Anda di halaman 1dari 14

TUGAS REVIEW

MANAJEMEN TERNAK PERAH


Hubungan Antara Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah di Peternakan
Sapi Perah Kelompok Tani Mulya Makmur Desa Manislor Kecamatan Jalaksana
Kabupaten Kuningan

Oleh:
Nama : FAKHRI NUR HIDAYAT
NIM : D1A017185
Kelas : A 2017

LABORATORIUM PRODUKSI TERNAK PERAH


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sapi perah merupakan ternak yang mampu menghasilkan produk susu sebagai
produk utamanya. Sapi perah mulai diperkenalkan pada rakyat Indonesia pada zaman
kolonialisasi Belanda di akhir abad ke 19. Ini berarti, sapi perah sudah dikenal oleh rakyat
Indonesia kurang lebih 125 tahun. Produksi susu harus terus ditingkatkan agar terciptanya
swasembada susu nasional. Produksi susu yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah manajemen pemerahan.
Konsumsi akan susu dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan ini sejalan
dengan makin meningkatnya tingkat ekonomi dan kesadaran akan kebutuhan makanan
bergizi. Tetapi peningkatan permintaan belum diikuti dengan peningkatan produksi karena
banyak kendala yang dihadapi peternak. Usaha–usaha pengembangan dan peningkatan
produksi susu sapi perah dapat dilaksanakan melalui perbaikan makanan, pengadaan bibit
unggul, dan perawatan kesehatan.
Susu merupakan salah satu bahan makanan yang memiliki kandungan gizi yang
tinggi dan lengap, serta dapat dikonsumsi oleh semua umur untuk membantu pertumbuhan,
kesehatan dan keceradasan. Produksi susu baru 30% memenuhi konsumsi nasional dan
selebihnya harus dipenuhi dengan impor. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
peningkatan produksi susu secara signifikan untuk memenuhi konsumsi sehingga
mengurangi impor dan terwujudnya swasembada susu nasional.
Peningkatan produksi susu nasional dapat dilakukan dengan peningkatan populasi
seta pemberian pakan yang memenuhi standar dan sesuai dengan kebutuhan. Di bidang
peternakan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah produksi susu, seperti
lingkungan, kondisi fisiologis dari ternak, umur ternak, tata laksana pemberian pakan, serta
manajemen pemerahan. Manajemen peternakan yang diterapkan dalam sebuah peternakan
sangat berhubungan erat dengan produkstivitasnya.
Manajemen pemerahan di sebuah peternakan dapat meliputi beberapa hal
diantaranya waktu pemerahan, selang pemerahan, frekuensi pemerahan dan tata laksana
pemerahan. Secara umum, jadwal pemerahan di peternakan sapi perah di Indonesia adalah
pagi hari dan sore hari. Berarti frekuensi pemerahannya adalah dua kali dengan selang
pemerahan sangat bervariasi antar masing-masing peternakan. Di lain pihak untuk tata
laksana pemerahan terdapat dua metode yaitu dengan menggunakan mesin perah dan tenaga
manusia. Pemerahan dengan mesin perah biasa digunakan di peternakan dengan skala
produksi yang besar, sedangkan tenaga manusia atau menggunakan tangan pada umumnya
diterapkan pada skala peternakan rakyat. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dalam
tata laksana pemerahannya, agar dapat meningkatkan produktivitas susu secara nasional.
Pemerahan susu dengan tenaga manusia tergantung dari beberapa faktor yang
berkaitan langsung dengan pemerah. Faktor-faktor tersebut antara lain keterampilan
pemerah, sifat pemerah, dan kecepatan pemerahan atau waktu yang dibutuhkan untuk
memerah. Keterampilan pemerah dan sifat pemerah secara umum sulit untuk dinilai dan
diamati karena bersifat subjektif dan perlu dilakukan pendekatan yang lebih personal serta
membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, untuk mengukur efektivitas
pemerahan dapat dilihat dari kecepatan pemerahannya yang merupakan salah satu aspek tata
laksana pemerahan. Sehingga, dapat diketahui hubungan antara kecepatan pemerahan
dengan produksi susu yang dihasilkan pada suatu peternakan sapi perah.
Manajemen pemerahan di sebuah peternakan dapat meliputi beberapa hal di
antaranya waktu pemerahan, selang pemerahan, frekuensi pemerahan dan tatalaksana
pemerahan. Secara umum, jadwal pemerahan di peternakan sapi perah di Indonesia adalah
pagi hari dan sore hari. Berarti frekuensi pemerahannya adalah dua kali dengan selang
pemerahan sangat bervariasi antar masing-masing peternakan. Di lain pihak untuk tata
laksana pemerahan terdapat dua metode yaitu dengan menggunakan mesin perah dan tenaga
manusia. Pemerahan dengan mesin perah biasa digunakan di peternakan dengan skala
produksi yang besar, sedangkan tenaga manusia atau menggunakan tangan pada umumnya
diterapkan pada skala peternakan rakyat.
Produksi susu yang berasal dari metode pemerahan dengan tenaga manusia
tergantung dari beberapa faktor yang berkaitan langsung dengan pemerah. Faktorfaktor
tersebut antara lain keterampilan pemerah, sifat pemerah, dan kecepatan pemerahan atau
waktu yang dibutuhkan untuk memerah. Keterampilan pemerah dan sifat pemerah secara
umum sulit untuk dinilai dan diamati karena bersifat subyektif dan perlu dilakukan
pendekatan yang lebih personal serta membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu
untuk mengukur efektivitas pemerahan dapat dilihat dari kecepatan pemerahannya yang
merupakan salah satu aspek tata laksana pemerahan. Sehingga, dapat diketahui hubungan
antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu yang dihasilkan pada suatu peternakan
sapi perah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tata laksana pemerahan di peternakan sapi perah?


