Anda di halaman 1dari 149

JURNAL

KETENTUAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA, HEWAN


DAN PRODUK HEWAN INDONESIA
(Studi Kasus Sengketa Perdagangan Internasional Antara
Indonesia Dengan Amerika Serikat Dan Selandia Baru)

AYU RATNASARI, S.H

RICKY BIMA SANJAYA, S.H

BONAVENTURA IVAN MOLLET, S.H

IDA AYU RHADANA SATVIKARANI M., S.H

Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Email : ayuratnasari300@gmail.com

Sinyoricky23@gmail.com

Bonaventuraivan9341@gmail.com

srhadana@gmail.com

Abstraksi: Indonesia sebagai subjek dalam perdagangan internasional membuat


Indonesia bergabung dengan organisasi perdagangan internasional yaitu World
Trade Organization yang disingkat dengan WTO. Negara Indonesia memiliki
beberapa ketentuan impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan bagi
importir yang ingin melakukan impor ke Indonesia. Dalam hal ini menurut
Amerika Serikat dan Selandia Baru membatasi impor yang masuk ke Indonesia
dan melanggar beberapa aturan perdagangan internasional yang terdapat dalam
World Trade Organization (WTO. Tipe penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu tipe penelitian hukum normatif, yakni suatu proses untuk
menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi. Kesimpulan dari
penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan impor produk hortikultura, hewan
dan produk hewan Indonesia melanggar aturan perdagangan internasional dalam
WTO dan Indonesia harus mengubah ketentuan impor produk hortikultura, hewan
dan produk hewan sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Kata kunci: Perdagangan Internasional, World Trade Organization, Impor,
Ketentuan Impor Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan

1
Abstract:
Indonesia as a subject in international trade makes Indonesia join the international
trade organization that is World Trade Organization abbreviated with WTO. The
State of Indonesia has several provisions on import of horticultural products,
animals and animal products for importers wishing to import into Indonesia. In
this case, according to the United States and New Zealand limits imports into
Indonesia and violates some of the international trade rules contained in the World
Trade Organization (WTO). The type of research used in this study is the type of
normative legal research, namely a process to find a rule of law, legal principles,
and legal doctrines in order to address the legal issues being faced. The
conclusions of this study indicate that the import provisions of Indonesia's
horticultural, animal and animal products violate international trade rules in the
WTO and Indonesia should amend provisions on imports of horticultural, animal
and animal products in accordance with Article XI: 1 GATT 1994.
Keywords: International Trade, World Trade Organization, Imports Of
Horticultural products, Animals, and Veterinary products

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdagangan adalah suatu kegiatan membeli dan menjual yang sudah
ada sejak beberapa tahun lamanya. Perdagangan antar negara yang tidak
dibatasi atau tidak diintervensi, dimana permintaan dan penawaran barang
atau jasa menjadi bebas tanpa diatur sehingga mengakibatkan perdagangan
semakin luas, dan terjadi kekhususan perdagangan sesuai dengan
sumberdaya yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan, yang dapat
menimbulkan keuntungan komparatif yang akan menimbulkan iklim
perdagangan yang lebih produktif dan efisien, baik yang berkenaan dengan
impor maupun ekspor1. Alasan perdagangan internasional merupakan suatu
cara untuk meingkatkan kemakmuran suatu bangsa adalah tidak semua
negara mempunyai peralatan produksi atau kondisi ekonomis yang sama
baik secara kualitas maupun kuantitas dan akibat dari ketidaksamaan

1
Munir Fuady. 2015. Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO). Jakarta :
Citra Aditya Bakti. hlm. 3

2
kondisi - kondisi ekonomi tersebut, maka terjadilah perbedaan biaya
produksi suatu barang antara negara yang satu dengan negara lainnya,
sehingga dengan adanya perdagangan maka suatu negara dapat
memperoleh sejumlah barang dengan harga yang lebih murah, daripada
menghasilkan sendiri barang tersebut di dalam negeri2. Dengan
perdagangan bebas pedagang bebas melakukan apa saja untuk berdagang
tanpa adanya suatu aturan atau morma dalam perdagangan internasional
maka dibentuklah peraturan internasional yaitu World Trade Organization
(WTO). Salah satu alasan negara – negara maju maupun
berkembang memerlukan peraturan internasional adalah untuk memberikan
keamanan dan kepastian kepada pedagang - pedagang3.
Dengan berbagai Kelemahan yang ada dalam World Trade Organization
(WTO) menyebabkan banyak negara anggotanya yang dirugikan oleh keputusan
World Trade Organization (WTO), salah satunya adalah Indonesia. Indonesia
sudah menjadi anggota organisasi World Trade Organization (WTO) sejak tanggal
1 Januari 19954. Menjadi salah satu anggota dalam organisasi perdagangan World
Trade Organization (WTO) tidak lah mudah untuk dapat berjalan dengan baik,
karena dalam sejarahnya Indonesia sering dituduh dengan kasus yang dilaporkan
kepada World Trade Organization (WTO). Indonesia memiliki total 23 (dua puluh
tiga) kasus yang dibawa ke WTO sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2015, 10
(sepuluh) diantaranya sebagai complainant atau penuntut sedangkan 13 (tiga
belas) sisanya sebagai responden5. Mengingat banyak sekali kasus yang membuat
Indonesia dilaporkan dalam World Trade Organization (WTO), membuat penulis
tertarik untuk menganalisa salah satu kasus yang ada dalam World Trade
Organization (WTO) yang melibatkan Indonesia. Salah satu kasus yang
fenomenal dan memakan waktu yang cukup lama dalam gugatan hingga

2
Soberi. 2007. Ekonomi Internasional, Teori, Masalah, dan Kebijakannya. Yogyakarta :
BPFE UII Yogyakarta. hlm. 2-3
3
Peter Van Den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi. 2010.
Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
hlm.1
4
Ibid. hlm.27
5
Rachmi Hertanti dan Megawati. 2017. Jurnal Catatan dari Sengketa Investasi dan
Perdagangan Internasional. Jakarta : Indonesia for Global Justice. hlm.4

3
penyelesaiannya adalah ketentuan impor hortikultura, hewan dan produk hewan
Indonesia yang dilaporkan oleh Amerika Serikat dan Selandia baru pada tahun
2013.
Negara Indonesia memiliki beberapa ketentuan impor bagi importir yaitu
untuk perizinan impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan. Impor
Perizinan Regime (ketentuan Perizinan impor) untuk produk hortikultura sebelum
mengimpor produknya ke Indonesia harus menyelesaikan beberapa langkah –
langkahnya sebagai berikut :
1. Importir harus mendapatkan sebutan Importir Produk Hortikultura dari
Kementerian Perdagangan;
2. Importir harus mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura
(RIPH) dari Departemen Pertanian. Saat menerbitkan Sertifikat RIPH,
Kementerian Pertanian mempertimbangkan faktor-faktor seperti
produksi dan ketersediaan Produk serupa didalam negeri, konsumsi
produk dalam negeri, dan potensi impor produk untuk mendistorsi
pasar.
3. Importir harus mendapatkan Persetujuan Impor dari Kementerian
Perdagangan dengan melampirkan RIPH dan penetapan sebagai IT-
Produk Hortikultura.
Sedangkan untuk Impor Perizinan Regime (ketentuan perizinan impor) hewan dan
produk hewan harus menyelesaikan beberapa langkah sebelum mengimporkan
produknya ke Indonesia yaitu sebagai berikut :
1. Importir harus mendapatkan sebutan Importir Terdaftar atau Importir
Produsen dari Kementerian Perdagangan;
2. Importir harus menerima Rekomendasi Impor dari Kementerian
Pertanian untuk mengimpor hewan atau produk hewan;
3. Importir kemudian harus mendapatkan Persetujuan Impor dari
Departemen Perdagangan. Kementerian Perdagangan hanya
mengizinkan impor produk tersebut, antara lain produksi dalam negeri
dan pasokan produk tidak memenuhi permintaan masyarakat;
Dengan adanya beberapa ketentuan impor yang ditetapkan oleh
Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan membuat Amerika Serikat
dan Selandia Baru tidak bebas untuk melakukan impor di Indonesia. Menurut
Amerika Serikat dan Selandia baru ketentuan impor tersebut membatasi impor

4
yang masuk ke Indonesia dan melanggar beberapa aturan yang ada dalam World
Trade Organization (WTO).
Pada tahun 2013 Amerika Serikat dan Selandia baru meminta konsultasi
dengan Indonesia mengenai ketentuan yang diterapkan Indonesia pada impor
produk hortikultura, hewan dan produk hewan. Konsultasi yang dilakukan
Amerika Serikat dan Selandia Baru sejak tahun 2013 dengan no gugatan DS
455,DS 465 dan DS 466 tidak membuahkan hasil. Pada tahun 2014 Amerika
Serikat dan Selandia Baru meminta kembali diadakan konsultasi dengan
Indonesia mengenai ketentuan yang diterapkan Indonesia pada impor produk
hortikultura, hewan dan produk hewan dengan no gugatan DS 477 dan DS 478.
Pada dasarnya yang mengajukan gugatan adalah Amerika Serikat dan Selandia
Baru, namun ada beberapa negara yang meminta bergabung untuk melakukan
konsultasi dalam kasus ini yaitu Thailand, Jepang, Brasil, Argentina, India,
Singapura, Australia, RRT, Norwegia,Paraguay, Korea Selatan,Taiwan, Kanada
dan Uni Eropa.
Dalam hal ini World Trade Organization (WTO) memberikan hukuman
bagi Indonesia untuk mengubah ketentuan Impor pada produk hortikultura, hewan
dan produk hewan pada tanggal 22 Desember 2016. Namun Indoesia mengajukan
banding pada tanggal 17 Februari 2017 karena keputusan World Trade
Organization (WTO) merugikan Indonesia.
Berdasarkan masalah ini, membuat penulis tertarik untuk menganalisa dan
menulis karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “Ketentuan Impor
Produk Hortikultura, Hewan Dan Produk Hewan Indonesia (Studi Kasus
Sengketa Perdagangan Internasional Antara Indonesia Dengan Amerika
Serikat Dan Selandia Baru)”. Penulis akan melakukan analisa dengan
menganalisa putusan dari World Trade Organization (WTO) mengenai ketentuan
impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan Indonesia.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, masalah yang akan dikaji
dirumuskan sebagai berikut :

5
1. Apakah ketentuan impor Indonesia mengenai produk hortikultura, hewan
dan produk hewan melanggar ketentuan perdagangan internasional dalam
World Trade Organization (WTO)?
2. Apa dampak putusan World Trade Organization (WTO) tentang ketentuan
impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan Indonesia terhadap
Indonesia?

3. Apa upaya yang dilakukan Indonesia dalam menangani sengketa


perdagangan internasional antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan
Selandia Baru tentang ketentuan impor produk hortikultura, hewan dan
produk hewan Indonesia?

PEMBAHASAN

1. Ketentuan Impor Indonesia Mengenai Produk Hortikura, Hewan Dan


Produk Hewan Yang Melanggar Ketentuan Perdagangan Internasional
Dalam World Trade Organization (WTO)
Ketentuan Impor Indonesia mengenai Produk Hortikura, Hewan dan
Produk Hewan berdasarkan Undang - Undang yang Mengatur Impor produk
hortikuktura, hewan dan produk hewan adalah suatu kegiatan memasukkan
produk hortikuktura, hewan dan produk hewan ke daerah Republik Indonesia.
Dengan adanya impor produk hortikuktura, hewan dan produk hewan berakibat
persaingan dengan produk dalam negeri sehingga perlu adanya suatu ketentuan
impor Indonesia yang mengatur Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan
untuk melindungi produk hortikultura, hewan dan produk hewan dalam negeri
sebagaimana diatur sebagai berikut :
1. Undang - undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang
Hortikultura Menurut Pasal 28 Ayat 1 disebutkan bahwa Pemasukan dan
pengeluaran sumber daya genetik hortikultura ke dan dari dalam negara
Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

6
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa impor produk hortikultura diatur dalam
perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi produk hortikultura dalam
negeri dari persaingan produk impor.
Undang-undang yang mengatur Hortikultura Indonesia menitikberatkan pada
prinsip kecukupan dan prioritas produksi dalam negeri berkenaan dengan produk
hortikultura. Selain persyaratan keamanan, kualitas, kemasan dan pelabelan makanan,
impor berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang hortikultura tunduk
pada kriteria seperti ketersedian produk hortikultura dalam negeri, target produksi dan
konsumsi yang ditetapkan. Dalam Undang-Undang ini juga berisi persyaratan lisensi
impor yang berlaku umum yaitu rekomendasi dari Departemen Pertanian dan izin impor
dari Departemen Perdagangan serta produk impor sesuai dengan peraturan pemerintah.
Menteri Pertanian menentukan jenis produk hortikultura yang keluar dan masuk wilayah
Indonesia sehingga pemerintah daerah dan pelaku usaha secara kolektif bertanggung
jawab untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan nasional untuk produk
hortikultura antara lain oleh mengendalikan impor dan ekspor.

2. Undang - undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan


Hukum pangan membahas pentingnya kedaulatan dan kemandirian pangan yang
tercantum dalam Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut :
Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat
dan yang memberikan hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan
hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan
potensi sumber daya lokal. Sedangkan kemandirian pangan yakni :
Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,
sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Undang-undang pangan


Indonesia memprioritaskan produksi makanan dalam negeri dan cadangan pangan
nasional sebagai sumber utama pasokan pangan berdasarkan potensi yang ada
dalam Indonesia.

3. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang


Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

7
Undang – undang ini bertujuan membantu petani dalam menghadapi
permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian
usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi dan perubahan
iklim. Berdasarkan Pasal 15 bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban
mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan
pangan nasional. Selanjutnya dapat diketahui berdasarkan Pasal 30 Ayat 1 bahwa
terdapat larangan mengimpor komoditas Pertanian pada saat ketersediaan
komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan
cadangan pangan Pemerintah Indonesia. Dengan demikian Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani memprioritaskan produk pertanian dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan pangan Indonesia.

4. Undang – undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 sebagaimana telah


diubah dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Kesehatan Ternak
dan Hewan
Undang – undang ini mencerminkan konsep kedaulatan pangan,
kecukupan, kemandirian, dan ketahanan pangan yang memprioritaskan
pemanfaatan bahan baku dalam negeri. Ini juga secara khusus mengatur impor
hewan dan produk hewan. Berdasarkan Pasal 13 dapat diketahui bahwa
penyediaan dan pengembangan benih dan bibit dilakukan dengan mengutamakan
produksi dalam negeri. Selanjutnya pemasukan benih dan/atau bibit dari luar
negeri yang diatur dalam Pasal 15 Ayat 2 harus memenuhi persyaratan mutu,
memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan, bebas dari penyakit hewan
menular yang dipersyaratkan oleh otoritas veteriner, memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan dan memerhatikan
kebijakan pewilayahan sumber bibit. Selanjutnya berdasarkan Pasal 36B dapat
diketahui bahwa impor ternak dan produk hewan dilakukan apabila produksi dan
pasokan ternak dan produk hewam di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan
konsumsi masyarakat dengan memperoleh izin dari Menteri. Selain itu importir
yang melakukan impor wajib memperoleh izin pemasukan dari menteri
perdagangan setelah mendapatkan rekomendasi dari menteri Pertanian untuk

8
produk hewan segar dan pimpinan lembaga bidang pengawasan obat dan makanan
untuk produk pangan olahan asal Hewan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat
1. Dengan demikian Undang-undang ini mengatur tentang ketentuan impor hewan
dan produk hewan yang mengutamakan hewan dan produk hewan dalam negeri
dengan memberlakukan ketentuan bahwa impor dilakukan saat hewan dan produk
hewan dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat
Indonesia.

Ketentuan Impor Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan berdasarkan


Peraturan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian
1 Peraturan terkait produk hortikultura, hewan dan produk hewan
memberikan dasar perizinan impor untuk produk hortikultura,
hewan dan produk hewan. Walaupun kedua ketentuan terpisah,
namun memiliki fitur umum, peraturan dan ketentuan impor yang
berlaku berbeda. Berikut Peraturan Menteri Perdagangan dan
Pertanian yang dipermasalahkan oleh Amerika Serikat dan
Selandia Baru terkait ketentuan impor produk hortikultura, hewan
dan produk hewan:Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura
sebagaaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 40 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun
2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikulturatentang
Rekomendasi Impor Produk Hortikulturatentang Rekomendasi
Impor Produk Hortikultura menetapkan rezim perizinan impor
untuk produk hortikultura yang berlaku pada saat berdirinya Panel;
2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 17 tahun 2014 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor telah
diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 tahun Hewan
dan Produk Hewan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 sebagaimana 2015 tentang Pemasukan karkas, daging,

9
dan/atau olahannya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia
menetapkan rezim perizinan impor untuk hewan dan produk hewan
yang berlaku pada saat pembentukan Panel.

Ketentuan Impor untuk Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan


Ketentuan Impor untuk Produk Hortikultura
1. Proses Pengajuan Berkas lamaran dan Persyaratan Terkait
Sebelum melakukan impor, pelamar harus menyelesaikan langkah -
langkah sebagai berikut :
a. Mendapatkan sebutan Importir Produk Hortikultura dari Kementerian
Perdagangan. Dalam hal ini penunjukannya berbeda tergantung pada
penggunaan akhir :
(1) jika pemohon impor ingin mengimpor produk hortikultura untuk
konsumsi manusia yakni untuk keperluan kegiatan usaha dengan
memperdagangkan dan/atau memindahtangankan sesuai yang diatur dalam
Pasal 1 Ayat 7 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, maka harus memperoleh
sebutan Importir Terdaftar Produk Hortikultura/IT-Produk Hortikultura;
(2) Jika pemohon impor ingin mengimpor produk hortikultura sebagai
bahan baku dalam proses produksi atau bahan penolong pada proses
produksi sendiri dan tidak diperdagangkan atau memindahtangankan
kepada pihak lain yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura, maka harus memperoleh sebutan sebagai Importir Produsen
Produk Hortikultura atau IP-Produk Hortikultura.
b. Mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura atau RIPH dari
Kementerian Pertanian;
c. Memperoleh Persetujuan Impor (Surat Persetujuan Impor) dari
Departemen Perdagangan, dan
d. Menjalani Penyelidikan teknis, yang dilakukan oleh Surveyor di
pelabuhan asalnya.

10
2. Pengakuan baik sebagai IT-Produk Hortikultura atau IP- Produk Hortikultura
oleh Menteri Perdagangan
Sebutan sebagai IT-Produk Hortikultural atau IP-Produk Hortikultural
merupakan langkah awal yang wajib diajukan sebagaimana diatur dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor
Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi sebagai berikut :
Impor Produk Hortikultura hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura atau
penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura dari Menteri

3. Mendapatkan sebutan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) dari


Kementerian Pertanian
Langkah selanjutnya setelah mendapatkan pengakuan sebagai IT-Produk
Hortikultura dan mendapatkan pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura maka
importir selanjutnya mengajukan penerbitan RIPH/Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura. Penerbitan RIPH juga merupakan persyaratan untuk penerbitan
Persetujuan Impor sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura.

4. Memperoleh Persetujuan Impor dari Departemen Perdagangan


Langkah selanjutnnya setelah importir produk hortikultura untuk konsumsi
manusia memegang IT-Produk Hortikultura penunjukan dan RIPH juga harus
memperoleh Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.

5. Penyelidikan teknis di Pelabuhan asal


Langkah selanjutnya setelah persetujuan impor dikeluarkan, semua impor
hortikultura segar dan produk olahan, baik oleh IT-Produk Hotrikultura maupun
PI-Produk Hortikultura harus terlebih dahulu menjalani verifikasi atau
penelusuran teknis impor di pelabuhan muat negara asal yang dilakukan oleh

11
Surveyor (Inspektur) yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan
Pasal 21 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang
Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Setelah pemeriksaan selesai maka akan
dilakukan pengiriman.

Ketentuan Impor untuk Hewan dan Produk Hewan


1. Proses Pengajuan Berkas lamaran Impor dan Persyaratan terkait
Ketentuan Perizinan impor untuk hewan dan produk hewan sama halnya
dengan yang diminta pada saat mengimpor Produk Hortikultura walaupun ada
sejumlah perbedaan ketentuan. Persetujuan yang diperlukan untuk mengimpor
hewan dan produk hewan tergantung pada apakah produk tersebut tercantum
dalam Lampiran I atau II dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 sebagaimana telah diubah :
a. Untuk Impor binatang ternak, daging sapi dan jeroan yang tercantum
dalam Lampiran I dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 sebagaiman telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
139 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah, dimana ketentuan persetujuan
impor adalah sebagai berikut :
1. Pengakuan sebagai IT-Produk Hewan dan Produk Hewan dari
Kementerian Perdagangan (Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Menteri
Perdagangan nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah) ;
2. Rekomendasi Impor dari Kementerian Pertanian (Pasal 10
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah dan Pasal 4 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 139 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah);
3. Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan (Pasal 8 Ayat 1
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah).

b. Untuk Impor Hewan dan Produk Hewan, daging sapi dan jeroan yang
tercantum dalam Lampiran II dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
46 Tahun 2013 sebagaiman telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian

12
Nomor 139 Tahun 2014 sebagiamana telah diubah , dimana ketentuan
persetujuan impor adalah sebagai berikut :
1. Rekomendasi Impor dari Kementerian Pertanian (Pasal 10
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah dan Pasal 4 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 139 Tahun 2014);
2. Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan ( Pasal 8 Ayat 1
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013).

2. Pengakuan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan (Importir Terdaftar Hewan


dan Produk Hewan atau Perusahaan yang Melakukan Impor Hewan dan Produk
Hewan)
Pengakuan sebagai IT-Produk Hewan dan Produk Hewan merupakan
langkah awal bagi importir yang ingin mengimpor binatang ternak, daging sapi
dan jeroan yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah. Langkah ini tidak termasuk
dalam produk yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan menteri Perdagangan
Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah6.

3. Memperoleh Rekomendasi dari Kementerian Pertanian


Mendapatkan rekomendasi dari kementerian pertanian adalah langkah
kedua bagi pihak yang ingin mengimpor hewan dan produk hewan yang
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 sebagaimana telah
diubah. Merupakan langkah pertama bagi perusahaan yang ingin mengimpor
hewan dan produk hewan yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 sebagaimana telah diubah. Mendapatkan rekomendasi dari
Kementeran Pertanian juga merupakan langkah wajib sebelum mengajukan
Persetujuan Impor yang diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah.
6
See Indonesia’s response to Panel question No.103, para.39; Exhibit IDN-93

13
4. Memperoleh Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan
Mendapatkan persetujuan impor merupakan langkah ketiga bagi importir
yang ingim mengimpor binatang ternak, daging dan jeroan yang tercantum dalam
Lampiran I dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 sebagaimana telah diubah setelah mendapatka pengakuan sebagai IT-Hewan
dan Produk Hewan dan mendapatkan Rekomendasi dari Kementerian Pertanian,
merupakan langkah kedua bagi importir yang ingin mengimpor Hewan dan
Produk Hewan, daging dan jeroan yang tercantum dalam Lampiran II dari
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah
dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 sebagaimana telah
diubah setelah memperoleh Rekomendasi dari Kementerian Pertanian
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah.

5. Mendapatkan Sertifikat Kesehatan


Sertifikat Kesehatan di negara asal hewan dan produk hewan yang akan
impor diterbitkan setelah IT-Hewan dan Produk Hewan mendapatkan persetujuan
impor dari Kementerian Perdagangan dan nomor persetujuan impor harus
tercantum dalam Certificate of Health (Sertifikat Kesehatan) yang harus
menyertai dalam setiap pengiriman hewan dan produk hewan ke Indonesia yang
diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah.

18 (Delapan Belas) Tindakan Mengenai Ketentuan Impor Produk Hortikultura,


Hewan dan Produk Hewan Indonesia yang Dipermasalahkan
Amerika Serikat dan Selandia Baru telah menentang 18 (delapan belas)
Tindakan mengenai ketentuan perizinan impor Indonesia terkait produk
hortikuktura, hewan dan produk hewan sebagaimana disebutkan dibawah ini :

14
1. Pembatasan Jangka Waktu Pengajuan Berkas Lamaran Impor dan Masa
Berlaku untuk Impor Produk Hortikultura
Indonesia menerapkan masa berlaku Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura (RIPH) dan Persetujuan Impor selama 6 (enam) bulan. Indonesia
menerapkan ketentuan RIPH sesuai dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura yang
mengatur jangka waktu mengenai RIPH yang berbunyi sebagai berikut :

1. RIPH dalam satu tahun diterbitkan 2 (dua) kali yang berlaku


untuk periode Januari sampai dengan Juni dan Juli sampai dengan
Desember.
2. Pelayanan RIPH sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) untuk
periode Januari sampai dengan Juni, pengajuan permohonan
dibuka selama 15 hari kerja mulai awal November tahun
sebelumnya, dan untuk periode Juli sampai dengan Desember,
pengajuan permohonan dibuka selama 15 hari kerja mulai awal Mei
pada tahun berjalan.
3. RIPH produk hortikultura segar untuk bahan baku industri,
olahan untuk bahan baku industri, dan olahan untuk konsumsi
diterbitkan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) periode untuk 1 (satu)
perusahaan.
4. Pelayanan RIPH sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak
berlaku untuk produk hortikultura segar untuk konsumsi berupa
cabe dan bawang merah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
Ayat (3) dan Ayat (4).

Sedangkan Persetujuan Impor diatur Peraturan Menteri Perdagangan


sebagaimana telah diubah sebagai berikut :

Pasal 13A Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 40 Tahun 2015 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Waktu pengajuan permohonan Persetujuan Impor untuk Produk


Hortikultura Segar sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan
Menteri ini, ditentukan sebagai berikut :

15
a. Untuk Semester pertama, periode bulan Januari sampai dengan
bulan Juli, hanya dapat diajukan pada bulan Desember;dan
b. Untuk Semester kedua, periode bulan Juli sampai dengan bulan
Desember hanya dapat diajukan pada bulan Juni.
2. Permohonan Persetujuan Impor untuk :
a. Produk Hortikultura Segar khusus Cabe (buah dari genus
Capsicum) dengan Pos Tarif/HS 0709.60.10.000 dan bawang
merah segar untuk konsumsi dengan Pos Tarif/HS
0703.10.29.00;dan
b. Produk Hortikultura Olahan,
Sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini,
dapat diajukan sewaktu-waktu.
3. Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diterbitkan setiap
awal semester.

Pasal 14 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi
sebagai berikut:
Masa berlaku Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 Ayat 2 huruf a sesuai dengan masa berlaku RIPH, terhitung sejak
tanggal diteritkannya Persetujuan Impor.

Pasal 21 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi
sebagai berikut :
1. Setiap pelaksanaan impor Produk Hortikultura sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 oleh IP-Produk Hortikultura atau IT Produk
Hortikultura harus terlebih dahulu dilakukan verivikasi atau
penelusuran teknis Impor di pelabuhan muat negara asal;
2. Pelasanaan verivikasi atau penelusuran teknis sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh Surveyor yang ditetapkan
oleh Menteri;
3. Untuk dapat ditetapkan sebagai pelaksana verivikasi atau
penelusuran teknis impor Produk Hortikultura sebgaimana dimaksud
pada Ayat (2), Surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
a. Memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS);
b. Berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun;
c. Memiliki cabang atau perwakilan dan/atau afiliasi diluar
negeri dan memiliki jaringan untuk mendukung
dampaktifitas pelayangan verivikasi atau penelusuran
teknis;dan
d. Mempunyai rekam-jejak (track records) di bidang
pengelolaan kegiatan verivikasi atau penelusuran tenis impor.

16
Pasal 22 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang
Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi
sebagai berikut:
Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) dilakukan
terhadap impor Produk Hortikultura, yang meliputi data atau
keterangan mengenai:
Negara dan pelabuhan asal muat;
os tarif atau nomor HS dan uraian produk;
Jenis dan volume;
Waktu pengapalan;
Pelabuhan tujuan;
Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada
Kemasan;
Setifikat Kesehatan (Health Certificate);
Phytosanitary Certificate untuk produk hortikultura segar;
Certificate of Origin (CoO);
Sertifikat hasil uji kemasan food grade atau surat pernyataan
dari importir yang menyatakan bahwa kemasan yang
digunakan telah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, untuk produk hortikultura segar;
Sertifikat pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur
Ulang, atau surat pernyataan dari importir yang menyatakan
bahwa kemasan yang digunakan telah susuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk produk
hortikultura segar; dan Kesesuaian pencantuman label
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, kecuali untuk Produk
Tanaman Hias dan Produk Hortikultura yang digunakan
sebagai bahan baku industri.
Hasil verivikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dituangkan
dalam ben (LS) untuk digunakan sebagai dokumen pelengkap
pabean dalam penyelesaian kepabean di bidang impor;
Atas pelaksanaan verivikasi atau penelusuran teknis sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1), Surveyor memungut imbalan jasa dari IT-
Produk Hortikultura atau IP-Produk Hortikultura yang besarannya
ditentukan dengan memperhatikan azas manfaat.

Pasal 30 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi
sebagai berikut :
Perusahaan yang melakukan impor Produk Hortikultura tidak sesuai dengan
ketentuan kemasan dan label dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Produk Hortikultura segar yang diimpor, jika:

17
Tidak sesuai dengan Produk Hortikultura sebagaimana tercantum dalam
pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura dan/atau Persetujuan
Impor;dan/atau
Tidak sesuai dengan ketentuan kemasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 dan/atau ketentuan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
dilakukan pemusnahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Produk Hortikultura Olahan yang diimpor, jika:
Tidak sesuai dengan Produk Hortikultura sebagaimana tercantum dalam
pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura dan/atau Persetujuan Impor;
dan/atau
Tidak sesuai dengan ketentuan kemasan sebagaimna dimaksud dalam Pasal
18 dan Ketentuan Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dilakukan
re-ekspor sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Biaya atas pelaksanaan pemusnahan dan re-ekspor sebagaimana dimaksud
pada Ayat (2) dan Ayat (3) merupakan tanggung-jawab importir.

Berdasarkan ketentuan diatas, jangka waktu pengajuan RIPH (Rekomendasi


Impor Produk Hortikultura) yaitu untuk periode Januari sampai dengan Juni
dibuka selma 15 hari kerja mulai awal November tahun sebelumnya, dan untuk
periode Juli sampai dengan Desember dibuka selma 15 (lima belas) hari kerja
mulai awal Mei pada tahun berjalan. Masa Berlaku RIPH adalah 6 (enam) bulan
yang terhitung dari penerbitan RIPH 2 (dua) kali dalam setahun yang berlaku
untuk periode Januari sampai dengan Juni dan Juli sampai dengan Desember.
Jangka waktu Pengajuan Persetujuan Impor yaitu terdapat dua periode,
untuk periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni, hanya dapat diajukan pada
bulan Desember. Sedangkan untuk periode bulan Juli sampai dengan bulan
Desember, hanya dapat diajukan pada bulan Juni. Masa Berlaku Persetujuan
Impor sesuai dengan masa berlaku RIPH sejak diterbitkannya Persetujuan Impor.

2 Persyaratan Impor Berkala dan Tetap untuk Impor Produk Hortikultura


Persyaratan untuk mengimpor produk hortikultura sesuai dengan RIPH
dan Persetujuan Impor termasuk jumlah produk yang diizinkan untuk di impor,
jenis produk tertentu yang diizinkan untuk di impor, negara asal produk dan
pelabuhan masuk di Indonesia dimana produk akan masuk. Dalam hal ini tidak
mungkin untuk mengubah persyaratan ini selama masa berlaku RIPH dan
Persetujuan Impor. Ketentuan ini diatur dalam bebrapa Peraturan Menteri yaitu
sebagai berikut :

18
Pasal 6 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi
Impor Produk Hortikulturatentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura yang
mengatur unsur – unsur yang perlu ditentukan dalam RIPH yaitu yang berbunyi
sebagai berikut :

1. Penerbitan RIPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2)


pelaksanaannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal atas nama
Menteri Pertanian;
2. RIPH sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diterbitkan dalam bentuk
surat sesuai format-1, format-2, format-3 dan/atau format-4
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari peraturan ini.
3. RIPH memuat :
a. Nomor RIPH;
b. Nama dan alamat perusahaan;
c. Nama dan alamat Direktur Utama perusahaan;
d. Nomor dan tanggal surat permohonan;
e. Nama produk;
f. Pos tarif/HS Produk Hortikultura;
g. Negara asal;
h. Lokasi industri (untuk bahan industri);
i. Tempat pemasukan.
4. RIPH sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) merupakan Lampiran
yang tidak terpisahkan dengan Surat Persetujuan Impor.

Pasal 13 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2015 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11, IT-Produk Hortikultura harus mengajukan permohonan
secara elektronik kepada Menteri dalam hal ini Koordinator dan
Pelaksana UPP, dengan melampirkan :
a. RIPH;
b. Penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura
2. Koordinator dan Pelasana UPP atas nama Menteri menerbitkan :
3. Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf a
disampaikan kepada IT-Produk Hortikultura dan tembusan
disampaikan kepada instansi terkait;

19
a. Persetujuan impor paling lama 2 (dua) hari kerja sejak
permohonan diterima secara lengkap dan benar;atau
b. Penolakan penerbitan persetujuain impor paling lama 2 (dua)
hari kerja sejak permohonan diterima dalam hal permohonan
tidak lengkap dan/tidak benar.
4. Penerbitan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)
harus memperhatikan kemampuan dan kelayakan tempat
penyimpanan dan alat transportasi sesuai dengan karakteristik
Produk Hortikultura yang dimiliki oleh IT-Produk Hortikultura.

Pasal 30 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi
sebagai berikut :
Perusahaan yang melakukan impor Produk Hortikultura tidak sesuai
dengan ketentuan kemasan dan label dalam Peraturan Menteri ini
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
Produk Hortikultura segar yang diimpor, jika:
Tidak sesuai dengan Produk Hortikultura sebagaimana tercantum
dalam pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura dan/atau
Persetujuan Impor;dan/atau
Tidak sesuai dengan ketentuan kemasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 dan/atau ketentuan label sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, dilakukan pemusnahan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Produk Hortikultura Olahan yang diimpor, jika:
Tidak sesuai dengan Produk Hortikultura sebagaimana tercantum
dalam pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura dan/atau
Persetujuan Impor; dan/atau
Tidak sesuai dengan ketentuan kemasan sebagaimna dimaksud
dalam Pasal 18 dan Ketentuan Label sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, dilakukan re-ekspor sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Biaya atas pelaksanaan pemusnahan dan re-ekspor sebagaimana
dimaksud pada Ayat (2) dan Ayat (3) merupakan tanggung-jawab
importir.

Berdasarkan ketentuan ini, RIPH memuat nama produk, pos tarif produk
hortikultura, negara asal, lokasi indsutri dan tempat pemasukaan. Dalam hal ini
RIPH digukanan untuk memperoleh Persetujuan Impor. Setelah diterbitkan RIPH
dan Persetujuan Impor maka apa yang terdapat dalam RIPH dan Persetujuan
Impor tidak dapat diubah atau direvisi selama masa berlakunya. Oleh karena itu,

20
importir tidak dapat mengimpor selain yang ditentukan dalam RIPH dan
Persetujuan Impor. Apabila produk impor tidak sesuai dengan persyaratan yang
tercantum dalam RIPH dan Persetujuan Impor maka barang tersebut dimusnahkan
atau diekspor kembali dengan biaya importir.

3. Persyaratan Realisasi 80% (Delapan Puluh Persen) untuk Impor Produk


Hortikultura
Persyaratan bahwa produk hortikultura segar harus diimpor setidaknya
80% dari jumlah setiap jenis produk yang tercantum dalam Persetujuan impor
mereka untuk setiap masa berlaku enam bulan. Ketentuan ini diatur dalam
beberapa Pasal dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yaitu sbegai berikut :

Pasal 14A Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang telah diubah dengan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2015 yang berbunyi sebagai berikut :

1. IT-Produk Hortikultura yang telah memperoleh Persetujuan Impor


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (2) huruf a wajib
merealisasikan impor Produk Hortikultura paling sedikit 80%
(delapan puluh persen) dari Persetujuan Impor dalam setiap periode
sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Impor;
2. Ketentuan mengenai kewajiban bagi IT-Produk Hortikultura untuk
merealisasikan impor Produk Hortikultura paling sedikit 80%
(delapan puluh persen) dari Persetujuan Impor sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap Persetujuan Impor
untuk Produk Hortikultura Olahan.

Pasal 24 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi
sebagai berikut :

1. IP-Produk Hortikultura dan IT-Produk Hortikultura wajib


menyampaikan laporan secara tertulis atas pelaksanaan impor
Produk Hortikultura dengan melampirkan hasil scan Kartu Kendali

21
Realisasi Impor yang telah diparaf dan dicap oleh petugas Bea dan
Cukai;
2. Laporan sebagaimana dmaksud pada Ayat (1) disampaikan setiap
bulan melalui http://inatrade.kemendag.go.id paling lambat pada
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian dan Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan;
3. Bentuk laporan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini;
4. Kartu Kendali Realisasi Impor sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
merupakan kartu kendali jumlah realisasi impor Produk
Hortikultura.

Pasal 25A Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2015 atas Perubahan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor
Produk Hortikultura yang berbunyi sebagai berikut :

Penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura dibekukan apabila perusahaan tidak


dapat melaksanakan kewajiban realisasi Persetujuan Impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14A;
1. Pembekuan penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) diberikan selama 2 (dua) periode Semester.

Pasal 26 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang berbunyi sebagai berikut :

Pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura dan penetapan sebagai IT-


Produk Hortikultura dicabut apabila perusahaan :
Tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 sebanyak 2 (dua) kali;
Terbukti mengubah infomasi yang tercantum dalam dokumen impor
Produk Hortikultura;
Terbukti melanggar ketentuan kemasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 dan/atau ketentuan pencantuman label sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19;
Terbukti memperdagangnkan dan/atau memindahtangankan Produk
Hortikultura yang diimpor sebagimana dimaksud dalam Pasal 7, untuk
IP-Produk Hortikultura;

22
Terbukti memperdagangkan dan/atau memindahtangankan Produk
Hortikultura yang diimpor kepada selain Distributor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, untuk IT-Produk Hortikultura;dan/atau
Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana yang berkaitan
dengan penyalahgunaan dokumen impor Produk Hortikultura.

