Anda di halaman 1dari 24

TB PARU DAN EKSEMA

Oleh:
Fendy Suyanto
G0006081

Pembimbing:
Drs. Soetarno, Apt. SU

KEPANITERAAN KLINIK FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAKAR TA
2010
TB PARU

Kasus:
Seorang laki-laki usia 37 tahun datang ke Poliklinik Penyakit Dalam dengan
keluhan batuk berdarah sejak 3 hari yang lalu. Keluhan batuk dirasakan sejak 3
bulan yang lalu, sekitar 1 bulan yang lalu batuk dirasa makin parah. Batuk
berdahak. Biasanya pasien minum obat dari warung setiap kali batuk kemudian
sembuh, namun kali ini batuknya tidak sembuh-sembuh. Batuk terus kambuh-
kambuhan. Pasien merasa mudah lelah. Riwayat demam dibenarkan, terdapat
riwayat penurunan berat badan dan keringat pada malam hari. Riwayat hipertensi,
DM, asma, dan alergi disangkal. Riwayat keluhan serupa di keluarga disangkal.
Penderita memiliki riwayat merokok sejak lebih dari 15 tahun yang lalu. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien cukup, kesadaran compos
mentis, dan tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan thorak terdengar
ronkhi basah kasar, ronkhi basah halus. Suara dasar vesikuler menurun. Pada
pemeriksaan penunjang foto Rontgen didapat kesan Tuberkulosis paru.

Diagnosis:
Tuberkulosis paru

Penulisan Resep:
R/ Rifampicin tab mg 450 No LX
S 1dd tab I
R/ Isoniasid tab mg 300 No LX
S 1dd tab I
R/ Pirazinamid tab mg 500 No CLXX
S 1dd tab III
R/ Etambutol tab mg 250 No CLXX
S 1dd tab III

2
Pro: Tn. X (37 th)

Pembahasan Resep:
Pada pasien ini merupakan kasus baru dan aktif sehingga termasuk tahap yang
harus mendapat terapi intensif (2HRZE). Pedoman terapi ini sesuai dengan
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2007 yang dikeluarkan
oleh Departemen Kesehatan.

Dasar Teori:
A. Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik
dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan
masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan,
dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara,
melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel
dari seseorang yang terinfeksi.
B. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit TB
1. Faktor sosial ekonomi
2. Status gizi
3. Umur
4. Jenis kelamin
C. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Pada suasana
lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.
Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat, maka ia akan menempel pada

3
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila
ukuran partikel < 5 mikrometer.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya
diinhalasi sebagai satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil.
Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih tertahan di saluran
hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit.
Setelah berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru
atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah
hari-hari pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri
terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar
melalui getah bening dan menuju kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 hari.
Bila kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak
dalam sitoplasma makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ-organ
lainnya. Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi
di setiap jaringan paru, dan kalau menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati
regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh
organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis
maka terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hillus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar
getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal

4
+ limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
a. sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (sebagian besar
penderita)
b. sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya
> 5 mm dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant
c. berkomplikasi dan menyebar secara:
1) perkontinuitatum (ke sekitarnya)
2) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru di
sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus.
3) secara limfogen ke organ – organ lainnya
4) secara hematogen ke organ – organ tubuh lainnya
2. Tuberkulosis Pasca Primer (Sekunder)
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (Tuberkulosis post
primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi menjadi 90%. TB sekunder
terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, keganasan,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB pasca-primer ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi terutama di regio atas paru (segmen apikal-posterior
lobus superior atau lobus inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim
paru dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini mula-mula tampak seperti
sarang pneumonia kecil dan dalam 3-10 minggu sarang ini berubah
menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel Datia Langhans.
Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi:
a. direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

5
b. sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma
berkembang menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian
tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan
keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas
ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena
infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah
akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate
TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Kavitas dapat mengalami :
a. meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi
kavitas masuk dalam pembuluh darah arteri akan terjadi TB millier.
b. memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus) sehingga membentuk
misetoma.
c. menyembuh dan bersih (open healed cavity). Kadang – kadang berakhir
sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai
bintang (stellate shape).
Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang :
a. sarang yang sudah sembuh (tidak perlu pengobatan)
b. sarang aktif eksudatif (perlu pengobatan lengkap dan sempurna)
c. sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh
spontan, tapi mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya
diberikan pengobatan sempurna.

