JOURNAL READING
Penulis :
Billy Dohotan
030.15.043
Pembimbing :
dr. Liliek Isyoto , Sp.M
LEMBAR PERSETUJUAN
Pembimbing,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas karunia-
Nya journal reading dengan topik “Kekurangan Vitamin A dan Xeroftalmia pada Anak
di Negara Berkembang” dapat selesai dengan semestinya. Journal reading ini disusun
untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
departemen Ilmu Kesehatan Mata periode 23 September 2019 – 26 Oktober 2019.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian journal reading ini,
terutama kepada dr. Liliek Isyoto, SpM selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga journal reading ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan journal reading ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan journal reading ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga journal reading dapat
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang kesehatan mata.
030.15.043
3
DAFTAR ISI
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Kata Xeroftalmia ( bahasa latin ) berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan
pada selaput lendir ( konjungtiva) dan selaput bening ( kornea) mata.
2.3 Epidemiologi
Sampai dengan tahun 1950, terdapat banyak laporan endemik xeroftalmia terutama
di negara berkembang seperti India dan Indonesia. Berdasarkan hasil survey WHO tahun
1994 jumlah penderita xeroftalmia di seluruh dunia pada anak-anak usia 0-4 tahun sebesar
2,8 juta dan angka kejadian subklinis mencapai 251 juta. Angka kejadian xeroftalmia
akibat defisiensi vitamin A diperkirakan sekitar 20.000 – 100.000 kasus baru di seluruh
dunia per tahunnya. Menurut survey nasional xeroftalmia tahun 1992, prevalensi
xeroftalmia nasional adalah 0,33%. Di samping itu, juga dijumpai 50% dari anak balita
memiliki kadar vitamin A yang rendah (< 20 µg/dL).
Angka kejadian ini semakin meningkat sejalan dengan ditemukannya berbagai faktor yang
dapat mencetuskan terjadinya xeroftalmia. Faktor-faktor tersebut diantaranya:
1. Umur
Xeroftalmia paling sering ditemukan pada anak-anak usia pra-sekolah, hal ini
berhubungan dengan kebutuhan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan. Di
samping itu, anak-anak usia ini sangat rentan oleh infeksi parasit dan bakteri usus yang
dapat mengganggu penyerapan vitamin A di usus.
2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa laki-laki 1,2 – 10 kali lebih rentan untuk
menderita xeroftalmia.
3. Status Fisiologis
Wanita hamil dan wanita menyusui cenderung menderita buta senja atau Bitot’s Spots
karena meningkatnya kebutuhan akan vitamin A. Anak-anak usia sekolah juga
memiliki kecenderungan ini karena tingginya kebutuhan vitamin A untuk
pertumbuhan (adolescent growth spurt).
4. Status Gizi
Xeroftalmia sering kali berhubungan atau didapatkan bersama-sama dengan kondisi
malnutrisi (Kurang Energi Protein).
5. Penyakit Infeksi
Penyakit-penyakit yang mengganggu pencernaan, pengangkutan, penyimpanan,
pengikatan metabolisme vitamin A, dapat menimbulkan manifestasi defisiensi vitamin
A. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk menerangkan penurunan kadar vitamin
A selama demam dan infeksi, yaitu:
2.4 Etiologi
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari konsumsi sehari-hari
kekurangan vitamin A disebabkan oleh :
1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau provitamin A untuk
jangka waktu yang lama
2. Bayi tidak diberkan ASI eksklusif
3. Menu tidak seimbang ( kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn atau zat gizi lainnya
) yang dioerlukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan vitamin A dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada penyakit-
penyakit antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang energi protein ( KEP ) dan
lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A meningkat.
5. Adanya kerusakan hati, seperti pda kwashiorkor dan hepatitis kronik, menyebabkan
gangguan pembentukan RBP ( retiinol Binding Protein ) dan pre albumin yang penting
untuk penyerapan vitamin A.
2.5 Patofisiologi
1. Metabolisme Vitamin A
Vitamin A dalam bentuk aktif berupa asam retinoat. Sedangkan secara alami sumber
vitamin A didapatkan dari hewani dalam bentuk pro-vitamin A dan dari tumbuhan dalam
bentuk beta karoten. Dikenal tiga macam karoten yaitu α, β, dan γ-karoten. β-karoten
memilki aktivitas yang paling tinggi. Proses pembentukan vitamin A dari sumber hewani
dan tumbuhan menjadi bentuk aktif (asam retinoat) dapat diuraikan sebagai berikut :
• Absorbsi pro-vitamin A dan karoten di dinding usus halus, kemudian diubah menjadi
retinol
• Retinol diangkut ke dalam hepar oleh kilomikron, kemudian di dalam parenkim hati
sebagian dari retinol akan diesterifikasi menjadi retinil-palmitat dan disimpan dalam sel
stelat. Sebagian lagi akan berikatan dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan protein lain
yang disebut trasthyretin untuk dibawa ke target sel
• Pada target sel, retinol akan berikatan dengan reseptor yang terdapat pada membran sel
(RBP receptor) kemudian di dalam sel berikatan dengan retinol binding protein
intraseluler, yang akan diubah menjadi asam retinoat oleh enzim spesifik
• Asam retinoat selanjutnya akan memasuki inti sel dan berikatan dengan reseptor pada inti.