Berdasarkan Ketentuan diatas bahwa IT-Produk Hortikultura yang telah


memperoleh Persetujuan Impor wajib merealisasikan Impor Produk Hortikultura
minimal 80% (delapan puluh persen) dari Persetujuan Impor dalam satu periode
yaitu 6 (enam) bulan yang tidak berlaku terhadap Persetujuan Impor untuk Produk
Hortikultura olahan. IT-Produk Hortikultura wajib menyampaikan laporan secara
tertulis atas pelaksanaan impor Produk Hortikultura dengan melampirkan hasil
scan kartu kendali realisasi impor yang telah diparaf dan dicap oleh Petugas bea
dan cukai. Laporan disampaikan setiap bulan melalui
http://inatrade.kemendag.go.id kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
Direktur Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian
Pertanian dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Dalam hal IT-
Produk Hortikultura tidak melaksanakan kewajiban realisasi Persetujuan Impor
maka penetapan IT-Produk Hortikultura dibekukan selama 2 (dua) periode
semester. Dalam hal tidak menyampaikan Laporan selama 2 (dua) kali maka
penetapanIT-Produk Hortikultura dicabut.

4. Persyaratan Masa Panen untuk Impor Produk Hortikultura


Ketentuan ini terdiri dari Persyaratan impor produk hortikultura dilakukan
sebelum, selama, dan sesudah masa panen domestik dalam jangka waktu tertentu.
Indonesia menerapkan ketentuan ini melalui beberapa Pasal yang terdapat dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor
Produk Hortikultura sebagai berikut :

Pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut:

23
1. Impor produk hortikultura dilakukan di luar masa sebelum panen
raya, panen raya dan sesudah panen raya dalam jangka waktu
tertentu;
2. Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan disampaikan kepada Menteri
Perdagangan;
3. Waktu impor produk hortikultura sebagaimana yang dimaksud pada
Ayat (1) tidak berlaku bagi produk hortikultura cabe dan bawang
merah segar untuk konsumsi;
4. Pemberian RIPH produk hortikultura segar untuk konsumsi berupa
cabe dan bawang merah didasarkan pada ketetapan harga referensi
dari Menteri Perdagangan.

Pasal 8 tentang Persyaratan Penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura


berbunyi sebagai berikut :

1. RIPH diterbitkan dengan persyaratan administrasi sebagai berikut :


a. Produk hortikultura segar untuk konsumsi meliputi:
- Foto copy IT-Produk Hortikultura dari Kementerian
Perdagangan;
- Foto copy Angka Pengenal Importir Umum (API-U);
dan
- Pernyataan tidak memasukkan produk hortikultura
yang melebihi 6 (enam) bulan setelah panen;
b. Produk hortikultura segar dan olahan untuk bahan baku
industri meliputi :
- Surat pertimbangan teknis, lokasi industri, dan
kapasitas industri dari Kementerian Perindustrian;
- Foto copy Angka Pengenal Importir Produsen (API-
P)
c. Produk hortikultura olahan untukkonsumsi meliputi:
- Foto copy IT-Produk Hortikultura dari Kementrian
Perdagangan;
- Surat persetujuan pemasukan dari Badan Pengawasan
Obat dan Makanan;dan
- Foto copy Angka Pengenal Importir Umum (API-U)
2. Penerbitan RIPH untuk produk segar untuk konsumsi selain
memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan perysratan sebagai berikut :
a. Keterangan registrasi kebun/lahan usaha atau sertifikat
Penerapan Budidaya yang Baik (Good Agriculture
Practices/GAP);
b. Registrasi bangsal pascapanen (packing house) yang
diterbitkan oleh instansi yang berwenang dari negara asal;

24
c. Pernyataan memiliki sarana penyimpanan dan distribusi
produk hortikultura yang sesuai dengan karakter dan jenis
produk;
d. Pernyataan kesesuaian daya tampung gudang
penyimpanan;dan
e. Keterangan rencana distribusi menurut waktu dan wilayah
(kabupaten/kota)
3. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf a dan
b diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

Dengan demikian impor Produk Hortikultura dapat dilakukan sebelum,


selama dan sesudah masa panen. Selain itu importir diwajibkan tidak
memasukkan produk hortikultura yang melebihi 6 (enam) bulan setelah panen.
Dalam hal ini, importir dilarang melakukan impor di luar jangka waktu yang
diputuskan oleh Kementerian Pertanian.7 Dalam hal ini jangka waktunya adalah
sebelum, selama dan sesudah masa panen. Selanjutnya Menteri Pertanian
menentukan jangka waktu tertentu yang kemudian disampaikan kepada Menteri
Perdagangan. Selain itu Menteri Pertanian dalam memberikan RIPH untuk cabe
dan bawang merah berdasarkan ketetapan harga referensi dari Menteri
Perdagangan.

5. Persyaratan Kepemilikan dan Kapasitas Penyimpanan untuk Impor Produk


Hortikultura
Persyaratan bahwa importir harus memiliki fasilitas penyimpanan dengan
kapasitas yang cukup untuk menampung jumlah yang diminta dalam Permohonan
Impor Importir. Persyaratan impor ini diatur sebagai berikut :

Pasal 8 Ayat 1 e Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah berbunyi sebagai
berikut :
1. Untuk memperoleh penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, perusahaan harus mengajukan
permohonan secara elektronik kepada Menteri dal hal ini
Koordinator dan Pelaksana UPP, dengan melampirkan:

7
Indonesia’s response to Panel Question No.34

25
a. …
b. …
c. …
d. …
e. Bukti kepemilikan tempat penyimpanan sesuai drngan
karakteristik produknya;

Pasal 8 Ayat 2 c dan d Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang
Rekomendasi Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah yang berbunyi
sebagai berikut :
1. …
2. Penerbitan RIPH untuk produk segar untuk konsumsi selain
memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan persyaratan teknis sebagai
berikut :
a. …
b. …
c. Persyaratan memiliki sarana penyimpanan dan distribusi
produk hortikultuta yang sesuai dengan karakter dan jenis
produk;
d. Pernyataan kesesuaian daya tampung gudang penyimpanan;

Dengan demikian importir yang mengajukan permohonan IT-Produk Hortikultura


dan untuk mendapatkan RIPH harus memberikan bukti kepemilikan fasilitas
penyimpanan produk hortikultura yang sesuai dengan karakteristik dan jenis
produk.

6. Persyaratan Penggunaan, Penjualan dan Distribusi untuk Produk Hortikultura


Persyaratan bahwa impor oleh PI-Produk Hortikultura dan IT-Produk
Hortikultura memiliki keterbatasan penggunaan, penjualan, dan distribusi produk
impor hortikultura. Ketentuan ini diatur beberapa Pasal dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura
sebagaimana telah diubah sebagai berikut :

Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut :

26
Perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-Produk
Hortikultura hanya dapat mengimpor Produk Hortikultura sebagai
bahan baku atau bahan penolong untuk kebutuhan proses produksi
industri yang dimilikinya dan dilarang memperdagangkan dan/atau
memindahtangankan.

Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, perusahaan harus mengajukan
permohonan secara elektronik kepada Menteri dalam hal ini
Koordinator dan Pelaksana UPP, dengan melampirkan :
a. Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP yang bidang usahanya
meliputi hortikultura atau izin usaha lain yang sejenis yang
diterbitkan oleh instansi atau dinas teknis yang berwenang;
b. Tanda Daftar Perusahaan(TDP);
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Angka Pengenal Importir Umum (API-U);
e. Bukti kepemilikan tempat penyimpanan sesuai dengan
karakteristik produknya;
f. Bukti kepemilikan alat transportasi sesuai dengan
karakteristik produknya;
g. Bukti kontrak kerjasama penjualan Produk Hortikultura
paling sedikit 3 (tiga) distributor selama paling sedikit 1
(satu) tahun;
h. Bukti pengalaman sebagai distributor Produk Hortikultura
selama 1 (satu) tahun; dan
i. Surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa
tidak akan menjual Produk Hortikultura kepada konsumen
langsung atau pengecer (retailer).
2. Permohonan yang diterima harus segera diperiksa oleh Koordinator
dan Pelaksana UPP untuk mengetahui kelengkapan data yang
disampaikan;
3. Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sudah lengkap,
data disampaikan kepada Tim Penilai untuk dilakukan pemeriksaan
terhadap kebenaran dokumen dan pemeriksaan lapangan;
4. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dilakukan paling
lambat dimulai 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan
diterima secara lengkap dan dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari
kerja;
5. Dalam hal hasil atas pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(3) ditemukan data yang tidak benar, Koordinator dan Pelaksana
UPP menolak menerbitkan penetapan sebagai IT-Produk
Hortikultura;

27
6. Dalam hal hasil atas pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(3) data yang diajukan benar, Koordinator dan Pelaksana UPP
menerbitkan penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (4)

Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut :

Perusahaan yang telah mendapat penetapan sebagai IT-Produk


Hortikultura :
a. Hanya dapat memperdagangkan dan/atau
memindahtangankan Produk Hortikultura yang diimpornya
kepada Distributor; dan
b. Dilarang memperdagangkan dan/atau memindahtangankan
Produk Hortikultura yang diimpornya kepada konsumen
langsung atau pengecer (retailer)

Pasal 26 d-e berbunyi sebagai berikut :

Pengakuan sebagai IP-Produk Hortikultura dan penetapan sebagai IT-


Produk Hortikultura dicabut apabila perusahaan :
a. …
b. …
c. …
d. Terbukti memperdagangnkan dan/atau memindahtangankan
Produk Hortikultura yang diimpor sebagimana dimaksud
dalam Pasal 7, untuk IP-Produk Hortikultura;
e. Terbukti memperdagangkan dan/atau memindahtangankan
Produk Hortikultura yang diimpor kepada selain Distributor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, untuk IT-Produk
Hortikultura;dan/atau
f. …

Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, dapat diketahui bahwa IP-Produk


Hortikultura hanya dapat mengimpor produk hortikultura sebagai bahan baku
untuk kebutuhan proses produksi industri yang dimilikinya. Sedangkan IT-Produk
Hortikultura dapat mengimpor produk hortikultura untuk diperdagangkan atau
dipindahtangankan kepada Distributor bukan kepada konsumen langsung atau
pengecer. Dalam hal terbukti memperdagangkan atau mentransfernya maka
penetapan sebagai IP-Produk Hortikultura akan dicabut dan terbukti
memperdagangkan produk hortikultura kepada selain Distributor maka penetapan
sebagai IT-Produk Hortikultura juga dicabut.

28
7. Harga Referensi untuk Cabe dan Bawang Merah Segar untuk Dikonsumsi
Ketentuan ini terdiri dari implementasi harga referensi untuk cabe dan
bawang merah untuk konsumsi oleh Kementerian Perdagangan yang diatur oleh
bebrapa ketentuan sebagai berikut :

Pasal 5 Ayat 4 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang


Rekomendasi Impor Produk Hortikultura yang berbunyi sebagai berikut :

1. …
2. …
3. …
4. Pemberian RIPH produk hortikultura segar untuk konsumsi berupa
cabe dan bawang merah didasarkan pada ketetapan harga referensi
dari Menteri Perdagangan.

Pasal 14 B Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang


Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana diubah oleh Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 47 Tahun 2013 yang berubunyi sebagai berikut :

1 Importasi cabe (buah dari genus Capsicum) dengan Pos Tarif/HS


0709.60.10.00 dan bawang merah segar untuk konsumsi dengan Pos
Tarif/HS 0703.10.29.00 dilakukan dengan memperhatikan Harga
Referensi yang ditetapkan oleh Tim Pemantau Harga Produk
Hortikultura yang dibentuk oleh Menteri yang keanggotaannya
terdiri dari unsur instansi terkait;
2 Dalam hal harga cabe (buah dari genus Capsicum) dengan Pos
Tarif/HS 0709.60.10.00 dan bawang merah segar untuk konsumsi
dengan Pos Tarif/HS 0703.10.29.00 di pasaran di bawah Harga
Referensi maka importasi cabe (buah dari genus Capsicum) dengan
Pos Tarif/HS 0709.60.10.00 dan bawang merah segar untuk
konsumsi dengan Pos Tarif/HS 0703.10.29.00 ditunda sampai harga
kembali mencapai Harga Referensi;
3 Harga Referensi cabe (buah dari genus Capsicum) dengan Pos
Tarif/HS 0709.60.10.00 dan bawang merah segar untuk konsumsi
dengan Pos Tarif/HS 0703.10.29.00 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dievaluasi sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga
Produk Hortikultura.

29
Dengan demikian impor cabe dan bawang merah didasarkan pada
ketetapan harga referensi dari Kementerian Perdagangan. Selanjutnya impor cabe
dan bawang merah dihentikan saat harga pasar domestik berada dibawah harga
referensi. Pada waktu sistem harga referensi diaktifkan maka untuk sementara
impor ditangguhkan terlepas dari apakah importir memiliki RIPH dan/atau
Persetujuan Impor. Impor cabe dan bawang merah dilanjutkan saat harga pasar
kembali mencapai harga referensi. Harga referensi adalah harga jual referensi
pada tingkat ritel yang dibentuk oleh Tim Pemantau Harga Produk Hortikultura.
Tim ini dibentuk oleh Menteri Perdagangan dan terdiri dari perwakilan dan
instansi terkait yang memiliki wewenang untuk mengevaluasi harga referensi
yang dapat dilakukan sewaktu-waktu. Dalam menentukan harga referensi Menteri
Perdagangan memperhitungkan, biaya operasional petani, margin keuntungan
petani, harga produk yang wajar untuk dijual kepada pelanggan8. Kementerian
Perdagangan dan Pertanian (Direktorat Impor, Direktorat Fasilitasi Impor Ekspor
dan Direktorat Primer dan Produk Strategis) bertanggungjawab untuk memantau
sistem harga referensi sementara harga cabe rawit dan bawang merah yang
dipantau oleh Biro Pusat Statistik Indonesia.9 Metodelogi dan Parameter harga
referensi tidak dipublikasikan.10 Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 118/PDN/KEP/10/2013 berlaku
dampaktif dari 3 Oktober 2013 dengan masing-masing harga referensi yang
ditetapkan sebagai berikut :11 Rp.26.300 per kg untuk cabe merah besar, Rp.
28.000 untuk cabe mata burung dan Rp. 25.700 untuk bawang merah.

8. Persyaratan Panen Enam Bulan untuk Impor Produk Hortikultura


Persyaratan bahwa semua produk hortikultura yang diimpor kurang dari 6
(enam) bulan setelah panen. Hal ini disebutkan dalam Pasal 8 Ayat 1a Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura bahwa

Produk hortikultura segar untuk konsumsi meliputi:


8
Ibid. Page. 35
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid. No. 38

30
- Foto copy IT-Produk Hortikultura dari Kementerian Perdagangan;
- Foto copy Angka Pengenal Importir Umum (API-U); dan
- Pernyataan tidak memasukkan produk hortikultura yang melebihi 6
(enam) bulan setelah panen.

Berdasarkan ketentuan ini, untuk memperoleh Rekomendasi Impor Produk Hortikultura


harus melampirkan pernyataan bahwa produk hortikultura yang diimpor kurang dari 6
(enam) bulan setelah panen.

9. Ketentuan Perizinan Impor untuk Produk Hortikultura secara Keseluruhan


Ketentuan perizinan impor untuk produk hortikultura secara keseluruhan terdiri
dari perizinan impor Indonesia untuk produk hortikultura seperti yang dipertahankan
melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 40 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura

10. Larangan Impor Hewan dan Produk Hewan Tertentu, kecuali dalam Keadaan
Darurat untuk Impor Hewan dan Produk Hewan.
Larangan ini terdiri dari larangan impor daging sapi, jeroan, bangkai dan produk
olahan yang tidak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 sebagaimana telah diubah. Larangan impor produk dari bukan jenis lembu
dan olahan yang tidak tercantum dalam Lampiran II dari Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk
Hewan sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah. Indonesia menerapkan ketentuan
ini berdasarkan Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah berbunyi sebagai
berikut :
Jenis Hewan dan Produk Hewan yang dapat diimpor sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I dan II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari peraturan menteri ini .

31
Selain itu berdasarkan Pasal 23 Ayat 3 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 02 Tahun 2015 bahwa

Dalam hal untuk memenuhi ketersediaan pangan, gejolak harga,


mengantisipasi terjadinya inflasi dan/atau bencana alam, Badan
Usaha Milik Negara dapat ditugasi oleh Menteri Badan Usaha
Milik Negara untuk memasukkan karkas dan/atau daging potongan
sekunder (secondary cut)

Berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan dapat diketahui bahwa hanya


hewan dan produk hewan yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri
Perdagangan dan Menteri Pertanian yang dapat diimpor ke Indonesia. Selanjutnya
Badan Usaha Milik Negara dapat melakukan impor Kakas dan/atau daging
potongan sekunder ke Indonesia yang bertujuan untuk memenuhi ketersedian
pangan, gejolak harga, mengantisipasi terjadinya inflasi dan/atau bencana alam.

11. Pembatasan Jangka Waktu Pengajuan Berkas Lamaran Impor dan Masa Berlaku
untuk Impor Hewan dan Produk Hewan
Ketentuan ini terdiri dari kombinasi persyaratan, termasuk larangan importir
untuk mengajukan Rekomendasi dan Persetujuan Impor diluar periode empat bulan.
Ketentuan ini diatur oleh Pasal 29 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014
tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 2 Tahun 2015 yakni :

Penerbitan Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


dilakukan 4 (empat) kali yaitu bulan Desember tahun sebelumnya,
Maret, Juni, dan September tahun berjalan.

Selanjutnya ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 dan 15 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan
sebagaimana telah diubah. Pasal 12 berbunyi sebagai berikut :

32
1. Permohonan Persetujuan Impor hewan dan produk impor
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 untuk :
a. Triwulan pertama periode bulan Januari – Maret hanya dapat
diajukan bulan Desember
b. Triwulan kedua periode bulan April – Juni hanya dapat
diajukan pada bulan Maret
c. Triwulan ketiga periode bulan Juli – September hanya dapat
diajukan pada bulan Juni
d. Triwulan keempat periode bulan Oktober – Desember hanya
dapat diajukan pada bulan September.
2. Persetujuan Impor diterbitkan setiap awal September;
3. Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat 3
huruf a berlaku 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya
Persetujuan Impor

Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

1. Certificate of Health di negara asal Hewan dan/atau Produk Hewan


yang akan diimpor diterbitkan setelah IT- Hewan dan Produk Hewan
memiliki Persetujuan Impor;
2. Nomor Persetujuan Impor dicantumkan dalam Certificate of Health
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

Berdasarkan ketentuan tersebut, dikeluarkannya rekomendasi dilakukan 4 (empat) kali


yaitu Desember tahun sebelumnya, dan Maret, Juni, dan September tahun berjalan.
Permohonan untuk Persetujuan Impor hewan dan produk hewan yang tercantum dalam
Lampiran 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Impor dan Ekspor Produk Hewan hanya dapat dilakukan sebagai berikut: (i) untuk
kuartal pertama (Januari sampai Maret), pada bulan Desember; (ii) untuk kuartal kedua
(April sampai Juni), dibulan Maret; (iii) untuk kuartal ketiga (Juli sampai September) di
bulan Juni; dan (iv) untuk kuartal ke empat (Oktober sampai Desember) di bulan
September. Persetujuan impor kemudian dikeluarkan pada setiap kuartal yang relevan
dan berlaku selama tiga bulan. Setelah mendapat Persetujuan Impor maka IT-Produk
Hortikultura akan mendapatkan Sertifikat Kesehatan.

12. Persyaratan Impor Berkala dan Tetap untuk Impor Hewan dan Produk Hewan

33
Persyaratan ini untuk hanya mengimpor hewan dan produk hewan di
dalam syarat Rekomendasi dan Persetujuan Impor, larangan mengimpor
jenis/kategori bangkai, daging, dan/atau produk olahannya selain yang ditentukan
dalam Persetujuan Impor dan Rekomendasi, dan larangan untuk meminta
perubahan pada elemen yang ditentukan dalam Rekomendasi yang telah
dikeluarkan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 30 dan 33 (a) – (b) dan 39 (e)
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas,
Daging, Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dan Pasal 30 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 Peraturan Menteri Pertanian Nomor
139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau Olahannya Ke
Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Rekomendasi
paling sedikit memuat :

a. Nomor Rekomendasi;
b. Nama, alamat pemohon, dan alamat tempat penyimpangan
berpendingin (cold storage);
c. Nomor dan tanggal surat permohonan;
d. Negara asal;
e. Nama dan nomor establishment unit usaha pemasok;
f. Jenis/kategori kakas, daging, dan/atau olahannya berserta kode HS;
g. Persyaratan teknis kesehatan masyarakat veteriner;
h. Tempat pemasukan;
i. Masa berlaku Rekomendasi; dan
j. Tujuan Penggunaan

Selanjutnya importir dilarang mengajukan perubahan negara asal, unit usaha asal,
tempat pemasukan, jenis/kategori kakas, daging, dan/atau olahannya terhadap
rekomendasi yang telah diterbitkan dan dilarang melakukan pemasukan
jenis/kategori karkas, daging, dan/atau olahannya selain yang tercantum dalam
rekomendasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 (a)-(b) Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Dan/Atau
Olahannya Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah. Importir yang melakukan impor hewan atau produk hewan yang jumlah,

34
jenis, unit usaha, dan/atau negara asal tidak sesuai dengan Persetujuan Impor
dan/atau tidak sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan harus
dilakukan re-ekspor atau harus diekspor kembali dengan biaya importir
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah.

13. Persyaratan Realisasi 80 % ( Delapan Puluh Persen) untuk Impor Hewan dan
Produk Hewan
Persyaratan ini dimana importir harus mengimporkan sekurang-kurangnya
80% (delapan puluh persen) dari masing - masing produk yang tercakup dalam
Persetujuan Impor Importir setiap tahun yang diatur dalam Pasal 13 Peraturan
Menteri Peradagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan
Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah yang berbunyi sebagai berikut :

IT-Hewan dan Produk Hewan yang telah memperoleh Persetujuan


Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat 3 huruf a wajib
merealisasikan impor hewan dan produk hewan paling sedikit 80%
(delapan puluh persen) dari akumulasi Persetujuan Impor selama1
(satu) tahun.

Selain itu, IT-hewan dan Produk hewan atau Perusahaan yang telah mendapatkan
Persetujuan Impor wajib menyampaikan laporan secara tertulis atas pelaksanaan
impor hewan atau produk hewan melalui http://inatrade.kemendag.go.id dengan
melampirkan fotokopi Kartu Kendali Realisasi Impor yang telah diparaf dan dicap
oleh petugas bea dan cukai, menyampaikan laporan distribusi sapi dan daging sapi
yang disampaikan setiap bulan paling lama 15 (lima belas) bulan berikutnya
kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Kementerian
Perdagangan), Kepala Badan Obat dan Makanan, dan Direktur Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Kementerian Pertanian) sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 Ketentuan
Impor dan Ekspor Produk Hewan. Tidak dapat melaksanakan kewajiban realisasi
Persetujuan Impor maka akan dibekukan menurut Pasal 26 Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan
sebagaimana telah diubah , jika sebanyak (dua) kali maka akan dicabut menurut

35
Pasal 27 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 Ketentuan Impor
dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah.

14. Penggunaan, Penjualan dan Distribusi Daging Sapi Impor dan Jeroan untuk
Impor Hewan dan Produk Hewan
Ketentuan ini terdiri dari beberapa persyaratan yang membatasi
penggunaan, penjualan dan distribusi impor hewan dan produk hewan, termasuk
daging sapi dan jeroan. Tujuan Impor Hewan berdasarkan Pasal 3 Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor
Produk Hewan sebagaimana telah diubah adalah untuk :

a. Meningkatkan mutu dan keragaman genetik;


b. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. Mengatasi kekurangan Benih, Bibit dan/atau Bakalan/ternak potong
di dalam negeri;
d. Memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan

Selain itu, beradasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46


Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah Impor Kakas, daging, dan/atau jeroan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan ini bertujuan untuk penggunaan dan
distribusi bagi industri, hotel, restoran, katering, dan/atau keperluan khusus
lainnya. Menurut Pasal 25 Ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah disebutkan bahwa IT-Hewan dan Produk Hewan yang telah mendapat
Persetujuan Impor wajib menyampaikan laporan distribusi sapi dan daging sapi
dengan bentuk laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V dan Lampiran
VI. IT-Hewan dan Produk Hewan akan dibekukan berdasarkan Pasal 26 Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tantang Ketentuan Impor dan Ekspor
Produk Hewan sebagaimana telah diubah, apabila perusahaan tidak dapat
melaksanakan kewajiban realisasi Persetujuan Impor dan tidak melaksanakan
kewajiban menyampaikan laporan distribusi sapi dan daging sapi. Keperluan
khusus lainnya impor daging jenis lembu, karkas dan/atau daging dari jenis selain
lembu dan produk daging olahan berdasarkan Pasal 32 Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau

36
Olahannya Kse Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2015 meliputi :

a. Kiriman hadiah atau hibah untuk keperluan ibadah, sosial, atau


kepentingan penanggulangan bencana;
b. Keperluan perwakilan negara asing/lembaga internasional beserta
penjabatnya yang bertugas di Indonesia;
c. Keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. Contoh yang tidak diperdagangkan (keperluan pameran) sampai
dengan 200 (dua ratus) kilogram.

Tujuan penggunaan impor yang pemasukannya dilakukan oleh Badan Usaha


Milik Negara yang ditugasi oleh Menteri Usaha Milik Negara untuk memasukkan
karkas dan/atau daging potongan sekunder (secondary cut) sesuai dengan Pasal 32
Ayat 4 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan
Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun
2015 bertujuan untuk stabilitas harga melalui kegiatan operasi pasar dan bencana
alam. Pelaku usaha, BUMN, BUMD, Lembaga sosial, atau Perwakilan Negara
Asing/Lembaga Internasional yang melanggar ketentuan Pasal 32 Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang tentang Pemasukan Karkas,
Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2015 dikenakan
sanksi berupa pencabutan rekomendasi, tidak diberikan rekomendasi berikutnya,
dan diusulkan kepada Menteri Perdagangan untuk mencabut Persetujuan Impor
(PI) dan status perusahaan sebagai Importir Terdaftar (IT) produk hewan yang
diatur dalam Pasal 39 (d) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014
entang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah .

15. Kebutuhan Pembelian Dalam Negeri untuk Daging Sapi untuk Impor Hewan
dan Produk Hewan
Ketentuan ini terdiri dari persyaratan yang dikenakan pada importir daging
ruminansia besar menyerap daging sapi lokal yang diatur dalam beberapa Pasal
yakni

37
Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah yang berbunyi sebagai berikut :

Pelaku usaha, Badang Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang melakukan
pemasukan daging ruminansia besar wajib menyerap daging lokal dari
rumah potong hewan yang telah memiliki Nomor Kontrol Veteriner.

Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah yang berbunyi sebagai berikut :

Permohonan Rekomendasi yang diajukan oleh Pelaku Usaha, Badan


Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah harus
dilengkapi persyaratan:
a. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan/atau identitas pimpinan
perusahaan;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);
d. Surat tanda daftar atau izin usaha di bidang peternakan dan
kesehatan hewan;
e. Akta pendirian perusahaan dan perubahannya yang terakhir;
f. Nomor Kontrol Veteriner (NKV);
g. Penetapan sebagai Importir Terdaftar (IT) produk hewan;
h. Surat keterangan bermaterai kepemilikan tempat penyimpanan
berpendingin (cold storage) dan alat transportasi berpendingin
disertai bukti/dokumen pendukungnya, kecuali untuk pemasukan
daging olahan siap saji yang tidak memerlukan fasilitas
berpendingin sebagaimana informasi pada label produk;
i. Rekomendasi dinas provinsi;
j. Mempunyai dokter hewan yang berkompeten di bidang
kesehatan masyarakat veteriner, dibuktikan dengan surat
pengangkatan atau kontrak kerja dari pimpinan perusahaan;
k. Laporan realisasi pemasukan periode sebelumnya;
l. Bukti penyerapan daging sapi lokal telah diverifikasi oleh
dinas provinsi dan/atau kabupaten/kota asal daging sapi lokal; dan
m. surat pernyataan bermaterai yang menyatakan bahwa
dokumen yang disampaikan benar dan sah.

Pasal 26 Ayat 1 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah yang berbunyi sebagai berikut :

38
Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
apabila tidak memenuhi persyaratan pemasukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal
13, Pasal 14, Pasal 17 dan/atau Pasal 23, diterbitkan surat penolakan
oleh Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen
kepada pelaku pemasukan secara online dan/atau langsung
(manual) dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan sesuai dengan Format-2.

Pasal 39 (b) – (c) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah yang berbunyi sebagai berikut :

Pelaku Usaha, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik


Daerah, Lembaga Sosial, atau Perwakilan Negara Asing/Lembaga
Internasional, yang melanggar ketentuan:
a. Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (4);
b. Pasal 5;
c. Pasal 24 Ayat (1) huruf k, huruf l, huruf m, Ayat (2) huruf h, Ayat
(3) huruf d, dan Ayat (4) huruf d;
d. Pasal 32; dan/atau
e. Pasal 33,
dikenakan sanksi berupa pencabutan rekomendasi, tidak
diberikan rekomendasi berikutnya, dan diusulkan kepada Menteri
Perdagangan untuk mencabut Persetujuan Impor (PI) dan status
perusahaan sebagai Importir Terdaftar (IT) produk hewan.

Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Importir yang akan


melakukan impor daging ruminansia besar harus terlebih dahulu menyerap
daging lokal dari rumah potong hewan yang telah memiliki Nomor Kontrol
Veteriner. Kemudian bukti penyerapan daging lokal dari rumah potong hewan
yang telah diverifikasi oleh dinas provinsi dan/atau kabupaten/kota asal
daging sapi lokal digunakan dalam pengajuan Rekomendasi Impor Importir.
Sanksi apabila importir melanggar ketentuan Pasal 5 dan Pasal 24 Ayat 1 maka
akan dikenakan pencabutan rekomendasi, tidak diberikan rekomendasi berikutnya,
dan diusulkan kepada Menteri Perdagangan untuk mencabut Persetujuan Impor
(PI) dan status perusahaan sebagai Importir Terdaftar (IT) produk hewan.

16. Harga Referensi Daging Sapi untuk Impor Hewan dan Produk Hewan
Harga referensi daging sapi terdiri dari implementasi sistem harga
referensi impor Lampiran I hewan dan produk hewan dan penghentian sementara
impor saat harga pasar domestik pemotongan daging sapi sekunder turun di bawah
harga referensi yang sudah ditentukan. Hal ini diatur dalam Pasal 14 Peraturan

39
Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor
Produk Hewan sebagaimana telah diubah yakni

1. Dalam hal harga daging sapi jenis potongan sekunder (secondery


cuts) di pasaran di bawah harga referensi maka importasi Hewan dan
Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Peraturan
Meteri ini ditunda importasinya sampai harga kembali mencapai
harga referensi;
2. Harga referensi daging sapi jenis potongan sekunder (secondery
cuts) sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sebesar Rp. 76.000,00
(tujuh puluh enam ribu rupiah);
3. Penetapan harga referensi daging sapi sebagaimana dimaksud pada
Ayat (2) dapat dievaluasi sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga
Daging Sapi yang dibentuk oleh Menteri yang keanggotaannya
terdiri dari unsur instansi terkait;
4. Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) Tim
Pemantau Harga Daging Sapi mengusulkan harga referensi kepada
Menteri untuk ditetapkan kembali menjadi harga referensi baru.

Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa dalam hal harga


daging sapi jenis potongan sekunder di pasaran di bawah harga referensi maka
importasi hewan dan produk hewan yang tercantum dalam lampiran I Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 46 tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor
Produk Hewan sebagaimana telah diubah, ditunda importasinya sampai harga
kembali mencapai harga referensi. Harga referensi daging sapi jenis potongan
sekunder adalah Rp. 76.000,00 (tujuh puluh enam ribu rupiah) yang penetapannya
dapat dievaluasi sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga Daging Sapi yang
dibentuk oleh Menteri. Kemudian berdasarkan hasil evaluasi Tim Pemantau Harga
Daging Sapi mengusulkan harga referensi kepada Menteri untuk ditetapkan
kembali menjadi harga referensi baru.

17. Aturan Perizinan Impor untuk Hewan dan Produk Hewan secara keseluruhan
Ketentuan ini terdiri dari rezim perizinan perizinan impor Indoesia untuk
Hewan dan Produk Hewan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan
sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam

40
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 2 Tahun 2015 secara keseluruhan.

18. Kecukupan Produksi dalam Negeri untuk Memenuhi Kebutuhan dalam Negeri
Ketentuan ini terdiri dari persyaratan dimana impor produk hortikultura,
hewan dan produk hewan tergantung kecukupan pasokan dalam negeri untuk
memenuhi permintaan domestik yang tercantum dalam beberapa Undang –
undang yakni meliputi :

Pasal 36B Undang – undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan
Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang Nomor
41Tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut :

Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam


wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila
produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri
belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat;
Pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus
berupa Bakalan;
Pemasukan Ternak ruminansia besar Bakalan tidak boleh melebihi
berat tertentu;
Setiap orang yang melakukan pemasukan Bakalan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (2) wajib memperoleh izin dari Menteri;
Setiap orang yang memasukkan Bakalan dari luar Negeri
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) wajib melakukan
penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah
dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan
Tindakan karantina berupa pelepasan;
Pemasukan Ternak dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat
(2) dan Ayat (3) harus:
Memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
Bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan
oleh Otoritas Veteriner; dan
Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang karantina Hewan.
Pemasukan Ternak dari luar negeri untuk dikembangbiakan di
Indonesia harus :
Memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
Bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan
oleh Otoritas Veteriner; dan
Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang karantina Hewan.

41
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan Produk
Hewan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) serta berat tertentu
sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Pasal 88 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura yang


berbunyi sebagai berikut :

Impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek :


-Keamanan pangan produk hortikultura;
-Ketersedian produk hortikultura dalam negeri;
-Penetapan sasaran produksi dan konsumsi produk
hortikultura;
-Persyaratan kemasan dan pelabelan;
-Standar mutu; dan
-Ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan
manusia, hewan, tunbuhan, dan lingkungan.
Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah mendapat izin
dari menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan setelah
mendapat rekomendasi dari Menteri;
Impor produk Hortikultura sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan;
Setiap orang dilarang mengedarkan produk segar hortikultura impor
tertentu yang tidak memenuhi standar mutu dan/atau keamanan
pangan;
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian rekomendasi
dari Menteri sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tata cara
penetapan pintu masuk sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), dan
produk segar hortikultura impor tertentu sebagaimana dimaksud
pada Ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 14 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang berbunyi


sebagai berikut :

1. Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam


negeri dan Cadangan Pangan Nasional;
2. Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan
Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 36 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang


berbunyi sebagai berikut :

42
1. Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan
dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di
dalam negeri.;
2. Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi
Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak
mencukupi;
3. Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan
Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga
pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang Pangan.

Pasal 30 Undang-undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan


Pemberdayaan Petani

1. Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat


ketersediaan Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi
kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah;
2. Kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Berdasarkan ketentuan undang-undang diatas, dapat diketahui bahwa importir


dilarang melakukan impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan pada
saat produksi produk hortikultura, hewan dan produk hewan domestik sudah
mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Selanjutnya importir dapat
melakukan impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan pada saat
produksi produk hortikultura, hewan dan produk hewan tidak mencukupi
kebutuhan konsumsi dalam negeri.

3.1.5 Ketentuan World Trade Organization (WTO) yang Dituduh telah Dilanggar
oleh Indonesia

Sebelum dibuat Panel, Amerika Serikat dan Selandia Baru mengklaim


bahwa 18 (delapan belas) Tindakan yang diberlakukan Indonesia tidak sesuai
dengan :

1. Pasal XI : 1 General Agreement on Tariff and Trade 1994 (GATT 1994)


yang berbunyi sebagai berikut :
Article XI

43
General Elimination of Quantitative Restriction

No Prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other


charges, whether made effective through quotas, import or
export licences or other measures, shall be instituted or
maintained by any contracting party on the importation of any
product of the territory of any other contracting party or on the
exportation or sale for export of any product destined for the
territory of any other contracting party.

Pasal XI
Penghapusan Pembatasan Kuantitatif Umum

Tidak ada larangan atau pembatasan selain bea, pajak atau biaya
lainnya, apakah dibuat efektif melalui kuota, lisensi impor atau
ekspor atau Tindakan lainnya, harus ditetapkan atau dipelihara
oleh setiap Anggota atas impor produk apapun dari wilayah
manapun pihak Anggota lain atau pada ekspor atau penjualan
untuk ekspor produk yang ditujukan untuk wilayah pihak
Anggota lainnya.

Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Anggota


World Trade Organization (WTO) dilarang melakukan larangan dan
pembatasan impor atau ekspor baik melalui kuota, lisensi impor atau
ekspor atau Tindakan lainnya kepada Anggota World Trade
Organization (WTO) lainnya selain untuk bea, pajak atau biaya
lainnya.

2. Pasal 4.2 Agreement on Agriculture (Perjanjian tentang Pertanian) yang


berbunyi sebagai berikut :

Article 4
Market Access
1. …
2. Members shall not maintain, resort to, or revert to any
measures of the kind which have been required to be converted
into ordinary customs duties, except as otherwise provided for
in Article 5 and Annex 5.

