koagulasi,
dengan demikian disebut juga jalur ekstrinsik untuk rangkaian ini.

3
Rangkaian lainnya yang menyebabkan aktivasi factor X adalah
jalur intrinsic, disebut demikian karena rangkaian ini menggunakan factor-
faktor yang terdapat dalam system vascular plasma. Dalam rangkaian ini,
terjadi reaksi “kaskade”, aktivasi satu prokoagulan menyebabkan aktivasi
bentuk pengganti. Jalur intrinsic ini diawali dengan plasma yang keluar
terpajan dengan kulit atau kolagen di dalam pembuluh darah yang rusak.
Factor jaringan tidak diperlukan, tetapi trombosit yang melekat pada
kolagen berperan. Faktor XII, XI, dan IX harus diaktivasi secara
berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat
diaktivasi. Zat-zat prakalikrein dan HMWK juga turut berpartisipasi, dan
diperlukan ion kalsium.
Dari hal ini, koagulasi terjadi di sepanjang apa yang dinamakan
jalur bersama. Aktivasi aktor X dapat terjadi sebagai akibat reaksi jalur
ekstrinsik atau intrinsik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa kedua
jalur tersebut berperan dalam hemostasis. Langkah selanjutnya pada
pembentukan fibrin berlangsung jika faktor Xa, dibantu fosfolipid dari
trombosit yang diaktivasi, memecah protrombin, membentuk trombin.
Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk fibrin. Fibrin ini
pada awalnya merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh faktor
XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jalinan fibrin yang kuat,
trombosit, dan memerangkap sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian
memendek (retraksi bekuan), mendekatkan tepi-tepi dinding pembuluh
darah yang cederadan menutup daerah tersebut.

2. Penghentian pembentukan bekuan


Setelah pembentukan bekuan, sangat penting untuk melakukan
pengakhiran pembekuan darah lebih lanjut untuk menghindari kejadian
trombotik yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh pembentukan
bekuan sistemik yang berlebihan. Antikoagulan yang terjadi secara alami

4
meliputi antitrombin III (ko-faktor heparin), protein C dan protein S.
Antitrombin III bersirkulasi secara bebas di dalam plasma dan
menghambat sistem prokoagulan, dengan mengikat trombin serta
mengaktivasi faktor Xa, IXa, dan XIa, menetralisasi aktivitasnya dan
menghambat pembekuan. Protein C, suatu polipeptida, juga merupakan
suatu antikoagulan fisiologi yang dihasilkan oleh hati, dan beredar secara
bebas dalam bentuk inaktif dan diaktivasi menjadi protein Ca. Protein C
yang diaktivasi menginaktivasi protrombin dan jalur intrinsik dengan
membelah dan menginaktivasi faktor Va dan VIIIa. Protein S
mempercepat inaktivasi faktor-faktor itu oleh protein protein C.
Trombomodulin, suatu zat yang dihasilkan oleh dinding pembuluh darah,
diperlukan untuk menimbulkan pengaruh netralisasi yang tercatat
sebelumnya. Defisiensi protein C dan S menyebabkan spisode trombotik.
Individu dengan faktor V Leiden resisten terhadap degradasi oleh protein
C yang diaktivasi.

3. Resolusi bekuan
Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian yang fibrinnya
dipecahkan oleh plasmin (fibrinolisin) menjadi produk-produk degradasi
fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Diperlukan beberapa interaksi
untuk mengubah protein plasma spesifik inaktif di dalam sirkulasi menjadi
enzim fibrinolitik plasmin aktif. Protein dalam bersirkulasi, yang dikenal
sebagai proaktivator plasminogen, dengan adanya enzim-enzim kinase
seperti streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan, serta faktor XIIa,
dikatalisasi menjadi aktivator plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim
tambahan seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah
plasminogen, suatu protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan
fibrin, menjadi plasmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan
fibrinogen menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen),

5
yang mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit dan polimerisasi
fibrin, menyebabkan hancurnya bekuan. Makrofag dan neutrofil juga
berperan dalam fibrinolisis melalui aktivitas fagositiknya.

Dalam kenyataannya tidak semua orang mempunyai mekanisme


pembekuan darah yang normal, ada juga orang yang mengalami gangguan
pembekuan darah. Gangguan pembekuan darah diartikan sebagai keadaan
dimana terjadi gangguan pada proses sumbat terhadap perdarahan yang
terjadi. Gangguan pembekuan darah dapat disebabkan oleh faktor genetik,
supresi komponen genetik, atau konsumsi komponen pembekuan. Dalam
paper ini akan dibahas beberapa contoh penyakit akibat gangguan pembekuan
darah, antara lain:
 Kongenital
1. Hemofilia
2. Von Willebran
 Didapat
1. D.I.C (disseminated intravascular coagulation) atau pembekuan
intravaskuler tersebar
2. Penyakit Hati
3. Defisiensi Vitamin K
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. HEMOFILIA
a. DEFINISI

6
Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah bawaan
yang pertama dikenal dan sudah banyak diketahui sejak tahun 1911. Pada
waktu itu penyakit hemofilia sudah diketahui sebagai akibat gangguan
pembekuan darah bawaan laki-laki yang diturunkan seorang wanita sehat.

b. EPIDEMIOLOGI
Laporan dari badan dunia menyebutkan insidensi hemofilia A berkisar
antara 1 kasus/5000 laki-laki, dan diperkirakan 1/3 diantaranya tidak
didapatkan riwayat keluarga dengan hemofilia. Hemofilia B berkisar antara 1
kasus/25.000 laki-laki, merupakan ¼ dari seluruh kasus hemophilia.
Insidensi hemofilia A di Eropa dan Amerika Utara berkisar antara 1
kasus diantara 5000 bayi laki-laki yang lahir hidup. Insidensi hemofilia B
berkisar antara 1 kasus diantara 30.000 bayi laki-laki yang lahir hidup. Di
Amerika Serikat prevalensi hemofilia A berkisar antara 20,6 kasus diantara
100.000 laki-laki dan 60% diantaranya berat. Sedangkan untuk hemofilia B
berkisar antara 5,3 kasus/100.000 laki-laki, 44% diantaranya berat.
Sementara itu menurut Rebecca Elstrom (2002) dari University of
Pennsylvania Medical Center Philadelphia, insidensi hemofilia A pada pria
adalah 1 : 5.000, dan insidensi hemofilia B berkisar 1 : 32.000 pria.
Sedangkan untuk hemofilia C prevalensi tertinggi diderita orang-orang
Ashkenazi Jews (di Israel, diperkirakan sekitar 8%). Di Inggris, 383 pasien
menderita hemofilia C dari sekitar 59 orang penduduk. Di Perancis terdapat
39 penderita diantara 290.000 penduduk.
Prevalensi hemofilia terendah pada orang Cina. Sedangkan jika
ditinjau dari jenis kelamin, karena hemofilia dikaitkan dengan sex-linked
koagulopati yang berkaitan dengan X-linked; maka prialah yang terkena,
wanita hanya menjadi karier yang berkaitan dengan gennya dan biasanya
tidak didapatkan adanya manifestasi gangguan perdarahan.
c. ETIOLOGI

7
Hemofilia A dan hemofilia B disebabkan oleh kerusakan pada
pasangan kromosom. Defek genetik ini berpengaruh pada produksi dan fungsi
dari faktor pembekuan. Semakin sedikit faktor pembekuan tersebut maka
semakin berat derajat hemofili yang diderita. Hemofilia A disebabkan oleh
kelainan produksi dari faktor VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan oleh
kelainan produksi dari faktor IX.
Meskipun hemofilia merupakan penyakit genetik, hemofilia dapat
timbul secara spontan ketika kromosom yang normal mengalami abnormalitas
(mutasi) yang berpengaruh pada gen untuk faktor pembekuan VIII atau IX.
Anak yang mewarisi mutasi tersebut dapat lahir dengan hemofilia atau dapat
juga hanya sebagai carrier.
Sementara itu untuk hemofilia C disebabkan defisiensi kongenital
faktor XI yang disebabkan mutasi gen faktor XI. Hal ini dapat terlihat dari 6
orang Ashkenazi Jewish, dimana pada pasien hemofilia C tersebut terlihat
adanya mutasi gen faktor XI. Akibat dari mutasi ini terjadi kegagalan
produksi protein aktif yang berkaitan dengan disfungsi molekul faktor
pembekuan.
d. PATOFISIOLOGI
Mekanisme pembekuan normal pada dasarnya dibagi 3 jalur yaitu :
1. Jalur intrinsik, jalur ini dimulai aktivasi F XII sampai terbentuk F X aktif.
2. Jalur ekstrinsik, jalur ini mulai aktivasi F VII sampai terbentuk F X aktif.
3. Jalur bersama (common pathway), jalur ini dimulai dari aktivasi F X sampai
terbentuknya fibrin yang stabil.
Semua faktor yang diperlukan dalam sistem pembekuan intrinsik
terdapat dalam darah dalam bentuk inaktif, sedangkan sistem ekstrinsik
bergantung kepada suatu lipoprotein, tromboplastin, atau faktor III, yang
dilepaskan dari dalam sel yang rusak dan hanya memerlukan sebagian faktor
pembekuan dari sistem intrinsik. Tromboplastin jaringan mempunyai dua
komponen aktif, suatu enzim yang mengakibatkan faktor VII dan suatu

8
fosfolipid. Sistem pembekuan ekstrinsik dapat pula bekerja di dalam
pembuluh darah, karena endotelnya mengandung tromboplastin jaringan.
Sistem pembkuan intrinsik mula-mula dipicu melalui aktifasi faktor XII
(Hageman) antara lain oleh sejumlah kecil tromboplastin jaringan, faktor
trombosit (PF3) atau serabut kolagen, sedangkan dalam tabung reaksi
sentuhan pada permukaan asing (gelas). Faktor XIIa (aktif) kemudian
mengubah faktor XI menjadi bentuk aktifnya (XIa) dan selanjutnya mengubah
faktor IX (PTC) menjadi faktor Ixa. Faktor IXa ini bergabung dengan faktor
VIIIa (AHG yang diaktifkan oleh trombin) dan bersama-sama akan
mengaktifkan faktor X dengan adanya fosfolipid dan ion Ca+++. Kemudian
faktor Xa mengubah protrombin menjadi trombin dan ini akan mengubah
fibrinogen menjadi fibri monomer yang labil dan akhirnya oleh faktor XIII
dan trombin diubahj menjadi fibrin polimer yang stabil.

