Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Epidemiologi Penyakit Rheumatoid Arthritis

Disusun Oleh

1. Muhammad Fauzi 175059011


2. Muhammad Fuad Iqbal 175059044

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antara 2015 dan 2050, proporsi dari lansia diperkirakan dua
kali lipat dari 12% sampai 22%. Hal ini merupakan peningkatan yang
tidak dapat diduga dari 900 juta menjadi 2 milyar orang dengan usia
60 tahun. Lansia menghadapi permasalahan kesehatan fisik dan
mental khusus. Terdapat 125 juta orang dengan usia 80 tahun bahkan
lebih. (World Health Organization, 2015).
Adanya peningkatan taraf hidup dan umur harapan hidup
merupakan keberhasilan pembangunan yang dicapai suatu
bangsa.Yang dapat meningkatkan umur harapan hidup di Indonesia
adalah derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduknya. Pada
tahun 2011 terdapat peningkatan umur harapan hidup di Indonesia
mencapai 69,95 (dengan persentase penduduk lanjut usia mencapai
7,58).
Dari berbagai masalah kesehatan, ternyata gangguan
muskuloskletal menempati urutan kedua 14,5% setelah pnyakit
kardiovaskuler dalam pola penyakit masyarakat usia >55 tahun
(Household Survey on Health,1996) dan berdasarkan WHO di jawa
ditemukan bahwa Rheumatoid Arthritis (RA) menempati urutan
pertama (49%) dari pola penyakit lansia.
Rheumatoid arthritis adalah penyakit inflamasi sistemik kronis,
inflamasi sistemik yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dan
organ, tetapi terutama menyerang fleksibel (sinovial) sendi.Menurut
World Health Organisation (WHO) (2016) 335 juta penduduk di dunia
yang mengalami Rheumatoid arthritis.
Di Indonesia jumlah penderita Rheumatoid arthritis pada tahun
2011 diperkirakan prevalensinya mencapai 29,35%, pada tahun 2012
prevalensinya sebanyak 39,47%, dan tahun 2013 prevalensinya
sebanyak 45,59% dengan angka perbandingan pasien wanita tiga kali
lipatnya dari laki-laki.
Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit yang menyerang
sendi, dan dapat menyerang siapa saja yang rentan terkena penyakit
rheumatoid arthritis. Oleh karena itu, perlu kiranya mendapatkan
perhatian yang serius karena penyakit ini merupakan penyakit
persendian sehingga akan mengganggu aktivitas seseorang dalam
kehidupan sehari-hari. Rheumatoid arthritis paling banyak ditemui dan
biasanya dari faktor genetik, jenis kelamin, infeksi, berat
badan/obesitas, usia, selain itu faktor lain yang mempengaruhi
terhadap penyakit Rheumatoid arthritis adalah tingkat pengetahuan
penyakit Rheumatoid arthritis sendiri memang masih sangat kurang,
baik pada masyarakat awam maupun kalangan medis (Mansjoer,
2011).
Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit yang telah lama
dikenal dan tersebar luas diseluruh dunia yang secara simetris
mengalami peradangan sehingga akan terjadi pembengkakan, nyeri
dan ahirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi dan akan
mengganggu aktivitas/pekerjaan penderita (Junaidi, 2006).
Rheumatoid arthritis lebih sering terjadi pada orang mempunyai
aktivitas yang berlebih dalam menggunakan lutut seperti pedagang
keliling, dan pekerja yang banyak jongkok karena terjadi penekanan
yang berlebih pada lutut, umumnya semakin berat aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang dalam kegiatan sehari-hari maka pasien
akan lebih sering mengalami Rheumatoid arthritis terutama pada
bagian sendi dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Penyakit
peradangan sendi biasanya dirasakan terutama pada sendi-sendi
bagian jari dan pergelangan tangan, lutut dan kaki, dan pada stadium
lanjut penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan
kualitas hidupnya akan menurun (Sarwono, 2001).
BAB II
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