Pasal 4
Konsesi Akses Pasar

44
Anggota tidak boleh memelihara, menggunakan, atau kembali
ke Tindakan sejenis yang harus diubah menjadi bea cukai biasa,
kecuali sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Lampiran 5.
Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Anggota World
Trade Organization (WTO) dilarang mempertahankan, menggunakan atau
beralih ke Tindakan sejenis yang harus diubah menjadi bea cukai biasa.
Hal ini termasuk pembatasan impor kuantitatif dan harga impor minimum
yang juga mencakup langkah-langkah serupa selain bea cukai biasa.

3. Pasal 3.2 Agreement on Impor Licensing Procedures (Perjanjian atas


Prosedur Perizinan Impor) yang berbunyi sebagai berikut :

Article 3
Non-Automatic Import Licensing
1.
2. Non-automatic licensing shall not have trade-restrictive or
-distortive effects on imports additional to those caused by the
imposition of the restriction. Non-automatic licensing
procedures shall correspond in scope and duration to the
measure they are used to implement, and shall be no more
administratively burdensome than absolutely necessary to
administer the measure.
Pasal 3
Perizinan Impor Non-Otomatis

1…
2. Perizinan non-otomatis tidak boleh mengandung dampak
pembatasan perdagangan atau distortif terhadap impor tambahan
yang disebabkan oleh pengenaan pembatasan. Ketentuan
perizinan non-otomatis harus sesuai dalam lingkup dan durasi
penerapan yang mereka gunakan, dan tidak boleh secara
administratif memberatkan daripada yang benar-benar
diperlukan untuk mengelola Tindakan tersebut.
Berdasarkan ketentuan diatas bahwa perizinan impor non-
otomatis tidak boleh memiliki dampak pembatasan pada impor dan
tidak boleh memberatkan salah satu pihak.

45
4. Pasal III : 4 General Agreement on Tariff and Trade 1994 (GATT 1994)
yang berbunyi sebagai berikut :

Article III*
National Treatment on Internal Taxation and Regulation
1. ...
2. …
3. …
4. The products of the territory of any contracting party
imported into the territory of any other contracting party shall
be accorded treatment no less favourable than that accorded to
like products of national origin in respect of all laws,
regulations and requirements affecting their internal sale,
offering for sale, purchase, transportation, distribution or use.
The provisions of this paragraph shall not prevent the
application of differential internal transportation charges which
are based exclusively on the economic operation of the means of
transport and not on the nationality of the product.

Pasal III
Pemberlakuan Nasional Terhadap Perpajakan Internal dan
Regulasi
1 …
2. …
3. …
4. Produk dari wilayah dari setiap pihak yang melakukan
kontrak yang diimpor ke wilayah pihak anggota lainnya harus
diberi perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada
yang disesuaikan dengan produk asal nasional sehubungan
dengan semua undang-undang, peraturan dan persyaratan yang
mempengaruhi penjualan internal mereka, menawarkan untuk
penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau
penggunaan. Ketentuan dalam Ayat ini tidak mencegah
penerapan biaya pengangkutan internal diferensial yang semata-
mata didasarkan pada operasi ekonomi alat transportasi dan
bukan atas kewarganegaraan produk.

46
Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Anggota WTO
yang melakukan impor ke wilayah anggota WTO lainnya harus diberikan
perlakuan yang seimbang antara produk domestik dengan produk impor
yang diatur dengan Undang-undang, peraturan dan persyaratan yang
mempengaruhi penjualan, penawaran, pembelian, pengangkutan, distribusi
atau penggunaan.

Pendapat Penggugat dan Tergugat


Dengan ketentuan Impor Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan
yang diatur dalam Undang-undang dan Peraturan Menteri Pertanian serta
Peraturan Menteri Perdagangan mengakibatkan beberapa Negara Pengimpor
Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan dirugikan dengan ketentuan
Impor Indonesia. Dalam hal ini, Amerika Serikat dan Selandia Baru sebagai
Negara Pengimpor Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan merasa
dirugikan sehingga mengajukan gugatan kepada World Trade Organization
(WTO). Amerika Serikat dan Selandia Baru meminta untuk konsultasi dengan
Indonesia namun tidak membuahkan hasil. Selanjutnya Amerika dan Selandia
Baru meminta pembentukan Panel dengan gugatan sebagai berikut :

1) Pembatasan Jangka Waktu Pengajuan Berkas Lamaran Impor Dan Masa


Berlaku Ketentuan Perizinan Impor Indonesia Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1
GATT 1994.
Amerika Serikat berpendapat bahwa persyaratan ini merupakan
pembatasan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994 karena ketentuan impor Indonesia
menyebabkan periode beberapa minggu pada akhir satu semester dan di awal
periode selanjutnya ketika produk dari Amerika Serikat dan Anggota lain tidak
dapat diekspor ke Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat mengklaim bahwa
persyaratan ini bukan bea, pajak dan biaya lainnya sehingga berada dalam lingkup
Pasal XI : 1 GATT 1994. Menurut Amerika Serikat pengiriman Produk
Hortikultura untuk setiap semester tidak dapat dimulai sampai mendapatkan RIPH
dan Persetujuan Impor dikeluarkan. Hal itu dikarenakan importir yang
mengangkut barang impor ke Indonesia harus mendapatkan sebutan sebagai IT-

47
Produk Hortikultura, mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura
(RIPH) dari Kementerian Pertanian, dan mendapatkan Persetujuan Impor dari
Kementerian Perdagangan. Selanjutnya importir harus melakukan verifikasi atau
penelusuran teknis impor di pelabuhan muat negara asal. Amerika Serikat
berpendapat bahwa sekali sebuah IT-Produk Hortikultura memperoleh RIPH dan
Persetujuan Impor dan menempatkan impor untuk semester berikutnya,
diperlukan setidaknya empat sampai enam minggu produk hortikultura sampai ke
Indonesia dengan asumsi bahwa kapal-kapal Amerika Serikat segera masuk.
Selanjutnya menurut Amerika Serikat Indonesia memberlakukan kondisi
pembatasan impor dan memiliki dampak pembatasan langsung pada impor produk
hortikultura yaitu pembatasan berdasarkan Pasal XI : 1 dalam yurisprudensi
sebelumnya dalam laporan Panel di Colombia – Ports of Entry. Panel tersebut
mempertimbangkan sebuah Tindakan yang membatasi masuknya dua pelabuhan
impor produk tekstil dan pakaian jadi dari Panama dan menemukan bahwa
Tindakan tersebut memiliki dampak pembatasan terhadap impor karena
ketidakpastian termasuk akses ke satu pelabuhan untuk waktu yang lama dan
kemungkinan kenaikan biaya yang akan timbul untuk importir yang beroperasi
dibawah batasan pembatasan pelabuhan, membatasi peluang kompetitif untuk
impor yang tiba dari Panama. Sehingga Amerika Serikat membandingkan kasus
impor tersebut dengan ketentuan impor Indonesia yang dipermasalahkan. Amerika
Serikat berpendapat bahwa persyaratan impor Indonesia melampaui
ketidakpastian dan kemungkinan kenaikan biaya karena langkah-langkah impor
Indonesia beroperasi untuk sepenuhnya mengecualikan produk hortikultura
Amerika Serikat dari pasar Indonesia selama empat sampai enam minggu dari
setiap semester, dan dua sampai tiga bulan dari setiap tahun. Dengan adanya
langkah ketentuan perizinan impor yaitu jangka waktu pengajuan berkas lamaran
impor dan masa berlaku mencegah importir untuk menjual produknya ke
Indonesia sama sekali selama empat sampai enam minggu terakhir dari satu masa
berlaku dan awal berikutnya.
Selandia Baru mengklaim bahwa jangka waktu pengajuan berkas lamaran
impor dan masa berlaku yang terbatas untuk impor produk hortikultura di bawah

48
rezim perizinan impor memiliki dampak pembatasan sehingga bertentangan
dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia Baru berpendapat bahwa importir
hanya dapat mengajukan berkas lamaran impor untuk RIPH dan dan Persetujuan
Impor selama jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor menetapkan periode
validitas terbatas untuk impor produk hortikultura ke Indonesia. Selandia Baru
menjelaskan bahwa Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dikeluarkan
2 (dua) kali setahun untuk periode Januari sampai Juni dan Juli sampai Desember.
Periode Januari sampai Juni jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor untuk
RIPH adalah 15 (lima belas) hari sejak awal November tahun sebelumnya.
Periode Juli sampai Desember jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor
adalah 15 (lima belas) hari sejak awal Mei tahun berjalan. Persetujuan Impor
untuk IT-Produk Hortikultura, jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor
untuk periode Januari sampai Juni adalah bulan Desember dan untuk periode Juli
sampai Desember jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor adalah bulan
Juni. Selandia Baru menyapaikan bahwa sempitnya jangka waktu pengajuan
berkas lamaran impor dan dikombinasikan dengan musiman dan waktu yang
dibutuhkan untuk mengemas dan mengirim produk ke Indonesia secara negatif
mempengaruhi pemasok terutama jalur transportasi yang lebih lama. Selain itu,
impor Selandia Baru juga terganggu pada akhir setiap masa berlaku karena
importir tidak ingin mengambil risiko ketika produk tiba ke Indonesia setelah
masa berlaku impor telah berakhir. Dalam hal ini terjadi penurunan impor produk
hortikultura pada bulan pertama setiap masa berlaku, dan pada akhir setiap
periode, tercermin dalam statistik perdagangan ekspor apel dan bawang merah
Selandia Baru ke Indonesia. Mengutip keputusan Panel GATT sebelumnya di
Colombia-Ports of Entry dan Argentina yang telah dikonfirmasi bahwa Tindakan
yang membatasi akses pasar dapat merupakan pembatasan kuantitatif yang
bertentangan dengan Pasal XI : GATT 1994, Selandia Baru berpendapat bahwa
hal ini juga berlaku untuk persyaratan jangka waktu pengajuan berkas lamaran
impor dan masa berlaku terbatas karena membatasi peluang persaingan dan
memiliki dampak membatasi pada impor produk hortikultura sehingga
berlawanan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.

49
Indonesia berpendapat bahwa sistem perizinan impor untuk produk
hortikultura adalah sistem perizinan otomatis sehingga tidak melanggar Pasal XI :
1 GATT 1994. Jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor adalah yang
diizinkan berdasarkan Pasal 1 Ayat 6 Perjanjian atas Ketentuan Perizinan Impor
dan mengizinkan 15 (lima belas) hari kerja untuk jangka waktu pengajuan berkas
lamaran impor untuk mengajukan RIPH Produk Hortikultura. Selanjutnya semua
berkas lamaran impor untuk RIPH, Persetujuan Impor diajukan secara online di
http://inatrade.kemendag.go.id (Layanan Perizinan Perdagangan Menggunakan
Sistem Elektronik dan Online). Selain itu Indonesia mengizinkan impor produk
hortikultura secara terus menerus ke Indonesia, oleh karena itu jika Panel lebih
memilih untuk menilai setiap elemen perizinan impor Indonesia yaitu jangka
waktu pengajuan berkas lamaran impor dan masa berlaku tidak melanggar Pasal
XI : 1 GATT 1994. Indonesia menolak terdapat periode waktu dimana impor
dibatasi sebagai fungsi dari waktu proses pengajuan berkas lamaran impor.
Menurut Indonesia bahwa pangsa pasar dari banyak impor utama dari pengadu
bersama telah meningkat sejak penerapan rezim perizinan impor Indonesia saat
ini, berbera dengan argumen rekan penggugat bahwa rezim perizinan impor
memiliki dampak pembatasan perdagangan. Berdasarkan bukti tersebut, Indonesia
mengklaim bahwa jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor dan masa
berlaku perizinan impor Indonesia untuk produk hortikultura segar sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994.
2) Persyaratan Impor Berkala dan Tetap tidak sesuai dengan Pasal XI : 1
GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa persyaratan impor berkala dan tetap
merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994 dan persyaratan
tersebut bukan bea, pajak atau biaya lainnya. Oleh karena itu, dalam lingkup Pasal
XI : 1 GATT 1994 Indonesia membatasi impor produk hortikultura untuk produk
jenis, jumlah, negara asal dan pelabuhan masuk yang terdaftar di RIPH dan
Persetujuan Impor yang diberikan di awal setiap semester dan melarang impor
produk hortikultura dari jenis lain, dari asal yang berbeda atau ke pelabuhan yang
berbeda tanpa izin yang sah. Selanjutnya hanya beberapa impor tertentu

50
sebagaimana tercantum dalam RIPH dan Persetujuan Impor diperbolehkan
memasuki wilayah Indonesia selama semester tersebut. Amerika Serikat
berpendapat bahwa sebuah Tindakan adalah pembatasan jika hal itu
memberlakukan pembatasan impor, syarat pembatasan impor atau memiliki
dampak pembatasan pada impor. Pada waktu Indonesia menerbitkan RIPH dan
Persetujuan Impor, importir tidak dapat mengubah spesifikasi yang tercantum atau
mengajukan permohonan untuk mengimpor produk baru atau tambahan sehingga
importir tidak dapat memanfaatkan peluang besar atau mengurangi risiko yang
melekat dalam rantai pasokan global. Dalam hal ini Amerika Serikat menyiratkan
bahwa :
a. Impor produk tertentu yang tidak disetujui RIPH dan Persetujuan Impor
pada awal periode impor dilarang secara efektif sampai periode
berikutnya;
b. Hanya jumlah tertentu dari setiap jenis produk yang dapat diimpor sampai
periode berikutnya;
c. Produk dari Anggota WTO lainnya dibatasi pada jumlah yang awalnya
diminta oleh importir;
d. Jika pelabuhan masuk tidak lagi tersedia atau layak secara komersial untuk
digunakan, produk tidak dapat masuk melaui pelabuhan masuk yang
berbeda.
Dengan demikian Amerika Serikat mengklaim bahwa jenis, jumlah, negara asal
dan persyaratan masuk pelabuhan yang diberlakukan melaluin RIPH dan
Persetujuan Impor adalah pembatasan impor, syarat pembatasan impor atau
memiliki dampak pembatasan pada impor dan merupakan pembatasan dalam arti
Pasal XI : 1 GATT 1994. Selanjutnya Amerika Serikat membandingkan kasus
Ketentuan Perizinan Impor Indonesia ini dengan kasus India-Autos yang telah
diputus Panel, dalam hal tersebut Panel menemukan pemberlakuan persyaratan
keseimbangan perdagangan bahwa ekspor perusahaan tidak setara nilainya dengan
impor mereka adalah pembatasan yang bertentang dengan Pasal XI : 1 GATT
1994 karena importir tidak bebas melakukan impor.
Selandia Baru menyampaikan bahwa Persetujuan Impor yang harus
memperoleh sebutan IT-Produk Hortikultura menetukan jumlah produk yang
dapat diimpor selama masa berlaku dan jumlah yang ditentukan dalam

51
Persetujuan Impor merupakan jumlah maksimum produk yang dapat diimpor pada
masa berlaku impor. Selain itu, dengan penentuan persyaratan impor pada awal
masa berlaku dan tidak membiarkan persyaratan tersebut diubah selama masa
berlaku impor. Rezim perizinan impor Indonesia tersebut mememiliki dampak
yaitu melarang impor dari negara lain daripada yang tercantum dalam izin impor
dan melarang impor yang tiba di pelabuhan Indonesia yang tidak disebutkan
dalam RIPH dan Persetujuan Impor. Dengan pembatasan, importir memiliki lebih
sedikit kesempatan untuk mengimporkan produk hortikultura ke Indonesia
sehingga berdampak pada peluang kompetitif yang tersedia untuk produk impor.
Dengan demikian Selandia Baru mengklaim bahwa Persyaratan ketentuan
perizinan impor untuk impor berkala dan tetap merupakan pembatasan impor
karena membatasi impor terhadap produk, jumlah, sumber dan pelabuhan masuk
yang ditetapkan dalam Persetujuan Impor sehingga menghapus kemampuan
importir untuk menanggapai kekuatan pasar dan faktor eksternal yang terjadi
selama masa berlaku.
Indonesia berpendapat bahwa persyaratan impor seperti jenis, jumlah,
negara asal, dan pelabuhan masuk dipilih oleh importir, oleh karena itu
merupakan Tindakan yang tidak ditetapkan oleh Indonesia sehingga Persyaratan
impor tersebut berada diluar lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Selain itu importir
bebas untuk mengubah persyaratan impor dari berkas lamaran pengajuan impor ke
berkas lamaran pengajuan impor berikutnya dalam arti bahwa persyaratan hanya
statis selama satu masa berlaku dan hal ini tidak menempatkan batasan pada
persyaratan yang diidentifikasi importir selain persyaratan realisasi.

3) Persyaratan Realisasi Impor 80 % (Delapan Puluh Persen) tidak sesuai


dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika serikat mengklaim bahwa persyaratan IT-Produk Hortikultura
mengimpor setidaknya 80 % (delapan puluh persen) dari jumlah yang ditentukan
untuk setiap jenis produk hortikultura atas Persetujuan Impor yang menyebabkan
importir mengurangi jumlah produk yang mereka minta izin dan mungkin
membuat importir tidak memenuhi syarat untuk mengimpor produk juka konsisi
ini tidak terpenuhi merupakan pembatasan impor dalam arti Pasal XI : 1 karena

52
tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Selain itu persyaratan ini bukan
merupakan bea, pajak dan biaya lainnya sehingga berada dalam lingkup Pasal XI :
1 GATT 1994. Selain itu, untuk memantau kepatuhan IT-Produk Hortikultura,
Indonesia setiap IT-Produk Hortikultura untuk menyerahkan Kartu Kontrol
Realisasi bulanannya, yang menjelaskan jumlah impor yang direalisasi. Apabila
IT-Produk Hortikultura gagal memenuhi persyaratan 80 % atau gagal mengajukan
Kartu Kontrol Realisasi maka Penunjukan IT-Produk Hortikultura dutangguhkan.
Amerika Serikat memberikan contoh pada impor cabe dan bawang merah karena
persyaratan harga referensi untuk produk ini diimpor dengan jumlah yang besar
dengan jangka waktu yang singkat untuk memenuhi realisasi bahkan lebih
beresiko, yang mungkin menyebabkan harga turun dibawah harga referensi. Oleh
karena itu Amerika Serikat menyatakan bahwa persyaratan realisasi merupakan
pembatasan atau kondisi pembatasan impor atau Tindakan dengan dampak
pembatasan impor karena importir dikenai persyaratan sebagai syarat untuk
menerima izin untuk mengimpor dan kegagalan untuk memenuhi sehingga dapat
mengakibatkan tidak memenuhi syarat untuk diimpor dalam periode mendatang.
Amerika Serikat membandingkan kasus ketentuan perizinan impor ini dengan
kasus yang telah diputus oleh Panel di India – Autos bahwa Panel menemukan
ukuran yang memaksakan persyaratan bahwa importir menyeimbangkan nilai
perangkat otomatis yang diimpor dengan nilai ekspor mereka dari India memiliki
dampak pembatasan impor dan merupakan pembatasan menurut Pasal XI : 1
GATT 1994.
Selandia Baru mengklaim bahwa dampak dari persyaratan realisasi impor
80% (delapan puluh persen) adalah untuk membatasi jumlah impor yang diminta
importir dalam izin impor produk hortikultura karena mendorong importir untuk
membatasi sendiri jumlah impor yang mereka minta dalam lisensi impor produk
hortikultura mereka sehingga tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Dalam
hal ini Seladia Baru menyampaikan bahwa IT-Produk Hortikultura dilarang
melakukan impor produk hortikultura pada masa berlaku selanjutnya jika importir
gagal melakukan realisasi 80% dari jumlah masing-masing jenis produk yang
tercantum dalam Persetujuan Impor dan gagal menyerahkan Kartu Kontrol

53
Realisasi Impor setiap bulan sebagai penunjukan kepatuhan. Mengingat
konsekuensinya, membuat importir memiliki dorongan kuat untuk memenuhi
persyaratan realisasi impor 80% (delapan puluh persen). Dampak pembatasan
impor ini diperperah dalam hal digabungkan dengan persyaratan ke-dua karena
persyaratan impor seperti jumlah, jenis, produk, pelabuhan masuk dan negara asal
terkunci sebelum dimulainya masa berlaku. Oleh karen itu, Selandia Baru
menyampaikan bahwa Tindakan ini bertindak sebagai pembatasan impor.
Indonesia berpendapat bahwa persyaratan realisasi 80% (delapan puluh
persen) tidak merupakan pembatasan dalam arti Pasal IX : 1 GATT 1994 karena
surat pernyataan penggugat didasarka pada tidak lebih dugaan secara anekdot, dan
mereka belum mempresentasikan bukti bahwa persyaratan realisasi memiliki
dampak buruk terhadap arus perdagangan. Menurut Indonesia persyaratan ini
tidak dimaksudkan untuk membatasi impor dan tidak ada batas maksimal jumlah
impor yang diimpor oleh importir dalam masa berlaku tertentu. Indonesia juga
menyampaikan para penggugat telah gagal untuk menunjukkan bahwa impor
secara keseluruhan mengalami penurunan sebagai akibat dari persyaratan
realisasi. Indonesia selanjutnya menyampaikan bahwa Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 5 Tahun 2016 untuk produk hewan dan hewan, dan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 17 Tahun 2015 untuk produk hortikultura telah
menghilangkan persyaratan realisasi 80% (delapan puluh persen) sehingga hal
tersebut tidak berlaku di Indonesia.

4) Persyaratan Masa Panen Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994


Amerika Serikat mengklaim bahwa Indonesia membatasi impor produk
hortikultura berdasarkan periode panen di Indonesia untuk produk domestik.
Pembatasan tersebut merupakan pembatasan impor yang tidak sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994 dan persyaratan ini bukan merupakan bea, pajak atau
biaya lainnya sehingga berada dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Menurut
Amerika Serikat berpendapat bahwa persyaratan waktu panen adalah pembatasan
atau kondisi pembatasan impor atau Tindakan dengan dampak pembatasan impor
sejak melalui proses pengajuan berkas lamaran impor RIPH. Melalui proses RIPH
Kementerian membatasi impor produk hortikultura sehingga Kementerian

54
Pertanian mewajibkan IT-Produk Hortikultura menyampaikan rencananya kapan
akan mendistribusikan produk hortikultura selama setiap semester. Selanjutnya
Indonesia membatasi impor produk hortikultura selama musim panen dan
melarang impor produk hortikultura tertentu untuk melindungi produk dalam
negeri yang sama. Amerika Serikat menyampaikan volume Impornya ke
Indonesia berdasarkan data impor Indonesia yang menunjukkan dampak
pembatasan impor Indonesia berdasarkan periode Panen yaitu sebagai berikut :
- Tahun 2011 Indonesia mengimpor mangga sekitar 980.000 kilogram
- Tahun 2012 Indonesia mengimpor mangga sekitar 1 juta kilogram
- Tahun 2013 Indonesia mengimpor mangga sampai 119.000 kilogram
- Tahun 2014 Indonesia mengimpor mangga sampai 233.466 kilogram
Berdasarkan data tersebut Amerika Serikat menyampaikan bahwa kuantitas
impornya turun drastis setelah diundangkannya Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura.
Selanjutnya Amerika Serikat mengingat Panel di Turki – Rice dalam konteks Pasal
4.2 Agreement on Agriculture, tentang penangguhan Turki untuk mengeluarkan
izin impor selama periode panen lokal untuk memastikan penyerapan produksi
beras lokal, Panel tersebut menemukan bahwa membatasi impor beras untuk
periode tertentu merupakan pembatasan impor kuantitatif. Menurut Amerika
Serikat kasus tersebut sama halnya dengan dengan persyaratan perizinan impor
Indonesia berdasarkan masa panen di Indonesia memberi batasan pada impor
produk hortikultura dan memiliki dampak yang membatasi pada jumlah impor
yang diperbolehkan masuk ke Indonesia.
Selandia Baru mengklaim sebagai larangan atau pembatasan impor produk
hortikultura, persyaratan masa panen di Indonesia merupakan pembatasan
kuantitatif yang dilarang oleh Pasal XI : 1 GATT 1994. Dalam hal ini Indonesia
melarang impor produk hortikultura tertentu selama masa panen di Indonesia yang
memiliki dampak membatasi produk impor untuk bersaing di pasar domestik.
Menurut Selandia Baru, pembatasan impor produk hortikultura Indonesia
diketahui dalam hal bahwa Departemen Pertanian menahan atau membatasi
jumlah yang disetujui dalam RIPH periode panen, panen dan pasca panen produk
hortikultura Indonesia. Selandia Baru mengklaim bahwa pada awal Mei 2015,
Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa untuk paruh kedua tahun 2015 impor

55
produk tertentu harus dibatasi karena produksi Indonesia selama periode yang
sama sehingga Kementerian Pertanian merekomendasikan bahwa tidak ada impor
bawang merah, cabe,mangga, pisang, melon, pepaya, atau nanas dan impor jeruk
dan jeruk mandarin dibatasi pada periode Oktober sampai Desember. Selandia
Baru juga menunjukkan laporan impor buah Indonesia yang mengkonfirmasi
bahwa pada akhir Mei 2015, Kementerian Pertanian bermaksud melarang impor
jeruk kecuali lemon anatara periode panen Juli dan September.
Indonesia mengklaim bahwa persyaratan masa panen dikecualikan dari
Pasal XI : 1 karena untuk melindungi kehidupan, kesehatan manusia, hewan atau
tumbuhan sesuai dengan Pasal XX (b) dari GATT 1994. Pasokan Produk
Hortikultura segar di wilayah tertentu kepulauan Indonesia yang luas
menyebabkan konsekuensi bencana karena iklim khatulistiwa sehingga
mempercepat penguraian produk hortikultura segar yang kemudian membusuk
karena penyebaran bakteri pantogen tertentu yang nantinya menimbulkan masalah
kesehatan serius. Oleh karena itu, dengan tidak adanya koordinasi impor dengan
waktu panen domestik, stok produk hortikultura segar yang membusuk
kemungkinan akan menyebabkan ancaman kesehatan masyarakat yang serius.
Sehingga impor diarahkan kembali selama periode panen dalam negeri yang
bertujuan untuk memastikan keamanan pangan. Indonesia juga menyampaikan
bahwa Tindakan ini atau persyaratan masa panen dibenarkan berdasarkan Pasal XI
: 2 (c) (ii) karena untuk bertujuan untuk mencegah kelebihan pasokan produk
hortikultura segar tertentu yang dapat menimbulkan bencana. Selain itu menurut
Indonesia persyaratan ini diberlakukan mengingat Indonesia selalu menjadi
negara Agraris dan sebagian warganya adalah petani yang menimbulkan produk
pertanian tertentu melimpah di Indonesia seperti mangga, durian, kentang, wortel,
pisang, pepaya, nanas dan melon yang diproduksi di setiap provinsi di Indonesia.

5) Persyaratan Kepemilikan dan Kapasitas Penyimpanan Tidak Sesuai


dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa persyaratan Indonesia bahwa importir
dalam mengimpor produk hortikultura segar harus memiliki fasilitas penyimpanan
untuk menerima sebutan IT-Produk Hortikultura dan mendapatkan RIPH serta

56
jumlah yang ditentukan dalam Persetujuan Impor tidak dapat melebihi kapasitas
fasilitas penyimpanan merupakan pembatasan di dalam makna Pasal XI : 1 GATT
1994 karena persyaratan ini tidak termasuk bea, pajak dan biaya lainnya oleh
karena itu tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Amerika Serikat berpen
dapat bahwa persyaratan kepemilikan penyimpanan dan kapasitas penyimpanan
juga mempengaruhi peluang persaingan produk impor dengan menciptakan biaya
penyimpanan yang memberatkan hingga mahal.
Menurut Selandia Baru, rezim perizinan impor Indonesia untuk produk
hortikultura mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan sebutan IT-Produk
Hortikultura dan mendapatkan RIPH, importir harus memiliki fasilitas
penyimpanan yang sesuai dengan jenis dan jumlah produk yang diimpor. Selandia
Baru berpendapat bahwa persyaratan ini memiliki dampak pembatasan pada
impor sehingga tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena dua alasan :
a. Persyaratan untuk memiliki fasilitas penyimpanan dengan kapasitas yang
sesuai dan memberatkan pada importir yang menyewa atau memiliki
fasilitas penyimpanan yang dibutuhkan;
b. Memungkinkan Indonesia untuk menempatkan batas atas jumlah produk
hortikultura yang diimpor diperbolehkan masuk ke pasar sesuai dengan
ukuran kapasitas penyimpanan yang dimiliki importir.
Selandia Baru lebih lanjut menyampaikan bahwa dampak ini diperparah oleh
persyaratan untuk memiliki daripada menyewa atau memiliki akses fasilitas
penyimpanan dengan kapasitas yang dipersyaratkan. Dalam hal ini, Selandia Baru
mengacu pada Panel di Brazil- Retreaded Tyres yang menganggap bahwa ada
pembatasan impor dimana Tindakan tersebut bertindak sebagai disinsentif
terhadap impor dengan membuatnya sangat mahal. Selandia Baru berpendapat
bahwa kepemilikan penyimpanan dan kapasitas penyimpanan memberikan beban
yang signifikan kepada importir yang tidak terkait dengan aktivitas normal impor.
Selain itu, Indonesia telah gagal untuk menjelaskan mengapa importir perlu
memiliki kapasitas penyimpanan, mengapa importir tidak dapat menyewa atau
memperoleh akses ke kapasitas penyimpanan yang sesuai dan mengapa importir
perlu memiliki kapasitas penyimpanan yang harus sama dengan jumlah produk
yang diimpor. Dalam hal kapasitas penyimpanan yang dimiliki tidak sesuai
dengan temuan audit Kementerian Peradagangan, importir diwajibkan untuk

57
mengajukan permohonan kembali untuk pendaftaran sebagai Importir Terdaftar
dan menentukan pada berkas lamaran impor kapasitas penyimpanan yang
ditentukan oleh Kementerian Perdagangan.
Indonesia berpendapat bahwa persyaratan kepemilikan penyimpanan
bukanlah pembatasan impor dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994 karena Indonesia
tidak membatasi jumlah kapasitas penyimpanan yang dapat diperoleh importir,
sama seperti tidak membatasi jumlah barang yang dapat diimpor importir selama
masa berlaku tertentu. Menurut Indonesia, setiap pembatasan yang diterapkan
pada kemampuan importir untuk mengimpor berlaku sendiri dan persyaratan ini
hanyalah ukuran pengaman makanan yang tidak mengganggu volume
perdagangan.

6) Persyaratan Penggunaan, Penjualan, dan Distribusi untuk Produk


Hortikultura Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa pembatasan impor produk hortikultura
Indonesia berdasarkan penggunaan, penjualan, dan pengalihannya adalah
pembatasan dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994 karena persyaratan ini adalah
bukan bea, pajak atau biaya lainnya yang berada dalam lingkup Pasal XI : 1
GATT 1995. Menurut Amerika Serikat pembatasan persyaratan ini
diimplementasikan oleh Indonesia dengan ketentuan bahwa IT-Produk
Hortikultura hanya dapat menjual produk hortikultura kepada distributor dan
dilarang menjual langsung kepada konsumen dan pengecer, sedangkan untuk IP-
Produk Hortikultura hanya dapat mengimpor produk hortikultura sebagai bahan
baku dalam proses produksi industri dan dilarang menjuat produk hortikultura ke
entitas lain apabila melanggar maka akan dicabut penetapan importir sebagai IT-
Produk Hortikultura atau IP-Produk Hortikultura. Amerika Serikat selanjutnya
menyatakan bahwa pembatasan penjualan, penggunaan produk impor adalah
pembatasan impor atau memiliki dampak pembatasan impor karena importir tidak
boleh mengimpor dan menjual sesuai dengan pertimbangan komersial, namun
hanya diizinkan sebagai status importir. Selain itu, pembatasan di Indonesia juga
meningkatkan biaya terkait impor karena dalam kasus IT-Produk Hortikultura,
pengecer seperti Supermarket dan penjual buah tidak bisa mengimpor produk

58
hortikultura sendiri dan tidak dapat membeli langsung dari IT-Produk Hortikultura
sehingga memaksa importir dan pengecer mengandalkan distributor dalam model
bisnis mereka, yang pada gilirannya memperpanjang rantai pasokan dan
meningkatkan biaya yang terkait dengan impor. Berkenaan dengan IP-Produk
Hortikultura, Amerika Serikat mengklaim bahwa pembatasan importir pada
penjualan dan penggunaan impor produk hortikultura menciptakan limbah dan
meningkatkan biaya yang tidak perlu menggunakan produk impor dalam proses
produksinya sejak pembatasan penjualan dan pemindahtangankan produk impor
yang termasuk IP-Produk Hortikultura untuk menghancurkan kelebihan produk
atau menanggung biaya penyimpanannya. Selanjutnya, Amerika Serikat
mengklaim bahwa Panel di India – Quantitative Restriction mempertimbangkan
sebuah rezim impor yang juga memasukkan pembatasan penggunaan. Panel
tersebut mendapati bahwa pembatasan impor karena menghalangi impor untuk
dijual kembali dengan perantara yaitu distribusi ke konsumen yang tidak dapat
diimpor secara langsung untuk penggunaan mereka sendiri adalah dibatasi .
Amerika Serikat mengklaim bahwa pembatasan penggunaan dan penjualan di
Indonesia beroperasi dengan cara yang sama, karena hal itu menghalangi impor
produk hortikultura dalam kasus IT-Produk Hortikultura untuk dijual langsung ke
pengecer dan konsumen dan dalam kasus IP-Produk Hortikultua untuk menjual
ke entitas lain.
Selandia Baru mengklaim bahwa pembatasan pengguanaan, penjualan dan
distribusi produk hortikultura di Indonesia dirancang untuk memiliki dampak
pembatasan mengenai produk yang dapat diimpor ke Indonesia yang membuat
disinsentif untuk impot dan menempatkan beban yang tidak semestinya pada
impor dengan demikian pembatasan tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Menurut Selandia Baru penetapan IT-Produk Hortikultura hanya dapat
memperdagangkan produk hortikultura ke distributor dan dilarang melakukan
perdagangan produk impor langsung ke konsumen atau pengecer. Sedangkan
untuk penetapan IP-Produk Hortikultura hanya dapat mengimpor produk
hortikultura untuk bahan baku produksi industri dan dilarang melakukan
perdagangan produk yang diimpor. Dalam hal importir tidak mematuhi ketentuan

59
ini maka penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura dan IP-Produk Hortikultura
akan dicabut. Dampak dari pembatasan ini adalah ketidakmampuan IT-Produk
Hortikultura untuk menyalurkan produk hortikultura tertentu secara langsung
kepada konsumen atau pengecer dan IP-Produk Hortikultura harus menggunakan
semua produk hortikultura yang diimpor untuk memproses atau menghancurkan
atau mengekspor kembali produk yang tidak terpakai. Selandia Baru
menyampaikan bahwa yurisprudensi WTO memperjelas bahwa pembatasan atau
dampak pembatasan suatu Tindakan harus dilakukan harus pada impor sendiri,
dan bahwa ungkapan pembatasan…atas impor telah ditafsirkan sebagai
pembatasan berkenaan dengan atau dalam kaitannya dengan impor produk.
Menurut Selandia Baru harus ada kaitannya antara dampak pembatasan dan impor
produk. Selandia Baru berpendapat dalam perselisihan ini, terdapat hubungan
yang jelas antara dampak pembatasan penggunaan, penjualan dan distribusi yang
terdaftar sebagai produk hortikultura dan impor tersebut ke Indonesia. Hal ini
diilustrasikan oleh fakta bahwa penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura dan IP-
Produk Hortikultura tidak akan diterbitkan kecuali importir mengajukan sebagai
bukti penerapan kontrak distribusi dan pernyataan bahwa importir tidak akan
menjual langsung kepada konsumen (dalam kasus IT-Produk Hortikultura) atau
bukti izin usaha industri (dalam kasus IP-Produk Hortikultura) dan dalam hal
importir gagal memenuhi ketentuan ini maka akan mendapatkan sanksi.Selandia
Baru juga menyampaikan bahwa di India-Pembatasan Kuantitatif, Panel
menemukan bahwa India mempertahankan rezim perizinan impor yang mencakup
persyaratan bahwa hanya entitas yang dapat mengimpor barang tertentu sehingga
Panel menyimpulkan bahwa kondisi tersebut merupakan pembatasam impor
karena menghalangi impor produk untuk dijual kembali ke perantara yang
beroperasi sebagai pembatasan berdasarkan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Indonesia mempertahankan bahwa persyaratan penggunaan, penjualn dan
distribusi untuk membedakan penetapan IT-Produk Hortikultura dan IP-Produk
Hortikultura yang dipeuntukan hanya untuk tujuan statistik yang memungkinkan
pemantauan produk hortikultura yang digunakan untuk konsumsi langsung dan

60
yang digunakan sebagai bahan baku, menurut Indonesia ketentuan ini sama sekali
tidak membatasi jumlah impor produk hortikultura.