Asam retinoat ini berperan dalam transkripsi gen.
a. Penglihatan
b. Integritas sel
c. Respon imun
d. Hemopoiesis
e. Fertilitas
f. Embriogenesis
Kadar vitamin A dan retina binding protein (RBP) dalam darah dapat ditentukan
dengan menggunakan metode kromatografi cair tekanan tinggi (high pressure liquid
chromatography/ HLPC). Metode ini cukup akurat dan cepat. Nilai Vitamin A dalam
plasma adalah 0,7 µmol/l (50 µg/l) sering didapatkan pada orang dewasa yang sehat, tidak
ada batasan yang jelas tentang berapa nilai yang mengidentifikasikan seseorang mengalami
hipervitaminosis, tetapi kemungkinan diatas 3,5 µmol/l (100 µg/l). Pembagian tingkat
status vitamin A berdasarkan kadar vitamin A darah adalah :
Salah satu fungsi dari vitamin A adalah berperan dalam proses penglihatan, dimana
retina merupakan salah satu target sel dari retinol. Retinol yang telah berikatan dengan RBP
akan ditangkap oleh reseptor pada sel pigmen epitel retina, yang akan dibawa ke sel-sel
fotoreseptor untuk pembentukan rodopsin. Rodopsin ini sangat berperan terutama untuk
penglihatan pada cahaya redup. Karena itu tanda dini dari defisiensi vitamin A adalah rabun
senja.
3. Fungsi vitamin A yang berhubungan dengan integritas sel dan respon imun
Sejak tahun 1920an, telah diketahui adanya hubungan antara defisiensi vitamin A
dengan perubahan fungsi sistem imun. Perubahan-perubahan ini termasuk gangguan fungsi
barrier seperti metaplasia sel gepeng dan keratinisasi jaringan epitel yang biasanya
mensekresi mukus yang terdapat di konjungtiva dan di sistem respirasi dan genitourinari.
Selain itu, defisiensi vitamin A juga berkaitan dengan gangguan pembentukan respons
antibodi terhadap sebagian antigen. Secara khusus, defisiensi vitamin A berkaitan dengan
penurunan dalam respons antibodi yang sel T dependen dan sel T independen tipe 2.
Defisiensi vitamin A juga mengganggu berbagai subkelas respons imun seluler yang lain,
seperti sitotoksisitas yang dimediasi sel NK (natural killer) dan trasnformasi blastogenik
limfosit.
10
Kurang vitamin A ( KVA ) adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel
dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan tetapi
gambaran yang karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit pada umumnya tampak
pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit tampak kering dan
bersisik seperti sisik ikan. Kelainan ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan
karena kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau kurang energi protein
(KEP) tingkat berat atau gizi buruk. Gejala klinis pada mata akan timbul bila tubuh mengalami
KVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak menderita
penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut WHO/USAID UNICEF/HKI/IVACG,
1996 sebagai berikut :
X2 : xerosis kornea
X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan kornea
X3B : keratomalasia atau ulserasi kornea sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea
11
XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada
stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa
hari bisa berubah menjadi X3.
X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan ) pada kornea cukup luas sehingga menutupi
seluruh kornea ( optic zone kornea ).
1. Buta Senja
Buta senja merupakan gejala awal dan tersering pada defisiensi vitamin A, merupakan
akibat dari disfungsi fotoreseptor sel batang pada retina, dengan gejala kesulitan melihat pada sinar
redup. Penilaian dilakukan dengan adanya riwayat kesulitan melihat pada sore hari. Untuk
mendeteksi apakah anak menderita buta senja dengan cara :
• Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/menabrak benda
didepannya, karena tidak dapat melihat.
• Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak tersebut buta senja.
Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila didudukkan ditempat kurang cahaya
karena tidak dapat melihat benda atau makanan di depannya.
12
Kelompok risiko tinggi buta senja adalah usia prasekolah (>1 tahun) dan wanita hamil.