A. Definisi
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun kronik
yang merusak sinovium (bagian dari sendi) yang berfungsi untuk
memberikan nutrisi pelumas sendi supaya sendi mudah bergerak.
Umumnya menyerang sendi-sendi kecil, jari-jari tangan, kaki pada
kedua sisi dan simetris (Indrajati, 2013)
Autoimun artinya sel-sel tertentu dalam system kekebalan
tubuh tidak bekerja dengan baik sebagaimana mestinya dan justru
menyerang jaringan sehat seperti sendi, sehingga menyebabkan
peradangan yang merusak sendi. Penyakit autoimun menyebabkan
nyeri dan kekakuan dalam jangka panjang yakni berlangsung 1-2 jam,
bahkan sepanjang hari, menimbulkan kecacatan, bahkan kematian.
Penyakit ini banyak dampak yang ditimbulkan selain nyeri dan
kecacatan, yang berdampak pada kualitas hidup penderita. Selain itu
membutuhkan biaya yang sangat banyak untuk mengendalikan
penyakitnya.(Indrajati, 2013)

B. Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara
pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas
(antigen – antibodi), faktor metabolik dan infeksi virus, Salah satu
faktor imunologi yang telah lama ditetapkan adalah adanya human
leukocyte antigen (HLA)-DRB1 yang ditemukan pada pasien dengan
temuan faktor reumatoid atau ACPA positif (McInnes B dan Schett G,
2013).
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan lingkungan (Suarjana, 2009)
1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
2. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari
Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting
dalam sintesis estrogen plasenta, stimulasi esterogen dan
progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat
respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesterone berperan menimbulkan
penyakit autoimun.
3. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T
sehingga muncul timbulnya penyakit RA.
4. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi
sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian
(sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena
kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop
HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga
mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).

C. Patofisiologi
Diawali dengan kerja sistim imun yang memproduksi antibody
(faktor reumatoid dan antibodi protein anti-citrullinated [ACPA]) dan
menyerang jaringan sendi menyebabkan kondisi peradangan.
Peradangan pada sendi menciptakan penebalan pada membran
synovium yang disebut sebagai synovitis. Synovitis ini lah yang
menjadi tanda dari adanya suatu rheumatoid arthritis. Ketika
peradangan tambah parah, dapat merusak tulang rawan, tulang,
ligamen, tendon, syaraf, dan pembuluh darah pada kompleks sendi
yang terkena. Sudah tentu penderita akan merasa kesakitan, terjadi
pembengkakan pada sendi, dan sangat mengganggu aktivitas
kesehariannya. Karena bersifat kronis tadi, dapat terjadi periode-
periode panjang di mana penderita tidak merasa adanya keluhan.
(McInnes B dan Schett G, 2013).
Paul BJdkk (2009) menjelaskan perkembangan perjalanan
reumatoid artritis terbagi dalam lima fase, yaitu:
1. Fase I: interaksi antara faktor genetika dan lingkungan
2. Fase II: produksi autoantibodi, seperti RF (Rheumatoid Factor) dan
anti-CCP (cyclic citrullinated peptide)
3. Fase III: gejala arthralgia dan kekakuan sendi tanpa disertai bukti
klinis arthritis
4. Fase IV: artritis pada satu atau dua sendi, yang dapat bersifat
intermiten dan disebut sebagai palindromic rheumatism
5. Fase V: timbulnya tampilan klasik RA
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada
jaringan synovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti,
nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada
jaringan synovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang
ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas Pada stadium ini terjadi perubahan secara
progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara
menetap.
Peningkatan reaktan fase akut sebagai akibat dari proses
inflamasi merupakan faktor risiko independen kardiovaskular melalui
peningkatan aktivasi endothelial dan menjadikan plak ateromatosa
tidak stabil. Sitokin juga menyebabkan resistensi insulin pada otot dan
jaringan adiposa pada sindrom ‘metabolik inflamatori’. Selain itu,
perubahan sistemik lainnya yang berkaitan dengan peningkatan
aktivitas inflamasi pada reumatoid artritis dapat terjadi pada:
1. Struktur muskuloskeletal. Dapat menyebabkan otot menciut
(atrophy), kerusakan tendon dan tulang, dan mencetus
osteoarthritisserta carpal tunnel syndrome.
2. Jantung. Dapat terjadi kerusakan di jantung karena adanya
tumpukan cairan di sekitar jantung (pericardial effusion) sebagai
hasil dari adanya peradangan di tubuh. Hal ini dapat merusak otot
jantung, katup jantung, dan pembuluh-pembuluh darah di jantung,
yang akhirnya mengarah ke suatu serangan jantung.
3. Paru-Paru. Dengan yang cara yang sama, terjadi tumpukan cairan
pada sekitar paru-paru (efusi pleura) dan terbentuk pleuritis juga
dapat terjadi pulmonary fibrosis.
4. Darah. Dapat terjadi anemia akibat adanya peradangan kronis di
dalam tubuh.
5. Kulit. Terbentuk nodul-nodul kecil di bawah kulit pada sekitar sendi
yang disebut rheumatoid nodules. Warnanya gelap yang terbentuk
akibat perdarahan di bawah kulit yang pembuluh darahnya rusak
akibat penyakit ini.
6. Ginjal dan saluran pencernaan dapat juga menjadi korban akibat
obat-obatan antiinflamasi yang diberikan kepada penderita.
Peradangan AR berlangsung terus-menerus dan menyebar ke
struktur-struktur sendi dan sekitarnya termasuk tulang rawan sendi
dan kapsul fibrosa sendi. Ligamentum dan tendon meradang.
Peradangan ditandai oleh penimbunan sel darah putih, pengaktivan
komplemen, fagositosis ekstensif dan pembentukan jaringan parut.
Peradangan kronik akan menyebabkan membran sinovium hipertrofi
dan menebal sehingga terjadi hambatan aliran darah yang
menyebabkan nekrosis sel dan respons peradangan berlanjut.
Sinovium yang menebal kemudian dilapisi oleh jaringan granular yang
disebut panus. Panus dapat menyebar ke seluruh sendi sehingga
semakin merangsang peradangan dan pembentukan jaringan parut.
Proses ini secara lambat merusak sendi dan menimbulkan nyeri hebat
serta deformitas.
Pada Reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan
sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses
fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim
tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang.
Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot
akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya
elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti
edema, kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular.
Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama
pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian ini
granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.
Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat
karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago
artikuer.Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidak
mampuan sendi. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi
adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang
bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan
tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa
menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya Reumatoid arthritis berbeda pada setiap orang
ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan.
Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan
selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu
terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang
terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus .
BAB III
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT RHEUMATOID ARTHRITIS