7) Harga Referensi untuk Cabe dan Bawang Merah Tidak Sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa persyaratan ini bukan kewajiban bea,
pajak dan biaya lainnya dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994 dan persyaratan
ini merupakan larangan atau pembatasan berdasarkan Pasal XI : 1 GATT 1994
karena membatasi impor produk hortikultura dalam periode harga pasar tetap di
atas tingkat yang ditentukan pemerintah dan merupakan larangan dalam periode
harga pasar turun dibawah tingkat tersebut. Dalam hal ini, impor cabe dan bawang
merah segar harus mengamati harga referensi yang ditetapkan oleh Kementerian
Perdagangan dan jika harga pasar cabe atau bawang merah segar berada dibawah
harga referensi masing-masing yang mensyaratkan bahwa impor akan ditunda
sampai harga pasar kembali mencapai harga referensi. Menurut Amerika Serikat
dengan adanya pembatasan impor yaitu ancaman larangan luas semacam itu
mengurangi insentif untuk impor. Selain itu Amerika Serikat menyampaikan
bahwa harga referensi Indonesia serupa dengan persyaratan harga minimum impor
yang telah ditemukan Panel sebelumnya sebagai pembatasan berdasarkan Pasal XI
: 1 dalam Panel di China-Raw Materials yang ditangani oleh dua Panel GATT
yang menyimpulkan bahwa persyaratan tersebut adalah pembatasan menurut
Pasal XI : 1 GATT 1994. Menurut Amerika Serikat, persyaratan harga referensi
bahkan lebih kategoris daripada harga minimum impor atau harga ekspor
minimum yang ditemukan sebagai pembatasan oleh Panel sebelumnya karena
melarang impor dari cabe dan bawang merah setelah harga referensi tercapai,
tidak hanya impor yang dijual dengan harga dibawah harga referensi tersebut.
Selandia Baru mengklaim bahwa ketentuan ini yang menyediakan harga
referensi untuk cabe dan bawang merah segar untuk konsumsi tidak sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994 karena impor cabe dan bawang merah segar dilarang
pada saat harga domestik produk tersebut berada dibawah harga referensi dan
ditunda sampai harga domestik melebihi harga acuan. Menurut Selandia Baru,
yang didasarkan oleh data statistik Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada impor

61
cabe yang terjadi bulan Februari, Maret, April 12015 karena harga cabe merah
domestik pada bulan-bulan ini lebih rendah dari harga referensi sehingga impor
akan ditunda. Demikian pulan tidak ada impor bawang merah pada bulan Januari
2015 ketika harga domestik lebih rendah dari harga referensi. Bagi Selandia Baru,
penurunan impor cabe dari 5349,5 ton pada tahun 2011 menjadi 29,5 ton pada
tahun 2014, ketika harga cabe domestik sebagian besar lebih rendah dari harga
referensi, sehingga Selandia Baru memberikan argumen bahwa sistem harga
referensi memiliki dampak pembatasan impor. Selandia baru juga menyatakan
bahwa harga referensi cabe dan bawang merah Indonesia setara dengan
persyaratan harga minimum dalam Panel China-Raw Materials, penel tersebut
mempertimbangkan konsistensi atau membatasi ekspor dibawah harga tertentu
dan menemukan bahwa persyaratan China merupakan pembatasan berdasarkan
Pasal XI : 1 GATT 1994 yang memiliki dampak membatasi. Selandia Baru lebih
lanjut berpendapat bahwa harga referensi juga menciptakan ketidakpastian
berdasarkan Panel di Chile – Price Band System bahwa ketidakpastian yang
diciptakan oleh suatu Tindakan dapat merupakan pembatasan dalam makna Pasal
XI : 1 GATT 1994.
Indonesia berpendapat bahwa harga referensi untuk cabe dan bawang
merah bukan merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994. Dalam
hal ini, Indonesia menyampaikan bahwa sistem harga referensi untuk cabe dan
bawang merah adalah Tindakan sementara yang diperlukan untuk menghapus
surplus produk domestik, sehingga dibenarkan berdasarkan Pasal XI : 2 (c) (ii)
GATT 1994. Harga referensi untuk cabe dan bawang merah adalah salah satu alat
yang digunanakan untuk melindungi dari bahaya kelebihan pasokan makanan
yang mudah rusak dalam iklim khatulistiwa yang panas dan kosekuensi dari
volatilitas harga yang ekstrim terhadap tersedianya pasokan cabe dan bawang
merah segar dalam persediaan makanan Indonesia. Harga referensi ditetapkan
dengan mempertimbangkan elemen termasuk penawaran dan permintaan produk
yang bersangkutan di pasar lokal dan dalam hal harga pasar turun di bawah harga
referensi Indonesia mengindikasikan bahwa adanya kelebihan pasokan produk
tersebut di pasar domestik.

62
8) Persyaratan Panen Enam Bulan Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT
1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa Indonesia mensyaratkan semua produk
hortikultura segara yang diimpor harus telah dipanen kurang dari enam bulan
sebelum impor merupakan pembatasan yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1
GATT 1994, dalam hal ini persyaratan tersebut bukan bea, pajak, dan biaya
lainnya sehingga berada dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. IT-Produk
Hortikultura diwajibkan untuk menyerahkan sebuah pernyataan yang
berkomitmen bahwa importir tidak akan mengimpor produk hortikultura segar
yang telah dipanen lebih dari enam bulan sebelumnya dalam bagian berkas
pengajuan lamaran impor untuk mendapatkan RIPH, dalam hal IT-Produk
Hortikultura melanggar persyaratan ini maka Perusahaan IT-Produk Hortikultura
tidak akan mendapat RIPH atau tidak diizinkan untuk mengimpor produk
hortikultura selama satu tahun. Dengan demikian, Amerika Serikat berpendapat
bahwa pembatasan atau pembatasan kondisi impor atau Tindakan dampak
pembatasan impor. Persyaratan panen enam bulan memiliki dampak yang nyata
bagi Amerika Serikat terhadap produk hortikultura segar yang dapat disimpan
selama lebih dari enam bulan, seperti apel karena dapat disimpan dalam atmosfer
yang terkendali setelah panen, dimana apel tinggal segar selama lebih dari enam
bulan. Amerika Serikat menyampaikan bahwa persyaratan panen enam bulan
setara dengan pembatasan penerbitan izin impor berdasarkan periode penebangan
dalam Panel Turki-Rice bahwa pembatasan pernerbitan izin impor berdasarkan
periode penebangan yang ditentukan membatasi impor dan merupakan
pembatasan impor kuantitatif. Amerika Serikat mengklaim sama halnya
persyaratan Indonesia menetapkan pembatasan berdasarkan waktu beberapa
produk hortikultura tertentu dipanen sehingga memiliki dampak terbatas pada
kuantitas yang diizinkan masuk ke Indonesia.
Selandia Baru mengklaim bahwa persyaratan panen enam bulan beroperasi
sebagai larangan impor produk hortikultura sehingga berada dalam lingkup
larangan atau pembatasan yang bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Menurut Selandia Baru, RIPH hanya dapat diterbitkan dalam hal IT-Produk
Hortikultura memberikan pernyatan bahwa produk hortikultura telah dipanen

63
kurang dari enam bulan sebelumnya dalam bagian dari berkas pengajuan lamaran
impor, dalam hal IT-Produk Hortikultura salah dalam persyaratan pengajuan RIPH
maka RIPH tidak akan diberikan selama satu tahun sehingga importir tidak dapat
mengimpor produk hortikultura ke Indonesia. Selandia Baru berpendapat bahwa
Badan Banding di China-Raw Materials menganggap bahwa istilah larangan
adalah larangan hukum atas impor komoditas tertentu, dalam hal ini Indonesia
gagal untuk memperhatikan istilah larangan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994 yang
dianggap oleh Appelate Body atau Badan Banding sebagai larangan hukum atas
peradagangan atau impor komoditas tertentu.
Indonesia mengklaim bahwa persyaratan panen enam bulan untuk impor
produk hortikultura segar bukan merupakan pembatasan impor dalam arti Pasal
XI : 1 GATT 1994. Menurut Indonesia, dengan importir diminta untuk
memperoleh fasilitas penyimpanan dalam ketentuan perizinan impor maka
importir dapat dengan mudah mengimpor produk hortikultura dalam waktu enam
bulan yang kemudian menyimpannya secara lokal untuk waktu yang lama yang
bertujuan untuk memastikan keamanan pangan.

9) Ketentuan Perizinan Impor untuk Produk Hortikultura Secara Keseluruhan


Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa rezim perizinan impor untuk produk
hortikultura yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah dan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor
Produk Hortikulturatentang Rekomendasi Impor Produk Hortikulturasebagaimana
telah diubah berfungsi sebagai pembatasan atau kondisi pembatasan impor atau
Tindakan dengan dampak pembatasan impor sehingga melanggar Pasal XI : 1
GATT 1994. Menurut Amerika Serikat tujuan kebijakan ketentuan perizinan
impor yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan Pertanian
bertujuan untuk memberikan perlindungan untuk petani produk hortikultura
nasional, pelaku bisnis dan konsumen untuk melarang impor ketika ketersediaan
komoditas Pertanian dalam Negeri adalah cukup.
Selandia Baru berpendapat bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia
secara keseluruhan memiliki dampak pembatasan pada impor yang berasal dari

64
gabungan dampak Tindakan individual, yang membatsai perdagangan. Menurut
Selandia Baru, hal ini disebabkan karena dua alasan yaitu :
a. Ketentuan lisensi impor untuk produk hortikultura yang terdaftar
membatasi peluang untuk memasarkan produk hortikultura yang diimpor
di Indonesia;
b. Indonesia membatasi volume atau jumlah produk hortikultura yang dapat
diimpor di Indonesia.
Dalam hal ini Penetapan IT-Produk Hortikultura, RIPH, dan Persetujuan Impor
merupakan dalam arti biasa dari istilah “lisensi impor” karena importir
kemungkinan tidak mengimpor produk hortikultura kecuali mendapatkan sebutan
IT-Produk Hortikultura, RIPH dan Persetujuan Impor. Menurut Selandia Baru,
bahwa rancangan ketentuan perizinan impor diarahkan untuk membatasi impor
produk hortikultura yang bertujuan untuk mencapai swasembada pada bahan
makanan tertentu. Selandia Baru juga berpendapat bahwa perselisihan saat ini
sama dengan situasi di Argentina-Import Measures karena komponen ketentuan
perizinan impor Indonesia merupakan elemen yang berbeda yang berkontribusi
terhadap tujuan kebijakan swasembada di Indonesia, ini bukan semata-mata
melalui Tindakan individual dan berbeda namun melalui sebuah ketentuan yang
diberlakukan, pembatasan ketentuan perizinan impor Indonesia dapat diketahui.
Indonesia mengklaim bahwa penggugat telah gagal untuk menetapkan
bahwa salah satu komponen ketentuan perizinan impor Indonesia untuk produk
hortikultura merupakan batasan pada impor sehingga ketentuan perizinan impor
Indonesia secara keseluruhan bukan merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI :
1 GATT 1994. Dalam hal ini, ketentuan perizinan impor Indonesia untuk produk
hortikultura tertentu otomatis, sesuai dengan Pasal 2 Persetujuan Perizinan Impor.
Perizinan Impor otomatis diizinkan secara tersurat berdasarkan Pasal 2.2 (a)
Persetujuan Perizinan Impor sehingga dikecualikan dari lingkup Pasal XI : 1
GATT 1994. Indonesia berpendapat bahwa tidak ada berkas pengajuan lamaran
impor yang pernah ditolak untuk produk hortikultura tertentu asalkan semua
persyaratan hukum yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura
ssebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun

65
2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikulturatentang Rekomendasi
Impor Produk Hortikulturasebagaimana telah diubah telah dipenuhi oleh importir.
Dengan demikian rezim perizinan impor untuk produk hortikultura secara
keseluruhan bukan merupakan pembatasan impor. Indonesia lebih lanjut
berpendapat bahwa perizinan impor untuk produk hortikultura yang dilaksanakan
melalui RIPH dan Persetujuan Impor yang merupakan lisensi impor yang
termasuk Perizinan Impor Otomatis sesuai dengan Pasal 2 Ayat 2 (a) karena sesuai
dengan unsur-unsur ketentuan ini bahwa perusahaan yang memenuhi persyaratan
hukum untuk melakukan impor produk yang dikenai lisensi otomatis sama-sama
berhak mengajukan permohonan dan mendapatkan lisensi impor. Menanggapi
argumen dari penggugat bahwa bahwa perizinan impor Indonesia untuk produk
hortikultura tertentu tidak otomatis karena permohonan lisensi tidak dapat
diajukan pada hari kerja sebelum bea cukai dan kerana persyaratan jangka waktu
pengajuan berkas lamaran impor sehingga memiliki dampak pembatasan impor,
Indonesia berpendapat bahwa Penggugat salah dalam menafsirkan ketentuan
impor untuk mendapatkan RIPH dan Persetujuan Impor yang merupakan lisensi
impor tidak sesuai dengan Pasal 2 Ayat 2 (a) (ii) Agreement on Licensing
Procedures . Menurut Indonesia Pasal 2 Ayat 2 (a) (ii) Agreement on Licensing
Procedures harus dilihat bersamaan dengan Pasal 1 Ayat 6 Agreement on
Licensing Procedures Impor yang mengakui jangka waktu pengajuan berkas
lamaran impor untuk ketentuan perizinan impor diperbolehkan berdasarkan
Perjanjian atas Ketentuan Perizinan Impor. Indonesia berpendapat bahwa
memungkinkan 15 hari kerja untuk jangka waktu pengajuan berkas lamaran untuk
mengajukan RIPH dan jangka waktu satu bulan untuk berkas lamaran impor
Persetujuan Impor sehingga sudah sesuai dengan Pasal 1 Ayat 6 Agreement on
Licensing Procedures. Indonesia juga berpendapat bahwa ketentuan perizinan
impor untuk produk hortikultura termasuk dalam lingkup Pasal 4.2 Agreement on
Agriculture atau Pasal XI : 1 GATT 1994 karena desain, arsitektur dan struktur
pengungkapan perizinan impor Indonesia secara keseluruhan bukan merupakan
pembatasan kuantitatif. Menurut Indonesia, penggugat telah gagal menyajikan
data impor pra dan pasca pelaksanaan untuk mendukung pernyataan bahwa

66
ketentuan perizinan impor untuk produk hortikultura secara keseluruhan
beroperasi untuk membatasi jumlah impor.

10) Larangan Impor Hewan dan Produk Hewan Tertentu Tidak Sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa ketentuan perizinan impor di indonesia
melarang impor hewan dan produk hewan tertentu dengan hanya mengizinkan
impor hewan dan produk hewan yang tercantum dalam Lampiran peraturan
perizinan impor sehingga larangan ini tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT
1994. Persyaratan ini juga bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya
sehingga berada dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Menurut Amerika
Serikat, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah dan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging
Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah mencantumkan semua jenis hewan dan produk hewan yang dapat diimpor
ke Indonesia, dalam hal jenis hewan dan produk hewan yang tidak tercantum
dalam daftar Lampiran peraturan tersebut maka tidak dapat diimpor. Menurut
Amerika Serikat, bahwa peraturan perizinan impor Indonesia untuk hewan dan
produk hewan yang melarang impor hewan dan produk hewan yang tidak
terdaftar dalam lampiran kedua Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan dan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau
Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia termasuk dalam lingkup istilah
larangan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994. Amerika Serikat mengacu pada Panel di
AS-Poultry (China) bahwa Tindakan yang dilarang adalah larangan yang tidak
sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena ukurang yang dipermasalahkan
adalah memiliki dampak melarang impor unggas dari China.
Selandia Baru mengklaim bahwa Indonesia menggunakan sistem daftar
positif untuk melarang semua impor jeroan sapi dan beberapa bentuk daging
produksi kecuali jika keadaan darurat, bangkai sapi dan porongan sekunder tidak
sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia Baru berpendapat bahwa karena

67
produk tidak terdaftar dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, importir tidak memenuhi syarat
untuk mendapatkan Rekomendasi Impor sehingga tidak mendapatkan Persetujuan
Impor dan importir dilarang mengimporkan hewan dan produk hewan oleh karena
itu bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia Baru berpendapat
bahwa Panel di Brazil - Retreaded Tyres, Panel tersebut menyatakan bahwa istilah
larangan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994 mensyaratkan bahwa anggota tidak boleh
melarang impor produk dari anggota lain kedalam pasar mereka dan larangan
penerbitan lisensi impor yang diperlukan untuk impor tidak sesuai dengan Pasal
Xi : 1 GATT 1994 . Selandia Baru mengklaim bahwa untuk alasan yang serupa
larangan impor jeroan sapi dan bentuk produksi daging tertentu oleh Indonesia
tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994, larangan impor jeroan sapi (kecuali
lidah dan ekor) telah sangat membatasi impor Indonesia. Menurut Selandia Baru,
satu-satunya keadaan dimana impor karkas dan atau potongan daging sapi
sekunder diizinkan untuk diimpor dalam hal :
a. Kondisi darurat tertentu yaitu kurangnya ketersediaan pangan atau wabah
penyakit hewan , volatilitas harga atau inflasi, atau bencana alam;
b. Persetujuan diperoleh oleh kedua Kementerian
c. Rekomendasi dari Kementerian Pertanian dan Persetujuan Impor dari
Kementerian Perdagangan
Selandia Baru mengajukan bahwa melarang impor kecuali dalam keadaan darurat
merupakan pembatasan pada kesempatan untuk mengimpor karkas dan atau
potongan daging sapi sekunder dan tidak mengajukan permohonan lisensi untuk
bangkai sapi dan potongan daging sapi, berakibat bahwa impor tidak diizinkan
sama sekali dalam keadaan biasa. Menurut Selandia Baru, pembatasan yang
dikenakan pada impor karkas dan potongan daging sapi sekunder serupa dengan
yang dipertimbangkan Panel di China- Raw Materials karena tidak ada kepastian
bahwa impor karkas dan potongan daging sapi sekunder akan diizinkan oleh
Pemerintah Indonesia karena ketidakpastian yang diciptakan oleh keadaan
terbatas memiliki dampak pembatasan serupa dengan yang dijelaskan di
Argentina- Import Measures oleh karena itu eksportir dan pelaku ekonomi lainnya

68
tidak dapat memprediksi kapan akan diizinkan untuk mengekspor karkas dan atau
potongan daging sapi sekunder ke Indonesia sehingga membuat eksportir
mengurangi ekspor yang direncanakan ke Indonesia.
Indonesia berpendapat bahwa tidak mempertahankan “daftar positif”
impor hewan dan produk hewan dan tidak benar bahwa hanya hewan dan produk
hewan yang tercantum dalam Lampiran I dan II Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan
sebagaimana telah diubah yang diizinkan untuk diimpor ke Indonesia. Indonesia
menyampaikan bahwa akibat dari Tindakan yang digugat oleh penggugat
sebenarnya tidak ada sehingga bukan merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI :
1 GATT 1994. Indonesia juga menyampaikan bahwa setiap hewan dan produk
hewan yang dilarang untuk diimpor ke Indonesia semata-mata untuk perlindungan
kesehatan manusia atau hewan atau tumbuhan menurut Pasal XX (b) GATT 1994.

11) Pembatasan Jangka Waktu Pengajuan Berkas Lamaran Impor dan Masa
Berlaku Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa ketentuan ini tidak sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994 karena merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI : 1
yaitu suatu pembatasan atau kondisi pembatasan impor atau Tindakan dengan
dampak pembatasan impor. Selain itu, persyaratan ini bukan merupakan bea,
pajak atau biaya lainnya sehingga berada dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994.
Amerika Serikat berpendapat bahwa kombinasi jangka waktu yang terbatas
dimana importir dapat mengajukan permohonan, izin impor dan masa berlaku
singkat menghasilkan periode beberapa minggu diakhir dari suatu masa berlaku
dan awal produk berikutnya dimana produk tidak dapat diekspor ke Indonesia.
Dalam hal ini jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor dan masa berlaku
impor mengakibatkan Amerika Serikat yang memiliki jarak yang jauh antara
pelabuhan AS dan Indonesia dan adanya periode lima sampai enam minggu
selama setiap periode impor sehingga eksportir AS tidak dapat mengirim ke
Indonesia sama sekali. Amerika Serikat menjelaskan bahwa berdasarkan
kenyataan, persyaratan jangka waktu pengajuan berkas lamaran dan masa berlaku
memiliki dampak pembatasan pada impor produk Amerika Serikat ke Indonesia.
Amerika Serikat menyampaikan bahwa di Colombia – Ports of Entry, Panel

69
menemukan bahwa Tindakan yang membatasi impor dari Panama ke dua
Pelabuhan di Kolombia memiliki dampak yang membatasi impor karena
ketidakpastian, termasuk akses ke suatu pelabuhan untuk waktu yang lama dan
kemungkinan kenaikan biaya yang akan timbul bagi importir, membatasi peluang
kompetitif untuk impor yang tiba dari Panama. Amerika Serikat menyampaikan
bahwa jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor dan masa berlaku impor di
Indonesia, jauh lebih membatasi karena Indonesia sama sekali tidak melakukan
impor hewan dan produk hewan Amerika Serikat selama empat sampai enam
minggu setiap kuartal, dan total empat sampai enam bulan setiap tahunnya. Oleh
karena itu, Amerika Serikat mengklaim bahwa persyaratan ini merupakan
pembatasan dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994.
Selandia Baru mengklaim bahwa jangka waktu pengajuan berkas lamaran
impor dan masa berlaku yang terbatas untuk mendapatankan Rekomendasi dari
Kementerian Pertanian dan Persetujuan impor membatasi perdagangan dengan
cara yang tidak sesuai Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia Baru berpendapat bahwa
jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor berarti importir hanya dapat
mengajukan permohonan untuk mengimpor hewan dan produk hewan 4 (empat)
kali dalam setahun, dan melarang persetujuan impor diperoleh di luar periode
yang telah ditentukan. Selain itu, menurut Selandia Baru Persetujuan Impor hanya
berlaku untuk periode tiga bulan dengan konsekuensi bahwa tidak ada produk
yang diizinkan untuk diimpor setelah berakhirnya masa berlaku ini, yang berarti
bahwa impor juga dibatasi pada akhir setiap periode. Menurut Selandia Baru,
Persetujuan Impor menetapkan bahwa impor harus menghapus bea cukai sebelum
akhir setiap periode karena ada periode selama minggu terakhir ketika produk
tidak dapat dikirim yang disebabkan impor tidak akan tiba di Indonesia sebelum
akhir periode ini. Selandia Baru mengklaim bahwa hewan dan produk hewan yang
tiba setelah akhir periode akan ditolak masuk ke Indonesia dan di ekspor kembali.
Selandia Baru berpendapat bahwa ketentuan tersebut membatasi akses pasar atau
menciptakan ketidakpastian dan mempengaruhi rencana investasi yang merupakan
pembatasan yang melanggar Pasal XI : 1 GATT 1994.
Indonesia mengklaim bahwa ketentuan perizinan impor untuk hewan dan
produk hewan adalah sitem perizinan impor otomatis sehingga tidak melanggar

70
Pasal XI : 1 GATT 1994. Dalam hal ini Indonesia berpendapat bahwa pangsa
pasar dari banyak impor utama dari penggugat bersama telah meningkat sejak
penerapan ketentuan perizinan impor sehingga bertentangan dengan argumen
penggugat bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia memiliki dampak
pembatasan perdagangan. Indonesia menyampaikan bukti ini menunjukkan bahwa
elemen jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor dan periode validitas
perizinan impor Indonesia untuk hewan dan produk hewan sesuai dengan Pasal XI
: 1 GATT 1994.

12) Persyaratan Impor Berkala dan Tetap Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1
GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa ketentuan ini tidak sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994 karena merupakan pembatasan impor menurut Pasal XI :
1 GATT 1994 dan bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang berada
dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Amerika Serikat berpendapat bahwa
ketika periode impor dimulai, importir tidak dapat mengajukan permohonan izin
baru untuk mengimpor produk yang berbeda atau tambahan karena impor sangat
terbatas pada jenis dan jumlah produk yang ditentukan pada izin yang beredar.
Amerika Serikat berpendapat bahwa dampak dari persyaratan ini adalah
a. Impor yang tidak tercakup dalam Rekomendasi dan Persetujuan Impor
yang diberikan pada awal periode impor dilarang secara dampaktif sampai
periode berikutnya;
b. Hanya beberapa jumlah dari setiap jenis produk yang dapat diimpor
sampai periode berikutnya;
c. Produk dari Anggota WTO dibatasi pada jumlah yang awalnya diminta
oleh importir;
d. Dalam hal pelabuhan awal masuk tidak beroperasi secara komersial,
pengiriman tidak dapat dialihkan melalui pelabuhan yang berbeda.
Amerika Serikat mengklaim bahwa persyaratan ini merupakan pembatasan atau
kondisi pembatasan impor atau Tindakan dengan dampak pembatasan impor,
dengan demikian merupakan “pembatasan” dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994.
Selain itu, Amerika Serikat juga berpendapat bahwa dalam Panel di India-Autos,
Panel menemukan bahwa persyaratan menyeimbangkan perdagangan membatasi
impor karena ada batasan praktis untuk jumlah produk yang akan dimiliki oleh

71
perusahaan. Amerika Serikat juga menyampaikan bahwa dalam Panel Argentina-
Import Measures, Tindakan yang dipermasalahkan adalah pembatasan impor
karena tidak memungkinkan perusahaan mengimpor sebanyak yang mereka
inginkan atau butuhkan tanpa memperhatikan kinerja ekspor mereka dan
memaksakan beban yang signifikan pada importir yang tidak terkait dengan impor
normal mereka. Dalam Panel di Colombia-Ports of Entry, Panel menemukan
bahwa Tindakan yang membatasi masuknya impor dari Panama ke dua pelabuhan
di Kolombia memiliki dampak pembatasan pada impor karena ketidakpastian,
termasuk akses ke suatu pelabuhan untuk waktu yang lama yang memungkinkan
kenaikan biaya yang dikeluarkan akan timbul dari importir yang beroperasi di
bawah batasan pembatasan pelabuhan, membatasi peluang kompetitif untuk impor
yang tiba dari Panama.
Selandia Baru mengklaim bahwa persyaratan impor berkala dan tetap
memiliki dampak pembatasan impor sehingga bertentangan dengan Pasal XI : 1
GATT 1994. Selandia Baru menyampaikan bahwa Rekomendari dari Kementerian
Pertanian dan Persetujuan mewajibkan importir untuk menentukan jenis, negara
asal, dan pelabuhan masuknya produk yang masing-masing importir dapat
mengimpor selama periode yang ditentukan. Dalam hal ini, selama periode
tersebut importir tidak dapat mengimpor produk dari jenis yang berbeda, dari
negara lain dan melalui pelabuhan yang berbeda dari yang tercantum dalam
Persetujuan Impor Importir. Persetujuan Impor Indonesia membatasi impor
dengan menentukan jumlah maksimum produk yang dapat diimpor oleh negara
importir pada setiap periode. Selandia Baru berpendapat bahwa dalam Panel di
Colombia-Ports of Entry mengkonfirmasi bahwa pembatasan pelabuhan dimana
produk dapat diimpor merupakan pembatasan impor yang melanggar Pasal XI : 1
GATT 1994. Menurut Selandia Baru, bahwa dalam sengketa ini persyaratan
lisensi tetap dan rekomendasi impor dari Kementerian Pertanian dan Persetujuan
Impor menyebabkan importir memiliki lebih sedikit kesempatan untuk
mengimpor produknya ke Indonesia sehingga memiliki dampak pembatasan
impor yang bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Indonesia menyatakan bahwa mempertahankan pernyataan lisensi tetap
hanya sementara untuk keperluan administrasi impor dan hal itu memberi

72
kebebasan kepada importir sehubungan dengan produk, pelabuhan masuk yang
ditentukan, dan negara asal produk, dengan demikian perysaratan impor
sepenuhnya ditentukan sendiri. Indonesia juga menyampaikan bahwa importir
bebas untuk mengubah persyaratan dari satu lisensi berkas pengajuan lamaran
impor ke berkas pengajuan lamaran impor lainnya untuk satu masa berlaku dalam
satu periode. Menurut Indonesia, importir dapat dengan mudah menilai ulang
jumlah pengiriman dan mengajukan berkas lamaran impor baru untuk masa
berlaku saat ini (asalkan jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor masih
terbuka) atau menunggu masa berlaku berikutnya.

13) Persyaratan Realisasi 80% (Delapan Puluh Persen) Tidak Sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa persyaratan realisasi Indonesia untuk
hewan dan produk hewan merupakan pembatasan atau kondisi pembatasan impor
atau Tindakan dengan dampak pembatasan impor, persyaratan ini juga bukan
merupakan bea, pajak, dan biaya lainnya sehingga berada dalam lingkup Pasal
XI : 1 GATT 1994. Amerika Serikat menyampaikan bahwa setiap importir yang
impor hewan dan produk hewan tercantum dalam Lampiran (ternak, daging, sapi,
dan jeroan) diharuskan untuk mengimpor sekurang-kurangnya 80% (delapan
puluh persen) dari produk yang tercakup dalam Persetujuan Impor Importir setiap
tahun. Menurut Amerika Serika, persyaratan ini dipantau setiap bulan, karena IT-
Produk Hortikultura diminta untuk menyerahkan laporan bulanan yang
menjelaskan semua impor hewan dan produk hewan dan jumlah produk yang
tersisa berdasarkan Persetujuan Impor. Menurut Amerika Serikat, dalam hal
importir gagal memenuhi persyaratan 2 (dua) kali makan Penetapan sebagai IT-
Produk Hortikultura dibatalkan sehingga importir tidak dapat mengajukan
permohonan kembali setidaknya selama 2 (dua) tahun. Amerika Serikat
berpendapat bahwa persyaratan realisasi impor hewan dan produk hewan serupa
dengan persyaratan realisasi impor produk hortikultura, importir prihatin dengan
kelebihan pasokan produk pada akhir periode impor akan memaksa mereka
menjual produk dengan kerugian atau kehilangan kelayakan untuk diimpor. Selain
itu, menurut Amerika Serikat dalam konteks produk hewan dengan persyaratan

73
harga referensi membuat impor dalam jumlah besar dengan jangka waktu yang
singkat untuk memenuhi persyaratan realisasi akan lebih beresiko, karena hal itu
dapat menyebabkan harga turun di bawah harga referensi dan memotong impor
sama sekali. Dengan demikian Amerika Serikat menyampaikan bahwa persyaratan
realisasi memiliki dampak pembatasan terhadap impor.Amerika Serikat
berpendapat bahwa Panel di India-Autos dianggap sebagai Tindakan dengan
dampak pembatasan yang serupa yaitu persyaratan keseimbangan perdagangan
yang dilakukan pada importir perangkat dan komponen mobil sehingga
merupakan pembatasan menurut Pasal XI : 1 GATT 1994. Amerika Serikat
mengklaim bahwa persyartan realisasi 80% (delapan puluh persen) memiliki
dampak pembatasan serupa yang menyebabkan importir membatasi jumlah impor
dalam berkas pengajuan lamaran impor yaitu Persetujuan Impor, yang kemudian
membatasi jumlah yang diizinkan untuk diimpor.
Selandia Baru mengklaim bahwa kewajiban importir memenuhi
persyaratan realisasi 80% (delapan puluh persen) untuk impor tidak lebih daripada
80% (delapan puluh persen) dari jumlah hewan dan produk hewan khususnya
dalam Persetujuan Impor dengan periode 12 (dua belas) bulan merupakan
pembatasan impor dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994.
Indonesia menyatakan bahwa persyaratan realisasi impor 80% (delapan
puluh persen) tidak melanggar Pasal XI : 1 GATT 1994 karena tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa persyaratan realisasi memiliki dampak buruk terhadap
arus perdagangan. Indonesia berpendapat bahwa persyaratan ini berfungsi sebagai
pengaman terhadap jika ada perubahan di pasar, para importir selalu dapat
mengubah jumlah permintaan mereka pada periode berikutnya. Indonesia
menyampaikan bahwa hal itu mengakui adanya kebutuhan akan fleksibilitas untuk
menjelaskan urgensi dalam rantai pasokan global sehingga persyaratan realisasi
hanya meminta importir mencapai 80% (delapan puluh persen) dan bukan 100%
(seratus persen) dari perkiraan impor mereka. Menurut Indonesia bahwa
penggugat bersama tidak dapat menunjuk pada satu kejadian dimana peristiwa
rantai pasokan bencana menyebabkan importir gagal memenuhi persyaratan 80%
(delapan puluh persen) yang kemudian kehilangan penunjukan importinya.
Indonesia juga menyampaikan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 5

74
Tahun 2016 untuk hewan dan produk hewan dan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 71 Tahun 2015 untuk produk hortikultura telah menghilangkan
persyaratan realisasi 80% (delapan puluh persen) sehingga ketentuan tersebut
tidak berlaku lagi di Indonesia.

14) Persyaratan Penggunaan, Penjualan dan Distribusi Daging Sapi Impor


Jeroan Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa ketentuan ini adalah pembatasan atau
kondisi pembatasan impor atau Tindakan dengan dampak pembatasan pada impor
sehingga merupakan pembatasan yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT
1994, selain itu ketentuan ini bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya
sehingga berada dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Amerika Serikat
berpendapat bahwa dibawah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 tahun
2013 sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 sebagaimana telah diubah bahwa hewan hanya dapat diimpor untuk
tujuan meningkatkan keragaman genetika, mengatasi kekurangan dalam negeri,
atau untuk tujuan ilmiah atau penelitian. Amerika Serikat menyampaikan bahwa
penggunaan produk hewan sangat membatasi peluang yang tersedia untuk impor
di pasar Indonesia karena yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau
Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
bahwa dapat diimpor hanya untuk penggunaan di bidang manufaktur, hotel,
restoran atau katering atau untuk tujuan terbatas lainnya. Selain itu, menurut
Amerika Serikat tujuan impor untuk produk hewan yang tercantum dalam
Lampiran 1 dan Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 tahun
2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah
diubah sama halnya Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah yaitu tidak dapat
dilakukan penjualan dalam pasar tradisional maupun pasar modern. Dalam hal
importir melanggar ketentuan penggunaan sesuai Lampiran I dan Lampiran II
maka Rekomendasi Impor dan Persetujuan Impor dicabutMenurut Amerika

75
Serikat, sedangkan menurut survei di tahun 2010 menunjukkan bahwa konsumen
Indonesia menghasilkan 70% (tujuh puluh persen) dari pembelian daging segar
mereka di pasar tradisional. Selain itu Amerika Serikat juga berpendapat bahwa
Panel di India-Quantitative Restriction menemukan bahwa persyaratan
penggunaan aktual adalah pembatasan impor karena menghalangi impor produk
untuk dijual kembali oleh perantara.
Selandia Baru mengklaim bahwa Indonesia melarang impor hewan dan
produk hewan untuk keperluan tertentu dan untuk dijual serta didistribusikan
melalui gerai-gerai tertentu yang merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI : 1
GATT 1994 karena memiliki dampak pembatasan pada impor hewan dan produk
hewan. Selandia Baru menyampaikan bahwa impor daging sapi dan jeroannya
digunakan oleh industri, hotel, restoran, kateringdan/atau kebutuhan khusus
lainnya dan hanya boleh dijual atau didistribusikan melalui outlet yang sama yang
tercermin dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah
dan dalam Pasal 32 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah. Menurut Selandia Baru, dampak dari
ketentuan ini adalah bahwa daging sapi, bangkai dan jeroan tidak diizinkan untuk
diimpor ke Indonesia untuk penggunaan rumah tangga, dijual atau didistribusikan
melalui gerai ritel konsumen khususnya dari penjualan di pasar modern, warung
kecil atau toko dan gerobak jalanan. Selandia Baru mengklaim bahwa ketentuan
ini secara substansial mengurangi peluang produk impor untuk dijangkau
konsumen Indonesia yang membeli produk makanan rumah tangga di lokasi
tersebut dan secara dampaktif menghalangi impor bovine product (dari jenis
lembu) untuk konsumsi domestik. Selandia Baru berpendapat bahwa dalam Panel
di India-Quantitative Restriction menyimpulkan bahwa ketentuan yang melarang
impor produk tertentu selain dari penggunaan sendiri oleh importir merupakan
pembatasan produk impor berdasarkan Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia Baru
berpendapat bahwa ketentuan serupa dengan pembatasan penggunaan, Penjualan
dan distribusi yang diterapkan oleh Indonesia yang hanya mengizinkan impor

76
untuk keperluan yang terbatas sehingga melarang impor produk untuk
penggunaan, penjualan dan distribusi tertentu dan melalui saluran tertentu.
Indonesia berpendapat bahwa ketentuan ini tidak memaksakan batas
kuantitatif pada impor hewan dan produk hewan oleh karena itu bukan merupakan
pembatasan kuantitatif dalam arti Pasla XI : 1 GATT 1994. Menurut Indonesia,
membatasi penggunaan akhir dari impor hewan dan produk hewan ke penggunaan
ritel tertentu dan tidak diizinkannya impor hewan dan produk hewan untuk dijual
ke pasar tradisonal Indonesia, dikarenakan risiko yang sangat tinggi dalam
penanganan penyimpanan makanan. Menurut Indonesia, pasar tradisonal tidak
memiliki fasilitas penyimpanan berpendingin yang baik sedangkan produk impor
harus disimpan dalam tempat yang aman untuk dikonsumsi manusia. Indonesia
melarang penjualan daging tidak segar (dibekukan) berlaku untuk daging impor
dan domestik, larangan ini dipertahankan oleh Indonesia karena jenis daging ini
serupa dengan daging segar. Indonesia berpendapat bahwa untuk memastikan
kualitas daging yang dijual di pasar tradisional dan untuk mengurangi kecurangan
konsumen, Indonesia telah melarang sepenuhnya tampilan dan penjualan semua
daging yang dibekukan karena resiko kesehatan.

15) Persyaratan Pembelian Dalam Negeri untuk Daging Sapi Tidak Sesuai
dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau
Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah,
Indonesia mewajibkan importir daging sapi untuk membeli daging sapi dari
rumah pemotongan hewan setempat sebagai syarat untuk mendapatkan izin untuk
melakukan impor, sehingga ketentuan ini merupakan pembatasan dalam arti Pasal
XI : 1 GATT 1994. Selain itu, ketentuan ini bukan merupakan bea, pajak dan
biaya lainnya sehingga berada dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Amerika
Serikat berpendapat bahwa importir diizinkan untuk impor daging sapi hanya
dengan syarat mereka menyerap (yaitu membeli) daging sapi lokal dalam jumlah
yang setara dengan 3% (tiga persen) dari jumlah yang mereka impor. Dalam
mengajukan Rekomendasi Impor dari Kementerian Pertanian, importir harus

77
mengajukan bukti verifikasi oleh dinas provinsi atau kotamadya darimana daging
sapi asal Indonesia berasal untuk memenuhi persyaratan pengajuan Rekomendasi.
Permohonan Rekomendasi tanpa bukti pembelian dalam negeri maka akan
ditolak, dalam hal importir tidak memenuhi persyaratan dikenakan sanksi dengan
Persetujuan Impor dicabut dan dengan tidak memenuhi syarat untuk rekomendasi
selanjutnya. Menurut Amerika Serikat, ketentuan ini berlaku sebagai pembatasan
atau kondisi pembatasan impor atau Tindakan dengan dampak pembatasan pada
impor dengan tiga cara yaitu :
a. Kebutuhan pembelian dalam negeri dirancang untuk menggantikan impor
dengan produk dalam negeri;
b. Persyaratan pembelian dalam negeri adalam pembatasan karena impor
mengikat jumlah impor daging sapi yang diizinkan dengan pasokan daging
sapi lokal yang tersedia untuk pembelian ke arah persyaratan;
c. Kebutuhan pembelian dalam negeri menmbahkan biaya impor yang tidak
perlu dengan mewajibkan importir untuk membeli daging sapi lokal tanpa
tujuan bisnis apapun.
Selain itu, Amerika Serikat juga berpendapat bahwa Panel sebelumnya
menemukan bahwa ketentuan yang memaksakan batasan semacam ini adalah
pembatasan berdasarkan Pasal XI : 1 GATT 1994. Amerika Serikat mengacu pada
Panel di Argentina-Import Measures bahwa Panel tersebut mempertimbangkan
Tindakan serupa, yang mencakup persyaratan untuk memasukkan tingkat
minimum konten lokal ke dalam barang-barang yang diproduksi di Argentina dan
menemukan Tindakan dengan dampak pembatasan langsung terhadap impor.
Selandia Baru mengklaim bahwa Pasal 5 Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 139 Tahun 2014 yang mensyaratkan bahwa importir harus membeli
sejumlah daging sapi di Indonesia (persyaratan pembelian dalam negeri)
merupakan pembatasan impor daging sapi di pelanggaran Pasal XI : 1 GATT
1994. Daging sapi yang harus dibeli untuk mendapatkan rekomendasi dari
Kementerian Pertanian ditentukan setiap triwulan. Untuk periode yang dimulai
pada bulan Juli 2015, jumlahnya ditetapkan pada 3% (tiga persen) dari jumlah
pembelian daging sapi (untuk daging sapi yang digunakan untuk semua tujuan
yang diizinkan selain manufaktur) dan 1,5% (satu setengah persen) dari jumlah
pembelian daging sapi (untuk daging sapi yang diimpor untuk digunakan dalam

78
proses manufaktur). Permohonan rekomendasi akan ditolak dalam hal impor
daging sapi menghasilkan daging sapi impor lebih tinggi dibandingkan dengan
daging sapi Indonesia yang telah diserap atau dibeli. Selandia Baru berpendapat
bahwa dengan persyaratan pembelian dalam negeri dirancang untuk membatasi
jumlah impor daging sapi ke Indonesia dengan mengganti impor dengan produk
dalam negeri, dengan demikian menyebabkan peningkatan jumlah daging sapi
yang diproduksi dalam negeri. Selain itu, menurut Selandia Baru bahwa Panel di
Argentina-Import Measures menegaskan bahwa seperangkat persyaratan terkait
perdagangan yang mencakup persyaratan konten lokal melanggar Pasa XI : 1
GATT 1994.
Indonesia mengklaim bahwa persyaratan pembelian dalam negeri diadopsi
mengikuti rekomendasi dari asosiasi importir dan pelaksanaan persyartaan
pembelian dalam negeri masih belum pasti. Selain itu tidak ada permohonan
Rekomendasi dari Kementerian Pertanian telah ditolak karena belum memenuhi
persyaratan pembelian daging sapi dalam negeri selama tahun 2015 oleh karena
itu bukan merupakan Tindakan yang merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI :
1 GATT 1994. Selain itu, ketentuan persyaratan pembelian dalam negeri tidak
membatasi jumlah daging sapi yang dapat diimpor ke Indonesia sehingga tidak
melanggar Pasal XI : 1 GATT 1994

16) Harga Referensi Daging Sapi Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT
1994
Amerika Serikat berpendapat bahwa dibawah Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah, Indonesia
mengizinkan impor semua produk ternak dan daging sapi hanya dengan syarat
bahwa harga pasar daging sapi potong sekunder diatas harga referensi yang
ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan dan melarang impor semua produk
ternak dan daging sapi saat harga pasar daging sapi potong sekunder di bawah
harga referensi. Menurut Amerika Serikat, ketentuan ini merupakan larangan atau
pembatasan dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994 dan ketentuan ini bukan
merupakan bea, pajak, dan biaya lainnya sehingga tidak sesuai dengan Pasal XI :
1 GATT 1994. Dalam hal harga pasar potongan daging sapi sekunder turun

79
dibawah harga referensi yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan yaitu
Rp.76.000.000,00 / kg sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Meneteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 , maka semua impor hewan dan produk
hewan yang tercantum dalam Lampiran I dilarang sampai harga pasar kembali
naik ke harga referensi. Menurut Amerika Serikat, ketentuan ini membatasi
pembatasan impor hewan dan produk hewan dalam Lampiran I. Amerika Serikat
berpendapat bahwa persyaratan harga referensi serupa dengan persyaratan harga
minimum impor yang telah dipertimbangkan oleh Panel sebelumnya di China-
Raw Materials, Panel tersebut menemukan bahwa persyaratan harga minimum
adalah pembatasan menurut Pasal XI : 1 GATT 1994. Menurut Amerika Serikat,
persyaratan harga refrensi lebih kategoris daripada harga impor minimum yang
ditemukan pael sbelumnya sebagai batasan karena melarang impor setelah harga
referensi tercapai dan melarang impor semua produk daging sapi, bukan hanya
potongan daging sekunder, jika harga potongan daging sekunder turun di bawah
harga acuan.
Selandia Baru mengklaim bahwa ketentuan ini memiliki dampak
pembatasan impor dengan melarang impor hewan ternak dan produk hewan ketika
harga pasar dalam negeri berada di bawah harga referensi yang ditetapkan (Rp.
76.000,00 / kg), sehingga merupakan larangan atau pembatasan impor yang
melanggar Pasal XI : 1 GATT 1994. Menurut Selandia Baru, harga referensi
daging sapi secara fungsional serupa dengan harga minimum impor tradisional
dalam Panel Chile – Price Band System, karena kedua ketentuan ini memiliki
dampak menetapkan harga minimum di bawah daging sapi impor yang tidak dapat
masuk pasar. Selandia Baru juga menyampaikan bahwa harga referensi daging
sapi juga membatasi impor dengan menciptakan ketidakpastian bagi importir
karena importir tidak dapat memprediksi apakah, atau kapan impor hewan ternak
dan produk hewan dilarang karena harga pasar daging sapi turun dibawah harga
referensi. Menurut Selandia Baru, ketentuan seperti ini yang menciptakan
ketidakpastian dan mempengaruhi rencana investasi yang memiliki dampak
pembatasan impor sehingga tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.

80
Indonesia belum mengajukan perdapat substansial sehubungan dengan
ketentuan ini selain dari pembelaan berdasarkan Pasal XX (b) dari GATT 1994
dan ketergantungannya pada Pasal XI : 2 (c) (ii) GATT 1994.

17) Aturan Perizinan Impor untuk Hewan dan Produk Hewan secara
Keseluruhan Tidak Sesuai dengan Pasal X I : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa Indonesia memberlakukan banyak
pembatasan dan larangan impor hewan dan produk hewan melalui ketentuan
perizinan impornya. Menurut Amerika Serikat, bahwa Sistem Perizinan Impor
Indonesia jika dipertimbangkan secara individual tidak sesuai dengan Pasal XI : 1
GATT 1994. Ketentuan Perizinan Impor Indonesia yang diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah
dengan menerapkan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh importir agar
memenuhi syarat untuk mengimpor dan melakukan impor memberlakukan banyak
pembatasan dan kondisi pembatasan impor serta Tindakan dengan dampak
pembatasan pada impor hewan dan produk hewan. Dengan demikian ketentuan
perizinan impor Indonesia merupakan pembatasan dalam arti Pasal XI : 1 GATT
1994.
Selandia Baru mengklaim bahwa meskipun komponen ketentuan perizinan
impor Indonesia untuk hewan dan produk hewan merupakan pembatasan
independent terhadap impor yang melanggar Pasal XI : 1 GATT 1994,
pembatasan dan larangan individual beroperasi bersamaan dengan masing-masing
komponen ketentuan perizinan impor untuk membentuk pembatasan perdagangan
yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia Baru mengklaim
bahwa Tindakan dalam sengketa ini serupa dengan yang dipertimbangkan di
Argentina-Impor Measures karena komponen individual ketentuan perizinan
impor Indonesia memberikan kontribusi untuk mewujudkan kebijakan Indonesia
bahwa tujuan pengurangan impor agar bisa mencapai swasembada dalam berbagai
produk makanan, terutama daging sapi. Menurut Selandia Baru , ketentuan
perizinan impor Indonesia secara keseluruhan untuk membatasi impor dengan tiga

81
mekansmen utama, tercermin dalam Tindakan khusus yang sebelumnya
diidentifikasi oleh Selandia Baru :
a. Larangan impor produk daging sapi tertentu;
b. Keterbatasan akses pasar untuk hewan dan produk hewan;
c. Pembatasan impor dengan menciptakan ketidakpastian dan menerapka
ambang praktis impor.
Menurut Selandia Baru, komponen ketentuan perizinan impor di Indonesia,
keduanya bila dipandang sebagai Tindakan individu dan sebagai Tindakan
menyeluruh merupakan larangan atau pembatasan yang dibuat efektif melalui
lisensi impor atau Tindakan lain dalam arti Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia
Baru mengusulkan bahwa meskipun ketentuan perizinan impor dipandang sebagai
komponen individu tidak dianggap efektif melalui lisensi impor namun Tindakan
tersebut dibuat efektif melalui Tindakan lain dalam Pasal XI : 1 GATT 1994
adalah kategori residu luas yang mencakup undang-undang, peraturan serta
Tindakan lain yang melarang atau membatasi impor tanpa memandang dari
bentuk atau status hukum.
Indonesia mengklaim bahwa ketentuan perizinan impor untuk hewan dan
produk hewan Indonesia secara keseluruhan bukanlah pembatasan dalam arti
Pasal XI : 1 GATT 1994 karena penggugat bersama telah gagal untuk
menetapkan bahwa bagian komponen ketentuan perizinan impor hewan dan
produk hewan merupakan pembatasan impor, merupakan ketentuan perizinan
impor otomatis dan bukan merupakan pembatasan kuantitatif. Indonesia
mengklaim bahwa ketentuan perizinan impor untuk hewan dan produk hewan
secara otomatis sesuai dengan Pasal 2 Agreement on Import Licensing Procedures.
Menurut Indonesia, ketentuan lisensi impor otomatis diizinkan secara tersurat
berdasarkan Pasal 2.2 (a) Agreement on Import Licensing Procedures karena itu
dikeluarkan dari lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Indonesia juga berpendapat
berulang kali menjelaskan tidak ada permohonan Persetujuan Impor yang pernah
ditolak untuk impor hewan dan produk hewan, asalkan sesuai dengan persyaratan
hukum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah. Sebagai alternatif, Indonesia mengklaim bahwa
ketentuan perizinan impor untuk hewan dan produk hewan secara keseluruhan

82
termasuk dalam pengecualian umum yang termasuk dalam sub Ayat (a), (b), dan
(d) Pasal XX GATT 1994.

18) Kecukupan Produksi Dalam Negeri untuk Memenuhi Permintaan


Domestik Tidak Sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994
Amerika Serikat mengklaim bahwa Indonesia mengizinkan impor produk
hortikultura, hewan dan produk hewan dalam hal persediaan produk domestik
dianggap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar Indonesia sehingga
pengkondisian impor tersebut tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena
merupakan pembatasan atas impor dan persyaratan ini bukan merupakan bea,
pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT
1994. Amerika Serikat berpendapat bahwa persyaratan ketidakmampuan dalam
negeri dengan mengkondisikan semua impor produk hortikultura, hewan dan
produk hewan pada ketidakcukupan produk dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan konsumen sehingga sangat membatasi importir untuk mengimpor.
Amerika Serikat berpendapat bahwa kondisi ketidakcukupan domestik Indonesia
ditetapkan dalam 4 (empat) undang-undang yaitu
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang
Hortikultura;
b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan;
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani;
d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 sebagaimana
telah dibah dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Ternak dan Hewan.
Menurut Amerika Serikat, undang-undang tersebut secara individu dan kolektif
mengatur impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan diperbolehkan
diimpor jika produksi dalam negeri dianggap pemerintah tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan konsumen Indonesia, sehingga kondisi kecukupan domestik
merupakan pembatasan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994. Selain itu, Amerika
Serikat juga menyampaikan bahwa kurangnya transparansi dan prekditabilitas
dalam pelaksanaan persyaratan kekurangan dalam negeri memiliki sebuah
dampak pembatasan impor karena pemerintah tidak mengumumkan bagaimana

83
atau kapan kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan
konsumen Indonesia akan ditentukan. Amerika Srikat mengacu pada Panel di
Argentina-Import Measures yang menemukan bahwa persyaratan pengurangan
impor merupakan pembatasan impor, dalam hal ini perusahaan tidak mengetahui
kapan pembatasan akan diberlakukan dan ketidakpastian yang dihasilkan oleh
Tindakan Argentina adalah unsur tambahan dan signifikan dalam membatasi
impor.
Selandia Baru mengklaim bahwa kondisi kekurangan dalam negeri adalah
larangan atau pembatasan selain bea, pajak, atau biaya lainnya yang dibuat efektif
melalui Tindakan lain dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Selandia Baru
menyampaikan bahwa ketentuan legislatif Indonesia membatasi impor produk
hortikultura, hewan dan produk hewan jika produksi dalam negeri dianggap cukup
untuk memenuhi permintaan domestik. Kondisi ketidakcupukan Indonesia
tercantum dalam 4 (empat) undang-undang yang juga disampaikan oleh Amerika
Serikat baik secara terpisah maupun kolektif membatasi impor produk
hortikultura, hewan dan produk hewan karena
a. Dalam keadaan produksi dalam negeri dianggap cukup untuk memenuhi
permintaan domestik, kondisi ketidakcukupan melarang impor produk
tertentu;
b. Kondisi ketidakcukupan dalam negeri membatasi akses pasar untuk
produk impor dengan menciptakan ketidakpastian bagi importir.
Selain itu, ketentuan legislatif Indonesia yang didasarkan pada kecukupam
produksi dalam negeri disusun sedemikian rupa untuk melarang dan membatasi
impor tertentu dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri dengan
mengizinkan impor hanya dalam keadaan dimana produksi dalam negeri dianggap
tidak mencukupi.Selandia Baru juga menyampaikan bahwa kondisi kekurangan
dalam negeri memiliki efek pembatasan karena Tindakan tersebut tidak memiliki
transparansi dan prediktabilitas dan importir tidak dapat memprediksi kapan
produk tertentu dilarang impor berdasarkan produksi dalam negeri dianggap
cukup oleh pemerintah.
Indonesia mengklaim bahwa Tindakan ini tidak berdampak pada impor
dan penggugat bersama belum menunjukkan bukti bahwa Tindakan ini memiliki
dampak buruk pada arus perdagangan. Indonesia juga berpendapat bahwa bahasa

84
yang dikutip oleh oenggugat bersama hanya berfungsi sebagai pernyataan umum
tentang komitmen Indonesia terhadap ketahanan pangan, sehingga Indonesia
menyatakan bahwa Tindakan ini bukan merupakan pembatasan Impor dalam arti
Pasal XI : 1 GATT 1994.

19) Klaim Berdasarkan Pasal 4.2 Agreement on Agriculture (Perjanjian tentang


Pertanian)
Amerika Serikat menganggap bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia
untuk produk hortikultura, hewan dan produk hewan secara keseluruhan dan
komponen penyusunnya melanggar Pasal 4.2 Agreement on Agriculture karena
alasan yang sama dengan pelanggaran terhadap Pasal XI : 1 GATT 199412.
Ketentuan Perizinan impor Indonesia untuk hewan dan produk hewan merupakan
Tindakan sejenis yang harus diubah menjadi bea cukai biasa sesuai dengan Pasal
4.2 Agreement on Agriculture . Peraturan perizinan impor Indonesia untuk hewan
dan produk hewan secara keseluruhan dan komponen penyusunnya melanggar
Pasal 4.2 Agreement on Agriculture karena alasan yang sama dengan pelanggaran
terhadap Pasal XI : 1 GATT 1994.
Selandia Baru menyampaikan bahwa masing-masing komponen individu
ketentuan perizinan impor Indonesia untuk hewan dan produk hewan dipandang
secara keseluruhan merupakan batasan impor kuantitatif atau Tindakan
pembatasan serupa yang dilarang berdasarkan Pasal 4.2 Agreement on
Agriculture13. Menurut Selandia Baru, komponen individu ketentuan perizinan
impor Indonesia yang dipandang secara keseluruhan merupakan Tindakan jenis
yang harus diubah menjadi bea cukai biasa dan dipelihara bertentangan dengan
Pasal 4.2 Agreement on Agriculture.
Indonesia menegaskan kepada Panel bahwa klaim Pasal 4.2 Agreement on
Agriculture lebih tepat karena mengenai produk pertanian daripada klaim
berdasarkan Pasal XI : 1 GATT 1994.

12
Lampiran C-3. DS477 and DS478 Report of the Panel Importation of Horticultural
Products, Animals and Animals Product (Addendum). World Trade Organization (WTO). Page. C-
33
13
Lampiran C-1. DS477 and DS478 Report of the Panel Importation of Horticultural
Products, Animals and Animals Product (Addendum). World Trade Organization (WTO). Page. C-
5

85
20) Persyaratan Penggunaan, Penjualan dan Distribusi untuk Produk
Hortikultura Tidak Sesuai dengan Pasal III : 4 GATT 1994
Selandia Baru mengklaim bahwa Tindakan 6 (enam) yaitu persyaratan
penggunaan, penjualan, dan distribusi untuk produk hortikultura, sejauh yang
dianggap oleh Panel sebagai Tindakan internal, bertentangan dengan Pasal III : 4
GATT 1994. Selandia Baru menyampaikan bahwa pembatasan pada Tindakan 6
(enam) hanya berlaku untuk produk impor dan tidak untuk produk dalam negeri.
Menurut Selandia Baru, Tindakan 6 (enam) mempengaruhi penjualan
internal,distribusi dang penggunaan produk hortikultura yang diimpor karena
secara eksplisit mengatur penggunaan, penjualan, dan jalur distribusi melalui
mana impor produk hortikultura dapat disalurkan, yaitu hanya melalui distributor
atau dalam proses produksi industri. Dalam hal ini, Selandia Baru menegaskan
bahwa produk hortikultura segar yang diimpor oleh IT-Produk Hortikultura
dilarang melakukan perdagangan atau mentransfer produk hortikultura secara
langsung ke konsumen atau pengecer. Sedangkan untuk produk hortikultura segar
yang diimpor oleh IP-Produk Hortikultura digunakan sebagai bahan baku atau
bahan pelengkap untuk produk produksi industri. Selandia Baru mengklaim
bahwa tidak ada batasan seperti itu yang dikenakan pada produk dalam negeri.
Menurut Selandia Baru, Tindakan 6 (enam) menyetujui produk yang diimpor
dengan perlakuan yang kurang menguntungkan daripada produk domestik sejenis,
secara formal memeperlakukan impor produk hortikultura berbeda dengan produk
dalam negeri.
Sehubungan dengan klaim Selandia Baru bahwa pembatasan penjualan di
pasar tradisional terbuka, memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan
dibanding dengan produk dalam negeri, Indonesia menanggapi bahwa persyaratan
ini berlaku secara seragam untuk impor dan produk dalam negeri. Menurut
Indonesia, Tindakan ini tidak memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan
terhadap impor daripada produk domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
III : 4 GATT 1994.

21) Penggunaan, Penjualan dan Distribusi Daging Sapi Impor dan Persyaratan
Jeroan Tidak Sesuai dengan Pasal III : 4 GATT 1994

86
Selandia Baru mengklaim bahwa Tindakan 14 (empat belas) sejauh yang
dianggap oleh Panel sebagai Tindakan internal, bertentangan dengan Pasal III : 4
GATT 1994. Selandia Baru menyampaikan bahwa pembatasan yang melekat pada
Tindakan 14 (empat belas) hanya berlaku untuk daging sapi dan jeroan yang
diimpor, bukan untuk produk dalam negeri. Selandia Baru berpendapat bahwa
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas,
Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana
telah diubah dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah adalah
undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan internal
dan penggunaan daging sapi impor dan jeroan. Penggunaan daging sapi dan
jeroan impor terbatas pada yang tercantum dalam peraturan yang relevan yaitu
untuk penggunaan di Industri, hotel, restoran, katering dan kebutuhan khusus
lainnya. Selain itu, peraturan Indonesia mempengaruhi penjualan internal dan
penawaran penjualan daging sapi dan jeroan impor karena daging sapi dan jeroan
yang diimpor tidak dapat dijual langsung ke konsumen, baik di pasar modern
(seperti supermarket atau hipermarket) atau pasar tradisional (seperti pasar basah,
toko kecil atau kios, atau gerobak jalanan). Selandia Baru lebih lanjut berpendapat
bahwa Tindakan tersebut memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan
terhadap produk impor daripada produk domestik yang sejenis. Dengan demikian
Tindakan ini tidak sesuai dengan Pasal III : 4 GATT 1994 karena peraturan impor
Indonesia kurang menguntungkan terhadap produk impor.
Sehubungan dengan klaim Selandia Baru bahwa pembatasan penjualan di
pasar tradisional terbuka, memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan
dibanding dengan produk dalam negeri, Indonesia menanggapi bahwa persyaratan
ini berlaku secara seragam untuk impor dan produk dalam negeri. Menurut
Indonesia, Tindakan ini tidak memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan
terhadap impor daripada produk domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
III : 4 GATT 1994.

22) Kebutuhan Pembelian Daging Sapi Dalam Negeri Tidak Sesuai dengan
Pasal III : 4 GATT 1994.

87
Selandia Baru mengklaim bahwa Tindakan ini, sejauh dianggap Panel
sebagai Tindakan internal bertentangan dengan Pasal III : 4 GATT 1994.
Kebutuhan pembelian daging sapi dalam negeri bertujuan untuk mendapatkan hak
untuk mengimpor daging sapi. Selandia Baru berpendapat, persyaratan pembelian
daging sapi dalam negeri mempengaruhi penjualan internal, pembelian atau
penggunaan impor produk dalam arti Pasal III : 4. Dalam hal ini, importir tidak
bebas membeli produk impor sesuai dengan pertimbangan komersial mereka
sendiri. Menurut Selandia Baru Tindakan 15 (lima belas) memberikan perlakuan
yang kurang menguntungkan terhadap produk impor daripada perlakuan yang
diberikan untuk produk dalam negeri. Dengan demikian Tindakan ini tidak sesuai
dengan Pasal III : 4 GATT 1994 karena peraturan impor Indonesia kurang
menguntungkan terhadap produk impor.
Indonesia menegaskan Selandia Baru telah gagal untuk menetapkan kasus
prima facie bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia tidak sesuai dengan Pasal
III : 4 GATT 1994. Indonesia berpendapat bahwa persyaratan pembelian dalam
negeri untuk hewan dan produk hewan tidak pernah digunakan untuk mencegah
penerbitan lisensi impor.

23) Jangka Waktu Pengajuan Berkas Lamaran Impor dan Masa Berlaku yang
Terbatas untuk Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan Tidak Sesuai
dengan Pasal 3.2 Agreement on Impor Licensing Procedures
Selandia Baru mengklaim bahwa jangka waktu pengajuan berkas lamaran
impor dan masa berlaku yang terbatas adalah prosedur perizinan impor non
otomatis karena permohonan untuk Rekomendasi dari Kementerian Pertanian dan
Persetujuan Impor hanya mungkin diterapkan dan diberikan selama periode yang
terbatas sehingga tidak dapat diajukan pada hari kerja sebelum bea cukai, dengan
demikian Tindakan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 3.2 Agreement on Impor
Licensing Procedures. Selandia Baru menyampaikan bahwa dampak pembatasan
dan distorsi perdagangan yang diakibatkan oleh persyaratan perizinan impor
hortikultura, hewan dan produk hewan sehingga tidak sesuai dengan Pasal 3.2
Agreement on Impor Licensing Procedures. Selandia Baru berpendapat bahwa
importir dilarang mendapatkan lisesi impor atau perizinan impor diluar jangka

88
waktu pengajuan berkas lamaran impor yang terbatas, hal ini mengakibatkan
penurunan impor pada awal masa berlaku karena penundaan antara penerbitan
Persetujuan Impor, pemrosesan, dan pengiriman ke Indonesia. Selandia Baru
menambahkan bahwa hal ini juga mengganggu impor pada akhir setiap masa
berlaku karena importir tidak menginginkan pemgiriman atau penundaan lainnya
untuk mendapatkan produk sampai setelah berakhirnya masa berlaku lisensi, yang
dapat menyebabkan sanksi diterapkan terhadap importir. Dalam hal ini, menurut
Selandia Baru bahwa Rekomendasi Impor dari Kementerian Pertanian dan
Persetujuan Impor harus diterapkan selama jangka waktu terbatas dan berlaku
selama tiga atau enam bulan, sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa
kepatuhan terhadap persyaratan impor sangat memberatkan importir. Selandia
Baru menegaskan bahwa prosedur semacam itu tidak memenuhi standar tidak
lebih memberatkan daripada mutlak diperlukan sebagaimana dipersyaratakan
dalam Pasal 3.2 Agreement on Impor Licensing Procedures. Dengan demikian
Selandia Baru menyimpulkan bahwa jangka waktu pengajuan berkas lamaran
impor dan masa berlaku untuk Rekomendasi Impor dan Persetujuan Impor untuk
produk hortikultura, hewan dan produk hewan tidak sesuai dengan Pasal 3.2
Agreement on Impor Licensing Procedures.
Amerika Serikat berpendapat bahwa permohonan, penerimaan,
Rekomendasi Impor dari Kementerian Pertanian dan Persetujuan Impor
merupakan definisi Perizinan Impor yang diatur dalam Pasal 1.1 Agreement on
Impor Licensing Procedures yang berbunyi sebagai berikut :

Untuk tujuan Persetujuan ini, perizinan impor didefinisikan sebagai


prosedur administratif yang digunakan untuk operasi perizinan impor
yang memerlukan penyampaian application (berkas lamaran impor)
atau dokumentasi lainnya (selain yang diperlukan untuk tujuan
pabean) kepada badan administratif yang relevan sebagai prior kondisi
impor ke dalam wilayah pabean Anggota pengimpor.

Menurut Amerika Serikat perizinan impor Indonesia gagal memenuhi syarat


perizinan impor otomatis, sehingga diklasifikasikan sebagai perizinan impor non-
otomatis. Karena perizinan impor otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Ayat 1 Agreement on Impor Licensing Procedures adalah suatu perizinan impor

89
dimana persetujuan atas permohonan diberikan selama semua kasus, dan yang
sesuai dengan persyaratan Pasal 2 Ayat 2 (a) (ii) bahwa prosedur perizinan
otomatis tidak boleh dilakukan seperti Tindakan yang memiliki dampak
pembatasan impor yang dikenai perizinan otomatis, prosedur perizinan otomatis
diangga memiliki dampak pembatasan perdagangan kecuali permohonan izin
dapat diajukan pada hari kerja sebelum bea cukai barang. Dalam hal ini, menurut
Amerika Serikat bahwa Rekomendasi Impor dan Persetujuan Impor tidak dapat
diajukan pada hari kerja sebelum bea cukai barang, namun Rekomendasi Impor
dan Persetujuan Impor dapat diajukan hanya selama jangka waktu pengajuan
terbatas yaitu selama bulan sebelum dimulainya masa validitas impor, yakni pada
bulan Desember atau Juni untuk produk hortikultura dan pada bulan Desember,
Maret, Juni, atau September untuk hewan dan produk hewan. Amerika Serikat
menyampaikan bahwa dampak pembatasan perdagangan berdasarka Pasal 3.2
Agreement on Impor Licensing Procedures cukup besar karena sebagai berikut :
a. Importir tidak dapat mengajukan permohonan izin impor tambahan atau
berbeda diluar jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor yang
terbatas;
b. Impor dibatasi pada awal setiap masa berlaku karena eksportir tidak dapat
mulai melakukan pemeriksaan kesehatan yang diperlukan dan
mengirimkan produk sampai setelah Persetujuan Impor dikeluarkan setiap
periode;
c. Impor dibatasi pada akhir masa berlaku karena importir harus berhenti
melakukan pengiriman beberapa minggu sebelum akhir setiap periode
untuk memastikan barangnya tiba di Indonesia dan menghapus bea cukai
sebelum hari terakhir periode tersebut.
Amerika Serikat selanjutnya menyampaikan bahwa sejauh Panel
mempertimbangkan persyaratan prosedur perizinan non-otomatis, namun jangka
waktu pengajuan berkas lamaran impor dan masa berlaku dianggap sebagai lebih
memberatkan secara administratif daripada benar-benar diperlukan untuk
mengelola Tindakan tersebut. Dengan demikian Amerika Serikat mengklaim
bahwa jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor dan masa berlaku tidak
sesuai dengan dengan Pasal 3.2 Agreement on Impor Licensing Procedures .

90
Indonesia berpendapat bahwa para penggugat telah gagal untuk
menetapkan kasus prima face bahwa ketentuan perizinan impor tidak sesuai
dengan kewajiban Indonesia berdasarkan Pasal 3.2 Agreement on Impor Licensing
Procedures. Indonesia berpendapat bahwa ketentuan perizinan Indonesia bersifat
otomatis sehingga berada diluar lingkup Pasal 3 Agreement on Impor Licensing
Procedures. Indonesia menyampaikan bahwa para penggugat gagal menunjukkan
bahwa setiap importir yang telah memenuhi semua Persyaratan administrasi
ketentuan perizinan impor Indonesia pernah ditolak izin impornya. Menurut
Indonesia, setiap importir yang memenuhi persyaratan hukum yang jelas secara
otomatis memberikan izin impor oleh pihak Indonesia yang berwewenang,
Indonesia menambahkan bahwa tidak ada penolakan berkas lamaran impor
sepanjang semua persyaratan perizinan impor telah terpenuhi. Indonesia
menyampaikan bahwa perizinan impor sama halnya Perizinan impor otomatis
dalam Pasal 2 Ayat 2 Agreement on Impor Licensing Procedures yaitu sebagai
berikut :

i. Setiap orang, perusahaan atau institusi yang memenuhi persyaratan


hukum Anggota pengimpor untuk melakukan operasi impor yang
melibatkan produk yang dikenai lisensi otomatis sama-sama berhak
mengajukan permohonan dan mendapatkan lisensi impor;
ii. Permohonan izin dapat diajukan pada hari kerja sebelum bea cukai
barang;
iii. Permohonan izin bila diajukan dalam bentuk yang sesuai dan
lengkap segera disetujui saat diterima, sejauh memungkinkan secara
administratif, namun dalam waktu paling lama 10 hari kerja.

Indonesia menegaskan dalam penerapannya, Persetujuan impor produk


hortikultura, hewan dan produk hewan harus diberikan dalam waktu 2 (dua) hari
kerja, sedangkan Persetujuan impor produk hortikultura, hewan dan produk
hewan tertentu diberikan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja. Selain itu Indonesia
berpendapat bahwa ketentuan perizinan impornya tidak membatasi perdagangan
karena diterapkan dengan cara yang tidak menghasilkan dampak pembatasan

91
perdagangan sehingga ketentuan perizinan Indonesia secara tegas diizinkan oleh
Pasal 2 Ayat 2 Agreement on Impor Licensing Procedures .

3.1.7 Pertahanan Indonesia Berdasarkan Pasal XX General Agreement on Tariffs


and Trade (GATT) 1994
Indonesia mengambil beberapa pertahanan yang bertujuan untuk
membenarkan Tindakannya berdasarkan Pasal XX GATT 1994 yaitu sebagai
berikut :
1. Pertahanan Indonesia berdasarkan Pasal XX (a) yang bertujuan untuk
melindungi moral publik. Dalam hal ini untuk membenarkan Tindakan 5
(Persyaratan Kepemilikan dan Kapasitas Penyimpanan) dan Tindakan 6
(Persyaratan Penggunaan, Penjualan, dan Distribusi untuk Produk
Hortikultura);
2. Pertahanan Indonesia berdasarkan Pasal XX (b) yang bertujuan untuk
melindungi kehidupan, kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan. Dalam
hal ini untuk membenarkan Tindakan 4 (Persyaratan Masa Panen),
Tindakan 5 (Persyaratan Kepemilikan dan Kapasitas Penyimpanan),
Tindakan 6 (Persyaratan Penggunaan, Penjualan, dan Distribusi untuk
Produk Hortikultura), Tindakan 7 (Harga Referensi untuk Cabe dan
Bawang Merah Segar untuk Dikonsumsi), Tindakan 8 (Persyaratan Panen
Enam Bulan);
3. Pertahanan Indonesia berdasarkan Pasal XX (d) yang bertujuan untuk
menegakkan kepabeanan. Dalam hal ini untuk membenarkan Tindakan 1
(Pembatasan Jangka Waktu Pengajuan Berkas Lamaran Impor dan Masa
Berlaku), Tindakan 2 (Syarat Impor Berkala dan Tetap), Tindakan 3
(Persyaratan Realisasi Impor 80%), Tindakan 5 (Persyaratan Kepemilikan
dan Kapasitas Penyimpanan), Tindakan 6 (Persyaratan Penggunaan,
Penjualan, dan Distribusi untuk Produk Hortikultura);
4. Pertahanan Indonesia berdasarkan Pasal XX (a) (b) (d) untuk
membenarkan Tindakan 9 (Ketentuan Perizinan Impor untuk Produk
Hortikultura secara Keseluruhan), Tindakan 10 (Larangan Impor Hewan
dan Produk Hewan Tertentu kecuali dalam Keadaan Darurat), Tindakan 11
(Pembatasan Jangka Waktu Pengajuan Berkas Lamaran Impor dan Masa

92
Berlaku), Tindakan 12 (Syarat Impor Berkala dan Tetap), Tindakan 13
(Persyaratan Realisasi Impor 80%), Tindakan 14 Persyaratan Penggunaan,
Penjualan, dan Distribusi untuk Daging Sapi dan Jeroan), Tindakan 15
(Persyaratan Pembelian dalam Negeri), Tindakan 16 (Harga Referensi
Daging Sapi), Tindakan 17 (Ketentuan Perizinan Impor untuk Hewan dan
Produk Hewan secara Keseluruhan),

Analisa Kasus Berdasarkan Pertimbangan dan Putusan Panel World Trade


Organization (WTO)
Tindakan 1 (satu) terdiri dari pembatasan jangka waktu pengajuan berkas
lamaran impor dan masa berlaku enam bulan untuk RIPH (Rekomendasi Impor
dari Kementerian Pertanian) dan Persetujuan Impor produk hortikultura. Dalam
hal ini, Panel setuju dengan Amerika Serikat dan Selandia Baru bahwa Tindakan
ini bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya sehingga tidak dikecualikan
secara eksplisit dalam Pasal XI : 1 GATT 1994. Tindakan ini diatur oleh Peraturan
Menteri Petanian Nomor 86 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana
telah diubah, dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013
tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikulturatentang Rekomendasi
Impor Produk Hortikulturabahwa importir dapat mengajukan RIPH untuk
masa berlaku dari Januari sampai Juni selama 15 (lima belas) hari kerja
mulai awal November tahun sebelumnya. Sedangkan untuk masa berlaku
bulan Juli sampai Desember selama 15 (lima belas) hari kerja dimulai pada
awal Mei tahun ini;
b. Berdasarkan Pasal 13A Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah
diubah, permohonan Persetujuan Impor dapat dilakukan pada bulan
Desember untuk masa berlaku untuk masa berlaku bulan Januari sampai
Juni dan dapat diajukan pada bulan Juni untuk Masa berlaku Juli sampain
Desember;
c. Berdasarkan Pasal 21 Ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana

93
telah diubah, setiap produk hortikultura harus melalui verivikasi teknis
yang dilakukan oleh seorang Sureveyor (Inspektur) yang ditunjuk oleh
Menteri Perdagangan. Verivikasi tersebut dilakukan untuk memeriksa
informasi yang mencakup negara dan pelabuhan asal, klasifikasi tarif dan
diskripsi produk, jenis, dan volume produk yang akan diimpor;
d. Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah
diubah bahwa impor poduk hortikultura segar atau olahan yang bukan
merupakan produk hortikultura yang termasuk dalam pengakuan IP-
Produk Hortikultura dan/atau Persetujuan Impor akan dimusnahkan atau
diekspor kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan unsur unsur diatas dan pendapat Amerika Serikat dan Selandia Baru
yang telah disebutkan sebelumnya dapat diketahui bahwa produk hortikultura
tidak dapat dikirim dari negara asal sampai setelah Persetujuan Impor untuk
periode tersebut dikeluarkan. Dengan ketentuan perizinan impor tersebut memberi
dampak kepada impor yaitu
a. Jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor yang sangat dekat dengan
berakhirnya dokumen impor sebelumnya;
b. Persyaratan yang menghalangi importir untuk mengimpor produknya
sebelum memperoleh Persetujuan Impor yang baru;
c. Persyaratan bahwa semua produk hortikultura yang tiba di Indonesia harus
menghapus bea cukai selama masa berlaku Persetujuan Impor yang
relevan;
d. Ditambah lagi transportasi internasional dari para penggugat yang
memerlukan waktu dua sampai enam minggu untuk produk dikirim dari
negara penggugat untuk mencapai Indonesia.
Dalam hal ini harusnya Indonesia mempertimbangkan dalam merancang suatu
peraturan bahwa transportasi internasional tentu akan berdampak pada
pengoperasian Tindakan dan kemampuan anggota World Trade Organization
(WTO) untuk memenuhi persyaratan Indonesia. Panel juga mengamati pengajuan
Selandia Baru yang menunjukan ekspor apel dan bawang ke Indonesia yang
membandingkan statistik pada bulan yang sama di tahun-tahun sebelum ketentuan
perizinan impor diberlakukan pada akhir tahun 2012, jumlah impor menurun pada

