Lapkas Hisprung Dengan GA ETT
Lapkas Hisprung Dengan GA ETT
PENDAHULUAN
1
lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan perut membuncit
keseluruhan.6
Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non
bedah dan tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk
mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk
memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi defenitif
dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan
bedah sementara yang bertujuan untuk dekompresi abdomen dengan cara
membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal di bagian
distal dan tindakan bedah definitif yang dilakukan antara lain menggunakan
prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan Rehbein. 1 Dari sekian banyak
sarana penunjang diagnostik, maka diharapkan pada klinisi untuk segera
mengetahui gejala dan tanda pada penyakit Hirschsprung. Karena
penemuan dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mengurangi insidensi
Penyakit Hirschsprung di dunia, khususnya di Indonesia.
Penatalaksanaan anestesi pada pediatrik sedikit berbeda bila
dibandingkan dengan dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
mendasar antara anak dan dewasa meliputi perbedaan anatomi, fisiologi,
respon farmakologi dan psikologi disamping prosedur pembedahan yang
berbeda pada anak. Walaupun terdapat perbedaan yang mendasar, tetapi
prinsip utama anestesi yaitu : kewaspadaan, keamanan, kenyamanan, dan
perhatian yang seksama baik pada anak maupun dewasa adalah sama.1
Beberapa tahapan anastesi pediatrik seperti tahapan evaluasi,
persiapan pra bedah dan tahapan premedikasi-induksi merupakan tahapan
yang paling menentukan keberhasilan dati tindakan anastesia yang akan kita
lakukan. Berjalannya setiap tahap dengan baik akan menentukan untuk
tahap selanjutnya.1
Adaptasi fisiologis dalam sistem jantung dan pernafasan anak-anak
untuk memenuhi peningkatan permintaan merupakan hal fisiologis yang
harus diperhatikan. Salah satu perbedaan paling penting antara pasien anak
dan dewasa adalah konsumsi oksigen yang, pada bayi dapat melebihi
6ml/kg/min, dua kali lipat dari orang dewasa. Perbedan-perbedaan inilah
2
yang mengakibatkan tindakan anastesi pada neonatus dan anak adalah
istimewa.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
luka lebih cepat. Penanggulangan nyeri kronis, baik yang bersifat “cancer”
maupun non-Cancer”, dilakukan dalam upaya untuk memberikan suasana nyaman
bagian pasien. Pada penderita “cancer” stdium lanjut, upaya perawatnya baik
penangggulan nyerinya maupun terapi yang lainnya, terintegrasi dalam satu unit
paliatif.1
2.2.1 Pernafasan
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding orang
dewasa. Pada orok dan bayi antara 30 - 40 x semenit. Tipe pemafasan; orok, dan
bayi ialah abdominal, lewat hidung, sehingga gangguan pada kedua bagian ini
memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. Paru-paru lebih mudah rusak
karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga menyebabkan pneumotoraks,
atau pneumomediastinum.4 Laju metabolisme yang tinggi menyebabkan cadangan
oksigen yang jauh lebih kecil; sehingga kurangnya kadar oksigen yang tersedia
pada udara inspirasi, dapat menyebabkan terjadinya bahaya hipoksia yang lebih
cepat dibandingkan pada orang dewasa. Neonatus tampaknya lebih dapat bertahan
terbadap gangguan hipoksia daripada anak yang besar dan orang dewasa, tetapi
hal ini bukan alasan untuk mengabaikan hipoksia pada neonatus.1
Ada 5 perbedaan mendasar anatomi airway pada anak-anak dan dewasa :
1. Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah juga lebih besar
2. Laring yang letaknya lebih anterior
3. Epiglottis yang lebih panjang
4. Leher dan trakea yang lebih pendek daripada dewasa
5
5. Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan airway 1
Tabel 2. Perbedaan Fisiologi Pernafasan Pada Anak Dan Dewasa
2.2.2 Sirkulasi
Frekuensi jantung/nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 x
permenit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang lebih
dominan. Kadar hemoglobin orok tinggi (16-20 gr%), tetapi kemtidian menurun
sampai usia 6 bulan (10-12 gr%), karena pergantian dari HbF (fetal) menjadi
HbA (adult). Jumlah darah bayi secara absoluts sedikit, walaupun untuk
perhitungan mengandung 90 miligram berat badan. Karena itu perdarahan dapat
menimbulkan gangguan sistem kardiosirkulasi dan juga duktus arteriosus dan
foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum menutup selama
beberapa hari setelah lahir.1
Tabel 3. Perbedaan Heart Rate dan Tekanan Darah Pada Pediatrik
Berdasarkan Umur
6
panas. Disamping itu pusat pengaturan suhu di hipotalamus belum berkembang
dengan baik. 1
2.2.3 Cairan Tubuh
Bayi lahir cukup bulan mengandung relatif banyak air yaitu dari berat
badan 75%, setelah berusia 1 tahun turun menjadi 65% clan setelah dewasa
menjadi 55-60 %. Cairan ekstrasel orok ialah 40% dari berat badan, sedangkan
pada dewasa ialah 20%.1
Umur EBV
Premature 90-100cc/kg
Baru lahir 80-90 cc/kg
3 bulan-1 tahun 70-80 cc/kg
>1tahun 70 cc/kg
Dewasa 55-60 cc/kg
1
2.2.4 Penerapan Anestesi Pada Anak
2.2.4.1. Tahap Pra Bedah
Kunjungan pra-anestesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu 24
jam sebelum tindakan anestesia. Perkenalan dengan orang tua penderita .sangat
penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesia
yang akan dilakukan. Pada kunjungan tersebut kita mengadakan penilaian tentang
keadaan. umum, keadaan fisik dan mental penderita.
1. Premedikasi pada anak
Anak-anak dan orang tuanya sering merasa cemas saat pre operatif.
Kecemasan saat pre-operasi dapat bervariasi dengan berbagai macam cara. Sesuai
dengan umurnya, bentuk-bentuk kecemasan ini dapat berupa verbal atau tingkah
laku. Menangis, agitasi, retensi urine, nafas dalam, tak mau bicara, pernafasan
dalam, merupakan bentuk dari anak yang cemas. Kecemasan ini dapat mencapai
puncaknya saat induksi anestesi. Ada berbagai cara untuk menekan kecemasan
pre-operatif ini.
Tujuan dan definisi dari premedikasi ini bervariasi pada tiap tenaga medis,
dan pasien dan orangtuanya memiliki persepsi sendiri terhadap arti premedikasi.
Bagi tenaga medis, premedikasi berfungsi untuk pendekatan psikologis
memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya, tentang apa yang akan
7
dilakukan sebelum dan sesudah operasi beserta yang akan terjadi kemudian dan
juga untuk memisahkan sang pasien dari orang tuanya dengan tenang pada saat
akan dilakukan operasi.
Penggunaan obat-obatan analgesi dan hipnotik yang bertujuan untuk
membuat amnesia ataupun mengurangi nyeri post operasi. Tujuan lainnnya dapat
berupa menekan biaya obat yang akan digunakan, anti emesis, memudahkan saat
induksi, dan hal-hal lain yang tak diinginkan.
8
Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar
untuk mengalami obstruksi jalan nafas dari tingkat sedang sampai parah.
Komplikasi yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak yang memiliki
hipertropi tonsil.
b. Macroglossia Fungsional
Baik karena sindrom hipertropi lidah ataupun syndrome
hipomandibularisme relative, obstruksi jalan nafas merupakan komplikasi
potensial pada pasien-pasien ini.
c. Pasien dengan Kelainan Neurologi
Respon dari anak yang mengalami kelainan neurology berbeda-beda.
Dapat terjadi aspirasi, diskoordinasi menelan, batuk, yang membuat
kelompok anak-anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan sewaktu
diberikan sedasi, bahkan dengan dosis yang telah dikurangi.
d. Distrofi muscular
Pasien pada kelompok ini , bila mereka menggunakan kursi roda,
dokter harus lebih berhati-hati , terutama terhadap efek depresi respiratorik.
9
Nama Onset
Agen Pemberian Dosis Efek
Obat menit
Benzodiaz Midazolam Oral 0,3-0,7 15-30 Depresi sistem
Diazepam Nasal 5-10
epin mg/kgBB pernafasan,
0,1-0,2
eksitasi
mg/kgBB
postoperative
Eksitasi
Dissosiatif Ketamin Oral 3-8mg / kg10-15 Eksitasi
IM 2-5 Meningkatkan
BB
2-5mg/kg BB TD, tekanan intra
cranial
meningkat
Opioids Morfin IM 0,1-0,2 mg15-30 Depresi system
Meperidin IM 15-30
/kgBB pernafasan
Fentanil oral 5-15
0,5-1 mg Depresi system
/kgBB pernafasan
10-15 µg Depresi sitem
/kgBB pernafasan
Barbiturat Pentobarbital Oral 3mg/kgBB 60 Eksitasi
Tiopental Rectal 30mg/kgB 5-10
postoperative
yang memanjang
Depresi system
pernafasan,
Eksitasi
postoperative
yang memanjang
Antikoline Atropin Oral 20µg/kgBB 15-30 Flushing
Scopolamin IM 20µg/kgBB 5-15 Mulut kering
rgik
IV 10-20µg/ 30 Rasa gembira
15-30 Halusinasi
kgBB
IM
20µg/kgBB
H2 Cimetidine Oral 7,5mg/kgB 60
Ranitidine Oral 2 mg/kgBB 60
Antagonis
Keterangan : IM : Intra Muscular
IV : Intra Vena
TD : Tekanan Darah
10
Midazolam
Obat makan yang sering digunakan. Dosis yang dianjurkan adalah
0,5mg/kgBB sampai 20mg/kgBB. Dosis ini hamper selalu efektif dan mempunyai
batas aman yang luas. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit
setelah pemberian. Patel dan Meakin 5 telah membandingkan midazolam oral dan
diazepam-droperidol sampai trimeprazine, dan mendapatkan hasil yang lebih baik
pada pre-operatif dan post-operatif pada midazolam dalam menghilangkan
kecemasan dan menimbulkan efek sedasi.
