Disusun Oleh :
Weynasari F Pagaya
(2018-84-059)
PEMBIMBING
Dr. dr. Bertha Jean Que, Sp.S, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
Koma merupakan kegawatdaruratan dalam bidang neurologi. Hilangnya
kesadaran pada pasien koma dapat terjadi karena meningkatnya tekanan
intracranial akibat intracerebral hematoma pada pasien hipertensi, dekompensasi
pada pasien tumor otak atau pengumpulan pus di otak dan juga pada pasien cedera
kepala. Penyebab koma bisa terjadi karena terjadi iskemik hipoksik akibat henti
jantung, penyakit serebrovaskuler baik perdarahan maupun infark disamping
koma metabolik akibat infeksi, gagal ginjal, gagal hati dan komplikasi diabetes
mellitus. Sekitar 40% pasien dengan hilang kesadaran sementara selama 5-6 jam
tercatat akibat pengaruh obat sedatif dengan atau tanpa alkohol, selebihnya adalah
akibat kejang, pingsan, disritmia jantung atau hipoglikemik.1
Seluruh gangguan kesadaran harus dianggap sebagai kasus akut dan
berpotensi menjadi kegawatan yang mengancam jiwa sampai fungsi vital stabil,
penyebab koma didiagnosis dan penyebab yang reversible telah terkoreksi.
Keterlambatan penanganan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial
mempunyai konsekuensi terjadinya herniasi, sama halnya dengan pemeriksaan
yang tidak penting seperti pemeriksaan imaging pada pasien koma metabolik
dapat memperlambat terapi inisial. Oleh karena itu sangat penting untuk
mengadopsi pendekatan yang sistematis, dimulai dengan memastikan resusitasi
kemudian langsung melakukan pemeriksaan lanjut sehingga mendapatkan
diagnosis yang cepat dan terapi yang tepat.2
Penanggulangan koma sangat tergantung pada patologi dasarnya serta
patofisiologi gangguan kesadaran. Hal ini sangat sulit, apalagi jika riwayat
penyakit dan perkembangan gejala fisik sebelumnya tidak jelas diketahui.1,
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau
keadaan ‘unarousable unresponsiveness’, yaitu keadaan dimana dengan semua
rangsangan, penderita tidak dapat dibangunkan.2
Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan klinik tertentu yang
disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan tindakan penanganan yang
cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin parah keadaan
susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan
sempurna.3
Kesadaran adalah suatu kondisi seseorang dengan tingkat awareness terhadap
diri yang baik dan dia mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kesadaran
terdiri atas arousal (Kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan
dalam kondisi bangun penuh) dan awareness (Kemampuan untuk menerima dan
memahami isi stimulus). Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal
beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu kompos mentis, delirium,
somnolen, stupor, dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara
itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan
menggunakan skala koma Glasgow.3
Tingkat kesadaran kualitatif :
1. Komposmentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari
panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap
seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam (arousal atau
waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.
2. Delirium berarti gangguan kesadaran dengan disertai penurunan
kemampuan untuk mempertahankan fokus atau mengalihkan perhatian
yang ditandai dengan adanya perubahan kognisi atau mengalami
gangguan persepsi. Gangguan terjadi dalam jangka waktu yang singkat.
3
3. Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti
mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan
dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit
bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitar menurun.
4. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan
rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu- dua
kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak tehadap rangsang
nyeri.wz
5. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan
‘unarousable/unresponsiveness’, yaitu keadaan dimana dengan semua
rangsangan, penderita tidak dapat dibangunkan. Dengan rangsang apapun
tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara,
maupun reaksi motorik.1
Tingkat kesadaran kuantitatif : 1,3
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E),
Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V).
1. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:
E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 membuka mata dengan rangsang suara
E4 membuka mata spontan
2. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk Motorik:
M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 reaksi motorik sesuai perintah
3. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk Verbal:
V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
4
V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated) 1
5
d. Hipoksia atau iskemia difus akut.
e. Gangguan metabolisme karbohidrat.
f. Gangguan keseimbangan asam basa.
g. Uremia.
h. Koma hepatik
i. Defisiensi vitamin B.
2. Koma Diensefalik
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formation retikularis di
daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara
anatomik koma diensefalik dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu koma akibat lesi
supratentorial dan lesi infratentorial.4
a. Lesi Supratentorial.
Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesak hemisferium
ke arah foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluar untuk
suatu proses desak didalam ruang tertutup seperti tengkorak. Karena itu batang
otak bagian depan (diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan.
Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dan substansia
retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu akan terjadi kelumpuhan saraf
otak yang disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak
okulomotorius dan trokhlearis merupakan ciri bagi proses desak ruang
supratentorial yang sedang menurun ke fossa posterior serebri.
Contoh proses desak ruang supratentorial yang dapat menyababkan penurunan
kesadaran sampai koma antara lain; tumor serebri, abses dan hematoma
intrakranial.4,8
Contoh lesi supratentorial: 4
1. Infark Thalamus
2. Perdarahan Intraserebral, Epidural, Subdural, dsb
3. Infak Trombotik, Emboli
4. Tumor (Primer maupun metastase)
5. Abses intraserebral dan Subdural
6. Trauma Kepala Tertutup
6
b. Lesi Infratentorial.
Infark batang otak yang sering terjadi pada konstusio serebri berat.
Tumor serebeli atau meningioma serta arakhnoiditis yang menyumbat lintasan
liquor adalah contoh-contoh lain proses patologik infratentorial yang lama
kelamaan dapat menimbulkan koma, karena merusak lintasan.3,4,7
Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii
posterior). Pertama, proses diluar batang otak atau serebelum yang mendesak
system retikularis. Kedua, proses didalam batang otak yang secara langsung
mendesak dan merusak system retikularis batang otak. Proses yang timbul
berupa, penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formasio
retikularis), herniasi serebellum dan batang otak ke rostral melewati tentorium
serebelli yang kemudian menekan formation retikularis di mesensefalon,
herniasi tonsiloserebellum ke bawah melalui foramen magnum dan sekaligus
menekan medulla oblongata. Secara klinis, ketiga proses tadi sukar dibedakan.