94
periode antara masa berlaku Persetujuan Impor. Selain itu Amerika Serikat
menunjukkan ekspor mingguan untuk apel sebagaimana disusun oleh Dewan
Hortikultural Northwest Amerika Serikat bahwa dari tahun 2013 sampai 2015
pengiriman Apel Amerika Serikat ke Indonesia juga terhenti menjelang akhir
pertama dan semester kedua yaitu pada bulan Desember dan Juni. Dalam hal ini
Panel menyimpulkan bahwa Tindakan 1 (satu) memiliki dampak pembatasan pada
impor karena selama periode tertentu ketentuan ini menyebabkan tidak ada impor
produk hortikultural ke Indonesia. Para penggugat mengklaim bahwa Tindakan 1
(satu) memiliki dampak negatif pada peluang persaingan produk impor.
Selanjutnya Panel dalam menganalisa kasus ini dengan mempertimbangkan
putusan Panel sebelumnya dengan kasus yang serupa sebagaimana yang
dikemukakan oleh Para Penggugat. Pada Panel di Colombia – Ports of Entry dan
Argentina – Import Measures seperti yang dikemukakan oleh Selandia Baru pada
poin sebelumnya, bahwa Tindakan yang membatasi akses pasar dapat merupakan
batasan kuantitatif yang bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Demikian
pula laporan Panel di Colombia – Ports of Entry seperti yang dikemukakan oleh
Amerika Serikat, Panel tersebut mempertimbangkan Tindakan yang membatasi
masuk ke dua pelabuhan impor produk tekstil dan pakaian jadi Kolombia dari
Panama dan menemukan bahwa Tindakan yang ditantang memiliki dampak
pembatasan terhadap impor karena ketidakpastian termasuk peningkatan biaya
yang akan timbul bagi importir yang beroperasi dibawah batasan pembatasan
pelabuhan, membatasi ketentuan kesempatan untuk mendapatkan impor yang tiba
dari Panama. Selanjutnya Amerika Serikat berpendapat bahwa persyaratan impor
Indonesia melampaui ketidakpastian dan kemungkinan kenaikan biaya karena
langkah-langkah Indonesia beroperasi untuk sepenuhnya menyingkirkan produk
hortikultura Amerika Serikat dari pasar Indonesia selama empat sampai enam
minggu dari setiap semester dan dua sampai tiga bulan dari setiap tahun. Dengan
berdasarkan putusan Panel sebelumnya dapat diketahui bahwa Tindakan 1 (satu)
dirancang dan disusun untuk membatasi peluang kompetitif importir dalam
praktik karena membatasi akses pasar impor ke Indonesia. Dengan demikian
Tindakan 1 (satu) merupakan pembatasan karena ketentuan impor Indonesia

95
memberlakukan pembatasan jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor
dengan 2 (dua) periode selama setahun yang membatasi akses pasar importir,
merupakan pembatasan karena dalam periode tertentu tidak ada impor ke
Indonesia dan Tindakan ini bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang
dikecualikan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994 namun merupakan pembatasan yang
dibuat efektif melalui lisensi impor atau Tindakan lain sehingga Tindakan 1 (satu)
tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 .
Tindakan 2 (dua) terdiri dari persyaratan bahwa hanya dapat mengimpor produk
hortikultura yang memenuhi ketentuan RIPH dan Persetujuan Impor. Persyaratan
ini mencakup jumlah produk yang diizinkan untuk diimpor, jenis produk tertentu
yang diizinkan untuk diimpor, negara asal produk dan pelabuhan Indonesia atau
pelabuhan masuk dimana produk akan masuk. Ketentuan tersebut tidak dapat
berubah sewaktu-waktu selama masa berlaku RIPH dan
Persetujuan Impor yang relevan. Dalam hal produk impor tidak sesuai dengan
jenis produk yang tercantum dalam Persetujuan Impor atau IP produk hortikultura
maka produk tersebut dihancurkan atau diekspor kembali dengan biaya importir
yang diatur dalam Pasal 30 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah diubah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Panel memahami bahwa importir tidak dapat
mengimpor produk dengan jenis yang berbeda, dalam jumlah yang lebih banyak
atau dari negara lain atau melalui perbedaan pelabuhan dari yang ditentukan
dalam RIPH atau Persetujuan Impor yang relevan. Dengan demikian, Panel
mengamati bahwa pembatasan tersebut berdampak pada peluang kompetitif yang
tersedia untuk produk impor. Dengan berdasarkan yang diklaim oleh para
penggugat, Panel mencatat bahwa Tindakan ini menghilangkan fleksibilitas dari
importir untuk merespons keadaan pasar yang berubah atau faktor eksternal di
dalam masa berlaku yang diberikan, sehingga importir terhalang untuk
memanfaatkan situasi buruk yang memerlukan perubahan rencana impor. Selain
itu, Indonesia berpendapat bahwa Tindakan yang ditetapkan atau dipertahankan
berdasarkan keputusan oleh aktor swasta, dalam hal ini Panel memutuskan bahwa
Tindakan yang ditetapkan adalah keputusan Indonesia. Dengan demikian dapat

96
diketahui bahwa Tindakan 2 (dua) yaitu syarat impor berkala dan tetap merupakan
pembatasan impor karena importir hanya boleh mengimporkan produk
hortikultura sesuai dengan ketentuan RIPH dan Persetujuan Impor yang
menyangkut jenis produk, negara asal dan pelabuhan masuk impor produk
hortikultura yang mengakibatkan importir tidak dapat memanfaatkan peluang
kompetitif yang tersedia untuk produk impor dan Tindakan 2 (dua) bukan
merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam lingkup Pasal
XI : 1 GATT 1994 namun merupakan pembatasan yang dibuat efektif dengan
lisensi impor atau Tindakan lain sehingga Tindakan 2 (dua) merupakan
pembatasan impor atau Tindakan yang memiliki dampak membatasi impor yang
tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Tindakan 3 (tiga) terdiri dari persyaratan bahwa IT-Produk Hortikultura
harus mengimpor 80% (delapan puluh persen) dari jumlah setiap jenis produk
yang tercantum dalam Persetujuan Impor importir untuk setiap masa berlaku 6
(enam) bulan dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Importir wajib menyampaikan laporan secara tertulis atas pelaksanaan
impor produk hortikultura dengan melampirkan Kartu Kendali Realisasi
Impor yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomo16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura;
b. Dalam hal importir gagal memenuhi persyaratan realisasi impor maka
penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura dan IP-Produk Hortikultura
akan dibekukan yang diatur dalam Pasal 25A Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura sebagaimana telah diubah dnegan Peraturan Menetri
Perdagangan Nomor 40 Tahun 2015 .
c. Dalam hal importir tidak melaporkan Kartu Kendali Realisasi Impor
sebanyak 2 (dua) maka penetapan sebagai IT-Produk Hortikultura dan IP-
Produk Hortikultura akan dicabut yang diatur dalam Pasal 26 Peraturan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura.

Dalam ketentuan tersebut, mengharuskan importir untuk mengimpor secara


efektif sebagian besar dari jumlah yang diminta dalam permohonan Persetujuan

97
Impor importir tetapi tidak menciptakan larangan atas impor produk hortikultura.
Tindakan ini memberikan hukuman berat bagi importir yang tidak memenuhi
persyaratan realisasi impor, yang kemungkinan dapat mengakibatkan hilangnya
mata pencaharian komersial importir sehingga mendorong importir untuk
memperkirakan jumlah impor untuk memastikan dapat memenuhi persyaratan
realisasi 80% (delapan puluh) persen. Panel mengamati bahwa dampak Tindakan
ini bermacam-macam, tergantung pada proyeksi berapa banyak produk
hortikultura yang diharapkan untuk dijual dan diimpor dalam jangka waktu
tertentu, situasi persaingan, kondisi pasar, dan seberapa besar risiko menolak
importir. Tindakan 3 (tiga) mempengaruhi keputusan importir tentang berapa
banyak permintaan dalam Persetujuan Impor. Dengan demikian Tindakan 3 (tiga)
menunjukkan bahwa Tindakan ini memiliki dampak membatasi dalam hal jumlah
impor produk hortikultura ke Indonesia. Panel juga mencatat keluhan Selandia
Baru bahwa persyaratan realisasi 80% diperburuk jika dikombinasikan dengan
Tindakan 2 (dua) yaitu importir mengimporkan produk hortikultura sesuai dengan
ketentuan dalam RIPH dan Persetujua Impor. Dalam hal ini fleksibilitas yang
tersedia bagi importir untuk memenuhi persyaratan 80% (delapan puluh Persen)
persyaratan realisasi dengan mengubah jenis produk, negara asal, atau pelabuhan
masuk semakin berkurang. Selain itu, Amerika serikat menjelaskan bahwa
dampak pembatasan Tindakan 3 (tiga) dapat dianggap juga diperburuk jika
digabungkan dengan Tindakan 7 (tujuh) yang berkaitan dengan impor cabe dan
bawang merah, dalam hal ini adanya persyaratan harga referensi dapam membuat
impor dalam jumlah besar dalam jangka waktu yang singkat untuk memenuhi
persyaratan realisasi bahkan lebih beresiko karena dapat mengakibatkan harga
cabe dan bawang merah turun dibawah harga referensi. Panel selanjutnnya
menanggapi pendapat Indonesia bahwa penggugat bersama belum menunjukkan
bukti bahwa persyaratan realisasi memiliki dampak buruk terhadap perdagangan,
menurut Panel pembatasan impor tidak perlu ditunjukkan dengan mengukur
dampak dari Tindakan yang sedang dipermasalahkan. Selanjutnya dalam hal
bahwa persyaratan realisasi 80% telah tidak diberlakukan lagi karena Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2015 menghilangkan persyaratan realisasi

98
80 % (delapan puluh persen), maka dalam hal ini tidak dapat dijadikan sebagai
argumen karen peraturan menteri ini dibentuk setelah adanya pembentukan Panel.
Selanjutnya Panel mempertimbangkan kaus ini dengan mengamati kasus serupa
yang telah diputus oleh Panel sebelumnya Panel di India-Autos. Panel tersebut
menemukan bahwa Tindakan yang tidak menetapkan batas numerik absolut pada
impor namun importir yang diinduksi untuk membatasi impor untuk memenuhi
komitmen ekspor yang diberlakukan oleh India merupakan pembatasan.
Sedangkan dalam perselisihan ini Panel menemukan bahwa produsen tidak boleh
bebas untuk mengimpor tanpa adanya batasan komersial. Berdasarkan uraian
diatas dapat diketahui bahwa persyaratan realisasi 80% (delapan puluh persen)
bertindak dengan cara yang sama dengan memberi insentif kepada importir untuk
membatasi jumlah yang mereka minta dalam berkas lamaran impor yaitu
Persetujuan Impor, yang pada hakekatnya membatasi jumlah produk yang
diizinkan untuk diimpor. Selain itu, berdasarkan pendapat penggugat bahwa
Tindakan 3 (tiga) merupakan larangan atau batasan yang dibuat efektif melalui
lisensi impor atau Tindakan lain, bukan bea, pajak dan biaya lainnya sehingga
tidak dikecualikan secara eksplisit dari lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994. Dengan
demikian persyaratan realisasi 80% (delapan puluh persen merupakan pembatasan
yang memiliki dampak pembatasan pada impor.

Tindakan 4 (empat) terdiri dari persyaratan bahwa impor produk


hortikultura terjadi sebelum, selama dan sesudah musim panen dalam negeri
dalam jangka waktu tertentu yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura. Berdasarkan ketentuan ini, impor produk hortikultura hanya dapat
dilakukan sebelum, selama dan setelah musim panen dalam jangka waktu tertentu
yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Jangka Waktu tertentu ditetapkan oleh
Kementerian Pertanian yang dipandu oleh Dewan Keamanan Pangan yang
kemudian disampaikan kepada Kementerian Perdagangan. Kemudian,
Kementerian Peradagangan memberikan jawaban atas jangka waktu yang
ditetapkan oleh Kementerian Pertanian dengan menerbitkan Persetujuan Impor
sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Berdasarkan ketentuan tersebut,

99
Indonesia telah merancang Tindakan 4 (empat) melalui pengoperasian sistem
RIPH. Oleh karena itu, Indonesia mengendalikan impor produk hortikultura
tertentu selama periode panen Indonesia untuk jenis produk yang sama dengan
menahan atau membatasi RIPH selama periode tersebut. Dalam praktiknya,
Indonesia akan melarang atau membatasi produk impor tertentu tergantung
keputusan dari pihak yang berwenang terkait masa panen dalam negeri dan
produk dalam negeri yang sama. Dengan demikian tampak bahwa Tindakan 4
(empat) dirancang dalam konteks komponen lain dari ketentuan perizinan impor
Indonesia yang memungkinkan pemerintah untuk melarang impor produk
tertentu selama periode tertentu. Oleh karena itu, Tindakan 4 (empat) merupakan
batasan kuantitatif yang terdiri dari larangan total karena tidak ada impor yang
diizinkan selama periode waktu yang ditentukan. Selanjutnya Panel menganalisa
pendapat Selandia Baru dengan merujuk Panel sebelumnya yaitu Colombia-Ports
Of Entry saat memperdebatkan dampak pembatasan impor dengan membatasi
kemampuan produk impor untuk bersaing di pasar domestik. Selain itu menurut
Amerika Serikat yang mengacu pada Panel sebekumnya yaitu Turki-Rice yang
memeriksa dalam konteks Pasal 4.2 Agreement on Agriculture, suspensi Turki
untuk mengeluarkan izin impor selama periode panen lokal untuk memastikan
penyerapan produksi beras lokal. Dalam kasus tersebut Panel menemukan bahwa
Tindakan semacam itu membatasi impor beras untuk periode waktu tertentu
sehingga merupakan pembatasan impor kuantitatif. Dalam hal ini Panel setuju
dengan para penggugat bahwa Tindakan 4 (empat) memiliki fitur serupa dengan
kasus yang telah diperiksa Panel sebelumnya, sehingga dapat diketahui bahwa
Tindakan (empat) memiliki dampak pembatasan pada impor karena penerapannya
menghasilkan pelarangan impor atau pembatasan jumlah produk yang dapat
diimpor. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa Tindakan 4 (empat)
yaitu persyartaan masa panen dimana importir tidak dapat melakukan impor
sebelum, selama dan sesudah musim panen merupakan Tindakan dengan dampak
membatasi impor karena ketentuan pemerintah Indonesia ini mengakibatkan
importir tidak dapat melakukan impor pada periode tertentu yaitu pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa panen yang mengakibatkan pembatasan impor

100
dan pembatasan jumlah produk yang dapat diimpor. Selain itu, Tindakan 4
(empat) bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam
lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994 namun merupakan pembatasan yang dibuat
efektif melalui lisensi impor atau Tindakan lain. Dengan demikian Tindakan 4
(empat) merupakan pembatasan impor yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1
GATT 1994.
Tindakan 5 (lima) terdiri dari persyaratan bahwa importir harus memiliki
fasilitas penyimpanan dengan kapasitas yang memadai dalam permohonan impor
importir. Tindakan ini diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah
diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang
Rekomendasi Impor Produk Hortikulturatentang Rekomendasi Impor Produk
Hortikulturadengan unsur unsur sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 8 (1) (e) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana
telah diubah bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia mewajibkan
importir yang mengajukan penetapan IT-Produk Hortikultura untuk
memberikan bukti kepemilikan fasilitas penyimpanan yang sesuai dengan
karakteristik produk;
b. Berdasarkan Pasal 8 (2) (c) (d) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86
Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura bahwa
ketentuan perizinan impor Indonesia mewajibkan importir untuk
memasukkan pernyataan kepemilikan fasilitas penyimpanan dan
pernyataan kesesuaian kapasitas dengan fasilitas penyimpanan dalam
mendapatkan RIPH.
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat diketahui bahwa bahwa Tindakan 5 (lima)
secara eksplisit membatasi jumlah impor produk hortikultura tertentu oleh
importir dengan jumlah maksimum yang dapat disimpan importir dalam fasilitas
penyimpanan importir selama masa berlaku enam bulan periode Persetujuan
Impor. Dalam hal ini importir tidak dapat meminta Persetujuan Impor dengan
jumlah yang melebihi kapasitas fasilitas penyimpanan. Tindakan 5 (lima)
menetapkan batasan pada impor produk hortikultura sesuai dengan kapasitas

101
penyimpanan yang dimiliki importir saat menerapkan RIPH dan Persetujuan
Impor. Dengan demikian, Panel mengetahui dampak pembatasan dari Tindakan
ini dalam hal jumlah produk impor. Selain itu, dalam hal fasilitas penyimpanan
berangsur-angsur tersedia saat produk terjual,importir tidak dapat mengimpor
lebih banyak produk selama periode yang sama, hal ini dikarenakan konsekuensi
dari Tindakan 5 (lima) dengan Tindakan 1 (satu) yaitu pembatasan jangka waktu
pengajuan berkas lamaran impor dan Tindakan 2 (dua) yaitu syarat impor berkala
dan tetap sehingga menghalangi importir untuk memodifikasi persyaratan seperti
jumlah produk karena impor yang dikirim ke Indonesia harus sesuai dengan RIPH
dan Persetujuan Impor dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Panel juga
setuju dengan para penggugat bahwa Tindakan 5 (lima) mempengaruhi peluang
komersial importir karena meningkatkan biaya terkait dengan fasilitas
penyimpanan. Dalam hal ini importir diwajibkan untuk memiliki fasilitas
penyimpanan karena importir tidak hanya dapat menyewakan atau meminjam
fasilitas penyimpanan namun importir harus memilikinya seperti yang
dikemukakan oleh penggugat. Namun demikian, dengan importir memiliki lebih
banyak kapasitas penyimpanan dapat mengurangi dampak dari persyaratan ini
karena importir dapat meminta jumlah produk impor lebih tinggi dalam
Persetujuan Impor, namun dengan fasilitas penyimpanan yang besar tentunya
memerlukan biaya tambahan yang mungkin memberatkan importir. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa Tindakan 5 (lima) yaitu persyaratan kepemilikan
dan kapasitas penyimpanan merupakan Tindakan dengan dampak membatasi
impor karena membatasi jumlah impor produk hortikultura importir dimana
jumlah impor produk hortikultura tergantung dari kapasitas penyimpanan,
meningkatkan biaya importir dengan memiliki fasilitas penyimpanan dan
Tindakan ini bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan
dalam Pasal XI : 1 GATT 1994 karena Tindakan ini dibuat efektif dengan lisensi
impor atau Tindakan lain sehingga tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Tindakan 6 (enam) terdiri dari persyaratan penggunaan, penjualan, dan
distribusi produk hortikultura tergantung dari Penetapan sebagai IT-Produk
Hortikultura atau IP-Produk Hortikultura. Tindakan ini diatur dengan Peraturan

102
Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura sebagaimana telah diubah dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah
diubah bahwa importir yang memperoleh penetapan sebagai IP-Produk
Hortikultura hanya dapat mengimpor produk hortikultura sebagai bahan
baku atau bahan penolong untuk proses produksi industri sehingga
dilarang untuk memperdagangkan atau mentransfernya;
b. Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana telah
diubah bahwa importir yang memperoleh penetapan sebagai IT-Produk
Hortikultura hanya dapat mengimpor produk hortikultura untuk konsumsi
manusia yang dapat diperdagangkan atau dipindahkan ke distributor dan
tidak secara langsung ke konsumen atau pengecer;
c. Berdasarkan Pasal 26 (d)(e) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana
telah diubah bahwa penetapan sebagai IP-Produk Hortikultura akan
dicabut apabila importir terbukti memperdagangkan atau mentransfernya
dan IT-Produk Hortikultura akan dicabut apabila importir
memperdagangkan atau memindahkan kepada selain Distributor.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Tindakan 6 (enam) mencegah importir produk
hortikultura untuk melakukan Tindakan tertentu di Indonesia sehingga berdampak
pada peluang persaingan importir dan barang impor. Ketentuan tersebut
mewajibkan produk hortikultura yang diimpor oleh IT-Produk Hortikultura untuk
diperdagangkan atau dipindahkan ke distributor dan tidak secara langsung kepada
konsumen sehingga membatasi peluang kompetitif untuk produk hortikultura
karena meningkatkan biaya pemasaran importir dan mempengaruhi rencana bisnis
importir. Dalam hal ini, Panel setuju dengan Amerika Serikat bahwa ketentuan ini
menyiratkan kepada pengecer seperti supermarket atau penjual sayuran dan buah
tidak dapat mengimpor produk hortikultura sendiri dan tidak dapat membeli
secara langsung dari IT-Produk Hortikultura. Demikian pula IP-Produk
Hortikultura yang mengharuskan impor produk hortikultura dijadikan bahan baku

103
untuk proses produksi industri dan melarang memperdagangkan atau
memindahkannya. Dalam hal kelebihan produk maka importir harus
menghancurkannya atau dikenakan biaya penyimpanannya, selain itu menurut
Selandia Baru dalan hal kelebihan produk makan maka produk tersebut
dimusnahkan atau di ekspor kembali. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
diketahui bahwa Tindakan 6 (enam) memberlakukan beban impor yang tidak
semestinya karena importir dipaksa untuk menggunakan semua impor produk
hortkultura untuk memprosesnya atau menghancurkannya atau dilakukan ekspor
kembali. Selain itu Panel menganalisa kasus ini dengan menyamakan putusan
Panel sebelumnya sebagaimana dikemukakan oleh penggugat yaitu Panel di India-
Quantitative Restriction. Dalam kasus tersebut diketahui bahwa produk impor
hanya dapat diimpor oleh Pengguna Aktual dan tidak boleh dijual kembali oleh
perantara. Panel tersebut menemukan bahwa Tindakan tersebut merupakan
pembatasan impor karena menghalangi impor produk untuk dijual kembali oleh
perantara yaitu distribusi kepada konsumen yang tidak dapat diimpor secara
langsung. Dengan berdasarkan putusan Panel sebelumnya dengan Tindakan yang
sama maka Panel memutuskan bahwa Tindakan 6 (enam) merupakan pembatasan
impor karena menghalangi produk hortikultura yang diimpor IP-Produk
Hortikultura untuk keperluan bahan baku produksi industri dilarang
memperdagangkan atau memindahkan dalam hal kelebihan produk namun harus
diproses semua atau dimusnahkan atau diekspor kembali. Dengan demikian
Tindakan 6 (enam) merupakan pembatasan impor karena penggunaan, penjualan,
dan distribusi impor produk hortikultura dibatasi dengan Penetapan importir
sebagai IT-Produk Hortikultura dan IP-Produk Hortikultura yang membatasi
peluang kompetitif produk impor dan Tindakan ini bukan merupakan bea, pajak,
dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994 namun
merupakan pembatasan atau larangan yang dilakukan secara efektif melalui lisensi
impor atau Tindakan lain.
Tindakan 7 (tujuh) terdiri dari penerapan sistem harga referensi oleh
Kementerian Perdagangan atas impor cabe dan bawang merah segar untuk
dikonsumsi. Indonesia menerapkan Tindakan ini dengan menggunakan Peraturan

104
Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikulturatentang
Rekomendasi Impor Produk Hortikulturadengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 5 Ayat 4 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun
2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura bahwa Pemberian
RIPH produk hortikultura segar untuk konsumsi berupa cabe dan bawang
merah didasarkan pada ketetapan harga referensi dari Menteri
Perdagangan;
b. Harga referensi merupakan harga jual referensi di tingkat ritel yang
ditetapkan oleh Tim Pemantau Harga Produk Hortikultura;
c. Penentuan harga referensi oleh Kementerian Perdagangan berdasarkan
i. Biaya operasional petani;
ii. Margin keuntungan petani;
iii. Harga yang wajar dari produk tersebut untuk dijual kepada
pelanggan.
d. Kementerian Pertanian dan Perdagangan bertanggungjawab untuk
memantau sistem harga referensi sedangkan Biro Pusat Statistik Indonesia
bertanggungjawab untuk harga pasar domestik cabe dan bawang merah;
e. Pada waktu harga pasar turun dibawah harga referensi maka untuk
sementara impor ditunda sampai harga pasar kembali mencapai harga
referensi;

Berdasarkan ketentuan diatas, dapat diketahui bahwa impor tidak diperbolehkan


ketika harga pasar turun dibawah harga referensi yang telah ditetapkan
sebelumnya. Jadi kapan pun sistem harga referensi diaktifkan, maka impor untuk
sementara dilarang terlepas dari apakah importir memiliki RIPH dan/atau
Persetujuan Impor yang valid. Pengertian berfungsinya sistem harga referensi
adalah bahwa impor ditangguhkan atau ditunda. Indonesia menjelaskan bahwa
sistem harga referensi diaktifkan maka Kementerian Perdagangan menghentikan
sementara penerbitan Persetujuan Impor untuk cabe dan bawang merah dan untuk
importir yang hanya memiliki RIPH tidak akan diizinkan untuk mengimpor
produk-produk tersebut. Dengan adanya penangguhan atau penundaan impor
sementara memberikan dampak dari penangguhan itu sendiri yaitu pengenaan

105
larangan impor karena importir tidak akan mendapatkan satu dari dokumen yang
diperlukan untuk mendapatkan perizinan impor yaitu RIPH dan Persetujuan
Impor. Selain itu, larangan impor diberlakukan walaupun harga cabe dan bawang
merah impor berada diatas harga referensi masing-masing produk dan impor
dilanjutkan saat harga pasar domestik mencapai lagi harga referensi masing-
masing produk. Dalam hal ini, setelah harga cabe dan bawang merah di dalam
negeri jatuh di bawah harga referensi yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan
maka maka impor cabe dan bawang merah akan ditangguhkan. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa larangan untuk mengimpor cabe dan
bawang merah pada saat harga domestik dibawah harga referensi merupakan
definisi larangan menurut Pasal XI : 1 GATT 1994. Selain itu Panel menganalisa
kasus ini dengan mempertimbangkan salah satu pertimbangan penggugat
mengenai kasus yang sama dengan kasus ini yang telah diputus oleh Panel
sebelumnya yaitu dalam Panel di China-Raw Materials yang mempertimbangkan
konsistensi untuk membatasi ekspor dibawah harga tertentu, dalam hal ini Panel
sebelumnya menemukan bahwa membatasi ekspor dibawah tertentu memiliki
dampak membatasi pada impor. Selanjutnya Panel setuju dengan Amerika Serikat
bahwa Tindakan 7 (tujuh) bahkan lebih kategoris dibandingkan harga ekspor
minimum yang ditemukan sebagai pembatasan oleh Panel sebelumnya karena
melarang impor cabe dan bawang merah setelah harga referensi relevan tercapai.
Selain itu, adanya harga referensi menciptakan ketidakpastian dan insentif bagi
importir untuk membatasi jumlah yang mereka impor. Dalam hal ini importir
membatasi jumlah impor cabe dan bawang merah karena kenaikan pasokan cabe
dan bawang merah di pasar domestik memungkinkan harga cabe dan bawang
merah domestik menjadi turun dibawah harga referensi yang mengakibatkan
penundaan impor sehingga harga referensi memiliki dampak membatasi pada
impor importir. Dengan demikian berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui
bahwa harga referensi untuk cabe dan bawang merah menghasilkan larangan
ketika harga pasar domestik cabe dan bawang merah berada dibawah harga
referensi, harga referensi cabe dan bawang merah mengakibatkan importir
membatasi jumlah impor cabe dan bawang merah, harga referensi cabe dan

106
bawang merah menimbulkan ketidakpastian importir kapan akan melakukan
impor ke Indonesia saat harga pasar domestik diatas harga referensi dan Tindakan
7 (tujuh) bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam
Pasal XI : 1 GATT 1994 sehingga Tindakan 7 (tujuh) merupakan Tindakan dengan
dampak membatasi pada impor yang bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT
1994.

Tindakan 8 (delapan) terdiri dari persyaratan bahwa semua produk


hortikultura segar yang diimpor dipanen kurang dari enam bulan sebelum diimpor.
Indonesia menerapkan Tindakan ini melalui Pasal 8 Ayat 1 (a) Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura
yang menetapkan bahwa untuk mendapatkan RIPH untuk produk hortikultura
segar maka sebuah negara harus mengeluarkan pernyataan bahwa tidak
mengimpor produk hortikultura yang dipanen lebih dari enam bulan sebelum
impor. Berdasarkan gugatan penggugat bahwa Tindakan ini merupakan larangan
bagi selandia Baru dan pembatasan impor bagi Amerika Serikat. Tindakan ini
disebut larangan karena RIPH hanya boleh diterbitkan apabila importir
melampirkan berkas pernyataan mbahwa produk impor tidak lebih dipanen
selama enam bulan, dalam hal importir diketahui membuat pernyataan yang salah
maka RIPH tidak akan diberikan selama satu tahun sehingga importir tidak
memenuhi syarat untuk mengimpor produk hortikultura ke Indonesia. Tindakan
ini disebut pembatasan karena importir tidak mengimpor produk sesuai dengan
pertimbangan komersial, namun hanya mengimpor produk untuk memenuhi
persyaratan tersebut dan ketidakpatuhan importir terhadap persyaratan
menyebabkan importir kehilangan hak untuk mengimpor produk hortikultura ke
Indonesia. Dalam hal ini Amerika Srikat berpendapat Tindakan 8 (delapan)
memiliki dampak membatasi impor karena impor apel Amerika Serikat yang
dapat disimpan lebih dari enam bulan namun berdasarkan Tindakan 8 (delapan)
Amerika Serikat dilarang untuk mengimpor Apel ke Indonesia dari bulan April
sampai Oktober. Selain itu Amerika Serikat juga menyebutkan berdasarkan
putusan Panel sebelumnya dengan kasus yang serupa yaitu Turki-Rice dalam
konteks Pasal 4.2 Agreement on Agriculture yang membatasi penerbitan izin

107
impor berdasarkan periode penebangan merupakan pembatasan kuantitatif , oleh
karena itu persyaratan Indonesia menetapkan pembatasan berdasarkan masa panen
6 (enam) bulan produk hortikultura impor yang memiliki dampak membatasi
impor yang diizinkan masuk ke Indonesia. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat
diketahui bahwa Tindakan 8 (delapan) dirancang untuk melarang impor semua
produk hortikultura yang telah dipanen lebih dari enam bulan sebelum impor.
Sehingga Tindakan ini merupakan larangan mutlak seperti yang di kemukakan
oleh selandia baru karena mengacu pada definisi larangan dibawah Pasal XI : 1
GATT 1994. Panel dalam menganalisa kasus ini dengan mempertimbangkan
kasus yang telah diputus oleh Panel sebelumnya dengan kasus yang serupa yang
dikemukakan oleh Selandia Baru yaitu dalam Panel US-Poustry (China). Dalam
laporan Panel US-Poustry (China) dimana Tindakan yang dipermasalahkan
diketahui memiliki dampak melarang impor produk unggas dari China sehingga
terbukti tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Sehingga Tindakan 8
(delapan) merupakan larangan impor langsung untuk produk yang dipanen lebih
dari enam bulan sebelumnya yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Berdasarkan uraian fakta diatas, dapat diketahui bahwa Tindakan 8 (delapan)
merupakan larangan impor karena jika importir tidak membuat pernyataan RIPH
dari Kementerian Pertanian untuk produk hortikultuta impor telah dipanen
sebelum 6 (enam) bulan maka importir tidak akan mendapatkan mengimporkan
produk hortikulura, Tindakan ini juga merugikan importir yang tidak membuat
pernyataan bahwa produk hortikultura impor telah dipanen sebelum enam bulan
dengan dampak larangan impor bagi importir dan Tindakan ini bukan merupakan
bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam Pasal XI : 1 GATT 1994.
Dengan demikian Tindakan 6 (enam) merupakan larangan impor yang tidak sesuai
dengan Pasal XI :1 GATT 1994.

Tindakan 9 (sembilan) terdiri dari ketentuan perizinan impor Indonesia


untuk produk hortikultura yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura sebagaimana
telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang
Rekomendasi Impor Produk Hortikultura tentang Rekomendasi Impor Produk

108
Hortikulturasecara keseluruhan. Penggugat menentang ketentuan perizinan impor
Indonesia untuk produk hortikultura secara keseluhan dengan alasan bahwa
Tindakan 9 (sembilan) berbeda dari Tindakan 1 (satu) sampai 8 (delapan) karena
berkaitan dengan dampak gabungan dan operasi Tindakan tersebut untuk
mencapai tujuan kebijakan tertentu. Berdasarkan analisa Tindakan 1 (satu) sampai
8 (delapan) dapat diketahui bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia secara
keseluruhan memberikan beberapa dampak terhadap importir.

Berdasarkan dampak datas dapat diketahui bahwa dampak larangan dam


dampak membatasi pada impor berasal dari ketentuan perizinan impor Indonesia
yang terdiri dari Tindakan 1 dampai Tindakan 8. Sedangkan dampak diperburuk
dari Tindakan satu ke Tindakan lainnya berasal dari interaksi yang melekat pada
Tindakan 1 ke Tindakan lainnya. Berdasarkan pendapat penggugat dan tergugat
dapat disimpulkan bahwa Tindakan 9 (sembilan) yaitu ketentuan perizinan produk
hortikultura secara keseluruhan bertujuan untuk melindungi pangan dalam negeri
dan kemanan pangan dengan memberlakukan larangan dan pembatasan pada
impor serta mengakibatkan dampak yang memiliki pembatasan pada impor yang
dilarang dalam Pasal XI : 1 GATT 1994. Dengan adanya larangan dan batasan
impor dari Tindakan 1 (satu) sampai Tindakan 8 (delapan) membuat importir
mempertimbangkan saat mengambil keptusan untuk melakukan impor ke
Indonesia. Selanjutnya dalam hal setelah importir mencoba mematuhi berbagai
persyaratan pembatasan perdagangan yang diberlakukan Indonesia melalui
Tindakan 1 (satu) sampai Tindakan 8 (delapan) dapat berakibat kemampuan impor
importir dapat mengalami gangguan berat, jika tidak terhambat dan importir
sendiri mungkin secara material berkecil hati untuk melakukan bisnis apa pun di
Indonesia. Selanjutnya Panel setuju dengan Selandia Baru bahwa ketentuan
perizinan impor Indonesia secara keseluruhan tidak menguntungkan importir yang
menimbulkan disisentif yang juat bagi operator kemersal untuk melakukan impor
dan mempengaruhi rencana investasi importir. Sehingga pembatasan impor yang
diberlakukan Indonesia memberikan dampak negatif bagi importir. Dengan
demikian Tindakan 9 (sembilan) yaitu ketentuan perizinan impor produk
hortikultura Indonesia secara keseluruhan merupakan larangan atau pembatasan

109
impor yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena ketentuan
perizinan produk hortikultura secara keseluruhan bertujuan untuk melindungi
pangan dalam negeri dan kemanan pangan dengan memberlakukan larangan dan
pembatasan pada impor serta mengakibatkan dampak yang memiliki pembatasan
pada impor yang dilarang dalam Pasal XI : 1 GATT 1994..
Tindakan 10 (sepuluh) terdiri dari larangan impor daging sapi, jeroan,
bangkai dan produk olahan yang tidak tercantum dalam Lampiran I dari jenis
lembu dan yang tidak tercantum dalam Lampiran II dari jenis bukan lembu (non-
bovine) dan produk olahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah. Tindakan ini diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor
dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau
Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 59 Ayat 1 Undang - undang Nomor 41 Tahun 2014
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat diketahui bahwa importir
yang ingin melakukan impor produk hewan ke Indonesia harus
mendapatkan izin impor dengan mendapatkan Persetujuan Impor dari
Kementerian Perdagangan setelah mendapatkan Rekomendasi Impor dari
Kementerian Pertanian;
b. Berdasarkan Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan dapat
diketahui bahwa hewan dan produk hewan yang dapat diimpor hanya yang
tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini;
c. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014
tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, dapat diketahui
bahwa hewan dan produk hewan yang dapat diimpor hanya yang
tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini;

110
d. Berdasarkan Pasal 23 Ayat 3 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke
Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2015, dapat diketahui bahwa
Badan Usaha Milik Negara yang ditugasi oleh Menteri Badan Usaha Milik
Negara dapat melakukan impor dengan memasukkan karkas dan/atau
potongan daging sekunder (secondary cut) untuk tujuan memenuhi
ketersediaan pangan, gejolak harga, mengantisipasi inflansi dan bencana
alam.
Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa hewan dan produk hewan
yang tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri
Perdagangan dan Peraturan Menteri Pertanian yang dapat diimpor ke Indonesia,
serta karkas dan potongan daging sekunder yang diimpor oleh BUMN untuk
tujuan memenuhi ketersediaan pangan, gejolak harga, mengantisipasi inflansi dan
bencana alam. Selanjutnya menurut para para penggugat bahwa dalam hal
importir tidak memenuhi persyaratan dengan melakukan impor yang tidak
tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II maka Permohonan Rekomendasi
ditolak, hal ini diatur dalam Pasal 26 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah sebagaimana telah diubah.
Selanjutnya Panel memperjelas implikasi dari Pasal 59 Undang-undang Nomor 41
Tahun 2014 bahwa importir harus memperoleh izin untuk melakukan impor,
namun bagaimana dengan importir dalam memperoleh izin impor dengan
mendapatkan Rekomendasi Impor yang diperlukan untuk mengimpor hewan dan
produk hewan yang tidak terdaftar dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan
Menteri Perdagangan dan Peraturan Menteri Pertanian. Dalam hal pengecualian
impor bahwa BUMN dapat melakukan impor karkas yang tercantum dalam
Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia dan potongan daging sekunder yang tercantum dalam Lampiran II
peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor

111
dan Ekpor Produk Hewan untuk tujuan tertentu, dengan ini dapat diketahui
BUMN dilarang melakukan impor untuk hewan produk hewan selain karkas dan
potongan daging sekunder untuk tujuan tertentu. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa Tindakan 10 (Sepuluh) memberlakukan larangan impor dengan
tidak mengizinkan hewan dan produk hewan yang tidak tercantum dalam
Lampiran I dan Lampiran II peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewam dan Peraturan menteri
Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging
Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia dan Tindakan ini
bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam Pasal
XI : 1 GATT 1994, namun dibuat efektif dengan lisensi impor atau Tindakan lain
sehingga tidak sesuai dengan Pasal XI: 1 GATT 1994.
Tindakan 11 (sebelas) terdiri dari kombinasi persyaratan, termasuk
larangan importir untuk mengajukan Rekomendasi dan Persetujuan Impor di luar
empat periode dengan jangka waktu pengajuan 1 (satu) bulan, ketentuan bahwa
Persetujuan Impor itu sah dengan masa berlaku 3 (tiga) bulan setiap periode dan
persyaratan bahwa importir hanya diizinkan untuk mengajukan Rekomendasi dan
Persetujuan Impor pada bulan sebelum dimulainya periode yang telah ditentukan.
Tindakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah
dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 2014 tentang Pemasukan
Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 29 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2015 dapat diketahui bahwa
Rekomendasi Impor Hewan dan Produk Hewan dari Kementerian
Pertanian diterbitkan sebanyak 4 (empat) kali setahun dalam arti
pengajuan Rekomendasi impor sebanyak 4 (empat) kali dalam satu tahun
yaitu Desember bulan sebelumnya, dan Maret, Juni dan September tahun
berjalan;

112
b. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah, dapat diketahui bahwa Pengajuan Persetujuan Impor untuk
hewan dan produk hewan yang tercantum dalam Lampiran 1 Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor
Produk Hewan hanya dapat dilakukan sebagai berikut: (i) untuk kuartal
pertama (Januari sampai Maret), pada bulan Desember; (ii) untuk kuartal
kedua (April sampai Juni), dibulan Maret; (iii) untuk kuartal ketiga (Juli
sampai September), di bulan Juni; dan (iv) untuk kuartal ke empat
(Oktober sampai Desember) di bulan September;
c. Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah, dapat diketahui bahwa Sertifikat Kesehatan dari Negara asal
hewan dan produk hewan yang akan diimpor diterbitkan setelah IT-Hewan
dan Produk Hewan menerima Persetujuan Impor, dalam hal ini nomor
Persetujuan Impor harus tercantum dalam Sertifikat Kesehatan yang harus
menyertai setiap pengiriman hewan dan produk hewan ke Indonesia.