Fentanyl
Telah banyak berhasil digunakan. Memiliki efikasi yang sama dengan obat
oral cair meperidine, diazepam dan atropine. Namun efek samping yang tak dapat
diramalkan berupa depresi pernafsan, pruritus dan mual muntah merupakan
kerugian sehingga tidak diterima secara universal.
Ketamin
Bentuk oral merupakan alternative yang popular. Gutstein dan koleganya
membandingkan efek placebo dari 3 sampai 6 mg/kgBB dari ketamin oral.
Ketamin tidak berefek terhadap depresi pernafasan dan takikardi. Ketamin juga
dapat diberikan bersamaan dengan permen dosis 5-6mg/kgbb tanpa hambatan.
Barbiturat
Telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai obat premedikasi.
Memiliki onset of action yang lambat, dan durasi yang lama. Pentobarbital
3mg/kgBB sampai 30mg/kgBB memiliki onset satu jam dan durasi samapai 6
jam. Kerugiannya adalah efek sedasi yang panjang dan tidak cocok untuk
pembedahan yang singkat atau emergensi yang memerlukan persiapan yang cepat.
b. Cara Nasal
Premedikasi Intranasal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tetes dan
inhalasi. Dosis yang tepat tentu diperlukan dan onset yang berulang dapat dicapai
jika cara nasal digunakan. Namun, pasien biasanya akan merasakan rasa yang
tidak nyaman, meskipun hanya sebentar. Sewaktu midazolam 100µg/kgBB
intranasal dibandingkan dengan 10µg/kgBB afentanyil intranasal, efek sedasi
yang didapatkan sama, namun tidak ditemukan rasa hidung terbakar pada anak-
anak yang menerima alfentanil, dimana 70% dari anak-anak yang mengunakan
midazolam merasakan rasa hidung terbakar.
11
c. Cara Rectal
Cara ini kadangkala bergantung pada sang ahli anestesi sendiri. Telah
dilaporkan bahwa cara rectal merupakan cara yang popular di Eropa,sedangkan di
Negara-negara lain tidak. Cara rectal telah dibandingkan dengan midazolam oral
oleh Khazin dan Ezra yang menemukan bahwa keduanya sama efektif, namun
cara rectal lebih di toleransi. Pada anak dewasa, cara rektal tidak begitu
dianjurkan karena alas an estetika dan volume yang dibutuhkan untuk
menghantarkan dosis yang adekuat.
e. Cara Sublingual
Meskipun cara ini memiliki keuntungan , yaitu onset yang lebih cepat,
namun tidak begitu popular karena sulit memberikannya pada anak yang tidak
kooperatif.
5. Puasa
Merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien anak. Dulu
pentingnya puasa tidak begitu diapresiasi dengan baik. Namun setelah ada
laporan bahwa regurgitasi dan refluks gaster yang sering terjadi pada anak yang
tidak dipuasakan, akhinya puasa menjadi suatu persiapan pre operasi yang mulai
banyak digunakan.
Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari banyak faktor, seperti
jenis operasi, waktu makan terakhir samapi terjadinya cedera (pada operasi
emergensi), tipe makanan, dan pengobatan yang diberikan pada pasien sebelum
operasi.
12
Pasien sehat Minimum 2 jam
Pasien sakit Minimum 4 jam
Operasi emergensi Penanganan tersendiri (pasang
NGT,dll)
Susu
ASI Minimum 4 jam
Susu non ASI Minimum 6 jam
Padat
Operasi elektif 1 hari sebelum operasi
Operasi emergensi Penanganan tersendiri
A. Persiapan induksi
Ahli anestesi harus memiliki informasi yang adekuat dari pasien yang akan
diinduksi, minimal umur dan berat badan pasien, jenis pembedahan, apakah
emergensi atau elektif, status fisik dan mental (kooperatif/tidak) pasien.
Dari informasi ini, tentu dapat dipersiapkan keperluan-keperluan seperti
pipa ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi, dan
perawatan intensif yang memadai. Jika hal-hal ini telah terpenuhi, tentu intubasi
akah berjalan dengan lancar dan dengan komplikasi yang minimal.
Persiapan-persiapan yang harus dilakukan tersebut meliputi :
· Persiapan kamar operasi
· Rencana untuk mendapatkan sikap kooperatif dari pasien
· Penggunaan klinik dari agen-agen induksi
· Obat adjuvant untuk induksi anestesi
13
· Monitoring pasien
· Rencana-rencana tambahan dalam menghadapi berbagai macam situasi
klinik yang tak terduga.
14
orang tua saat induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi
yang diberikan, pasien dan sang ahli anestesi sendiri.
Induksi inhalasi.
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang
takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N20 dalam
oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 1 vol % kemudian
dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka
mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur
barn dirapatkan ke muka penderita.
Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada mereka
yang sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya dengan tiopenton
(pentotal) 2~4 mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak. Induksi dapat juga
dengan ketamin (ketalar) 1-2mg/kg.LV. Kadang-kadang ketalar diberikan secara
intra muskular.
Banyak ahli anestesi pediatrik yang terampil dalam menangani vena yang
kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka
menggunakan induksi inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai
atau tanpa nitrogen oksida. Entluran efektiftetapi kurang kuat dan harus
menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih
sering dipakai dibeberapa tempat, tctapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga
seringkali tidak disediakan.
Banyak ahli anestesi pediatrik, yang terampil dalam menangani vena yang
kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka
menggunakan induksi inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai
atau tanpa nitrogen oksida.
15
Entluran efektif tetapi kurang kuat dan harus menggunakan kadar yang
lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih sering dipakai dibeberapa
tempat, tetapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak disediakan.
7. Intubasi.
Anestesi sebelum intubasi tidak penting bagi anakanak dengan berat
badan kurang dari 5 kg, dan dapat berbahaya. Risiko stridor meningkat karena
pembengkakan mukosa pada saluran pernapasan kecil akibat ititasi laring oleh
pipa, perala tan atau uap. Pipa tak bertutup yang cukup kecil untuk pengeluaran
gas dapat dipakai. Suatu bungkus tenggorokan akan menghentikan cairan melalui
pipa yang masuk ke paru-paru. Bayi kecil yang berat badannya kurang dari 5 kg
tidak dapat mempertahankan pemapasan spontan dengan pipa trakea yang sempit,
sehingga hams diberikan ventilasi.
Para ahli anestesi harus memutuskan antara penggunaan masker anestesi
dan intubasi. Penggunaan intubasi dapat dicapai dengan atau tanpa bantuan
relaksan otot. Pada anak yang kecil, atau jika terdapat kelainan saluran
pemapasan, paling aman untuk memperdalam anestesi sampai pipa dapat
disisipkan sementara pernapasan spontan berlangsung. Jika terdapat keraguan
tentang kemampuan saluran pernapasan untuk dilalui pipa, seorang ahli anestesi
barus memperlibatkan babwa ia dapat memberikan ventilasi pada paru
menggunakan kantong, dan masker sebelum membuat penderita menjadi lumpuh
dengan relaksan otot
Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala.
Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Dengan adanya perbedaan
anatomis padajalan nafas bagian atas, lebih mudah menggunakan laringoskop
dengan bilah lurus pada bayi.
Blade laringkoskop yang lebih kecil digunakan untuk anak, jenisnya
tergantung pada pilihan ahli anestesi dan adanya gangguan saluran pernapasan.
Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip bahwa pipa yang dapat dibengkokkan
tidak digunakan di bawah nomor 7, dan dua nomor lebih rendah harus disiapkan
bila diperlukan. Daerah aliran udara paling sempit pada anak kecil adalah di
bawah pita suara
16
Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau
diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi
sadar pada neonatus usia kurang dari 10-14 hari . Hati-hati terhadap hipertensi
dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin dapat menyebabkan
perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan intubasi.
Lebih digemari intubasi sesudah tidur dengan atau tanpa pelumpuh otot.
Kalau tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau anak ditidurkan sampai
dalam lalu diberikan analgesia topikal barn dikerjakan intubasi. Dengan
pelumpuh otot digunakan suksinil-kolin dosis 2 mg/kgBB secara intravena
setelah bayi/anak tidur.
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff.
Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus laparotomi atau
jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea
.sama dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung.
Bayi prematur menggunakan pipa bergaris tengah 2.0-3.0 mm, bayi cukup
bulan 2.5-3.0 mm. Sampai 6 bulan 4.0 mm dan sampai tahun 4.5 mm. Untuk usia
diatas 1 tahun digunakan minus sebagai berikut : Garis tengah bagian dalam pipa
trakea ialah : umur dalam tahun /4+ 4. 5 mm. Pilihlah pipa trakea yang paling
besar yang dapat masuk dengan sedikit longgar dan pada tekanan inspirasi 20-25
cm H20 terjadi sedikit kebocoran. Dianjurkan menggunakan pipa mulut faring
untuk fiksasi pipa trakea supaya tidak terlipat.
Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan trauma,
perdarahan adenoid dan infeksi.