6
D. Klasifikasi Penyakit
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
1) kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif
2) kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
d) ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan

7
3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien
buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
1) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal
2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin
4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur)
c. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan
e. Kasus pindahan (Transfer In)

8
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya

f. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan
E. Pengobatan
1. Tujuan pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
2. Jenis, sifat, dan dosis OAT
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3x seminggu
5 10
Isoniazid (H) bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampicin (R) bakterisid
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide 25 35
bakterisid
(Z) (20-30) (30-40)
Streptomycin 15 15
bakterisid
(S) (12-18) (12-18)
15 30
Ethambutol (E) bakteriostatik
(15-20) (25-30)

3. Prinsip pengobatan
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup, dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian

9
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
b. untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO)
c. pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
4. Panduan OAT di Indonesia
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1) pasien baru TB paru BTA positif
2) pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
3) pasien TB ekstra paru
Tahap intensif tiap Tahap lanjutan 3
hari selama 56 hari kali seminggu
Berat badan
RHZE selama 16 minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

10
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Dosis per hari / kali Jumlah


Tahap Lama Tablet Tablet Tablet Tablet hari/kali
pengobatan pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
1) pasien kambuh
2) pasien gagal
3) pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tahap lanjutan 3
Tahap intensif tiap hari kali seminggu
Berat badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E
(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 2KDT + 2 tab
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
Streptomisin inj Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 2KDT + 3 tab
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
Streptomisin inj Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 2KDT + 4 tab
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
Streptomisin inj Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 2KDT + 5 tab
≥71 kg 5 tablet 4KDT
Streptomisin inj Etambutol

Tablet Etambutol Jumlah


Tablet Tablet
Tahap Lama Isoniasid Tablet Tablet Streptomisin hari/kali
Rifampisin Pirazinamid
pengobatan pengobatan @ 300 @ 250 @ 400 inj menelan
@ 450 mg @ 500 mg
mg mg mg obat
Tahap intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 g 56
(dosis harian) 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap lanjutan
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(3x seminggu)
Catatan:
1) untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan
2) untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus

11
3) cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml.
(1 ml = 250 mg)
c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tahap intensif tiap hari selama 28 hari
Berat badan
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT

Jumlah
Tablet Tablet Tablet Tablet
Tahap Lama hari/kali
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid etambutol
pengobatan pengobatan menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg
obat
Tahap
intensif
1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan
kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat
tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Di samping itu
dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis
kedua.

F. Efek Samping Obat dan Penatalaksanaan


1. Efek samping ringan
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, Semua OAT diminum
Rifampisin
mual, sakit perut malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6
terbakar di kaki (piridoxin) 100 mg per

12
hari
Tidak perlu diberi apa-
Warna kemerahan pada
Rifampisin apa, tapi perlu penjelasan
air seni (urine)
kepada pasien

2. Efek samping berat


Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk
Gatal dan kemerahan
Semua jenis OAT penatalaksanaan di
kulit
bawah
Streptomisin dihentikan,
Tuli Streptomisin
ganti Etambutol
Streptomisin dihentikan,
Gangguan keseimbangan Streptomisin
ganti Etambutol
Hentikan semua OAT
Ikterus tanpa penyebab
Hampir semua OAT sampai ikterus
lain
menghilang
Bingung dan muntah- Hentikan semua OAT,
muntah (permulaan Hampir semua OAT segera lakukan tes fungsi
ikterus karena obat) hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan
Rifampisin Hentikan Rifampisin
(syok)
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”:
jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin,
sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut
pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi
suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT.
Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping
ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

Daftar Pustaka:
Anonim. 2008. Pelaksanaan Tuberkulosis Paru. Jakarta.

Antoni. 2010. Terapi OAT pada Pasien Tuberkulosis Paru. Yogyakarta: UMY.

13
Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI.

Gunawan S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.

Moeloek F.A. 2007. MIMS. Jakarta: CMP Medical Asia Pte Ltd.

