Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun Oleh :
NAMA : WENDI YUWANDA
NIM : 149012019299

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO PERILAKU KEKERASAN

A. KASUS /MASALAH UTAMA : Risiko Perilaku Kekerasan


1. PENGERTIAN
Stuart dan Laraia (2005), menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil dari
marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panic) sebagai respon terhadap
perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri. Perasaan
terancam ini dapat berasal dari stressor eksternal (penyerangan fisik, kehilangan orang
berarti dan kritikan dari orang lain) dan internal (perasaan gagal ditempat kerja, perasaan
tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit fisik).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph, 2007).
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat,
membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-
maki orang disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan orang lain,
bahkan membakar rumah.
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu
tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada orang lain
(Herdman, 2012).

Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan :


1) Respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan
dirasakan sebagai ancaman (di ejek atau dihina)
2) Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa, keinginan
tidak tercapai, tidak puas).
3) Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal diarahkan pada diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan.

2. TAHAPAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN


Tahapan risiko agresif atau risiko perilaku kekerasan : (Fontaine, 2002)
1) Tahap 1 : Tahap Memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak.
Tindakan perawat : Mengidentifikasi factor pemicu, mengurangi kecemasan,
memecahkan masalah bila memungkinkan.

2) Tahap 2 : Tahap Transisi


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, membaca
pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan,
mengajak kompromi, memicu dampak agitasi, meminta
bantuan.

3) Tahap 3 : Krisis
Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi.
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang
disekitar, berkata kotor; berteriak.
Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak
pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi,
cobalah untuk menjaga komunikasi.

4) Tahap 4 : Perilaku Merusak


Perasaan : Marah
Perilaku : menyerang; merusak
Tindakan perawat : lindungi klien lain, menghindar, melakukan
pengekangan fisik.

5) Tahap 5 : Tahap Lanjut


Perasaan : Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan dekstruktif,
pengurangan tingkat gairah.
Tindakan perawat : Tahap waspada karena perilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan atau balas
dendam.

6) Tahap 6 : Tahap peralihan


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat : Lanjutkan focus mengatasi masalah utama.

3. TANDA DAN GEJALA


1) Tanda dan Gejala Fisik :
a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Nada suara tinggi
e. Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
f. Memukul jika tidak senang

2) Tanda dan gejala Emosional:


a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit
(rambut botak karena terapi).
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri).
c. Gangguan hubungan sosial (menarik diri).
d. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan).
e. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
(Budiana Keliat, 1999)

3) Tanda dan Gejala Sosial:


a. Memperlihatkan permusuhan
b. Mendekati orang lain dengan ancaman
c. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
d. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
e. Mempunyai rencana untuk melukai

4) Tanda dan Gejala Intelektual :


a. Mendominasi
b. Cerewet
c. Cenderung suka meremehkan
d. Berdebat
e. Kasar

5) Tanda dan Gejala Spiritual:


a. Merasa diri kuasa
b. Merasa diri benar
c. Keragu-raguan
d. Tak bermoral
e. Kreativitas terhambat

4. RENTANG RESPON RISIKO PERILAKU KEKERASAN


Skema rentang respon marah menurut stuart dan sundeen (1995)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustasi Agresif Amuk

1) Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan merupakan
komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif berbicara dengan ch
jujur
dan jelas. Mereka dapat melihat norma dari individu lainnya dengan tepat sesuai
dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu,
intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam. Postur tegak dan santai, kesan
keseluruhan adalah bahwa individu tersebut kuat tapi tidak mengancam. Individu yang
asertif dapat menolak permintaan yang tidak beralasan dan menyampaikan rasionalnya
kepada orang lain dan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya ditolak orang lain. Individu yang asertif ingat untuk
mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang dekat, pujian diberikan
sepatutnya. Permintaan masukan yang positif juga termasuk perilaku asertif (Stuart dan
Laraia, 2005 ; Stuart, 2009).
2) Pasif
Individu yang pasif yang sering menyampingkan haknya dari persepsinya terhadap
orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan berusaha menutupi
kemarahannya sehingga mengingatkan tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini
dapat menyebabkan gangguan perkembangan interpersonal (Stuart dan Laraia, 2005 ;
Stuart, 2009). Perilaku pasif dapat diekspresikan secara nonverbal, seseorang yang pasif
biasanya bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang
sedikit. Individu tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan memegang tubuh
dengan dekat (Stuart, 2009).

3) Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang realistis
atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart dan Laraia,2005). Frustasi adalah
kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan frustasi akan bertambah
berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan
(Keliat dan Sinaga,1991).

4) Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa harus bersaing
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang agresif di dalam hidupnya
selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya
disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya diri (Bushman dan
Baumeister,1998 dalam Stuart dan Laraia, 2005 ; Stuart, 2009). Perilaku agresif juga
dapat ditunjukkan secara nonverbal, seseorang yang agresif melanggar batas pribadi
orang lain, bicaranya keras dan lantang, biasanya kontak mata yang berlebihan dan
mengganggu, postur kaku dan tampak mengancam (Stuart, 2009).

5) Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat yang
disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak diri sendiri, orang lain
dan lingkungan (Keliat dan Sinaga,1991). Menurut Stuart dan Laraia (2009) perilaku
kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu yang disebut dengan
hirarki perilaku agresif dan kekerasan.

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan menggunakan
konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan
presipitasi.

1. FAKTOR PREDISPOSISI
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi:
1) Faktor biologis
Hal yang di kaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter mengalami
gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
NAPZA.

2) Faktor psikologis
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus eksternal,
internal maupun lingkungan. perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi
frustasi. frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui
kegagalan atau terhambat, seperti kesehatan fisik yang terganggu, hubungan social
yang terganggu. Salah satu kebutuhan manusia adalah “Berperilaku”, apabila
kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang
akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif.

3) Faktor sosiokultural
Fungsi dan hubungan social yang terganggu disertai lingkungan social yang
mengancam kebutuhan individu, yang mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mempengaruhi individu untuk
berespon asertif atau agresif. Perilaku kekerasan dapat di pelajari secara langsung
melalui proses sosialisasi (social learning theory), merupakan proses meniru dari
lingkungan yang menggunakan perilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan
masalah.

2. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan pada setiap individu
bersifat unik, berbeda satu orang dengan orang yang lain. Stressor tersebut dapat
merupakan penyebab yang bersifat faktor eksternal maupun internal dari individu. Faktor
internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan kehilangan dan kegagalan
akan kehidupan (pekerjaan, pendidikan, dan kehilangan orang yang dicintai),
kekhawatiran terhadap penyakit fisik. Faktor eksternal meliputi kegiatan atau kejadian
sosial yang berubah seperti serangan fisik atau tindakan kekerasan, kritikan yang
menghina, lingkungan yang terlalu ribut, atau putusnya hubungan sosial/kerja/sekolah.

1) Faktor Biologi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan, ancaman
atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku kekerasan dari faktor biologi dapat
disebabkan oleh gangguan umpan balik diotak yang mengatur jumlah dan waktu dalam
proses informasi. Stimuli penglihatan dan pendengaran pada awalnya di saring oleh
hipotalamus dan dikirim untuk diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang
disampaikan terlalu banyak pada suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus
frontal mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan diingatkan lagi hipotalamus
untuk memperlambat transmisi kelobus frontal. Penurunan fungsi dari lobus frontal
menyebabkan gangguan pada proses umpan balik dalam penyampaian informasi yang
menghasilkan proses informasi overload (Stuart dan Laraia, 2005; Stuart, 2009).

2) Faktor Psikologis
Pemicu perilaku kekerasan dapat di akibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang
rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan membayangkan atau secara
nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan. Dalam
ruang perawatan perilaku kekerasan dapat terjadi karena provokasi petugas, perilaku
kekerasan klien terjadi pada setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap otoriter
dan cenderung mengatur/controlling; mengatur apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan oleh klien; menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan
memaksa untuk minum obat, semua itu berkontribusi terjadi konflik petugas dan klien
(Fontaine, 2009). Perilaku agresif atau kekerasan dapat terjadi karena beberapa
perasaan seperti marah, ansietas, rasa bersalah, frustasi atau kecurigaan (Townsend,
2009).
3) Faktor Sosial Budaya
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih besar
terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh sesak, kurang
privasi atau tidak bebas. Menurut Fagan-Pyor et al., (2003 dalam Stuat, 2009) petugas
mungkin secara sengaja atau tidak sengaja memicu perilaku klien untuk melakukan
kekerasan, ketidak pengalaman petugas, provokasi petugas, menejemen lingkungan
yang buruk, ketidak pahaman petugas, pertemuan fisik yang terlalu dekat, penetapan
batasan yang tidak konsisten dan budaya kekerasan mempengaruhi perilaku kekerasan
klien. Akhirnya pemahaman terhadap situasi dan penerimaan lingkungan, kognitif dan
stress komunikasi serta respon afektif klien perlu diidentivikasi oleh petugas.