2. Bagaimana hubungan antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu?
3. Bagaimana faktor yang mempengaruhi hubungan kecepatan dengan produksi susu di
peternakan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui tata laksana pemerahan di peternakan sapi.

2. Mengetahui hubungan antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu.


3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi hubungan kecepatan dengan produksi susu.
II. PEMBAHASAN

II.1 Tata Laksana Pemerahan


Sebelum melakukan pemerahan, sapi serta tempat disekitarnya dibersihkan
terlebih dahulu dari kotoran yang menempel. Kemudian, sapi diberikan pakan berupa
ampas tahu, konsentrat, mineral dan dedak gandum (pollard) yang dicampurkan menjadi
satu. Hijauan diberikan setelah dilakukan pemerahan. Hal ini dikarenakan jika pemberian
hijauan diberikan sebelum pemerahan, maka akan menurunkan kualitas susu. Hal ini
berkaitan dengan bau khas hijauan. Hijauan yang mempunyai bau khas akan
menyebabkan susu terkontaminasi oleh bau-bauan yang ada disekitarnya.
Hal tersebut sesuai dengan Haryati (2001) bahwa Secara umum persiapan
sebelum pemerahan sudah dilakukan oleh peternak sesuai dengan prosedur, seperti
membersihkan kandang, persiapan alat untuk pemerahan, membersihkan sapi yang kotor
dan pemerah sendiri dalam keadaan bersih. Cara memerah terbaik adalah dengan
menggunakan kelima jari, yakni pemerah duduk di sebelah kanan sapi dan duduk diatas
bangku rendah dengan kedua kaki belakang sapi biasanya diikat untuk menghindarkan
ember pemerahan ditendang. Air susu pada akhir pemerahan masih berada didalam
saluran-saluran susu biasanya tidak gampang mengalir ke kisterne dan rongga puting,
sehingga untuk memudahkan keluarnya air susu, pemerah harus menekan dan mengurut
bagian ventral kuartir dengan ibu jari tangan.
Peralatan untuk memerah yaitu ember untuk menampung susu dibersihkan
terlebih dahulu dan dikeringkan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir kontaminasi.
Pemerah sebelum mulai memerah mencuci tangan mereka terlebih dahulu. Ambing dan
puting sapi yang akan diperah dibersihkan terlebih dahulu dengan air bersih, kemudian
diolesi margarin dengan tujuan untuk memudahkan proses pemerahan. Setiap pemerah
umumnya selalu memerah sapi yang sama. Berdasarkan hasil pengamatan saat penelitian,
tahapan pemerahan di peternakan sapi perah Kelompok Tani Mulya Makmur telah sesuai
dengan pendapat Sudono (2003) bahwa tahapan pemerahan adalah sebagai berikut :
Membersihkan kandang dari segala kotoran, mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan
diperah, memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, membersihkan alat-alat
pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan cane susu, membersihkan tangan
pemerah, mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang
bersih.