Riwayat buta senja pada ibu hamil didapatkan pada akhir masa kehamilan sampai 3 tahun setelah
melahirkan. Prevalensi xeroftalmi ditemukan sebesar 1% pada anak <1 tahun dan 5% pada ibu
hamil. Buta senja pada anak biasanya berespon baik pada 48 jam dengan pemberian terapi standar
200.000 IU vitamin A peroral. Rekomendasi pemberian vitamin A pada wanita hamil sebesar
10.000 IU perhari atau 25.000 IU perminggu peroral selama 4 minggu atau lebih, dengan maksud
meminimalisasi toksisitas yang dapat terjadi pada fetus.
2. Xerosis Konjungtiva
Xerosis konjungtiva, menunjukkan suatu awal metaplasia keratinisasi pada epitel dengan
hilangnya sel-sel goblet penghasil mukus. Lesi tidak mempengaruhi tajam penglihatan.
Tanda – tanda :
• Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit berkeriput,
dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
• Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna
kecoklatan.
Xerosis yang lebih lanjut dapat menyebabkan bercak bitot (X1B), yang tersusun dari
kumpulan deskuamasi keratin epitel. Bercak bitot dapat berupa gelembung, atau seperti busa
13
sabun, hampir selalu bilateral dan daerah temporal. Lesi di daerah nasal menunjukkan defisiensi
yang lebih lanjut.
Standar terapi dengan vitamin A 200.000 IU pada 2 hari berturut-turut memberikan respon klinis
dalam beberapa hari, walaupun pengobatan masih diperlukan beberapa minggu sampai beberapa
bulan.
4. Xerosis Kornea
Xerosis kornea (X2) merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak bilateral, granular,
berkabut dan tidak bercahaya, pada pemeriksaan dengan senter gambarannya seperti kulit jeruk.
Edema stroma merupakan keadaan yang sering ditemukan pada xerosis kornea. Penebalan plak
keratinisasi dapat ditemukan pada permukaan kornea, biasanya didaerah interpalpebra. Keadaan
umum anak biasanya buruk ( gizi buruk dan menderita penyakit infksi dan sistemik lain ). Xerosis
kornea dapat berkembang cepat menjadi ulkus dan keratomalasia bila tidak diterapi dengan
vitamin A dan terapi suportif lainnya.
14
Ulkus kornea (X3A), gambarannya kecil, oval, defek bergaung, sering pada daerah
inferior, perifer permukaan kornea, disertai injeksi konjungtiva, kadang ada hipopion. Ulkus dapat
dangkal atau dalam, menyebabkan perforasi. Terapi vitamin A berespon baik, perbaikan kornea
disertai jaringan parut atau lekoma adheren.
6. Sikatriks Kornea
Sikatriks kornea (XS) adalah konsekuensi kebutaan yang disebabkan oleh perbaikan ulkus
dan keratomalasia. Parut kornea akibat defisiensi vitamin A harus dibedakan dengan parut kornea
15
akibat penyebab lain seperti trauma atau infeksi dengan menganalisa secara cermat pada riwayat
pasien atau orangtuanya.
Kornea tampak menjadi putih atau bola mata mengecil. Penderita menjadi buta yang sudah
tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7. Fundus Xeroftalmia
16
2.7 Diagnosis
b. Identitas Orangtua
Nama ayah/ibu
Alamat/tempat tinggal
Pendidikan
Pekerjaan
Status perkawinan
2. Keluhan penderita
a. Keluhan utama
Ibu mengeluhkan anaknya tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja ) atau ada
kelainan dengan matanya.
b. Keluhan tambahan
Tanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan kapan terjadinya ?
Upaya apa yang telah dilakukan untuk pengobatannya ?
17
6. Pemeriksaan fisik
Dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda ataugejala klinis dan menentukan diagnosis serta
pengobatannya, terdiri dari :
a. Pemeriksaan umum
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait langsung maupun
tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi buruk, penyakit infeksi, dan
kelainan fungsi hati.
Yang terdiri dari :
- Antropometri: Pengukuran berat badan dan tinggi badan
- Penilaian Status gizi
- Periksa matanya apakah ada tanda-tanda xeroftalmia.
- Kelainan pada kulit : kering, bersisik.
b. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang
terang. (Bila ada, menggunakan loop.)
• Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
• Apakah ada bercak bitot (X1B)Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
• Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B)
• Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
• Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan opthalmoscope (XF).
7. Pemeriksaan Laboratorium
18
2.8 Penatalaksanaan
1. Jadwal dan dosis pemberian kapsul vitamin A pada anak penderita Xeroftalmia
19
Pada bercak Bitot tidak memerlukan obat tetes mata, kecuali ada infeksi yang menyertainya.
Obat tetes / salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid ( tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25-1%
dan gentamisin 0.3%) diberikan pada penderita X2,X3A,X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan
20
Terapi Gizi Medis adalah terapi gizi khusus untuk penyembuhan kondisi atau penyakit
kronis dan luka-luka serta merupakan suatu penilaian terhadap kondisi pasien sesuai
intervensi yang diberikan agar klien serta keluarganya dapat meneruskan penanganan diet
yang telah disusun.
