Anda di halaman 1dari 9

TULI SENSORINEURAL MENDADAK

Ketut Widyastuti
PENDAHULUAN
Tuli mendadak atau Sudden Hearing Loss (SHL) merupakan keluhan yang perlu
mendapat penanganan cepat dan tepat agar dapat memperbaiki fungsi pendengaran dan kualitas
hidup penderita. Tuli atau penurunan pendengaran secara umum dibagi menjadi tiga yaitu tuli
konduksi, tuli sensorineural dan tuli campuran. Tuli konduksi disebabkan oleh gangguan struktur
yang menghantarkan gelombang suara ke koklea antara lain akibat dari abnormalitas telinga luar,
membran timpani, rongga udara, telinga tengah atau tulang pendengaran. Sedangkan tuli
sensorineural akibat dari abnormalitas koklea, saraf koklearis dan struktur yang mengolah impuls
neural menuju korteks auditorik di otak.1,2
Tuli mendadak adalah sensasi subjektif kehilangan pendengaran yang terjadi mendadak
dalam 72 jam pada satu atau kedua telinga. Tuli sensorineural mendadak (SSNHL/sudden
sensorineural hearing loss) merupakan bagian dari tuli mendadak dengan kriteria berdasarkan
pemeriksaan audiometri yaitu adanya penurunan pendengaran >30 desibels (dB) minimal pada 3
frekuensi pemeriksaan berturut-turut. Umumnya pasien tidak memiliki data audiometri
sebelumnya, sehingga tuli mendadak dibuat berdasarkan ambang pendengaran telinga
kontralateral. Tuli sensorineural mendadak idiopatik (SSNHL idiopatik) merupakan SSNHL
dengan penyebab yang tidak jelas walaupun dengan pemeriksaan yang adekuat.2,3
EPIDEMIOLOGI
Kejadian tuli sensorineural mendadak (SSNHL) sekitar 5-20 kasus pada setiap 100.000
populasi di Amerika Serikat. Insiden yang sebenarnya mungkin jauh melebihi estimasi tersebut
karena adanya kasus-kasus yang mengalami pemulihan cepat tanpa perawatan medis. Angka
kejadian sama besar pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan dapat terjadi pada
semua usia dengan puncak insiden pada dekade 5-6. Hampir sebagian besar kasus berupa tuli
unilateral dan hanya 2% bilateral. Gejala penyerta berupa tinnitus (41-90%) dan dizziness (29-
56%). Hanya 10-15% penyebab SSNHL dapat diidentifikasi saat pemeriksaan awal sedangkan
lebih dari sepertiga kasus penyebabnya diidentifikasi setelah perawatan jangka panjang.1,2
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Sekitar 7-45% pasien SSNHL dapat diidentifikasi penyebabnya (SSNHL non idiopatik).
Suatu meta analisis dari 23 studi SSNHL mengidentifikasi penyebab paling banyak SSNHL non
idiopatik adalah infeksi (12,8%) diikuti dengan penyakit otologi (4,7%), trauma (4,2%), vaskular
atau hematologik (2.8%), neoplastik (2,3%) dan penyebab lainnya (2,2%) seperti reaksi konversi
dan pemberian obat-obat ototoksik. Lebih dari 90% pasien SSNHL tidak diketahui penyebabnya
dan diklasifikasikan sebagai SSNHL idiopatik. Hipotesis penyebab SSNHL idiopatik yang
paling banyak diterima adalah kelainan vaskular, ruptur membran intrakoklear dan proses infeksi
virus.3,4
Kelainan vaskular
Aliran darah koklea berasal dari 2 arteri terminal. Kecilnya diameter pembuluh darah arteri dan
tanpa ada pembuluh darah kolateral menyebabkan koklea rentan terhadap cedera yang
melibatkan pembuluh darah. Kelainan vaskular sebagai penyebab SSNHL bisa juga terjadi akibat
adanya perdarahan vaskular akut, oklusi emboli dan penyakit vaskular, vasospasme atau akibat
perubahan viskositas darah.3,5
Ruptur membran intrakoklea
Trauma pada koklea dengan robekan atau ruptur pada membran telinga dalam menyebabkan
keluhan kehilangan pendengaran mendadak disertai dengan sensasi “pop” yang terjadi saat
aktivitas berat atau peningkatan tekanan intrakranial. Akibat dari ruptur membran intrakoklear
terjadi percampuran cairan perilimfe dan endolimfe. Pemeriksaan histopatologi postmortem pada
tulang temporal pasien SSNHL idiopatik menyokong teori ruptur membran sebagai patofisologi
SNHL idiopatik.2,3
Infeksi virus
Infeksi atau reaktivasi virus pada telinga dalam menyebabkan terjadinya inflamasi koklea dan
kerusakan struktur telinga dalam. Data klinis, studi hewan invitro dan studi histopatologi pada
tulang temporal pasien SSNHL menyokong etiologi ini. Peningkatan signifikan kadar serum
antibodi antiviral termasuk antibodi terhadap sitomegalovirus, herpes simplek tipe 1, herpes
zoster, influenza B, mumps, enterovirus dan rubeola berhasil diisolasi dari serum pasien SSNHL
idopatik. Tulang temporal pasien SSNHL idiopatik menunjukkan pola histologis yang sama
dengan labirintitis viral yaitu atropi pada organ korti, membran tektorial, stria vaskularis dan end
organ vestibular.3,
SSNHL bilateral sangat jarang terjadi dan merupakan kondisi sistemik serius dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mekanisme penyebab umum SSNHL bilateral adalah
toksik, autoimun, neoplastik dan vaskular. SSNHL bilateral merupakan kondisi emergensi yang
membutuhkan penanganan segera untuk menyingkirkan kondisi yang mengancam jiwa atau
kondisi-kondisi yang reversibel.7 Apabila pasien dengan dugaan SSNHL yang disertai penyakit
dasar seperti gangguan sistemik, penyakit autoimun, kelainan metabolik, penyakit Meniere
bilateral atau disertai kelainan neurologi tertentu, kemungkinan pasien tersebut bukan SSNHL.2
Kerusakan pendengaran secara permanen terjadi akibat rusaknya sel rambut dan struktur
telinga dalam pada pasien SSNHL yang dapat diidentifikasi penyebabnya (SSNHL non
idiopatik). Sebaliknya sebagian besar (85-90%) pasien SSNHL idiopatik akan mengalami
perbaikan fungsi pendengaran. Studi placebo-kontrol menunjukkan terjadinya perbaikan fungsi
pendengaran tanpa pemberian terapi pada 32-65% pasien (rata-rata 46,7%) umumnya dalam dua
minggu onset. Studi lainnya mendapatkan sekitar 45% pasien SSNHL idiopatik mengalami
perbaikan spontanfungsi pendengaran 10 dB dibandingkan dengan sisi kontralateral. Lama
durasi hilangnya pendengaran dihubungkan dengan kemungkinan perbaikan pendengaran dan
umumnya defisit yang durasinya lebih dari 2-3 bulan menjadi permanen. 2,3
DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pedoman klinis tuli sensorineural mendadak dari American Academy of
Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) pada tahun 2013,
langkah pertama dari penegakan diagnosis tuli mendadak adalah klinisi harus mampu
membedakan tuli sensorineural (SNHL) dengan tuli konduksi (CHL) karena sangat penting
untuk menentukan terapi dan prognosis. Keduanya bisa dibedakan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti tes garputala dan audiometri. Penanganan tuli konduksi
dan tuli sensorineural sangat berbeda misalnya pada tuli konduksi akibat sumbatan serumen,
terapi bisa diberikan secara efektif dan prognosis baik. 2,3
Anamnesis yang harus ditanyakan adalah adanya riwayat trauma, nyeri pada telinga luar
dan saluran telinga, drainase telinga, demam dan gejala sistemik lainnya. Pasien SNHL biasanya
melaporkan adanya tinnitus, rasa penuh pada telinga atau vertigo. Pemeriksaan saluran telinga
dan membran timpani penting untuk membedakan CHL dan SNHL. Penyebab CHL antara lain
adanya sumbatan serumen, otitis media, benda asing, otosklerosis, trauma dan kolesteatoma.
Anamnesis lainnya adalah adanya riwayat kehilangan pendengaran unilateral atau bilateral yang
bersifat episodik, adanya vertigo dan gejala neurologi fokal. Pasien SSNHL dengan riwayat
kehilangan pendengaran yang bersifat fluktuatif harus dievaluasi kemungkinan penyebabnya
adalah penyakit Meniere, kelainan autoimun, sindrom Cogan dan sindrom hiperviskositas.
Penyakit Meniere merupakan penyebab paling sering kehilangan pendengaran fluktuatif yang
unilateral. Penyakit telinga tengah autoimun dan sindrom Cogan biasanya melibatkan telinga
bilateral. Semua kondisi tersebut menyebabkan penurunan pendengaran yang bertahap dan
fluktuatif, namun kadang muncul mendadak sebagai SSNHL.2,7
Tuli mendadak disertai dengan gejala dan tanda neurologis fokal mengindikasikan
keterlibatan sistem saraf pusat. Oklusi arteri auditorik interna paling sering terlibat dalam
mekanisme tuli mendadak unilateral akibat stroke. Arteri auditorik interna mendapatkan suplai
dari arteri serebelar inferior anterior (AICA). Area yang terkena biasanya adalah pedunkulus
serebelum media dan pons lateral. Hampir sebagian besar infark labirin terkait distribusi AICA
dihubungkan dengan hilangnya pendengaran unilateral dan gangguan vestibular akut. Tuli
mendadak unilateral bisa merupakan manifestasi dari Transient Ischemic Attack pada distribusi
AICA. Gejala yang menyertai tuli mendadak akibat oklusi AICA antara lain sindrom horner
ipsilateral (paresis okulosimpatetik yang terdiri dari miosis, ptosis dan anhidrosis), diplopia,
nistagmus, kelemahan wajah ipsilateral dan kesemutan, ataksia, vertigo, slurred speech,
kekakuan ektremitas unilateral, kehilangan kontrol nyeri dan suhu kontralateral. 3,5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan audiometri nada murni (pure tone audiometry) wajib dikerjakan untuk
diagnosis pasti SSNHL karena dapat membedakan CHL dengan SNHL dan menetapkan
frekuensi ambang pendengaran. Pasien memerlukan pemeriksaan serial audiometri untuk menilai
adanya pemulihan pendengaran, memonitor terapi, menentukan perlunya rehabilitasi auditorik,
skrining adanya relaps dan menyingkirkan adanya ketulian pada telinga kontralateral.
Pemeriksaan garputala Weber dan Rinne test penting dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil
pemeriksaan audiometri atau pada kondisi tidak tersedianya pemeriksaan audiometri. 1,2,3
Tabel 1. Kriteria tuli mendadak
Pemeriksaan Auditory Brainsteam Response (ABR) digunakan untuk menyingkirkan
adanya lesi pada serebelopontin angle (CPA) atau kanal auditorik internal (IAC) sebagai
penyebab tuli unilateral. ABR sangat berguna pada kondisi tidak tersedianya MRI atau kontra
indikasi dilakukan MRI. Sensitivitas pemeriksaan ABR untuk mendiagnosis tumor lebih rendah
dibandingkan dengan MRI yaitu 88% dibandingkan dengan 99%. Namun pada tumor yang
ukurannya <1 cm, pemeriksaan ABR memiliki sensitivitas yang lebih tinggi sekitar 95% dengan
spesifisitas sampai 88% dibandingkan dengan MRI.2,3
Pemeriksaan MRI kepala dilakukan untuk mendeteksi kelainan retrokoklea yaitu lesi
struktural pada nervus vestibulokoklear, batang otak dan otak. Adanya kelainan pada ABR dan
audiometri merupakan indikasi dilakukan pemeriksaan MRI untuk penilaian lebih lanjut.
Pemeriksaan CT scan tidak tepat digunakan untuk penilaian awal pasien dengan dugaan SSNHL
karena tidak memperoleh informasi untuk meningkatkan penanganan awal pasien. Kecuali pada
pasien dengan defisit neurologi fokal, adanya riwayat trauma dan penyakit telinga kronis, serta
pada kondisi yang tidak memungkinkan dilakukan MRI seperti pasien menggunakan pace
maker, klaustropobia atau ada masalah pembiayaan.2,3
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak diperlukan untuk mendiagnosis SSNHL idiopatik
karena berkaitan dengan pembiayaan dan potensial terjadi bias positif palsu. Pemeriksaan
laboratorium spesifik berguna untuk mengidentifikasi penyebab potential yang spesifik seperti
pemeriksaan marker inflamasi dan pemeriksaan infeksi yang spesifik seperti ELISA untuk
penyakit Lyme yang kemudian dikonfirmasi dengan Western Blot, pemeriksaan cairan likuor
otak untuk infeksi meningitis, pemeriksaan VDRL untuk penyakit sifilis. Pemeriksaan serologi
pada dugaan penyakit autoimun dilakukan pemeriksaan antinuclear antibody (ANA test) dan
faktor rheumatoid. Apabila penyakit dasar dicurigai akibat faktor vaskular maka dilakukan
pemeriksaan sesuai dengan faktor resiko vaskular seperti lipid profil dan serum glukosa. Pasien
dengan penyakit metabolik seperti tiroid bisa dilakukan pemeriksaan TSH, T3 dan free T4.3
TERAPI
Terapi SSNHL berdasarkan penyakit dasar pada kasus SSNHL yang dapat diidentifikasi
penyebabnya. Beberapa kasus berpotensi mengalami perbaikan pendengaran setelah terapi antara
lain schwannoma vestibular, gondok dan sifilis sekunder. Namun pemberian terapi pada
sebagian besar kasus SSNHL dari etiologi yang dapat diidentifikasi tidak memperbaiki tingkat
pendengaran kembali seperti tingkat pre onset. 3
Terapi SSNHL idiopatik masih kontroversi menyangkut tentang perlu tidaknya terapi dan
pilihan terapinya. Salah satu dasar perdebatan adalah kenyataan bahwa SSNHL idiopatik sembuh
secara spontan pada 45-65% pasien. Pengobatan SSNHL idiopatik yang sudah diteliti antara lain
penggunaan antiinflamasi, antimikroba, antagonis kalsium, vitamin, mineral esensial,
vasodilator, volume expanders, defibrinogenator, diuretik, oksigen hiperbarik dan bedrest.
Kesulitan pemilihan pengobatan karena banyaknya variasi etiologi SSNHL idiopatik dan
kurangnya hasil terapi tersebut yang menunjukkan secara jelas lebih baik. Sekitar 85-90% kasus
masih belum diketahui penyebab pasti meskipun sudah dilakukan evalusi pada saat awal muncul
gejalanya sehingga umumnya terapi diberikan tanpa mengetahui penyebabnya.2,3
Pemberian kortikosteroid pada SSNHL idiopatik masih kontroversi, namun adanya
konsekuensi serius akibat SSNHL yang berat maka terapi kortikosteroid merupakan satu dari
sedikit pilihan pengobatan yang menunjukkan bukti adanya efikasi. Pemberian terapi
kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dan edema pada telinga dalam. Penelitian double-
blinded randomized controlled trials pada 67 pasien dengan menggunakan regimen steroid yang
berbeda didapatkan perbaikan pada pasien yang mendapatkan steroid (78%) dibandingkan
dengan plasebo (38%). Pemberian kortikosteroid sebagai terapi awal SSNHL idiopatik
memberikan pemulihan yang baik pada pemberian 2 minggu pertama dan manfaat kecil bila
pemberiannya setelah 4-6 minggu. Direkomendasikan pemberian pengobatan prednison oral
dengan dosis tunggal 1mg/kg/hari maksimal 60 mg/hari selama 10-14 hari. Protokol terapi yang
representatif menggunakan pengobatan dengan regimen dosis maksimal selama 4 hari diikuti
dengan tappering 10 mg tiap 2 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan
metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. Efek samping prednison bersifat sistemik
akibat penekanan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal meliputi insomnia, dizziness, kenaikan
berat badan, berkeringat, gastritis, perubahan mood, fotosensitif dan hiperglikemia.3,9
Pemberian kortikosteroid intratimpani merupakan solusi bagi pasien SSNHL idiopatik
yang tidak dapat mentoleransi atau refrakter terhadap terapi steroid sistemik. Kortikosteroid
intratimpani lebih banyak dikerjakan untuk managemen SSNHL yang idiopatik. Pemberian
kortikosteroid intratimpani berupa deksametason 10-24 mg/ml atau metilprednisolon 30 mg/ml.
Pemberian kortikosteroid intratimpani menyebabkan kadar steroid perilimfe yang lebih tinggi
dibandingkan pemberian sistemik dan tidak diabsorbsi kedalam sirkulasi sistemik sehingga efek
sistemik yang timbul juga minimal. 2,3,9
Tabel 2. Pemberian kortikosteroid oral dan intratimpani pada SSNHL idiopatik (Stachler,2013)

Terapi oksigen hiperbarik pada kasus SSNHL idiopatik diduga memiliki efek yang
kompleks terhadap imunitas, transpor oksigen dan hemodinamik, mengurangi hipoksia dan
edema serta memicu respon normal terhadap infeksi dan iskemia. Terapi oksigen hiperbarik
diberikan dalam 2 minggu hingga 3 bulan setelah diagnosis SSNHL dengan cara memberikan
oksigen 100% pada tekanan lebih dari 1 atmosphere absolute (ATA) menggunakan chamber
khusus untuk meningkatkan hantaran oksigen menuju kokhlea karena kokhlea sangat sensitif
terhadap kondisi iskemia. Efek samping terapi oksigen hiperbarik berupa gangguan telinga, sinus
dan paru akibat perubahan tekanan (barotrauma), klaustrofobia dan keracunan oksigen. Terapi
oksigen hiperbarik belum mendapat persetujuan FDA namun telah diimplementasikan untuk
terapi SSNHL idiopatik sebagai pengobatan tambahan berdasarkan tinjauan Cochrane terhadap 7
RCTs yang dipublikasi dari tahun 1985-2004. Studi prospektif lainnya berupa pemberian terapi
oksigen ditambah terapi standar prednisolon dibandingkan dengan terapi prednisolon saja tidak
menemukan perbedaan signifikan dari kedua regimen tersebut. Terapi farmakologi lainnya
berupa pemberian antivirus, trombolitik, vasodilator, substansi vasoaktif atau antioksidan secara
rutin tidak direkomendasikan pada pasien SSNHL karena belum ada bukti keberhasilan terapi
dengan obat-obat tersebut.1,3,10
PROGNOSIS
Prognosis SSNHL tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, adanya
vertigo saat onset, derajat gangguan pendengaran, karakteristik awal audiometri, waktu antara
onset gangguan pendengaran dengan dimulainya terapi. Direkomendasikan untuk melakukan
follow up jangka panjang sehingga dapat mengidentifikasi penyebab SSNHL yang mungkin
belum ditemukan saat penanganan awal. Pasien dengan SSNHL idiopatik sangat penting
melakukan follow up audiometri yang menentukan keberhasilan terapi. Follow up pada 156
pasien yang didiagnosis SSNHL idiopatik 54,5% menunjukkan perbaikan dalam 10 hari
meskipun belum komplit. Perbaikan final dicapai dalam 1 bulan pada 78% pasien, 3 bulan pada
97 pasien dan hanya 0,6% yang perbaikannya mencapai 6 bulan. Sehingga disarankan untuk
melakukan follow up audiometri hingga 6 bulan. Pasien tuli mendadak yang telah mendapat
pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan kecacatan maka
dibutuhkan rehabilitasi auditorik. 2,8

DAFTAR PUSTAKA
1. Lawrence R, Thevasagayam R. Controversies in the management of sudden sensorineural
hearing loss: an evidence-based review. Clin Otolaryngol. 2015;40(3):176-82
2. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs DM, et
al. Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of the American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg.
2012;146:S1.
3. Kuhn, M, Heman-Ackah, SE, Shaikh, JA, Roehm, PC. Sudden sensorineural hearing
loss: a review of diagnosis, treatment, and prognosis. Trends Amplif. 2011;15(3):91-105.
4. Chau, JK, Lin, JR, Atashband, S, Irvine, RA, Westerberg, BD. Systematic review of the
evidence for the etiology of adult sudden sensorineural hearing loss. Laryngo- scope.
2010;120(5):1011-21.
5. Lin, RJ, Krall, R, Westerberg, BD, Chadha, NK, Chau, JK. Systematic review and meta-
analysis of the risk fac- tors for sudden sensorineural hearing loss in adults.
Laryngoscope. 2012;122(3):624-35.
6. Edizer DT, Celebi O, Hamit B, Baki A, Yigit O. Recovery of Idiopathic Sudden
Sensorineural Hearing Loss. J Int Adv Otol. Turkey. 2015. 11(2): 122-6
7. Sara SA, Teh BM, Friedland P. Bilateral sudden sensori- neural hearing loss: review. J
Laryngol Otol. 2014;128 Suppl 1:8-15.
8. Wittig J, Wittekindt C, Kiehntopf M, Guntinas-Lichius O. Prognostic impact of standard
laboratory values on outcome in patients with sudden sensorineural hearing loss. BMC
Ear Nose Throat Disord. 2014 Jul;14:6.
9. Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP, Gantz BJ, et al. Oral vs
intratympanic corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing loss: A
randomized trial. JAMA. 2011;305(20):2071-9.
10. Korpinar S, Alkan Z, Yigit O, Gor AP, Toklu AS, Cakir B, et al. Factors influencing the
outcome of idiopathic sudden sensorineural hearing loss treated with hyperbaric oxygen
therapy. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2011;268(1):41-7.

Anda mungkin juga menyukai