3. PENILAIAN STRESSOR
Model stress diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan (1994)
menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang berdasarkan pada hubungan antara
jumlah stress dalam pengalaman seseorang dan toleransi internal terhadap ambang
stress. Ini adalah model penting karena mengintegrasikan faktor budaya biologis,
psikologis dan sosial, cara ini mirip dengan Stress Adaptasi Model Stuart yang
digunakan sebagai kerangka kerja konseptual (Stuart, 2009). Menurut Wuerker (2000)
Model adaptasi ini membantu menjelaskan stress dengan skizofrenia, meskipun tidak ada
penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa stress menyebabkan skizofrenia, namun
semakin jelas bahwa skizofrenia adalah gangguan yang tidak hanya menyebabkan stress,
tetapi juga diperparah oleh stress (Jones dan Fernyhougi, 2007 dalam Stuart, 2009 ).
Penelitian seseorang tentang stressor, dan masalah yang terkait dengan kopping untuk
mengatasi stress dapat memprediksi timbulnya gejala.

4. SUMBER KOPING
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit yang menakutkan dan sangat menjengkelkan
yang memerlukan penyusuaian baik bagi klien dan keluarga. Proses penyesuaian pasca
psikotik terdiri dari 4 fase : (1) Disonansi Kognitif (Psikosis Aktif) (2) Pencapaian
wawasan (3) Stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan kognitif ) dan (4)
Bergerak tehadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan (Ordinariness). Proses multifase
penyesuaian dapat berlangsung 3-6 tahun (moller,2006 dalam stuart, 2009 ) :
1) Efikasi atau kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala dan
menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan waktu 6-12 bulan.
2) Awal pengenalan diri sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan realitas yang
dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini memakan waktu 6-12 bulan dan
tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan.
3) Setelah mencapai pengenalan diri, proses pencapaian kognitif meliputi keteguhan
melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging dalam kegiatan sesuai
dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1-3
tahun.
4) Ordinariness / kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan kemampuan
untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam kegiatan yang sesuai
dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-hari mencerminkan tujuan prepsychosis.
Fase ini berlangsung minimal 2 tahun. Sumber daya keluarga, seperti pemahaman
orang tua terhadap penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi dan
kemampuan untuk menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi
jalannya penyesuaian postpsychotic.
5. MEKANISME KOPING
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri dalam
upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan oleh
penyakit mereka . Regresi adalah berkaitan dengan masalah informasi pengolahan dan
pengerluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk mengelola
kegelisahan,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari-hari. Proyeksi adalah upaya
untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan menetapkan responsibility kepada
seseorang atau sesuatu. Penarikan diri ini berkaitan dengan masalah membangun
kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal .

Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari kali diagnosis


relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi ketika seseorang menerima
informasi yang menyebabkan rasa takut dan kecemasan. Hal ini memungkinkan watu
seseorang untuk mengumpulkan sumber daya internal dan eksternal dan kemudia
beradaptasi dengan stressor secara bertahap. Pada klien penyesuaian postpschotic proses
aktif menggunakan mekanisme koping adaptif juga. Ini termasuk kognitif, emosi ,
interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi penanggulangan yang dapat berfungsi
sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (Stuart,2009).

C. POHON MASALAH
1. POHON MASALAH
Menurut Keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :

Risiko Mencederai Diri Sendiri Risiko Mencederai Orang Lain dan lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan

Halusinasi, Isolasi Sosial, HDR, Mekanisme Koping Tidak Effektif

2. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1) Data yang perlu dikaji
NO DATA MASALAH
1. Data Subjektif : Risiko Perilaku
 Ungkapan berupa ancaman Kekerasan
 Ungkapan kata-kata kasar
 Ungkapan ingin memukul/melukai

Data Objektif :
 Wajah memerah dan tegang
 Pandangan tajam
 Mengatupkan rahang dengan kuat
 Mengepalkan tangan
 Bicara kasar
 Suara tinggi, menjerit atau berteriak
 Mondar-mandir
2) Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Perilaku Kekerasan.
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
c. Perubahan persepsi sensori.
d. Harga diri rendah kronis.
e. Isolasi sosial.
f. Berduka fungsional.
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
h. Koping keluarga inefektif.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko Perilaku Kekerasan
E. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

