SEMINAR
TERAPI HERBAL PADA PASIEN PERAWATAN LUKA BAKAR
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sistem Integumen
Koordinator Mata Kuliah : Hemi Fitriani M.Kep.,Ns.Sp.Kep.Mat
Koordinator Tutorial : Ismafiaty, S.Kep.,Ners.,M.Kep
Disusun Oleh :
Tutorial 2A
Anggota :
Widya Agustina.T (213116004) Citra Ardia R. (213116069)
Novia Mulyagunavin (213116005) Deipa Nastrya (213116079)
Riyani Nuriyah (213116020) Dede Alfian F. (213116062)
Angga M.Ganeswara (213116031) Saskia Anazim (213116090)
Cindi Salsa A (213116040) Lisa Meylinda (213116089)
Syahla Nabila A (213116036) Desi Siti W (213116085)
Nurina Alifah (213116037) Aprilia Rizki (213116077)
Hafsa Ahdiyatunnisa (213116047) Dicky Kurniawan (213116109)
Asyifa Meilani P. (213116068)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa. Atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya pulalah makalah seminar ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terimakasih yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Terapi herbal pada pasien perawatan
luka bakar ini dapat bermanfaat untuk masyarakat maupun inspirasi terhadap pembaca.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Teori
1. Definisi Luka Bakar
Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ketubuh (flash), terkena air
panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan-
bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) (Moenajat, 2001).
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak langsung atau tak langsung
dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi (Nugroho, 2010).
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak langsung dengan suhu tinggi
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi ; juga oleh sebab kontak dengan suhu
rendah (frost-bite). Luka bakar ini dapat mengakibatkan kematian, atau akibat lain yang
berkaitan dengan problem fungsi maupun estetik (Rendy & Margareth 2012).
2. Etiologi
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah :
a). Luka bakar suhu tinggi(Thermal Burn) : Gas, cairan, bahan padat
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald) ,jilatan api
ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya(logam panas, dan lain-lain) (Moenadjat, 2005).
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut
dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–3
minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda-tanda untuk
sembuh dalam jangka lebih dari 4–6 minggu.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak.
Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik luka
ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi,
dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses
penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase
destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya
luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin membaik.
Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses peradangan yang
dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan
kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase (Potter & Perry, 2005)
yaitu:
1. Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama
terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian
perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi
pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan
darah di daerah luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu
hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab
epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh
dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah yang
meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses
penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel
berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini
ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah
cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang
disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang
merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF
bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting
bagi proses penyembuhan.
2. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke–21. Jaringan
granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru,
fibronectin and hyularonic acid.
Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai
24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi
dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah
substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang
meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka
terbuka. Kapilarisasi dan epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah
yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
3. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih
kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih.
Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan
kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya
kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan.
Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian
terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan
yang mengalami perbaikan (Syamsulhidjayat, 2005).
h) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
1. Usia
Sirkulasi darah dan pengiriman oksigen pada luka, pembekuan, respon
inflamasi,dan fagositosis mudah rusak pada orang terlalu muda dan orang tua, sehingga
risiko infeksi lebih besar. Kecepatan pertuumbuhan sel dan epitelisasi pada luka terbuka
lebih lambat pada usia lanjut sehingga penyembuhan luka juga terjadi lebih lambat
(DeLauna & Ladner, 2002).
2. Nutrisi
Diet yang seimbang antara jumlah protein, karbohidrat, lemak, mineral dan
vitamin yang adekuat diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap patogen
dan menurunkan risiko infeksi. Pembedahan, infeksi luka yang parah, luka bakar dan
trauma, dan kondisi defisit nutrisi meningkatkan kebutuhan akan nutrisi. Kurang nutrisi
dapat meningkatkan resiko infeksi dan mengganggu proses penyembuhan luka.
Sedangkan obesitas dapat menyebabkan penurunan suplay pembuluh darah, yang
merusak pengiriman nutrisi dan elemen-elemen yang lainnya yang diperlukan pada
proses penyembuhan. Selain itu pada obesitas penyatuan jaringan lemak lebih sulit,
komplikasi seperti dehisens dan episerasi yang diikuti infeksi bisa terjadi (DeLaune &
Ladner, 2002).
3. Oksigenasi
Penurunan oksigen arteri pada mengganggu sintesa kolagen dan pembentukan
epitel, memperlambat penyembuhan luka. Mengurangi kadar hemoglobin (anemia),
menurunkan pengiriman oksigen ke jaringan dan mempengaruhi perbaikan jaringan
(Delaune & Ladner, 2002).
