Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Pelumpuh Otot


Prinsip farmakologi pelumpuh otot adalah menghalangi transmisi impuls
saraf di sambungan saraf-otot (neuromuscular junction). Berdasarkan mekanisme
kerjanya obat pelumpuh otot diklasifikasikan menjadi pelumpuh otot depolarisasi
dan non-depolarisasi.13
Penggunaan klinis pelumpuh otot dalam bidang anestesiologi adalah
menyediakan suatu kondisi relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi endotrakea
dan memudahkan kerja operator selama anestesi umum. Dosis 2xED95
direkomendasikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakea. Pelumpuh otot tidak
mendepresi saraf pusat dan tidak memiliki sifat analgesik. Penggunaan pelumpuh
otot diluar ruang operasi juga luas diaplikasikan seperti halnya pada pengelolaan
pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanik di ruang perawatan
intensif.13

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sambungan Saraf-Otot

Regio antara motor neuron dan sel otot disebut sambungan saraf-otot.
Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh celah sempit (20 nm). Pada
saat depolarisasi potensial aksi saraf terminal, terjadi influks ion-ion kalsium
melalui gerbang saluran kalsium ke sitoplasma saraf yang menyebabkan vesikel di
membran terminal akan mengeluarkan asetilkolin (acethylcholine). Molekul
asetilkolin akan berdifusi sepanjang celah sinaps untuk berikatan dengan reseptor
nikotinik kolinergik pada membran otot di motor end-plate. Setiap sambungan
saraf-otot mengandung 5 juta reseptor, tapi hanya diperlukan 500.000 reseptor
untuk kontraksi otot normal.10,11,13,29

23
Gambar 2.2. Fisiologi sambungan saraf-otot (Netter illustration from
www.netterimages.com. © Elsevier all rights reserved)51

Struktur reseptor asetilkolin bervariasi di setiap jaringan dan


perkembangannya juga berbeda. Setiap reseptor asetilkolin di sambungan saraf-
otot normalnya mempunyai 5 subunit protein, 2 subunit α dan subunit tunggal β,
δ, dan ε. Hanya subunit α identik yang bisa mengikat molekul asetilkolin. Bila
kedua tempat diduduki asetilkolin, terjadi perubahan cepat pada subunit α (1
milidetik) membuka saluran ion pada inti reseptor.11,13,30

24
Gambar 2.2.1: Struktur reseptor asetilkolin. A: Dua subunit yang berikatan
dengan ACh dan kanal tengah. B: Ikatan ACh ke reseptor pada muscle end-plate
menyebabkan pembukaan kanal dan masuknya ion.11

Kation keluar melalui saluran asetilkolin yang terbuka (sodium dan


kalsium masuk; potasium keluar), menghasilkan potensial end-plate. Bila
reseptor-reseptor telah cukup diduduki oleh asetilkolin, akan terjadi depolarisasi
membran perijunctional. Saluran sodium pada bagian ini akan terbuka bila
ambang batas terlewati. Potensial aksi menyebar sepanjang membran otot dan T-
tubule yang membuka saluran-saluran sodium dan melepaskan kalsium dari
retikulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini membuat actin dan myosin
berinteraksi yang menimbulkan kontraksi otot.11,13,30

Asetilkolin segera dihidrolisis ke dalam bentuk asetat dan kolin oleh enzim
spesifik acethylcholinesterase. Enzim ini terdapat pada membran motor endplate

25
yang segera mendekati reseptor asetilkolin. Bila potensial aksi berhenti, saluran
sodium pada membran otot akan tertutup dan otot menjadi istirahat.11,13,30

2.3 Mekanisme Kerja Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi

Seperti asetilkolin, seluruh obat pelumpuh otot memiliki rantai amonium


yang secara positif mengisi nitrogen yang berafinitas terhadap reseptor asetilkolin
nikotinik. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja mencegah depolarisasi dengan
jalan berikatan dengan reseptor asetilkolin dengan cara:10,11,29

a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptornya sehingga mencegah


depolarisasi motor end-plate.
b. Molekul obat akan masuk ke kanal reseptor dan menyebabkan blokade
kanal.
c. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja pada presinaptik, memblokade
kanal Natrium dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa ke release
site.

Tabel 2.3 Farmakologi pelumpuh otot non-depolarisasi (Atracurium &


Rocuronium)11

Struktur Metabolisme Ekskresi Onset2 Durasi3 Pelepasan Blok


Kimia1 Primer Histamin4 Vagal5
Atracurium B +++ Insignifikan ++ ++ + 0
Rocuronium S Insignifikan Bilier +++ ++ 0 +
1 2
B=Benzylisoquinolone, S=Steroidal Onset: + slow, ++ moderate, +++rapid

3 4
Durasi: + short, ++ intermediate, +++ long Pelepasan Histamin: 0 no effect, + slight effect

5
Blok Vagal: 0 no effect, + slight effect (dikutip dari Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology)

2.4 Rocuronium Bromida

Merupakan obat pelumpuh otot golongan non-depolarisasi turunan


aminosteroid, dengan efek utamanya pada post-junctional dan selektifitas yang
tinggi pada reseptor sambungan saraf-otot. Obat ini dipublikasikan pada tahun