Berdasarkan ketentuan diatas dan berdasarkan keterangan para penggugat yang


telah disebutkan sebelumnya dapat diketahui bahwa dugaan pembatasan terjadi
karena kombinasi dari beberapa elemen atau persyaratan yang merupakan
Tindakan 11 (sebelas) yaitu

a. Jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor;


b. Persyaratan bahwa semua barang yang sampai ke Indonesia harus
menghapus bea cukai selama masa berlaku Persetujuan Impor;
c. Persyaratan bahwa Persetujuan Impor harus dikeluarkan sebelum barang
dikirim ke Indonesia dan keadaan faktual yang melekat pada transportasi
internasional tergantung pada lokasi geografis negara pengekspor.
Menurut Penggugat dibutuhkan waktu dua sampai enam minggu untuk
hewan dan produk hewan yang dikirim dari penggugat menju Indonesia.

113
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa importir telah memperoleh
Rekomendasi dan Persetujuan Impor untuk masa berlaku Januari sampai Maret
2015 maka dibutuhkan waktu rata-rata 4 (empat) minggu untuk mendapatkan
produk dari negara asal ke Indonesia. Berarti paling lambat importir harus
melakukan pengiriman terakhirnya pada awal bulan Maret agar produk tersebut
tiba tepat waktu untuk diterima di Indonesia sebelum masa berlaku Persetujuan
Impor berakhir. Selain itu importir mengajukan Rekomendasi dan Persetujuan
Impor untuk masa berlaku April sampai Juni 2015 maka Persetujuan Impor
diterbitkan pada awal setiap kuartal yaitu pada bulan April. Oleh karena itu, paling
awal importir akan dapat mengirimkan hewan dan produk hewan dibawah masa
berlaku April sampai Juni akan dimulai pada awal bulan April karena tidak dapat
mengirimkan produk apapun sebelum mendapatkan Persetujuan Impor yang baru
disebabkan persyaratan sertifikat kesehatan. Jika importir dapat mengirimkan
produk segera setelah mendapatkan Persetujuan Impor, produk akan sampai pada
bulan Mei karena asumsi pengiriman. Sehingga hal ini berakibat tidak akan ada
impor selama bulan April, importir harus menghentikan impor pada bulan Maret
dan hanya melanjutkan nya setelah mendapatkan Persetujuan Impor pada awal
April. Dalam hal ini diketahui ada periode dimana tidak ada impor ke Indonesia
yang disebabkan :

a. Jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor yang sangat dekat dengan
berakhirnya dokumen impor sebelumnya;
b. Persyaratan yang menghalangi importir dari pengiriman produk sebelum
memperoleh Persetujuan Impor yang baru, dimana tidak mengizinkan
importir menghemat waktu dengan mengirimkan produk mereka terlebih
dahulu sambil menunggu Persetujuan Impor yang baru;
c. Waktu pengiriman dari negara asal yang menciptakan celah waktu antara
waktu Persetujuan Impor yang baru diterima dan saat barang yang terkena
Persetujuan Impor tersebut sampai ke Indonesia.

Dari beberapa penyebab diatas dapat diketahui bahwa penyebab pertama dan
kedua disebabkan oleh peraturan Indonesia dan Penyebab ketiga disebabkan
karena pertimbangan geografis saat mengirimkan produk dari wilayah penggugat

114
ke Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya periode masa berlaku Persetujuan
Impor menunjukan ada periode tertetentu impor dibatasi dengan tidak
menghasilkan impor hewan dan produk hewan ke dalam Indonesia. Dengan
demikian Tindakan 11 (sebelas) memiliki dampak negatif pada peluang
persaingan produk impor yang membatasi akses pasar, menciptakan
ketidakpastian dan mempengaruhi rencana investasi. Kasus ini juga memiliki
kesamaan yang serupa dengan kasus yang telah diputus sejumlah Panel
sebelumnya yaitu Colombia-Ports Of Entry, China-Raw Materials dan US-
Poustry sehingga kasus ini membatasi akses pasar Indonesia dan menciptakan
ketidakpastian untuk hewan dan produk hewan impor yang berakibat membatasi
impor yang bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Ketika melihat Panel
Colombia-Ports Of Entry dimana Panel tersebut menemukan bahwa Tindakan
yang membatasi impor dari Panama ke dua pelabuhan di Colombia memiliki
dampak yang membatasi pada impor karena ketidakpastian termasuk akses ke satu
pelabuhan untuk waktu yang lama dan kemungkinan kenaikan biaya yang akan
timbul bagi importir yang beroperasi dibawah batasan pembatasan pelabuhan, dan
membatasi peluang kompetitif untuk impor yang tiba dari Panama. Dengan
berdasarkan kasus tersebut dapat diketahui bahwa pembatasan jangka waktu
pengajuan berkas lamaran impor dan masa berlaku Indonesia merupakan
Tindakan membatasi impor karena impor hewan dan produk hewan dari Amerika
Serikat tidak dapat masuk selama empat sampai enam minggu setiap kuartal atau
total empat sampai enam bulan setiap tahunnya. Dengan demikian Tindakan 11
(sebelas) yaitu pembatasan jangka waktu pengajuan berkas lamaran impor dan
masa berlaku dirancang dan disusun dengan membatasi peluang kompetitif
importir dalam praktik karena membatasi akses pasar produk impor ke Indonesia,
menciptakan ketidakpastian importir dalam melakukan impor dan Tindakan ini
bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam Pasal
XI : 1 GATT 1994 namun dibuat efektif dengan lisensi impor atau Tindakan lain
sehingga merupakan pembatasan yang memiliki dampak membatasi pada impor
yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.

115
Tindakan 12 (dua belas) terdiri dari persyaratan hanya untuk mengimpor
hewan dan produk hewan yang tercantum dalam Rekomendasi Impor dan
Persetujuan Impor, larangan mengimpor jenis bangkai, daging, dan atau produk
olahannya selain yang tercantum dalam Rekomendasi Impor dan Persetujuan
Impor dan larangan untuk meminta perubahan pada unsur-unsur yang ditentukan
dalam Rekomendasi Impor dan Persetujuan Impor. Tindakan ini diterapkan
berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dan Peraturan Meteri Perdagangan Nomor
46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah dengan unsur-unsur sebagai berikut :

a. Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014


tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dapat diketahui
bahwa Rekomendasi Impor paling sedikit memuat jenis atau kategori
beserta kode HS untuk produk yang akan diimpor, negara asal produk
yang diizinkan masuk dan tempat pemasukan atau pelabuhan masuk ke
Indonesia dimana produk diizinkan untuk diimpor;
b. Berdasarkan Pasal 33 a-b Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah bahwa importir
dilarang mengajukan perubahan negara asal, unit usaha asal, tempat
pemasukan, jenis/kategori karkas, daging, dan/atau olahannya terhadap
rekomendasi yang telah diterbitkan dan importir dilarang melakukan
pemasukan jenis/kategori karkas, daging, dan/atau olahannya selain yang
tercantum dari rekomendasi;
c. Berdasarkan Pasal 39 e Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah bahwa importir
yang melanggar ketentuan Pasal 33 dikenakan sanksi berupa pencabutan
rekomendasi, tidak diberikan rekomendasi berikutnya, dan diusulkan

116
kepada Menteri Perdagangan untuk mencabut Persetujuan Impor dan
status perusahaan sebagai importir terdaftar produk hewan;
d. Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah dapat dketahui bahwa jumlah impor, unit usaha, dan/atau
negara asal tidak sesuai dengan Persetujuan Impor maka impor tersebut
harus diekspor kembali atau re-ekspor dengan biaya importir.

Berdasarkan ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki dampak


membatasi impor karena membatasi importir yang melakukan impor hewan dan
produk hewan berdasarkan jumlah produk, negara asal produk, jenis/kategori
produk dan pelabuhan masuk produk impor hewan dan produk hewan yang
tercantum dalam Rekomendasi Impor dan Persetujuan Impor. Hal ini berakibat
lebih sedikit kesempatan untuk mengimpor hewan dan produk hewan ke
Indonesia. Dengan ketidakmungkinan untuk mengubah spesifikasi dalam
Rekomendasi Impor dan Persetujuan Impor menyebabkan importir tidak dapat
memanfaatkan peluang pasar atau mengurangi risiko pasokan global dan
menyesuaikan diri dengan perkembangan baru dalam situasi pasar. Seperti yang
dikemukakan oleh Amerika Serikat setelah Rekomendasi Impor dan Persetujuan
Impor diterbitkan, importir tidak dapat melakukan perubahan berdasarkan pasar,
untuk misalnya produk tertentu tidak lagi dibutuhkan, pelabuhan masuk tidak lagi
tersedia atau terjadi perubahan dalam keadaan importir itu sendiri. Selain itu,
kasus ini juga memiliki persamaan yang serupa dengan kasus yang telah diputus
oleh Panel sebelumnya yaitu seperti yang dikemukakan oleh Amerika Serikat
bahwa dalam Panel di India-Autos, Panel menemukan bahwa persyaratan
menyeimbangkan perdagangan membatasi impor karena ada batasan praktis untuk
jumlah produk yang akan dimiliki oleh perusahaan. Berdasarkan kasus tersebut
dapat diketahui bahwa Tindakan 12 (dua belas) membatasi jumlah impor importir
berdasarkan jumlah permintaan impor importi dalam Rekomendasi Impor dan
Persetujuan Impor. Dengan demikian Tindakan 12 (dua belas) merupakan
pembatasan impor atau Tindakan yang memiliki dampak membatasi impor
dengan membatasi jenis produk, negara asal, jumlah produk dan pelabuhan masuk

117
yang harus disesuaikan dengan Rekomendasi dan Persetujuan Impor yang
mengakibatkan importir tidak dapat memanfaatkan peluang pasar dan Tindakan
ini bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainya yang dikecualikan dalam
lingkup Pasal XI : 1 namun dibuat efektif dengan lisensi impor atau dindakan lain
sehingga Tindakan 12 (dua belas) tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Tindakan 13 (tiga belas) terdiri dari persyaratan bahwa importir harus
mengimpor sekurang – kurangnya 80 % (delapan puluh persen) dari jumlah setiap
jenis produk yang tercakup dalam Persetujuan Impor importir selama satu tahun.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah,
dengan unsur-unsur sebagai berikut :

a. Berdasarkan Pasal 13 dapat diketahui bahwa IT-Produk Hewan diwajibkan


mengimpor hewan dan produk hewan sekurang-kurangnya 80% (delapan
puluh persen) dari jumlah setiap produk yang tercantum dalam Persetujuan
Impor importir;
b. Berdasarkan Pasal 25 dapat diketahui bahwa IT-Hewan dan Produk Hewan
yang telah mendapatkan Persetujuan Impor wajib menyampaikan laporan
secara tertulis atas pelaksanaan impor hewan dan produk hewan dengan
melampirkan fotokopi kartu kendali realisasi impor yang merupakan kartu
kartu kendali jumlah realisasi impor hewan dan produk hewan;
c. Berdasarkan Pasal 26 dapat diketahui bahwa IT-Hewan dan Produk Hewan
akan dibekukan apabila importir tidak menjalankan kewajiban realisasi
dan tidak menyampaikan laporan realisasi sebanyak 3 (tiga) kali;
d. Berdasarkan Pasal 27 dapat diketahui bahwa IT-Hewan dan Produk Hewan
akan dicabut apabila importir tidak menjalankan kewajiban realisasi
sebanyak 2 (dua) kali.

Berdasarkan ketentuan diatas, para penggugat menyampaikan bahwa dampak


dari ketentuan diatas mendorong importir mengurangi jumlah yang diminta dalam
Rekomendasi dan Persetujuan Impor karena importir harus mengantisipasi jumlah
impor yang akan mereka perlukan selama masa berlaku Persetujuan Impor untuk
memastikan importir memenuhi persyaratan realisasi 80% (delapan puluh persen)

118
selama periode yang berlaku. Dengan demikian Tindakan 13 diperparah bila
dikombinasikan dengan Tindakan 12 karena importir dalam memenuhi
persyaratan Tindakan 12 membuat persyaratan impor terkunci sebelum
dimulainya periode impor yaitu tidak dapat mengubah jumlah produk impor yang
tercantum dalam Rekomendasi dan Persetujuan Impor sehingga membatasi
importir untuk memenuhi persyaratan realisasi impor 80% yang selanjutnya
mendorong importir mengurangi jumlah yang mereka minta dalam Persetujuan
Impor. Pengurangan jumlah hewan dan produk hewan impor yang yang diminta
dalam Persetujuan Impor dilakukan karena importir khawatir kelebihan pasokan
produk pada akhir tahun periode impor akan memaksa importir menjual produk
dengan kerugian atau kehilangan kelayakan untuk diimpor. Namun diluar hal
tersebut, persyaratan realisasi 80% merupakan jumlah yang besar dan importir
diwajibkan untuk memenuhi realisasi tersebut. Dengan importir mematuhi
persyaratan realisasi 80% bahkan lebih berisiko karena importir melakukan impor
dalam jumlah yang besar yaitu 80% dari Persetujuan Impor dalam jangka waktu
yang ditentukan yang berakibat pasokan hewan dan produk hewan dalam pasar
Indonesia semakin banyak sehingga harga pasar domestik dibawah harga referensi
sehingga menimbulkan pengaktifan harga referensi yang membuat pembatasan
impor hewan dan produk hewan pada periode berikutnya. Dengan demikian
Tindakan 13 (tiga belas) dapat memicu Tindakan 16 (enam belas). Selanjutnya,
kasus ini memiliki persamaan yang serupa dengan kasus yang telah diputus Panel
sebelumnya yaitu dalam Panel India-Autos. Panel tersebut menemukan bahwa
Tindakan yang tidak menetapkan batas numerik absolut pada impor namun
importir diinduksi untuk membatasi impor sebagai konsekuensi kewajiban untuk
memenuhi ekspor yang diberlakukan India sehingga Tindakan ini merupakan
pembatasan impor. Dengan berdasarkan keputusan Panel tersebut, dapat diketahui
bahwa persyaratan realisasi 80% bertindak dengan cara yang sama yaitu memberi
insentif kepada importir untuk membatasi jumlah yang mereka minta dalam
dokumen impor Persetujuan Impor yang bertujuan membatasi jumlah produk
yang diizinkan untuk diimpor. Dengan demikian Tindakan 13 (tiga belas)
merupakan Tindakan yang memiliki dampak membatasi pada impor karena

119
importir harus melakukan realisasi Impor sebesar 80% dari akumulasi Persetujuan
Impor apabila tidak melakukan realisasi maka IT-Hewan dan Produk Hewan
dibekukan bahkan dicabut, importir harus membatasi jumlah impor pada
Persetujuan Impor untuk memenuhi persyaratan 80% karena importir dilarang
melakukan perubahan jumlah impor pada Persetujuan Impor, Tindakan 13 dapat
memicu terjadinya pengaktifan harga referensi yang berakibat tidak dapat
dilakukan impor pada periode tertentu dan Tindakan 13 bukan merupakan bea,
pajak atau biaya lainnya yang dikecualikan dalam lingkup Pasal XI :1 GATT 1994
namun dibuat efektif dengan lisensi impor atau Tindakan lain sehingga Tindakan
13 yang merupakan pembatasan tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.

Tindakan 14 (empat belas) terdiri dari persyaratan tertentu yang


membatasi penggunaan, penjualan dan distribusi hewan dan produk hewan impor
termasuk daging sapi dan jeroan. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan
unsur-unsur sebagai berikut :

a Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun


2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan dapat diketahui
bahwa jenis hewan dan produk hewan yang tercantum dalam Lampiran I
dan Lampiran II Peraturan Menteri ini hanya dapat dilakukan impor untuk
meningkatkan mutu dan keragaman genetika, mengembangkan ilmpu
pengetahuan dan teknologi, mengatasi kekurangan benih, bibit dan/atau
bakalan/ternak potong di dalam negeri, dan memenuhi keperluan
penelitian dan pengembangan;
b Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah, dapat diketahui bahwa karkas, daging,dan/atau jeroan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk

120
Hewan hanya dapat diimpor untuk tujuan penggunaan dan distribusi bagi
industri, hotel, restoran, katering, dan/atau keperluan khusus lainnya;
c Bedasarkan Pasal 25 Ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan
sebagaimana telah diubah, dapat diketahui bahwa IT-Hewan dan Produk
Hewan yang telah mendapatkan Persetujuan Impor wajib menyampaikan
laporan distribusi sapi dan daging sapi yang tercantum dalam Lampiran V
dan VI;
d Berdasarkan Pasal 26 (b) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana
telah diubah, dapat diketahui bahwa IT-Hewan dan Produk Hewan
dibekukan apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajiban
menyampaikan laporan distribusi sapi dan daging sapi yang tercantum
dalam Lampiran V dan VI sebanyak 3 (tiga) kali;
e Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014
tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2015 dapat diketahui bahwa tujuan
penggunaan daging jenis lembu yang tercantum dalam Lampiran I adalah
untuk hotel restoran, katering, industri dan keperluan khusus lainnya.
Sedangkan untuk karkas dan/atau daging dari jenis selain lembu serta
produk daging olahan yang tercantum dalam Lampiran II peraturan
menteri ini digunakan untuk hotel, restoran, katering, industri, keperluan
khusus lainnya dan pasar modern. Selain itu BUMN dapat melakukan
pemasukan impor hewan dan produk hewan dengan tujuan stabilisasi
harga dan bantuan bencana;
f Berdasarkan Pasal 39 (d) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun
2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, dapat diketahui
bahwa pelaku usaha dan BUMN yang melanggar Pasal 32 dikenakan
sanksi berupa pencabutan rekomendasi, tidak diberikan rekomendasi
berikutnya, dan diusulkan kepada Menteri Perdagangan untuk mencabut

121
Persetujuan Impor (PI) dan status perusahaan sebagai Importir Terdaftar
(IT) hewan dan produk hewan.

Berdasarkan ketentuan diatas para penggugat menganggap bahwa Tindakan 14


(empat belas) menyebabkan dampak pembatasan impor dengan mempengaruhi
peluang persaingan produk impor karena menghambat hewan dan produk hewan
impor tertentu untuk menjangkau gerai ritel yang berakibat mengurangi peluang
produk impor mencapai konsumen akhir. Dengan berdasarkan pendapat
penggugat dan pendapat tergugat yang telah disebutkan sebelumnya dapat
diketahui bahwa dengan membatasi penggunaan berbagai jenis hewan dan produk
hewan yang diimpor ketentuan Impor hewan dan dan produk hewan menghasilkan
larangan untuk produk impor yang ditujukan untuk penggunaan lainnya selain
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Berikut ini
beberapa larangan bagi importir berdasarkan ketentuan impor hewan dan produk
hewan yaitu :

a. Hewan dan produk impor yang tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran
II Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan sebagaimana telah diubah
dan Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014
tentang tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke
Dalam Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, tidak
dapat dijual di pasar modern maupun pasar tradisional dan secara langsung
ke konsumen;
b. Hewan dan Produk Hewan yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang tentang Pemasukan
Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah, diizinkan untuk dijual kepasar
modern tetapi tidak untuk dijual ke pasar tradisional dan secara langsung
ke konsumen.

Dengan demikian hewan dan produk impor yang berada di bawah cakupan
Peraturan Menteri Perdagangan dan Peraturan Menteri Pertanian tidak dapat

122
menjangkau gerai ritel tertentu dengan menghalangi penjualan di pasar modern
atau pasar tradisional atau langsung ke konsumen sehingga membatasi peluang
kompetitif importir untuk menjual produk impor mereka. Selanjutnya Panel dalam
menganalisa kasus ini dengan mempertimbangkan putusan Panel sebelumnya
berdasarkan pendapat penggugat yaitu dalam Panel India-Pembatasan Kuantitatif.
Dalam kasus tersebut produk hanya dapat diimpor oleh Pengguna Aktual dan
karenanya tidak mengizinkan impor produk untuk dijual kembali oleh perantara.
Kemudian Panel menyimpulkan bahwa Tindakan India merupakan pembatasan
impor karena menghalangi impor produk untuk dijual kembali oleh perantara
yaitu distribusi kepada konsumen yang tidak dapat mengimpor secara langsung
untuk penggunaan langsung. Dengan berdasarkan bukti-bukti yang ada dan
pendapat penggugat serta pertimbangan Panel dapat diketahui bahwa Tindakan 14
(empat belas) memilik dampak membatasi impor karena importir dibatasi dalam
hal menjual produk impor mereka dengan berdasarkan jenis lembu atau tidak yang
tercantum dalam Lampiran I dan II Peraturan Menteri Perdagangan dan Pertanian
yang berdampak pembatasan peluang kompetitif importir. Selain itu, Tindakan ini
bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam lingkup
Pasal XI : 1 GATT 1994, namun dibuat efektif dengan lisensi impor atau Tindakan
lain. Maka dengan demikian Tindakan ini merupakan pembatasan tidak sesuai
dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.

Tindakan 15 (lima belas) terdiri dari persyaratan yang dikenakan pada


importir daging ruminansia besar untuk menyerap daging sapi lokal. Tindakan ini
diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam Wilayah Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan unsur-unsur sebagai berikut :

a. Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 dapat diketahui bahwa pemasukan daging


ruminansia besar wajib menyerap daging sapi lokal dari rumah potong
hewan yang telah memiliki Nomor Kontrol Veteriner dan penyerapan
daging sapi lokal wajib diverivikasi oleh dinas provinsi dan/atau dinas
kabupaten/kota asal daging sapi lokal;

123
b. Berdasarkan Pasal 24 Ayat 1 Huruf (l) dapat diketahui bahwa bukti
penyerapan daging sapi lokal yang telah diverivikasi digunakan untuk
mengajukan Rekomendasi Impor oleh Kementerian Pertanian;
c. Berdasarkan Pasal 26 Ayat 1 dapat diketahui bahwa permohonan
Rekomendasi akan ditolak apabila importir tidak melengkapi persyaratan
dengan tidak menyerap daging sapi lokal dengan diverivikasi dalam
melakukan pemasukan daging ruminansia besar;
d. Berdasarkan Pasal 39 (b) – (c) dapat diketahui bahwa importir yang
melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 24 Ayat 1 Huruf (l) maka
akan dilakukan pencabutan Rekomendasi Impor, penetapan sebagai IT-
Hwan dan Produk Hewan dan Persetujuan Impor serta tidak akan
diberikan Rekomendasi Impor berikutnya.

Berdasarkan ketentuan diatas, dapat diketahui bahwa Tindakan 15 (lima belas)


memaksa importir untuk membeli daging daging sapi domestik sebagai syarat
untuk menerima Rekomendasi dari Kementerian Pertanian dan sebagai syarat
untuk mengimpor daging sapi ke Indonesia. Dalam hal ini para penggugat
menekankan dampak pembatasan pada impor yang berasal dari ketentuan
perizinan impor Indonesia berdampak terhadap peluang persaingan produk impor.
Para Penggugat mengklaim bahwa Tindakan 15 (lima belas) memiliki dampak
membatasi pada impor yang berdampak bahwa peluang persaingan dipengaruhi
dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut :

a. Importir diminta untuk menganti daging sapi impor dengan daging sapi
dalam negeri;
b. Menambah biaya impor yang tidak perlu karena tingginya biaya daging
sapi Indonesia menandakan bahwa biaya untuk memenuhi persyaratan ini
mengenakan biaya tambahan untuk importir;

Namun menurut Indonesia ketentuan ini berlaku belum pasti karena tidak ada
permohonan Rekomendasi Impor yang ditolak sepanjang belum memenuhi
persyaratan pembelian dalam negeri. Selain itu sebagai konsekuensi dari
persyartan ini, importir dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama yaitu
impotir dapat menjual daging sapi lokal yang dibeli dalam bisnis impor oleh

124
karena itu importir tidak perlu mengimpor jumlah tersebut untuk memenuhi
permintaan sehingga mereka akan mengganti produk impor dengan produk dalam
negeri secara efektif dengan demikian substitusi impor semacam itu memiliki
dampak membatasi pada impor. Pilihan kedua yaitu importir dapat menemukan
alternatif lain untuk menggunakannya dan tidak harus terhubung dengan bisnis
mereka, jika importir memutuskan untuk tidak menjual daging sapi lokal
menyebabkan importir terpaksa mencari alternatif lain yang dapat menambah
biaya dan mempengaruhi bisnis. Dengan biaya tambahan cenderung mengurangi
impor sehingga menciptakan dampak membatasi pada impor. Dengan berdasarkan
pendapat para penggugat dan tergugat dapat diketahui bahwa dampak subtitusi
impor yang melekat pada Tindakan 15 (lima belas) memiliki dampak yang
membatasi sehingga bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 walaupun
Indonesia menyatakan bahwa tidak ada Rekomendasi Impor yang ditolak dalam
hal tidak menyebutkan pembelian daging sapi dalam negeri yang telah diverifikasi
karena pada kenyataannya Importir dalam mengajukan permohonan Rekomendasi
harus memenuhi persyaratan pembelian daging sapi dalam negeri yang harus
diverivikasi yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian, walaupun
persyaratan tersebut mengakibatkan pembatasan dan kerugian terhadap importir.
Selanjutnya Panel dalam menganalisa kasus ini dengan membandingkan putusan
Panel sebelumnya dengan kasus yang serupa yaitu dalam Panel Argentina-Impor
Measures yang mencakup persyartan untuk memasukkan Tindakan minimum
konten lokal ke dalam barang yang diproduksi di Argentina. Dalam kasus tersebut
Panel sebelumnya menemukan bahwa peningkatan muatan lokal yang diminta
baik dengan membeli dari produsen dalam negeri atau dengan mengembangkan
pembuatan lokal memiliki dampak membatasi pada impor karena Tindakan
tersebut dirancang untuk memaksa subtitusi impor dan mengakibatkan biaya
tambahan dengan aktivitas bisnis operator tertentu. Dengan demikian juga
Tindakan 15 (lima belas) juga memaksa subtitusi impor dan mengakibatkan biaya
tambahan bagi importir sehingga bertentangan dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.
Dengan demikian Tindakan 15 (lima belas) yaitu persyaratan pembelian daging
sapi dalam negeri merupakan pembatasan yang memiliki dampak membatasi pada

125
impor karena untuk mendapatkan Rekomendasi Impor dari Kementerian Pertanian
harus membeli daging sapi dalam negeri dan harus diverivikasi yang
mengakibatkan pembatasan peluang persaingan produk impor dan mengakibatkan
biaya tambahan terhadap importir. Selain itu Tindakan ini bukan merupaka bea,
pajak dan biaya tambahan lainnya yang dikecualikan dalam lingkup Pasal XI :1
GATT 1994 namun dibuat efektif dengan lisensi impor. Oleh karena itu, Tindakan
15 (lima belas) yaitu persyaratan pembelian daging sapi dalam negeri merupakan
pembatasan yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994.

Tindakan 16 (enam belas) terdiri dari penerapan sistem harga referensi


untuk hewan dan produk hewan impor dalam Lampiran I dan penghentian
sementara impor pada saat harga pasar domestik daging sapi turun dibawah harga
referensi yang telah ditetapkan. Tindakan ini diatur dalam Pasal 14 Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor
Produk Hewan sebagaimana telah diubah. Berdasarkan ketentuan ini harga daging
jenis potongan sekunder berada dibawah harga referensi maka impor hewan dan
produk hewan yang tercantum dalam Lampiran I ditunda sampai harga kembali
mencapai harga referensi. Harga Referensi daging sapi jenis potongan sekunder
adalag Rp. 76.000,00. Dengan ketentuan tersebut menerapkan larangan impor
ketika harga daging jenis potongan sekunder dibawah harga referensi. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa berdasarkan Tindakan ini impor ditunda pada
saat harga dibawah harga referensi, namun dalam praktiknya impor dilarang pada
saat harga pasar daging sapi jenis potongan sekunder berada dibawah harga
referensi. Larangan tersebut berlaku untuk semua hewan dan produk hewan yang
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun
2013. Selanjutnya dugaan dampak pembatasan dari Tindakan ini, Panel
sependapat dengan para penggugat bahwa Tindakan ini memiliki dampak yang
membatasi dengan menciptakan ketidakpastian dan pengaruh rencana invenstasi.
Ketidakpastian timbul dari kurangnya transparansi sistem harga referensi yaitu
metodologi penghitungan tetap tidak jelas karena unsur konstitutifnya tidak
diketahui atau dipublikasikan oleh Tim Pemantau Harga Daging Sapi dan waktu
pengenalan harga refrensi baru tetap tidak tepat karena dapat dievaluasi ulang

126
kapan saja. Selain itu dengan adanya harga referensi daging sapi jenis potongan
sekunder mengakibatkan Tindakan dampak membatasi pada impor karena
importir konservatif dalam menentukan volume daging sapi dalam Persetujuan
Impor karena peningkatan pasokan potongan daging sapi sekunder dapat memicu
impor ditunda untuk periode selanjutnya. Panel dalam menganalisa kasus ini
dengan mempertimbangan putusan Panel sebelumnya dengan kasus yang serupa
yaitu dalam Panel Argentina-Impor Measures dan Colombia-Ports Of Entry
bahwa ketidakpastian yang diciptakan oleh suatu Tindakan dapat merupakan
pembatasan dalam makna Pasal XI :1 GATT 1994. Sehubungan dengan kasus ini
maka ketidakpastian yang diciptakan oleh persyaratan bahwa impor hewan dan
produk hewan ditunda pada saat harga pasar daging sapi jenis potongan sekunder
berada dibawah harga referensi merupakan pembatasan dalam makna Pasal XI : 1
GATT 1994. Dengan berdasarkan analisa ketentuan perizinan impor,
pertimbangan Panel dan pendapat penggugat tergugat yang telah disampaikan
pada poin sebelumnya maka dapat diketahui bahwa tindaka 16 (enam belas)
merupakan pembatasan yang memiliki dampak membatasi impor karena melarang
impor pada saat harga pasar daging sapi dari jenis potongan sekunder berada
dibawah harga referensi yang telah ditetapkan dan ketentuan ini membuat importir
membatasi jumlah daging sapi impor pada Persetujuan Impor agar tidak terjadi
peningkatan pasokan daging sapi yang dapat memicu impor dilarang pada periode
selanjutnya. Selanjutnya Tindakan ini bukan merupakan bea, pajak dan biaya
lainnya yang dikecualikan dalam lingkup Pasal XI : 1 GATT 1994 namun dibuat
efektif dengan lisensi impor atau Tindakan lain. Dengan demikian Tindakan 16
(enam belas) merupakan pembatasan yang tidak sesuai dengan Pasal IX : 1 GATT
1994.

Tindakan 17 (tujuh belas) terdiri dari ketentuan perizinan impor Indonesia


untuk hewan dan produk hewan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk
Hewan sebagaimana telah diubah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139
Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging Dan/Atau Olahannya Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah secara keseluruhan. Para

127
penggugat menantang ketentuan perizinan impor Indonesia untuk hewan dan
produk hewan secara keseluruhan dengan alasan bahwa hal itu berbeda dari
tidakan 10 sampai 16 karena berkaitan dengan dampak gabungan dan operasi
Tindakan tersebut untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu. Dalam hal ini
importir harus mematuhi ketentuan perizinan impor yang tercakup dalam
Tindakan 10 (sepuluh) sampai 16 (enam belas) sehingga tidak cukup untuk
importir hanya memenuhi salah satu ketentuan perizinan impor agar importir
dapat melakukan impor ke Indonesia. Dengan demikian Panel setuju dengan para
Penggugat bahwa berbagai persyaratan dan prosedur impor yang tercakup dalam
10 (sepuluh) sampai 16 (enam belas) Tindakan ketentuan perizinan impor untuk
hewan dan produk hewan secara intrinsik saling terkait. Selanjutnya berdasarkan
analisa sebelumnya Tindakan 10 (sepuluh) sampai 16 (enam belas) dapat
diketahui bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia secara keseluruhan
memberikan beberapa dampak terhadap importir, yaitu sebagai berikut :

a. Memberlakukan larangan impor;


b. Membatasi peluang kompetitif importir dalam praktik karena membatasi
akses pasar hewan dan produk hewan impor ke Indonesia;
c. Menciptakan ketidakpastian terhadap importir dalam melakukan impor;
d. Membatasi impor berdasarkan jenis produk, negara asal, jumlah produk
dan pelabuhan masuk;
e. Importir tidak dapat memanfaatkan peluang pasar;
f. Persyaratan realisasi 80% (delapan puluh persen) diperburuk dalam hal
digabungkan dengan Persyaratan impor berkala dan tetap karena jumlah
impor tidak dapat diubah harus sesuai dengan jumlah dalam Persetujuan
Impor;
g. Persyaratan realisasi 80% (delapan puluh) persen dapat memicu
pengaktifan harga referensi yang berdampak pembatasan impor;
h. Mengindikasi importir untuk melakukan pembatasan jumlah produk
impor;
i. Membatasi penggunaan, penjualan dan distribusi hewan dan produk
hewan berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dan

128
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 sebagaimana telah
diubah;
j. Pembatasan peluang persaingan produk impor dan menambah biaya
importir dalam hal persyaratan pembelian daging sapi dalam negeri.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Tindakan 10 (sepuluh) sampai 16


(enam belas) menghasilkan larangan atau pembatasan yang memiliki dampak
pembatasan pada impor yang berasal dari ketentuan perizinan impor hewan dan
produk hewan yang terdiri dari Tindakan 10 (sepuluh) sampai Tindakan 16 (enam
belas). Selanjutnya adanya dampak pembatasan yang di perburuk antara Tindakan
satu dengan Tindakan lain merupakan akibat dari interaksi yang melekat dari
Tindakan yang satu ke Tindakan yang lain. Berdasarkan pendapat para penggugat
dan tergugat dapat disimpulkan bahwa Tindakan 17 (tujuh belas) merupakan
ketentuan impor hewan dan produk hewan secara keseluruhan bertujuan untuk
melindungi pangan dalam negeri dan kemanan pangan yang berlaku dengan
larangan dan pembatasan impor yang memiliki dampak membatasi pada impor
yang dilarang dalam Pasal XI : 1 GATT 1994. Dengan adanya larangan dan
pembatasan mengakibatkan importir harus mempertimbangkan terlebih dahulu
untuk melakukan impor ke Indonesia. Selanjutnya dalam hal setelah importir
mencoba mematuhi berbagai persyaratan pembatasan perdagangan yang
diberlakukan Indonesia melalui Tindakan 10 (sepuluh) sampai Tindakan 16 (enam
belas) dapat berakibat kemampuan impor importir dapat mengalami gangguan
berat, jika tidak terhambat dan importir sendiri mungkin secara material berkecil
hati untuk melakukan bisnis apa pun di Indonesia. Selanjutnya Panel setuju
dengan Selandia Baru bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia secara
keseluruhan tidak menguntungkan importir yang menimbulkan disisentif yang
juat bagi operator kemersal untuk melakukan impor dan mempengaruhi rencana
investasi importir . Sehingga ketentuan perizinan impor Indonesia memiliki
dampak negatif terhadap importir. Dengan demikian Tindakan 17 (tujuh belas)
merupakan larangan atau pembatasan yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT
1994 karena ketentuan perizinan impor secara keseluruhan diberlakukan dengan
larangan impor, pembatasan impor, Tindakan yang memiliki dampak pembatasan

129
pada impor dan Tindakan ini bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang
dikecualikan dalam lingkup Pasal XI :1 GATT 1994 namun dibuat efektif dengan
lisensi impor atau Tindakan lain.