9
Faktor VIII adalah glikoprotein yang dibentuk di sel sinusoidal hati.
Produksi FVIII dikode oleh gen yang terletak pada kromosom X. di dalam
sirkulasi FVIII akan membentuk kompleks dengan faktor von Willebrand.
Faktor von Willibrand adalah protein berat molekul besar yang dibentuk di sel
endotel dan megakariosit. Fungsinya sebagai protein pembawa FVIII dan
melindunginya dari degradasi proteolisis. Di samping itu faktor von
Willebrand juga berperan pada proses adhesi trombosit. Faktor VIII berfungsi
pada jalur intrinsik sistem koagulasi yaitu sebagai kofaktor untuk F IXa dalam
proses aktivasi F X (lihat skema koagulasi). Pada orang normal aktifitas faktor
VIII berkisar antara 50-150%. Pada hemofilia A, aktifitas F VIII rendah.
faktor VIII termasuk protein fase akut yaitu protein yang kadarnya meningkat
jika terdapat kerusakan jaringan, peradangan, dan infeksi. Kadar F VIII yang
tinggi merupakan faktor resiko trombosis.
Faktor IX adalah faktor pembekuan yang dibentuk di hati dan
memerlukan vitamin K untuk proses pembuatannya. Jika tidak tersedia cukup
vitamin K atau ada antagonis vitamin K, maka yang terbentuk adalah protein
yang mirip F IX tetapi tidak dapat berfungsi. Gen yang mengatur sintesis F IX
juga terletak pada kromosom X. Faktor IX berfungsi pada jalur intrinsik
sistem koagulasi yaitu mengaktifkan faktor X menjadi Xa (lihat skema
koagulasi). Nilai rujukan aktifitas F IX berkisar 50-150%. Aktifitas F IX
rendah dijumpai pada hemofilia A, defisiensi vitamin K, antikoagulan oral,
penyakit hati.
e. MANIFESTASI KLINIS
Beratnya perdarahan pada seorang penderita hemofilia ditentukan oleh
kadar F VIII C di dalam plasma. Berdasarkan kadar FVIII C dan klinik,
hemofilia dibagi 4 golongan : (1,9,10)
a. Hemofilia berat : kadar F VIII C di dalam plasma 0-2%
Perdarahan spontan sering terjadi. Perdarahan pada sendi-sendi (hemarthrosis)
sering terjadi. Perdarahan karena luka atau trauma dapat mengancam jiwa.

10
b. Hemofilia sedang: kadar F VIII C di dalam plasma 3-5%
Perdarahan serius biasanya terjadi bila ada trauma. Hemarthrosis dapat terjadi
walaupun jarang dan akalu ada biasanya tanpa cacat.
c. Hemofilia ringan : kadar F VIII C di dalam plasma berkisar antara 6-
25%
Perdarahan spontan biasanya tidak terjadi. Hemarthrosis tidak ditemukan.
Perdarahan biasanya ditemukan sewaktu operasi berat, atau trauma.
d. Sub hemofilia
Beberapa penulis menyamakannya dengan karier hemofilia. Kadar F VIII C
26-50%. Biasanya tidak disertai gejala perdarahan. Gejala mungkin terjadi
sesudah suatu operasi besar dan lama.
Salah satu gejala khas dari hemofilia adalah hemarthrosis yaitu
perdarahan ke dalam ruang sinovia sendi, misalnya pada sendi lutut.
Persendian besar lainnya seperti lengan dan bahu juga dapat terkena.
Perdarahan ini bisa dimulai dengan luka kecil atau spontan dalam sendi.
Darah berasal dari pembuluh darah sinovia, mengalir dengan cepat mengisi
ruangan sendi. Penderita dapat merasakan permulaan timbulnya perdarahan
pada sendi ini karena ada rasa panas. Akibat perdarahan, timbul rasa sakit
yang hebat, menetap disertai engan spasme otot, dan gerakan sendi yang
terbatas. Karena perdarahan berlanjut, tekanan di dalam ruangan sendi terus
meningkat dan menyebabkan iskemia sinovia dan pembuluh-pembuluh darah
kondral. Keadaan ini merupakan permulaan kerusakan sendi yang permanen.
Akibat perdarahan yang berulang pada sendi yang sama, sering terjadi
peradangan dan penebalan jaringan sinovia, kemudian terjadi atropi otot.
Keadaan kontraksi sendi yang stabil ini merupakan predisposisi kerusakan
selanjutnya. Akhirnya kartilago dan substansi tulang hilang. Kista tulang dan
kontraktus yang permanen menyebabkan hilangnya gerakan sendi. Bisa juga
terjadi hipertrofi karena radang sinovia kronik dan menghasilkan
pembengkakan sendi yang persisten tanpa disertai nyeri yang nyata.

11
Selain hemarthrosis, ada sebuah fenomena perdarahan yang terlambat
(delayed bleeding) yang juga merupakan gejala khas dari hemofilia A.
Peristiwa ini biasanya ditemukan sesudah tindakan ekstraksi gigi. Pada
permulaan perdarahan berhenti dan sesudah beberapa jam sampai beberapa
hari kemudian, perdarahan timbul kembali. Hal ini dapat diterangkan, pada
permulaan trombosit dan pembuluh darah dapat menghentikan perdarahan
untuk sementara, tetapi karena jaringan fibrin tidak ada atau kurang terbentuk
untuk menutup luka maka timbul perdarahan kembali.
Perdarahan bawah kulit atau di dalam otot juga merupakan manifestasi
hemofilia yang paling umum. Lesi ini biasanya dimulai sebagai akibat trauma
dan menyebar mengenai satu daerah yang luas dan sering tanpa ada perbedaan
warna kulit diatasnya. Perdarahan jaringan lunak di daerah leher karena
trauma kecil bisa menyebabkan komplikasi yang serius karena jalan napas
bisa tertekan; dan bahkan menyebabkan kematian. Perdarahan di bawah leher
ini dapat terjadi sesudah anestesi mandibular, punksi vena jugular.
Pada penderita hemofili C, pada pemeriksaan fisik biasanya normal
kecuali jika terjadi manifestasi perdarahan. Pada beberapa tempat dapat terjadi
memar-memar. Pasien juga kadang mengeluhkan demam, kelemahan, dan
takikardia jika terjadi perdarahan yang masif.

f. PEMERIKSAAN
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penderita hemofilia A,
B dan C, diantaranya :
1. Pemeriksaan laboratorium :
 Derajat berat ringannya hemofilia didasarkan pada konsentrasi FVIII atau
FIX di dalam plasma.
o Kadar beberapa faktor tersebut berlawanan dengan kadar dalam plasma
dari orang normal yang diperkirakan mencapai 100-150%

12
o Usia, kehamilan, kontrasepsi dan pemberian terapi estrogen juga dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya faktor-faktor tersebut.
o Pada neonatus yang lahir prematur, kadar FIX lebih rendah 20-50% dari
kadar normal, dan akan kembali normal setelah jangka waktu 6 bulan.
sedangkan FVIII normal selama periode tersebut.
 Defisiensi protein pada hemofilia A dan hemofilia B menyebabkan
terjadinya abnormalitas dari whole blood clotting times, prothrombin time
(PT), dan aktifitas partial thromboplastin times (aPTT).
 Konfirmasi laboratorium untuk penghambat FVIII atau FIX secara klinis
merupakan hal yang penting kalau perdarahan tidak dapat dikontrol
setelah diberikan infus faktor konsentrat yang adekuat selama episode
perdarahan.
o Untuk penghambat autoantibody dan alloantibody, akan terjadi
perpanjangan aPTT setelah pemberian plasma dalam jangka aktu 1-2 jam.
o Kalau tidak terkoreksi perpanjangan aPTT, digunakan metode Bethesda
dengan cara titrasi untuk mengetahui konsentrat bilogis faktor
penghambat. Secara konvensional didapatkan lebih dari 0,6 BU untuk
menunjukkan faktor penghambat yang positif, titer kurang dari 5 BU
menunjukkan titer inhibitor yang rendah, dan titer lebih dari 10 BU
menunjukkan titer yang tinggi.
 Sedangkan pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk mengetahui adanya
hemofilia C antara lain :
o CBC
o Kadar faktor XI
o Pengukuran faktor VIII, von Willebrand factor
o Prothrombin time (PT), aPTT, and thrombin time (TT) : aPTT memanjang
jika terjadi defisiensi faktor XI, dimana PT dan TT normal. Pengukuran
spesifik aktifitas faktor XI sangat diperlukan untuk konfirmasi diagnosis.
Selain itu juga diperlukan pengukuran faktor pembekuan lainnya serta

13
fungsi platelet untuk mengetahui adanya kombinasi herediter dari
defisiensi XI dan faktor-faktor lainnya.
2. Pemeriksaan pencitraan :
 Hipertropi sinovial, deposit hemosiderin, fibrosis, dan kerusakan kartilago
yang progresif dengan terbentuknya bone kista dapat diperlihatkan dengan
film konvensional, terutama terdapat pada pasien yang tidak diobati atau
diobati dengan tidak adekuat atau jika sering terjadi perdarahan sendi yang
berulang.
 Pemeriksaan Ultrasonography digunakan untuk evaluasi sendi yang
berkaitan dengan efusi akut atau kronik. Namun tehnik ini tidak didapat
digunakan untuk evaluasi tulang atau kartilago.
 MRI digunakan untuk evaluasi kartilago, sinovial dan hubungan antara
sendi.
 Sedangkan untuk hemofilia C tidak satupun pemeriksaan pencitraan
(raadiologi) yang diperlukan dalam konfirmasi diagnosis defisiensi faktor
XI. Namun demikian, pemeriksaan radiologis dapat dilakukan untuk
mengevaluasi perdarahan saat dilakukan tindakan terapi terhadap
perdarahan pada tempat-tempat tertentu.
2. Pemeriksaan histologis
Perdarahan sendi yang berulang dengan pemeriksaan histologis akan
memperlihatkan adanya hipertropi sinovial, deposit hemosiderin, fibrosis dan
kerusakan dari kartilago. Ada beberapa tahapan yang terlihat dari pemeriksaan
histologis untuk menunjukkan adanya artropati hemofilia yang dimulai
dengan adanya edema intraartikular dan periartikular; terjadinya erosi yang
luas dari kartilago yang menyebabkan hubungan antara sendi menghilang,
terjadi fusi dari sendi, dan pembentukan fibrosis dan kapsul sendi.