26
1988 pada World Congress of Anesthesiology IX di Washington dan
diperkenalkan pada praktek anestesi tahun 1994 di Prancis.10

Paralisis otot dihasilkan oleh karena terjadinya antagonis kompetitif pada


reseptor kolinergik nikotinik otot rangka, potensinya kurang lebih 15-20% dari
vecuronium. Rocuronium tidak menghasilkan blok pada ganglia otonom,
mempunyai onset kerja cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi
minimal, juga mempunyai tendensi yang rendah untuk melepaskan histamin.10

2.4.1 Sifat Fisik dan Kimia

Rocuronium adalah suatu 2-morpholino, 3-desacetyl, 16-allyl-pyrrolidino


derivat dari vecuronium, yang berbeda dari vecuronium pada posisi 3 nukleus
steroid. Rumus kimianya C32H53BrN2O4 dengan berat molekul 609,7. Koefisien
partisi dalam n-octanol/water adalah 0,5 pada suhu 200 C dan memiliki pH 4.
Osmolaritas (osmol.liter-1) dan osmolalitas (osmol.kg-1) antara 260 dan
330,6.10,12,32

Gambar 2.4.1. Rumus Kimia Rocuronium Bromida11

Karakteristik molekuler yang menarik dari rocuronium adalah tidak


adanya fragmen mirip asetilkolin yang ditemukan pada nukleus steroid cincin A
seperti pada pancuronium dan vecuronium. Fragmen mirip asetilkolin terletak
pada cincin D yang sesuai untuk bergabung dengan reseptor di sambungan saraf-
otot dan yang pada umumnya ada pada pelumpuh otot dengan potensi tinggi.
Namun penggantian grup metil yang terletak pada nitrogen quarterner dari

27
pancuronium dan vecuronium oleh grup allyl dan tidak adanya fragmen mirip
asetilkolin pada cincin A mungkin bertanggung jawab pada penurunan potensi
rocuronium. Penggantian grup asetat yang terletak pada cincin A oleh grup
hidroksil yang mungkin menyebabkan rocuronium sebagai larutan yang
stabil.10,12,32

2.4.2 Interaksi dan Potensi

Penelitian menunjukkan ED50 0,105–0,170 mg/kg, dan ED 90 0,259–


0,305 mg/kg, tergantung tehnik anestesi dan stimulasi yang digunakan. Enfluran
dan isofluran mempunyai efek potensiasi dengan rocuronium, sedang halothan
kurang dibandingkan enfluran dan isofluran, hal ini sama dengan pelumpuh otot
yang lain.11

Penelitian mengenai interaksi rocuronium dengan beberapa obat anestesi


intravena seperti droperidol, midazolam, etomidat, tiopenton dan propofol tidak
mempunyai efek yang nyata secara klinis, namun dosis tinggi obat-obatan tersebut
mempunyai sedikit efek potensiasi, pemberian suxamethonium sebelumnya tidak
memberikan efek pada potensi rocuronium.11

2.4.3 Efek Kardiovaskular

Pelumpuh otot dapat menghasilkan efek kardiovaskular pada blok reseptor


muskarinik, blok ganglion, pelepasan noradrenalin dan blokade re-uptake, atau
akibat pelepasan histamin. Rocuronium juga memiliki sedikit efek vagolitik, oleh
karena itu rocuronium dapat juga digunakan untuk operasi yang mempunyai
resiko stimulasi vagal. Begitupun rocuronium tidak menyebabkan perubahan
denyut jantung ataupun tekanan darah.13,32,33

Pada dosis klinis rocuronium mempunyai aktifitas sedikit atau tidak ada
pada reseptor kolinergik nikotinik yang lain diluar otot rangka. Efek vagolitik
yang ringan, yang tampak pada dosis yang lebih tinggi dari rokuronium dapat
membantu pencegahan bradikardia intraoperatif.13,32,33

28
Kurangnya efek blok ganglion otonom secara relatif atau efek
simpatomimetik, biasanya tidak menyebabkan permasalahan pada pasien-pasien
yang menggunakan terapi (antidepresan, β blocker) yang mana targetnya adalah
sistem simpatik.13,32,33

Tidak ada perubahan hemodinamik yang berarti oleh karena pemberian


rocuronium. Tidak ada peningkatan plasma histamin pada dosis 1,2 mg/kg iv
(4xED95). Perubahan hemodinamik sedikit pernah diobservasi sewaktu operasi
bypass koroner jantung. Reaksi anafilaksis pernah dilaporkan, namun ternyata
dianggap positif palsu, karena lebih dari 50% populasi menunjukkan tes
intradermal negatif. Penemuan terbaru menyimpulkan bahwa tidaklah tepat untuk
menghindari rocuronium karena alasan reaksi anafilaksis.13,32,33

2.4.4 Sifat Pelepasan Histamin

Pelepasan histamin dapat menyebabkan efek yang tak diinginkan yang


mana efek terhadap kardiopulmonar adalah masalah yang penting pada klinis.
Kebanyakan pelumpuh otot yang digunakan sekarang ini adalah derivat
aminosteroidal, benzylisoquinoline, atau molekul asetilkolin. Perbedaan pada obat
tersebut adalah matriks molekuler yang mendukung struktur amonium
bisquarternary.10