Tujuan :
§ Memberikan makanan yang adekuat sesuai kebutuhan untuk mencapai status gizi
normal.
§ Memberikan makanan tinggi sumber vit. A. untuk mengoreksi kurang vitamin A.
Syarat :
a. Energi
Energi diberikan cukup untuk mencegah pemecahan protein menjadi sumber energi dan
untuk penyembuhan. Pada kasus gizi buruk, diberikan bertahap mengikuti fase stabilisasi,
transisi dan rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150 kalori/ kg BB dan 200 kalori/ kg
BB.
b. Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam pembentukan Retinol Binding
Protein dan Rodopsin. Pada gizi buruk diberikan bertahap yaitu : 1 - 1,5 gram/ kg BB / hari
; 2 - 3 gram/ kg BB / hari dan 3 - 4 gram/ kg BB / hari
c. Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal. Pemberian minyak kelapa
yang kaya akan asam lemak rantai sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides).
Penggunaan minyak kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan, tetapi rasanya kurang
enak.
d. Vitamin A
Diberikan tinggi untuk mengoreksi defisiensi. Sumber vitamin A yaitu ikan, hati, susu,
telur terutama kuning telur, sayuran hijau (bayam, daun singkong, daun katuk, kangkung),
21
buah berwarna merah, kuning, jingga (pepaya, mangga dan pisang raja ), waluh kuning,
ubi jalar kuning, Jagung kuning.
e. Bentuk makanan
Mengingat kemungkinan kondisi sel epitel saluran cerna juga telah mengalami
gangguan, maka bentuk makanan diupayakan mudah cerna.
XN : Reaksi pengobatan terlihat dalam 1-2 hari setelah diberikan kapsul vitamin
A
XIA & XIB : Tampak perbaikan dalam 2-3 hari, dan gejala-gejala menghilang dalam
waktu 2 minggu
X2 : Tampak perbaikan dalam 2-5 hari, dan gejala-gejala menghilang dalam
waktu 2-3 minggu
X3A & X3B: Penyembuhan lama dan meninggalkan cacat mata. Pada tahap ini penderita
harus berkonsultasi ke dokter spesialis mata Rumah Sakit/BKMM agar tidak
terjadi kebutaan
Rujukan
§ Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda kelainan XN, X1A, X1B,
X2
§ Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/BKMM bila ditemukan
tanda-tanda kelainan mata X3A, X3B, XS
22
2.9 Pencegahan
1. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xeroftalmia (faktor sosial budaya dan
lingkungan dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor individu)
2. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini
3. Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak secara periodik, yaitu untuk
bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus (100.000 SI), untuk
anak balita diberikan enam bulan sekali secara serentak pada bulan Februari dan
Agustus dengan dosis 200.000 SI.
4. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta
5. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
6. Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A / provitamin A secara
terus menerus.
23
Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang diperlukan penyuluhan untuk masyarakat dan
keluarga, karena kejadian xeroftalmia tidak lepas dari lingkungan, keadaan sosial ekonomi,
pendidikan dan pengetahuan orang tua (terutama ibu). Beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan sehubungan dengan hal tersebut diatas adalah :
Bayi berumur 6-11 bulan • Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral
dengan dosis 100.000 IU
Anak 1-6 tahun • Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral
dengan dosis 200.000 IU
24
c. Fortifikasi
i. Penambahan vitamin A pada beberapa jenis makanan yang secara alami kandungan
vitamin A-nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh per harinya
contohnya gandum, beras, teh, margarin
ii. Ditambahkan juga mikronutrien seperti preparat besi dan seng yang membantu
absorbsi vitamin A
2.10 Prognosis
Prognosa pada stadium XN, X1A, X1B, dan X2 adalah baik, dengan syarat :
Sedangkan pada stadium yang lebih lanjut dimana telah terjadi kerusakan kornea dan
dapat menyebabkan kebutaan yang tidak dapat disembuhkan lagi, maka prognosisnya jauh
lebih buruk.
25
BAB III
JOURNAL READING
Sekitar 228 juta anak didapatkan kekurangan vitamin A (VAD) hal tersebut
merupakan bentuk malnutrisi yang paling umum yang mengarah pada komorbiditas dan
kebutaan anak-anak di seluruh dunia, hal tersebut bertanggung jawab atas 1 hingga 3 juta
kematian anak-anak dan 5 hingga 10 juta kasus penyakit mata, dengan setengah juta anak buta
setiap tahun.VAD memiliki sejumlah besar manifestasi klinis, mulai dari xerophthalmia
(spektrum penyakit mata yang timbul dari VAD) hingga anemia dan meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi.