PERENCANAAN
NO
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI RASIONAL
Tujuan : Klien dapat 1. Setelah…..× interaksi klien 1. Bina hubungan saling percaya dengan 1. Kepercayaan dari klien merupakan
mengontrol perilaku menunjukan tanda-tanda percaya menggunakan prinsip komunikasi terapeutik : hal yang mutlak serta akan
kekerasan kepada perawat :  Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun memudahkan dalam pendekatan dan
 Ekspresi wajah bersahabat nonverbal tindakan keperawatan yang akan
SP 1 : Klien dapat  Menunjukan rasa senang  Perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan dilakukan kepada klien.
membina hubungan  Ada kontak mata perawat berkenalan
saling percaya  Mau berjabat tangan  Tanyakan nama lengkap dan nama penggilan
 mau menyebutkan nama yang disukai klien
 Mau menjawab salam  Buat kontrak yang jelas
 Mau duduk berdampingan dengan  Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap
perawat kali berinteraksi
 Bersedia mengungkapkan masalah  Tunjukan sikap empati dan menerima apa
yang dihadapi adanya
 Beri perhatian kepada klien dan masalah yang
dihadapi klien
 Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi
perasaan klien
SP 2 : Klien dapat 2. Setelah…..× interaksi klien 2. Bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya 2. Menentukan mekanis-me koping
mengenal penyebab menceritakan penyebab perilaku : yang dimiliki klien dalam
perilaku kekerasan kekerasan yang dilakukannya :  Motivasi klien untuk menceritakan penyebab menghadapi masalah serta sebagi
yang dilakukannya Menceritakan penyebab perasaan rasa kesal atau jengkelnya langkah awal dalam menyusun
jengkel/marah baik dari diri sendiri  Dengarkan tanpa menyela atau memberi strategi berikutnya
maupun lingkungannya penilaian setiap ungkapan perasaan klien.
SP 3 : Klien dapat 3. Setelah…..× interaksi klien 3. Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku 3. Deteksi dini sehingga dapat
mengidentifikasi menceritakan tanda-tanda saat kkerasan yang dialaminya : mencegah tindakan yang dapat
tanda-tanda perilaku terjadi perilaku kekerasan :  Motivasi klien menceritakan kondisi fisik saat membahayakan klien dan lingkungan
kekerasan  Tanda Sosial:bermusuhan yang perilaku kekerasan terjadi sekitar
dialami saat terjadi perilaku  Motivasi klien menceritakan kondisi
kekerasan emosionalnya saat terjadi perilaku kekerasan
 Tanda Emosional : perasaan marah,  Motivasi klien menceritakan hubungan dengan
jengkel, bicara kasar. orang lain saat terjadi perilaku kekerasan
 Tanda Fisik : mata merah, tangan
mengepal, ekspresi tegang,dll
SP 4 : klien dapat 4. Setelah…..× interaksi klien 4.1 Diskusikan dengan klien perilaku kekerasan 4. Melihat mekanisme koping klien
mengidentifikasi menjelaskan : yang dilakukannya selama ini : dalam menyelesaikan masalah yang
perilaku kekerasan  Jenis-jenis ekspresi kemarahan yang  Motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak dihadapi
yang pernah selama ini telah dilakukannya kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya
dilakukan  Perasaan saat melakukan kekerasan  Motivasi klien menceritakan perasaan setelah
 Efektivitas cara yang dipakai dalam tindakan tersebut
menyelesaikan masalah 4.2 Diskusikan apakah dengan tindakan tersebut
msalah yang dialami teratasi
SP 5 : Klien dapat 5. Setelah…..× interaksi klien 5. Diskusikan dengan klien akibat negatif cara 5. Membantu klien melihat dampak
mengidentifikasi menjelaskan akibat tindakannya : yang dilakukan pada : yang ditimbulkan akibat perilaku
akibat perilaku  Diri sendiri  Diri sendiri kekerasan yang dilakukan klien
kekerasan  Orang lain  Orang lain
 Lingkungan  Lingkungan
SP 6 : Klien dapat 6. Setelah…..× interaksi klien: 6. Diskusikan dengan klien : 6. Menurunkan perilaku destruktif yang
mengidentifikasi cara Menjelaskan cara yang sehat untuk  Apakah klien mau mempelajari cara baru untuk akan mencederai klien dan
konstruktif dalam mengungkapkan marah mengungkapkan marah yang sehat lingkungan sekitar
mengungkapkan  Jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk
kemarahan mengungkapkan marah selain perilaku kekerasan
yang diketahui klien
 Jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan
marah :
- Cara fisik : nafas dalam, pukul bantal atau
kasur, olahraga
- Verbal : mengungkapkan bahwa dirinya sedang
kesal kepada orang lain.
- Sosial : Latihan asertif dengan orang lain
- Spiritual : Sembahyang/doa, zikir,
meditasi,dlsb
SP 7 : Klien dapat 7. Setelah…..× interaksi klien 7.1 Diskusikan cara yang akan dipilih dan anjurkan 7.1 Keinginan untuk marah tidak tahu
mendemonstrsikan memperagakan cara mengontrol klien memilih cara yang memungkinkan untuk kapan munculnya serta siapa yang
cara mengontrol perilaku kekerasan mengungkapkan kemarahan akan memicunya
perilaku kekerasan  Fisik : tarik nafas dalam, memukul 7.2 Latih klien memperagakan cara yang dipilih : 7.2 Meningkatkan kepercayaan diri klien
bantal/kasur  Peragakan cara yang dipilih serta asertifitas klien saat
 Verbal : Mengungkapkan perasaan  Jelaskan manfaat cara tersebut marah/jengkel.
kesal/jengkel pada orang lain tanpa  Anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah 7.3 Meningkatkan asertifitas klien dalam
menyakiti dilakukan menghadapi marah.
 Spiritual : Berdoa sesuai agama  Beri penguatan pada klein, perbaiki cara yang
masih belum sempurna
7.3 Anjurkan klien menggunakan cara yang sudah
dilatih saat marah/jengkel
SP 8 : Klien 8. Setelah…..× interaksi keluarga : 8.1 Diskusikan pentingnya peran serta keluarga 8. Keluarga adalah sistem pendukung
mendapat dukungan  Menjelaskan cara merawat klien sebagai pendukung klien untuk mengatasi utama bagi klien
keluarga untuk dengan perilaku kekerasan perilaku kekerasan
mengontrol perilaku  Mengungkapkan rasa puas dalam 8.2 Diskusikan potensi keluarga untuk membantu
kekerasan merawat klien klien mengatasi perilaku kekerasan
8.3 Jelaskan pengertian, penyebab, akibat, dan cara
merawat klien perilaku kekerasan yang dapat
dilakukan keluarga
8.4 Peragakan cara merawat klien
8.5 Beri kesempatan keluarga untuk memperagakan
ulang
8.6 Beri pujian pada keluarga setelah peragaan
8.7 Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba
cara yang dilatih
SP 9 : KLien 9.1 Setelah…..× inter-aksi klien menje- 9.1 Jelaskan pada klien : 9. Mensukseskan program pengobatan
menggunakan obat laskan :  Manfaat minumobat klien
sesuai program yang  Manfaat minum obat  Kerugian tidak minum obat
telah ditetapkan  Kerugian tidak minum obat  Nama obat
 Nama obat  Bentuk dan warna obat
 Bentuk dan warna obat  Dosis yang diberikan
 Dosis yang diberikan  Waktu pemakaian
 Waktupemakaian  Cara pemakaian
 Cara pemakaian  Efek yang dirasakan
 Efek yang dirasakan 9.2 Anjurkan klien :
9.2 Setelah…..× inter-aksi klien  Minta dan menggunakan obat tepat waktu
menggu-nakan obat sesuai program  Lapor ke perawat/dokter jika mengalami efek
yang tidak biasa
 Beri pujian terhadap kedisiplinan klien
menggunakan obat.
F. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (
INDIVIDU, KELUARGA DAN KELOMPOK )