Hal ini telah diperlihatkan bahwa pelumpuh otot golongan


benzylisoquinolin mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk melepaskan
histamin daripada aminosteroid.10

2.4.5 Farmakokinetik

Farmakokinetik rocuronium mirip dengan vecuronium, kecuali volume


distribusinya lebih kecil, ini menunjukkan sifat lipofilik rocuronium lebih rendah
dari vecuronium.10.12.32.33

Pada orang dewasa yang sehat, waktu paruh eliminasi rata-rata 73 menit,
volume distribusi 203 ml/kg dan bersihan plasma adalah 3,7 ml/kg/menit.
Rocuronium terutama dieliminasi melalui jalur hepatobilier dan 10% di ginjal.

29
Pada umumnya kumulasi berdasarkan pada pemakaian dosis dan sifat farmakologi
obat.10,13

Cooper dkk menemukan bahwa nilai farmakokinetik rocuronium pada


pasien dengan/tanpa gagal ginjal dapat menunjukkan perbedaan kecepatan
bersihan (2,5 dan 3,7 ml/kg/menit) yang nyata.10,13,32,33

Pada penyakit hepar stadium lanjut terjadi pemanjangan masa kerja obat
tetapi dosis awal sedikit ditingkatkan karena volume distribusi yang lebih lama
dan pada keadaan gagal ginjal bersihan plasma menurun, volume distribusi
menjadi meningkat dan terjadi pemanjangan masa kerja obat yang signifikan
dengan sekali pemberian. Pemanjangan masa kerja juga terjadi pada wanita hamil
dan orang tua akibat fungsi hati yang menurun. Selain itu pemanjangan kerja
rocuronium dapat disebabkan akibat penambahan dosis dari 0,6 mg/kg iv menjadi
1 mg/kg iv (37–95 menit).10,13,32,33

2.4.6 Farmakodinamik

Potensi rocuronium sekitar 15-20% vecuronium. Potensi yang lebih


rendah ini dapat mempunyai keuntungan. Pada penelitian eksperimental, obat-
obat dengan potensi rendah menghasilkan mula kerja yang lebih cepat,
kemungkinan karena konsentrasi molar yang lebih tinggi pada tempat
kerjanya.10,32,33

Rocuronium bekerja dengan cara berkompetisi dengan asetilkolin di


reseptornya. Prinsip kerjanya pada reseptor yang sama dengan asetilkolin dan
suksinilkolin, tetapi tidak menimbulkan depolarisasi motor endplate. Rocuronium
mempertahankan kestabilan membran post sinap dan mencegah terbentuknya
potensial aksi di otot rangka.10,32,33

Mula kerja rocuronium lebih cepat dibandingkan pelumpuh otot non-


depolarisasi yang telah tersedia, pada beberapa dosis perbandingan pelumpuh
otot, rocuronium memberikan paralisis dan kondisi intubasi yang baik serta lebih

30
cepat. Dosis 0,6 mg/kg iv (2xED95) memberikan kondisi intubasi yang baik
hampir pada semua pasien.10,32,33

2.5 Atracurium

Penemuan di awal tahun 1980-an terhadap dua jenis pelumpuh otot,


atracurium dan vecuronium, menciptakan revolusi terhadap penggunaan klinis
pelumpuh otot yang tidak tergantung kepada eliminasi ginjal, waktu mula kerja
lebih cepat, masa pulih lebih cepat, dan obat antagonisnya lebih komplit.11

2.5.1 Rumus Kimia

Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non-depolarisasi dari golongan


benzylisoquinolinium bisquaternary, dengan berat molekul 1243,5 DA. Pada ED95
0.25 mg/kg bb atracurium memiliki mula kerja 3-5 menit dan durasi kerja 20-35
menit.38,39 Ditemukan oleh Stenlake dkk pada pertengahan 1970, yang dirancang
untuk menghasilkan relaksasi non-depolarisasi dan mengalami eliminasi
Hofmann. Obat ini pertama sekali diperkenalkan dalam penggunaan klinis di
Inggris oleh Payne dan Hughes pada tahun 1981 dan di AS oleh Basta pada tahun
1982.10,11,13

Gambar 2.5.1. Rumus Kimia Atracurium Besylate11

31
2.5.2 Mekanisme Kerja

Tempat kerja atracurium seperti halnya obat-obat pelumpuh otot non-


depolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik prasinaps dan paskasinaps.
Atracurium juga menyebabkan penghambatan otot-saraf secara langsung dengan
mempengaruhi aliran ion melalui kanal reseptor-reseptor kolinergik nikotinik.
Diperkirakan 82% atracurium terikat dengan plasma protein terutama albumin.
Atracurium didesain untuk didegradasi spontan in vivo (eliminasi Hoffman) pada
temperatur tubuh dan pH normal.36 Garam iodide besylate ditambahkan untuk
membuat atracurium lebih larut dalam air, dan mengatur pH larutan diantara
3.25–3.65 untuk meminimalkan degradasi in vitro spontan. Oleh karena sediaan
komersial yang memiliki pH yang rendah, atracurium sebaiknya tidak dicampur
dengan obat-obat yang bersifat alkali seperti barbiturat atau cairan infus yang
alkalis. Terpaparnya atracurium terhadap larutan alkali sebelum masuk ke
sirkulasi secara teori akan mengakibatkan kerusakan dini pada obat. Potensi
atracurium yang disimpan di temperatur ruangan akan menurun sekitar 5% setiap
30 hari.10,11,13