4. Infeksi
Jurnal 2
EFEK MADU DALAM PROSES EPITELISASI LUKA BAKAR
DERAJAT DUA DANGKAL
Penelitian dilakukan di Bangsal Bedah RSUP Dr.Kariadi Semarang mulai 16
April 2011 – 6 Mei 2011. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental pada pasien
yang telah lolos kaji etik penelitian. Subyek penelitian adalah pasien luka bakar yang
dirawat di Bangsal Bedah RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel yang digunakan adalah
luka bakar derajat dua dangkal yang dialami oleh pasien dan memenuhi syarat kriteria
penelitian. Sebanyak 10 sampel luka dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu
kelompok madu (M) dan kelompok kontrol (K). Masing masing perlakuan terdiri dari 5
luka.
Sebelum pembalutan luka, dilakukan pengukuran luas luka dengan ukuran
minimal 25cm2 kemudian diberi perlakuan satu sisi menggunakan madu dan sisi lain
menggunakan tulle. Irigasi luka menggunakan larutan garam fisilogis dilakukan sebelum
melakukan pembalutan menggunakan madu dan tulle kemudian ditutup dengan kasa
lembab dan kasa gulung. Balutan dibuka setiap dua hari untuk mengamati proses
epitelisasi yang terjadi pada luka. Aplikasi madu dan tulle dilanjutkan sampai terjadi
epitelisasi penuh. Tepi luka menjadi titik ukur untuk pengukuran luas luka bakar.
Pengukuran menggunakan program Autocad 2010.
Analisis data percepatan proses epitelisasi dan penurunan luas luka bakar
dilakukan dengan uji Mann-Whitney. Untuk semua tes statistik signifikansi ditetapkan
pada p<0,05.
Efek penggunaan madu dan tulle sebagai kontrol terhadap proses epitelisasi luka
bakar derajat dua dangkal dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Hasil analisis
menunjukkan bahwa tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara proses epitelisasi
dengan madu dan dengan tulle sebagai kontrol (tabel 1).
Tabel 1. Efek perlakuan terhadap proses epitelisasi luka bakar derajat dua dangkal
Kelompok Rerata P value Keterangan
Kontrol 7
0,30 Tidak signifikasi
Madu 5
Hasil penelitian menunjukkan secara klinis proses epitelisasi luka bakar balut
madu lebh cepat dibandingkan dengan balut kasa tulle. Namun secara staistik tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna pada proses epitelisasi luka bakar derajat dua
dangkal yang dibalut madu dan kasa tulle.
Gambaran ini sedikit berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
oleh P.C. Molan pada luka bakar derajat tiga yang diberi madu dan perak sufadiazine
dimana secara statistik didapatkan perbedaan yang bermakna pada proses penyembuhan
luka bakar tersebut. Alasan yang dapat menjelaskan perbedaan ini adalah jenis madu
yang digunakan. Kualitas madu bagi penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain, komposisi nektar, jenis bunga, cuaca dan iklim, cara
pengolahan, dan beberapa faktor lain. Sebagian besar peneliti tidak menyebutkan jenis
madu yang digunakan. Tetapi bila dilihat dari tempat pelaksanaan penelitian, sebagin
besar dilakukan di negara sub-tropis, dimana kelembaban udara jauh lebih rendah dan
memiliki jenis tanaman yang berbeda dengan daerah tropis sehingga berdampak pada
kandungan madu dan manfaatnya di bidang medis. Perbedaan penelitian ini dengan
penelititan terdahulu adalah pada pengamatan penyembuhan luka. Penelitian ini
mengamati proses epitelisasi yang berlangsung selama proses penyembuhan luka bakar
derajat dua dangkal serta subyek penelitiannya adalah manusia. Hal ini berbeda dengan
penelitian terdahulu yang menentukan waktu penyembuhan luka bakar derajat tiga serta
menggunakan tikus sebagai hewan coba.
Jurnal 3
Semakin lama luka terbuka, jaringan hipo perfusi atau nekrotik, semakin mudah
bagi bakteri untuk kolonisasi. Bahkan, luka adalah tempat yang ideal bagi bakteri untuk
berkembang biak karena lingkungan nutrisi yang hangat dan lembab. Bakteri dalam kadar
rendah juga dapat menunda penyembuhan luka sebelum invasi jaringan melalui sekresi
toksin baik secara langsung dari sel yang vital (eksotoksin) atau sebagai akibat dari
sellisis (endotoksin). Toksin ini menyebabkan nekrosis lokal dan mengganggu
keseimbangan mediator penting seperti sitokin dan protease yang diperlukan untuk
penyembuhan.Oleh karena itu kontrol atau penyerapan cairan toksin adalah salah satu hal
penting dalam modalitas pengendalian infeksi. Perawatan luka bakar sudah berkembang
secara pesat.Pengobatan modern untuk mencegah timbulnya infeksi menggunakan silver
sulfadiaze (SSD).Namun beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan SSD dapat
memperpanjang waktu penyembuhan luka (Subrahmanyam, 1998; Moore et al.,
2001).Sebagai pengobatan alternatif, madu dapat digunakan untuk mencegah infeksi
tanpa memperpanjang waktu penyembuhan luka. Aktivitas antibakteri Mekanisme madu
sebagai antibakteri dapat diklasifikasikan secara langsung dan tidak langsung (Al-Waili
et al., 2011).Mekanisme secara langsung didasarkan pada kemampuan komponen madu
untuk membunuh bakteri.Mekanisme tidak langsung adalah respon antibakteri dari host
yang dirangsang oleh madu terhadap bakteri.Mekanisme secara langsung mekanisme
terbentuknya hydrogen peroksida (H2O2), osmolalitas tinggi, pH rendah, faktor non -
peroksida, dan fenol.Mekanisme antibakteri tidak langsung meliputi limfosit dan
produksi antibodi, sitokin dan respon imun, dan nitrit oksida (Ball, 2007).