Biasanya berbauran dan tidak ada tahapan yang khas. Penyebab lesi infratentorial
biasanya GPDO di batang otak atau serebelum, neoplasma, abses, atau edema
otak.4,7
Contoh lesi infratentorial:
1. Perdarahan Serebelum
2. Infark Serebelum
3. Tumor Serebelum
4. Abses Serebelum
5. Aneurisma Basilar
6. Infark Batang otak
7. Perdarahan pons
Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatan keledai
menjadi kalimat “SEMENITE”. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat
membedakan manakah yang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma
diensefalik. 2,4
S : Sirkulasi – gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)
E : Ensefalitis – akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dl.
7
M : Metabolik – akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggu
kinerja otak. (gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum,
dsb).
E : Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).
N : Neoplasma – tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan
penekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat
(papiledema, bradikardi, muntah).
I : Intoksikasi – keracunan.
T : Trauma – kecelakaan.
E : Epilepsi.
2.3 Patofisiologi
Kesadaran dibagi dua yaitu derajat kesadaran dan gangguan isi. Gangguan
derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) menentukan derajat kesadaran. Gangguan
isi (kualitas, awareness, alertness) ditentukan oleh cara pengolahan input yang
menghasilkan output SSP kesadaran. 3,4
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri
termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular
activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian
atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris
dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks
serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks
serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi ini,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran. 3,10
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di
bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma : 3,4
1. Lesi supratentorial,
2. Lesi subtentorial,
3. Proses metabolik.
8
Gambar 2.1 Anatomi tentorium cerebelli.3
9
akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon ipsilateral, kemudian bagian
lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.
10
Koma Metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma
disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
1. Ensefalopati metabolik primer.
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel
saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2. Ensefalopati metabolik sekunder.
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang
mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun
keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris
dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau
atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien
mempergunakan barbiturat). 5
11
b. Koma Ensefalopati Hipertensif
Koma yang terjadi pada seseorang dengan hipertensi dapat disebabkan
oleh perdarahan intraserebral atau intrakranial. Koma ini tergolong dalam koma
diensefalik supratentorial dan dapat menyebabkan kematian.4
Akan tetapi koma kortikal bihemisferik dapat timbul juga pada orang-
orang hipertensi sedang sampai berat, bukan karena perdarahan, melainkan karena
iskhemik dan anoksik. Koma inilah yang dinamakan koma ensefalopati hipertensif.
Karena hipertensi dan pembuluh darah serebral, maka autoregulasi serebral tidak
lagi sempurna, sehingga pada peningkatan tekanan darah sewaktu-waktu dapat
timbul vasokontriksi secara menyeluruh yang agak lama. Dengan demikian
timbullah hipoksi dan anoksi difus yang melumpuhkan metabolism neural untuk
sementara, sehingga bangkit koma.4
d. Koma Hipoglikemik
Koma hipoglikemik pada umumnya terjadi jika gula darah menurun sampai
dibawah 25-30 mg% dan berlangsung paling sedikitnya 90 menit. Cadangann
glukosa dan glikogen serebral telah habis dibakar dalam waktu itu. Proses
oksidasi serebral berjalan terus tanpa glukosa eksogen. Karena itu lemak dan
protein dimetabolisme dan hasilnya ialah kerusakan struktural neuron yang tidak
12
dapat diperbaiki lagi. Penderita yang mengalami hipoglikemi seberat itu jatuh
dalam koma. Sebelumnya atau setelah hipoglikemi berat berlangsung beberapa
jam dan dapat dilihat sindrom sebagai berikut :
1. Delirium yang bangkit melalui tahap hipersomnia dan confusional state
yang ringan.
2. Serangan konfulsi mum, seperti serangan epileptik dengan koma post-iktal
3. Hemiparesis sementara yang timbul seperti kasus stroke namun setelah
hipoglikemi teratasi, penderita sembuh tanpa meninggalkan gejala sisa.
4. Koma denga pernapasan yang dalam serta cepat dan kaku deserbrasi. 4
Prodroma koma hipoglikemi dapat dibagi dalam dua kelompok, yang awal
dan yang langsung disusul oleh koma. Prodroma awal itu adalah gugup, rasa
lapar, wajah merah, berkeringat banyak dan tremor. Secara berangsur-angsur
penderita menjadi kurang waspada, berbicara sedikit kurang terang dan ngacau,
berkali-kali melakukan gerakan dnegan mulutnya seolah-olah sedang menetak,
gerakan anggota gerak menjadi kaku dan dapat timbul mioklonus atau konvulsi
4
umum.
Jika gula darah <10 mg% maka penderia berada dalam koma yang dalam
seklai : wajah pucat, pernapasan dangkal dan cepat, tetapi denyut jantung lambat
sekali, sedangkan otot yang tadinya kakau menjadi hipotonik. Tahap ini dikenal
sebagai modular koma hipoglikemi. Walaupun dnegan tindakan terapetik
penderita dapat diselamatkan dari kematian, fungsi serebral tidak akan pulih
kembali dan penderita tetap dalam kaedaan koma tanpa banyak kegawatan
pernapasan dan sirkulatorik. 4
e. Koma Hepatik
Koma hepatik adalah koma ang bangkit dalam perjalanan kegagalan hepatik.
Setiap tahap keadaan dimana hepar tidak dapat berfungsi lagi, disertai oleh
manifestasi disfungsi serebral. Pada awalnya dapat dijumapai gejala “organic
brain syndrome” yang ringan yang dapat berkisar antara hipersomnia dan letargi
saja. Kemudian dapat berkembang delirium, stupor, dan koma. 4
13
Jika koma sudah timbul penderita berada dalam sikap kaku deserbrasi.
Konvulsi umum ada kalanya muncul tetapi buka gejala yang selalu bergandengan
dengan manifestasi ensefalphatia hepatik atau koma hepatik. 4
Koma hepatik dibagi dalam 4 tahap :
1. Tahap I : lesu, letih, lemah, tanpa flapping tremor dan tanpa kelainan
pada EEG
2. Tahap II : confulsion state , letargi dengan falpping tremor dan EEG
mungkin sudah memperlihatkan slowing
3. Tahap III : lebih banyak letargi daripada kegelisahan motorik dan mental,
hanya kacau jika dibangunkan. Pola EEG pada tahap ini memperlihatkan
episode slowing. Astereksis lebih jelas.
4. Tahap IV : koma
f. Koma Uremik
Koma uremik terjadi melalui tahap keadaan yang dikenal sebagai
ensefalophatia uremik akibat kegagalan ginjal. Gambaran klinisnya tidak khas
yaitu terdiri dari manifestasi organic brain syndrome dengan konvulsi, gejala
neurologik fokal dan gangguan pernapsan. Reaksi pupil dan gerakan bola mata
jarang terganggu. Pada penderita dengan kegagalan ginjal kronik semuanya
merasa letih-lemah-lesu. Jika ensefalophati mulai berkembang maka manifestasi
motorik adalah asteriksis miklonus atau “mucle twitching” dan konfulsi umum.
Adakalanya hemiparesis merupakan manifestasi motorik ensefalophatik uremik.
Setelah menjalani dialisis, hemiparesis akan lenyap tanpa meninggalkan sisa. 4
14
tidak berbeda dengan koma kortikal bihemisferik lainnya dalam hal respirasi,
pupil, dan gerakan okuler. Tetapi dalam hal motorik terdapat manifestasi yang
khas, yaitu paralisis flacid yang mungkin terjadi karena hiperkalemia. Manifestasi
serebral lainnya yaitu konvulsi umum, adalah akibta hiponatremi dan intoksikasi air
yang selalu menyertai krisis addison. 4
15
k. Koma Akibat Intoksikasi Eksogen
Koma akibat intoksikasi eksogen mencakup presentasi besar kasus koma et
kausa ignota. Intoksikasi eksogen dapat dibagi dalam intoksikasi industrial,
intoksikasi medisnal, dan intoksikasi lingkungan hidup. Intoksikasi medisinal
sering dihasilkan dari bunuh diri. Intoksikasi eksogen yang sering ditemukan
yaitu: 4,7,8
➢ Koma akibat overdose obat-obatan
- Overdose obat antidepresan
- Intoksikasi amphetamin
- Overdose opiat
Koma Diensefalik
1. Koma Diensefalik Supratentorial
a. Koma Hemoragik Epidural
Hemoragia atau hematoma epidural dapat didefinisikan sebagai penimbunan
darah vena atau arteri diantara tulang tengkorak dan dura meter. Riwayat
klasiknya yaitu setelah penderita mengidap trauma kapitis, penderita pingsan
sebentar, lalu sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari
tidak ada manifestasi yang mengejutkan. Tetapi pada suatu saat penderita
mulai suf (drowsy) dan cepat menjurus ke stupor dan koma. Masa antara
trauma kapitis dan timbulnya penurunanan kewaspadaan dinamakan bebas
gejala. Karena hematoma epidural dapat timbul hemiparesis kontralatetral atau
serangan epileptik fokal. Kesadaran yang menurun secara progresi
menunjukkan desakan yang semakin besar dan kemudia membangkitkan
sindrom herniasi unkus. Pada pemeriksaan ditemukan pupil edem. 4
16
b. Koma Akibat Hemoragi Subdural Akut
Merupakan perdarahan akibat robeknya vena subdural yang bersifat
bridging veins, sehingga sebanyak 150 cc darah tertimbun diantara arakhnoid dan
dura meter. Setelah mengidap trauma kapitis, penderita pingsan dalam
beberapa hari.sebagian menjurus ke stupor, sebagian tidak menimbulkan
penurunan kesadaran tetapi fungsi intelektualnya terganggu dalam masa yang
cukup panjang. Karena hematoma subdural dapat menimbulkan hemiparesis
kontralateral atau ipsilateral. Hemiparesis ipsilateral berkembang sebagai
penekanan pedunkulus serebri pada tepi tentorium disisi kontralateral terhadap
hematoma. 4,7
c. Koma Akibat Empiema Subdural
Merupakan komplikasi infeksi parasinus atau otitis media. Adakalanya
infeksi tulang tengkorak akibat trauma kapitis dapat menimbulkan empiema
subdural. Pada pemeriksaan akan didaptkan kaku kuduk dengan tanda-tanda
meningismus/meningitis yang positif, pupil edem dan sangat mungkin juga
serangan epileptik fokal, afasia, kelumpuhan saraf otak dan gangguan
penglihatkan yang bersifat hemianopia, dsb. 4
d. Koma Akibat Hemoragi Serebri
Timbul secara tiba-tiba pada orang yang sudah lama menderita hipertensi
dan mengeluh tentang sakit kepala yang paling berat sewaktu bangun pagi. TIK
meningkat dengan cepat sehingga koma bangkit pada saat terjadinya
perdarahan. Oleh karena hemoragi serebri paling sering timbul di kapsula
interna , maka hemiparesis merupakan manifestasi yang menyertai koma.
Kejadian yang serempak itu dinamakan hemoragic stroke. 4
e. Koma Akibat Tumor Intraserebri
Tumor intraserebri jarang menimbulkan koma pada tahap dini. Koma yang
timbul pada perkembangan neoplasmatik selanjutnya dapat terjadi berangsur-
angsur jika perluasan jaringan neoplasmatik mendesak ke arah batang otak.
Timbulnya koma yang secara tiba-tiba pada tahap lanjut dapat dipikirkan jika
pertumbuhan neoplasmatik merusak dinding pembuluh darah intraserebral
sehingga timbul perdarahan. Dalam hal-hal tersebut koma diensefalik terjadi
17
melalui peningkatan TIK sehingga koma yang dihadapi ialah koma akibat
proses desak ruang supra-tentorial. Dalam hal ini mekanisme koma sesuai
dengan mekanisme koma akibat proses patologik infra-tentorial yang langsung
merusak “diffuse ascending reticuler system. 4,6
18
Gangguan kesadaran dapat bermanifestasi langsung sebagai koma atau secara
berangsur-angsur melalui letargia, stupor, sampai koma.
Pada umumnya diagnostik proses desak ruang intratentorial adalah rumit,
sehingga setiap kasusu yang dicurigai harus dimasukkan rumah sakit untuk
analisa yang mendalam.4,5
19
f. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine)
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
g. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan
lokalisasi dari penyebab koma. 5
3. Pemeriksaan saraf
a) Observasi posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang
tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
b) Derajat kesadaran ditentukan dengan GCS.5,7
c) Pola pemafasan.
o Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada gangguan
metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak
dapat menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma.
o Ataxia dan gasping paling sering dilihat pada lesi pontomeduler.
o Apneustic breathing : kerusakan pons
o Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
o Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan
oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan. 5,7
d) Posisi kepala dan mata
Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah lesi dan menjauh
dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada lesi di thalamus dan
mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah hidung. 5,7
e) Funduskopi.
Papil edema menandakan peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan
subhyaloid, biasanya menandakan rupture aneurisma atau malformasi
arteriovena.5,7
f) Pupil.
Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negative kerusakan
mesensefalon (pusat refleks pupil di mesensefalon). 5,7
20
Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada --
koma metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat. 5,7
Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan
n.I1I oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi
dan refleks cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan
glutethimide. 5,7
Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti
infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan
pinpoint pupil dan refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads
kuduk pupil berdilatasi, berarti bagian bawah batang otak masih utuh. 5,7
g) Gerakan bola mata. Khas untuk lesi batang otak.
Gerakan bola mata spontan.
Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari
satu sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.
lower pontine.
21
Gambar 2.3 Doll’s head maneuver.5
22
➢ Gerakan bola mata saat istirahat.4,7
➢Spontan.
- Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi struktural.
Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang multifokal berarti koma
disebabkan proses metabolik.5,7
- Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berarti ensefalopati metabolic.
23
➢Gerakan-gerakan refleks.
- Gerakan dekortikasi → fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai. Bisa
simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di batas
dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons motorik GCS). 5,7
24
pemeriksaan serta pengobatan definitive. Sebagaimana dengan tindakan terhadap
kasus-kasus gawat darurat dimulai dengan ABC (airway, breathing, dan
25
circulation). Pertama yang perlu diperhatikan adalah pembebasan dan memlihara
jalan napas pasien, misalnya dengan mengatur posisi kepala, pemasangan
endotracheal tube dan lain sebagainya, disamping itu juga pemberian oksigen
yang adekuat. Syok diatasi dengan pemberian cairan yang tepat, obat-obatan serta
koreksi elektrolit dan keseimbangan asam basa. Bila terdapat perdarahan, harus
segera dihentikan dengan cepat dan bila perlu diberikan transfusi. Langkah
berikutnya adalah usaha-usaha untuk mencari penyebabnya serta mencegah
kemungkinan terjadinya komplikasi lebih lanjut.6,12
1. Pastikan oksigenasi
2. Pertahankan sirkulasi
5. Hentikan kejang
6. Obati infeksi
9. Berikan tiamin
10. Berikat antidotum spesifik (flumazenil, nalokson dsb.)
11. Kendalikan agitasi
1. Amankan oksigenasi
Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari 100mmHg
dan PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.18
2. Pertahankan sirkulasi
Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP; 1/3
sistolik + 2/3 diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan mempergunankan obat-
obatan hipertensif dan atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi tidak
26
boleh diterapi langsung kecuali tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien
lansia dengan riwayat hipertensi kronik, tekanan darah tidak boleh diturunkan
melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena hipotensi relatif dapat
menyebabkan hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya sehat, tekanan
sistolik di atas 70 atau 80 mmHg biasanya cukup, meskipun demikian apabila ada
peningkatan TIK maka MAP yang lebih tinggi harus di capai (misalnya di
atas 65mmHg).6,8,18
4. Pemberian tiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme
kronik dan atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa
dapat mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu disarankan
untuk memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah pemberian
glukosa.17,18
5. Hentikan kejang
Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan
otak dan harus dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam
(sampai 0,1mg/kg) atau diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena. 18,20-22
6. Obati infeksi
Beragam infeksi dapat menyebabkan delirium atau koma, dan infeksi
dapat mengakserbasi coma dari sebab-sebab lainnya. Kultur darah harus diambil
pada semua pasien demam dan hipotermik tanpa sebab yang jelas. Pasien lansia atau
dengan penekanan sistem imun harus diberikan ampicillin untuk mencakup Listeria
monocytogenes. Bukti-bukti terbaru menunjukkan penambahan
27
deksametason untuk pasien dengan infeksi Listeria menurunkan komplikasi
jangka panjang. Pemberian antiviral untuk herpes simpleks (asiklovir 10mg/kg
setiap 8 jam) disarankan apabila ada kecurigaan klinis, hal ini dikarenakan infeksi
dengan virus tersebut sering menyebabkan penurunan kesadaran. Pada pasine-
pasien dengan penekanan sistem imun, infeksi dengan jamur dan parasit lainnya
juga harus dipertimbangkan, namun oleh karena perjalanan penyakitnya lebih
lambat pengobatan dapat menunggu pemeriksaan pencitraan dan likuor
serebrospinalis. Gambar 16 memberikan algoritme yang dapat digunakan pada
pasien koma dengan kecurigaan akibat infeksi (meningitis bakterialis).15,16,18
Gambar 2.5. Algoritme untuk petalaksanaan gawat darurat pasien dengan koma.18
28
dapat mengganggu fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului
kegagalan napas, sehingga harus menjadi peringatan kepada klinisi bahwa
bantuan ventilator mekanis mungkin diperlukan. Peningkatan kadar CO2 juga
dapat menaikkan tekanan intrakranial, sehingga harus di jaga dalam kadar
senormal mungkin. Alkalosis respiratorik dapat menyebabkan aritmia jantung dan
menghambat upaya penyapihan dari dukungan ventilator.16,18
8. Sesuaikan suhu tubuh
Hipertemia merupakan keadaan yang berbahaya karena meningkatkan
kebutuhan metabolisme serebral, bahkan pada tingkat yang ekstrim dapat
mendenaturasi protein selular otak. Suhu tubuh di atas 38,5°C pada pasien
hipertermia harus diturunkan dengan menggunakan antipiretik dan bila diperlukan
dapat digunakan pendinginan fisik (eq. selimut pendingin). Hipotermia signifikan
(di bawah 34°C) dapat menyebabkan pneumonia, aritmia jantung, kelainan
elektrolit, hipovolemia, asidosis metabolik, gangguan koagulasi, trombositopenia
dan leukopenia. Pasien harus dihangatkan secara bertahap untuk mempertahankan
suhu tubuh di atas 35°C.6,18
9. Administrasi antidotum spesifik
Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang
disebabkan oleh overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak obat-
obatan sedatif, alkohol, opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat
dikonsumsi tunggal atau dengan kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat
diobati hanya dengan penatalaksaan suportif, bahkan karena banyak dari pasien
ini menggunakan obat secara kombinasi pemberian antidotum spesifik sering
tidak membantu. Pemberian koktail koma (campuran dekstrosa, tiamin, naloksone
dan flumazenil) jarang sekali membantu dan dapat membahayakan pasien.