2.5.3 Bersihan

Atracurium mengalami degradasi spontan non-enzimatis pada temperatur


tubuh dan pH normal yang dikenal sebagai eliminasi Hofmann. Selanjutnya
secara simultan atracurium akan dihidrolisis oleh plasma esterase yang non-
spesifik. Eliminasi Hofmann menunjukkan mekanisme eliminasi kimia,
sedangkan hidrolisis ester merupakan mekanisme biologik. Kedua rute
metabolisme ini tidak tergantung pada fungsi hepar dan renal, seperti juga
aktifitas dari kolinesterase plasma. Sama seperti pasien normal, maka masa kerja
penghambatan atracurium pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar
adalah sama. Eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester juga menunjukkan efek
kumulatif obat yang sedikit dengan dosis berulang atau infus kontinu. Di atas
semua itu, hidrolisis ester bernilai terhadap sekitar 2/3 atracurium yang
didegradasi, dimana eliminasi Hofmann memberikan “jaring yang aman”,

32
khususnya terhadap pasien dengan fungsi hepar dan/atau ginjal yang
terganggu.10,11,13,37

Masa kerja atracurium tidak berbeda diantara pasien normal dan pasien-
pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hati serta pasien dengan kelainan
cholinesterase plasma yang atipikal.13 Tidak terjadinya pemanjangan kerja
atracurium pada pasien-pasien dengan cholinesterase atipikal menunjukkan
ketergantungan hidrolisis ester pada plasma esterase yang non-spesifik yang tidak
berkaitan dengan cholinesterase plasma.37

Konsistensi dari mula kerja hingga masa pulih setelah dosis tambahan
atracurium berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan menunjukkan tidak
terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan. Tidak terdapatnya obat yang
signifikan karena bersihan atracurium yang cepat dari plasma yang mana tidak
tergantung pada fungsi renal dan hepar. Sedikitnya efek kumulatif memperkecil
kecendrungan blokade yang persisten ketika prosedur pembedahan yang lama
membutuhkan dosis berulang atau infus kontinu.10,11,13

2.5.4 Laudanosine

Laudanosine merupakan metabolit utama dari kedua jalur metabolisme


atracurium. Eliminasi Hofmann menghasilkan 2 molekul laudanosine dan hidrolis
ester menghasilkan 1 molekul laudanosine dari setiap 1 molekul atracurium yang
dimetabolisme.13 Konsentrasi plasma puncak laudanosine pada manusia terjadi 2
menit setelah pemberian iv cepat atracurium dan menetap lebih kurang 75% dari
level puncak sekitar 15 menit.37 Laudanosine bergantung pada bersihan hati,
sekitar 70% diekskresi melalui empedu dan sisanya melalui urin.13

Sirosis hati tidak mempengaruhi bersihan laudanosine, dimana ekskresi


metabolit ini akan terganggu pada pasien dengan obstruksi saluran empedu.
Konsentrasi plasma dari laudanosine setelah dosis tunggal atracurium 0.5 mg/kg
iv akan meningkat pada pasien dengan gagal ginjal dibandingkan dengan pasien
normal. Laudanosine tidak akan menyebabkan aktivitas kejang pada pasien yang

33
dibius karena atracurium menyebabkan kelumpuhan otot dan disisi lain sedasi
hipnotik akan mendepresi susunan saraf pusat.13

2.5.5 Perubahan Asam-Basa

Meskipun eliminasi Hofmann bergantung pada pH (dipercepat pada


keadaan alkalosis dan diperlambat pada keadaan asidosis) akan tetapi perlu
perubahan pH yang cukup besar untuk dapat mempengaruhi eliminasi Hofmann.
Perubahan pH akan mempengaruhi laju hidrolisis ester yang berlawanan arah
dengan laju eliminasi Hofmann. Oleh karenanya eliminasi Hofmann yang lambat
akan dilawan dengan meningkatnya laju hidrolisis ester.13

2.5.6 Efek Kardiovaskular

Pemberian cepat atracurium dosis 3xED95 akan meningkatkan frekuensi


jantung 8.3% dan menurunkan tekanan rerata arteri 21.5%.35 Perubahan pada
sistem sirkulasi ini bersifat sementara, terjadi pada 60-90 detik setelah pemberian
atracurium dan akan segera menghilang dalam waktu 5 menit. Wajah dan bagian
dada yang memerah (flushing) pada beberapa pasien disebabkan pelepasan
histamin sebagai mekanisme perubahan sirkulasi yang berhubungan dengan
pemberian cepat atracurium dosis tinggi. Peningkatan konsentrasi histamin
plasma sementara dan paralel terhadap perubahan frekuensi jantung dan tekanan
darah sistemik terjadi ketika atracurium 0.6 mg/kg iv diberikan secara cepat.
Sebaliknya dosis atracurium yang sama diberikan dalam waktu 30–75 detik, atau
bila secara cepat harus didahului pemberian pretreatment antagonis reseptor
Histamin 1 dan 2 agar tidak menyebabkan perubahan sirkulasi meskipun
didapatkan peningkatan konsentrasi histamin yang sama dengan pemberian dosis
tanpa pretreatment. Meskipun memiliki kemampuan melepaskan histamin,
pemberian atracurium tidak mempengaruhi tekanan intrakranial pada pasien-
pasien dengan tumor intrakranial.13