Peralatan dengan ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model
T-Jackson Rees harus digunakan. Neonatus harus dijaga agar tetap hangat, karena
daerah permukaan kulit yang luas dibandingkan massa tubuhnya, perkembangan
system pengaturan suhu yang belum berkembang, dan lemaknya masih
merupakan penyekat tubuh yang buruk. Suhu ruang bedah sekurang-kurangnya
22°C (75°F), selimut, dan kasur hangat digunakan.1
2.2.4.2. Tahap Intra Bedah 1
1. Pemeliharaan anestesia
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali.
Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pacta bayi hanya untuk
tindakan ringan yang tidak lama.
17
Gas anestetika yang umum digunakan adalah N20 dic;ampur dengan 02
perbandingan (0-65%) dan (35-100%). Walapun N20 mempunyai sifat
analgesia kuat, tetapi sifat anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering
dicampur dengan halotan, enfluran atau isofluran.
Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau pacta berat diatas 10
kg .Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non
depolarisasi sangat sensitif, karena itu haus diencerkan dan diberikan secara
sedikit demi sedikit.
2. Infus
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Untuk bedah kecil, ringan sebentar dengan
perdarahan yang sangat minimal tidak diperlukan terapi cairan. Walaupun
demikian diperlukan jalur vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan
anestesia, atau kalau diperlukan infus segera dapat diberikan.
Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan yang hilang pada waktu
puasa, pada waktu pembedahan (translokasi), adanya perdarahan dan oleh
sebab-sebab lain misalnya adanya cairan lambung, cairan fistula dan lain-
lainnya.
Besamya cairan yang hilang akibat trauma bedah/anestesia yang hams
diganti menurut Lockhart. Cairan yang seharusnya masuk,karena puasa harus
dtganti. Misalnya puasa 6 jam harus diganti 25% dari kebutuhan.dasar 2,.4 jam.
Cara menggantinya sebagai berikut:
- Pada jam I diberikan 50% nya
- Pada jam II diberikan 25% nya
- Pada jam III diberikan 25% oya
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan
cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam RL.
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan1 :
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum dan
sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan keduanya kemudian
tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang menempel di
tangan pembedah, yang melengket di kain penutup dan lain-lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada neonatus
harus diganti dengan darah.1
2.2.4.3. Tahap Pasca Bedah 1
18
1. Pengakhiran anestesia
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya.
Berikan zat asam murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari
lendir kalau perlu.
Kalau menggunakan pelumpuh otot, netralkan dengan prostigmin (0,04
mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh narkotika-analgetika
netralkan dengan naloksin 0,2-0,4mg secara titrasi.
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota
badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat. Ekstubasi dalam
keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau
bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang
traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik
dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi.
19
bereaksi 1
tak bereaksi 0
3. Komplikasi
Semua pasien, terutama yang diintubasi lebih memiliki resiko untuk
mengalami komplikasi pada anestesi pediatrik. Biasanya hal ini dapat
ditanggulangi dengan acetaminophen. Mual dan munatah adalah hal yang paling
sering terjadi, terutama pada pasien berumur 2 tahun ke atas. Terjadi karena pipa
ETT dipasang terlalu erat, sehingga mukosa trachea menjadi bengkak.
Laringospasme adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi.
Biasanya terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat
digunakan, bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi.1
20
2.3. Hisprung
2.3.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan
disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi
saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal
ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75%
penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh
usus sampai pilorus.3,4
2.3.2 Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia
200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun
akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40
pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta.6
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah
laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor
keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup
signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya
saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti
refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai
1/3 kasus).6
2.3.3. Etiologi
Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di
ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan
Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer
21
disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus
bagian distal. Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan
apakah defek ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit
Hirschsprung ataukah defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat
dilatasi dari stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk.
Menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit Hirschsprung bukan di
sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,
melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik
yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Kenyataan ini mendorong
Swenson untuk mengengembangkan prosedur bedah definitif penyakit
Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai dengan
preservasi sfingter anal.6
2.3.4. Patologi
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada
dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai
panjang yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari
kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang
agangloinik terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh
kolonnya tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf
pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi.
Secara histologi, tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan
ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi
asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot dan pada
submukosa.3
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada
bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat
mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan
defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang
tertimbun, membentuk megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen
pendek, daerah aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut
22
penyakit Hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada
anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih sering daripada anak perempuan. Bila daerah
aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid disebut Hirschsprung segmen
panjang. Bila aganglionosis mengenai seluruh kolon disebut kolon
aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan hamper seluruh usus halus,
disebut aganglionosis universal.5,6
2.3.5. Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan
patologi anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada
sebagian besar kasus dapat ditegakkan.6
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia, dan gejala klinis yang mulai terlihat pada :
(i) Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada
neonatus cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi
abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Pada lebih dari 90%
bayi normal, mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama, namun
pada lebih dari 90% kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar
setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit
lengket dan dalam jumlah yang cukup. Swenson (1973) mencatat angka
94% dari pengamatan terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat
angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah
lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang
manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Distensi abdomen
merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan
23
oleh kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lain. Muntah yang
berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi
pada kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia
ileum, enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine.
Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung, dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang
dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya
berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi.3,5,6
(ii) Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-
liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.3,5,6
Anamnesis
a. Muntah hijau
b. mekonium terlambat keluar lebih dari 24 jam
c. distensi abdomen
d. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam
e. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih
besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan
terhambat.
f. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2
24
minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi apabila pada masa
neonatus tidak ditemukan gejala akan bertambah berat dengan
bertambahnya usia pada masa anak-anak dengan gejala :
a) kontsipasi berat
b) pertumbuhan terhambat
c) anoreksia
d) berat badan tidak bertambah
Diagnosis akhir dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dari biopsy
rectal yang ditemukan aganglionik.2,3
Pemeriksaan Fisik
a. Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami
obstipasi
b. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
tampak perut anak sudah kempes lagi.2,5
Pemeriksaan Penunjang
(i) Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran
obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus
halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas: 2,5
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi.
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
25
Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak
rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi
yang melebar.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,
yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.
Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces
kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung
namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid.5
Biopsy Rectal
a) Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah
dengan biopsy rectal full-thickness.
b) Spesimen yang harus diambil hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2cm
dari linea dentata untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di
pinggir anus.
26
c) Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan
pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama
prosedur ini dilakukan.3,4
Manometri Anorektal
Manometri anorectal mengukur tekanan spingter ani interna saat balon
dikembangkan directum. Pada individu normal, penggembungan rectum
mengawali reflex penurunan tekanan sfingter interna. Pada penderita penyakit
Hirschprung, tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan paradox
karena rectum dikembungkan.3
2.3.6. Tatalaksana
Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan definitif adalah operasi.
Pilihan-pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera mungkin
setelah diagnosis ditegakkan atau melakukan kolostomi sementara dan
menunggu sampai bayi berumur 6-12 bulan untuk melakukan operasi
definitif. Ada tiga pilihan dasar operasi. Prosedur bedah pertama yang
berhasil yang diuraikan Swenson adalah memotong segmen yang tidak
berganglion dan melakukan anastomosis usus besar proksimal yang normal
dengan rectum 1-2 cm diatas garis batas. Operasi ini secara teknis sulit dan
mengarah pada pengembangan dua prosedur lain. Duhamel menguraikan
prosedur untuk menciptakan rectum baru, dengan menarik turun usus besar
yang berinervasi normal ke belakang rectum yang tidak berganglion. Rektum
baru yang dibuat pada prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior
dengan sensasi normal dan setengah ganglionik posterior dengan sensasi
normal. Prosedur endorektal pullthrough yang diuraikan oleh boley meliputi
pengupasan mukosa rectum yang tidak berganglion dan membawa kolon
yang berinervasi normal ke lapisan otot yang terkelupas tersebut, dengan
demikian memintas usus yang abnormal dan sebelah dalam.3,5,6
2.3.7. Komplikasi
a) Enterokolitis
27
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat berakibat
kematian. Mekanisme timbulnya enterokolitis karena adanya obstruksi
parsial. Obstruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis,
sfingter ani dan kolon aganglionik yang tersisa masih spastic. Manifestasi
klinik dari enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obstruksi
seperti; muntah hijau, feses keluar secara eksplosif cair dan berbau busuk.
Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi parah yang dapat
menyebabkan nekrosis dan perforasi.6
b) Kebocoran Anastomose
Kebocoran dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis
anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan
ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur
atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Terjadi peningkatan suhu tubuh terdapat infiltrat atau abses rongga pelvis.6
c) Stenosis
Stenosis dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah
anastomse, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta
prosedur bedah yang dipergunakan. Manifestasi yang terjadi dapat berupa
gangguan defekasi, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula
perianal.6
2.3.8. Prognosis
Secara umum prognosis baik. 90% pasien yang segera dilakukan tindakan
pembedahan akan mengalami penyembuhan.