A. Segitiga Epidemiologi
Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit
sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (Agent),
Pejamu (Host) dan Lingkungan (Environment). Dalam penyakit
rheumatoid arthritis interaksi antara tiga faktor penyebab adalah :
1. Agent
Pada penyakit ini belum diketahui penyebabnya secara
pasti, RA adalah penyakit autoimun. Peran normal system
kekebalan tubuh adalah untuk melawan infeksi namun ketika
seseorang memiliki penyakit autoimun, system kekebalan tubuh
mulai menyerang jaringan tubuh yang sehat.
Beberapa ahli berspekulasi berkaitan dengan Agen
infeksius seperti virus Eipstein-Barr, sitomegalovirus, Proteus sp.,
dan Escherichia coli) berkaitan dengan risiko timbulnya artritis
rheumatoid secara langsung dan melalui produknya seperti heat-
shock proteins. Salah satu mekanisme yang diajukan adalah
terjadinya induksi faktor rheumatoid, yang merupakan autoantibodi
berafinitas tinggi yang melawan Fc pada imunoglobulin. Secara
khusus, reumatoid artritis berhubungan dengan penyakit
periodontal melalui ekspresi PADI-4 oleh Porphyromonas gingivalis
yang dapat memicu sitrulinisasi protein.
2. Host
a. Usia
RA bias terjadi pada semua umur tetapi rentan terjadi pada
kelompok usia lansia yaitu diatas usia 60 tahun.
b. Jenis Kelamin
Perempuan memiliki resiko 3 kali lebih besar berpeluang
terkena penyakit RA, dikarenakan pengaruh hormone estrogen
dan progesterone yang memnyebabkan autoimun.
c. Genetik
Anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit RA, memiliki
resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit ini dan dihubungkan
dengan gen HLA-DR4.
3. Environment
Lingkungan dengan kadar polusi tinggi, termasuk asap
rokok. Merokok menimbulkan interaksi gen-lingkungan dengan
HLA-DR pada reumatoid artritis dengan faktor reumatoid dan anti-
sitrulinasi positif (salah satunya dengan cara meningkatkan protein
sitrulin modifikasi pada paru). Paparan terhadap rokok, dan
beberapa faktor lingkungan lainnya, dapat memicu mekanisme
yang mempercepat deiminisasi arginin menjadi sitrulin pada
autoantigen yang terdapat dalam paru melalui up-regulation.
Aktivitas Polutan dan zat beracun yang terkandung dalam
asap rokok akan mengendap di sela-sela sendi, bereaksi sehingga
menimbulkan peradangan.