1. Glukosa oksidase
Glukosa oksidase dapat mengubah glukosa menjadi hidrogen peroksida dan asam
glukonat dalam suasana aerobic (Kwakman & Zaat, 2012). Studi menemukan bahwa
madu yang lebih terkonsentrasi menghasilkan lebih sedikit hydrogen peroksida, dan
akumulasi hidrogen peroksida terbanyak terdapat pada madu yang konsentrasinya 30% -
50%. Madu dengan konsetrasi 75% memiliki aktivitas enzim glukosa oksidase yang
suboptimal.Data ini menunjukkan bahwa madu dengan konsentrasi yang tergolong
rendah (30% - 50%) lebih cocok digunakan untuk perawatan luka (Bang et al., 2003).
2. Hidrogen peroksida
Hidrogen peroksida adalah salah satu faktor utama madu dapat menghasilkan
aktivitas antibakteri.Hidrogen peroksida secara perlahan dibentuk karena interaksi antara
eksudat luka dengan glukosa oksidase yang terkandung didalam madu (Kwakman &
Zaat, 2012). Madu juga mengandung asam askorbat yang membantu hidrogen peroksida
melaksanakan tugasnya sebagai antibakteri.Studi menemukan bahwa campuran hidrogen
peroksida dan asam askorbat meningkatkan lisis dan kematian bakteri Gram negatif oleh
lisosom (Al-Waili et al., 2011).Hidrogen peroksida juga ditemukan dapat menarik
leukosit ke luka melalui mekanisme gradien konsentrasi.Tidak hanya efek antibakteri,
hidrogen peroksida juga dapat merangsang prolferasi fibroblast dan angiogenesis (Ball,
2007). Faktor-faktor seperti panas (madu stabil pada suhu 50 oC, rusak pada suhu 55- 70
oC, cahaya ultraviolet, Methylglyoxal (MGO), enzim katalase dan auto-oksidasi dari
flavonoids dapat menginaktivasi hydrogen peroksida (Brudzynski et al., 2011).
3. Methylglyoxal (MGO)
Methylglyoxal (MGO) merupakan antibakteri yang kuat tetapi dapat menekan pembentukan
hidrogen peroksida karena Methylglyoxal (MGO) lebih reaktif berikatan dengan glukosa
oksidase.Methylglyoxal (MGO) berasal dari konversi non – enzimatik
dihidroksiaseton.Reaksi ini terjadi dalam nectar dan meningkat isinya dengan penyimpanan
madu pada suhu 37 oC (Al-Waili et al., 2011).Methylglyoxal (MGO) sebagai komponen
antibakteri mampu berinteraksi dengan pusat-pusat nukleofilik makromolekul seperti DNA.
Dalam organisme Gram positif, Methylglyoxal (MGO) menurunkan regulasi enzim autolisin
yang terlibat dalam pembelahan dinding sel bakteri pembelahan sel. Pada bakteri Gram
negatif, Methylglyoxal (MGO) mengatur ekspresi gen yang terlibat dalam stabilitas dinding
sel (Dart et al., 2015).
4. Osmolaritas
Osmolaritas (jumlah partikel zat terlarut per liter larutan) madu yang tinggi merupakan
komponen penting yang membantu membatasi pertumbuhan dan proliferasi bakteri (Al-Waili
et al., 2011). Tingkat karbohidrat yang tinggi seperti fruktosa, glukosa, maltose, sukrosa dan
bentuk karbohidrat yang lain bertanggung jawab untuk tingginya osmolaritas madu
(Ruttermann et al., 2013). Glukosa dan karbohidrat dapat mengikat molekul air (Moore et al.,
2001). Hal ini menyebabkan bakteri tidak mendapatkan cukup air untuk tumbuh.Akhirnya
bakteri menjadi dehidrasi dan kemudian mati.
