HIPERSENSITIFITAS
HIPERSENSITIFITAS
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah Biokimia Dasar dan Fisika Kesehatan
dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki masih kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu, Ibu dr.
Yunisa Dwi Angganis, M.Si teman-teman kami dan semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir
penyelesaian.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................i
i
Daftar Isi...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan ..................................................................................................2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat
non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas
humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang
memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan
sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan
mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini
merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan
imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka
terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi
hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap
bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai
mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat
timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan
pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan
bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal
timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin.
Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi
menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat
perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan
perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik
abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi dan pertahanan
tubuh pada kondisi lingkungan (suhu, debu dan udara) yang tidak sesuai
1
(ekstrem), belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada
makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat
membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme
genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi
eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat
banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase
dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien
dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat
melebihi normal.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksut dengan reaksi hipersensitivitas?
2. Apasaja etiologi terjadinya reaksi hipersensitivitas?
3. Bagaimana patofisiologis dari reaksi hipersensitivitas tipe III?
4. Apa bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III?
5. Penyakit apa yang ditimbulkan akibat reaksi hipersensitivitas tipe III?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hipersensitivitas
2. Untuk mengetahui etiologi terjadinya hipersensitivitas
3. Untuk mengetahui patofisiologis dari reaksi hipersensitivitas tipe III
4. Untuk mengetahui bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III
5. Untuk mengetahui penyakit yang ditimbulkan akibat reaksi
hipersensitivitas tipe III
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
3
4 tipe reaksi hipersensitivitas yaitu :
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaktif
B. Etiologi
Pada infeksi, terdapat antigen mikroba. Pada proses infeksi ini akan
muncul kompleks imun pada organ yang terinfeksi
2. Autoimun
C. Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe III muncul ketika terdapat antibodi dalam
jumlah kecil dan antigen dalam jumlah besar, yang membentuk kompleks
imun yang kecil dan sulit diekskresikan dari sistem sirkulasi. Kompleks imun
ini memiliki sifat sebagai antigen terlarut yang tidak berikatan dengan
permukaan sel. Ketika antigen ini berikatan dengan antibodi, maka terbentuk
kompleks imun dengan berbagai ukuran. Kompleks imun yang berukuran
besar dapat dimusnahkan oleh makrofag, namun kompleks imun yang
berukuran kecil, sulit untuk dimusnahkan oleh makrofag sehingga dapat
lebih lama bertahan dalam sirkulasi. Kompleks imun ini menjadi berbahaya
4
ketika mengendap di jaringan. Beberapa jaringan tersebut diantaranya:
pembuluh darah, persendian dan glomerulus. Endapan ini akan menimbulkan
gejala. Kompleks imun berukuran medium lebih bersifat patogen.
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang
terjadi bila kompleks antigen - antibodi ditemukan dalam jaringan atau
sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi
yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepas factor Macrophage Chemotactic Factor (C3a dan C5a).
Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai
mediatorantara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten, bahan yang
terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen
dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respon antibodi yang
efektif. Komplek imun akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem
imun.Komplemen yang diaktifkan kompleks imun melepas C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai
mediator, komplement juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks
diendapkan dijaringan. Netrofil akan ditarik dan akan memulai
mengeliminasi kompleks. Bila netrofil terkepung dijaringan akan sulit untuk
memakan kompleks dan akan melepaskan granulnya (angry sel ) yang akan
menyebabkan lebih banyak kerusakan sel.
5
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang
persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang
menimbulkan alveolitis alergi ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri
(penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen yang berebihan
tanpa disertai respon antibodi yang efektif. Oleh karena makrofag
belum dapat memusnahkan kompleks imun, sehingga
perangsangan terhadap makrofag ini terjadi secara terus menerus
dan berakibat terhadap rusaknya jaringan.
Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan
IgM atau IgG3 atau IgA diendapkan di membran basal vaskuler
dan membran basal ginjal sehingga menimbulkan reaksi inflamasi
lokal dan luas. Kompleks ini juga dapat menimbulkan agregasi
trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permiabilitas vaskuler,
aktivitas sel mast, produksi dan pelepasan mediator iflamasi dan
bahan kemotaktik serta influks neutrofil. Bahan toksik ini dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya. Kompleks
imun yang mengendap pada dinding pembuluh darah dapat dilihat
pada gambar 1 berikut.
6
berikut:
a) Aktivasi komplemen
e) Menimbulkan mikrotrombi
g) Mengaktifkan makrofag
D. Bentuk Reaksi
Terdapat 2 bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu : reaksi lokal atau
sistemik.
1. Reaksi Lokal atau fenomena Arthus
7
Gambar 2. Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III pada
Reaksi Arthus
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel
pada endotel vaskuler dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks
imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan
lokal dan vaskuler akibat akumulasi cairan (edem) dan eritem sampai
nekrosis. Reaksi tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang
diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang dapat
menimbulkan alveolitis atau farmers lung.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi
komplemen, meningkatkan permiabilitas pembuluh darah yang dapat
menimbulkan edema. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor
kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai diarahkan ke tempat
reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah.
Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot
polos dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos,
degranulasi sel mast, peningkatan permiabilitas vaskular dan respon
tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks
imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepaskan
berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif.
Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan
setempat. Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut :
8
Gambar 3. Reaksi Arthus
Suntikan obat dapat memacu pembentukan kompleks imun
(1), lalu mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik (2), dan
kompleks imun diikat oleh sel mast (3), menimbulkan degranulasi
oleh neutrofil yang memacu kemotaksis (4) dan melepas enzim litik
(5).