Menurut Syarief dan Harianto (2011) metode pemerahan sapi perah ada 2 macam
yaitu teknik pemerahan manual (tangan) dan teknik pemerahan menggunakan mesin
perah. Teknik pemerahan dengan tangan menghendaki suatu pekerjaan yang teliti dan
halus, sebab kalau dilakukan dengan kasar akan buruk pengaruhnya terhadap banyaknya
susu yang dihasilkan. Teknik pemerahan dengan tangan terdiri dari 3 cara yaitu Whole
hand, Stripping, dan Knevelen.
Whole hand (tangan penuh) merupakan teknik yang dilakukan pada puting yang
agak panjang sehingga dapat dipegang dengan tangan penuh. Cara ini adalah baik karena
dapat mengurangi luka pada puting pada saat pemerahan berlangsung. Pemerahan yang
kasar akan mengakibatkan luka pada puting, sehingga mudah tercemar mikroorganisme
pengebab mastitis (Surjowardojo, 2008).
Stripping (perah jepit) merupakan pemerahan yang dilakukan dengan cara puting
diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk yang digeserkan dari pangkal puting ke bawah
sambil memijat. Dengan demikian air susu tertekan ke luar melalui lubang puting. Pijatan
dikendorkan lagi sambil menyodok ambing sedikit ke atas, agar air susu di dalam cistern
(rongga susu) keluar. Pijatan dan geseran ke bawah diulangi lagi. Cara ini dilakukan
hanya untuk pemerahan penghabisan dan untuk puting yang kecil atau pendek yang sukar
dikerjakan dengan cara lain (Syarief dan Harianto, 2011).
Knevelen (perah pijit) merupakan teknik yang dilakukan pada sapi yang memiliki
puting pendek. Cara ini sama dengan cara penuh tangan, tetapi dengan membengkokan
ibu jari, cara ini sering dilakukan jika pemerah merasa lelah. Lama-kelamaan bungkul ibu
jari menebal lunak dan tidak menyakiti puting.
Teknik pemerahan dengan tangan memiliki kelemahan dan kelebihan dalam
penerapannya. Kelebihan menggunakan teknik pemerahan dengan tangan yaitu: 1) biaya
pemerahan lebih murah, 2) pemerahan lebih praktis cukup menggunakan ember dan
vaselin. Kekurangan menggunakan teknik pemerahan dengan tangan yaitu: 1) hasil
pemerahan tidak optimal, karena masih ada susu yang tertinggal di dalam ambing dan
susu tercecer kemana-mana, 2) waktu yang dibutuhkan lebih lama, 3) membutuhkan
banyak energi, dan 4) kandungan kuman dalam susu tinggi (Sulistyati, 2013).
Teat dipping di akhir pemerahan disertai dengan pencelupan puting ke dalam
larutan desinfektan setelah pemerahan selesai dapat mengurangi terjadinya infeksi
mastitis sebesar 50% (Siregar, 2003). Menurut Surahmanto (2014) setelah pemerahan
selesai sebaiknya dilakukan pencucian ambing dengan air hangat dan dilakukan
pencelupan puting ke dalam larutan desinfektan. Teat dipping tidak dilakukan oleh
pemerah di lokasi penelitian. Hal ini menyebabkan mikroorganisme patogen mudah
untuk masuk ke dalam puting. Streak canal masih terbuka beberapa saat setelah sapi
diperah, sehingga harus diupayakan agar puting tersebut tidak dimasuki mikroorganisme.

