Anda di halaman 1dari 39

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

PERIODE 23 SEPTEMBER2019 – 26 OKTOBER 2019

RS PENDIDIKAN : RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KARDINAH, KOTA TEGAL

JOURNAL READING

TOPIK : Kekurangan Vitamin A dan Xeroftalmia pada Anak di Negara Berkembang

Penulis :
Billy Dohotan
030.15.043

Pembimbing :
dr. Liliek Isyoto , Sp.M

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PERSETUJUAN

Journal reading dengan topik :

Kekurangan Vitamin A dan Xeroftalmia pada Anak di Negara Berkembang

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat

untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata


di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
periode 23 Septmber 2019 – 26 Oktober 2019

Pada hari …………... tanggal ………………………………..

Tegal, ....... Oktober 2019

Pembimbing,

(dr. Liliek Isyoto, Sp.M)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas karunia-
Nya journal reading dengan topik “Kekurangan Vitamin A dan Xeroftalmia pada Anak

di Negara Berkembang” dapat selesai dengan semestinya. Journal reading ini disusun
untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
departemen Ilmu Kesehatan Mata periode 23 September 2019 – 26 Oktober 2019.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian journal reading ini,
terutama kepada dr. Liliek Isyoto, SpM selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga journal reading ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan journal reading ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan journal reading ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga journal reading dapat
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang kesehatan mata.

Tegal, Oktober 2019


Penulis,

Billy Dohotan D Situmorang

030.15.043

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I TINJAUAN PUSTAKA: Xerofthalmia ....................................................5


2.1 Anatomi............................................................................................. 5
2.2 Definisi .............................................................................................. 6
2.3 Epidemiologi ..................................................................................... 6
2.4 Etiologi .............................................................................................. 8
2.5 Patofisiologi ...................................................................................... 8
2.6 Kriteria Diagnosis ........................................................................... 11
2.7 Tanda dan gejala Klinis ................................................................. 17
2.8 Tatalaksana ..................................................................................... 19
2.9 Pencegahan ..................................................................................... 23
3.0 Prognosis ......................................................................................... 25

BAB III JOURNAL READING ......................................................................... 26

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 38

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Gambar 1 Anatomi mata

Gambar 2 Anatomi Mata

2.2 Definisi Xeroftalmia

Kata Xeroftalmia ( bahasa latin ) berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan
pada selaput lendir ( konjungtiva) dan selaput bening ( kornea) mata.

Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan vitamin A


pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina
yang berakibat kebutaan.

2.3 Epidemiologi

Sampai dengan tahun 1950, terdapat banyak laporan endemik xeroftalmia terutama
di negara berkembang seperti India dan Indonesia. Berdasarkan hasil survey WHO tahun
1994 jumlah penderita xeroftalmia di seluruh dunia pada anak-anak usia 0-4 tahun sebesar
2,8 juta dan angka kejadian subklinis mencapai 251 juta. Angka kejadian xeroftalmia
akibat defisiensi vitamin A diperkirakan sekitar 20.000 – 100.000 kasus baru di seluruh
dunia per tahunnya. Menurut survey nasional xeroftalmia tahun 1992, prevalensi

xeroftalmia nasional adalah 0,33%. Di samping itu, juga dijumpai 50% dari anak balita
memiliki kadar vitamin A yang rendah (< 20 µg/dL).

Angka kejadian ini semakin meningkat sejalan dengan ditemukannya berbagai faktor yang
dapat mencetuskan terjadinya xeroftalmia. Faktor-faktor tersebut diantaranya:

1. Umur
Xeroftalmia paling sering ditemukan pada anak-anak usia pra-sekolah, hal ini
berhubungan dengan kebutuhan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan. Di
samping itu, anak-anak usia ini sangat rentan oleh infeksi parasit dan bakteri usus yang
dapat mengganggu penyerapan vitamin A di usus.

2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa laki-laki 1,2 – 10 kali lebih rentan untuk
menderita xeroftalmia.

3. Status Fisiologis
Wanita hamil dan wanita menyusui cenderung menderita buta senja atau Bitot’s Spots
karena meningkatnya kebutuhan akan vitamin A. Anak-anak usia sekolah juga
memiliki kecenderungan ini karena tingginya kebutuhan vitamin A untuk
pertumbuhan (adolescent growth spurt).

4. Status Gizi
Xeroftalmia sering kali berhubungan atau didapatkan bersama-sama dengan kondisi
malnutrisi (Kurang Energi Protein).

5. Penyakit Infeksi
Penyakit-penyakit yang mengganggu pencernaan, pengangkutan, penyimpanan,
pengikatan metabolisme vitamin A, dapat menimbulkan manifestasi defisiensi vitamin
A. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk menerangkan penurunan kadar vitamin
A selama demam dan infeksi, yaitu:

- Asupan yang rendah karena sakit (anoreksia)


- Gangguan absorpsi karena infeksi pada usus
- Supresi síntesis albumin dan RBP (retinol binding protein) oleh hepatosit

- Peningkatan katabolisma protein, termasuk RBP


6. Faktor-faktor yang lain
Keadaan yang kurang menguntungkan adalah jumlah keluarga yang besar, rendahnya
pendidikan kepala keluarga, sanitasi yang buruk, serta sosial ekonomi yang rendah.

2.4 Etiologi

Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari konsumsi sehari-hari
kekurangan vitamin A disebabkan oleh :

1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau provitamin A untuk
jangka waktu yang lama
2. Bayi tidak diberkan ASI eksklusif
3. Menu tidak seimbang ( kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn atau zat gizi lainnya
) yang dioerlukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan vitamin A dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada penyakit-
penyakit antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang energi protein ( KEP ) dan
lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A meningkat.
5. Adanya kerusakan hati, seperti pda kwashiorkor dan hepatitis kronik, menyebabkan
gangguan pembentukan RBP ( retiinol Binding Protein ) dan pre albumin yang penting
untuk penyerapan vitamin A.