EKSEMA

Kasus:
Seorang perempuan berumur 30 tahun datang dengan keluhan gatal dan bintil
pada kedua lipat siku, lengan, tengkuk, dan punggung sejak 2 minggu yang lalu,
keluhan dirasakan terutama saat pasien berkeringat, awalnya muncul bintil-bintil
sedikit pada kedua lipat siku, lalu bertambah banyak dan menyebar ke lengan,
tengkuk, dan punggung. Terkadang keluar cairan dari plenting- plenting itu selain
itu kulit terasa kering. Tidak nyeri, pasien tidak tahu apa yang mengawali
timbulnya gatal-gatal. Pernah mengalami gejala serupa, kambuhan sejak 2 tahun

14
yang lalu dan menderita rhinitis alergika. Dari pihak keluarga tidak ada yang
serupa. Pemeriksaan fisik secara umum dalam batas normal. Status dermatologi
yang ditemukan: papul eritem, ukuran miliar, bentuk bulat, simetris pada siku
kanan kiri, lengan, tengkuk, dan punggung.

Diagnosis:
Eksema basah

Penulisan Resep:
R/ Hydrocortisone 1% cream tube No I
S 2dd I ue
R/ Cetirizine tab mg 10 No X
S 1dd tab I
Pro: Ny. W (30 thn)

Pembahasan Resep:
 Obat utama eksema adalah kortikosteroid, alasannya berkaitan dengan
patofisiologinya.
 Obat yang dipilih adalah hidrokortison karena memiliki potensiasi yang
terkecil, sehingga tidak terlalu besar efeknya (mengingat 2 khasiat steroid
sebagai antiinflamasi dan antimikotik).
 Konsentrasi yang dipilih adalah 1% karean mencari batas yang aman /terkecil
yang diperbolehkan ( ada sediaan 1% dan 2,5%).
 Pengobatan topikal didahulukan pada terapi kulit, selain itu agar langsung
tepat ke target site nya.
 Bentuk yang digunakan adalah cream karena menerapkan prinsip dalam
dermatoterapi, di mana dermatosis yang membasah diberi terapi yang basah
dan begitu juga sebaliknya. Bedak tidak boleh digunakan karena akan
memperparah luka yang basah.
 Cetirizine merupakan antihistamin generasi ke 2 yang dapat menghilangkan
rasa gatal. Cetirizine bersifat long acting dan tidak bersifat sedatif.

15
Dasar Teori:
A. Definisi dan Etiologi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang
didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif
dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama, dan pruritus yang
hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau
akibat bahan kimia atau iritan.
Dermatitis atopik atau eksema adalah peradangan kronik kulit yang
kering dan gatal yang umumnya dimulai pada awal masa kanak-kanak.
Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan, peradangan, dan
gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode
pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan
hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan
sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus
mengalami eksema hingga dewasa.
Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan
penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai
kecenderungan untuk menderita asma, rinitis, atau keduanya di kemudian hari
yang dikenal sebagai allergic march. Walaupun demikian, istilah dermatitis
atopik tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi
antigen dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema
atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis.
Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan
pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-
10% pada 20-30 tahun terakhir.
Sangat mungkin peningkatan prevalensi ini berasal dari faktor
lingkungan, seperti bahan kimia industri, makanan olahan, atau benda asing
lainnya. Ada dugaan bahwa peningkatan ini juga disebabkan perbaikan
prosedur diagnosis dan pengumpulan data.
B. Patogenesis

16
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus
diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama
memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak
bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus
kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan,
superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang
dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis
DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.
1. Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%) terdapat peningkatan kadar
IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang
moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di
kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan
bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
a. Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat
berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada
lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi
sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih
rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA
akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap
antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan
sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan
respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada
80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T
sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap

17
limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap
infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan
pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,
leukotrien, prostaglandin, dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai
saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat
antihistamin pada DA.
Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin
pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan
meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema.
b. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi.