II.2 Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu

Persamaan regresi linier antara pemerahan pagi dan pemerahan sore memiliki
perbedaan, dimana kenaikan produksi susu setiap penambahan 1 satuan kecepatan
pemerahan pada pagi hari lebih kecil dibandingkan pada pemerahan sore hari, yang
menyebabkan perbedaan tersebut adalah produksi susu pada sore hari lebih sedikit,
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya produksi susu tergantung selang pemerahan
dan pemberian pakan. Terdapat hubungan yang positif antara produksi susu dengan lama
pemerahan, dimana semakin lama pemerahan maka nilai produksi susu akan semakin
tinggi dan rataan sapi perah membutuhkan waktu 5 menit untuk dapat mengeluarkan susu
(Ali, 1999).
Pengeluaran susu oleh ambing dipengaruhi oleh hormon oksitosin yang
dilepaskan oleh kelenjar pituitary posterior. Hormon ini merupakan stimulator yang akan
memberikan perintah kepada alveolus pada ambing untuk mengeluarkan susu. Setelah 45
detik perangsangan ambing akan menjadi padat dan penuh oleh susu yang menandakan
bahwa sapi telah siap untuk diperah. Sapi yang mengalami stress akan mengalami
penghambatan laju oksitosin dalam pembuluh darah yang menyempit akibat peningkatan
hormon adrenalin (Ensminger dan Howard, 2006).
Menurut Thompson (1963), salah satu efek dari suhu panas pada ternak adalah
tekanan pada aktivitas kelenjar tiroid yang kemudian menghasilkan laju metabolisme
basal yang tinggi. Perubahan ini menyebabkan ternak mempertahankan suhu tubuhnya
terhadap lingkungan panas dengan jalan mengurangi produksi panasnya melalui
penguapan panas dari tubuh. Ternak terengah-engah dan mengurangi konsumsi pakan.
Selanjutnya lingkungan panas selain menurunkan
Selang pemerahan diusahakan harus seragam yaitu setiap 12 atau 14 jam dan 10
jam. Semakin lama selang pemerahan semakin turun produksi susu yang dihasilkan.
Waktu pemerahan pagi hari sekitar pukul 05.00 sampai 06.00 pagi, sore hari pukul 15.00-
16.00 dan apabila mempunyai produksi susunya tinggi, pemerahan dapat dilakukan tiga
kali yaitu pada siang hari.
a. Pemerahan Pagi Hari
Hasil dari analisis korelasi diketahui bahwa nilai korelasi dari kecepatan pemerahan
dengan produksi susu pada pemerahan pagi hari adalah sebesar 0.99 dengan nilai P-value
0.000 atau kurang dari 0.01, yang berarti terdapat korelasi yang nyata dan positif antara
kecepatan pemerahan dengan produksi susu. Besarnya pengaruh dari kecepatan
pemerahan terhadap produksi susu dapat dilihat pada persamaan regresi linier sederhana
yang digambarkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata
Produksi Susu pada Pemerahan Pagi Hari Per Ekor
Kurva diatas menunjukkan semakin tinggi kecepatan pemerahan maka akan
semakin tinggi pula produksi susu yang dihasilkan dari tiap ekor ternak, persamaan
regresinya yaitu Y = 7.59 x – 0.41, dengan Y adalah rata-rata produksi susu (liter) dan X
adalah kecepatan pemerahan (liter/menit).

b. Pemerahan Sore Hari.


Hasil dari analisis korelasi diketahui bahwa nilai korelasi dari kecepatan pemerahan
dengan produksi susu pada pemerahan sore hari adalah sebesar 0.72, yang berarti terdapat
korelasi yang nyata dan positif antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu pada
pemerahan sore. Besarnya pengaruh dari kecepatan pemerahan terhadap produksi susu
dapat dilihat pada persamaan regresi linier sederhana yang digambarkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata
Produksi Susu pada Pemerahan Sore Hari Per Ekor.

Kurva regresi linier di atas juga menunjukkan semakin tinggi kecepatan


pemerahan maka akan semakin tinggi pula produksi susu yang dihasilkan dari tiap ekor
ternak, persamaan regresi liniernya yaitu Y = 5.16 X + 0.22, dengan Y adalah rata-rata
produksi susu (liter) dan X adalah kecepatan pemerahan (liter/menit).

c. Gabungan Pemerahan Pagi Hari dan Sore Hari


Analisis korelasi kecepatan pemerahan dengan produksi susu bertujuan untuk
mengetahui tingkat produksi susu dalam satu hari. Berdasarkan analisis tersebut diketahui
nilai korelasi yang didapatkan adalah 0.76. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang nyata dan positif antara kecepatan pemerahan dengan rata-rata produksi
susu/ekor/hari