B. Variabel Epidemiologi
1. Orang
Berdasasarkan pada beberapa penelitian rheumatoid
arthritis ini banyak terjadi pada lansia, wanita dan petani hal ini
sejalan dengan data Riskesdas tahun 2013 hasilnya sebagai
berikut :
Karakteristik Prevalensi
Kelompok umur
15-24 1,5
25-34 6,0
35-44 12,4
45-54 19,3
55-64 25,2
65-74 30,6
75+ 33,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki 10,3
Perempuan 13,4
Pendidikan
Tidak Sekolah 24,1
Tidak Tamat SD 19,8
Tamat SD 16,3
Tamat SMP 7,5
Tamat SMA 5,8
Tamat PT 5,8
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 11,5
Pegawai 6,3
Wiraswasta 11,1
Petani/Nelayan/Buruh 15,1
Lainnya 11,0

Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang


didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala. Prevalensi
tertinggi pada umur ≥75 tahun (33% dan 54,8%). Prevalensi yang
didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan (13,4%) dibanding
laki-laki (10,3%), secara umum perbandingan perempuan dan laki-
laki adalah 3 : 1 tetapi untuk kasus RA di Indonesia prevalensinya
hampir sama antara perempuan dan laki-laki. Prevalensi lebih
tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis
nakes (24,1%) maupun diagnosis nakes atau gejala (45,7%).
Prevalensi tertinggi pada pekerjaan petani/nelayan/buruh baik
yang didiagnosis nakes (15,3%) maupun diagnosis nakes atau
gejala (31,2%).

2. Tempat
Penyakit rheumatoid arthritis bukan merupakan penyakit
berbasis lingkungan, Prevalensi reumatoid artritis secara global
pada tahun 2010 adalah 0,24%, menunjukkan tidak adanya
perubahan bermakna sejak tahun 1990. Disability-adjusted life
year (DALY) meningkat dari 3,3 juta pada tahun 1990 menjadi 4,8
juta pada tahun 2010, baik karena pertumbuhan populasi dan
meningkatnya usia harapan hidup. Meta-estimasi prevalensi
reumatoid artritis pada negara berpenghasilan rendah dan
menengah adalah:
a. Asia Tenggara = 0,4%
b. Timur Tengah = 0,37%
c. Eropa = 0,62%
d. America = 1,25%
e. Pasifik Barat = 0,42%
Prevalensi penyakit sendi termasuk didalamnya
rheumatoid arthritis di Indonesia berdasarkan diagnosis nakes atau
gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa
Barat (32,1%), dan Bali (30%).
Berdasarkan Riskesdas 2013, penderita rheumatoid
arthritis berdasarkan tempat tinggal menunjukan prevalensi
penderita di pedesaan (13,8) lebih tinggi daripada diperkotaan
(10,0).

3. Waktu
Penyakit RA tidak dipengaruhi oleh musim dan cuaca, tidak bisa
ditentukan masa inkubasi karena faktor penyebab tidak diketahui
secara jelas, namun seiring bertambahnya umur maka penyakit ini
akan semakin rentan terjadi, kriteria penyakit RA adalah tes RF,
Nodule subkutan, bengkak pada 3 sendi, kekakuan sendi, bengkak
pada sendi secara simetris, pengeroposan tulang, bengkak pada
buku sendi tangan dan kaki. Buffer (2010) mengklasifikasikan
rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
a. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus,
paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
b. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5
kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
c. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3
kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
d. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2
kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan
BAB IV
Faktor – Faktor Resiko / Permasalahan