Pelepasan histamin yang dibangkitkan oleh atracurium tidak terjadi pada


pemberian berulang dalam jangka pendek, hal ini dikarenakan cadangan histamin

34
tidak tergantikan dalam beberapa hari. Oleh karenanya penurunan tekanan darah
sistemik minimal terjadi pada pengulangan dosis yang sama.13

Tabel 2.5.6 Karakteristik pelumpuh otot Non-Depolarisasi (Atracurium &


Rocuronium)11

ED95 Dosis Mula Durasi Dosis Dosis


(mg/kg) Intubasi Kerja (menit) Rumatan Rumatan
(mg/kg) Intubasi Bolus Infus
(menit) (mg/kg) (mg/kg/menit)
Atracurium 0,2 0,5 2,5-3,0 30-45 0,1 5-12
Rocuronium 0,3 0,8 1,5 35-75 0,15 9-12
(Dikutip dari Morgan & Mikhail’s Clinical Anestesiology)

2.6 Efedrin

Efedrin merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus


ephedra (ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di China dan India Timur
sejak 5000 tahun yang lalu. Efedrin mempunyai rumus molekul C10H15NO dan
nama lainnya α-hydroxy-β-methylaminopropylbenzene.33

Gambar 2.6. Rumus Kimia Ephedrine50

Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk


bidang anestesi. Efedrin merupakan non-katekolamin sintetis yang bekerja pada
reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja langsung (merangsang
reseptor adrenergik) atau tidak langsung (merangsang pelepasan noradrenalin
endogen). Efedrin bertahan terhadap metabolisme oleh MAO di saluran cerna,

35
sehingga diabsorpsi dalam bentuk tidak berubah oleh saluran cerna. Hingga 40%
efedrin juga diekskresi ginjal dalam bentuk utuh. Tidak seperti epinefrin, efedrin
tidak menyebabkan hiperglikemia. Efek stimulasi saraf pusat juga tidak sekuat
amfetamin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg intramuskular atau subkutan bisa
digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi, efedrin 25 mg per oral sekali
sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai bronkodilator dan
dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga bisa diatasi dengan efedrin, seperti
asma bronchial, kongesti nasal karena koriza, rhinitis dan sinusitis.33,38,50

Dalam bidang anestesi efedrin digunakan pada kasus hipotensi akibat


anestesi regional, baik oleh karena anestesi spinal atau epidural. Pemberian
efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik
mengatasi efek hipotensi akibat blok simpatis karena anestesi regional.13 Untuk
ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesaria dengan anestesi spinal, efedrin
merupakan pilihan untuk mengatasi hipotensi, oleh karena selain meningkatkan
tekanan darah juga memperbaiki aliran darah plasenta.50

Selain digunakan untuk mengatasi hipotensi, Pencampuran efedrin dan


propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat
penyuntikan propofol.39,40 Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja
pelumpuh otot non-depolarisasi.18,19

2.6.1 Farmakokinetik

Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin


cepat diserap secara utuh pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular.
Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan
selama 2-4 jam. Absorpsi efedrin yang diberikan intramuskular lebih cepat (10-20
menit) dibanding subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung
diobservasi. Efek terhadap tekanan darah dapat bertahan hingga 1 jam pada
pemberian parenteral dan 4 jam pada pemberian oral. Efedrin juga dilaporkan
dapat menembus plasenta dan terdistribusi dalam air susu ibu.21

36
Efedrin dimetabolisme oleh hati dalam jumlah kecil melalui proses
deaminasi oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya
adalah p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya.
Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk
yang tidak berubah. Eliminasinya dipengaruhi oleh keasaman urin.13,33,41 Efek
puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah injeksi.21

2.6.2 Efek Kardiovaskular

Efek kardiovaskular efedrin menyerupai epinefrin. Dibutuhkan 250 kali


lebih banyak efedrin dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan
tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan
darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splangnic
menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot rangka meningkat. Tahanan perifer
meningkat minimal oleh karena efek vasokonstriksi di sebagian pembuluh darah
dilawan oleh vasodilasi akibat perangsangan β2 si sebagian pembuluh darah lain.
Efek kardiovaskular berupa vasokonstriksi arteri dan vena disebabkan oleh
perangsangan reseptor α. Mekanisme utama efedrin terhadap kardiovaskular
adalah meningkatkan kontraksi otot jantung oleh aktivasi reseptor β1.50

