Anda di halaman 1dari 4

PENATALAKSANAAN KRISIS TIROID

1. Koreksi kadar elektrolit dan glukosa

Penatalaksaan pertama yang hendaknya dilakukan terhadap pasien krisis tiroid


dengan keadaan sopor atau koma adalah mengoreksi elektrolit seperti pemberian
NaCl intravena(infuse) dan glukosa. Hal tersebut dilakukan karena pada
pendetrita krisis thyroid, tubuh mengalami hypermetabolisme akibat dari hormon
thyroid yang memiliki efek kalorigenik atau beban panas sehingga menyebabkan
pasien mengalami banyak pengeluaran elektrolit cairan tubuh. Selain itu, keadaan
hypermetabolisme seringkali menghabiskan banyak energi tubuh sehingga
dibutuhkan lebih banyak glukosa untuk pembentukan ATP selanjutnya.

2. Obat antitiroid

Penatalaksanaan medis dari krisis tirod terdiri dari suatu rangkaian pengobatan
yang bertujuan utuk mengehentikan sintesis hormon yang baru di kelenjar tiroid,
menghambat pelepasan hormon yang disimpan di kelenjar tiroid, dan
menghambat efek hormon thyroid di jaringan perifer dengan cara pencegahan
konversi T4 menjadi T3; mengendalikan simptomp adrenergik yang berhubungan
dengan tirotoksikosis, dan mengontrol dekompensasi sistemik dengan terapi
supportif.

Urutan terapi pada krisis tiroid sangat penting sehubungan dengan penggunaan
thionamide dan terapi yodium.pada kebanyakan pasien, menghambat sintesis
hormon thyroid yang baru dengan thionamide harus s=dilakukan terlebih dahulu
sebelum terapi iodine dilakukan, untuk mencegah stimulasi pembentukan/sintesis
hormon thyroid yang baru hal ini dapat muncul jika iodine diberikan terlebih
dahulu. Namun, waktu penundaan pemberian agen antititorid dan pemberian
yodium merupakan kontroversi dan hanya dapat diberikan dalam waktu 30-60
menit.

Obat antitiorid; dalam hal ini thionamide, telah digunakan untuk pengobatan
tirotoksikosis sejak penggunaan klasifikasi obat ini tahun 1943. Dua spesifik kelas
obat antitiroid adalah tiourasil (PTU) dan imidazol (methimazole, karbimazole).
Dalam kelenjar thyroid,tionamide menghalangi proses coupling oleh
tiroperoksidase. Tionamid juga mempunyai efek menghambat fungsi dan
pertumbuhan sel folikular tiroid. Diluar dari kelenjar tiroid, PTU, tetapi bukan
metimazol, menghambat konversi T4 menjadi T3. Tionamid juga mempunyai
oeran klinuis yang penting untuk menekan antibodi reseptor antitirotropin dan
menurunkan molekul-molekul imunologis seperti ICAM-1 dan IL-2. Obat
antitiroid juga menginduksi apoptosis dari limfosit intratiroidal dan menurunkan
ekspresi HLA-DR II.
Methimazole memiliki waktu paruh yang lebih panjang dari PTU, sehingga
frekuensi pemberiannya lebih sedikit. Obat-obatan lain juga dapat
dipertimbangkan dalam pengobatan krisis tiroid.PTU mempunyai efek tambhan
yang menguntungkan yaitu menghambat konversi T4 menjadi T3. Durasi aksi
methimazole lebih panjang, sehingga dapat diberikan dengan frekuensi lebih
sedikit, dibandingkan dengan pemberian 3-4x PTU. Sebaiknya,pemberian dosis
PTU pada apsien krisis tiroid adalah 800-1200 mg/hari yang terbagi atas 200-
300mg setiap 6 jam. Dosis untuk methimazole adalah 80-100 mg/hari terbagi atas
dosis 20-25 mg setiap 6 jam sekali ( sekali stabil, frekuensi dari dosis dapat
diturunkan menjadi 1-2x sehari). Pemberian kedua obat ini secara intravena
diberikan kepada pasien koma atau yang mengalami gangguan kesadaran.
Biasanya diberikan secara oral pada pasien sadar atau dapat juga per rektal.