Analisis genetik pada hemofilia C digunakan untuk mengetahui


adanya mutasi dari gen faktor XI yang menyebabkan terjadinya defisiensi.

14
g. DIAGNOSIS
Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat perdarahan, gambaran
klinik dan pemeriksaan laboratorium. Pada penderita dengan gejala
perdarahan atau riwayat perdarahan, pemeriksaan laboratorium yang perlu
diminta adalah pemeriksaan penyaring hemostasis yang terdiri atas hitung
trombosit, uji pembendungan, masa perdarahan, PT (prothrombin time – masa
protrombin plasma), APTT (activated partial thromboplastin time – masa
tromboplastin parsial teraktivasi) dan TT (thrombin time – masa trombin).
Pada hemofilia A atau B akan dijumpai pemanjangan APTT sedangkan
pemeriksaan hemostasis lain yaitu hitung trombosit, uji pembendungan, masa
perdarahan, PT dan Ttdalam batas normal. Pemanjangan APTT dengan PT
yang normal menunjukkan adanya gangguan pada jalut intrinsik sistem
pembekuan darah. Faktor VIII dan IX berfungsi pada jalur intrinsik sehingga
defisiensi salah satu faktor pembekuan ini akan mengakibatkan pemanjangan
APTT yaitu tes yang menguji jalur intrinsik sistem pembekuan darah.

h. PENATALAKSANAAN
Pengobatan kriopresipitat pada penderita hemofilia disesuaikan
dengan berat ringannya perdarahan. Pada perdarahan ringan bila kadar F VIII
mencapai 30% sudah cukup untuk menghentikan perdarahan.
Perdarahan sedang memerlukan kadar F VIII 50% dan pada perdarahan berat
memerlukan F VIII 100%. Jumlah kriopresipitat yang dibutuhkan dapat
dihitung dengan ketentuan bahwa 1 u F VIII/kgBB akan menaikkan kadar F
VIII 2%. Sedangkan untuk F IX, 1 u/kgBB akan menaikkan kadar F IX 1%.
Rata-rata standard orang normal ialah 1 u/ml adalah sama dengan 100%.
Tabel berikut akan menjelaskan pengobatan hemofilia dengan kriopresipitat.
Komponen utama krioprisipitat adalah faktor VIII atau anti
hemophylic globulin. Penggunaannya ialah untuk menghentikan perdarahan
karena berkurangnya AHG di dalam darah penderita hemofili A. Faktor VIII

15
atau AHG ini tidak bersifat “genetic marker antigen” seperti granulosit,
trombosit atau eritrosit, tetapi pemberian yang berulang-ulang dapat
menimbulkan pembentukan antibodi yang bersifat “inhibitor” terhadap faktor
VIII karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, tetapi
diberikan sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis. Untuk jelasnya
terlihat dalam tabel kutipan ini.
Tabel 1. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan pada hemofili

Kadar faktor VIII (%) Simptom

<1 Perdarahan spontan sendi dan otot

1-5 Perdarahan hebat setelah luka kecil

5-25 Perdarahan hebat setelah operasi

25-30 Cenderung perdarahan setelah luka atau operasi

Tabel 2. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan pada hemofili

Lesi Kadar faktor VIII (% Dosis faktor VIII (unit/kg


normal) BB)

Hemarthrosis ringan,
hematoma 15 – 20% 10-15

Hemarthrosis berat dan


hematoma otot di
daerah-daerah penting
20-40% 15-20
Operasi besar
80-100% 40-50

16
Setiap kantong krioprisipitat mengandung 150 U faktor VIII, sedangkan krioprisipitat
produksi LPTD-PMI ditaksir hanya mengandung 100 U faktor VIII/kantong. Hal ini
disebabkan karena darah yang diambil dari donor lebih sedikit. Cara pemberian
krioprisipitat aialah dengan menyuntikkan intravena langsung tidak melalui tetesan
infus. Komponen tidak tahan pada suhu kamar, jadi pemberiannya sesegera mungkin
setelah komponen mencair.
Tabel 3. Pengobatan hemofilia dengan kriopresipitat.

Jenis perdarahan Kadar faktor yang Dosis F VIII Dosis F IX


diinginkan (%) (u/kg/bb) (u/kg/bb)

Ringan 30% Dosis mula tidak Dosis mula 30


diperlukan u/kgBB seterusnya
diberikan 15 10 u/kgBB tiap 12
u/kgBB tiap 12 jam –24 jam selama 2-4
selama 2-4 hari hari

Sedang 50% Dosis mula 30 Dosis mula 60


u/kgBB dilanjutkan u/kgBB seterusnya
10-15 u/kgBB tiap 10 u/kgBB tiap 12
8 jam selama 1-2, jam
hari, seterusnya
dosis yang sama
tiap 12 jam

Berat 100% Dosis mula 40-50 Dosis mula 60


u/kgBB diteruskan u/kgBB diteruskan
sesuai dosis sedang sesuai dosis sedang

17
Obat-obat yang diperlukan pada penderita hemofilia :
1. DDAVP
Suatu hormon sintesis anti diuretik yaitu 1-deamino-8-D-arginine vasopressine
(DDAVP) dapat menaikkan kadar F VIII C. Pada hemofilia ringan sampai sedang
obat ini menaikkan kadar F VIII C 3-6 kali lipat. Diberikan pada hemofilia dan
penyakit vol Willebrand dengan dosis 0,2-0,5 ug/kgBB. Obat ini dilarutkan dalam
30 cc garam fisiologis dan diinfus selama 15-20 menit. Dapat diulang dalam
beberapa jam. Infus yang diberikan dengan cepat dapat menimbulkan takikardia
dan muka menjadi merah. Hasil pengobatan sangat bervariasi.
2. EACA dan Tranexamic Acid
Epsilon Amino Caproid Acid (EACA) dan asama traneksamik (Tranexamic
Acid), dapat mengurangi perdarahan pada hemofilia. Hal ini dapat diterangkan
karena sifat anti fibrinolisis EACA dan asam traneksamik menyebabkan fibrin
yang sudah terbentuk tidak segera dilisiskan, oleh plasmin. Dengan dosis 50-100
mg/kgBB intravena atau peroral, segerak sebelum tindakan dimulai, kemudian
diulang 3 jam berikutnya, dan seterusnya setiap 6 jam selama 1 minggu
berikutnya memberikan hasil yang baik. Juga dapat diberikan dosis 4-5 g tiap 4
jam pada orang dewasa dengan hasil yang baik.
3. Kortikosteroid
Pada sinovitis akut yang terjadi sesudah serangan akut hemarthrosis pemberian
kortikosteroid sangat berguna. Kortikosteroid juga diberikan bila timbul anti
koagulan atau reaksi anafilaksis sesudah pemberian kriopresipitat.
4. Analgetik
Bila terjadi suatu rasa sakit yang hebat pada sendi, atau rasa sakit sebab lainnya,
obt analgetik dapat diberikan. Sebaiknya aspirin harus dihindarkan, begitu pula
obat analgetik lainnya yang mengganggu agregasi trombosit.
Pengobatan utama pada penderita hemofilia C terutama dengan pemberian
produk plasma (FFP). Keuntungan pemberian FFP ini adalah mudah dilakukan,
sedangkan kerugiannya dalam bentuk dapat terjadi over volume darah, potensial

18
untuk transmisi agen infektif, dan kemungkinan terjadi reaksi alergi. Fresh frozen
plasma ini juga dapat digunakan jika tidak didapatkan konsentrat faktor XI. Dosis
pemberian untuk loading dose adalah 15-20 mL/kg IV, yang selanjutnya
diberikan 3-6 mL/kg 4 kali 12 jam setelah hemostasis terjadi. Selama pemberian
harus selalu dimonitor overload cairan terutama pada anak-anak kecil; adanya
reaksi alergi; premedikasi yang diberikan adalah acetaminophen dan anti histamin
(seperti diphenhydramine) untuk mengurangi reaksi alergi.
i. PROGNOSIS
Pemberian profilaktik anti hemofili faktor lebih awal secara dramatis
dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas penderita hemofilia A dan B.
Angka bertahan hidup penderita dapat mencapai 11 tahun atau kurang
tergantung dari beratnya penyakit dan pengobatan yang diberikan. Prognosis
ini akan diperburuk oleh komplikasi virus yang terjadi selama pemberian
terapi pengganti. Demikian juga halnya jika terjadi perdarahan intrakranial
maupun organ vital lainnya.
Prognosis penderita hemofilia C dengan defisiensi parsial cukup baik
apalagi jika tidak didapatkan manifestasi perdarahan. Sedangkan pada pasien
dengan tendensi perdarahan, perdarahan organ harus diobati dengan optimal
untuk mencegah terjadinya pemburukan diagnosis. Jika terjadi perdarahan
masif maka diagnosisnya menjadi jelek.
j. PENCEGAHAN
Hemofilia tidak dapat dicegah. Namun ada beberapa hal sebagai
tindakan preventif yaitu pencegahan terjadinya perdarahan akibat trauma
disamping pencegahan terhadap terjadinya trauma sendiri.
Kalau seseorang mengidap hemofilia maka beberapa hal yang harus
diperhatikan :
 Pencegahan terhadap penggunakan aspirin dan nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs).