2.5 Patofisiologi

1. Metabolisme Vitamin A
Vitamin A dalam bentuk aktif berupa asam retinoat. Sedangkan secara alami sumber
vitamin A didapatkan dari hewani dalam bentuk pro-vitamin A dan dari tumbuhan dalam
bentuk beta karoten. Dikenal tiga macam karoten yaitu α, β, dan γ-karoten. β-karoten
memilki aktivitas yang paling tinggi. Proses pembentukan vitamin A dari sumber hewani
dan tumbuhan menjadi bentuk aktif (asam retinoat) dapat diuraikan sebagai berikut :

• Absorbsi pro-vitamin A dan karoten di dinding usus halus, kemudian diubah menjadi
retinol

• Retinol diangkut ke dalam hepar oleh kilomikron, kemudian di dalam parenkim hati
sebagian dari retinol akan diesterifikasi menjadi retinil-palmitat dan disimpan dalam sel
stelat. Sebagian lagi akan berikatan dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan protein lain
yang disebut trasthyretin untuk dibawa ke target sel
• Pada target sel, retinol akan berikatan dengan reseptor yang terdapat pada membran sel
(RBP receptor) kemudian di dalam sel berikatan dengan retinol binding protein
intraseluler, yang akan diubah menjadi asam retinoat oleh enzim spesifik
• Asam retinoat selanjutnya akan memasuki inti sel dan berikatan dengan reseptor pada inti.
Asam retinoat ini berperan dalam transkripsi gen.

Fungsi vitamin A antara lain :

a. Penglihatan
b. Integritas sel
c. Respon imun
d. Hemopoiesis
e. Fertilitas
f. Embriogenesis

Kadar vitamin A dan retina binding protein (RBP) dalam darah dapat ditentukan
dengan menggunakan metode kromatografi cair tekanan tinggi (high pressure liquid
chromatography/ HLPC). Metode ini cukup akurat dan cepat. Nilai Vitamin A dalam
plasma adalah 0,7 µmol/l (50 µg/l) sering didapatkan pada orang dewasa yang sehat, tidak
ada batasan yang jelas tentang berapa nilai yang mengidentifikasikan seseorang mengalami
hipervitaminosis, tetapi kemungkinan diatas 3,5 µmol/l (100 µg/l). Pembagian tingkat
status vitamin A berdasarkan kadar vitamin A darah adalah :

- < 10 µg/l indikasi kekurangan vitamin A

- 10-19 µg/l disebut rendah

- 20-50 µg/l disebut cukup

- > 50 µg/l disebut tinggi

2. Fisiologi penglihatan yang berhubungan dengan vitamin A

Salah satu fungsi dari vitamin A adalah berperan dalam proses penglihatan, dimana
retina merupakan salah satu target sel dari retinol. Retinol yang telah berikatan dengan RBP
akan ditangkap oleh reseptor pada sel pigmen epitel retina, yang akan dibawa ke sel-sel
fotoreseptor untuk pembentukan rodopsin. Rodopsin ini sangat berperan terutama untuk
penglihatan pada cahaya redup. Karena itu tanda dini dari defisiensi vitamin A adalah rabun
senja.

3. Fungsi vitamin A yang berhubungan dengan integritas sel dan respon imun

Sejak tahun 1920an, telah diketahui adanya hubungan antara defisiensi vitamin A
dengan perubahan fungsi sistem imun. Perubahan-perubahan ini termasuk gangguan fungsi
barrier seperti metaplasia sel gepeng dan keratinisasi jaringan epitel yang biasanya
mensekresi mukus yang terdapat di konjungtiva dan di sistem respirasi dan genitourinari.
Selain itu, defisiensi vitamin A juga berkaitan dengan gangguan pembentukan respons
antibodi terhadap sebagian antigen. Secara khusus, defisiensi vitamin A berkaitan dengan
penurunan dalam respons antibodi yang sel T dependen dan sel T independen tipe 2.
Defisiensi vitamin A juga mengganggu berbagai subkelas respons imun seluler yang lain,
seperti sitotoksisitas yang dimediasi sel NK (natural killer) dan trasnformasi blastogenik
limfosit.

4. Beberapa kelainan yang menyebabkan defisiensi vitamin A

1. Gangguan absorbsi karoten karena defisiensi Zn, α dan β lipoproteinemia


2. Beberapa penyakit salurtan cerna yang mempengaruhi absorbsi lemak juga akan
mempengaruhi absorbsi vitamin A, karena vitamin A adalah vitamin yang larut dalam
lemak, contoh :
a. Insufisiensi pankreas
b. Cholestasis

10


c. Operasi bypass usus kecil


d. Inflamatory Bowel Disease, dll
3. Pecandu alkohol akan terjadi gangguan dalam metabolisme vitamin A. Pada pencandu
alkohol ini afinitas alcohol dehidrogenase pada etanol akan menghalangi konversi retinol
menjadi asam retinoat
4. Penyakit hati yang kronis, terutama sirosis akan menyebabkan defisiensi vitamin A karena
adanya gangguan pada proses transportasi dan penyimpanan

2.6 Tanda dan Gejala Klinis

Kurang vitamin A ( KVA ) adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel
dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan tetapi
gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit pada umumnya tampak
pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan
bersisik seperti sisik ikan. Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan
karena kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau kurang energi protein
(KEP) tingkat berat atau gizi buruk. Gejala klinis pada mata akan timbul bila tubuh mengalami
KVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak menderita
penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.

Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut WHO/USAID UNICEF/HKI/IVACG,
1996 sebagai berikut :

XN : buta senja ( hemeralopia, nyctalopia )

XIA : xerosis konjungtiva

XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot

X2 : xerosis kornea

X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan kornea

X3B : keratomalasia atau ulserasi kornea sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea

11


XS : jaringan parut kornea ( sikatriks/scar)

XF : fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti cendol.

XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada
stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa
hari bisa berubah menjadi X3.

X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan ) pada kornea cukup luas sehingga menutupi
seluruh kornea ( optic zone kornea ).

1. Buta Senja

Gambar 3. Buta Senja

Buta senja merupakan gejala awal dan tersering pada defisiensi vitamin A, merupakan
akibat dari disfungsi fotoreseptor sel batang pada retina, dengan gejala kesulitan melihat pada sinar
redup. Penilaian dilakukan dengan adanya riwayat kesulitan melihat pada sore hari. Untuk
mendeteksi apakah anak menderita buta senja dengan cara :

• Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/menabrak benda
didepannya, karena tidak dapat melihat.
• Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak tersebut buta senja.
Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila didudukkan ditempat kurang cahaya
karena tidak dapat melihat benda atau makanan di depannya.