BAB III
LAPORAN ANESTESI
I. Identitas Pasien
28
Nama : A/d Hotlin Simatupang
Umur : 37 Hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Status :-
Tinggi / Berat badan : 55 cm / 4,4 kg
No RM : 01-04-14-13
Alamat : Padang Sidempuan
MRS : 21 Oktober 2017
Tanggal Operasi : 31 Oktober 2017
29
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
Narkotik : disangkal
Olahraga :-
B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah/kering
Tekanan darah : 90/50 mmHg
Frekuensi nadi : 130 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 36,5oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik :-/-/-
B3 (Brain)
Sensorium :Compos mentis
RC : +/+
30
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -
B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-
B5 (Bowel)
Abdomen : Distensi
Peristaltic : (+)
Mual/Muntah : -/-
BAB/Flatus : +/+
NGT :-
B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar :-
Oedem :-
31
LED :-
MCV : 92,5 fl (N: 80-96 fl)
MCH : 31,1 pg (N: 27-32 pg)
MCHC : 33,6 g/dl (N: 32-36 g/dl)
Koagulasi
Waktu Perdarahan : 3’00” (1-3 menit)
Waktu pembekuan: 5’00” (1-6 menit)
Waktu Protombin
Kontrol : 15,8”
Pasien : 19,4”
APTT
Kontrol : 33,3”
Pasien : 33,7”
Kimia klinik
SGOT (AST) : 18,00 mU/dl (N: 0-40 mU/dl)
SGPT (ALT) : 13,00mU/dl (N: 0-40mU/dl)
Albumin : 3,00 (N: 3,6-5.0 g/dL)
Ureum : 16,00 mg/dl (N: 10-50 mg/dl)
Creatinin : 0,44 mg/dl (N: 0,6-1,2 mg/dl)
Asam Urat : 3,20 mg/dL (N: 3,50-7.00)
Glukosa Darah adr : 100,00 mg/dl (N:<140 mgdl)
32
4) EKG :-
5) Echo :-
6) Spirometri :-
V. DIAGNOSIS KERJA
Hiscprung
IX. KESIMPULAN
Pasien Laki-laki usia 37 Hari, berat badan 4,4 kg, status fisik ASA II,
diagnosis Hisprung yang akan dilakukan tindakan Colostomy, rencana
anastesi umum dengan endotrakea tube napas terkendali.
Foto Klinis
33
Gambar 7. Foto Klinis Pasien
3.2 Persiapan Pasien
Sebelum Operasi
1. Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi dan spesialis anak untuk
menilai kondisi fisik pasien, apakah pasien dalam kondisi fisik yang
layak untuk dilakukan tindakan operasi.
34
2. Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis anestesi dan spesialis
anak, pasien di periksa 1 hari sebelum operasi (kunjungan pre-operatif),
hasil dari kunjungan pre-operatif ini telah dijabarkan sebelumnya.
35
4. Pendataan kembali identitas pasien di ruang operasi. Anamnesa singkat
kepada keluarga yang meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat
alergi, riwayat kebiasaan, dan lainnya.
5. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian
dilakukan pemasangan EKG, manset, infus, dan oksimeter.
6. Pemeriksaan tanda tanda vital.
36
19. Infuse set
Infuse set dan cairan infus – Ringer Laktat
Abocath no.20 G
Plester
Alcohol swab
Tourniquet
1. Premedikasi : Fentanyl
Dosis analgesia: 1 – 2,5 µg/kgBB4,4 – 11
µg
Pemberian : 10 µg
Sulfas Atrofin
Dosis : 0,01-0,05 mg/kgBB 0,044 – 0,22
mg
Pemberian : 0,1 mg
2. Induksi : Propofol
Dosis : 2 – 2,5 mg/kgBB 8,8-11 mg
Pemberian : 10 mg
4. Relaksan : Rocuronium
Dosis : 0,6 – 1 mg/kgBB 2,64 – 4,4 mg
Pemberian : 4 mg
5. Maintenance Sevoflurane, N2O, O2
(rumatan) :
Antibiotik : -
Steroid : -
37
Anti emetic post op : Ondansetron 2 mg
PELAKSANAAN ANESTESI
Di Ruang Operasi
JAM (WIB)
10.30 Pasien dari ruang tunggu masuk ke ruang operasi
Pasang infus cairan ringer laktat pada tangan kanan
abocath no. 20G
Memasang monitor EKG dan oksimeter pulse
Mengukur tekanan darah, nadi, saturasi prainduksi
(TD: 90/60mmHg, Nadi : 100x/m, SPO2 : 100%)
Pemberian obat analgesik fentanyl 10 mcg iv dan
Sulfas Atrofin 0,1 mg iv (premedikasi).
10.40 Induksi dengan propofol 10 mg iv.
Memastikan pasien sudah tidak sadar dengan cara
memeriksa refleks bulu mata, kemudian diberikan
muscle relaksan yaitu rokuronium 4 mg iv.
Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup muka
menggunakan O2 sebanyak 6 liter/menit, kalau perlu
nafas dibantu dengan menekan balon nafas secara
periodik ± 3 menit.
Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan ETT no.3.0
cuff (-), pack (+), guedel (+), untuk memastikan ETT
38
terpasang dengan benar dengarkan suara nafas dengan
stetoskop bahwa paru kanan dan kiri sama dan dinding
dada kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap
inspirasi buatan.
Pasang pipa guedel dan difiksasi menggunakan
plester.
Tutup mata pasien dengan plester.
ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit nafas
alat anestesi, kemudian N2O dibuka 2 liter/menit dan
O2 2 liter/menit kemudian isofluran dibuka 2 vol%.
Nafas pasien dikendalikan dengan respirator. Inspirasi
400 ml dengan frekuensi 15 kali per menit. (Bila
menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal)
diusahakan kurang lebih 6-8 ml/kg BB dengan
frekuensi 12-20x/menit).