Meskipun demikian, pada saat ada kecurigaan kuat bahwa ada zat spesifik yang telah
dikonsumsi, maka beberapa antagonis yang secara spesifik membalikkan efek
obat-obatan penyebab koma dapat berguna.16,18
29
Tabel 2.1 Antidotum spesifik untuk zat-zat penyebab delirium dan koma.18
Antidotum Indikasi Nalokson
Overdosis opioid Flumazenill
Overdosis benzodiazepine
Fisostigmin Overdosis antikolinergik (gamma-hidroksibutirat)
Fomepizol Keracunan metanol, etilen glikol
Glukagon Overdosis trisiklik
Hidroksokobalamin Overdosis sianida
Okreotid Hipoglikemia karena sulfonilurea
30
Pengekang fisik harus dihindari sebisa mungkin, namun terkadang
mereka diperlukan untuk pasien dengan agitasi yang berat. Prinsip kehati-hatian
harus diterapkan untuk memastikan pengekang tubuh tidak mengganggu
pernapasan dan pengekang tungkai tidak menghambat peredaran darah atau
merusak persarafan perifer. Pengekang harus dilepas sesegera setelah agitasi
dapat dikendalikan.18,22
31
dari tanda-tanda neurologis harus merujuk kepada derah tunggal disfungsi
diensefalik atau batang otak seperti telah dijelaskan di bagian-bagian sebelumnya.
Kombinasi dari disfungsi motorik N.III dan gangguan respons pupil yang
berkembang seiring dengan perberatan derajat koma menandakan adanya masa
supratentorial.8,9,18
Oleh karena pasien-pasien ini seringkali mempunyai pupil reaktif, respons
okulosefalik dan okulovestibular utuh serta tanda-tanda motorik abnormal yang
simetrik atau hanya asimetrik ringan, pemeriksa mungkin mencurigai ensefalopati
metabolik dibandingkan masa supratentorial. Kecuali ada riwayat jelas untuk
membantu seorang klinisi menegakkan diagnosis, kedua kategori di atas harus
dipertimbangkan dan dilakukan pemeriksaan pencitraan CT-scan atau MRI otak
segera.10,18
Pada pasien dengan kecurigaan masa supratentorial, harus ditentukan seberapa
berat gejala-gejala yang timbul dan perkiraan mengenai seberapa cepat
perburukannya. Apabila pasien stupor atau koma namun relatif stabil, lakukan
pemeriksaan CT-scan darurat, oleh karena pemeriksaan ini akan menyingkirkan
semua lesi-lesi masa signifikan serta biasanya berhasil mengidentifikasi
perdarahan subarakhnoid. Meskipun demikian, pemeriksaan MRI pada saat
tersedia, memberikan hasil yang lebih sensitif dan mungkin diperlukan untuk
mengidentifikasi infark serebral, terutama di batang otak dan lesi inflamasi fokal.
Pada pasien-pasien dengan koma dalam atau apabila herniasi transtentorial
berkembang dengan cepat pada pasien stupor, perlu dilakukan terapi terhadap
hipertensi intrakranial terlebih dahulu. Pasien dapat diberikan hiperventilasi
dengan masker dan Ambu bag terlebih dahulu selama menunggu dilakukannya
intubasi. Pemeriksaan analisis gas darah harus dilakukan pada saat hiperventilasi
dimulai. Hiperventilasi merupakan cara paling cepat untuk menurunkan tekanan
intrakranial (TIK) dan mungkin bisa secara efektif memulihkan pasien dari
kecenderungan herniasi dalam satu atau dua menit. Penurunan PaCO2 yang
mengikuti dapat menyebabkan vasokonstriksi, sehingga menurunkan aliran darah
serebral, meskipun demikian penurunan TIK tetap harus dilakukan pada pasien
dengan herniasi dan hiperventilasi merupakan cara tercepat untuk mencapainya.
32
Pada saat ketiadaan pengukuran TIK secara langsung, tidak dapat dilakukan
perkiraan kadar PaCO2 yang paling ideal. Jalan napas disarankan untuk
diamankan dan pasien dihiperventilasi dengan kadar PaCO2 berkisar antara 25-
30mmHg. Semakin tinggi TIK dan semakin rendah cadangan kompensasi likuor
serebrospinalis, maka semakin efektif pula penurunan PaCO2 akan menurunkan
TIK. Setelah terapi dijalankan PaCO2 dapat dinaikksan sampai 35mmHg.
Walaupun cara ini menurunkan TIK secara cepat, efek yang dicapainya hanya
sementara, oleh karena itu waktu yang berhasil diberikan oleh hiperventilasi harus
digunakan untuk memulai cara-cara menurunkan TIK dalam jangka waktu
panjang. Penilaian adanya peningkatan tekanan intrakranial dapat dilihat
di lampiran.10,18
Obat-obatan hiperosmolar harus diberikan pada saat yang sama, oleh
karena mereka menurunkan kadar air otak dengan menciptakan gradien osmolar
antara darah dan bagian otak dengan sawar darah-otak yang utuh. Oleh karena
kebanyakan lesi otak menyebabkan kerusakan sawar darah-otak lokal, obat-obatan
hiperosmolar menarik air dari otak yang normal, sehingga dapat menurunkan TIK,
namun tidak mengurangi ukuran lesinya. Keadaan ini, untungnya tidak
menyebabkan perburukan dari pergeseran jaringan otak. Mannitol adalah obat
yang paling banyak digunakan; biasa diberikan sebagai solusi 20% dengan dosis
1,5-2g/kg secara bolus. Efek dari mannitol dicapai secara cepat dan bertahan
selama beberapa jam. Mannitol juga menurunkan viskositas darah, meningkatkan
perfusi serebral dan juga dapat bertindak sebagai antioksidan. Meskipun
demikian, dosis berulang mannitol dapat meningkatkan risiko kegagalan ginjal.