Mekanisme kerja madu pada penyembuhan luka (Oryan et al., 2016)
a. Debridement
Debridement adalah kebutuhan dasar untuk memfasilitasi penyembuhan jaringan yang
fungsional (Klein, 2007).Penggunaan madu sebagai dressing membantu menciptakan
lingkungan yang lembab sehingga debridement dapat terinduksi (Sukur et al., 2011).Hal ini
terjadi karena tingginya tekanan osmotic madu serta aktivasi dari protease yang disebabkan
oleh hidrogen peroksida (Manyi-Loh et al., 2011).Hal tersebut juga membantu melepaskan
jaringan nekrotik tanpa menimbulkan rasa sakit.
b. Aktifitas anti-inflamasi
Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap stimulus yang berbahaya serta memulai proses
penyembuhan. Inflamasi juga merupakan penyebab utama nyeri dan edema pada luka
(American Burn Association, 2011).Madu dapat mengurangi radikal bebas yang dihasilkan
selama fase inflamasi sehingga mencegah timbulnya jaringan nekrotik yang berlebihan
105.Berkurangnya radikal bebas mengurangi aktivitas fibroblast, sehingga produksi kolagen
juga berkurang. Hal ini meminimalisasi hingga mencegah terjadinya parut hipertofik 107
c. Stimulasi regenerasi dan perbaikan luka
Madu mengurangi edema, meredakan inflamasi dan nyeri, memfasilitasi debridement,
mengurangi timbulnya bau, sintesis kolagen, terbentuknya pembuluh darah baru, stimulasi
pertumbuhan fibroblast dan sel epitel, stimulasi terbentuknya jaringan granulasi dan
mencegah terbentuknya parut dan keloid (Molan, 2002). Madu mempunyai peran untuk
memodulasi fase inflamasi dari penyembuhan luka sehingga fase inflamasi tidak berlangsung
terlalu lama/kronis (Raynaud et al., 2013).
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada jurnal pertama dapat disimpulkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi
ukuran luka kronis seperti ulkus vena/arteri dan luka decubitus dalam waktu dua minggu secara
signifikan. Suatu penelitian tentang madu yang dibandingkan dengan asetat mafenide yang
merupakan salah satu antibiotik spektrum luas, madu tampaknya memiliki hasil yang lebih baik
sebagai pengobatan topikal untuk luka bakar superfisial karena mempercepat proses re-epitelisasi
dan mengurangi reaksi inflamasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa madu mengandung
hidrogen perioksida dan flavanoids yang dapat menyebabkan efek penyembuhan yang lebih baik
dan epitelisasi dari dangkal luka dari beberapa antibiotik topikal lainnya,seperti asetat
mafenide.Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi dan epitelisasi pada luka. Selain
itu pada tahun 2005 dilakukan riset untuk untuk mengetahui pengaruh frekuensi perawatan luka
bakar derajat II dengan madu terhadap lama penyembuhan luka dan mengetahui frekuensi mana
yang sebaiknya diterapkan untuk perawatan luka bakar derajat II dengan menggunakan madu,
perawatan luka bakar derajat II dengan menggunakan madu yang dilakukan 2-3 kali per hari
terbukti paling efektif (secara klinis) dalam mempercepat penyembuhan luka bakar derajat II
dibandingkan dengan perawatan luka yang dilakukan 1 kali per hari dan 2 hari sekali, serta
perawatan luka dengan tidak menggunakan bahan apapun.
Pada jurnal kedua Hasil penelitian menunjukkan secara klinis proses epitelisasi luka
bakar balut madu lebih cepat dibandingkan dengan balut kasa tulle. Namun secara staistik tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna pada proses epitelisasi luka bakar derajat dua
dangkal yang dibalut madu dan kasa tulle.
Pada jurnal ketiga Sebagai pengobatan alternatif, madu dapat digunakan untuk mencegah
infeksi tanpa memperpanjang waktu penyembuhan luka. Aktivitas antibakteri Mekanisme madu
sebagai antibakteri dapat diklasifikasikan secara langsung dan tidak langsung. Mekanisme secara
langsung didasarkan pada kemampuan komponen madu untuk membunuh bakteri.Mekanisme
tidak langsung adalah respon antibakteri dari host yang dirangsang oleh madu terhadap bakteri.
B. Saran
1. Bagi pelayanan kesehatan
Bagi pelayanan kesehatan disarankan untuk dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai
salah satu intervensi keperawatan pada pasien yang mengalami luka bakar
2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Bagi perkembangan ilmu keperawatan khususnya tenaga pengajar dan pelajar
disarankan unuk dapat memakai hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber informasi
mengenai cara mengatasi luka bakar potency of honey in treatment of burn wounds
3. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat disarankan untuk dapat mengaplikasikan hasil penelitian yang sudah
dilakukan.
4. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian selanjutnya dapat dijadikan tambahan untuk mengembangkan penelitian
lebih apikatif tentang pengobatan luka bakar derajat dua.