1. INDIVIDU
SP 1 Pengkajian,latihan nafas dalan dan memukul bantal dan kasur
SP 2 Mengontrol perilaku kekerasan dengan Latihan patuh minum obat
SP 3 Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal atau sosial
SP 4 Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual

2. KELUARGA
SP 1 Cara merawat pasien dan latih fisik 1(latihan nafas dalam dan mukul
bantal kasur)
SP 2 Latihan cara patuh minum obat
SP 3 Latihan cara verbal atau sosial
SP 4 Latihan cara spiritual

3. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


SESI 1 Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
SESI 2 Mencegah perilaku kekerasan fisik
SESI 3 Mencegah perilaku kekerasan sosial
SESI 4 Mencegah perilaku kekerasan spiritual
SESI 5 Mencegah perilaku kekerasan patuh minum obat
DAFTAR PUSTAKA

Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan). Jakarta :
EGC.

Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

Stuart, G. W. 2009. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis :


Mosby.

Townsend, M. C. 2009. Psychiatric Mental Heath Nursing (9th ed). Mosby. Inc.

Fontaine. 2009. Mental Heath Nursing Care (Sixth Edit). New Jersey : Pearson
Prentice Hall.

Herdman, T Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Dialihbahasakan Oleh Made Sumarwati, Nike Budhi Subekti.
Bararah bariid, Monica Ester & Wuri Praptiani (ed). Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai