Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
· Untuk mengetahui pengertian dari henti jantung.
· Untuk mengetahui etiologi henti jantung.
· Untuk mengetahui patofisiologi henti jantung.
· Untuk mengetahui manifestasi klinis yang terjadi pada henti jantung.
· Untuk mengetahui penatalaksanaan henti jantung.
· Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada henti jantung.
BAB II
PEMBAHASAN
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada
seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya
tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American
Heart Association,2010).
Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi normal darah
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti jantung
atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan
sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
2.2 ETIOLOGI
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk
terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a. Adanya jejas di jantung
Karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain,jantung yang terjejas atau mengalami
pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam
jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko
tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantungatherosclerosis
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
Karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat
seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung
Karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru
merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest.Kondisi seperti ini
disebutproarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar
potasium dan magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan
aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.
2.3 PATOFISIOLOGI
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen termasuk
otak
2. Hypoxia cerebral atau tidak adanya oksigen ke otak menyebabkan kehilangan kesadaran
(collapse)
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya
akan terjadi kematian dalam 10 menit
4. Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas)
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada
arteri
2.5 PENATALAKSANAAN
1. RJP (Resusitasi Jantung Paru)
Adalah suatu tindakan darurat, sebagai usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas/
henti jantung atau (yang dikenal dengan istilah kematian klinis) ke fungsi optimal, guna
mencegah kematian biologis.
a. kontraindikasi
orang yang diketahui berpenyakit terminal dan yang telah secara klinis mati lebih dari 5
menit.
b. tahap-tahap resusitasi
Resusitasi jantung paru pada dasarnya dibagi dalam 3 tahap dan pada setiap tahap
dilakukan tindakan-tindakan pokok yang disusun menurut abjad:
1. Pertolongan dasar (basic life support)
- Airway control, yaitu membebaskan jalan nafas agar tetap terbuka dan bersih.
- Breathing support, yaitu mempertahankan ventilasi dan oksigenasi paru secara adekuat.
- Circulation support, yaitu mempertahankan sirkulasi darah dengan cara memijat jantung.
2. Pertolongan lanjut (advanced life support)
- Drug & fluid, yaitu pemberian obat-obat dan cairan
- Elektrocardiography, yaitu penentuan irama jantung
- Fibrillation treatment, yaitu mengatasi fibrilasi ventrikel
3. pertolongan jangka panjang (prolonged life support)
- Gauging, yaitu memantau dan mengevaluasi resusitasi jantung paru, pemeriksaan dan
penentuan penyebab dasar serta penilaian dapat tidaknya penderita diselamatkan dan diteruskan
pengobatannya.
- Human mentation, yaitu penentuan kerusakan otak dan resusitasi cerebral.
- Intensive care, yaitu perawatan intensif jangka panjang.
Penanganan henti jantung dilakukan untuk membantu menyelamatkan pasien / mengembalikan
fungsi cardiovascular. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu sebagai berikut:
Tahap I :
– Berikan bantuan hidup dasar
– Bebaskan jalan nafas, seterusnya angkat leher / topang dagu.
– Bantuan nafas, mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke alat bantuan nafas.
Jika nadi tidak teraba :
Satu penolong : tiup paru kali diselingi kompres dada 30 kali.
Dua penolong : tiup paru setiap 2 kali kompresi dada 30 kali.
Tahap II :
– Bantuan hidup lanjut.
– Jangan hentikan kompresi jantung dan Venulasi paru.
Langkah berikutnya :
– Berikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV), ulangi dengan dosis yang lebih besar jika diperlukan. Dapat
diberikan Bic – Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti jantung lebih dari 2 menit, ulangi
dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi.
– Pasang monitor EKG, apakah ada fibrilasi, asistol komplek yang aneh : Defibrilasi : DC Shock.
– Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB.
– Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit.
Petugas IGD mencatat hasil kegiatan dalam buku catatan pasien.
Pasien yang tidak dapat ditangani di IGD akan di rujuk ke Rumah Sakit yang mempunyai
fasilitas lebih lengkap.
2.6 PENGOBATAN
a. Epinephrine.
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac arrest, utamanya karena
memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating (vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari
epinephrine dapat meningkatkan CPP (coronary perfusion pressure/aortic relaxation “diastolic”
pressure minus right atrial relaxation “diastolic” pressure) dan tekanan perfusi cerebral selama
RJP. Untuk efek β-adrenergik dari epinephrine, masih kontoversi karena berefek meningkatkan
kerja miokardium dan mengurangi perfusi subendokardial.Berdasarkan kerjanya tersebut, jadi
cukup beralasan jika pemberian 1 mg epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac
arrest. Dosis lebih tinggi hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada overdosis β-
blocker atau calcium channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat atau tidak ditemukan,
epinephrine dapat diberikan endotrakeal dengan dosis 2 mg sampai 2,5 mg.
b. Dapat diberikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV), ulangi dengan dosis yang lebih besar jika diperlukan.
Dapat diberikan Bic – Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti jantung lebih dari 2 menit, ulangi
dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi.
c. Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB.
d. Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit.
e. Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan juga memiliki efek α-
and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat dipertimbangkan untuk terapi VF (fibrilsi ventrikel)
atau Pulseless VT (takikardi ventrikel) yang tidak memberikan respon terhadap shock, RJP dan
vasopressor. Dosis pertama dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV.
Pada blinded-RCTs didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5 mg/KgBB secara bermakna
dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau Pulseless VT dirumah sakit, dibandingkan pemberian
placebo atau lidocaine 1,5 mg/KgBB.
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang EKG, sensor
dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG
mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada
irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa
menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal,
seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan jantung.
Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk
mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
b. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada jantung, di
antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan
tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat
memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
c. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia, termasuk
resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
d. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac arrest.
3. Imaging tes
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga dapat
menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran darah
ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran
darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan
paru-paru.
c. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung. Echocardiogram
dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak
memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan
katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah sembuh dan jika
penjelasan yang mendasari serangan jantung belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, mungkin
mencoba untuk menyebabkan aritmia,Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia
dimulai. Selama tes, kemudian kateter dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan
penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan
elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin
memicu atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa baik
jantung mampu memompa darah.Ini dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan
mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa
keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen.
Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini dapat mengukur
fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized
tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau penyumbatan.
Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting
sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda
melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri
di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman
video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan,mungkin
mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan
arteri terbuka.