Vitamin A diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel batang untuk penglihatan yang redup.
Ini juga diperlukan untuk sintesis dan diferensiasi sel epitel. Pada VAD, pasien awalnya
melaporkan kebutaan malam (nyctalopia) akibat disfungsi sel batang fotoreseptor. Ketika
penyakit ini berkembang, epitel okular menjadi keratin dengan munculnya bintik-bintik Bitot,
kerutan konjungtiva, hilangnya sel-sel goblet dan penggantian epitel normal (xerosis). Perubahan
kornea mulai dengan keratopati , dan kemudian berlanjut ke keratinisasi permukaan (xerosis
kornea). Ulserasi terjadi ketika lapisan keratin ini terlepas. Pada VAD parah, terutama dengan
descemetocele atau perforasi kornea dengan prolaps isi intraokular. Pada beberapa kejadian,
VAD dapat menyebabkan defek epitel pigmen retina fokal (xerophthalmic fundus). Ini adalah
Xerophthalmia adalah manifestasi dari VAD sedang hingga parah, tetapi VAD yang lebih ringan
dapat menyebabkan efek sistemik. Vitamin A memodulasi sistem kekebalan tubuh, dan VAD
26
dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi; ini disebabkan oleh hilangnya integritas jaringan
mukosa, misalnya, penyakit diare, campak dan infeksi saluran pernapasan, yang semuanya
sintesis erythropoietin. Ini juga memodulasi metabolisme besi; pada VAD, zat besi terperangkap
di hati dan limpa dan tidak secara efektif dilepaskan untuk erythropoiesis.Selain itu, VAD
berkontribusi terhadap anemia melalui penurunan kekebalan yang menyebabkan anemia infeksi.
Di negara maju, telah dilaporkan kasus xerophthalmia karena pola makan yang buruk,
tertunda. Malnutrisi yang menyebabkan xerophthalmia sangat jarang terjadi di Australia, namun
ada beberapa kasus telah dilaporkan. Ada laporan kasus nyctalopia sekunder akibat terapi
isotretonin pada anak dengan cystic fibrosis (CF) dan sirosis hati, dan dua kasus yang dilaporkan
pada orang dewasa yang disebabkan oleh diet aneh.,Secara umum, data status vitamin A pada
anak-anak Australia sangat kurang; tidak ada data yang tersedia pada anak-anak 'yang dianggap
berisiko' (anak-anak dengan status vitamin A yang diukur), dan mereka yang 'benar-benar
berisiko' (mereka yang mengalami VAD sebenarnya). Mengingat konsekuensi yang berpotensi
menghancurkan , kami berusaha untuk menyelidiki kejadian dan gambaran klinis VAD pada
27
Metode penelitian
Analisis data dilakukan dengan paket Statistik untuk program Ilmu Sosial (SPSS). Tes chi-square
dan uji Fisher untuk hubungan dilakukan antara kadar vitamin A serum dan variabel lainnya.
Signifikansi statistik didefinisikan pada tingkat P <0,05.
Hasil
Kadar vitamin A diukur pada 162 pasien selama periode penelitian. Catatan medis dari
16 pasien tidak tersedia, meninggalkan total 146 pasien sebagai populasi penelitian. Sebagian
besar pasien adalah pasien rawat jalan dari klinik anak (78%), sementara beberapa pasien rawat
inap (20%) dan pasien dari gawat darurat (2%).
Didapatkan lebih banyak pria daripada wanita secara signifikan, 93 dan 53, masing-
masing, P = 0,001. Rentang usia adalah dari 5 hari hingga 18 tahun, dengan usia rata-rata 4,8 tahun.
Ditemukan lebih banyak pasien yang berusia 0 hingga 6 tahun dibandingkan dengan yang berusia>
6 sampai 12 tahun dan> 12 hingga 18 tahun, masing-masing n = 92, n = 24 dan n = 30, P <0,01.
Tidak ada perbedaan usia yang signifikan secara statistik antara pria dan wanita. Sebagian besar
anak-anak yang memiliki kadar vitamin A serum yang diukur memiliki setidaknya satu
komorbiditas; CF adalah yang paling umum diikuti oleh penyakit refluks gastroesofagus,
defisiensi mikronutrien, dan short gut Syndrome (Gbr. 1). Sebelas pasien tidak memiliki riwayat
medis sebelumnya; mereka datang dengan kondisi seperti diare, diet terbatas, kesulitan makan,
sakit perut, gaya berjalan abnormal dan memori abnormal.