19
 Vaksinasi tetap dilakukan pada semua orang termasuk pada bayi,
terutama untuk vaksin hepatitis B.
 Tindakan sirkumsisi tidak boleh dilakukan terhadap anak laki-laki. (14,15)
Disamping itu jika diketahui adanya riwayat hemofili dalam keluarga
maka selama masa kehamilan harus diperiksa kemungkinan adanya defek
genetik pada ibu hamil untuk mengetahui adanya carrier pada ibu. Beberapa
tindakan yang dapat dilakukan antara lain amniocentesis dan chorionic villus
sampling (CVS), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui adanya defek
genetik pada fetus yang menyebabkan terjadinya hemofilia. Jika diketahui
fetus memiliki hemofilia, maka tindakan terpilih yang dapat dilakukan adalah
melakukan terminasi kehamilan, walau ini masih kontroversial pada beberapa
negara terutama untuk kehamilan trimester II dan III. Jika ibu tetap
menginginkan untuk melanjutkan kehamilannya maka harus diberikan
penjelasan mengenai keadaan bayinya nanti dan tindakan persalinan yang
akan dilakukan.
3. Penyakit Von Willebrand
Penyakit Von Willebrand (vWD) adalah kelainan perdarahan
kongenital, yang diturunkan secara autosomal yang disebabkan oleh defek
kualitatif atau kuantitatif dari faktor von willebrand (vWF). Eric von
Willebrand pertama kali menjumpai penyakit yang ditandai adanya kelainan
perdarahan disertai masa perdarahan yang memanjang dan rapuhnya
pembuluh darah pada thn 1926. Semula penyakit ini diperkirakan merupakan
bentuk varian dari suatu hemofilia dan baru kemudian diketahui bahwa ada
perbedaan secara laboratoris dan klinis dengan hemofilia sehingga kelainan
ini diberi sebutan sesuai nama penemunya. Pada thn 1953 diketahui juga
bahwa terdapat adanya defisiensi faktor VIII pada penyakit von Willebrand
ini.
Secara epidemiologis tidak ada kecendrungan terjadinya penyakit ini
pada etnis atau ras tertentu, dan berbeda dengan hemofilia penyakit ini dapat

20
terjadi pada pria maupun wanita bahkan disebutkan frekuensi pada wanita
lebih tinggi daripada pria. Angka kejadian pasti dari penyakit ini sulit
ditentukan oleh karena bentuk kelainan yang ringan sering kali tidak
terdeteksi, juga oleh karena gejala yang ditimbulkannya varatif, diperkirakan
angka kejadiannya 1 dalam 100 individu, tetapi yang bergejala hanya sekitar 1
dalam 10.000 individu.
a. PATOFISIOLOGI
Faktor von Willebrand adalah suatu glikoprotein yang terdiri dari
disulfida-linked protein F VIII dengan berat molekul yang tinggi (multimer),
disintesis dalam megakariosit dan sel endotel kemudian disimpan dalam
platelet dan endotel. Faktor von willebrand (vWF) bertindak sebagai carier
protein untuk faktor VIII dan meningkatkan agregasi platelet setelah
perlukaan pembuluh darah. vWF mempunyai peranan penting dalam proses
hemostasis, yang pertama yaitu berfungsi sebagai carier protein untuk faktor
VIII sehingga dalam plasma vWF membentuk molekul yang kompleks yaitu
faktor VIII – vWF. Kapasitas vWF adalah sebagai protektor faktor VIII
terhadap enzim proteolitik sehingga faktor VIII menjadi stabil dalam plasma.
Kedua, vWF berfungsi sebagai mediator trombosit dalam mengadakan adhesi
pada jaringan sub-endotel. Faktor von Willebranf akan mengikat glikoprotein
I b (GPIb) trombosit dan kemudian diikuti dengan ikatan antara vWF dengan
GPIIb/IIIa, shingga vWF berfungsi sebagai jembatan antara trombosit dengan
jaringan sub-endotel.
Timbulnya penyakit von Willebrand didasari atas mutasi dari vWF
mengakibatkan defisiensi atau defek antigen vWF dan aktivitas vWF (
ristocetin cofaktor), kemudian diikuti oleh penurunan aktifitas koagulasi F VII
(FVIII C), oleh karena ekspresi normal dari F VIII C dalam sirkulasi
bergantung pada kompleksitas F VIII C dengna vWF. Gen untuk vWF
berlokasi pada kromosom 12, dan penyakit ini diturunkan secara autosomal,
mempengaruhi baik pada laki-laki maupun perempuan.

21
b. KLASIFIKASI
Tipe mutasi yang mempengaruhi lokus dari faktor von Willebrand
merupakan dasar klasifikasi dari penyakit von Willebrand. Berdasarkan
konvensi International society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH), ada 3
tipe besar, kemudian tipe 2 masih terbagi lagi dalam 6 subtipe yang
berbeda.3,5,6 Tipe 1, angka kejadian berkisar 70%, ditandai oleh defisiensi
ringan sampai sedang jumlah (kuantitatif) dari faktor von Willebrand
normal. Ada penurunan yang paralel dari F VIII C dan penyakit bersifat
dominan autosomal.
Tipe 2, angka kejaadian berkisar 15-30%, ditandai oleh abnormalitas
yang kualitatif dari faktor von Willebrand, tidak adanya multimer dengan
berat molekul yang tinggi. Penyakit ini diturunkan baik secara autosomal
dominan maupun resesif. Tipe 2 lebih lanjut dibagi kedalam 6 subtipe.
a. Tipe 2A, ditandai oleh kehilangan berat molekul multimer yang
besar. Multimer ini dibutuhkan untuk adhesi platelet selama
hemostasis primer
b. Tipe 2 B, ada peningkatan ikatan dari faktor von Willebrand pada
platelet. Ini mengakibatkan hiper-aggregable platelet. Ini penting
dalam membedakan tipe ini, oleh karena salah satu dari standard
terapi yaitu dDAVP dapat berperanan dalam meningkatkan agregasi
platelet dan memperburuk trombositopenia. Berdasarkan alasan ini,
DDAVP merupakan kontraindikasi untuk tipe ini.
c. Tipe 2 C, dengan gejala klinis menyerupai tipe 2 A, tetapi pada tipe
ini dapat dijumpai adanya kelainan multimer pada analisa multimer,
tidak dijumpai multimer besar dalam plasma, dan terjadi komlpeks
yang berbeda. Kelainan diturunkan secara resesif
d. Tipe 2 N, adanya mutasi yang terjadi menyebabkan gangguan
interaksi antara F VIII dengan vWF. Mutasi berada pada segmen N-
terminal vWF sub unit yang mengandung domain pengikatan F VIII.

22
Pada penderitanya dijumpai penurunan F VIII oleh karena instabilitas
dari faktor tersebut tanpa adanya ikatan dengan vWF. Secara klinis
penderitanya sering diduga sebagai hemofilia A ringan.
Tipe 3, angka kejadian sekitar < 1 %, ditandai dengan
defisiensi yang komplet defisiensi dari vWF. Penyakit ini bersifat
resesif autosomal, dan bentuk terberat diantara ke 3 tipe. Multimers,
antigen vWF, aktifitas vWF, dan F VIII C biasanya tidak terdeteksi.
Waktu perdarahan lebih dari 15 menit. Pada tipe 1 dan 3 kelainan
vWF bersifat kuantitatif, sedangkan tipe 2 bentuk kelainan vWF
adalah kualitatif.

Klasifikasi penyakit von Willebrand berdasarkan abnormalitas laboratorium


Type 1 Type 2 A Type 2 B Type 2 C Type 3
Transmisi genetik Dominan aut. Dominan aut. Dominan aut. Resesif aut Resesif aut.
Waktu perdarahan Memanjang/N Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang
V III : C Menurun/N Menurun/N Menurun/N N Sangat
menurun
Vwf Menurun Menurun/N Menurun/N N Tdk ada
vWF:Rag Rendah Rendah atau N Rendah atau N N Rendah
Ristocetin Cofactor Menurun Sangat menurun Menurun/N Menurun Tdk ada
RIPA Menurun/N Tdk ada atau Meningkat Sangat Tdk ada
sangat menurun menurun
Struktur multimer normal Tdk ada multimer Tdk ada Tdk ada bervariasi
dlm plasma & besar & multimer besar multimer
platelet intermediat besar

b. POLA BAWAAN
Sama halnya dengan hemofilia, penyakit von Willebrand diturunkan
melalui sifat gen. Tetapi pada hemofilia, biasanya mempengaruhi hanya pada

23
laki-laki, pada von Willebrand akan terjadi sama pada laki-laki dan
perempuan. Penderita perempuan atau laki mempunyai 50% kesempatan
untuk menurunkan gennye pada putera-puterinya. Tipe 1 dan 2 biasanya
diturunkan dalam sifat dominan. Ini berarti bahwa sekalipun salah satu
diantara orang tua memiliki gen, maka gen itu akan diturunkan pada anaknya,
dan sianak pasti menderita penyakit von willebrand. Tanpa memperhatikan
beratnya gejala, maka sianak masih bisa menurunkan gennya pada keturunan
selanjutnya.
Tipe 3 von Willebrand biasanya diturunkan berdasarkan pola resesif.
Tipe ini terjadi jika anak menerima gen dari kedua orang tuanya. Sekalipun
kedua orang tua menderita ringan atau asimptomatik, sianak mungkin saja
akan menderita yang lebih berat.
Pola bawaan seperti diatas berbeda dengan hemofilia. Pada hemofilia,
disebabkan oleh defek pada kromosom “sex-linked”. Seorang lelaki hemofilia
tidak bisa menurunkan gennya pada anak lakinya, oleh karena abnormalitas
terletak pada kromosom X sehingga perananya hanya pada kromosom Y
untuk pria keturunannya. Pada penyakit von Willebrand bersifat kromosom
autosom, oleh karena itu diturunkan baik pada pria maupun laki-laki.

Gambar dibawah ini akan menerangkan lebih jelas polanya

24
Gbr. Pola penurunan penyakit Von
Willebrand
Pada generasi I menerangkan seorang suami (John) mempunyai vWD
ringan dengan istri (Mary) normal, pada generasi kedua menerangkan bahwa
ada 50% kesempatan setiap anak-anak john dan Mary lahir mempunyai gen
vWD. Pada diagram diperlihatkan ada 1 dari 2 anak perempuan (Ann) dan 1
dari 2 anak laki-laki (Peter) yang menerima defek gen. Keduanya menderita
tipe 1 vWD. Pada generasi 3 anak perempuan dengan vWD (Ann) menikah
dengan laki-laki normal (Charles). Anak mereka mempunyai 50% kesempatan
yang sama untuk mendapatkan penyakit. Pada diagram memperlihatkan
seorang anak perempuan (Julia) menderita vWD. Anak laki-laki yang
menderita vWD (Peter) menikah dengan perempuan (Isabel) yang juga carier
kromosom 12 abnormal. Anak-anak mereka mempunyai 25% kesempatan
normal (Claire), 50% menderita tipe 1 (Helen & David), dan 25% tipe 3
(Robert).
c. MANIFESTASI KLINIK
Berat ringannya gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi,
kadang kala secara klinis sangat sulit dibedakan dengan hemofilia. Pada
hemofilia, kadar faktor koagulasi yang menurun, stabil dari waktu ke waktu,
berbeda dengan penyakit von Willebrand kadar faktor koagulasinya bervariasi
dari waktu ke waktu. Ada suatu periode dimana penderita bebas dari gejala
klinis yang ditimbulkannya tetapi tiba-tiba muncul kemudian pada suatu
periode lain dengan perdarahan berulang.
Perdarahan timbul pada kulit dan daerah mukosa berbentuk epistaksis,
menorhagia, perdarahan gusi atau bahkan perdarahan traktus digestivus,
bentuknya lebih menggambarkan adanya kelainan trmbosit dari pada kelainan
faktor VIII.
Perdarahan cukup serius lebih sering terjadi setelah dipicu trauma atau
sesudah tindakan pembedahan, Jarang terjadi perdarahan spontan yang serius