12


Kelompok risiko tinggi buta senja adalah usia prasekolah (>1 tahun) dan wanita hamil.
Riwayat buta senja pada ibu hamil didapatkan pada akhir masa kehamilan sampai 3 tahun setelah
melahirkan. Prevalensi xeroftalmi ditemukan sebesar 1% pada anak <1 tahun dan 5% pada ibu
hamil. Buta senja pada anak biasanya berespon baik pada 48 jam dengan pemberian terapi standar
200.000 IU vitamin A peroral. Rekomendasi pemberian vitamin A pada wanita hamil sebesar
10.000 IU perhari atau 25.000 IU perminggu peroral selama 4 minggu atau lebih, dengan maksud
meminimalisasi toksisitas yang dapat terjadi pada fetus.

2. Xerosis Konjungtiva
Xerosis konjungtiva, menunjukkan suatu awal metaplasia keratinisasi pada epitel dengan
hilangnya sel-sel goblet penghasil mukus. Lesi tidak mempengaruhi tajam penglihatan.
Tanda – tanda :
• Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit berkeriput,
dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
• Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna
kecoklatan.

Gambar 4 Xerosis konjungtiva

3. Xerosis konjungtiva dan bercak bitot

Xerosis yang lebih lanjut dapat menyebabkan bercak bitot (X1B), yang tersusun dari
kumpulan deskuamasi keratin epitel. Bercak bitot dapat berupa gelembung, atau seperti busa

13


sabun, hampir selalu bilateral dan daerah temporal. Lesi di daerah nasal menunjukkan defisiensi
yang lebih lanjut.

Dalam keadaan lebih berat :

• Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva


• Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut
• Orang tua mengeluh mata anaknya tempak bersisik

Standar terapi dengan vitamin A 200.000 IU pada 2 hari berturut-turut memberikan respon klinis
dalam beberapa hari, walaupun pengobatan masih diperlukan beberapa minggu sampai beberapa
bulan.

Gambar 5. Bercak bitot

4. Xerosis Kornea

Xerosis kornea (X2) merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak bilateral, granular,
berkabut dan tidak bercahaya, pada pemeriksaan dengan senter gambarannya seperti kulit jeruk.
Edema stroma merupakan keadaan yang sering ditemukan pada xerosis kornea. Penebalan plak
keratinisasi dapat ditemukan pada permukaan kornea, biasanya didaerah interpalpebra. Keadaan
umum anak biasanya buruk ( gizi buruk dan menderita penyakit infksi dan sistemik lain ). Xerosis
kornea dapat berkembang cepat menjadi ulkus dan keratomalasia bila tidak diterapi dengan
vitamin A dan terapi suportif lainnya.

14


Gambar 6. Xerosis Kornea

5. Ulkus Kornea atau Keratomalasia

Ulkus kornea (X3A), gambarannya kecil, oval, defek bergaung, sering pada daerah
inferior, perifer permukaan kornea, disertai injeksi konjungtiva, kadang ada hipopion. Ulkus dapat
dangkal atau dalam, menyebabkan perforasi. Terapi vitamin A berespon baik, perbaikan kornea
disertai jaringan parut atau lekoma adheren.

Keratomalasia (perlunakan kornea) mencakup seluruh permukaan kornea, lesi berwarna


kuning keabuan. Biasanya satu mata lebih berat dari yang lainnya. Xeroftalmia kornea aktif pada
kedua mata jarang terjadi. Terapi keratomalasia dan ulkus kornea yang kurang dari ⅓ permukaan
kornea biasanya menyebabkan perforasi. Kadangkala mata menonjol tetapi tidak preforasi,
menyebabkan stafiloma. Vitamin A dan terapi suportif dapat menghindari kerusakan lebih berat.

Gambar 7 X3A Gambar 8 X3B

6. Sikatriks Kornea

Sikatriks kornea (XS) adalah konsekuensi kebutaan yang disebabkan oleh perbaikan ulkus
dan keratomalasia. Parut kornea akibat defisiensi vitamin A harus dibedakan dengan parut kornea

15


akibat penyebab lain seperti trauma atau infeksi dengan menganalisa secara cermat pada riwayat
pasien atau orangtuanya.

Kornea tampak menjadi putih atau bola mata mengecil. Penderita menjadi buta yang sudah
tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.

Gambar 9. Sikatriks kornea

7. Fundus Xeroftalmia

Fundus xeroftalmia adalah defisiensi vitamin A yang berkepanjangan dimana terjadi


gangguan fungsi sel batang karena rusaknya struktur retina. Bila ditemukan fundus xeroftalmia,
maka akan terjadi kebutaan yang tidak dapat disembuhkan. Dengan opthalmoscope pada fundus
tampak gambar seperti cendol.

Gambar 10. Fundus Xeroftalmia

16


2.7 Diagnosis

Untuk mendiagnosis xeroftalmia dilakukan :


1. Anamnesis, dilakukan untuk mengetahui faktor risiko tinggi yang menyebabkan anak
rentan menderita xeroftalmia.
a. Identitas penderita
Nama anak
Umur anak
Jenis kelamin
Jumlah anak dalam keluarga
Jumlah anak balita dalam keluarga
Anak ke berapa
Berat lahir : Normal/BBLR

b. Identitas Orangtua
Nama ayah/ibu
Alamat/tempat tinggal
Pendidikan
Pekerjaan
Status perkawinan

2. Keluhan penderita
a. Keluhan utama
Ibu mengeluhkan anaknya tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja ) atau ada
kelainan dengan matanya.

b. Keluhan tambahan
Tanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan kapan terjadinya ?
Upaya apa yang telah dilakukan untuk pengobatannya ?

3. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya


• Apakah pernah menderita campak dalam waktu < 3 bulan ?
• Apakah anak sering mendrita diare da atau ISPA ?
• Apakah anak pernah menderita pneumonia ?
• Apakah anak pernah menderita infeksi cacingan ?
• Apakah anak pernah menderita Tuberculosis ?

4. Kontak dengan pelayanan kesehatan

17


Tanyakan apakah anak ditimbang secara teratur mendapatkan imunisasi, mendapat


suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dan memeriksakan kesehatan baik di posyandu
atau puskesmas.

5. Riwayat pola makan anak


• Apakah anaj mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan ?
• Apakah anak mendapatkan MP-ASI setelah umur 6 bulan ?
• Sebutkan jenis dan frekuensi pemberiannya
• Bagaimana cara memberikan makan kepada anak : Sendiri/Disuapi .

6. Pemeriksaan fisik
Dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda ataugejala klinis dan menentukan diagnosis serta
pengobatannya, terdiri dari :

a. Pemeriksaan umum
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait langsung maupun
tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi buruk, penyakit infeksi, dan
kelainan fungsi hati.
Yang terdiri dari :
- Antropometri: Pengukuran berat badan dan tinggi badan
- Penilaian Status gizi
- Periksa matanya apakah ada tanda-tanda xeroftalmia.
- Kelainan pada kulit : kering, bersisik.

b. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang
terang. (Bila ada, menggunakan loop.)
• Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
• Apakah ada bercak bitot (X1B)Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
• Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B)
• Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
• Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan opthalmoscope (XF).
7. Pemeriksaan Laboratorium

18


Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung diagnosa kekurangan


vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan tanda-tanda khas KVA, namun hasil
pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak tersebut risiko tinggi untuk menderita KVA.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan serum retinol. Bila ditemukan
serum retinol < 20 ug/dl, berarti anak tersebut menderita KVA sub klinis.
8. Pemeriksaan
Pemerikasaan yang dapat dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosa buta senja
adalah :

Dark adaptometri (tes adaptasi gelap)


Rod scotometri
Elektroretinografi
Conjunctival impression citology (CIC)
Pemerikasaan kadar serum retinol atau Serum Retinol Binding Protein

2.8 Penatalaksanaan

1. Jadwal dan dosis pemberian kapsul vitamin A pada anak penderita Xeroftalmia

Tabel 1 Jadwal dan dosis pemberian kapsul vitamin A

19


2. Pemberian Obat Mata

Pada bercak Bitot tidak memerlukan obat tetes mata, kecuali ada infeksi yang menyertainya.

Obat tetes / salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid ( tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25-1%

dan gentamisin 0.3%) diberikan pada penderita X2,X3A,X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan

berikan juga tetes mata atropin 1% 3 x 1 tetes/hari.

Pengobatan dilakukan sekurang-kurangnya 7 hari sampai semua gejala pada mata


menghilang. Mata yang terganggu harus ditutup dengan kasa selama 3-5 hari hingga
peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang telah dicelupkan kedalam larutan Nacl
0,26 dan gantilah kasa setiap kali dilakukan pengobatan. Lakukan tindakan pemeriksaan dan
pengobatan dengan sangat berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada saat mengobati mata
untuk menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk mendapat
pengobatan lebih lanjut.

20


3. Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis adalah terapi gizi khusus untuk penyembuhan kondisi atau penyakit
kronis dan luka-luka serta merupakan suatu penilaian terhadap kondisi pasien sesuai
intervensi yang diberikan agar klien serta keluarganya dapat meneruskan penanganan diet
yang telah disusun.
Tujuan :
§ Memberikan makanan yang adekuat sesuai kebutuhan untuk mencapai status gizi
normal.
§ Memberikan makanan tinggi sumber vit. A. untuk mengoreksi kurang vitamin A.

Syarat :
a. Energi
Energi diberikan cukup untuk mencegah pemecahan protein menjadi sumber energi dan
untuk penyembuhan. Pada kasus gizi buruk, diberikan bertahap mengikuti fase stabilisasi,
transisi dan rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150 kalori/ kg BB dan 200 kalori/ kg
BB.
b. Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam pembentukan Retinol Binding
Protein dan Rodopsin. Pada gizi buruk diberikan bertahap yaitu : 1 - 1,5 gram/ kg BB / hari
; 2 - 3 gram/ kg BB / hari dan 3 - 4 gram/ kg BB / hari

c. Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal. Pemberian minyak kelapa
yang kaya akan asam lemak rantai sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides).
Penggunaan minyak kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan, tetapi rasanya kurang
enak.

d. Vitamin A
Diberikan tinggi untuk mengoreksi defisiensi. Sumber vitamin A yaitu ikan, hati, susu,
telur terutama kuning telur, sayuran hijau (bayam, daun singkong, daun katuk, kangkung),

21


buah berwarna merah, kuning, jingga (pepaya, mangga dan pisang raja ), waluh kuning,
ubi jalar kuning, Jagung kuning.

e. Bentuk makanan
Mengingat kemungkinan kondisi sel epitel saluran cerna juga telah mengalami
gangguan, maka bentuk makanan diupayakan mudah cerna.

4. Pengobatan penyakit infeksi atau sistemik yang menyertai

Anak-anak yang menderita xeroftalmia biasanya disertai penyakit berat antara


lain: infeksi saluran nafas, pnemonia, campak, cacingan, tuberkulosis (TBC),diare dan
mungkin dehidrasi. Untuk semua kasus ini diberikan terapi disesuaikan dengan penyakit
yang diderita.

5. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan kapsul vitamin A

XN : Reaksi pengobatan terlihat dalam 1-2 hari setelah diberikan kapsul vitamin
A
XIA & XIB : Tampak perbaikan dalam 2-3 hari, dan gejala-gejala menghilang dalam
waktu 2 minggu
X2 : Tampak perbaikan dalam 2-5 hari, dan gejala-gejala menghilang dalam
waktu 2-3 minggu
X3A & X3B: Penyembuhan lama dan meninggalkan cacat mata. Pada tahap ini penderita
harus berkonsultasi ke dokter spesialis mata Rumah Sakit/BKMM agar tidak
terjadi kebutaan

Rujukan
§ Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda kelainan XN, X1A, X1B,
X2
§ Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/BKMM bila ditemukan
tanda-tanda kelainan mata X3A, X3B, XS

22


Gambar 11. Alur rujukan

2.9 Pencegahan

Untuk mencegah xeroftalmia dapat dilakukan:

1. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xeroftalmia (faktor sosial budaya dan
lingkungan dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor individu)
2. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini
3. Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak secara periodik, yaitu untuk
bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus (100.000 SI), untuk
anak balita diberikan enam bulan sekali secara serentak pada bulan Februari dan
Agustus dengan dosis 200.000 SI.
4. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta
5. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
6. Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A / provitamin A secara
terus menerus.