28
Pasien dengan tingkat vitamin A di bawah kisaran referensi yang dikoreksi oleh
laboratorium patologi SEAL didefinisikan sebagai kekurangan (Tabel 1). Tingkat serum vitamin
A rata-rata keseluruhan untuk populasi penelitian adalah 0,89 µmol / L. Ada 52 pasien (35,6%)
dengan VAD. Kadar vitamin A serum rata-rata pada mereka yang mengalami VAD adalah 0,57 ±
0,2 µmol / L dibandingkan dengan 1,06 ± 0,35 µmol / L pada mereka yang tidak VAD. Ada
perbedaan yang signifikan secara statistik dalam kadar vitamin A serum rata-rata pada semua
kelompok umur (Tabel 2). Ada lebih banyak pria daripada wanita secara signifikan, masing-
masing 35 dan 16, P = 0,011. Rentang usia adalah dari 11 hari hingga 18 tahun, dengan usia rata-
rata 8,4 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam jumlah anak dengan
VAD pada usia yang berbeda
Journal of Paediatrics and Child Health 52 (2016) 699–703 © 2016 Paediatrics and Child Health Division (The Royal
Australasian College of Physicians)
29
Table 1 Age-corrected reference range for vitamin A level (SEALS pathol- ogy laboratory)
Table 2 Mean serum vitamin A level in patients with vitamin A deficiency (VAD) compared with patients without
VAD
Mean vitamin A level in those with VAD (μmol/L) Mean vitamin A level in those without VAD (μmol/L)
0.3 ± 0.09
0.75 ± 0.21
0.47 ± 0.17
1.05 ± 0.30
0.68 ± 0.13
1.45 ± 0.29
0.67 ± 0.15
1.40 ± 0.22
Dari sampel sejumlah 146 orang, didapatkan 26 ( 17,8%) memiliki kadar haemoglobin
yang rendah, dari 52 anak yang terkena VAD, 14 diantaranya juga memiliki kadar haemoglobin
yang rendah, bukti statistic juga menunjukkan hal tersebut
30
fig.2 rekam medis anak dengan kekurangan vitamin A (n=52), hubungan antara anak dengan
VAD dan kadar haemoglobin yang rendah adalah P = 0,032
Riwayat Diet
Diet yang diartikan dalam jurnal ini adalah pembatasan terhadap asupan beberapa
makanan, didapatkan enam pasien dengan diet terbatas beberapa makanan yang tidak lazim,5
dari mereka didaptkan menderita autism, dua dari pasien tersebut menderita VAD, dan satu
diantaranya menderita xeroftalmia, diet terbatas ini menyebabkan pasien kurang mendapatkan
sumber vitamin A yang baik
31
Dua puluh delapan dari 146 pasien memiliki riwayat ophthalmology, 13 dari 28 pasien
(28%) memiliki VAD dan 13 (25%) dari 52 pasien yang memiliki VAD memiliki riwayat
keluhan ophthalmology. Prematur retionopati merupakan hal utamayang menyebabkan pasien
memiliki pemeriksaan ophthalmology lebih lanjut, diikuti dengan pasien kelainan pengelihatan,
ulserasi kornea, dan papil oedem
Xeroftalmia
32
Fig. 4 foto mata kanan anak dengan xeroftalmia disertai dengan flurosein pada mat
33
foto mata kiri tampak reflex cahaya irregular dan tumpul pada kornea dan konjungtiva
Fig. 5
mengalami keratinisasi di permukaan
Diskusi
Sebagian besar studi VAD telah dilakukan di negara-negara berkembang, dan sulit untuk
menarik kesimpulan yang relevan dengan negara-negara maju karena banyak perbedaan ada
dalam diet, ketersediaan sumber daya medis dan epidemiologi penyakit. Studi kami
menunjukkan bahwa VAD dapat terjadi pada anak-anak Australia. Tingkat VAD umumnya
ringan (98%, 51 dari 52 pasien); ini mungkin karena akses yang lebih baik ke sistem medis yang
memungkinkan deteksi dini dan akses ke makanan bergizi dan suplemen daripada negara-negara
berkembang. Populasi yang diuji, yang 'dianggap berisiko', memiliki satu atau lebih
komorbiditas medis, paling sering CF, dan lebih umum defisiensi mikronutrien, sindrom usus
pendek, penyakit refluks gastroesofagus dan prematuritas, secara umum, kondisi yang cenderung
terhadap malabsorpsi atau asupan makanan yang kurang. Ini mungkin karena mayoritas anak-
34
anak Australia yang baik-baik saja cenderung memiliki nutrisi dan penyerapan yang wajar;
karenanya, mereka dianggap tidak mungkin memiliki VAD. Pria lebih mungkin diuji daripada
wanita. Anak-anak yang diuji juga cenderung lebih muda (berusia 0 hingga 6 tahun), mungkin
karena kekhawatiran tentang tuntutan metabolisme pertumbuhan dalam populasi ini.
Populasi 'yang berisiko nyata' yang diidentifikasi dalam penelitian kami agak berbeda dengan
mereka yang dianggap berisiko seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tiga kondisi medis sangat
terkait: CF, penyakit celiac dan autisme. VAD dalam CF disebabkan oleh malabsorpsi vitamin
yang larut dalam lemak yang disebabkan oleh insufisiensi pankreas, yang sering menyertai CF
(85-90%), kemungkinan terjadi bersamaan dengan mobilisasi vitamin A toko hati yang rusak.12
Lima dari delapan anak dengan autisme dalam penelitian kami memiliki VAD ringan, dan satu
memiliki defisiensi sedang-berat. Gangguan makan sering terjadi pada anak autis; ini
meningkatkan risiko kekurangan gizi.13 Setengah dari anak autis dalam penelitian kami
memiliki faddism makanan. Temuan kami mendukung gagasan bahwa anak-anak autis dengan
diet terbatas karena fadisme makanan berisiko terkena VAD. Ada lima studi kasus
xerophthalmia yang dilaporkan sekunder akibat diet terbatas pada anak-anak autis di negara-
negara maju. Penelitian kami juga mendukung hubungan antara penyakit celiac dan VAD19 dan
pentingnya interaksi dengan kondisi medis lain untuk menghasilkan VAD yang lebih parah. .
Secara signifikan, lebih banyak pria memiliki VAD daripada wanita dalam penelitian kami;
Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya.4 Diperkirakan bahwa jenis kelamin laki-
laki setara dengan tingkat presentasi yang lebih tinggi yang mencari bantuan medis di negara-
negara berkembang. Penelitian kami memiliki lebih banyak pasien pria; misalnya, semua pasien
autis adalah laki-laki dan ada lebih banyak pasien laki-laki dengan CF, yang dapat memberikan
penjelasan untuk pasien laki-laki yang dianggap berisiko serta benar-benar memiliki VAD.
Hubungan antara VAD dan anemia telah dilaporkan sebelumnya; penelitian kami
memiliki hubungan antara VAD dan anemia telah dilaporkan sebelumnya6; penelitian kami juga
menunjukkan hubungan yang signifikan antara keduanya. Hubungan antara VAD dan anemia
bersifat multi-faktorial dan mencerminkan peran vitamin A dalam produksi erythropoietin dan
tingkat komorbiditas medis yang lebih tinggi pada pasien dengan VAD6; komorbiditas ini sering
menyebabkan malabsorpsi, asupan yang terbatas dan / atau keadaan katabolik yang terkait
dengan penyakit kronis. Ini menunjukkan pentingnya skrining untuk kondisi terkait seperti
35
anemia pada VAD. Studi kami juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara VAD dan
kadar besi serum rendah, tetapi tidak komponen lain dari studi zat besi atau zat gizi mikro
lainnya. Sebagian besar penelitian belum menemukan hubungan yang signifikan antara VAD dan
defisiensi mikronutrien lainnya, dengan pengecualian zat besi.7,20 VAD dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, terutama
juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara keduanya. Hubungan antara VAD dan
anemia bersifat multi-faktorial dan mencerminkan peran vitamin A dalam produksi
erythropoietin dan tingkat komorbiditas medis yang lebih tinggi pada pasien dengan VAD6;
komorbiditas ini sering menyebabkan malabsorpsi, asupan yang terbatas dan / atau keadaan
katabolik yang terkait dengan penyakit kronis. Ini menunjukkan pentingnya skrining untuk
kondisi terkait seperti anemia pada VAD. Studi kami juga menunjukkan hubungan yang
signifikan antara VAD dan kadar besi serum rendah, tetapi tidak komponen lain dari studi zat
besi atau zat gizi mikro lainnya. Sebagian besar penelitian belum menemukan hubungan yang
signifikan antara VAD dan defisiensi mikronutrien lainnya, dengan pengecualian zat besi.7,20
VAD dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, terutama erkait dengan campak,
tuberkulosis dan penyakit diare.21 Penelitian kami tidak mengukur hasil ini karena tidak ada
pasien yang menderita campak atau TBC, dan sementara ada empat kasus diare, tidak ada
kematian.