25
kecuali pada tipe 3, dimana perdarahan dapat terjadi tanpa sebab yang jelas.
Variasi berat ringannya perdarahan tidak hanya berbeda pada masing-masing
individu tetapi seringkali bervariasi dalam diri individu itu sendiri dari waktu
ke waktu. Wanita dengan penyakit von Willebrand yang mengalami
perdarahan saat melahirkan anak pertama dapat mengalami perdarahan yang
tak berarti pada saat melahirkan anak berikutnya, demikian pula sebaliknya
dapat terjadi.
Golongan darah juga dapat mempengaruhi gejala yang ditimbulkan
oleh penyakit von Wilebran. Penderita dengan golongan darah O seringkali
mempunyai vWF lebih rendah daripada golongan darah lain, sehingga gejala
yang ditimbulkan penderita dengan golongan darah O akan lebih serius
dibanding dengan golongan darah yang lain.
Inkonsistensi dari gejala klinis dan hasil tes laboratorium yang tidak
spesifik menyebabkan timbulnya kesulitan untuk mendiagnosis penyakit ini.

d. TES LABORATORIUM
Tes laboratorium sulit dipakai sebagai dasar untuk mendiagnosis
adanya penyakit von Willebrand, oleh karena hasil tes tidak spesifik akibat
adanya variasi tipe dan gejala yang fluktuatif dari penyakit. Perlu pengulangan
tes laboratorium dan pencatatn hasil tes yang didata dengan baik dari waktu
ke waktu. Tes-tes yang dianjurkan berupa tes saring meliputi masa
perdarahan, jumlah trmbosit, dan tes APTT (activated partial thromboplastin
time), tes khusus berupa tes vWF ; Ag, Ristocetin Cofactor Activity
(vWF:Rco), F VIII Coagulant Activity (F III :C). Untuk membedakan sub tipe
dari penyakit von Willebrand dilakukan tes Ristocetin-Induced Platelet
Aggregation (RIPA), analisis multimer plasma dan DNA.
1. Masa perdarahan (Bleeding Time)
Pada penyakit von Willebrand masa perdarahan umumnya
memanjang walau pada beberapa kasus dapat normal. Tes ini tidak

26
spesifik karena akan memanjang juga pada semua kelainan
trombosit dan vaskuler
2. APTT (activated Partial Thromboplastin Time)
Tes ini akan memanjang bila terdapat penurunan F VIII. Pada
penyakit von Willebrand, timbul kelainan secara
kuantitatif/kualitatif vWF sehingga fungsi sebagai carier protein
terhadap F VIII tidak optimal yang akan memberikan hasil APTT
yang memanjang. Beberapa tipe penyakit von Willebrand yang
memberikan hasil APTT normal, hal ini bergantung kadar F VIII
yang diangkut oleh vWF.
3. Jumlah trombosit
Pemeriksaan ini harus dimasukkan sebagai tes saring. Trombosit
akan berkurang pada tipe 2B, terutama pada saat kehamilan atau
pembedahan. Tipe lain tidak mengalami perubahan jumlah
trombositnya.
4. vWF;Ag
Tes ini dasarnya adalah dengan cara imunologik (EIA, RIA atau
Laurel). Pada cara Laurel, plasma di elektroforesis pada agarose
yang mengandung anti-vWF antibody. Kadar vWF;Ag menurun
pada penderita dengan defek kuntitatif, hasilnya normal pada
kelainan tipe 2
5. vWF; Rco
Ristocetin adalah suatu antibiotika yang mempromosi interaksi
antara vWF dan GPIb trombosit. Bila ristocetin ditambahkan pada
suspensi trombosit normal yang telah difiksasi plasma pasien,
maka derajad aglutinasi yang terjadi tergantung dari adanya vWF.
Adanya aglutinasi dapat dideteksi secara visual biasa atau dengan
agregometer.
6. F VIII:C

27
Tes ini didasarkan pada tes APTT atau dengan cara khromogenik.
Dasarnya adalah pembentukan F Xa. Karena F VIII sekresi dan
waktu paruhnya dari vWF maka hasil tes ini biasanya paralel
dengan tes vWF;Ag.
7. RIPA
Tes ini didasarkan pada konsentrasi vWF dan afinitasnya terhadap
GPIb. Ristocetin dengan berbagai konsentrasi akan ditambahkan
pada plasma kaya trombosit dan dilihat derajad agregasi yang
terjadi menggunakan agregometer. Pada tipe 3 hasilnya tak
terdeteksi, hasil rendah dijumpai pada tipe 2 A dan 2 M.
8. Analisis multimer Vwf
Tes ini berguna untuk menentukan tipe/subtipe penyakit von
Willebrand. Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan tehnik
elektroforesis dengan SDS (sodium dodecyl sulphat
polyacrylamide).
9. Analisis DNA
Analisis secara langsung pada DNA akan memberikan gambaran
lebih jelas tentang berbagai bentuk varian dari penyakit von
Willebrand
e. DIAGNOSIS BANDING
Jika penderita dengan waktu perdarahan memanjang, harus
membedakan penyakit von Willebrand dari penyakit-penyakit dengan platelet
kualitatif lain (lihat tabel ). Aquired qualitative disordes menunjukkan onset
dari tendensi perdarahan. Penyakit platelet intrinsik kongenital ditandai
dengan adanya riwayat dalam keluarga dan waktu perdarahan yang
memanjang. Penyakit von Willebrand ditegakkan bila didapatkan tes vWF
yang abnormal dan hasil aggregasi platelet yang normal. Jika penderita
dengan tes APTT memanjang, tes faktor VIII:C akan membedakan penyakit
von Willebrand dari semua penyakit akibat APTT memanjang kecuali

28
hemofilia (lihat tabel). Hemofilia didiagnosis jika faktor VIII:C menurun,
tetapi semua tes vWF (antigen factor VIII, aktivitas cofactor ristocetin)
normal

Tabel. Qualitative Platelet Disorders


Congenital :
Glanzmann,s thombasthenia
Bernard-Soulier syndrome
Storage pool disease
Acquired
Myeloproliferative disorders
Uremia
Drugs : aspirin, anti-inflammatory agents
Autoantibody
Paraproteins
Acquired storage pool disease
Fibrin degradation products
Von Willebrand,s disease

Tabel. Disorders of prolonged Partial thromboplastin Time


Congenital factor deficiencies
Contact factors
Factor XII
Factor XI
Factor IX (hemophilia B)
Factor VIII
Hemophilia A
Von Willebrands disease
Anticoagulants

29
Anti-VIII
Lupus
Heparin

f. TERAPI
Terapi utama penyakit ini pada dasarnya ada 2 langkah yakni transfusi
komponen atau penggunaan desmopresin. Transfusi komponen dilakukan
dengan memberi kompleks F VIII-vWF dan trombosit. Terapi ini merupakan
pengobatan pilihan terutama bagi penderita yang tidak berespons terhadap
pemberian desmopresin. Pada penderita tipe 3 dengan multipel transfusi,
dapat terjadi pembentukan alo antibodi, sehingga menyebabkan transfusi
berikutnya menjadi tidak efektif. Pada penderita tersebut bila akan mendapat
pembedahan maka dilakukan pemberian F VIII rekombinan tanpa vWF.
Terapi dengan desmopresin atau dDAVP (1-desamino-8-D-argine
vasopressin) adalah yang paling sering digunakan. Terapi ini terutama
digunakan pada penderita tipe 1. DAVP adalah suatu agen sintetik yang dapat
dengan cepat meningkatkan kadar vWF dan F VIII dalam darah. Kerjanya
melalui pelepasan vWF dari tempat penyimpanannya. Pada tipe 2 A, F VIII
akan meningkat segera setelah pemberian DVAP akan tetapi masa perdarahan
belum tentu menjadi normal.
Humate-P dan Alphanante (paterized intermediatr-purify factor VIII
concentrate) diketahui mengandung sejumlah multimer berat molekuler besar.
Obat ini digunakan pada penderita untuk mengoreksi waktu perdarahan, vWF
dan F VIII. Terapi hormonal juga dapat meningkatkan kadar F VIII dan vWF
tetapi bagaimana mekanismenya belum diketahui. Horman ini terutama
digunakan pada wanita jika menstrual bleeding merupakan keluhan yang
utama.

30
g. PROGNOSIS
Sangat baik. Dalam banyak kasus, kelainan perdarahan yang terjadi ringan,
dan pada kasus yang lebih serius replacement therapy adalah efektif

4. DEFISIENSI VITAMIN K
Vitamin K:
- Larut dalam lemak
- Banyak pada sayur dan buah
- Bisa disintesis flora bakteri usus
- Penting untuk sintesis F.II, VII, IX dan X dan antikoagulan protein C dan S.
- dikenal tiga bentuk vitamin K, yaitu:
· Vitamin K 1 (phylloquinone) terdapat pd sayuran hijau
· Vitamin K 2 (menaquinone) disintesa flora (keseluruhan kehidupan jenis
tumbuh-tumbuhan) di usus kita.
· Vitamin K 3 (menadione), merupakan vitamin K sintetik (tiruan dari yang
terdapat di alam).
a. Etiologi:
- prematuritas: berbanding lurus dengan umur kehamilan dan berat waktu
lahir; fungsi hati belum matang dan respons terhadap vit. K subnormal
- Asupan makanan tidak adekuat
- Terlambatnya kolonisasi kuman
- Komplikasi obstetrik dan perinatal
- Kekurangan vit. K pada ibu
b. PATOFISIOLOGI
Vitamin K diperlukan untuk sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX dan X
(kompleks protrombin) serta protein C dan S yang berperan sebagai
antikoagulan (menghambat proses pembekuan). Selain itu Vitamin K
diperlukan untuk konversi faktor pembekuan tidak aktif menjadi aktif.