23


7. Memberikan ASI eksklusif


8. Pemberian vitamin A pada ibu nifas (< 30 hari) 200.000 SI
9. Melakukan imunisasi dasar pada setiap bayi.

Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang diperlukan penyuluhan untuk masyarakat dan
keluarga, karena kejadian xeroftalmia tidak lepas dari lingkungan, keadaan sosial ekonomi,
pendidikan dan pengetahuan orang tua (terutama ibu). Beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan sehubungan dengan hal tersebut diatas adalah :

a. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) atau Promosi


b. Suplementasi vitamin A
Tabel 2. Suplementasi vitamin A

Bayi berumur 6-11 bulan • Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral
dengan dosis 100.000 IU
Anak 1-6 tahun • Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral
dengan dosis 200.000 IU

Wanita menyusui Diberikan secara oral dosis tunggal sebanyak


200.000 IU dengan waktu pemberian :
• Saat bersalin
• 8 minggu pertama setelah persalinan pada
wanita yang menyusui
• 6 minggu pertama setelah persalinan pada
wanita yang tidak menyusui

24


c. Fortifikasi

i. Penambahan vitamin A pada beberapa jenis makanan yang secara alami kandungan
vitamin A-nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh per harinya
contohnya gandum, beras, teh, margarin
ii. Ditambahkan juga mikronutrien seperti preparat besi dan seng yang membantu
absorbsi vitamin A

2.10 Prognosis

Prognosa pada stadium XN, X1A, X1B, dan X2 adalah baik, dengan syarat :

- pengobatan harus dilakukan secara dini

- pengobatan harus dilakukan dengan tepat

Sedangkan pada stadium yang lebih lanjut dimana telah terjadi kerusakan kornea dan

dapat menyebabkan kebutaan yang tidak dapat disembuhkan lagi, maka prognosisnya jauh

lebih buruk.

25


BAB III

JOURNAL READING

Kekurangan Vitamin A dan Xeroftalmia pada Anak di Negara Berkembang

Sekitar 228 juta anak didapatkan kekurangan vitamin A (VAD) hal tersebut

merupakan bentuk malnutrisi yang paling umum yang mengarah pada komorbiditas dan

kebutaan anak-anak di seluruh dunia, hal tersebut bertanggung jawab atas 1 hingga 3 juta

kematian anak-anak dan 5 hingga 10 juta kasus penyakit mata, dengan setengah juta anak buta

setiap tahun.VAD memiliki sejumlah besar manifestasi klinis, mulai dari xerophthalmia

(spektrum penyakit mata yang timbul dari VAD) hingga anemia dan meningkatkan kerentanan

terhadap infeksi.

Vitamin A diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel batang untuk penglihatan yang redup.

Ini juga diperlukan untuk sintesis dan diferensiasi sel epitel. Pada VAD, pasien awalnya

melaporkan kebutaan malam (nyctalopia) akibat disfungsi sel batang fotoreseptor. Ketika

penyakit ini berkembang, epitel okular menjadi keratin dengan munculnya bintik-bintik Bitot,

kerutan konjungtiva, hilangnya sel-sel goblet dan penggantian epitel normal (xerosis). Perubahan

kornea mulai dengan keratopati , dan kemudian berlanjut ke keratinisasi permukaan (xerosis

kornea). Ulserasi terjadi ketika lapisan keratin ini terlepas. Pada VAD parah, terutama dengan

malnutrisi protein bersamaan, kornea stroma mencair (kerotomalacia), yang mengarah ke

descemetocele atau perforasi kornea dengan prolaps isi intraokular. Pada beberapa kejadian,

VAD dapat menyebabkan defek epitel pigmen retina fokal (xerophthalmic fundus). Ini adalah

bintik-bintik kuning dan putih di retina perifer yang menyebabkan skotoma.

Xerophthalmia adalah manifestasi dari VAD sedang hingga parah, tetapi VAD yang lebih ringan

dapat menyebabkan efek sistemik. Vitamin A memodulasi sistem kekebalan tubuh, dan VAD

26


dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi; ini disebabkan oleh hilangnya integritas jaringan

mukosa, misalnya, penyakit diare, campak dan infeksi saluran pernapasan, yang semuanya

berhubungan dengan peningkatan mortalitas.VAD dapat menyebabkan anemia karena vitamin A

memodulasi haematopoiesis; asam retinoat memodulasi erythropoietin gen dan meningkatkan

sintesis erythropoietin. Ini juga memodulasi metabolisme besi; pada VAD, zat besi terperangkap

di hati dan limpa dan tidak secara efektif dilepaskan untuk erythropoiesis.Selain itu, VAD

berkontribusi terhadap anemia melalui penurunan kekebalan yang menyebabkan anemia infeksi.

Di negara maju, telah dilaporkan kasus xerophthalmia karena pola makan yang buruk,

malabsorpsi gastrointestinal dan penyakit hati; karena kelangkaannya, diagnosis seringkali

tertunda. Malnutrisi yang menyebabkan xerophthalmia sangat jarang terjadi di Australia, namun

ada beberapa kasus telah dilaporkan. Ada laporan kasus nyctalopia sekunder akibat terapi

isotretonin pada anak dengan cystic fibrosis (CF) dan sirosis hati, dan dua kasus yang dilaporkan

pada orang dewasa yang disebabkan oleh diet aneh.,Secara umum, data status vitamin A pada

anak-anak Australia sangat kurang; tidak ada data yang tersedia pada anak-anak 'yang dianggap

berisiko' (anak-anak dengan status vitamin A yang diukur), dan mereka yang 'benar-benar

berisiko' (mereka yang mengalami VAD sebenarnya). Mengingat konsekuensi yang berpotensi

menghancurkan , kami berusaha untuk menyelidiki kejadian dan gambaran klinis VAD pada

anak-anak Australia untuk mendokumentasikan keberadaan manifestasi okular dan untuk

menentukan apakah anak-anak yang 'berisiko' telah melakukan tinjauan oftalmologi.

27


Metode penelitian

Sebuah penelitian retrospektif dilakukan. Pasien diidentifikasi dari database patologi


SEAL Sydney Children's Hospital, Sydney, Australia, selama 22 bulan, dari 1 Oktober 2011
hingga 31 Juli 2013. Semua pasien yang berusia di bawah 18 tahun yang memiliki pengukuran
kadar vitamin A serum diikutsertakan, dan data diperoleh dari catatan medis. Data yang diambil
terdiri dari demografi pasien, hasil laboratorium, riwayat medis dan diet. Untuk pasien yang
memiliki catatan oftalmologi, indikasi untuk catatan mereka, keluhan visual dan temuan
pemeriksaan dicatat. Rentang referensi usia-dikoreksi laboratorium SEALS yang digunakan untuk
menentukan defisiensi mikronutrien.

Analisis data dilakukan dengan paket Statistik untuk program Ilmu Sosial (SPSS). Tes chi-square
dan uji Fisher untuk hubungan dilakukan antara kadar vitamin A serum dan variabel lainnya.
Signifikansi statistik didefinisikan pada tingkat P <0,05.