Baru-baru ini, salin hipertonik mulai dipertimbangkan sebagai alternatif yang baik
untuk mannitol. Salin hipertonik diberikan dengan dosis 7 sampai 10g NaCl
dengan konsentrasi antara 3% sampai 23,4% secara bolus, pada beberapa kasus
dapat dilakukan dengan infus intravena kontinu dan dititrasi sesuai TIK. Hasil
salin hipertonik scara umum sebanding dengan mannitol, keadaan dehidrasi otak
dapat dipertahankan selama beberapa hari dan hanya ada sedikit komplikasi.18
Pada pasien dengan tumor otak, baik primer maupun metastatik, pasien dengan
hematoma epidural dan empiema atau dengan lesi masa lain yang
33
menginduksi neovaskularisasi pembuluh darah tanpa sawar darah-otak, pemberian
kortikosteroid adrenal memulihkan tanda dan gejala herniasi secara dramatis.
Perbaikan klinis substansial dapat dilihat dalam waktu 6 sampai 12 jam meskipun
perubahan kadar air di dalam otak belum terjadi sampai beberapa hari berikutnya. Dosis
yang diperlukan untuk memulihkan herniasi pada pasien dengan tumor otak tidak
diketahui, namun dengan mempertimbangkan tingkat bahaya keadaan ini, disarankan
untuk diberikan dengan dosis tinggi. Dosis inisial yang disarankan adalah
deksametason 10mg, meskipun dosis sampai 100mg deksametason dapat diberikan
secara bolus intravena secara aman. Hati-hati, pada pasien sadar pemberian secara
bolus dapat menyebabkan parestesia genital, oleh karenanya dapat diberikan secara
drip dalam waktu 10-15 menit. Mekanisme tepatnya dari efek kortikosteroid terhadap
TIK tidak diketahui, namun steroid menurunkan konstanta transfer solut melewati sawar
darah-otak yang terganggu dalam jangka waktu satu jam dan juga mampu
meningkatkan bersihan cairan edema dalam ruang ekstraselular, namun perubahan
substansial terhadap cairan otak tidak terlihat sampai beberapa jam atau hari berikut.
Kortikosteroid juga memperbaiki komplians jaringan otak dan menurunkan
gelombang plateau (peningkatan transien TIK secara tiba-tiba yang dapat
meningkatkan herniasi transtentorial). Kortikosteroid juga diindikasikan pada pasien
dengan suspek meningitis bakterialis, dan harus diberikan bersamaan atau sebelum
pemberian antibiotika dengan dosis 10mg setiap 6 jam.18
Langkah-langkah di atas hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk
mengendalikan TIK, dan pada saat sudah terkontrol pemeriksaan CT-scan atau MRI
bila tersedia harus dilakukan. Pencitraan ini akan menggambarkan etiologi lesi masa
supratentorial dan seringkali menentukan derajat herniasi transtentorial. Apabila
ditemukan hematoma subdural atau epidural, maka harus dilakukan evakuasi segera,
demikian juga bila ditemukan abses otak harus dilakukan dekompresi dan kultur
segera. Apabila salah satu dari lesi di atas dicurigai secara klinis dan pasien mengalami
penurunan secara cepat maka pada saat pencitraan harus dilakukan juga konsultasi
terhadap ahli bedah saraf. Untuk tumor-tumor otak, seringkali jalan terbaik adalah
untuk membiarkan steroid menurunkan derajat edema sampai beberapa hari sebelum
melakukan pembedahan. Perdarahan intraparenkimal, cedera kepala atau infark serebral
palin baik diterapi secara suportif apabila TIK dapat dikendalikan dan pasien tidak
mengalami bahaya herniasi.11,18
34
Tanda-tanda vital dan pemeriksaan neurologis harus selalu terus dipantau selama
terapi di atas dilakukan. Tabung endotrakeal harus dipasang dan pasien diventilasi
sampai mencapai PaO2 lebih tinggi dari 100mmHg. Setelah hiperventilasi inisial,
PaCO2 dapat disesuaikan antara 35 sampai 40mmHg. Mannitol dapat diulang
sampai sesering setiap 4 sampai 6 jam, tergantung pada keadaan klinis pasien, namun
harus diingat penting untuk mempertahankan volume intravaskular dengan memantau
asupan dan keluaran cairan serta mengawasi apakah akan terjadi lonjakan TIK
kembali. Pada pasien-pasien dengan tumor atau abses serebral, deksametasone dapat
diteruskan (biasanya 4mg setiap 6 jam, namun dapat ditingkatkan sampai 24mg
tiap 6 jam sesuai keperluan klinis).16,18
Beberapa peneliti menyarankan penggunaan anestesi barbiturat untuk
menangani hipertensi intrakranial berat sebagai akibat dari trauma kapitis. Jenis yang
diberikan biasanya pentobarbital, walaupun tiopental bekerja lebih cepat, secara
intravena. Pentobarbital dapat diberikan dengan dosisloading sebesar 10mg/kg
selama 30 menit diikuti dengan dosis 5mg/kg selama 60 menit untuk tiga dosis. Pasien
kemudian dipertahankan dengan dosis 1 sampai 3mg/kg untuk menjaga level
pentobarbital dalam darah antara 3 sampai 4mg/dL. Tingkatan koma juga dinilai
dengan EEG, dicari tingkatan yang sesuai dengan pola supresi letupan sebesar 3 sampai 5
letupan per menit. Efek pengobatan ini untuk jangka panjang tidak dramatis dan
pemantauan yang sering untuk EEG, kadar obat dan komplikasi kardiopulmonar membuat
terapi ini sangat rumit dan mahal. Dengan terapi ini, TIK menurun dengan cepat dan
biasanya tetap rendah selama pasien dianestesi. Teknik ini memerlukan pemantauan
tanda vital secara ekstra ketat dan hanya boleh dilakukan di unit rawat intensif. Hasil terapi
ini menunjukkan adanya penurunan mortalitas dengan penggunaan anestesia barbiturat
pada trauma kapitis, kasus tenggelam, infark serebri dan lesi masa supratentorial
lainnya.14,18
35
2. Lesi masa infratentorial
Lesi infratentorial dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni menjadi lesi-
lesi yang berasal dari dan lesi-lesi yang menekan batang otak. Pda pasien-
pasien dengan masa infratentorial atau lesi-lesi destruktif penyebab koma, biasanya
dapat diketemukan adanya riwayat sakit kepala oksipital, keluhan-keluhan
seperti vertigo, diplopia atau tanda dan gejala lainnya yang menunjukkan
adanya disfungsi batang otak. Namun demikian, pada sebagian besar kasus koma
terjadi secara mendadak dan sakit kepala timbul hanya sesaat sebelum pasien
kehilangan kesadaran. Apabila onset sakit kepala disertai dengan muntah maka
harus dicurigai adanya lesi infratentorial, oleh karena muntah akut jarang terjadi
pada masa supratentorial pasien dewasa. Kelainan-kelainan okulovestibular
khas seperti deviasi miring, lirikan diskonjugat, kelumpuhan lirikan terfiksir
atau respons diskonjugat terhadap pemeriksaan okulosefalik dan
okulovestibularik merupakan bukti kuat adanya lesi infratentorial. Kelumpuhan
nervus kranialis sering dijumpai dan pola pernapasan abnormal biasanya dapat
dijumpai pada saat onset.13,18
Permasalahan diagnosis banding utama biasanya timbul pada saat pasien
dengan lesi masa supratentorial telah mengalami perburukan cukup jauh sehingga
telah menunjukkan gejala koma pada tingkatan pontin atau medula. Pada keadaan
ini, secara praktis tidak mungkin untuk membedakan hanya dari pemeriksaan fisik
antara efek masa supra dan infratentorial. Koma metabolik biasanya dapat
dibedakan dari lesi kompresif atau destruktif karena biasanya pupil tetap reaktif.