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata


Produksi Susu Gabungan.
Kurva regresi linier diatas menunjukkan semakin tinggi kecepatan pemerahan naka
akan semakin tinggi pula produksi susu yang dihasilkan dari tiap ekor ternak, persamaan
regresi liniernya yaitu Y = 11.15 X + 0.9, dengan Y adalah rata-rata produksi susu (liter)
dan X adalah kecepatan pemerahan (liter/menit). Kemudian dari Uji statistik t dengan
signifikasi α = 0.05 didapat t Hitung = 3.13 sedangkan t Tabel = 1.99. dengan demikian
Ha diterima dan Ho ditolak karena t Hitung ≥ t Tabel. Artinya, terdapat hubungan antara
kecepatan pemerahan dengan produksi susu.
II.3 Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Kecepatan dengan Produksi susu
Menurut Ensminger dan Howard (2006), waktu atau lamanya pemerahan yang
maksimal untuk menghasilkan susu pada sebagian besar sapi perah betina adalah 3-6
menit, tergantung dari jumlah susu dan karakteristik ternak. Produksi susu yang optimal
dipengaruhi oleh stimulus yang diberikan sebelum dilakukan proses pemerahan dimana
pada kondisi alami ternak perah dapat terstimulasi oleh isapan dari anak sapi pada puting
susu.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak dilakukan
proses stimulasi secara sempurna. Hal ini menyebabkan produksi susu lebih rendah dan
kecepatan pemerahan menjadi menurun. Kecepatan pemerahan sangat bergantung dari
lamanya pemerahan yang berlangsung. Lamanya pemerahan berkaitan dengan produksi
susu dan laju aliran susu. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Ali (1999) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi produksi susu maka pemerahan akan semakin lama,
tetapi semakin cepat laju aliran susu maka pemerahan akan semakin singkat.
Laju aliran susu dan sekresi susu juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan sekitar.
Menurut Thompson (1963), salah satu efek dari suhu panas pada ternak adalah tekanan
pada aktivitas kelenjar tiroid yang kemudian menghasilkan laju metabolisme basal uang
tinggi. Perubahan ini menyebabkan ternak membela diri terhadap lingkungan panas
dengan jalan mengurangi produksi panasnya melalui penguapan panas dari tubuh. Ternak
ternengah-engah dan mengurangi konsumsi makanannya. Selanjutnya lingkungan panas
selain menurunkan aktivitas kelenjar tiroid juga merangsang korteks adrenal, akibatnya
ternak meningkatkan plasma glukokortikoid yang berguna untuk membatu
mempertahankan homeostatis, sehingga laju pertumbuhan dan sekresi susu akan turun.
Perangsangan sebelum pemerahan seperti melakukan penjucian pada ambing
dengan air melibatkan hormon. Hormon yang berperan dalam proses ini adalah hormon
oksitosin. Sentuhan pada puting akan memberikan impuls ke saraf yang diteruskan ke
otak kemudian ke kelenjar pituitary posterior yang menyebabkan terjadinya sekresi
oksitosin. Oksitosin yang terdapat didalam darah meningkat siring dengan perangsangan
pada ambing. Oksitosin menyebabkan serabut myoepithel yang merupakan reseptor yang
menyelubungi alveoli berkontraksi dan menyampaikan pesan ke alveoli untuk
mengeluarkan susu (Ensminger dan Howard, 2006).
Massage yang terlalu lama akan menimbulkan stres yang dapat meningkatkan
hormon adrenalin sehingga sekresi hormon oksitosin menjadi terganggu dan kadarnya
menurun bahkan berhenti. Hormon oksitosin meningkat pada menit pertama pemerahan,
perlahan menurun sampai 8 menit dan aktivitasnya akan terhenti/beristirahat setelah 15
menit (Gorewit and Gassman, 1985). Hal ini sejalan dengan pendapat Setyaningsih
(2013) yang menyatakan bahwa massage terlalu lama dapat mengakibatkan tingkat stres
yang tinggi sehingga menyebabkan rangsangan menjadi tidak sempurna, akibatnya
produksi susunya menurun. Faktor lain penyebab produksi susu yang tidak maksimal
adalah aktivitas hormon oksitosin dalam darah yang menurun, sehingga kontraksi pada
