SENGKETA AMBALAT
Di Susun Oleh
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan rempah-rempah dan juga memiliki
banyak kepulauan. Tidak heran wilayah Indonesia pada zaman dahulu pernah dijajah oleh
Bangsa lain, ini disebabkan karena wilayah Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam nya.
Namun sayang sekali Indonesia belum memiliki Sumber Daya Manusia yang dapat
mengelola kekayaan alam yang ada di Indonesia dengan baik dan semaksimal mungkin.
Indonesia memiliki 17.506 pulau-pulau yang menjadi batas langsung
Indonesia dengan Negara tetangga. Berdasarkan hasil survey Base Point
atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan
batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak
di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah
pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang harus mendapatkan
perhatian serius.
Akibatnya wilayah perbatasan yang ada di Indonesia kurang diperhatikan, dan
mungkin karena hal tersebut Negara-negara lain mulai berpikir untuk merebut perbatasan
yang ada di Indonesia. Salah satu kasus yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah
“ Sengketa Internasional Batas Wilayah (Ambalat) Antara Indonesia Dengan
Malaysia “
BAB II
PERMASALAHAN
Sebuah Negara tidak akan pernah terlepas dari sebuah permasalahan, begitu juga
dengan Negara Indonesia yang tidak pernah terlepas dari masalah. Contohnya permasalahan
mengenai perbatasan dengan Negara Malaysia.
Masalah sengketa mengenai Blok Ambalat ini dimulai ketika pada 16 Februari 2005
perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsesi bagi hasil kepada perusahaan
minyak Belanda Shell untuk mengeksplorasi minyak di Laut Sulawesi, yang disebut oleh
pihak-pihak itu sebagai blok Y dan Z. Sedangkan Indonesia, yang melihat wilayah tersebut
sebagai bagian dari kedaulatan teritorialnya, menyebutnya sebagai Blok Ambalat dan
Ambalat Timur.
Klaim Indonesia atas wilayah tersebut ditunjukkan dengan adanya kebijakan
pemerintah Indonesia sejak 1966 untuk memberikan konsesi minyak kepada berbagai
perusahaan minyak di kawasan timur Kalimantan itu tanpa pernah diprotes oleh pihak
Malaysia. Tapi, pada 1979, pemerintah Malaysia mengumumkan peta wilayah berdasarkan
interpretasi sepihak yang memasukkan wilayah timur Kalimantan tersebut ke dalam wilayah
kedaulatan Malaysia. Ketika itu, peta buatan Malaysia ini diprotes oleh beberapa negara,
seperti RRC, Filipina, Thailand, Inggris (mengatas namakan Brunei Darussalam), dan
Indonesia,tapi tidak mendapatkan tanggapan dari pihak Malaysia hingga saat ini.
Indonesia, yang merasa batas-batas wilayahnya tidak berubah, menegaskan klaim
teritorialnya dengan memberikan konsesi selama 30 tahun kepada dua perusahaan minyak
Italia, ENI Ambalat Ltd. dan ENI Bukat Ltd., untuk mengeksplorasi minyak di wilayah
tersebut dan juga kepada perusahaan AS Unocal untuk melakukan pengeboran sejak 24
Februari 1998.
Sementara konflik pada masa Perang Dingin didasari alasan-alasan ideologis, pada
era pasca-Perang Dingin alasan-alasan mendasar yang dibungkus dengan alasan ideologis
kemudian muncul ke permukaan. Salah satu jenis konflik yang sebenarnya paling primitif
dalam peradaban manusia adalah konflik yang muncul karena adanya kompetisi untuk
memperebutkan sumber daya yang vital dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup,
yang dikenal dengan terminologi "konflik energi" (Michael T. Klare, Foreign Affairs, 80/3,
Mei/Juni 2001). Menurut Klare, setidaknya ada tiga jenis konflik energi yang telah
berlangsung, yaitu kompetisi untuk memperoleh akses atas sumber daya utama seperti
minyak dan gas bumi, friksi atas alokasi air, dan perang internal untuk memperebutkan
komoditas yang bernilai tinggi seperti berlian, emas, dan tembaga.
Menurut Klare, konsumsi energi global akan mengalami peningkatan kira-kira 2% per
tahun. Secara spesifik, berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Energi AS,
konsumsi minyak global akan meningkat dari 77 juta barel per hari pada 1999 menjadi 110
juta barel per hari pada 2020. Negara-negara industri baru (newly emerging countries) seperti
Brasil dan Malaysia kemungkinan besar akan mencapai tingkat konsumsi dua kali atau
bahkan tiga kali lipat dari konsumsi energi sebelumnya. Sementara itu, jumlah sumber daya
yang ada secara relatif jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsi
dunia secara besar-besaran tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan
sumber-sumber alternatif bagi keterbatasan sumber daya alami tersebut. Selain itu, upaya
untuk menekan penggunaan sumber daya dilakukan dengan menaikkan tingkat harga.