Hasil

Kadar vitamin A diukur pada 162 pasien selama periode penelitian. Catatan medis dari
16 pasien tidak tersedia, meninggalkan total 146 pasien sebagai populasi penelitian. Sebagian
besar pasien adalah pasien rawat jalan dari klinik anak (78%), sementara beberapa pasien rawat
inap (20%) dan pasien dari gawat darurat (2%).

Demografi Populasi Penelitian

Didapatkan lebih banyak pria daripada wanita secara signifikan, 93 dan 53, masing-
masing, P = 0,001. Rentang usia adalah dari 5 hari hingga 18 tahun, dengan usia rata-rata 4,8 tahun.
Ditemukan lebih banyak pasien yang berusia 0 hingga 6 tahun dibandingkan dengan yang berusia>
6 sampai 12 tahun dan> 12 hingga 18 tahun, masing-masing n = 92, n = 24 dan n = 30, P <0,01.
Tidak ada perbedaan usia yang signifikan secara statistik antara pria dan wanita. Sebagian besar
anak-anak yang memiliki kadar vitamin A serum yang diukur memiliki setidaknya satu
komorbiditas; CF adalah yang paling umum diikuti oleh penyakit refluks gastroesofagus,
defisiensi mikronutrien, dan short gut Syndrome (Gbr. 1). Sebelas pasien tidak memiliki riwayat
medis sebelumnya; mereka datang dengan kondisi seperti diare, diet terbatas, kesulitan makan,
sakit perut, gaya berjalan abnormal dan memori abnormal.

28


Kejadian defisiensi Vitamin A

Pasien dengan tingkat vitamin A di bawah kisaran referensi yang dikoreksi oleh
laboratorium patologi SEAL didefinisikan sebagai kekurangan (Tabel 1). Tingkat serum vitamin
A rata-rata keseluruhan untuk populasi penelitian adalah 0,89 µmol / L. Ada 52 pasien (35,6%)
dengan VAD. Kadar vitamin A serum rata-rata pada mereka yang mengalami VAD adalah 0,57 ±
0,2 µmol / L dibandingkan dengan 1,06 ± 0,35 µmol / L pada mereka yang tidak VAD. Ada
perbedaan yang signifikan secara statistik dalam kadar vitamin A serum rata-rata pada semua
kelompok umur (Tabel 2). Ada lebih banyak pria daripada wanita secara signifikan, masing-
masing 35 dan 16, P = 0,011. Rentang usia adalah dari 11 hari hingga 18 tahun, dengan usia rata-
rata 8,4 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam jumlah anak dengan
VAD pada usia yang berbeda

Journal of Paediatrics and Child Health 52 (2016) 699–703 © 2016 Paediatrics and Child Health Division (The Royal
Australasian College of Physicians)

29


Table 1 Age-corrected reference range for vitamin A level (SEALS pathol- ogy laboratory)

Age (years) Vitamin A level (μmol/L)

0–1 0.5–1.8 >1–6 0.7–1.5 >6–12 0.9–1.7 >12–18 0.9–2.5

Table 2 Mean serum vitamin A level in patients with vitamin A deficiency (VAD) compared with patients without
VAD

Age (years)
0–1 >1–6 >6–12 >12–18

Mean vitamin A level in those with VAD (μmol/L) Mean vitamin A level in those without VAD (μmol/L)

0.3 ± 0.09

0.75 ± 0.21

0.47 ± 0.17

1.05 ± 0.30

0.68 ± 0.13

1.45 ± 0.29

0.67 ± 0.15

1.40 ± 0.22

Categories (0 to 6years,n=19outof92;>6to12years,n=16out of 24; and >12 to 18 years, n = 17 out


of 30). All children with VAD had at least one co-morbidity, with the exception of one child. CF
was the most common medical condition (n = 19), followed by mi- cronutrient deficiency (n = 7)
and autism (n = 5) (Fig. 2).

Kadar Haemoglobin dan level serum Vitamin A

Dari sampel sejumlah 146 orang, didapatkan 26 ( 17,8%) memiliki kadar haemoglobin
yang rendah, dari 52 anak yang terkena VAD, 14 diantaranya juga memiliki kadar haemoglobin
yang rendah, bukti statistic juga menunjukkan hal tersebut

30


fig.2 rekam medis anak dengan kekurangan vitamin A (n=52), hubungan antara anak dengan
VAD dan kadar haemoglobin yang rendah adalah P = 0,032

Kadar mikronutrien dan serum Vitamin A


Dari 146 pasien, 126 orang telah dilakukan pengukuran kadar besi,28 pasien dari 126
pasien (22%) memiliki kadar serum besi yang rendah dan ditemukan juga 17 orang (13%)
memiliki VAD, tes yang dilakukan juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara anak
yang memiliki kadar serum besi yang rendah dengan VAD dengan p =0,0012

Riwayat Diet

Diet yang diartikan dalam jurnal ini adalah pembatasan terhadap asupan beberapa
makanan, didapatkan enam pasien dengan diet terbatas beberapa makanan yang tidak lazim,5
dari mereka didaptkan menderita autism, dua dari pasien tersebut menderita VAD, dan satu
diantaranya menderita xeroftalmia, diet terbatas ini menyebabkan pasien kurang mendapatkan
sumber vitamin A yang baik

31


Pasien dengan kelainan ophthalmology

Dua puluh delapan dari 146 pasien memiliki riwayat ophthalmology, 13 dari 28 pasien
(28%) memiliki VAD dan 13 (25%) dari 52 pasien yang memiliki VAD memiliki riwayat
keluhan ophthalmology. Prematur retionopati merupakan hal utamayang menyebabkan pasien
memiliki pemeriksaan ophthalmology lebih lanjut, diikuti dengan pasien kelainan pengelihatan,
ulserasi kornea, dan papil oedem

indikasi dari pemeriksaan ophthalmology pada penyakit premature retinopati

Xeroftalmia

Didapatkan seorang anak berusia 14 tahun dengan autism menderita xerofthalmia,


memiliki abses kornea yang besar disertai dengan penipisan kornea, hipopion dan injeksi
konjungtiva berat pada mata kanan, didapatkan keratinisasi pada konjungtiva di kedua mata dan
kornea di mata kiri, anak diatas memiliki kekurangan vitamin A yang berat, kadar haemoglobin
dan serum besi yang rendah, didiagnosis dengan keratitis microba superimposed dengan
xerofthalmia

32


Fig. 4 foto mata kanan anak dengan xeroftalmia disertai dengan flurosein pada mat

33


foto mata kiri tampak reflex cahaya irregular dan tumpul pada kornea dan konjungtiva
Fig. 5
mengalami keratinisasi di permukaan