Dosis kedua efedrin tidak terlalu meningkatkan respon naiknya tekanan


darah sistemik seperti pada dosis pertama. Fenomena ini dikenal dengan istilah
takifilaksis, dimana terjadi juga pada simpatomimetik lain yang berhubungan
dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor
adrenergik yang persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor
adrenergik bahkan setelah kembalinya tekanan darah sistemik mendekati level
sebelum mendapat efedrin akibat kompensasi kardiovaskular. Ketika efedrin
diberikan pada saat itu, reseptornya masih ditempati oleh dosis sebelumnya dan
respon tekanan darah berkurang. Takifilaksis mungkin juga karena kekurangan
simpanan norepinefrin.50

37
2.6.3 Kontraindikasi

Kontraindikasi terutama termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis,


angina pektoris, aritmia dan gagal jantung.42,43

2.6.4 Toksisitas Efedrin

Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan kebingungan, delirium,


halusinasi atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan
pendengaran bisa terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin juga bisa
menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat,
mukosa hidung dan tenggorokan kering, takikardi, aritmia, nyeri dada,
berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah, retensi urin, hipertensi yang berakibat
perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan.40

Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun yang


mengkonsumsi efedrin 6 tablet (120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110
mmHg dan diatasi dengan lidokain dan nitropruside dan tekanan darah turun
dalam 9 jam kemudian. Seorang pemuda 19 tahun menelan tablet yang berisi 24
mg efedrin dan 100 mg kafein dan dalam 15 menit kemudian mengalami nyeri
dada hebat dan menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga diatasi dengan
lidokain dan nitropruside. Dalam penelitian ini menggunakan efedrin dosis kecil
yang diharapkan tidak akan menimbulkan efek samping dan toksisitas
berdasarkan laporan yang tersebut diatas. Dilaporkan bahwa dosis efedrin 110
µg/kg/iv berhubungan dengan hipertensi dan takikardia setelah intubasi,
sementara dosis 20 µg/kg/iv tidak memperbaiki kondisi intubasi.40

2.7 Pemantauan Hambatan Saraf-Otot

Pada umumnya, derajat hambatan saraf-otot yang disebabkan oleh


pelumpuh otot dinilai dari respon kontraksi otot terhadap stimulus listrik
supramaksimal di saraf perifer. Serabut otot yang masih terinhibisi pelumpuh otot
tidak akan berespon terhadap rangsang listrik.51 Kekuatan dan intensitas dari
respon ini bergantung pada jumlah serat otot yang teraktivasi. Dengan intensitas

38
stimulasi yang cukup, maka semua serat otot yang dipersarafi akan berkontraksi
dan mencapai level maksimum. Pada penggunaan klinis stimulus supramaksimal
sebesar 15-20 % diatas level maksimum.44

2.7.1 Tehnik Pemantauan Hambatan Saraf-Otot

Persiapan dan penempatan elektroda mempunyai pengaruh dalam


pemantauan blokade saraf-otot. Sebelum menempatkan elektroda, kulit harus
dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan alkohol. Elektroda harus ditempatkan
secara tepat pada saraf motorik perifer yang akan distimulasi. Ketika
menggunakan elektroda EKG jarak antara dua elektroda harus <6 cm. Sebagai
tambahan, direkomendasikan untuk menjaga suhu kulit ≥32 0 C untuk mencegah
bias karena hipotermia. Unit saraf otot yang paling sering dipilih adalah otot
adductor pollicis dan nervus ulnaris. Ketika pemantauan akseleromiografi
kuantitatif akan digunakan, probe dapat diletakkan pada ujung ibu jari. Untuk
mendapatkan hasil yang akurat, keempat jari lain harus difiksasi.44

Alternatif lain bila pasien dalam posisi telungkup, saraf tibialis posterior
dan otot flexor hallucis brevis dapat digunakan. Pilihan lain lagi adalah nervus
fasialis untuk menilai kontraksi otot orbicularis occuli dan otot corrugators
supercilii. Intensitas aliran listrik juga berbeda untuk setiap unit otot saraf yang
digunakan.44

39
Gambar 2.7.1. Pemantauan pelumpuh otot dengan acceleromiografi.44

Grup otot yang berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda dalam
onset, offset, dan efek puncak dari pelumpuh otot saraf. Penelitian menunjukkan
bahwa kondisi intubasi yang optimal dan paralisis otot diafragma dan dinding
perut dapat diprediksi oleh pemantauan nervus fasialis dan otot corrugators
supercilii, sedangkan nervus ulnaris dan adductor pollicis merupakan pilihan yang
baik untuk mengetahui pemulihan otot faring.44,45

2.7.2 Pola Rangsangan Saraf

Secara klinis pola stimulasi yang digunakan adalah stimulasi kedutan


tunggal (single twitch stimulation), stimulasi train of four (TOF), stimulasi
tetanik, post-tetanic count stimulation (PTC), dan double-burst stimulation
(DBS).44,46,47

40
Single twitch (kedutan tunggal) merupakan pemberian stimulus
supramaksimal kepada saraf dengan frekuensi antara 0.1–1 Hz. Respon terhadap
rangsangan dapat dilihat dari kontraksi otot yang menetap hingga 75% reseptor
diduduki oleh pelumpuh otot. Penilaian penurunan respon hingga tidak adanya
respon menunjukkan blokade 95% reseptor.51