Etiologi atau penyebab RA tidak diketahui. Banyak kasus yang


diyakini hasil dari interaksi antara faktor genetic dan paparan lingkungan.
a. Usia
Usia Setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang
menghalangi terjadinya gesekan antara tulang dan di dalam sendi
terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang
dapat digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang berusia lanjut
(60 tahun keatas), lapisan pelindung persendian mulai menipis dan
cairan tulang mulai mengental, sehingga tubuh menjadi sakit saat
digerakkan dan menigkatkan risiko Rheumatoid Arthritis.
b. Genetika
Ada bukti lama bahwa genotipe HLA kelas II tertentu dikaitkan dengan
peningkatan risiko. Banyak perhatian pada DR4 dan DRB1 yang
merupakan molekul utama gen histocompatibility kompleks HLA kelas
II. Asosiasi terkuat telah ditemukan antara RA dan DRB1 yang * 0401
dan DRB1 * 0404 alel. Penyelidikan lebih baru menunjukkan bahwa
dari lebih dari 30 gen dipelajari, gen kandidat terkuat adalah PTPN22,
gen yang telah dikaitkan dengan beberapa kondisi autoimun.
c. Jenis kelamin
Insiden RA biasanya dua sampai tiga kali lebih tinggi pada wanita
daripada pria. Timbulnya RA, baik pada wanita dan pria tertinggi
terjadi di antara pada usia enam puluhan. Mengenai sejarah kelahiran
hidup, kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa wanita yang
tidak pernah mengalami kelahiran hidup memiliki sedikit peningkatan
risiko untuk RA. Kemudian berdasarkan populasi Terbaru studi telah
menemukan bahwa RA kurang umum di kalangan wanita yang
menyusui.
Salah satu sebab yang meningkatkan risiko Rheumatoid Arthritis pada
wanita adalah menstruasi. Setidaknya dua studi telah mengamati
bahwa wanita dengan menstruasi yang tidak teratur atau riwayat
menstruasi dipotong (misalnya, menopause dini) memiliki
peningkatan risiko RA.
d. Dimodifikasi
Beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi telah dipelajari dalam
hubungan dengan RA termasuk eksposur reproduksi hormonal,
penggunaan tembakau, faktor makanan, dan eksposur mikroba.
e. Gaya Hidup
1) Merokok
Di antara faktor-faktor risiko, bukti terkuat dan paling konsisten
adalah untuk hubungan antara merokok dan RA. Sebuah riwayat
merokok dikaitkan dengan sederhana sampai sedang (1,3-2,4 kali)
peningkatan risiko RA. Hubungan antara merokok dan RA terkuat
di antara orang-orang yang ACPA positif (protein anti-citrullinated /
peptida antibodi), penanda aktivitas auto-imun.
2) Tidak Konsumsi Susu Penderita
AR memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami osteoporosis,
untuk itu penting untuk menkonsumsi kalsium. Sumber kalsium
seperti susu, keju, yogurt dan produk susu lainnya. Sebaiknya
dipilih jenis susu yang memiliki kandungan lemak yang lebih rendah
seperti skimmed milk atau semi skimmed milk
3) Aktivitas Fisik Cedera otot maupun sendi yang dialami sewaktu
berolahraga atau akibat aktivitas fisik yang terlalu berat, bisa
menyebabkan rheumatoid arthritis.
4) Riwayat Reproduksi dan Menyusui
Hormon yang berhubungan dengan reproduksi telah dipelajari
secara ekstensif sebagai faktor risiko potensial untuk RA:
a) Kontrasepsi oral (OC) Studi awal menemukan bahwa wanita
yang pernah menggunakan kontrasepsi oral memiliki
penurunan moderat dalam risiko RA. Risiko menurun belum
dikonfirmasi dalam studi terbaru. Konsentrasi estrogen
kontrasepsi oral kontemporer biasanya 80-90% lebih kecil dari
kontrasepsi oral pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960,
yang dapat menjelaskan kurangnya asosiasi dalam studi
terbaru.
b) Terapi Penggantian Hormon (HRT) Ada bukti campuran
hubungan antara HRT dan onset RA.
c) Sejarah kelahiran Hidup Kebanyakan penelitian telah
menemukan bahwa wanita yang tidak pernah mengalami
kelahiran hidup memiliki sedikit peningkatan risiko untuk RA.
d) Menyusui Berdasarkan populasi Terbaru studi telah
menemukan bahwa RA kurang umum di kalangan wanita yang
menyusui.
e) Riwayat menstruasi Setidaknya dua studi telah mengamati
bahwa wanita dengan menstruasi yang tidak teratur atau
riwayat menstruasi dipotong (misalnya, menopause dini)
memiliki peningkatan risiko RA. Karena wanita dengan sindrom
ovarium polikistik (PCOS) memiliki peningkatan risiko RA,
asosiasi dengan riwayat menstruasi menyimpang mungkin
akibat dari PCOS.
Faktor risiko dalam peningkatan terjadinya RA diantaranya
adalah jenis kelamin perempuan, genetic atau riwayat keluarga,
usia, gaya hidup seperti merokok, dan konsumsi kopi lebih dari tiga
cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated. Obesitas juga
merupakan salah satu faktor risiko. (Suarjana, 2009).
BAB V
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