Pencitraan CT-scan dapat membedakan antara masa supra dan infratentorial serta
menegakkan diagnosis definitif. Adanya arteri basilar hiperdens pada CT-scan
menandakan infark batang otak bahkan pada saat infark tidak dapat dilihat pada
pemeriksaan. Pencitraan MRI, terutama dengan pencitraan beban difusi,
memberikan identifikasi infark batang otak yang lebih baik.14,18
Pada saat-saat tertentu sulit untuk membedakan secara klinis antara lesi
batang otak intrinsik (seperti infark dari oklusi arteri basilaris) dengan lesi
kompresif ekstrinsik (seperti hematoma selebelar), namun harus diperhatikan
36
bahwa tatalaksananya berbeda: pembedahan untuk lesi kompresif dan trombolisis
untuk oklusi vaskular akut. Hematoma serebelum atau ruang subdural harus
dievakuasi apabila pasien stupor atau koma, sebelum keadaan kesadaran menjadi
memburuk secara progresif atau bila tanda-tanda lain menunjukkan adanya
kompresi batang otak progresif. Perdarahan pontin primer biasanya tidak diterapi
secara bedah, terutama bila pasien dalam keadaan koma. Prinsip-prinsip terapi
untuk masa infratentorial dapat dilakukan sesuai dengan masa supratentorial
di atas.16,18
3. Ensefalopati metabolik
Koma metabolik biasanya ditandai dengan adanya riwayat kebingungan dan
disorientasi yang mendahului onset stupor atau koma, biasanya dengan tiadanya
tanda-tanda motorik. Pada saat tanda motorik (rigiditas dekortikasi atau
deserebrasi) ditemukan, mereka biasanya simetrik. Apabila pasien dalam keadaan
stupor dan bukan koma, maka dapat ditemukan asteriksis, mioklonus dan tremor
serta pada pasien koma dengan kejang berulang, baik fokal maupun generalisata,
memberikan bukti kuat adanya disfungsi metabolik. Banyak pasien koma
metabolik datang dengan hiper atau hipoventilasi, namun jarang untuk ditemukan
adanya pola pernapasan abnormal yang menjadi ciri khas lesi masa atau destruktif
infratentorial. 16,18
Terdapat dua kesalahan besar dalam diagnosis koma metabolik, yang
pertama adalah membedakan pasien masa supratentorial fase diensefalik dengan
pasien koma metabolik. Dengan ketiadaan tanda motorik fokal, dapat diduga
adanya koma metabolik bahkan pada pasien yang mempunyai lesi masa
supratentorial dengan herniasi sentral awal. Kesalahan kedua timbul pada
beberapa pasien koma metabolik (seperti koma hepatikum atau hipoglikemia)
yang mempunya tanda-tanda motorik asimetrik dengan hiperventilasi dan koma
dalam. Pada keadaan ini, respons pupil dan okulovestibular yang utuh dan
simetris memberikan bukti kuat untuk penyakit metabolik dan bukan
struktural.16,18
37
Stupor dan koma yang disebabkan oleh penyakit otak metabolik
merupakan tantangan utama bagi para klinisi terkait (internis, neurologis). Apabila
pasien menderita kerusakan lesi masa atau destruktif supra/infratentorial, terapi
spesifik seringkali melibatkan prosedur pembedahan atau intavaskular. Apabila
pasien menderita gangguan kesadaran psikogenik maka tatalaksana utama berada di
tangan psikiatris. Pada penyakit otak metabolik, tugas untuk melindungi pasien dari
kerusakan permanen berada di tangan dokter yang menangani pertama kali. Kita
harus melalukan evaluasi tanda vital pertama kali, memberikan ventilasi dan
tekanan arterial yang adekuat dan kemudian melakukan pengambilan darah unuk
analisis metabolik. Analisis metabolik yang harus dilakukan pada saat
pengambilan darah pertama kali diberikan pada tabel 14. Oleh karena intoksikasi
obat merupakan penyebab koma yang sering, pemeriksaan toksikologik untuk urin
dan darah harus dilakukan pada semua pasien.12,18
Ensefalopati metabolik yang paling mungkin menyebabkan kerusakan
otak ireversibel atau kematian cepat namun dapat ditangani dengan baik, adalah:
overdosis obat, hipoglikemia, asidosis metabolik atau respiratorik, keadaan
hiperosmolar, hipoksia, meningitis bakterialis, sepsis dan gangguan elektrolit
berat. Penting untuk mengambil sampel darah arterial untuk analisis gas darah,
meskipun tatalaksana kegawatdaruratan mungkin harus dimulai sebelum hasil
pemeriksaan lab keluar. Baik asidosis maupun alkalosis dapat menyebabkan
aritmia, namun asidosis metabolik lebih mungkin untuk letal; meskipun demikian
pH bukan merupakan penanda independen untuk mortalitas pada pasien sakit
kritis dengan asidosis metabolik. Pemberian sodium bikarbonat untuk asidosis
metabolik berat masih merupakan sumber kontroversi, tidak diindikasikan untuk
asidosis diabetik dan bahkan mungkin tidak memberikan hasil untuk terapi
asidosis atas sebab apapun. Sebaliknya, terapi segera penyebab utama asidosis
mungkin merupakan pendekatan yang terbaik.18-20
Hipoksia harus ditangani secara segera dengan memastikan jalan napas
yang adekuat dan penghantaran jumlah oksigen yang sesuai untuk membuat tubuh
teroksigenasi sempurna. Bahkan pada saat adanya PaO2 normal, konten oksigen
38
darah mungkin tidak mencukupi untuk kebutuhan suplai otak atas beberapa
alasan:18-20
(1) Hemoglobin mungkin abnormal (karboksihemoglobin,methemoglobin atau
sulfhemoglobin). Methemoglobin atau sulfhemoglobin dikenali dengan
gambaran khas berwarna coklat untuk darah teroksigenasi dan pasien dapat
diterapi dengan biru metilen (1 sampai 2mg/kg).