Efek samping yang dijumpai dari obat antitiroid termasuk abnormalitas


pengecapan, pruritus,urtikatria, demam dan arthalgia. Efek samping yang lebih
jarang dan lebih serius adalah agranulositosis, hepatotoksisitas, dan vaskulitis.
Oleh sebab itu PTU lebih disarankan bagi wanita hamil dan pasien lanjut usia
karena pada pemberian methimazole, faktor resiko efek samping agranulosistosis
meningkat dua kali lipat daripada pasien lainnya. Daoat dipertimbangkan
pemberian granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) untuk pengobatan
agranulositosis yang timbul oleh obat antitiroid.

3. Terapi iodine

Dalam settingan pengobatan krisis tiroid, terapi iodin melengkapi efek dari terapi
tionamid. Terapi tionamid menurunkan sintesis dan produksi hormon yang baru;
terapi iodine menghambat pelepasan horom yang disimpan, dan menurunkan
transportasi iodida dan oksidadi di sel folikular. Penurunan ini, dikatrenakan
oeningkatan dosis iodida organik yang dikenal memberikan efek “Wolff-
Chaikoff” atau menghambat proteolisis thyroglobulin. Kenaikan kecil dari iodida
yang tersedia, menyebabkan peningkatan pembentukan hormon tiroid, namun,
jumlah besar iodida eksogen menghambat pembentukan hormon. Pada
konsentrasi lebih dati 1 µmol/L, proses iodinasi dihambat. Walaupun efek
pemberian ini dapat berguna, kelenjar tiroid akhirnya akan escape setelah
administrasi iodida paling tidak dalam 48 jam, hal ini dikarenakan kelenjar tiroid
akhirnya akan lolos dati penghambatan ini. Proses terjadi oleh karena sistem
transportasi iodida menyesuaikan diri dengan konsentrasi iodida yang lebih tinggi
melalui modulasi aktivitas simporter natrium-Iodida(Escape Effect). Walaupun
iodida aktif menurunkan akdar hormon tiroid dengan cepat, biasanya dalam waktu
7-14 hari efeek ini akan hilang dan akan kembali ke keadaan hipertiroid dalam 2-3
minggu, jika tidak ada pengobatanlain yang diberikan. Oleh karen aitu,
penggunan iodida untuk mengobati tirotoksikosis masih terbatas, dan oleh sebab
itu hanya digunakan pada tirotoksiskosis berat/ krisis tiroid dengan kombinasi
dengan terapi tionamid.

Formula oral dari iodine onorganik termasuk larutan Lugol dan saturated solution
of potassium iodide. Dosis untuk sediaan ini adalah 0,2 sampai dengan 3 gram per
hari, dengan 4-8 tetes larutan lugol (20 drops/ml,8 mg iodine/tetes) setiap 6-8 jam
dan 5 tetes saturated solution of potassium iodide ( 20 tetes/ml, 38 mgiodide/tetes)
setiap 6 jam. Pemberian agen kontras teriodinasi peroral, asam iopanic, dan
sodium ipodate, mempunyai efek multipel pada hormon tiroid di perifer dan
didalam kelenjar tiroid. Agen kontras teriodinasi ini kompetitif menghambat
enzim 5 monodeiodimnase tipe 1 dan 2 di hati, otal, dan tiroid, menghambat
konversi T4 menjadi T3, sehingga menurunkan kadar T3 sangat cepat. Agen ini
juga dijumpai menghambat ikatan T3 dan T4 pada reseptor seluler. Pada krisis
tiroid, sodium ipodate (3087mg iodine/500 mg kapsul) diberikan 1 sampai 3
gram/hari. Biasanya, asam iopanic diberikan dengan dosis 1 gram setiap 8 jam
untuk 24 jam pertama dan diikuti dengan 500 mg dua kali sehari. Namun agen
antitiroid ini sudah tidak dipasarkan lagi.

4. Beta Blocker

Mengontrol manifestasi kardiovaskular dari tirotoksikosis, merupakan bagian


penting dari manajemen krisis tiroid, perubahan manifestasi kardiovaskular pada
tirotoksiskosis muncul dikarenakan efek hormon tiroid yang berbeda pada jantng
dan vaskularisasi sistemik. Hormon tiroid menurunkan resistensi vaskular
sistemik melalui aksi vasodilator langsung di oto polos dan pelepasan nitrit oksida
oleh endotel lain. Efek dari hormon tiroid terhadap jantung sebagian besar
disebabkan oleh efek genomik dari T3 yang berikatan dengan reseptor nukleus
spesifik. Hal ini berperan besar dalam memodulasi struktur jantung dan
kontraktilitas. Spesifiknya, T3 mengaktivasi transkripsi rantai berat miosin alfa
(MHC-alfa), dan menekan transkripsi dari rantai berat miosin beta (MHC-beta).
Protein miofibril yang merupakan komposisi dari filamen tebal miosit jantung. T3
juga meregulasi produksi protein retikulum sarkoplasma, calcium activated
ATPase, dan fosfolamban. Selain itu, T3 juga mempunyai efek nongenomik,
dengan mempengaruhi status sodium, potassium, dan kanal kalsium.