Hanya 13 dari 52 pasien dengan VAD yang memiliki tinjauan oftalmologi; dari 13 pasien ini,
hanya satu yang ditinjau secara spesifik untuk xerophthalmia, yang menunjukkan bahwa
diagnosis xerophthalmia tidak dipertimbangkan pada 51 pasien yang tersisa, dan kasus
xerophthalmia mungkin tidak terdiagnosis. Ada satu kasus xerophthalmia; pasien ini mengalami
keterlambatan diagnosis meskipun telah menjalani beberapa tinjauan medis, yang menyebabkan
keterlambatan pengobatan dan hasil visual yang buruk. Tanda-tanda awal xerophthalmia halus,
dan pasien mungkin tidak melaporkan gejala22; dalam satu penelitian, tidak ada pasien yang
melaporkan gejala okular, tetapi 10% ditemukan memiliki xerosis konjungtiva yang jujur dan
19% memiliki adaptasi gelap yang abnormal. Ini menggambarkan pentingnya meninjau pasien
yang berisiko meskipun gejala minimal. Tingkat tinjauan oftalmologi yang relatif rendah untuk
pasien dengan risiko xerophthalmia mencerminkan persepsi bahwa anak-anak di negara maju
tidak berisiko terhadap kondisi ini dan kurangnya pemahaman bahwa xerophthalmia masih dapat
36
berkembang dengan VAD ringan.22 Staf medis di negara maju mungkin tidak menyadari
manifestasi awal xerophthalmia yang halus dan kurangnya kesadaran akan risiko pada pasien
yang rentan dan pentingnya diagnosis dini. Dokter harus menyadari potensi VAD pada anak-
anak Australia dan memantau kadar vitamin A terutama pada anak-anak laki-laki dan mereka
yang autisme, penyakit celiac dan CF. Pada mereka yang menderita VAD, tinjauan oftalmologi
harus dicari. Mereka harus menerima pemantauan terkait anemia dan kekurangan zat besi, serta
rujukan ke ahli gizi untuk penilaian gizi.
Keterbatasan
Ini adalah studi retrospektif; kami bergantung pada keakuratan rekam medis dan hanya
pasien dengan kadar vitamin A yang diukur yang dimasukkan dalam penelitian ini.
Tingkat serum retinol dapat dipengaruhi oleh infeksi bersamaan; Pengukuran kadar A juga harus
mencakup protein fase akut agar lebih akurat mengukur kadar retinol pada individu dengan
infeksi subklinis. Banyak pasien kami mengalami infeksi, tetapi kami tidak memasukkan
penanda inflamasi. Studi selanjutnya harus mencakup penanda inflamasi.
Kesimpulan
Studi kami menawarkan wawasan unik tentang VAD di negara maju; kami meningkatkan
pemahaman tentang populasi anak-anak Australia yang berisiko VAD dan kebutuhan untuk
memantau kondisi terkait. Kami juga telah menunjukkan bahwa walaupun xerophthalmia
memang ada di Australia, hanya sejumlah kecil anak-anak dengan VAD yang diskrining untuk
kondisi ini. Potensi xerophthalmia seharusnya dipertimbangkan pada kondisi pasien tertentu dan
seharusnya dilakukan pemeriksaan ophthalmology lebih lanjut
37
References
1 World Health Organization. Prevention of Childhood Blindness. Geneva: The Organization,
1994.
3 Smith J, Steinemann TL. Vitamin A deficiency and the eye. Int. Ophthalmol. Clin. 2000; 40:
83–91.
4 Sherwin JC, Reacher MH, Dean WH, Ngondi J. Epidemiology of vitamin A deficiency and
xerophthalmia in at-risk populations. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 2012; 106: 205–14.
5 Stephensen CB. Vitamin A, infection, and immune function. Annu. Rev. Nutr. 2001; 21: 167–
92.
6 Semba RD, Bloem MW. The anemia of vitamin A deficiency: Epidemiology and pathogenesis.
Eur. J. Clin. Nutr. 2002; 56: 271–81.
7 Mejia LA, Hodges RE, Rucker RB. Clinical signs of anemia in vitamin A- deficient rats. Am.
J. Clin. Nutr. 1979; 32: 1439–44.
8 Karande S, Jagtap S. Ocular sequelae of vitamin A deficiency. Same time, another place. Med.
J. Aust. 2008; 188: 308.
11 Sanli E, Figueira EC, Bhardwaj G, Watson SL, Francis IC. Tunnel vision and night blindness
in a 52-year-old man. Med. J. Aust. 2011; 195: 287–8.
12 Neugebauer MA, Vernon SA, Brimlow G, Tyrrell JC, Hiller EJ, Marenah C. Nyctalopia and
conjunctival xerosis indicating vitamin A deficiency in CF. Eye 1989; 3: 360–4.
14 Lin P, Fintelmann RE, Khalifa YM, Bailony MR, Jeng BH. Ocular surface disease secondary
to vitamin A deficiency in the developed world: It still exists. Arch. Ophthalmol. 2011; 129:
798–9.
38
17 Clark JH, Rhoden DK, Turner DS. Symptomatic vitamin A and D deficiencies in an eight-
year-old with autism. J. Parenter. Enteral Nutr. 1993; 17: 284–6.
22 Sommer A. Xerophthalmia and vitamin A status. Prog. Retin. Eye Res. 1998; 17: 9–31.
39