2. Faktor non imunologis


Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak
berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering
akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan
rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan
termal akan mengakibatkan rasa gatal.
C. Faktor Pencetus
1. Makanan

18
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food
Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan
berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan
alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE
spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji
kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita
tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut
untuk menentukan kepastiannya.
2. Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang
dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA,
atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu
rumah (TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita
DA mengandung IgE spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya
42% pada penderita asma di Amerika Serikat. Perlu juga diperhatikan
bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh alergen hirup lainnya seperti bulu
binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4
musim.

3. Infeksi kulit
Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi
kulit oleh kuman umumnya Staphylococcus aureus, virus, dan jamur.
Stafilokokus dapat ditemukan pada 90% lesi penderita DA dan jumlah
koloni bisa mencapai 107 koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat
infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja
sebagai superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang
selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita DA dan
disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman
stafilokokus dan steroid topikal.

19
D. Diagnosis
Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Lobitz, 1977:
1. Kriteria mayor (>3):
a. pruritus: morfologi dan distribusi khas:
1) dewasa: likenifikasi fleksura
2) bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
b. dermatitis bersifat kronik residif
c. riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
2. Kriteria minor (>3):
a. xerosis iktiosis/pertambahan garis di palmar/keratosis pilaris
b. reaktivasi pada uji kulit tipe cepat
c. peningkatan kadar IgE
d. kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas selular
e. dermatitis pada areola mammae
f. keilitis
g. konjungtivitis berulang
h. lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita
i. keratokonus
j. katarak subskapular anterior
k. hiperpigmentasi daerah orbita
l. kepucatan/eritema daerah muka
m. pitiriasis alba
n. lipatan leher anterior
o. gatal bila berkeringat
p. intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven
q. gambaran perifolikular lebih nyata
r. intoleransi makanan
s. perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi
t. white dermographism/delayed blanch
E. Pengobatan
1. Perawatan kulit

20
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat
adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan
menerapkan sawar hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Mandi selama
15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak
menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun
dengan moisturizers disarankan. Setelah mandi memberihkan sisa air
dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik
setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien kronik
diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan lactic
acid.
2. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan
peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit
dapat dilakukan dengan mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi.
Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk kekeringan kulit, namun
berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan
sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih
yang mempunyai pH 7,0. Pemberian pelembab kulit penting untuk
menjaga hidrasi antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak,
atau urea 10% dalam krim. Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
krim kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat
sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila
dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada
penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk
daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%.
Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan
pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan
residif, maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun sistemik
untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin
terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk
menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung

21
mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal
ini tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian
pengobatan sistemik
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus,
dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan
kortikosteroid topikal adalah segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep
untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya
cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut;
pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek
samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid
acne, dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari
hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi
pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah;
bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi.
3. Antihistamin
Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin (H1)
seperti difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain.
Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat menolong pada kasus
tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat
pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk
menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan
pada 50% penderita.
Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus
sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-
1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari.
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk
menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait
dengan histamin.
4. Tars

22
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk
mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek
samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi, dan dermatitis kontak.
5. Antibiotik sistemik
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA
yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah
eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin. Infeksi di
curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma, dan furunkulosis. S.
aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare
akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin, atau sefalexin dapat
digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin
adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena
bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan
lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan
uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus, 60% resisten terhadap
penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak
ada yang resisten terhadap sefalosporin. Imunoterapi dengan ekstrak
inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak.
6. Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi
Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol
dihindari. Demikian juga keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial
dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang,
dan debu rumah.

Daftar Pustaka:
Deya K.N. 2010. Dermatitis Atopik pada Wanita 44 Tahun dengan Riwayat
Intoleransi Makanan. Yogyakarta: UMY.

Fahmy A. 2010. Dermatitis Atopik pada Perempuan 30 Tahun dengan Riwayat


Atopik. Yogyakarta: UMY.

Gunawan S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.

23
Judarwanto W. 2009. Dermatitis Atopi pada Anak. Jakarta: Children Allergy
Centre.

Moeloek F.A. 2007. MIMS. Jakarta: CMP Medical Asia Pte Ltd.

Sandy N.J. 2010. Manifestasi Klinis dan Terapi Dermatitis Atopi. Yogyakarta:
UMY.

24

Anda mungkin juga menyukai