Penghambat beta, penting untuk mengontrol aksi perifer dari hormon tiroid.
Penggunaan antagonis reseptor beta-adrenergik dalam penatalaksanaan krisis
tiroid pertama kali dilaporkan adalah dengan menggunakan obat-obatan
pronetalol. Tidak lama kemudian, propanolol menjadi obat beta blocker yang
paling sering digunakan. Pada krisisbtiroid propanolol digunakan dalam dosis 60-
80 mg setiap 4 jam, atau 80-120 mg setaip 4 jam. Onset aksi setelah pemberian
oral membutuhkan waktu 1 jam. Untuk efek lebih cepat, propanolol dapat
diberikan parenteral, dengan bolus 0,5 sampai 1 mg dalam 10 menit diikuti
dengan 1-3 mg dalam waktu 10 menit. Esmolol juga dapat diberikam parenteral
dengan dosis 50-100 µg/kg/menit. Dosis propanolol memerlukan dosis yang
relatif lebih besar oleh karena metabolisme obat lebih cepat, dan dikarenakan
reseptor jantung beta-adrenergik lebih banyak. Pemberian beta-blocker intravena
harus dilakukan dengan monitoring yang tepat. Propam]nolol dengan dosis
besar(>160 mg/hari) dapat menurunkan kadar T3 sebanyak 30%. Efek ini,
dimediasi oleh inhibisi 5 monoideiodenase. Oleh karena propnolol memiliki
waktu paruh yang pendek, dosis lebih besar dengan frekuensi lebih sering
diperlukan. Atenolol juga dapat digunakan pada tirotoksikpsis, dengan rentang
dosis 50-200 mg/hari, namun mungkin membutuhkan dua kali sehari untuk
mencapai kontrol yang adekuat. Agen oral laimh yang dapat digunakan antara lain
metaprolol 100-200 mg/hari dan nadolol 40-80 mg/hari. Kontraindikasi relatif
penggunaan antagonis reseptor antagonis termasuk riwayat gagal jantung yang
berat dan dijumoai penyempitan jalan nafas.

Salahs atu komplikasi kardiovaskular dari tirotoksikosis adalah atrial fibrilasi,


yang muncul pada 10-35% kasus. Konsensus mengatakan bahwa pada pasien
tiroktoksikosis yang mengalami atrial fibrilasi, terapi antitrombotik dilakukan jika
dijumpai faktor resiko tromboemboli pada krisis tiroid. Oleh karena itu, warfarin
atau aspirin mungkin dapat digunakan.

5. Glukokortikoid

Glukortikoid termasuk dalam hal ini deksametason dan hidrokortison juga telah
digunakan untuk mengobati krisis tiroid, oleh karena obat ini mempunyai efek
menghambat konversi T4 menjadi T3. Oleh karena itu, glukokortikoid efektif
mengurangi kadar T3 sebagai terapi adjuvantivus. Dan juga glukokortikoid,
digunakan pada krisis tiroid, untuk mengobati kemungkinan adrenal insufisiensi
relatif. Ada beberapa studi menemukan kadar setu, kortisol yang rendah pada
pasien dengan krisis tiroid. Pada pasien dengan tirotoksikosis, pengobatan dengan
glukokortikoid merupakan standar pengobatan oleh karena kejadian insufisiensi
relatif, atau kemungkinan misdiagnosis penyakit addison atau insufisisensi renal.
Dosis glukokortikoid pada krisis tiroid dapat menggunakan hidrokortison 100 mg
intravna setiap 8 jam, dengan penurunan dosis sejalan dengan perbaikan gejala
klinis krisis tiroid.

DAFTAR PUSTAKA :

Djokomoeljanto R. 2010. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing.

Mignecco A, Ojetti V et al. 2005. Management of Tthytoxic crisis. European


Review for Medical and Pharmacological Sciences. Vol 9(69-74)

Anda mungkin juga menyukai