sel myoepitel rendah atau tidak ada kontraksi sama sekali. Massage dapat meningkatkan
produksi susu selama sekresi hormon oksitosin masih tetap ada di dalam darah. Hormon
oksitosin berfungsi sebagai stimulator dalam mensekresikan susu (Tristy, 2009).
Volume ambing yang besar terdapat jumlah jaringan sekretorik yang banyak, pada
masa laktasi jaringan-jaringan tersebut terisi oleh cairan susu. Susu di dalam jaringan
tersebut menandakan besaran produksinya sehingga mempengaruhi lama pemerahan.
Pemerahan yang semakin lama mengindikasikan produksi susu yang tinggi. Penyesusian
pemerahan diatur berdasarkan kadar hormon oksitosin dalam darah (Schimdt, 1971) yang
dipengaruhi rangsangan (Gorewit and Gassman, 1985).
Jumlah sapi yang diperah juga mempengaruhi kecepatan pemerahan. Perbedaan
jumlah sapi yang diperah akan menyebabkan perbedaan nilai kecepatan pemerahan
(liter/menit). Adapun kecepatan yang cukup tinggi pada pemerahan dengan jumlah sapi
yang banyak disebabkan oleh produsi susu yang sedikit dihasilkan oleh sapi perah,
sehingga tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk memerah per ekor sapi perah.
III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Tahap tatalaksana pemerahan dibagi tiga yaitu tahap sebelum pemerahan, saat
pemerahan dan sesudah pemerahan. Pemerahan sapi dilakukan dengan teknik
pemerahan manual (tangan) dan teknik pemerahan menggunakan mesin perah.
2. Semakin lama pemerahan maka nilai produksi susu akan semakin tinggi.
3. Faktor yang mempengaruhi hubungan kecepatan dengan produksi susu yaitu
proses stimulasi, suhu, tekanan, perangsangan sebelum pemerahan, pemijatan
pada ambing, volume ambing, dan jumlah sapi yang diperah.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas masih banyak kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di
atas.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, J. 1999. Hubungan antara selang waktu pemerahan setelah perangsangan dengan
produksi susu pada sapi peranakan Fries Holland. Skripsi. Program Studi Teknologi
Produksi Peternakan, Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Ensminger, M. E dan Howard, D. T. 2006. Dairy Cattle Science. 4th Ed. The Interstate
Printers and Publisher, Inc. Danville.
Gorewit, R. C. and K. B. Gassman. 1985. Effects of duration of udder stimulation on
milking dynamics and oxytocin release. J. Dairy Sci. 68(7): 1813-1818.
Haryati, S. 2001. Analisis Pengaruh Umur,Skor Kondisi Tubuh (SKT) dan Masa Kering
Terhadap Rata-Rata Produksi Susu Saat Puncak Laktasi Sapi Perah Friesian
Holstein. J. Peternakan Tropik. 1(1): 17-22.
Schmidt, G. H. 1971. Biology of Lactation. Freeman and Company, San Francisco.
Setyaningsih, W., C. Budiarti, dan T. H. Suprayogi. 2013. Peran massage dan pakan terhadap
produksi dan kadar lemak susu kambing peranakan Ettawa. Anim. Agric. J. 2(1) :
329- 335.
Siregar, S. B. 2003. Peluang dan Tantangan Peningkatan Produksi Susu Nasional. Wartazoa.
48-55.
Sudono, A., R. F. Rosdiana dan B. Setiawan. 2003. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah
Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Surahmanto, F. Trisakti Haryadi, Sumadi. 2014. Kinerja Penyuluhan Pertanian sebagai
Penyebar Informasi, Fasilitator, dan Pendamping. Buletin Peternakan Vol.
38(2):116-124.

Surjowardojo. 2008. Hubungan Antara mastitis Berdasarkan CMT Terhadap Produksi Susu
Pada peternakan Sapi Perah Rakyat di Wilayah Kecamatan Pujon. Malang.
Syarief, E dan Harianto, B. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Thompson, R. D., J. E. Johnson, C. P. Breidenstein, dan A. J. Gudry. 1963. Effect of Hot
Condition Adrenal Cortical, Thyroidal, and Other Metabolic Resposes of Dairy
Heifers. J. Pair Sci. 44: 1751.
Tristy, N. H. 2009. Hubungan antara Kecepatan dengan Produksi Susu Sapi Perah di
Peternakan Sapi Perah Rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi Sarjana Peternakan).

Anda mungkin juga menyukai