A. Pencegahan
Leavell & Clark (1965) dalam bukunya yang berjudul Preventive
Medicine for The Doctors in His Community mengemukakan konsep
mengenai tindakan preventif untuk semua jenis penyakit yang
dinamakan Levels of Prevention, atau tingkatan pencegahan. Tingkatan
pencegahan tersebut berkelanjutan.
1. P r i m a r y P r e v e n t i o n
a. Health Promotion
Menerapkan pola hidup bersih sehat (PHBS) seperti tidak
merokok, rajin berolahraga, istirahat yang cukup,
mnegkonsumsi susu dan asupan gizi seimbang.
b. Specific Protection
Karena termasuk dari penyakit autoimun, maka tidak ada bentuk
pencegahan spesifik, namun hal ini bisa dicegah dengan minum
suplemen khusus untuk tulang dan sendi.
2. Secondary Prevention
a. Early Diagnosis and Prompt Treatment
Tidak ada pemeriksaan pasti yang dapat mengkonformasi
rheumatoid arthritis. Tetapi biasanya dilakukan pemeriksaan
untuk mencari penyebab dan pencetusnya dengan melakukan :
pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit, pemeriksaan
peradangan seperti ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dan
CRP (C-reactive Protein), Tes imunologi dengan memeriksa RF
(Rheumatoid Factor), pemeriksaan cairan sendi (Synovial Fludid
Analysis) dan terkadang dilakukan Imagging mulai dari rontgen,
pada bagian sendi yang bermasalah.
b. Disability Limitation
Karena penyakit ini sistemik artinya bisa menjalar keseluruh
bagian tubuh, maka harus menghilangkan resiko-resiko
terjadinya penyebaran dengan cara pemberian obat yang tepat
misalnya anti inflamasi dan pengobatan dengan pemberian obat
anti rematik (DMARDS)
3. T e r t i a r y P r e v e n t i o n
a. Rehabilitation
Setelah didiagnosis rheumatoid arthritis maka harus dilakukan
serta fisioterapi untuk mengembalikan kekuatan dan fleksibilitas
sendi.

b. Penanggulangan
1. Dilakukan Sendiri
a. Lakukanlah olah raga. Banyak yang menyangka kalau sudah
terkena penyakit sendi, tidak boleh berolah raga. Justru
sebaliknya, olah raga dapat menjaga agar sendi tidak kaku dan
tidak terjadi kerusakan lanjutan. Hanya memang, jenis dan
pilihan olahraganya harus disesuaikan dengan kondisi
penderita.
b. Lindungi dan jaga sendi dari segala sesuatu yang mungkin
mencedrainya. Sendi juga harus mendapatkan pergerakan
secara optimal yang harus dipandu dan dipantau oleh dokter
yang merawat.
c. Turunkan berat badan, cukupkan istirahat, kurangi stress, dan
berhenti merokok serta jauhkan asap rokok orang lain.
d. Atur diet dengan memperbanyak buah-buahan dan sayur-
sayuran dan kurangi makanan berlemak.