31
5. DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)
a. DEFINISI
Disseminated Intravascular Coagulation adalah gangguan dimana
terjadi koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada
sembarang malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi
hematologi seperti leukemia dan kanker prostat, traktus GI dn paru-paru.
Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien kanker dapat
juga mencetuskan DIC termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis.
Disseminated Intavascular Coagulation (DIC) didefinisikan sebagai
kelainan atau gangguan kompleks pembekuan darah akibat stirnulasi yang
berlebihan pada mekanisme prokoagulan dan anti koagulan sebagai respon
terhadap jejas/injury.
Jadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu
keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah,
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya
factor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan
b. EPIDEMIOLOGI
Kondisi ini lebih terjadi sebagai respon terhadap factor lain
dibandingkan sebagai kondisi primer. Tidak ditemukan factor predisposisi
yang berhubungan dengan umur, jenis kelamin, ataupun ras.
c. ETIOLOGI
Perdarahan terjadi karena :
1. Hipofibrinogemia
2. Trombositopenia
3. Beredarnya antikoagulan dalam sirkulasi darah (hasil perombakan
fibrinogen)
4. Fibrinolisis berlebihan
DIC dapatterjadipadapenyakit-penyakit :

32
1. Infeksi (DHF, sepsis, meningitis, pneumonia berat, malaria tropika,
infeksi oleh beberapa jenis riketsia)
2. Komplikasi kehamilan (solusio plasenta, kematian janin intrauterin,
emboli cairan amnion)
3. Setelah operasi (operasi baru, by pass cardiopulmonal, lobektomi,
gastrektomi, splenektomi)
4. Keganasan (karsinomaprostat, karsinomaparu, leukemia akut)

d. KLASIFIKASI
Ada sumber yang menyebutkan bahwa DIC dibedakan menjadi dua bentuk
klinis, yakni DIC akut dan DIC kronik.
 DIC akut adalah kelainan perdarahan yang memiliki karakteristik
timbulnya memar atau lebam (ekimosis), perdarahan dari mukosa
(seperti pada mukosa bibir atau genital), dan penurunan jumlah
trombosit dan factor pembekuan di dalam darah. Purpura Fulminan
adalah bentuk fatal yang terjadi cepat dan berbahaya dari DIC akut.
 DIC kronik mempengaruhi formasi bekuan darah di pembuluh darah
(tromboembolism). Faktor pembekuan dan trombosit dapat berada
pada nilai normal, meningkat, atau bahkan sedikit menurun pada DIC
kronik.
Sumber lainnya membagi DIC menjadi DIC subakut dan DIC akut.
1. DIC subakut berhubungan dengan komplikasi tromboembolik seperti
DVT dan PE seperti terjadinya pada katup jantung.
2. DIC akut
a. Trombositopenia dan penurunan factor koagulasi mengarah
pada kecenderungan terjadinya perdarahan

33
b. Diperburuk dengan meningkatnya degradasi fibrin sampai
produk pemecah fibrin yang akan mengganggu terhadap
polimerasi fibrin dan juga terhadap fungsi trombosit.
c. Endapan fibrin pada pembuluh darah kecil mempengaruhi
terjadinya iskemia jaringan. Organ yang paling mudah
terpengaruh adalah ginjal, dimana endapan fibrin dapat
menyebabkan terjadinya acute renal failure.
d. Hemolisis dapat terjadi karena adanya kerusakan mekanis pada
sel darah merah sebagai akibat secunder dari deposit fibrin.
e. Pasien dapat mengalami fenomena neurologik karena adanya
serangan iskemia pada otak.

e. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis bergantung pada penyakit dasar, akut atau kronik,
dan proses patologis yang mana lebih utama,apakah akibat thrombosis
mikrovaskular atau diathesis hemoragik. Kedua proses patologis ini
menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat ditemukan dalam waktu
yang bersamaan.
Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat. Dapat terlihat sebagai
petekie, ekimosis,perdarahan gusi,hemoptisis,dan kesadaran yang menurun
sampai koma akibat perdarahan otak. Gejala akibat thrombosis mikrovaskular
dapat berupa kesadaran menurun sampai koma,gagal ginjal akut,gagal napas
akut dan iskemia fokal,dan gangrene pada kulit.
Mengatasi perdarahan pada Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
sering lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis pada mikrovaskular
yang menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan
kerusakan organ yang menyebabkan Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) sering berhubungan langsung dengan kondisi penyebabnya, adanya
riwayat perdarahan dan hipovolume seperti perdarahan gastro intestinal dan

34
gejala dan tanda trombosis pada pembuluh darah yang besar seperti DVT dan
trombosis mikrovaskuler seperti gagal ginjal, perdarahan dari setidaknya 3
daerah yang tidak berhubungan langsung dengan DIC seperti :
 Epistaksis
 Perdarahan gusi
 Perdarahan Mukosal
 Batuk
 Dyspnea
 Bingung, disorientasi
 Demam
Kondisi yang dapat terjadi DIC antara lain :
1. Sepsis atau infeksi yang berat
2. Trauma ( Polytrauma, neurotrauma, emboli lemak )
3. Kerusakan organ ( Pankreatitis berat )
4. Malignancy ( Penyakit yang kondisinya buruk )
 Tumor padat
 Myeloproliferative/ lymphoproliferatif maligna
5. Kehamilan yang sulit - Emboli caitran amniotik, Plasenta abrupsio
6. Kelainan Vaskuler (Kasaback-mereritt syndrom, Aneurisma vaskuler
yang besar)
7. Kerusakan hepar berat
8. Reaksi toxic atau imunologi yang berat (Digigit ular, Penggunaan
obat-obatan terlarang, Reaksi transfusi, Kegagalan tranplantasi)

f. PATOFISIOLOGI
Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang
mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan
trombosit dan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi

35
atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Pada keadaan homeostasis,
homeostasis dan pembekuan melindungi individu dari perdarahan masif
sekunder akibat trauma. Dalam keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan
atau trombosis, dan penyumbatan cabang-abang vaskuler, yang dapat
mengancam nyawa. Pada saat cedera, ada tiga proses utama yang bertanggung
jawab atas hemostasis dan pembekuan :
1. vasokonstriksi sementara
2. reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan agregasi
trombosit, dan
3. pengaktifan faktor-faktor pembekuan
Langkah-langkah permulaan terjadi pada permukaan jaringan yang cedera,
dan reaksi-reaksi selanjutnya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit
yang mengalami agregasi.
Trombosit
Trombosit atau platelet bukan merupakan sel, melainkan pecahan granular sel,
berbentuk piringan dan tidak berinti. Trombosit adalah bagian terkecil dari
unsur selular sumsum tulang dan sangat penting peranannya dalam hemostasis
dan pembekuan. Trombosit berasal dari sel induk pluripotensial yang tidak
terikat, yang bila dibutuhkan dan dengan adanya faktor perangsang trombosit
(Mk-CSF [megakaryocyte Colony- Stimulating Factor] berdiferensiasi
menjadi kelompok sel induk yang terikat untuk membentuk megakarioblas.
Sel ini, melalui serangkaian proses pematangan menjadi megakariosit raksasa.
Tidak seperti unsur sel lainnya, megakariosit mengalami endomitosis, dimana
terjadi pembelahan inti dalam sel, tetapi sel itu sendiri tidak membelah. Sel
dapat membesar karena sintesis DNA meningkat. Sitoplasma sel akhirnya
memisahkan diri menjadi trombosit-trombosit.
Faktor-faktor pembekuan plasma

36
I. Fibrinogen : prekursor fibrin (protein polimer)
II. Protombin : prekursor dari trombin enzim porteolitik dan mungkin
akselerator-akselerator dari konversi protombin lain
III. Tromboplastin : suatu lipoprotein jaringan aktivator dari protombin
IV. Kalsium : diperlukan untuk pengaktifan protombin dan pembentukan
fibrin
V. Plasma ekselerator globulin : suatu faktor plasma yang mempercepat
perubahan protombin menjadi trombin
VI. –
VII. akselerator konversi protombin serum : suatu faktor serum yang
mempercepat perubahan protombin

37
VIII. globulin antihemolitik (AHG) : suatu faktor plasma yang berkaitan
dengan faktor III trombosit dan faktor christmas (IX) mengaktifkan
protombin
IX. faktor christmas : faktor serum yang berkaitan dengan faktor III
trombosit dan VIIIAHG; mengaktifkan protombin
X. faktor Stuart-Power : suatu faktor plasma dan serum; akselerator
konversi protombin
XI. plasma tromboplastin antecedent (PTA) : suatu faktor plasma yang
diaktifkan oleh faktor Hageman (XII); akselerator pembentukan
trombin
XII. Faktor Hageman : suatu faktor plasma; mengaktifkan PTA (XI)
XIII. Faktor yang menstabilkan fibrin : faktor plasma; menimbulkan bekuan
fibrin yang lebih kuat yang tidak larut dalam urea.
 Faktor Fletcher (prekalikrein) : faktor pengaktivasi kontak
 Faktor Fitzgerald (kininogen berat molekul tinggi) : faktor
pengaktivasi kontak
Faktor-faktor Pembekuan
Faktor-faktor pembekuan, kecuali faktor III (tromboplastin jaringan) dan
faktor IV (ion kalsium), merupakan protein plasma. Faktor-faktor ini
bersirkulasi dalam darah sebagai molekul-molekul yang tidak aktif.
Prekalikrein dan kininogen berat molekul tinggi, bersama-sama dengan faktor
XI dan XII dinamakan faktor-faktor kontak. Pada saat cedera faktor-faktor
kontak akan diaktifkan karena terjadi kontak pada permukaan jaringan.
Setelah mereka terbentuk, mereka juga berperan dalam melarutkan bekuan.
Pengaktifan faktor-faktor pembekuan diduga terjadi karena enzim
memecahkan fragmen bentuk prekursor yang tidak aktif, oleh karena itu
dinamakan prokoagulan. Tiap faktor yang sudah diaktifkan, kecuali V, VIII,

38
dan XIII, serta I (fibrinogen), adalah enzim pemecah protein (protease serin),
sehingga mengaktifkan prokoagulan berikutnya.
Hati adalah tempat sintesis semua faktor pembekuan kecuali faktor VIII dan
mungkin XI dan XIII. Vitamin K perlu untuk mempertahankan kadar normal
dari faktor-faktor protombin darah atau sintesis faktor-faktor protombin (II,
VII, IX, dan X). Bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor VIII benar-benar
merupakan molekul kompleks yang terdiri dari tiga subunit yang berbeda :
1. bagian prokoagulan, mengandung faktor antihemofilia, VIIIAHG yang
tidak dimiliki oleh penderita hemofilia klasik
2. subunit lain mengandung tempat antigenik
3. faktor Von Willebrand, VIIIVWF, yang diperlukan untuk adhesi pada
dinding pembuluh.

