Anda di halaman 1dari 2

Dalam membuat suatu putusan, yang terpenting bagi hakim adalah fakta dan peristiwanya dimana

dari fakta atau peristiwa tersebut dan telah setelah dibuktikan hakim dapat menemukan hukum.
Seorang hakim harus mampu mengeneralisir suatu peristiwa yang telah dianggap benar melalui
pembuktian. Dalam perkara perdata, Hakim dalam pertimbangan hukum pada putusannya wajib
melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dicantumkan oleh para pihak.

Hakim harus memastikan peristiwa-peristiwa konkret yang disengketakan melalui suatu


pembuktian untuk kemudian dicarikan hukum yang sesuai. Inilah yang dinamakan penemuan
hukum (rechsvinding). Penemuan hukum bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri melainkan
suatu kegiatan yang bersinambungan dengan kegiatan pembuktian. Dalam hal ini undang-undang
harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkret agar undang-undang dapat ditetapkan.
Contoh kasus menyadap aliran listrik orang lain yang dikualifikasikan sebagai perbuatan
mengambil barang milik orang lain dengan melawan hukum di mana perbuatan tersebut
melanggar ketentuan Pasal 362 KUHP mengenai pencurian.

Penerapan undang-undang pada suatu peristiwa hukum tidak lain merupakan penerapan silogisme.
Setelah menentukan hukumnya kemudian undang-undang diterapkan pada peristiwa hukumnya
kemudian hakim akan memutuskan. Hakim dalam memutuskan suatu perkara seyogianya
memperhatikan tiga faktor, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dalam memutus suatu perkara hakim dapat menemukan hukumnya dari berbagai sumber hukum
hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum tertulis terdiri dari undang-
undang, hukum trakat dan yurisprudensi. Kemudian hukum tidak tertulis terdiri dari kebiasaan
tidak tertulis, putusan desa dan doktrin.

Undang-undang dibedakan menjadi undang-undang materil dan undang-undang formil. Yang


dimaksud dengan undang-undang materil adalah keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya
mempunyai kekuatan mengikat secara umum. Sedangkan undang-undang formil adalah keputusan
penguasa yang diberikan nama undang-undang disebabkan bentuk yang menjadikannya undang-
undang. Contoh undang-undang formil adalah undang-undang APBN, undang-udang
kewarganegaraan. Undang-undang memiliki hierarki di mana terdapat asas lex superior derogat
legi inferiori. Hakim harus mengadili menurut undang-undang dalam memutus kedudukan
undang-undang sebagai sumber hukum tidak dapat diganggu gugat.

Traktat merupakan perjanjian yang dibuat antar negara yang dituangkan dalam bentuk tertentu.
Jika perjanjian tersebut mengandung masalah-masalah yang sangat penting bagi kelanggungan
hidup bangsa/negara bisanaya diberi pentuk traktar, namun perjanjian yang kurang penting
dinamakan konvensi, protocol, piagam, charter, pakta dan lainnya. Seperti undang-undang, traktat
memiliki hirarki. Golongan pertama merupakan perjanjian internasional atau traktat sedangkan
golongan kedua adalah persetujuan. Selain itu juga dibedakan antara traktat bilateral dan traktat
kolektif/multilateral. Pada prinsipnya suatu traktat menciptakan hukum sehingga disebut sebagai
sumber hukum forma. Untuk membentukan hukum, trakat kolekyif penting sekali karena ia
berlaku sebagai hukum dilingkungan yang lebih luas di antara negara-negara yang bersangkutan.
Selanjutnya tergantung dari hukum negara masing-masing yang bersangkutan, yaitu lembaga-
lembaga negara yang berwenang menjadikan trakat menjadi sumber hukum yang berlaku di
negara tersebut.

Yurispudensi merupakan suatu kebiasaan dari hakim untuk mengikuti putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum telah ada untuk perkara sejenis. Putusan pengadilan tinggi dianggap memuat
pokok pokok pikiran mengenai persoalan hukum yang dinamakan standard arresten. Sistem
hukum Indonesia tidak mengenai asas the binding force of precedent, akan tetapi yurispudensi
dapat dianggap menjadi sumber putusan hakim. Menurut Blackstone, asas tersebut bertujuan
untuk menjaga skala keadilan meskipun dan memenangkan dan tidak bertanggung jawab untuk
menggoyah setiap pendapat hakim baru. Menyebab seorang hakim mengikuti hakim lain untuk
perkara yang sejenis yaitu pertimbangan psikologis, penyebab praktis dan pendapat yang sama.

Sumber hukum yang tidak tertulis salah satunya kebiasaan tidak tertulis. Hal ini bermula dari
suatu kebiasaan yang terjadi dalam suatu masyarakat yang karena dianggap patut lalu diulang dan
diikuti sehingga selanjutnya dianggap sebagai norma hukum dalam masyarakat yang bersangkutan
yang sifatnya turun menurun. Kebiasaan dapat menjadi hukum yang tidak tertulis apabila
memenuhi tiga syarat. Yang pertama syarat materil adalah adanya perbuatan tingkah laku yang
dilakukan secara berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu. Kedua, syarat intelektual yaitu
adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan. Ketiga adanya akibat hukum
apabila kebiasaan ini dilanggar. Hakim tidak semata-mata terikat dengan undang-undang sebab
kebiasaan juga mempunyai peran penting bagi hakim dalam memutus suatu perkara sehingga
kebiasaan merupakan sumber hukum.

Menurut Daniel S. Lev, hukum bukan sekadar hukum tertulis atau undang-undang. Hukum dan
perubahan dimana hukum merupakan prakter dari aparat penegak hukum sehingga apabila
perilaku aparat penegak hukum berubah maka hukum pun berubah meskipun hukum tertulis atau
undang-undang tidak berubah. Kesenjangan antara hukum dan perubahan sosial memberi tempat
pada peran putusan hakim, untuk mengimbangi antara kekakuan dan kestabilan hukum tertulis
dengan perubahan sosial.

Menurut Satjipto Rahardjo menyatakan hakim haruslah progresif karena hakim sebagai makluk
sosial harus menetapkan dirinya dalam masyarakat dan hukum adalah untuk rakyat bukan
sebaliknya. Melalui putusan-putusannya, hakim disebut mewakili suara rakyat yang tidak
terwakili dan kurang terwakili.

Anda mungkin juga menyukai