Namun, di sisi lain, kemajuan di bidang teknologi yang menghasilkan penemuan-
penemuan baru sering kali justru semakin memperparah tingkat konsumsi sumber daya.
Sedangkan penemuan alternatif sumber daya lain belum mencapai tingkat substitusi yang
optimal sehingga belum mampu menutupi kebutuhan terhadap sumber daya alami tersebut.
Klare mengusulkan suatu pemetaan wilayah-wilayah sumber daya yang berpotensi
untuk menjadi wilayah-wilayah konflik di masa depan. Untuk sumber daya minyak dan gas
bumi, Klare memasukkan kawasan Teluk Persia, Laut Kaspia, Laut Cina Selatan, serta
negara-negara Afrika seperti Aljazair, Angola, Chad, Nigeria, dan Sudan, ditambah
Indonesia, Kolombia, dan Venezuela. Wilayah-wilayah ini mencakup empat perlima dari luas
wilayah penghasil minyak dan gas bumi di dunia. Konflik kemudian tidak hanya potensial
untuk terjadi di wilayah-wilayah sumber daya tersebut, tapi juga di wilayah-wilayah yang
merupakan jalur pipa (pipelines) atau jalur lalu lintas bagi kapal-kapal tanker yang
mengangkut minyak dan gas bumi.
Menurut Klare, selain karena keberadaan sumber daya di wilayah-wilayah tersebut,
konflik potensial terjadi karena adanya serangkaian faktor lain, di antaranya sejarah konflik
di antara negara-negara di kawasan tempat terletaknya sumber daya itu dan faktor stabilitas
politik, baik di dalam negara pemilik maupun di kawasan sumber daya tersebut. Dalam kasus
Indonesia-Malaysia, kasus yang paling dekat keterkaitannya dengan konflik Ambalat ini
adalah sengketa kepulauan Sipadan-Ligitan, yang berdasarkan keputusan Mahkamah
Internasional pada 2002 diserahkan kepemilikannya kepada Malaysia. Keputusan ini jelas
memberikan trauma tersendiri bagi para elite politik di Indonesia. Bahkan kalangan elite dan
sebagian kelompok masyarakat juga mengaitkan kasus Ambalat dengan Konfrontasi
Malaysia pada 1963, yang sebenarnya merupakan taktik elite politik Orde Lama untuk
mengalihkan fokus masyarakat dari kondisi politik dan ekonomi domestik saat itu yang carut-
marut akibat kebijakan mercusuar yang dijalankan pemerintah Soekarno.
Hal yang patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini
terbelit konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah yang
berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku, Maluku Utara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan lain-lain. Kenyataan ini patut
diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan adanya pihak luar yang bermain di dalam
konflik yang terjadi di beberapa daerah ini. Selain itu sebab jika Indonesia gagal
mengatasinya, dan konflik yang terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan
pelayaran internasional, maka berdasarkan keten-tuan internasional, negara asing
diperbolehkan menu-runkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan
dunia.
Dalam rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara
bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By High Readness
Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu siap digerakkan ke suatu target
sebagai "muscular peace keeping force."
BAB III
PEMBAHASAN
Sebab timbulnya sengketa internasional yang sangat potensial terjadinya perang terbuka:
Ada yang mengartikan Ambalat adalah sebagai singkatan dari Ambang Batas Laut.
Tapi ternyata dalam wikipedia bahasa Indonesia tidak disebutkan demikian. Itu berarti
Ambalat adalah kata tunggal. Lagi pula ada banyak perbatasan laut Indonesia dengan negeri
tetangga selain dengan Malaysia seperti Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tapi
perbatasan laut itu tidak pernah disebut dengan kata Ambalat.
Di Malaysia, rakyat, pemerintah federal dan pihak kerajaan juga memakai kata
Ambalat. Malah sering dibumbui dengan kalimat daerah kontroversi yang kaya minyak.
Seolah-olah Malaysia ingin mengklaim bahwa negeri itu sudah diterima masuk dalam
’kawasan sengketa’.
Yang tidak kita ketahui; apakah kata Ambalat itu sudah didaftarkan sebagai hak paten
bahasa atau nama kawasan negeri Jiran? Sehingga suatu saat kelak - kalau sengketa batas
negara ini muncul di pengadilan internasional - kita akan ’gelagapan’ lagi seperti pada sidang
Pulau Sipadan dan Ligitan.