Fase-fase pembekuan
Pembekuan diawali oleh cedera vaskular dalam keadaan hemostasis.
Vasokonstriksi adalh respon langsung terhadap cedera, yang diikuti oleh
adhesi trombosit pada kolagen dinding pembuluh yang terkena cedera. ADP
(adenosin difosfat) dilepaskan oleh trombosit, yang menyebabkan mereka
mengalami agregasi. Sejumlah kecil trombin juga merangsang agregasi
trombosit yang berguna untuk mempercepat reaksi. Faktor III trombosit, dari
membran trombosit, juga mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara ini,
terbentuklah sumbat trombosit, yang kemudian segera diperkuat oleh protein
filamentosa yang dikenal sebagai fibrin.

Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa, sebagai


bentuk aktif faktor X. Faktor X dapat diaktifkan melalui dua rangkaian reaksi.
Rangkaian yang pertama memerlukan faktor jaringan, atau tromboplastin
jaringan, yang dilepaskan oleh endotel pembuluh waktu cedera. Karena faktor

39
jaringan tidak terdapat dalam darah, maka ia termasuk faktor ekstrinsik
pembekuan, dari sini didapat nama jaras ekstrinsik bagi rangkaian ini.
Rangkaian lainnya yang mengaktifkan faktor X adalah jaras intrinsik,
diberi nama tersebt sebab ia menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam
sistem vaskular atau plasma. Dalam rangkaian ini terdapat reaksi ”air terjun”,
pengaktifan salah satu prokoagulan akan mengaktifkan pengaktifan bentuk
penerusnya. Jalan intrinsik diawali oleh keluarnya plasma atau kolagen
melalui pembuluh yang rusak dan mengenai kulit. Faktor jaringan tidak
diperlukan, tetapi trombosit yang melekat pada kolagen, sekali lagi
memainkan peran. Faktor XII, XI dan IX harus diaktifkan secara berurutan,
dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat diaktifkan. Zat
prekalikrein dan kininogen berat molekul tinggi juga ikut serta, dan
diperlukan ion kalsium.
Dari titik ini pembekuan berjalan sepanjang apa yang dinamakan jaras
bersama. Pengaktifan faktor X terjadi sebagai akibat reaksi jaras ekstrinsik
atau intrinsik. Pengalaman klinik menunjukkan bahwa kedua jalan tersebut
ikut berperan pada hemostasis.
Langkah berikutnya yang menuju ke pembentukan fibrin berlangsung
bila faktor Xa, dibantu oleh fosfolipid dari trombosit yang sudah diaktifkan
memecahkan protombin, membentuk trombin. Selanjutnya trombin
memecahkan fibrinogen membentuk fibrin (sejumlah kecil trombin
nampaknya dicadangkan untuk memperbesar agregasi trombosit). Fibrin ini,
yang mula-mula merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh faktor XIIIa
dan mengalami polimerasi menjadi jaringan fibrin yang kuat, trombosit, dan
menjerat sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek (retraksi bekuan),
mendekatkan pinggir-pinggir dinding pembuluh yang cedera dan menutup
daerah tersebut.

40
Resolusi Bekuan
Sistem fibrinolitik adalah rangakaian dimana fibrin dipecahkan oleh
plasmin (juga dinamakan fibrinolisin) menjadi produk degradasi fibrin,
mengakibatkan lisis bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah
protein plasma spesifik inaktif dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik aktif
plasmin. Protein yang bersirkulasi, yang dikenal sebagai proaktivator
plasminogen, dengan adanya kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase
jaringan, serta faktor XIIa, dikatalisasi menjadi aktivator plasminogen.
Dengan adanya enzim-enzim lain seperti urokinase, maka aktivator-aktivator
mengubah plasminogen, protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan
fibrin, menjadi palsmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan
fibrinogen menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen)
yang mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin,
mengakibatkan bekuan larut. Sistem monosit-makrofag dan leukosit juga
memegang peranan pada fibrinolisis melalui aktivitas fagositiknya.
Patofisiologi dari DIC meliputi dimulainya proses koagulasi melalui
perlukaan pada endotel atau karena perlukaan jaringan yang kemudian
menghasilkan materi prokoagulan dalam bentuk sitokin dan faktor jaringan.
Interleukin 6 dan faktor nekrosis tumor merupakan hal yang paling
mempengaruhi masuknya sitokin ke dalam proses koagulasi dengan melalui
faktor jaringan, dan merupakan faktor yang paling bertanggung jawab dalam
hal kerusakan end organ yang mungkin terjadi. Lebih jauh lagi, pada sepsis,
neutrofil dan produk yang dikeluarkan dapat menaikkan media trombosit pada
formasi fibrin.
Dua enzim proteolitik, yakni trombin dan plasmin, bereaksi aktif
secara sistemik. Keseimbangannya menentukan terjadinya perdarahan atau
kecenderungan terjadi trombosis. Trombin memecah fibrinogen menjadi
fibrin monomer. Trombin akhirnya memungkinkan aliran koagulasi dan
menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil dan sedang, yang

41
hasilnya menyebabkan iskemik organ atau bahkan kerusakan organ.
Mekanisme pengatur dari aliran koagulasi antara lain tissue factor pathway
inhibitor (TFPI), antithrombin III, dan protein C aktif menyebabkan
kerusakan yang luas. Plasmin, salah satu komponen sistem fibrinolitik,
mampu menurunkan fibrin dalam produk degradasi yang terukur. Plasmin
juga merupakan komplemen aktivasi. Plasmin dan trombin mempengaruhi
secara kualitatif dan kuantitatif abnormalitas trombosit.
DIC akut memiliki karakteristik adanya perdarahan secara
menyeluruh, yang dapat berupa petekiae hingga perdarahan eksangunasi atau
trombosis mikrosirkulasi dan makrosirkulasi. Hal ini memacu terjadinya
hipoperfusi, infark, dan kerusakan end organ. Pada kasus yang berat, pasien
dapat mengalami demam dan memiliki gejala seperti syok yang ditandai
dengan takikardi, takipneu, dan hipotensi. DIC kronik memiliki karakteristik
adanya perdarahan subakut dan trombosis yang difus. DIC lokal dicirikan
dengan perdarahan atau trombosis yang membatasi suatu lokasi anatomis
spesifik. Ini berhubungan dengan adanya aneurisma aorta, giant hemangioma,
dan hiperakut renal allograft rejection.
Defisiensi factor plasma didapat dikaitkan dengan menurunnya pembentukan
factor-faktor pembekuan, seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau
defisiensi vitamin K, atau peningkatan penggunaan pada DIC atau fibrinolisis.
Karena hati merupakan tempat utama sintesis factor-faktor II, V, VII,
IX, dan X, maka kerusakan hati yang berat yaitu sirosis akan merubah respon
hemostasis. Terdapat juga penurunan pembersihan hati dari faktor-faktor
pembekuan yang sudah diaktifkan. Selain itu, terdapat gangguan sintesis
faktor-faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Hipertensi portal
pada penyakit hati mengakibatkan splenomegali kongestif yang disertai
trombositopenia dan varises esofagus. Keadaan ini, bersama-sama dengan
gangguan pembekuan dapat mengakibatkan perdarahan masif. PT, PTT, dan
masa perdarahan semuanya memanjang.

42
Vitamin K yang diperoleh dari diet dan sintesis bakterial, diperlukan
untuk sintesis faktor-faktor II, VII, IX, dan X. Pada kasus malnutrisi,
malabsorpsi, atau sterilisasi saluran cerna oleh antibiotika, vitamin K
berkurang secara nyata dengan akibat penurunan aktivitas biologis faktor-
faktor pembekuan. Terapi perdarahan berat memerlukan penggantian faktor-
faktor pembekuan dengan plasma beku segar (yang memberikan faktor-faktor
II, VII, IX, dan X), vitamin K parenteral, dan penyembuhan proses penyakit
yang mendasarinya.

g. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hipofibrigenemia,peningkatan
produk hasil degradasi fibrin (D-dimer yang paling sensitif),trombositopenia
dan waktu protrombin yang memanjang.
Pemeriksaan HemostasispadaDIC
a. MasaProtombin
Masa protrombin bisa abnormal pada DIC, dapat disebabkan beberapa hal.
Karena masa protrombin yang memanjang bisa karena hipofibrinogenemia,
gangguan FDP pada polimerisasi fibrin monomer dan karena plasmin
menginduksi lisis faktor V dan faktor IX. Masa protrombin ditemukan
memanjang pada 50-75% pasien DIC sedang pada kurang 50% pasien bisa
dalam batas normal atau memendek. Normal atau memendeknya masa
protrombin ini terjadi karena
1. Beredarnya faktor koagulasi aktif seperti trombin atau F Xa yang
dapat mempercepat pembentukan fibrin,
2. Hasil degradasi awal dapat mempercepat pembekuan oleh thrombin
atau sistem pembekuan gel yang cepat. Masa protrombin umumnya
kurang bermanfaat dalam evaluasi DIC.
b. Partial Thrombin Time (PTT)

43
PTT diaktifkan seharusnya juga memanjang pada DIC fulminan karena
berbagai sebab sehingga parameter ini lebih berguna pada masa protrombin.
Plasmin menginduksi biodegradasi F V, VIII, IX dan XI, yang seharusnya
juga menyebabkan PTT memanjang. Selain itu sama halnya dengan masa
protrombin, PTT juga akan memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari 100
mg%.
PTT juga memanjang pada DIC Karena pada FDP menghambat polimerisasi
fibrin monomer. Namun PTT yang memanjang dapat ditemukan pada 50-60%
pasien DIC, dan oleh sebab itu PTT yang normal tak dapat dipakai
menyingkirkan DIC. Mekanisme terjdinya PTT normal atau memendek pada
40-50% pasien DIC sama seperti pada masa protrombin.
c. Kadar Faktor Pembekuan
Pemeriksaan kadar faktor pada pembekuan memberikan sedikit informasi
yang berarti pada pasien DIC. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya
pada kebanyakan pasien DIC fulminan faktor pembekuan yang aktif beredar
dalam sirkulasi terutama F Xa, IXa dan trombin. Pemeriksaan faktor yang
didasarkan atas standar PTT dan masa protrombin dengan teknik
menggunakan difisiensi substrat akan memberikan hasil yang tidak dapat
diinterpretasi. Sebagai contoh jika F VIII diperiksa dengan pasien DIC dengan
disertai peningikata F Xa, jelas F VIII yang dicatat akan tinggi karena dalam
uji sistem F Xa melintas kebutuhan F VIII sehingga terjadi perubahan
fibrinogen menjadi fibrin dengan cepat dengan waktu yang dicatat dalam
kurva standar pendek, dan ini akan diinterpretasi sebagai kadar F VIII yang
tinggi.
d. FDP
Kadar FDP akan meningkat pada 85-100% kasus DIC. Hasil degradasi ini
akibat biodegradasi fibrinogen atau fibrin oleh plasmin, jadi secara tidak
langsung menunjukkan bahwa jumlah plasmin melebihi jumlah normal dalam
darah. Tes protamin sulfat atau etanol biasanya positif bila dalam sirkulasi