Tindakan 18 (delapan belas) terdiri dari persyartan dimana impor produk


hortikultura, hewan dan produk hewan tergantung pada penentuan kecukupan
pasokan domestik untuk memenuhi permintaan domestik dengan unsur-unsur
sebagai berikut :

a. Berdasarkan Pasal 36B Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang


Peternakan dan Kesehatan Hewan, dapat diketahui bahwa impor produk
hewan dilakukan apabila produksi dan pasokan produk hewan di dalam
negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat;
b. Berdasarkan Pasal 88 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang
Hortikultura, dapat diketahui bahwa Impor Produk Hortikultura wajib
memperhatikan ketersediaan produk dalam negeri;
c. Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, dapat diketahui bahwa apabila Sumber Penyediaan Pangan belum
mencukupi maka dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan
kebutuhan;
d. Berdasarkan Pasal 36 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, dapat diketahui bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan
apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi;
e. Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dapat diketahui bahwa importir
dilarang melakukan impor komoditi pertanian pada saat ketersediaan
komoditi pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan manusia;

Dengan berdasarkan ketentuan diatas, para penggugat mengklaim bahwa


ketidakcukupan produksi dalam negeri memiliki dampak pembatasan impor
karena kurangnya transparansi dan prediktabilitas Indonesia dalam
memberlakukan ketentuan ini, dalam hal ini pemerintah tidak mengumumkan
kapan kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik
akan ditentukan. Selanjutnya kurangnya transparansi dan prediktabilitas dapat

130
menimbulkan ketidakpastian bagi importir kapan impor akan diizinkan atau
dilarang. Selanjutnya Tindakan 18 tidak dapat bertentangan dengan Pasal XI : 1
GATT 1994 karena menurut Selandia Baru Tindakan ini secara eksplisit
membatasi impor dengan menciptakan larangan produk tertentu dalam keadaan
tertentu. Panel menyampaikan bahwa Anggota WTO bebas untuk mengejar tujuan
pengembangan pangan dan pertanian, asalkan tidak dilaksanakan melalui
Tindakan yang tidak konsisten dengan WTO. Dalam hal ini ketentuan Perizinan
Impor Indonesia yang menyatakan bahwa kecukupuan produksi dalam negeri
untuk memenuhi permintaan domestik tidak boleh dilakukan dengan larangan
atau pembatasan impor. Sehingga tujuan kebijakan ini untuk tujuan swasembada
tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam WTO karena adanya larangan
impor dalam kondisi tertentu. Dengan demikian Tindakan 18 (delapan belas)
merupakan pembatasan yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena
impor dilarang masuk ke Indonesia pada saat ketersedian produksi dalam negeri
mencukupi kebutuhan domestik yang berakibat pembatasan pada impor Importir.

Dengan berdasarkan analisa diatas, Panel menemukan bahwa Tindakan 1


(satu) sampai Tindakan 18 (delapan belas) tidak sesuai dengan Pasal XI :1 GATT
1994 karena merupakan larangan atau pembatasan impor. Sehingga Panel
menganggap bahwa tidak diperlukan lagi untuk melanjutkan analisisnya mengenai
klaim berdasarkan Pasal 4.2 Agreement on Agriculture , klaim berdasarkan Pasal
III : 4 GATT 1994 dan Pasal 3.2 Agreement on Import Licensing Procedures.

Sehubungan dengan pertahanan Indonesia berdasarkan Pasal XX GATT


1994 dapat diketahui bahwa :

a. Indonesia telah gagal menunjukkan bahwa Tindakan 1 (Satu), 2 (Dua), dan


3 (Tiga) dibenarkan berdasarkan Pasal XX (d) GATT 1994;
b. Indonesia telah gagal menunjukkan bahwa Tindakan 4 (Empat) dibenarkan
berdasarkan Pasal XX (b) GATT 1994;
c. Indonesia telah gagal menunjukkan bahwa Tindakan 5 (Lima) dan 6
(Enam) dibenarkan berdasarkan Pasal XX (a), (b) dan (d) GATT 1994;
d. Indonesia telah gagal menunjukkan bahwa Tindakan 7 (Tujuh) dibenarkan
berdasarkan Pasal XX (b) GATT 1994;

131
e. Indonesia telah gagal menunjukkan bahwa Tindakan 8 (Delapan)
dibenarkan berdasarkan Pasal XX (b) GATT 1994;
f. Indonesia telah gagal menunjukkan bahwa Tindakan 9 (Sembilan) sampai
18 (Delapan Belas) dibenarkan berdasarkan Pasal XX (a), (b) atau (d)
GATT 1994.

Dengan adanya putusan World Trade Organization (WTO) pada tanggal


22 Desember 2016 yang mengabulkan gugatan Amerika Serikat dan Selandia
Baru dan memutuskan bahwa Ketentuan Perizinan Impor Indonesia tidak sesuai
dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Maka dengan ini Indonesia mengajukan banding
pada tanggal 17 Februari 2017 dengan gugatan sebagai berikut :

a. Membalikkan keputusan Panel yang sebelumnya menetapkan bahwa 18


(delapan belas) tindakan Indonesia tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT
1994;
b. Mengklaim bahwa Panel salah dalam menilai tindakan yang
dipermasalahkan berdasarkan Pasal XI : 1 GATT 1994 namun Panel harus
menyimpulkan bahwa Pasal 4.2 Perjanjian tentang Pertanian lebih tepat
karena yang dipermasalahkan adalah produk pertanian;
c. Mengklaim bahwa tindakan 9 sampai 17 dibenarkan berdasarkan Pasal
XX (a), (b) atau (d) GATT 1994;
d. Pasal 21.1 Perjanjian tentang Pertanian, Pasal XI : 2 (c) GATT 1994 dapat
diandalkan untuk membenarkan atau membebaskan tindakan yang
termasuk dalam larangan pembatasan impor kuantitatif yang tidak sesuai
dengan Pasal 4.2 Perjanjian tentang Pertanian

Dengan gugatan yang telah disampaikan diatas, selanjutnya badan banding


membuat keputusan bahwa badan banding menolak gugatan banding Indonesia
dengan membuat suatu kesimpulaan yaitu sebagai berikut :

a. Badan banding menolak klaim Indonesia bahwa Panel salah dalam menilai
klaim mengenai tindakan yang dipermasalahkan berdasarkan Pasal XI :1
GATT 1994 dan bukan Pasal 4.2 Perjanjian tentang Pertanian;
b. Badan banding menolak permintaan Indonesia untuk membalikkan
Keputusan Panel sebelumnya;

132
c. Badang banding menjunjung tinggi temuan panel dalam paragraf 7.60
Laporan Panel, dengan demikian Pasal 21.1 Perjanjian tentang Pertanian,
Pasal XI : 2 (c) GATT 1994 tidak dapat diandalkan untuk membenarkan
atau membebaskan tindakan yang termasuk dalam larangan pembatasan
impor kuantitatif berdasarkan Pasal 4.2 dari Agreement on Agriculture
d. Badan Banding memutuskan untuk memutuskan klaim Indonesia atas
permintaan berdasarkan Pasal XX GATT 1994 dan menyatakan temuan
Panel bahwa Tindakan 9 (sembilan) sampai 17 (tujuh belas) dibenarkan
berdasarkan Pasal XX (a), (b) atau (d) GATT 1994,
Dengan demikian berdasarkan Laporan Panel dan Laporan Banding dapat
diketahui bahwa pengajuan banding Indonesia ditolak dan Indonesia tetap
melanggar aturan yang terdapat dalam World Trade Organization yaitu ketentuan
impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan Indonesia tidak sesuai
dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 yaitu sebagai berikut :
a. Tindakan 1 sampai 7, 9 dan 11 sampai 17 tidak sesuai dengan Pasal XI : 1
GATT 1994 karena berdasarkan struktur desain, arsitektur dan
pengungkapannya ketentuan tersebut merupakan pembatasan yang
memiliki dampak pembatasan pada impor;
b. Tindakan 8 dan 9 tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena
berdasarkan struktur desain, arsitektur dan pengungkapannua ketentuan
tersebut merupakan larangan pada impor;
c. Tindakan 18 tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena
berdasarkan struktur desain, arsitektur dan pengungkapannya ketentuan
tersebut merupakan pembatasan yang memiliki dampak pembatasan pada
impor. Dengan demikian Panel menolak untuk menentukan apakah
tindakan 18 (delapan belas) juga tidak konsisten seperti yang diterapkan
pada Pasal XI : 1 GATT 1994.

2.Dampak putusan World Trade Organization (WTO) tentang ketentuan


impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan Indonesia terhadap
Indonesia

Dengan adanya Putusan World Trade Organization bahwa Ketentuan


Impor Produk Hortikultura, Hewan dan Produk Hewan Indonesia tidak sesuai

133
dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 mengakibatkan Indonesia untuk memperbaiki
atau mengubah pelanggarannya terhadap ketentuan yang terdapat dalam GATT
1994. Dalam hal ini Panel merekomendasikan agar Dispute Settlement Body
meminta Indonesia untuk membawa tindakan-tindakannya sesuai dengan
kewajibannya dibawah GATT 1994 yaitu sebagai berikut

Persuant to Article 19.1 of the DSU, having found that Indonesia


acted inconsistently with its obligations under Article XI :1 of the
GATT 1994 with respect to Measures 1 though 18, we recommended
that the Dispute Settlement Body request Indonesia to bring its
measures into conformity with its obligtaions under the GATT 1994
Selanjutnya Badan Banding merekomendasikan agar Dispute Settlement
Body meminta Indonesia untuk membawa langkah-langkahnya, yang terdapat
dalam Laporan Banding dan dalam Laporan Panel yang tidak sesuai dengan
GATT 1994, agar disesuaikan dengan ketentuan GATT 1994.14

Berdasarkan Pasal 21 Ayat 1 DSU dapat diketahui bahwa rekomendasi


atau putusan Dispute Settlement Body merupakan suatu yang penting yang
bertujuan untuk menjamin efektifitas penyelesaian sengketa untuk kepentingan
seluruh anggota WTO. Dispute Settlement Body berkewajiban melakukan
pengawasan atas pelaksanaan keputusan/rekomendasi dari Panel atau Badan
Banding. Fungsi pengawasan sangat penting untuk memastikan kesediaan “the
member concerned” atau negara pelanggar untuk sesegera mungkin
melaksanakan keputusan atau rekomendasi15.

Selanjutnya Indonesia sebagai pelanggar ketentuan World Trade


Organization maka timbul kewajiban bagi Indonesia untuk melakukan beberapa
tindakan yaitu Negara pelanggar aturan World Trade Organization (WTO) dapat
mengubah tindakan yang tidak sesuai dengan World Trade Organization (WTO).
Dalam hal ini Indonesia sudah diberikan Rekomendasi oleh Panel untuk
mengubah ketentuan perizinan impor sesuai dengan ketentuan dalam GATT 1994.
Pelaksanaan rekomendasi merupakan suatu hal yang penting agar terciptanya

14
https://inatrade.wordpress.com/2017/11/16/banding-atas-kasus-hortikultura-di-wto/
15
Imawan Dicky Prasudhi. 2006. JurnalPenanganan Sengketa Perdagangan Internasional
Melalui WTO (World Trade Organization). http://webcache.googleusercontent.com. Hlm. 40

134
efektifitas penyelesaian sengketa yang bermanfaat bagi seluruh anggota WTO
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Ayat 1 DSU. Selanjutnya berdasarkan Pasal 22
Ayat 3 bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) sejak diputuskannya laporan
panel atau laporan badan banding maka negara pelanggar harus memberitahukan
kepada Dispute Settlement Body atas pelaksanaan rekomendasi, dalam hal negara
pelanggar tidak dapat melaksanakan rekomendasi maka dapat meminta jangka
waktu pelaksanaan yang wajar.

Kompensasi atau ganti rugi


Kompensasi diatur dalam Pasal 22 Ayat 2 DSU bahwa Anggota pelanggar
tidak melaksanakan rekomendasi dan putusan dari WTO dalam jangka waktu
yang telah ditentukan maka negara yang menggugat secara otomatis dapat
meminta kompensasi yaitu ganti rugi yang dapat diterima bersama. Jika
perundingan kedua belah pihak selama 20 hari tidak menghasilkan kesepakatan
ganti rugi maka negara penggugat dapat meminta otorisasi dari Dispute
Settlement Body untuk menunda permohonan kepada negara pelanggar dengan
konsensi atau kewajiban lainnya dibawah perjanjian tertutup.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 22 Ayat 1 DSU bahwa Kompensasi dan
penghentian konsensi atau kewajiban lainnya adalah tindakan sementara apabila
rekomendasi dan keputusan WTO tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang
wajar dan kompensasi bersifat sukarela apabila diberikan harus sesuai dengan
kesepakatan yang tercakup. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kompensasi
merupakan tindakan sementara dalam hal negara pelanggar tidak melaksanakan
rekomendasi yang dilakukan dengan sukarela berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
Kewajiban lainnya
Berdasarkan Pasal 22 Ayat 1 DSU bahwa Kompensasi dan penghentian
konsensi atau kewajiban lainnya adalah tindakan sementara apabila rekomendasi
dan keputusan WTO tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar dan
kompensasi bersifat sukarela apabila diberikan harus sesuai dengan kesepakatan
yang tercakup. Dengan demikian dapat diketahui bahwa apabila rekomendasi
tidak dilaksanakan oleh negara pelanggar maka dilakukan dengan kompensasi

135
atau ganti rugi. Dalam hal permintaan kompensasi tidak dilaksanakan maka
sebagai upaya terakhir dilakukannya kewajiban lainnya.
Selain itu, banyak yang mengatakan bahwa kewajiban lainnya merupakan
retaliasi. Retaliasi merupakan suatu tindakan suatu Negara dalam
menangguhkan konsesi atau kemudahan yang telah diberikan kepada negara
lain dan telah dinikmatinya, sebagai balasan akibat adanya tindakan atau
kebijakan perdagangan dari Negara lain tersebut merugikan kepentingan
perdaganganya. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu
penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam
jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diatur dalam Pasal 22 DSU16
Penerapan retaliasi biasanya dalam bentuk peningkatan drastis
pengenaan bea masuk (tarif) pada produk-produk tertentu kepentingan ekspor
dari negara pelanggar17. Oleh karena itu upaya retaliasi sangat merugikan apabila
diterapkan karena mengakibatkan peningkatan bea masuk (tarif) pada produk-
produk ekspor negara pelanggar. Dengan demikian upaya retaliasi tidak dilakukan
secara sukarela karena berdasarka keputusan sepihak.

Berdasarkan Pasal 22.3 dari DSU yang mendeskripsikan retaliasi,


secara sederhana retaliasi dapat dibagi menjadi 3 jenis18, yaitu:
1. Parallel Retaliation: negara penuntut harus melakukan retaliasi
pada negara pelanggar dalam sektor perdagangan yang sama di
mana pelanggaran terjadi. Retaliasi jenis ini tidak terbatas
menaikkan tarif bagi komoditas sejenis, tetapi juga bisa dalam
bentuk meminta ganti rugi dengan sejumlah uang yang setara
dengan jumlah kerugian.
2. Cross‐sector Retaliation: Negara penuntut dapat melakukan
retaliasi pada negara pelanggar dalam sektor berbeda di bawah
perjanjian yang sama, jika retaliasi dalam sektor yang sama terbukti
tidak efektif.
3. Cross‐Agreement Retaliation: Jika situasi dianggap cukup
serius dan retaliasi beda sektor dianggap tidak efektif, maka
16
21 D.K Hardjanti, “Retaliasi World Trade Organization (WTO) sebagai Bentuk
Perlindungan Hukum dalam Ranah Perdagangan Internasional” (daring), 2013,
<http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=63615>, diakses
pada 11 Desember 2015.
17
Nandang Sutrisno, Pemajuan kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam
Sistem WTO, IMR Press, Cianjur 2012, p. 129.
18
Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute
Settlement, Brooking Instituion Press, Washington D.C. pp. 47-48.

136
negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara pelanggar
dalam perjanjian perdagangan yang berbeda.

Selanjutnya Indonesia telah berusaha untuk mengubah ketentuan impornya


pada saat telah terbentuk panel yaitu dengan menghapus Persyaratan realisasi 80%
(delapan puluh persen) dan tidak berlaku lagi di Indonesia. Dalam hal ini
Indonesia menyampaikan dalam proses penyelesaian sengketa pada tingkat panel
bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 5 Tahun 2016 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura.

Delapan belas ketentuan Impor Indonesia yang dipermasalhkan oleh


Amerika Serikat dan Selandia Baru, diantaranya adalah Permendag Nomor 16
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dan Permendag Nomor
46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan. Dengan
demikian Pemerintah Indonesia melakukan perubahan dan revisi ketentuan impor
produk hortikulturan dan produk hewan pada tahun 2017 setelah dikeluarkannya
laporan panel. Tahun 2017 Kemendag mengeluarkan Permendag Nomor 13 Tahun
2017 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan dan Permendag Nomor 43 Tahun
2017 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 30 Tahun 2017 tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura.19

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik bahwa nilai impor semua golongan
penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang
modal selama Januari-November 2017 mengalami peningkatan dibanding periode
yang sama tahun sebelumnya masing-masing 15,19 persen, 16,37 persen, dan
11,53 persen. Dengan demikian walaupun pada tanggal 22 Desember 2016 Panel
dalam WTO mengeluarkan kepetusannya, hal tersebut tidak mempengaruhi impor

19
www.koran.bisnis.com

137
dengan penurunan impor barang konsumsi, bahan baku dan bahan penolong
namun mengakibatkan peningkatan impor.

Dengan demikian dampak putusan World Trade Organization (WTO)


tentang produk hortikultura, hewan dan produk hewan terhadap Indonesia adalah
dengan dikeluarkan rekomendasi oleh Panel dan Badan Banding bahwa Indonesia
harus mengubah ketentuan perizinan impor produk hortikultura, hewan dan
produk hewan seuai dengan ketentuan dalam GATT 1994. Dalam hal ini
Indonesia sudah berusaha untuk melakukan perubahan dan revisi dengan tidak
memberlakukan persyaratan realisasi impor 80% (delapan puluh persen) untuk
produk hortikultura, hewan dan produk hewan melalui Permendag Nomor 15
Tahun 2016 dan Permendag Nomor 71 Tahun 2015 pada saat terbentuknya panel.
Selain itu Indonesia telah mekaukan perubahan dan revisi untuk ketentuan impor
produk hortikultura, hewan dan produk hewan pada tahun 2017 setelah
dikeluarkan laporan Panel yaitu dengan mengeluarkan Permendag No 43 Tahun
2017 dan Permendag Nomor 13 Tahun 2017. Selanjutnya apabila tidak
melaksanakan rekomendasi dari Panel maupun Badan Banding WTO dengan
tidak mengubah seluruh tindakan yang tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT
1994 dalam jangka waktu yang telah ditentukan maka Amerika Serikat dan
Selandia Baru dapat mengajukan kompensasi atau ganti rugi dengan melakukan
kesepakatan dengan Indonesia. Selanjutnya apabila kompensasi atau ganti rugi
tidak dilaksanakan maka dilakukan kewajiban lainnya atau upaya retaliasi.
Kewajiban lain atau upaya retaliasi merupakan suatu upaya pemenuhan hak
Amerika Serikat dan Selandia Baru atas kebijakan ketentuan perizinan impor
produk hortikultura, hewan dan produk hewan Indonesia sebagai negara anggota
WTO dengan cara peningkatan tarif pada produk ekpor Indonesia.

3.Upaya Yang Dilakukan Indonesia Dalam Menangani Sengketa


Perdagangan Internasional Antara Indonesia, Amerika Serikat, Dan
Selandia Baru Tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, Hewan Dan
Produk Hewan Indonesia

138
Indonesia sebagai negara yang digugat oleh Amerika Serikat dan Selandia
Baru mengenai ketentuan perizinan impor produk hortikultura, hewan dan produk
hewan yang tidak sesuai dengan Peraturan yang terdapat dalam World Tarde
Organization (WTO), sehingga Indonesia melakukan beberapa upaya
penyelesaian sengketa dalam World Tarde Organization (WTO) berdasarkan
gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru dengan sebagai berikut :

Konsultasi

Konsultasi diatur dalam Pasal 4 Understanding On Rules And Procedures


Governing The Settlement Of Disputes (DSU) merupakan tahap pertama dalam
proses penyelesaian sengketa dalam World Trade Organization (WTO) atas
permintaan negara yang dirugikan. Dalam hal ini konsultasi harus selesai dalam
jangka waktu 60 (enam puluh hari). Tujuan dari konsultasi adalah untuk
menyelesaikan sengketa antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan Selandia
Baru dan agar tidak melanjutkan sengketa pada tahap selanjutnya. Berikut ini
adalah beberapa konsultasi yang pernah dilakukan oleh Indonesia dalam
menangani kasus ini yaitu sebagai berikut :

a. Berdasarkan gugatan Nomor DS455 pada tanggal 10 Januari 2013,


Amerika Serikat meminta konsultasi dengan Indonesia. Negara anggota
yang bergabung dengan konsultasi adalah Australia, Kanada dan Uni
Eropa. Dalam hal ini Indonesia menerima Konsultasi dari Penggugat;
b. Berdasarkan gugatan Nomor DS465 pada tanggal 30 Agustus 201,
Amerika Serikat kembali meminta konsultasi dengan Indonesia. Negara
anggota yang bergabung dengan konsultasi adalah Australia, Kanada,
Thailand dan Uni Eropa. Dalam hal ini Indonesia menerima Konsultasi
dari Penggugat;
c. Berdasarkan gugatan Nomor DS466 pada tanggal 30 Agustus 2013,
Selandia Baru meminta konsultasi dengan Indonesia. Negara anggota yang
bergabung dengan konsultasi adalah Australia, Kanada, Thailand dan Uni
Eropa. Dalam hal ini Indonesia menerima Konsultasi dari Penggugat;
d. Berdasarkan gugatan Nomor DS477 pada tanggal 8 Mei 2014, Selandia
Baru kembali meminta konsultasi dengan Indonesia. Negara anggota yang

139
bergabung dengan konsultasi adalah Australia, Kanada, Thailand, China
Taipei dan Uni Eropa. Dalam hal ini Indonesia menerima Konsultasi dari
Penggugat;
e. Berdasarkan gugatan Nomor DS478 pada tanggal 8 Mei 2014, Amerika
Serikat kembali meminta konsultasi dengan Indonesia. Negara anggota
yang bergabung dengan konsultasi adalah Australia, Kanada, Thailand,
China Taipei dan Uni Eropa. Dalam hal ini Indonesia menerima Konsultasi
dari Penggugat;

Konsultasi antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan Selandia Baru


tidak membuahkan hasil dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari. Maka dengan
demikian Amerika Serikat dan Selandia Baru meminta kepada Dispute Settlement
Body untuk membuat sebuah panel. Berdasarkan Pasal 3 DSU dapat diketahui
tugas utama dari Dispute Settlement Body adalah sebagai berikut: 20

a. Mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian


WTO dengan melakukan interpretasi menurut hukum kebiasaan
Internasional publik;
b. Hasil penyelesaian sengketa tidak boleh menambah atau
mengurangi hak-hak dan kewajiban yang diatur dalam ketentuan
WTO;
c. Menjamin solusi yang positif dan diterima oleh para pihak dan
konsisten dengan substansi perjanjian dalam WTO;
d. Memastikan penarikan tindakan negara pelanggar yang tidak
sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian yang sudah
tercakup dalam agreement (covered agreement). Tindakan
retaliasi atau pemabalasan dimungkinkan tetapi sebagai upaya
terakhir (last resort settlement).
Pembentukan Panel
Tahap selanjutnya setelah konsultasi adalah pembentukan panel setelah
adanya kegagalan dalam penyelesaian sengketa melalui konsultasi. Pada tanggal
18 Maret 2015 Amerika Serikat dan Selandia Baru meminta pembentukan panel
sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 Understanding On Rules And Procedures Governing
The Settlement Of Disputes (DSU) yang berbunyi sebagai berikut

20
Ade Maman Suherman. 2012. DISPUTE SETTLEMENT BODY- WTO DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL. Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari- Maret 2012. hlm. 5

140
If the complaining party so requests, a panel shall be established at
the latest at the Dispute Settlement Body meeting following that at
which the request first appears as an item on the Dispute Settlement
Body s agenda, unless at that meetingthe Dispute Settlement Body
decides by consensus not to establish a panel

Dalam Pasal 6 Ayat 1 DSU dapat diketahui bahwa jika konsultasi gagal,
negara penggugat berhak mengajukan permohonan kepada Dispute Settlement
Body untuk membentuk Panel, kecuali Dispute Settlement Body secara
konsensus memutuskan untuk menolak permohonan pembentukan Panel.
Tugas panel melakukan penilaian secara objektif terhadap pokok
permasalahan yang diajukan termasuk penilaian objektif terhadap fakta-fakta
serta penerapan dan keseuaiannya dengan ketentuan perjanjian dalam WTO yang
relevan. Fungsi Panel adalah membantu Dispute Settlement Body berdasarkan
tanggungjawabnya sesuai dengan Covered Agreement, melakukan asesmen
yang objektif (objective assessment) dari pokok perkara termasuk asesmen
objektif terhadap fakta-fakta dari kasus yang diajukan dan mencermati
komformitas serta relevansi dengan covered agreements, serta membuat suatu
temuan yang akan membantu Dispute Settlement Body dalam membuat
rekomendasi atau menerapkan aturan-aturan yang disyaratkan oleh covered
agreement. Panel harus berkonsultasi secara reguler dengan para pihak dan
rnemberikan mereka peluang yang tepat untuk rnengernbangkan suatu solusi
.yang saling memuaskan para pihak (mutually satisfactory solution).21
Pada Pertemuannya pada tanggal 20 Mei 2015, Dispute Settlement Body
(DSB) yaitu badan penyelesaian perselisihan membentuk satu panel sesuai
permintaan para penggugat. Selanjutnya pada tanggal 28 September 2015
penggugat meminta Direktur Jenderal untuk menentukan komposisi Panel sesuai
dengan Pasal 8 Understanding On Rules And Procedures Governing The
Settlement Of Disputes yang disebut dengan DSU. Dalam Pasal 8 Ayat 2 DSU
disebutkan bahwa anggota panel merupakan anggota yang individu, memiliki latar

21
Ibid. Hlm.9

141
belakang yang cukup beragam dan memiliki pengalaman yang luas, yang
berbunyi sebagai berikut:
Panel members should be selected with a view to ensuring the
independence of the members,a sufficiently diverse background and a
wide spectrum of experience.

Selanjutnya Direktur Jenderal menyusun Panel sebagai berikut :

Ketua : Cristian Espinosa Canizares


Anggota : Bapak Gudmundur Helgason
Ibu Angela Maria Orozco Gomez

Selanjutnya selain negara penggugat yaitu Amerika Serikat dan Selandia


Baru terdapat negara Anggota yang bergabung dalam proses panel sebagai pihak
ketiga yaitu : Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang,
Korea, Norwegia, Paruguay, Singapura, Cina Taipei dan Thailand .
Selanjutnya para penggugat dan Amerika Serikat dan Selandia BAru
mengklaim bahwa ketentuan perizinan impor Indonesia yang terdiri dari tindakan
1 sampai tindakan 18 tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994, klaim
berdasarkan Pasal 4.2 Agreement on Agriculture, Persyartaan penggnaan,
penjualan dan distribusi untuk produk hortikultura dan daging sapi impor serta
jeroan tidak sesuai dengan Pasal III : 4 GATT 1994, kebutuhan pembelian daging
sapi dalam negeri tidak konsisten dengan Pasal III : 4 GATT 1994 dan rindakan
pembatasan jangka waktu dan masa berlaku untuk impor produk hortikultura,
hewan dan produk hewan tidak sesuai dengan Pasal 3.2 Agreement on Licensing
Procedures.
Selanjutnya berdasarkan Report of the Panel (Laporan Panel) pada
tanggal 22 Desember 2016, Panel memutuskan bahwa tindakan 1 (satu) sampai 18
(delapan belas) terkait ketentuan perizinan impor Indonesia tidak sesuai dengan
Pasal XI : 1 GATT 1994 karena merupakan larangan dan pembatasan yang tidak
sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994. Selain itu, Panel merekomendasikan agar
Dispute Settlement Body meminta Indonesia untuk membawa tindakan-
tindakannya sesuai dengan kewajibannya dibawah GATT 1994.
Dengan demikian Panel mengabulkan gugatan Amerika Serikat dan
Selandia Baru walaupun tidak seluruhnya, mengakibatkan Indonesia harus
mengubah dan merevisi ketentuan perizinan impor produk hortikultura, hewan

142
dan produk hewan. Selanjutnya Indonesia merasa dirugikan dengan keputusan
Panel maka Indonesia mengajukan Banding.

Appellete Body atau Laporan Badan Banding


Appellete Body dibentuk oleh Dispute Settlement Body sebagai upaya
penyelesian sengketa terakhir yang dilakukan oleh Indonesia. Badan banding
dalam menganalisa gugatan banding maka terlebih dahulu akan melihat putusan
panel terlebih dahulu seperti yang diatur dalam Pasal 7 Ayat 1 DSU. Berdasarkan
Pasal 9 DSU bahwa prosedur operasional banding harus dirumuskan oleh
Appellete Body dan berkonsultasi dengan ketua Dispute Settlement Body dan
Direktur Jenderal WTO serta dikomunikasikan dengan para anggota 22. Dalam
pengajuan banding terdapat beberapa negara anggota yang bergabung menjadi
pihak ketiga yaitu : Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Cina, Uni Eropa, Jepang,
Korea, Norwegia, Paruguay, Singapura, dan Cina dengan ketua badan banding
yaitu Bhatia, dan anggotanya yaitu Graham dan Remirez-Hernandez. Dalam hal
ini Indonesia mengajukan beberapa gugatan yaitu
a. Membalikkan keputusan Panel yang sebelumnya menetapkan bahwa
18 (delapan belas) tindakan Indonesia tidak sesuai dengan Pasal XI :
1 GATT 1994;
b. Mengklaim bahwa Panel salah dalam menilai tindakan yang
dipermasalahkan berdasarkan Pasal XI : 1 GATT 1994 namun Panel
harus menyimpulkan bahwa Pasal 4.2 Agreement on Agriculture
lebih tepat karena yang dipermasalahkan adalah produk pertanian;
c. Mengklaim bahwa tindakan 9 sampai 17 dibenarkan berdasarkan
Pasal XX (a), (b) atau (d) GATT 1994;
d. Pasal 21.1 Perjanjian tentang Pertanian , Pasal XI : 2 (c) GATT 1994
dapat diandalkan untuk membenarkan atau membebaskan tindakan
yang termasuk dalam larangan pembatasan impor kuantitatif yang
tidak sesuai dengan Pasal 4.2 Agreement on Agriculture

Namun demikian Badan Banding menolak gugatan Indonesia dan


merekomendasikan untuk mengubah atau merevisi ketentuan peraturan perizinan
impor Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam GATT 1994.
22
Ibid. hlm.11

143
Dengan demikian Indonesia melakukan upaya penyelesaian sengketa
dalam perdagangan internasional dengan cara konsultasi, Pembentukan Panel dan
Pwngajuan Banding yang betujuan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan
internasional dengan Amerika Serikat dan Selandia Baru mengenai Ketentuan
perizinan impor Produk Hortikultuta, Hewan dan Produk Hewan Indonesia.

PENUTUP
Kesimpulan
1 Ketentuan Impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan Indonesia
tidak sesuai dengan Pasal XI : 1 GATT 1994 karena merupakan larangan
atau pembatasan yang dilarang dalam Pasal XI : 1 GATT 1994. Selain itu
ketentuan impor Indonesia yang terdiri dari tindakan 1 sampai tindakan 18
bukan merupakan bea, pajak dan biaya lainnya yang dikecualikan dalam
lingkup Pasal XI :1 GATT 1994, namun dibuat efektif dengan lisensi
impor atau tindakan lain.
2 Dengan adanya Putusan Panel dan Badan Banding mengakibatkan
Indonesia harus melaksanakan rekomendasi dengan cara mengubah atau
merevisi ketentuan impor produk hortikultura, hewan dan produk hewan
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam GATT 1994. Dalam hal
Indonesia tidak melaksanakan rekomendasi dalam jangka waktu yang
telah ditentukan maka Amerika Serikat dan Selandia Baru dapat
mengajukan Kompensasi atau ganti rugi berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak. Selanjutnya jika tidak ada kesepakatan mengenai kompensasi
atau ganti rugi maka Amerika Serikat dan Selandia Baru dapat melakukan
kewajiban lainnya atau retaliasi terhadap Indonesia. Retaliasi dilakukan
dengan cara peningkatan bea masuk atau tarif produk-produk ekspor
Indonesia sehingga sangat merugikan Indonesia apabila Indonesia tidak
melaksanakan rekomendasi atau melakukan kompensasi.
3 Untuk menyelesaikan sengketa ketentuan impor produk hortikultura,
hewan dan produk hewan maka dilakukan dengan upaya penyelesaian
sengketa. Dalam hal ini upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh

144
Indonesia untuk menyelesaikan snegketa perdagangan Internasional adalah
Konsultasi, Pembentukan Panel dan Pengajuan Banding.
Saran
1 Indonesia dalam merancang suatu ketentuan impor yang merupakan
bagian dari perdagangan internasional harus memperhatikan peraturan
perdagangan internasional karena Indonesia merupakan anggota Wold
Trade Organization. Dengan demikian ketentuan tentang perdagangan
Internasional khususnya Impor harus sesuai dengan ketentuan dalam
World Trade Organization agar tidak timbul suatu permasalahan yang
dapat merugikan Indonesia;
2 Dalam menanggapi dampak dari putusan Wold Trade Organization
alangkah baiknya Indonesia mengubah ketentuan impor Indonesia yang
tidak sesuai dengan GATT 1994 agar Indonesia tidak membayar ganti rugi
atau upaya retaliasi yang dampaknya sangat merugikan Indonesia.

a. Dalam menyelesaikan sengketa mengenai ketentuan impor produk


hortikultura, hewan dan produk hewan dengan Amerika Serikat dan
Selandia Baru jangan terlalu mengulur-ngulur waktu karena dengan
pengajuan banding hanya mengulur ngulur waktu dan tidak
menguntungkan kepada pihak Indonesia..

Daftar Bacaan
BUKU
Nuzulia Kumala Sari dan Ikarini Dani Widiyanti. 2012. Buku Ajar Hukum
Dagang Internasional. Jember : Universitas Jember.

Soberi. 2007. Ekonomi Internasional, Teori, Masalah, dan Kebijakannya.


Yogyakarta : BPFE UII Yogyakarta.

Peter Van Den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi. 2010.
Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization). Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.

Munir Fuady. 2015. Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO).
Jakarta : Citra Aditya Bakti.

145
Ade Maman Suherman. 2015. Hukum Perdagangan Internasiona. Jakarta : Sinar
Grafika.

Sudargo Gautama. 1980. Hukum Dagang Internasional. Bandung : Alumni.

N.Rosyidah Rakhmawati. 2006. Hukum Ekonomi Internasional dalam Era


Globa. Malang : Bayumedia

Hata. 2006. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek –
Aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung : Refika Aditama

Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi. 2013. Penelitian Hukum (Legal
Research).Jakarta : Sinar Grafika.

Peter Mahmud Marzuki. 2016. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta : Prenada
media Group.

Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer.


Bandung : Refika Aditama.

J.G.Starke. 2004. Introduction to International Law (Pengantar Hukum


Internasional). Jakarta : Sinar Grafika.

Marco Sassoli dan Antonie A Bouvier. 2006. How Does Law Protect in War.
Geneva : ICRC.

JURNAL/MAJALAH-ARTIKEL
Rachmi Hertanti dan Megawati. 2017. Jurnal Catatan dari Sengketa Investasi
dan Perdagangan Internasional.Jakarta : Indonesia for Global Justice.

Ade Maman Suherman. 2012. Dispute Settlement Body- Wto Dalam


Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari- Maret 2012.

D.K Hardjanti, 2015. Retaliasi World Trade Organization (WTO)


sebagai Bentuk Perlindungan Hukum dalam Ranah Perdagangan Internasional
(daring), <http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=63
615>, diakses pada 11 Desember 2015.

146
Nandang Sutrisno, 2012. Pemajuan kepentingan Negara-negara
Berkembang Dalam Sistem WTO, IMR Press, Cianjur..
Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and
WTO Dispute
Settlement, Brooking Instituion Press, Washington D.C.

Imawan Dicky Prasudhi. 2006. JurnalPenanganan Sengketa Perdagangan


Internasional Melalui WTO (World Trade Organization).
http://webcache.googleusercontent.com.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang


No.10 Tahun 1995 tentang kepabean.

Undang-undang No. 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang


Hortikultura

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang


Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ternak dan


Hewan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang – Undang


Nomor 18 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ternak dan Hewan

Peraturan Menteri Perdagangan No.59/M-DAG/PER/8/2016 tentang Ketentuan


Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.

Peraturan Mentreri Perdagangan No. 60/M-DAG/PER/9/2012 tentang Perubahan


Kedua Peraturan Menteri Perdagangan No.30/M-DAG/PER/5/2012
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.

Peraturan Menteri Pertanian No.60/Permentan/OT.140/9/2012 tentang


Rekomendasi Impor Produk Hortikultura

147
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor
Produk Hortikultura

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor


Produk Hortikultura

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47 Tahun 2013 tentang Perubahan atas


Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor


dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pemasukan Karkas,
Daging dan/atau Olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014


tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46
Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang


Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139 Tahun 2014
tentang Pemasukan Karkas, Daging dan/atau Olahannya ke Dalam
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesi

Peraturan Menteri Perdaganga Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2015 tentang


Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun
2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura

Perjanjian World Trade Organization (WTO) tentang Agreement on Agriculture,


Agreement On Import Licensing Procedures dan Agreement On
Preshipment Inspection

World Trade Organization (WTO), General Agreement on Tariffs and Trade


(GATT)

World Trade Organization (WTO), Understanding on Rules and Procedures


Governing the Settlement of disputes (DSU)

World Trade Organization (WTO), Report of The Panel, DS477 dan DS478

World Trade Organization (WTO), Report of The Panel (Addendum), DS477 dan
DS478

World Trade Organization (WTO), Appalate Body Report, DS477 dan DS478

148
149

Anda mungkin juga menyukai