Ada yang mengartikan bahwa Ambalat adalah sebuah pulau yang
berpehuni, padahal pengartian dari Ambalat itu sendiri adalah perairan lautan
Selat Makassar atau laut Sulawesi sebelah Utara Pulau Sebatik Kabupaten
Nunukan. Ambalat, perairan yang terjepit antara Sulawesi dan Kalimantan itu
adalah titik paling didih dalam hubungan Indonesia dengan Malaysia
beberapa tahun terakhir. Malaysia sudah mengincarnya sejak 1979. Ketika
negeri jiran itu menerbitkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan
sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi eksklusif mereka. Di dalam peta
mereka, Ambalat masuk Malaysia.
Terang saja pemerintah Indonesia menepis klaim Malaysia. Soalnya, dari riwayata
sejarahnya saja Ambalat masuk wilayah Kesultanan Bulungan (Kalimantan Timur) yang kini
menjadi bagian dari Indonesia.
Membuka lembaran hukum laut internasional atau konvensi hukum laut PBB yang telah
dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, ternyata Ambalat juga diakui dunia Internasional
sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia tetap ngotot. Mereka mengirim kapal
perangnya untuk patrol di perairan tersebut. Bahkan ada nelayan yang berasal dari Indonesia
pada saat melaut ditangkap dan dipukul, juga di usir.
Sesungguhnya yang mereka incar bukan hanya keinginan memperluas
batas wilayah negara, di sini ada kekayaan alam yang berlimpah di sini.
Bahkan menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Manusia di Ambalat
ada tambahan kandungan minyak dengan produksi 30.000 - 40.000 barel per
hari.
Masyarakat kawasan perbatasan sendiri seperti Nunukan, Tarakan dan Bulungan, baru
mengetahui ada Ambalat di dekat rumah mereka. Selama ini yang mereka ketahui adalah
Karang Unarang, sebuah kawasan prairan yang sering dimasuki kapal militer Malaysia.
Para nelayan di utara Kalimantan Timur sudah hafal mana kawasan lintasan untuk
perahu motor mereka, yakni kawasan yang lebih dalam. Di sana banyak terdapat ’gusung’
alias gundukan pasir yang ketika air surut akan membuat kandas perahu atau kapal yang
terjebak di situ.
Ketika ada kapal berbendera Malaysia dan kapal perang militer negeri Jiran itu
terlihat memasuki perairan Indonesia di Karang Unarang tersebut, para nelayan umumnya
memaklumi karena kemungkinan kapal tersebut menghindari ’gusung’ dan terpaksa meliuk
memasuki perairan Indonesia.
Nah, pada posisi itulah kemudian muncul ketegangan di Indonesia. Seolah-olah
terjadi pelanggaran yang disengaja oleh Tentara Diraja Malaysia. Pemberitaan media massa
sering pula meningkatkan tensi kemarahan, sehingga melontarkan kata-kata ’perang’.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga,
yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut
dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam,
Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal
ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan
dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan
ekonomi kelautan suatu negara.
Sengketa blok Ambalat antara Indonesia-Malaysia tercatat telah sering terjadi.
Terhitung sejak Januari hingga April 2009 saja, TNI AL mencatat kapal
Malaysia telah sembilan kali masuk ke wilayah Indonesia. Blok Ambalat
dengan luas 15.235 kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan
minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat
perbatasan, Ambalat adalah asset berharga karena di sana diketahui memiliki
deposit minyak dan gas yang cukup besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak
dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat di sana juga yang mendapatkan
dampaknya.
B. SARAN
Dengan kekayaan yang di miliki Indonesia , diharapkan pemerintah bisa
lebih memperhatikan sekali daerah-daerah perbatasan. Jangan sampai
Indonesia kehilangan pulau kembali, untuk itu kita sebagai bangsa Indonesia
harus siap siaga menjaga wilayah Negara kita baik itu di perbatasan maupun
di didaerah perkotaan.
Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis,
karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini
seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak
menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah
Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan
negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan
Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau
yang harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut adalah Pulau
Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana,
Batek, Marampit dan Pulau Bras.
Jangan takut bersikap tegas, kalau memang harus perang, rakyat
Indonesia pasti mendukung demi keutuhan NKRI. Karena NKRI adalah harga
mati.
DAFTAR PUSTAKA
- Koran tempo : Senin, 14 Maret 2005
Ambalat, Konflik Energi Indonesia-Malaysia
- Kahar, Jounil, 2004. Penyelesaian Batas Maritim NKRI . Pikiran Rakyat 3 Januari
2004
Tim Redaksi, 2004. Pulau-pulau terluar Indonesia. Buletin DISHIDROS TNI AL edisi
1/ III tahun 2004
- http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/ekonomi/shell_ambalat050316-
redirected
- http://www.scribd.com/doc/4407559/KONFLIK-RIMALAYSIA
- http://geopolitikenergi.wordpress.com/2007/05/09/konflik-ambalat-hanya-
menguntungkan-penjajah
- www.tempo interaktif.com