44
darah ada fibrin monomer soluble. Tetapi sama sepert FDP, tes ini bukan
sebagai sarana diagostik, karena fibrin monomer soluble juga terlihat pada
situasi klinis lain, sama seperti pada situasi klinis lain, seperti pada wanita
dengan kontrasepsi oral, pasien dengan emboli paru, pada beberapa pasien
infark miokard, pasien dengan penyakit ginjal tertentu, pasien dengan
thrombosis vena atau arteri, dan pasien dengan tromboemboli.
e. D- Dimer
Suatu test terbaru untuk DIC adalah D-Dimer.D-Dimer merupakan
hasil degradasi fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin
kemudian diaktifkan oleh factor XIII. Dari periksaan atau tes yang paling
banyak dilakukan untuk menilai KID. D-Dimer tamapaknya merupakan tes
yang paling dapat dipercaya untuk menilai kemungkinan DIC, Menunjukkan
adanya D-Dimer apnormal pada 93% kasus, kadar AT III apnorml pada 89%
kasus, kadar fibri nopeptida apnormal pada 88% kasus, dan titer FDP
abnormal pada 75 % kasus.
Kadang-kadang titer FDP dan reaksi para koagulasi dapat negative
pada DIC. Hal ini disebabkan pada DIC akut jumlah plasmin yang beredar
sngat banyak dan fibrinolisis sekunder mengakibatkan degradasi Fragmen D
& E, padahal fragmen inilah yang dideteksi sebagai FDP. Selain itu
penglepasan protease granulosid, kolagenase dan elastase yang berlebihan
dapat juga mengakibatkan dekradasi pada semua sisa fragmen D & E dan
akhirnya memberikan hasil FDP negative. Jadi FDP yang negative belum
dapat menyingkirkan diagnosis DIC. Dengan tersedianya pemeriksaan D-
Dimer, pemeriksaan FDP dan tes protamin sulfat menjadi terbatas perannya
dalam mendiagnosis DIC.

h. PENATALAKSANAAN
1. Atasi penyakit primer yang dapat menimbulkan koagulasi
intravaskular desiminata.

45
2. Pemberian heparin.Heparin dapat diberikan 200 U/kg BB iv tiap 4-6
jam.Kenaikan kadar fibrinogen plasma nyata dalam 6-8 jam,setelah
24-48 jam sesudah mencapai harga normal.
3. Terapi pengganti.Darah atau packed red cell diberikan untuk
mengganti darah yang keluar.Bila dengan pengobatan yang baik
jumlah trombosit tetap rendah dalam waktu sampai seminggu,berarti
tatap mungkin terjadi perdarahan terus atau ulangan,sehingga dalam
keadaan ini perlu diberikan platelet concentrate.
4. Obat penghambat fibrinotitik.Pemakaian Epsilon Amino Caproic Acid
(EACA) atau asam traneksamat untuk menghambat fibrinolisis sama
sekali tidak boleh dilakukan,karena akan menyebabkan trombosis.Bila
perlu sekali,baru boleh deberikan setelah heparin sudah
disuntikan.Lama pengobatan tergantung dari perjalanan penyakit
primernya. Bila penyakit primernya dapat diatasi cepat misalnya
komplikasi kehamilan dan sepsis,pengobatan koagulasi intravsakular
desiminata hanya perlu untuk 1-2 hari.Pada keganasan leukimia dan
penyakit-penyakit lain dimana pengobatan tidak efektif,heparin perlu
lebih lama diberikan.Pada keadaan ini sebaiknya diberikan heparin
subkutan secara berkala.Antikoagulan lain jarang diberikan.Sodium
warfarin kadang-kadang memberikan hasil baik.
5. Penghilang faktor pencetus.
6. Dapat diberikan plasma yang mengandung faktor 8,sel darah
merah,dan trombosit.
i. KOMPLIKASI
Bekuan yang banyak terbentuk akan menyebabkan hembatan aliran darah di
semua organ tubuh.Dapat terjadi kegagalan organ yang luas.Angka kematian
lebih dari 50%.
1. Solusio placenta
2. Preklamsia dan eklamsia

46
3. Emboli cairan amniotik
4. Perdarahan obstrektif masif
5. Tertinggalnya janin yang sudah meninggal dalam tubuh ibu.

j. PROGNOSIS
Prognosis dari DIC sangat dipengaruhi oleh kondisi yang mendasari yang
menyebabkan DIC dan juga dipengaruhi seberapa beratnya DIC yang terjadi.

4. Penyakit Hati
Salah satu fungsi hati yang terganggu adalah metabolisme protein
yang berperan dalam mengatur fungsi pembekuan darah yang dikenal sebagai
hemostasis.
1. PT (Masa Protrombin plasma )
PT Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak
aktif dalam proses pembekuan. Protrombin (F II) dikonversi menjadi
thrombin oleh tromboplastin untuk membentuk bekuan darah. Pemeriksaan
PT digunakan untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan
jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V
(proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart).
Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10%
dari nilai normal.
PT diukur dalam detik. Dilakukan dengan cara menambahkan
campuran kalsium dan tromboplastin pada plasma. Tromboplastin dapat
dibuat dengan berbagai metoda sehingga menimbulkan variasi kepekaan
terhadap penurunan faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K dan
menyebabkan pengukuran waktu protrombin yang sama sering mencerminkan
ambang efek antikoagulan yang berbeda. Usaha untuk mengatasi variasi
kepekaan ini dilakukan dengan menggunakan sistem INR (International
Normalized Ratio). International Committee for Standardization in

47
Hematology (ICSH) menganjurkan tromboplastin jaringan yang digunakan
harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan dari WHO dimana
tromboplastin yang digunakan dikalibrasi terhadap sediaan baku atas dasar
hubungan linier antara log rasio waktu protrombin dari sediaan baku dengan
dari tromboplastin lokal.
Bahan pemeriksaan PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari
sampel darah vena dengan antikoagulan natrium sitrat 3.8% (0.109 M) dengan
perbandingan 9:1. Darah sitrat harus diperiksa dalam waktu selambat-
lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel disentrifus selama 10 menit
dengan kecepatan 4000 rpm. Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8 oC
menyebabkan teraktivasinya F VII (prokonvertin) oleh sistem kalikrein.
PT dapat diukur secara manual (visual), foto-optik atau
elektromekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar
sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen
sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini
masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam
jumlah besar dengan cepat dan teliti.
Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke
dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin
jaringan dan ion kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium
tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan(CaCl2). Beberapa
jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya
 Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru
atau otak dan paru dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium
azida (misalnya Neoplastine CI plus)
 Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2
dan pengawet (misalnyaThromborelS)

48
PT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan
bersama jika kadarnya <30%. Pemanjangan PT dijumpai pada penyakit hati
(sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker hati, ikterus), afibrinogenemia,
defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated intravascular
coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN),
gangguan reabsorbsi usus. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati
tidak dapat mensintesis protrombin. Pemanjangan PT dapat disebabkan
pengaruh obat-obatan : vitamin K antagonis, antibiotik (penisilin,
streptomisin, karbenisilin,kloramfenikol, kanamisin, neomisin, tetrasiklin),
antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin, klordiazepoksid,
difenilhidantoin , heparin, metildopa), mitramisin, reserpin, fenilbutazon ,
quinidin, salisilat/ aspirin, sulfonamide. PT memendek pada tromboflebitis,
infark miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat : barbiturate, digitalis,
diuretik, difenhidramin, kontrasepsi oral, rifampisin dan metaproterenol.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan PT adalah sampel
darah membeku, membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar
selama beberapa jam, diet tinggi lemak (pemendekan PT) dan penggunaan
alkohol (pemanjangan PT).

49
DAFTAR PUSTAKA

Anderso S, Lorraine WM dan Price. 1995, Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
Ariawati K dan Yantie VK. Inhibitor In Hemophilia. Denspasar. 2012

Association of Surgical Technologist. Guidelines for Best Practices for Treatment of


Disseminated Intravascular Coagulation.
Bharati KP dan Prashanth UR. 2011. Von Willebrand Disease: An Overview. Indian
Journal of Pharmaceutical Sciences. Department of Pharmacy Practice, India

Guidelines for the management of hemophilia. World federation of hemophilia. 2005.


Canada

Guidelines for the management of hemophilia. World federation of hemophilia. 2012.


Canada

Haroen H , Saragih GG dan Waleleng BJ. 2016. Gambaran gangguan hemostasis


pada penderita sirosis hati yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
periode Agustyus 2013 – Agustus 2015.

Rani, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Penerbit PB PAPDI. Jakarta
Tjokronegoro, Arjatmo., Utama, Hendra., 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
II, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Matsumoto T, Wada H dan Yamashita Y. 2014. Diagnosis and treatment of


disseminated intravascular coagulation (DIC) according to four DIC
guidelines. journal of Intensive Care

Nichols WL. 2007. The Diagnosis, Evaluation, and Management of Von Willebrand
Disease. NIH PublicationTHE

Probohoesodo MY dan Sindunata R. Faktor Patogenesis Dan Diagnosis Penyakit


Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 13,
No. 1, Nov. 2006: 23-30

50
Warkentin T. 2014. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Depts. of
Pathology & Molecular Medicine. McMaster University
OR

B
MANAGEMENT OF

HEMOPHILIA
WORLD FEDERATION OF HEMOPHILIA

51

Anda mungkin juga menyukai