2. Dilakukan Dokter
Penyakit ini termasuk yang belum bisa disembuhkan. Dokter hanya
akan berusaha untuk mengurangi peradangan dan mencegah
kerusakan sendi.
3. Operasi
Operasi dapat dilakukan untuk meringankan keluhan dan
mengurangi kerusakan sendi. Jenis-jenis operasi yang dapat
dilakukan sama seperti operasi untuk kasus osteoarthritis
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.
Tanda dan gejala pada umumnya berupa nyeri pada persendian,
bangkak (rheumatoid nodule), dan kekakuan pada sendi terutama
setelah bangun pada pagi hari.
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang
didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
demikian juga yang didiagnosis nakes atau gejala. Prevalensi tertinggi
pada umur ≥75 tahun (33% dan 54,8%). Prevalensi yang didiagnosis
nakes lebih tinggi pada perempuan (13,4%) dibanding laki-laki (10,3%).
Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang
didiagnosis nakes (24,1%) maupun diagnosis nakes atau gejala
(45,7%). Prevalensi tertinggi pada pekerjaan petani/nelayan/buruh baik
yang didiagnosis nakes (15,3%) maupun diagnosis nakes atau gejala
(31,2%).
Faktor risiko dalam peningkatan terjadinya RA diantaranya
adalah jenis kelamin perempuan, genetic atau riwayat keluarga, usia,
gaya hidup seperti merokok, dan konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir
sehari, khususnya kopi decaffeinated. Obesitas juga merupakan salah
satu faktor risiko.
B. Saran
1. Apabila salah satu anggota keluarga ada yang terkena penyakit
arthritis reumatoid, sebaiknya anggota keluarga lain lebih waspada
yaitu dengan menerapkan pola hidup sehat dan mengonsumsi
makanan yang bergizi. Sehingga, akan memperkecil kemungkina
nuntuk terkena penyakit arthritis reumatoid juga.
2. Perlu adanya pencerdasan terkait penyakit artritis reumatoid
sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan dini.
3. Penderita arthritis rheumatoid harus rajin mengonsumsi makanan
atau minuman yang mengandung kalsium, seperti susu, bayam,
keju, yoghurt dll. Jika faktor ekonomi berpengaruh terhadap
kurangnya daya beli masyarakat penderita arthritis, masyarakat
dapat mengantinya dengan mengonsumsi makanan atau minuman
dengan daya beli yang lebih rendah seperti bayam, susu kedelai,
dll. Selain itu, dari puskesmas setempat mengadakan penyuluhan
mengenai pentingnya mengonsumsi susu sejak dini kepada
masyarakat sekitar.
4. Dilakukan penyuluhan tentang bahaya rokok dan paparan asap
rokok pada masyarakat dan memotivasi masyarakat agar tidak
segan menegur orang yang merokok di dekatnya.
5. Diskusi antar anggota keluarga. Apabila ada anggota keluarga yang
merokok, sebaiknya tidak merokok di dekat orang lain dan pada
ruangan tertutup
DAFTAR PUSTAKA

Azhari Achmad R. 2015. Laporan Akhir Faktor Risiko Arthritis pada


Masyarakat. Tersedia : http://www.academia.edu/ 18953235/
Faktor Faktor_Risiko_Arthritis_Reumatoid_pada_Masyarakat_di_
Wilayah_Kerja_Puskesmas_Ngemplak_Simongan _Semarang
_Barat. diakses pada tanggal 2 Januari 2018

Cross M, Smith E, Hoy D, Carmona L, Wolfe F, Vos T, et al. The global


burden of rheumatoid arthritis: estimates from the Global Burden
of Disease 2010 study. Annals of the Rheumatic Diseases.
2014;73:1316-1322

Junaidi, 2006. Reumatik dan Asam Urat. .Jakarta. BIP

Mansjoer, A. ( 2011). Kapita Selecta Kedokteran. Jilid 1 Edisi 3 Jakarta :


EGC

McInnes B dan Schett G. The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N


Engl J Med. 2011 Dec;365: 2205-2219

Muhtadi I. 2015. Penyakit Rheumatoid Arthritis. Tersedia : http://www.


indramuhtadi.com/blog-articles-2010/topik-ke-14-rheumatoid-
arthritis. diakses pada tanggal 3 Januari 2018

Paul BJ, Kandy HI, Krishnan V. Pre-rheumatoid arthritis and its prevention.
Eur J Rheumatol. 2009 Feb; 60: 364-71

Putri Agnia. Epidemiologi penyakit Rheumatoid Arthritis. Tersedia


:https://www.alomedika.com/penyakit/reumatologi/reumatoid-
artritis/epidemiologi. Diakses pada tanggal 2 Januari 2018

Sarwono, N. (2001) .Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I (Edisi


Ketiga).Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Suarjana IN. 2009. Reumatoid artritis. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, dkk Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing

Anda mungkin juga menyukai