(2) Karbon monoksida mengikat hemoglobin dengan afinitas 200 kali oksigen
sehingga menggeser oksigen dan menghasilkan karboksihemoglobin.
Tingkat PaO2 normal dan pasien berwana merah jambu atau ceri, namun
mengalami hipoksia karena jumlah hemoglobin yang tersedia untuk
menghantar oksigen ke jaringan tidak mencukupi. Pasien-pasien seperti ini
harus diberikan oksigen 100% dan hiperventilasi untuk meningkatkan
oksigenasi darah. Oksigenasi hiperbarik mungkin memperbaiki situasi dan
apabia ruang hiperbarik tersedia sebaiknya dimanfaatkan.
(3) Anemia berat sendiri tidak akan menyebabkan koma, namun menurunkan
kapasitas pembawa oksigen darah bahkan pada saat PaO2 normal dan oleh
karena itu menurunkan hantaran oksigen ke otak. Pada pasien-pasien dengan
hipoksia jenis lain, anemia dapat mengakserbasi gejala. Anemia berat
(hematokrit <25%) pada pasien koma harus diterapi dengan transfusi whole
blood atau packed red cells.
(4) Jaringan dapat menjadi hipoksik bahkan pada saat PaO2 dan kandungan
oksigen normal bila mereka tidak dapat memetabolisme oksigen (eq.
keracunan sianida). Hidroksokobalamin diberikan sebagai dosis tunggal 4
sampai 5g IV merupakan terapi keracunan sianida yang aman dan efektif.
Pada pasien koma atau stupor dengan demam, baik ada atau tidak
ada kaku kuduk dan atau tanda-tanda iritasi meningeal yang lainnya (eq. tanda
Kernig atau Brudzinski positif), pertimbangkan meningitis bakterial akut.
Sebagaimana
39
digambarkan di atas, terapi awal dengan antibiotika dan steroid, diikuti sesegera
mungkin dengan CT-scan dan pungsi lumbal apabila tidak ada masa yang terlihat
dapat menyebabkan terjadinya herniasi. Seringkali berguna untuk melakukan
pewarnaan gram dari sedimen sentrifugasi, oleh karena pemeriksaan ini sering
menghasilkan organisme yang dapat memandu pemberian terapi, likuor
serebrospinal juga harus diperiksa untuk kultur; pemeriksaan tambahan seperti
analisa polymerase chain reaction untuk bakteria dan virus terutama herpes dapat
dilakukan sesuai dengan keadaan klinis. Ketiadaan sel-sel spesifik di dalam cairan
spinal tidak menyingkirkan meningitis bakterialis akut, apabila ada kecurigaan
yang tinggi maka pemeriksaan pungsi lumbal dapat diulang dalam 6 sampai
12 jam.18-20
40
Alogritma Pasien Koma
PASIEN KOMA/PENURUNAN
KESADARAN
(Tidak ada respon serebral terhadap
rangsang nyeri)
PEMERIKSAAN NEUROLOGIK
- Respon abnormal terhadap stimuli
- Pola respirasi abnormal
- Respon pupil abnormal
- Pergerakan bola mata abnormal
Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium
- Radiologik
- Neuroimaging
- Elektromedik
ASESSMENT ETIOLOGI
-Trauma
-Perdarahan intracranial Intoksikasi Gangguan endokrin
-Stroke iskemik -Obat Abnormalitas metabolik
-Abnormalitas mikrovaskular difus -NAPZA Infeksi
-Tumor -Insektisida Defisiensi
-Penyakit lain (Central Pontin Hipotermia
Myelinolysis) Psikogenik
41
Prognosis
Prognosis penurunan kesadaran bersifat luas tergantung kepada penyebab,
kecepatan serta ketepatan dari pengobatan yang diberikan. Sehingga pemeriksaan dan
penegakan diagnosis pada kasus penurunan kesadaran harus dilakukan sesegera mungkin
untuk mencegah timbulnya kelainan yang sifatnya ireversible.
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala adanya gangguan fungsi batang otak,
seperti doll’s eye, refleks kornea yang negatif, refleks muntah yang negative, pupil lebar
tanpa adanya refleks cahaya; dan GCS yang rendah (1-1-1) yang terjadi selama lebih dari
3 hari.
42
DAFTAR PUSTAKA
43
11. Dian S, Basuki A,. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung. 2012
12. Plum F, Posner JB, Saper CB, Schiff ND. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Ed. IV. Oxford University Press. NewYork. 2007.
13. Wulandari DS. 2011. Penurunan kesadaran. Fakultas kedokteran universitas
yarsi. Serang
14. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Ed 4.Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.2012
15. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner's Diagnosis of
Stupor and Coma. New York : Oxford University Press. ISBN 978-0-19-
532131-9. 2007
16. Solomon P, Aring CD. Causes of coma in patients entering general hospital.
1934, Am J Med Sci, Vol. 188, p. 805.
17. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's Principles of Neurology. New
York : McGraw-Hill, 2005. Vol. 8. 0-07-146971-0.
18. Kelley SD, Saperston A. Coma. [book auth.] Humpreys RL Stone CK.
Current Diagnosis and Treatment: Emergency Medicine. s.l. : McGraw-Hill,
2008, 15.
19. Ropper AH. Coma. [book auth.] Kasper DL, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J Fauci AS. Harrison's Principles of
Internal Medicine. New York : McGraw-Hill, 2008, Vol. 17, 268.
44