Diskusi
Sebagian besar studi VAD telah dilakukan di negara-negara berkembang, dan sulit untuk
menarik kesimpulan yang relevan dengan negara-negara maju karena banyak perbedaan ada
dalam diet, ketersediaan sumber daya medis dan epidemiologi penyakit. Studi kami
menunjukkan bahwa VAD dapat terjadi pada anak-anak Australia. Tingkat VAD umumnya
ringan (98%, 51 dari 52 pasien); ini mungkin karena akses yang lebih baik ke sistem medis yang
memungkinkan deteksi dini dan akses ke makanan bergizi dan suplemen daripada negara-negara
berkembang. Populasi yang diuji, yang 'dianggap berisiko', memiliki satu atau lebih
komorbiditas medis, paling sering CF, dan lebih umum defisiensi mikronutrien, sindrom usus
pendek, penyakit refluks gastroesofagus dan prematuritas, secara umum, kondisi yang cenderung
terhadap malabsorpsi atau asupan makanan yang kurang. Ini mungkin karena mayoritas anak-

34


anak Australia yang baik-baik saja cenderung memiliki nutrisi dan penyerapan yang wajar;
karenanya, mereka dianggap tidak mungkin memiliki VAD. Pria lebih mungkin diuji daripada
wanita. Anak-anak yang diuji juga cenderung lebih muda (berusia 0 hingga 6 tahun), mungkin
karena kekhawatiran tentang tuntutan metabolisme pertumbuhan dalam populasi ini.

Populasi 'yang berisiko nyata' yang diidentifikasi dalam penelitian kami agak berbeda dengan
mereka yang dianggap berisiko seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tiga kondisi medis sangat
terkait: CF, penyakit celiac dan autisme. VAD dalam CF disebabkan oleh malabsorpsi vitamin
yang larut dalam lemak yang disebabkan oleh insufisiensi pankreas, yang sering menyertai CF
(85-90%), kemungkinan terjadi bersamaan dengan mobilisasi vitamin A toko hati yang rusak.12
Lima dari delapan anak dengan autisme dalam penelitian kami memiliki VAD ringan, dan satu
memiliki defisiensi sedang-berat. Gangguan makan sering terjadi pada anak autis; ini
meningkatkan risiko kekurangan gizi.13 Setengah dari anak autis dalam penelitian kami
memiliki faddism makanan. Temuan kami mendukung gagasan bahwa anak-anak autis dengan
diet terbatas karena fadisme makanan berisiko terkena VAD. Ada lima studi kasus
xerophthalmia yang dilaporkan sekunder akibat diet terbatas pada anak-anak autis di negara-
negara maju. Penelitian kami juga mendukung hubungan antara penyakit celiac dan VAD19 dan
pentingnya interaksi dengan kondisi medis lain untuk menghasilkan VAD yang lebih parah. .
Secara signifikan, lebih banyak pria memiliki VAD daripada wanita dalam penelitian kami;
Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya.4 Diperkirakan bahwa jenis kelamin laki-
laki setara dengan tingkat presentasi yang lebih tinggi yang mencari bantuan medis di negara-
negara berkembang. Penelitian kami memiliki lebih banyak pasien pria; misalnya, semua pasien
autis adalah laki-laki dan ada lebih banyak pasien laki-laki dengan CF, yang dapat memberikan
penjelasan untuk pasien laki-laki yang dianggap berisiko serta benar-benar memiliki VAD.

Hubungan antara VAD dan anemia telah dilaporkan sebelumnya; penelitian kami
memiliki hubungan antara VAD dan anemia telah dilaporkan sebelumnya6; penelitian kami juga
menunjukkan hubungan yang signifikan antara keduanya. Hubungan antara VAD dan anemia
bersifat multi-faktorial dan mencerminkan peran vitamin A dalam produksi erythropoietin dan
tingkat komorbiditas medis yang lebih tinggi pada pasien dengan VAD6; komorbiditas ini sering
menyebabkan malabsorpsi, asupan yang terbatas dan / atau keadaan katabolik yang terkait
dengan penyakit kronis. Ini menunjukkan pentingnya skrining untuk kondisi terkait seperti

35


anemia pada VAD. Studi kami juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara VAD dan
kadar besi serum rendah, tetapi tidak komponen lain dari studi zat besi atau zat gizi mikro
lainnya. Sebagian besar penelitian belum menemukan hubungan yang signifikan antara VAD dan
defisiensi mikronutrien lainnya, dengan pengecualian zat besi.7,20 VAD dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, terutama

juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara keduanya. Hubungan antara VAD dan
anemia bersifat multi-faktorial dan mencerminkan peran vitamin A dalam produksi
erythropoietin dan tingkat komorbiditas medis yang lebih tinggi pada pasien dengan VAD6;
komorbiditas ini sering menyebabkan malabsorpsi, asupan yang terbatas dan / atau keadaan
katabolik yang terkait dengan penyakit kronis. Ini menunjukkan pentingnya skrining untuk
kondisi terkait seperti anemia pada VAD. Studi kami juga menunjukkan hubungan yang
signifikan antara VAD dan kadar besi serum rendah, tetapi tidak komponen lain dari studi zat
besi atau zat gizi mikro lainnya. Sebagian besar penelitian belum menemukan hubungan yang
signifikan antara VAD dan defisiensi mikronutrien lainnya, dengan pengecualian zat besi.7,20
VAD dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, terutama erkait dengan campak,
tuberkulosis dan penyakit diare.21 Penelitian kami tidak mengukur hasil ini karena tidak ada
pasien yang menderita campak atau TBC, dan sementara ada empat kasus diare, tidak ada
kematian.