Train of four diperkenalkan pada tahun 1970 oleh Ali dan kawan-
kawan.44,47

Gambar 2.7.2 Pola stimulasi dan respon Train of Four44

Berbeda dengan stimulasi kedutan tunggal, TOF memberikan penilaian


yang lebih nyata dari blok saraf-otot. Stimulasi ini memiliki pola yang terdiri dari
4 kedutan pada frekuensi 2 Hz, dengan interval bebas stimulasi 10 detik diantara
stimulasi TOF.44 Menghilangnya (fading) dari respon TOF menunjukkan adanya
penghambatan oleh pelumpuh otot di reseptor asetilkolin. Relakasasi pembedahan
didefinisikan sebagai rasio TOF 15–25% selama pembedahan.47

Pada keadaan tanpa penghambatan saraf-otot keempat respon mempunyai


amplitudo yang sama. Kehilangan dari respon ke empat menandakan blockade 75-
80%. Hilangnya respon ketiga, kedua, dan pertama, menandakan blok 85%, 90%,
dan 98–100% secara berurutan. Rasio Train of Four didapatkan dengan membagi

41
amplitude (tinggi) dari respon keempat dengan amplitudo dari respon pertama.
Hal ini untuk menilai pemulihan saraf otot selama pemberian pelumpuh saraf-
otot. Rasio TOF 0.7 merepresentasikan pemulihan diafragma yang adekuat.
Adapun untuk memastikan kembalinya fungsi otot faring yang adekuat
membutuhkan rasio TOF >0.9. 44,46,47

Dibawah ini merupakan hubungan antara depresi kedutan pertama dan


respon train of four.47

Tabel 2.7.3 Hubungan antara reseptor yang diduduki, T1, T4, T4/T1 T1 selama
blok pelumpuh otot non depolarisasi44

Hubungan antara reseptor yang diduduki , T1, T4, T4/T1 selama blok pelumpuh
otot non depolarisasi
Presentasi T1 T4 T4/T1
penghambatan (% normal) (% normal) (% normal)
100 - - -
95 - - -
0 - Hilang T1
90 10 - Hilang T2
20 - Hilang T3
80 25 0 Hilang T4
- 80-90 55-65 0.6-0.7
- 95 70 0.7-0.75
75 100 75-100 0.75-1
- 100 - 0.9-1
50 100 - -
30 - - -

TOF-Watch merupakan suatu alat yang memiliki timer tersendiri dimana


alat ini memberikan stimuli pada detik tertentu dengan interval bebas stimuli
selama 10 detik.44

42
Stimulasi tetanik adalah pola stimulasi frekuensi tinggi (50-100 Hz) yang
berulang. Respon otot yang didapatkan adalah kontraksi tetanik ketika tidak
dalam pengaruh blok saraf-otot. Pada kasus pemulihan saraf otot yang tidak
komplit, efek fade dapat dilihat selama stimulasi. Penelitian terbaru menunjukkan
sensitivitas stimulasi tetanik untuk mendeteksi kurarisasi residual hanya sekitar
70% dengan spesifisitas hanya 50%.44,46,51

Post tetanic count (PTC) mengizinkan evaluasi taktil dan visual terhadap
blok pelumpuh otot yang tidak respon dengan stimulasi TOF. Selama stimulasi
PTC, stimulasi 50 Hz diaplikasikan selama 5 detik diikuti stimulus tunggal
supramaksimal dengan frekuensi 1 Hz setelah interval 3 detik. PTC akan
menghasilkan respon stimulus tunggal yang mengikuti stimulasi tetanik dan
idealnya harus 0 jika blok saraf otot yang dalam diperlukan.44,46,51

Double-burst stimulation diperkenalkan untuk penggunaan klinis pada


tahun 1989 oleh Engback dan kawan-kawan. Tehnik ini memberikan evaluasi
taktil terhadap penghambatan saraf-otot yang minor dibandingkan evaluasi rasio
TOF. Stimulasi ini menggunakan frekuensi 50 Hz dengan interval 750 ms,
dimana satu burst terdiri dari 2-3 impuls. Menghilangnya impuls kedua dari seri
impuls dibandingkan dengan impuls yang pertama berkorelasi dengan pemulihan
pelumpuh otot yang tidak komplit dan dapat dibandingkan dengan TOF <0.6.47

2.8 Akseleromiografi

Akseleromiografi merupakan salah satu teknik pemantauan kuantitatif


yang banyak dipakai saat ini, karena murah dan mudah digunakan. Akselerometri
atau akseleromiografi akan mengukur percepatan gerakan dari bagian tubuh
seperti ibu jari, dimana otot pollicis adductor melekat. Setelah penempatan
elektroda pada saraf yang menjadi target stimulasi, elemen piezo-electric
ditempatkan diatas otot yang diinervasi oleh saraf tersebut. Akseleromiografi akan
menilai percepatan isotonic dari otot yang distimulasi. Dasar dari metode ini
adalah hukum kedua newton bahwa gaya adalah massa dikali percepatan. Jika
massa dianggap konstan, maka gaya dari kontraksi otot dapat dihitung jika

43
percepatan dinilai. Pergerakan dari organ akhir seperti ibu jari, akan menghasilkan
tegangan dalam elemen piezo elektrik yang berkorelasi dengan percepatan otot.44