Perhatikan apakah gerakan nafas pasien simetris
antara yang kanan dan kiri.
TD: 90/60 mmHg, Nadi : 100x/m, SPO2 : 100%.
Memindahkan pasien ke meja operasi dalam posisi
pronasi.
10.40 TD : 90/50 mmHg, nadi : 140x/menit SPO2 : 99%
10.50 TD : 90/60 mmHg, nadi : 100x/menit SPO2 : 99%
11.00 TD : 80/50 mmHg, nadi : 136x/menit SPO2 : 99%
11.10 TD : 80/40 mmHg, nadi : 128x/menit SPO2 : 99%
11.20 TD : 90/50 mmHg, nadi : 130x/menit SPO2 : 99%
11.30 TD : 90/40 mmHg, nadi : 126x/menit SPO2 : 99%
11.40 TD : 90/40 mmHg, nadi : 132x/menit SPO2 : 99%
11.50 TD : 90/50 mmHg, nadi : 135x/menit SPO2 : 99%
12.00 TD : 90/40 mmHg, nadi : 126x/menit SPO2 : 99%
12.10 TD : 90/40 mmHg, nadi : 132x/menit SPO2 : 99%
12.20 TD : 90/50 mmHg, nadi : 135x/menit SPO2 : 99%
12.30 TD : 90/40 mmHg, nadi : 126x/menit SPO2 : 99%
12.40 TD : 90/40 mmHg, nadi : 132x/menit SPO2 : 99%
12.50 TD : 90/50 mmHg, nadi : 135x/menit SPO2 : 99%
13.00 TD : 90/50 mmHg, nadi : 130x/menit SPO2 : 99%
39
13.10 TD : 90/60 mmHg, nadi : 124x/menit SPO2 : 99%
13.15 a. Operasi selesai
b. Pemberian obat anastesi dihentikan, pemberian O2
dipertahankan
c. Nadi 120x/menit, TD 90/60 mmHg, SPO2 99 %,
ETT dan guedel dicabut setelah pasien dapat
dibangunkan. Lendir dikeluarkan dengan suction
lalu pasien diberi oksigen murni selama 5 menit.
d. Setelah semua peralatan dilepaskan (EKG, manset
tensimeter, oksimeter) pasien dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery room)
Monitoring perdarahan
Perdarahan
Kassa basah : 10 x 10 = 100 cc
Kassa ½ basah : 10 x 5cc = 50 cc
Suction : 20 cc
Total : 170 cc
Infuse RL o/t regio dorsum manus dextra
Pre operasi :-
Durante operasi : RL 500 ml
Urine output :
Durante operasi : Terpasang kateter (±150 cc)
4 Post Operasi
Di Ruang Pemulihan
Setelah operasi selesai pukul 13.15 Sekitar pukul 13.25 pasien dibawa ke
ruang pulih sadar/ recovery room, lalu diberikan oksigen via nasal canul
sebesar 1 liter/menit, kemudian dilakukan penilaian terhadap tingkat
kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis, pasien tampak
kesakitan. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah
90/60 mmHg, nadi 98x/menit, respirasi 20x/menit dan saturasi O2 99%.
Diberikan paracetamol 150 mg IV drip di ruang pemulihan.
40
Pasien di observasi di Recovery Room selama 2 jam.
Instruksi Pasca Bedah :
Bed rest, head up 300
O2 1 L/i via nasal kanul
Injeksi Paracetamol 150 mg/8 jam
Antibiotik dan terapi lain sesuai terapi bagian bedah
Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam di RR
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk me”matikan” rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa
tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaan dan ilmu yang mempelajari
tatalaksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama
mengalami “kematian” akibat obat anestesi.
Beberapa tahapan anastesi pediatrik seperti tahapan evaluasi, persiapan pra
bedah, dan tahapan premedikasi-induksi merupakan tahapan yang paling
menentukan keberhasilan dati tindakan anastesia yang akan kita lakukan.
Berjalannya setiap tahap dengan baik akan menentukan untuk tahap selanjutnya.
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Insidensi penyakit Hirschsprung tidak
diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup.
Dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan radiografik, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar
kasus dapat ditegakkan sehingga dapat dilakukan tatalaksana definitif yaitu berupa
tindakan bedah.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, Gde,
Senapathi, Tjokorda Gde Agung. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Indeks: Jakarta.
2. Sjamsuhidajat, R, de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.
EGC : Jakarta
3. Wyllie, Robert. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi
15, Jilid II. EGC : Jakarta.
4. Schrock Theodore R.. 1991. Ilmu Bedah (Handbook of
Surgery). Edisi 7. EGC : Jakarta
5. Short Rendle J, Gray P, Dodge A. 2002. Sinopsis Pediatri.
Binarupa Aksara : Tangerang.
6. Sabiston. 2003. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku
Kedokteran : EGC.
42