Hanya 13 dari 52 pasien dengan VAD yang memiliki tinjauan oftalmologi; dari 13 pasien ini,
hanya satu yang ditinjau secara spesifik untuk xerophthalmia, yang menunjukkan bahwa
diagnosis xerophthalmia tidak dipertimbangkan pada 51 pasien yang tersisa, dan kasus
xerophthalmia mungkin tidak terdiagnosis. Ada satu kasus xerophthalmia; pasien ini mengalami
keterlambatan diagnosis meskipun telah menjalani beberapa tinjauan medis, yang menyebabkan
keterlambatan pengobatan dan hasil visual yang buruk. Tanda-tanda awal xerophthalmia halus,
dan pasien mungkin tidak melaporkan gejala22; dalam satu penelitian, tidak ada pasien yang
melaporkan gejala okular, tetapi 10% ditemukan memiliki xerosis konjungtiva yang jujur dan
19% memiliki adaptasi gelap yang abnormal. Ini menggambarkan pentingnya meninjau pasien
yang berisiko meskipun gejala minimal. Tingkat tinjauan oftalmologi yang relatif rendah untuk
pasien dengan risiko xerophthalmia mencerminkan persepsi bahwa anak-anak di negara maju
tidak berisiko terhadap kondisi ini dan kurangnya pemahaman bahwa xerophthalmia masih dapat

36


berkembang dengan VAD ringan.22 Staf medis di negara maju mungkin tidak menyadari
manifestasi awal xerophthalmia yang halus dan kurangnya kesadaran akan risiko pada pasien
yang rentan dan pentingnya diagnosis dini. Dokter harus menyadari potensi VAD pada anak-
anak Australia dan memantau kadar vitamin A terutama pada anak-anak laki-laki dan mereka
yang autisme, penyakit celiac dan CF. Pada mereka yang menderita VAD, tinjauan oftalmologi
harus dicari. Mereka harus menerima pemantauan terkait anemia dan kekurangan zat besi, serta
rujukan ke ahli gizi untuk penilaian gizi.

Keterbatasan

Ini adalah studi retrospektif; kami bergantung pada keakuratan rekam medis dan hanya
pasien dengan kadar vitamin A yang diukur yang dimasukkan dalam penelitian ini.

Tingkat serum retinol dapat dipengaruhi oleh infeksi bersamaan; Pengukuran kadar A juga harus
mencakup protein fase akut agar lebih akurat mengukur kadar retinol pada individu dengan
infeksi subklinis. Banyak pasien kami mengalami infeksi, tetapi kami tidak memasukkan
penanda inflamasi. Studi selanjutnya harus mencakup penanda inflamasi.

Kesimpulan

Studi kami menawarkan wawasan unik tentang VAD di negara maju; kami meningkatkan
pemahaman tentang populasi anak-anak Australia yang berisiko VAD dan kebutuhan untuk
memantau kondisi terkait. Kami juga telah menunjukkan bahwa walaupun xerophthalmia
memang ada di Australia, hanya sejumlah kecil anak-anak dengan VAD yang diskrining untuk
kondisi ini. Potensi xerophthalmia seharusnya dipertimbangkan pada kondisi pasien tertentu dan
seharusnya dilakukan pemeriksaan ophthalmology lebih lanjut

37


References
1 World Health Organization. Prevention of Childhood Blindness. Geneva: The Organization,
1994.

2 SommerA.VitaminAdeficiency,childhealth,andsurvival.Nutrition1997; 13: 484–5.

3 Smith J, Steinemann TL. Vitamin A deficiency and the eye. Int. Ophthalmol. Clin. 2000; 40:
83–91.

4 Sherwin JC, Reacher MH, Dean WH, Ngondi J. Epidemiology of vitamin A deficiency and
xerophthalmia in at-risk populations. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 2012; 106: 205–14.

5 Stephensen CB. Vitamin A, infection, and immune function. Annu. Rev. Nutr. 2001; 21: 167–
92.

6 Semba RD, Bloem MW. The anemia of vitamin A deficiency: Epidemiology and pathogenesis.
Eur. J. Clin. Nutr. 2002; 56: 271–81.

7 Mejia LA, Hodges RE, Rucker RB. Clinical signs of anemia in vitamin A- deficient rats. Am.
J. Clin. Nutr. 1979; 32: 1439–44.

8 Karande S, Jagtap S. Ocular sequelae of vitamin A deficiency. Same time, another place. Med.
J. Aust. 2008; 188: 308.

9 WelshBM,SmithAL,ElderJE,VarigosGA.Nightblindnessprecipitatedby isotretinoin in the


setting of hypovitaminosis A. Australas. J. Dermatol. 1999; 40: 208–10.

10 Qureshi SH, Selva-Nayagam DN, Crompton JL. Hypovitaminosis A in metropolitan


Adelaide. Clin. Experiment. Ophthalmol. 2000; 28: 62–4.

11 Sanli E, Figueira EC, Bhardwaj G, Watson SL, Francis IC. Tunnel vision and night blindness
in a 52-year-old man. Med. J. Aust. 2011; 195: 287–8.

12 Neugebauer MA, Vernon SA, Brimlow G, Tyrrell JC, Hiller EJ, Marenah C. Nyctalopia and
conjunctival xerosis indicating vitamin A deficiency in CF. Eye 1989; 3: 360–4.

13 CermakSA,CurtinC,BandiniLG.Foodselectivityandsensorysensitivityin children with autism


spectrum disorders. J. Am. Diet. Assoc. 2010; 110: 238–46.

14 Lin P, Fintelmann RE, Khalifa YM, Bailony MR, Jeng BH. Ocular surface disease secondary
to vitamin A deficiency in the developed world: It still exists. Arch. Ophthalmol. 2011; 129:
798–9.

15 Steinemann TL, Christiansen SP. Vitamin A deficiency and xerophthalmia in an autistic


child. Arch. Ophthalmol. 1998; 116: 392–3.

16 Tanoue K, Matsui K, Takamasu T. Fried-potato diet causes vitamin A deficiency in an

38


autistic child. J. Parenter. Enteral Nutr. 2012; 36: 753–5.

17 Clark JH, Rhoden DK, Turner DS. Symptomatic vitamin A and D deficiencies in an eight-
year-old with autism. J. Parenter. Enteral Nutr. 1993; 17: 284–6.

18 McAbeeGN,PrietoDM,KirbyJ,SantilliAM,SettyR.Permanentvisualloss due to dietary vitamin


A deficiency in an autistic adolescent. J. Child Neurol. 2009; 24: 1288–9.

19 AlwitryA.VitaminAdeficiencyincoeliacdisease.Br.J.Ophthalmol.2000; 84: 1079–80.

20 RoodenburgAJ,WestCE,HovenierR,BeynenAC.SupplementalvitaminA enhances the recovery


from iron deficiency in rats with chronic vitamin A deficiency. Br. J. Nutr. 1996; 75: 623–36.

21 Sommer A, Tarwotjo I, Hussaini G, Susanto D. Increased mortality in children with mild


vitamin A deficiency. Lancet 1983; 2: 585–8.

22 Sommer A. Xerophthalmia and vitamin A status. Prog. Retin. Eye Res. 1998; 17: 9–31.

39

Anda mungkin juga menyukai