Selain di ibu jari, akseleromiografi juga dapat digunakan di otot mata


seperti otot supercilli corrugators, namun penggunaannya memiliki keterbatasan.
Secara umum akurasi akseleromiografi rendah ketika pergerakan yang dihasilkan
beramplitudo lemah. Meskipun demikian akseleromiografi merupakan perangkat
yang paling akurat dan paling banyak digunakan untuk menilai blok saraf–otot.48

Akseleromiografi telah menunjukkan korelasi yang baik akan tetapi dapat


dipengaruhi artefak, pergerakan pasien, dan respon kedutan yang tidak stabil.
Adapun, fiksasi jari-jari dan lengan atas direkomendasikan ketika menggunakan
ibu jari.48 Perangkat komersial akseleromiografi yang tersedia adalah TOF-watch
yang didistribusikan perusahaan Phillips di Amerika Serikat. Akan tetapi
penggunannya terbatas pada otot adductor pollicis saja, dan tidak bisa digunakan
pada diafragma maupun laring.48

Waktu yang paling penting dalam menerapkan pemantauan otot-saraf


adalah pada akhir pembedahan dan anestesi, sebelum pasien dibangunkan.
Kebanyakan klinisi akan menggunakan stimulator saraf untuk mengkonfirmasikan
pemulihan yang sempurna dari transmisi saraf-otot. Hal ini dikarenakan sangat
sulit untuk melakukan evaluasi klinis seperti mengangkat kepala, menjabat
tangan, maupun mengangkat kaki pada pasien yang baru pulih dari keadaan
anestesi. Stimulator saraf akan banyak membantu pada situasi dimana evaluasi
klinis tidak memungkinkan. Rasio train-of-four >0.9 pada otot adductor pollicis
perlu diperoleh untuk mendapatkan proteksi jalan nafas yang adekuat setelah
anestesi untuk mencegah atelektasis paska operasi dan pneumonia.48

Aplikasi klinis lain dari monitoring ini adalah untuk menilai mula kerja
pelumpuh otot dan menilai kondisi intubasi yang adekuat. Mula kerja laten dari
obat adalah waktu yang dibutuhkan mulai dari injeksi sampai dijumpainya efek
yang dapat diukur. Mula kerja didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan

44
sampai efek puncak. Pengukuran mula kerja bervariasi tergantung pada unit saraf
otot yang distimulasi. Onset di laring, diafragma, dan pita suara lebih cepat
dibandingkan mula kerja pada otot adductor pollicis. Pemantauan otot orbicularis
occuli lebih berguna selama menilai mula kerja pelumpuh otot untuk RSI.47

Indikasi pemantauan pelumpuh otot-saraf 47


Pemantauan pelumpuh otot-saraf sebaiknya dilakukan pada semua pasien
yang mendapat obat pelumpuh otot. Akan tetapi ada beberapa kondisi yang
menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat –obat
pelumpuh otot diantaranya:
1. Penyakit ginjal kronik,
2. Penyakit hati, insufisiensi hati,
3. Penyakit neuromuskular seperti miastenia gravis, miopati, dan lesi
motor neuron atas dan bawah,
4. Pasien dengan penyakit paru berat,
5. Obesitas untuk memastikan kembalinya fungsi otot rangka,
6. Pelumpuh otot yang diberikan berkesinambungan,
7. Pasien yang mendapat pelumpuh otot kerja panjang,
8. Pasien yang menjalani bedah mayor yang berdurasi panjang.

Keterbatasan pemantauan pelumpuh otot 47


1. Respon pelumpuh otot dapat normal, meskipun reseptor asetilkolin
sepenuhnya diduduki pelumpuh otot. T4:T1 rasio 1 meskipun ketika 40-
50% reseptor telah diduduki,
2. Variabilitas individual akan memberikan respon yang berbeda, beberapa
pasien menunjukkan kelemahan pada rasio TOF 0.8 – 0.9,
3. Nilai cut-off untuk pemulihan yang adekuat tidak menggaransi fungsi
ventilasi atau proteksi jalan nafas yang baik,
4. Peningkatan impedance kulit yang diakibatkan oleh hipotermia akan
membatasi interpretasi yang diperlukan untuk membangkitkan respon.

45
2.9 Kerangka Teori

Priming

10 % dosis intubasi
Efedrin
Pelumpuh otot non-depolarisasi

Stimulasi reseptor α dan β Menduduki reseptor

Asetilkolin lebih awal

Meningkatkan curah
jantung
Menutup sebagian saluran
natrium paska sinaps

Percepatan perfusi ke otot Inhibisi depolarisasi saraf


rangka
paska sinaps

Potensiasi

Obat pelumpuh otot

Non-depolarisasi

Mempercepat mula kerja

pelumpuh otot

Gambar 2.9: Kerangka Teori

46
2.10 Kerangka Konsep

Priming Atracurium 0,5


mg/kg + efedrin 75 µg/kg

Mula Kerja

(lag time & onset time)

Rocuronium 1 mg/kg

Variabel Tergantung

Variabel Bebas

Gambar 2.10. Kerangka Konsep

47

Anda mungkin juga menyukai