Gambar 4. Skema interaksi molekuler, seluler dan jaringan pada reaksi arthus
Dengan pemeriksaan imunoflouresen, antigen, antibodi dan
berbagai komponen-komplemen dapat ditemukan di tempat
kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau
9
granulosit menurun maka kerusakan khas dari arthus tidak terjadi.
Reaksi arthus pada klinis dapat berupa vaskulitis.
2. Reaksi Tipe III sistemik-serum sickness
10
samapai setengah dari level respon antibodi. Sindroma kinik ini timbul
selama 1-2 minggu injeksi antigen. Antigen bebas biasanya
dimusnahkan dari darah, sehingga menyebabkan antibodi berlebih dan
pembentukan kompleks imun yang berukuran besar dan mudah
dimusnahkan oleh makrofag. Gejala klinis biasanya sembuh atau
menghilang 7-28 hari, saat kompleks imun dengan ukuran intermediet
juga dimusnahka oleh sistem retikuloendotel.
Serum sickness sekunder merupakan antigen yang muncul dari
sistem imun. Serum sickness sekunder memiliki gejala onset yang
pendek dan gejala yang berlebihan. Penyakit kompleks imun muncul
dengan penyebab yang masih belum jelas. Faktor yang mungkin
berperan yaitu : level yang tinggi dari kompleks imun, defisiensi
relatif dari komplemen sehingga berdampak terhadap rendahnya
kemampuan eliminasi kompleks imun.
b) Etiologi
Beberapa penyebab dari serum sickness yaitu : obat-obatan yang
mengandung protein tertentu :
1) Antitoksin, hormon, streptokinase, vaksin : antibodi
monoklonal dan poliklonal dari kuda, kelinci, tikus
contohnya antithymocyte globulin.
2) Beberapa antibiotik yaitu : sefalosporin, ciprofloxacin,
furazolidone, griseofulvin, lincomycin, metronidazole,
paraaminosalicylic acid, penisilin, streptomicin, sulfonamide,
tetrasiklin.
3) Beberapa obat lainnya : alupurinol, barbiturat, bupropion,
captopril, karbamazepin, fluoxetine, halotan, hidantoin,
hidralazin, indometasin, iodida, iron dextran, metimazole,
metildopa, procainamide, procarbazine, propanolol dan
thiouacil.
Beberapa monoklonal antibodi dapat menyebabkan serum
sickness like syndrome yaitu : infliximab pada pengobatan chron
disease dan reumatoid artritis. Omalizumab digunakan untuk terapi
alergi yang berhubungan dengan asma. Rituximab biasanya digunakan
pada berbagai penyakit diantaranya cryoglobulinemia dan lymphoma.
11
c) Epidemiologi
Prevalensi serum sickness menurun setiap tahun. Kemungkinan
munculnya serum sickness didasarkan atas jumlah dosis. Pada satu
penelitian dilaporkan bahwa terdapat 10% pasien yang mengalami
serum sickness setelah diberikan 10 ml antitoksin tetanus. Sedangkan
pada pasien yang mendapat dosis 80 ml, prevalensi serum sickness
lebih besar lagi. Selain itu serum sickness juga didasarkan atas tipe
antigen yaitu antirabies serum memiliki angka kemungkinan serum
sickness lebih tinggi yaitu 16,3% sedangkan antitetanus toksin 2,5%-
5%.
d) Prognosis
Serum sickness merupakan penyakit self limited dan sembuh
dalam beberapa hari. Prognosa serum sickness baik, jika tidak terdapat
keterlibatan organ. Namun jika terdapat glomerulonepritis yang
progresif dan kompliksi neurologi yang berat maka, mortalitas akan
tinggi. Beberapa komplikasi serum sikness sebagai berikut : vaskulitis,
neuropati, acute renal failure, glomerulonepritis, anapilaksis dan shok.
e) Gejala klinis
Serum sickness muncul setelah 1-3 minggu terpapar dengan
agen penyebab. Waktu yang paling singkat untuk muncul yaitu 12-36
jam. Gejala klinis dapat berupa :
4) Gastrointestinal (67%)
12
7) Mialgia (37%)
8) Dipsneu (20%)
9) Limpadenopati (17%)
1) Cyroglobulinemia
2) Glomerulonepritis
3) Hepatitis viral
4) Infeksius mononukleosis
5) Endikarditis infeksi
6) Kawasaki disease
7) Leukocytoclastic vasculitis
13
1. Aspergilosis bronkopneumonia alergik
Merupakan peradangan saluran nafas yang sering pada usia muda
dengan atopi. Penyebabnya yaitu alergi terhadap jamur aspergilus
fumigatus. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada bronkus
(bronkiektasis) dan parenkim paru. Terdapat 2 mekanisme imunologis
yaitu kompleks imun yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi
(IgG) menyebabkan inflamasi saluran nafas melalui mekanisme aktivasi
komplemen dan sel-sel fagosit serta kerusakan parenkim paru dan
bronkus terjadi akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang
menempel pada mastosit, yang selanjutnya menunjukkan reaksi
hipersensitivitas tipe I akibat penglepasan histamin dan mediator lainnya.
Gambaran klinis seperi asma berupa demam, batuk, nyeri dada dan
kelelahan.
1) Patofisiologi
14
produksi IFNα dan mempromosikan autoimun melalui sistem
toleransi yang diaktivasi antigen precenting cell (APC). Pada
awalnya, imun reaktan seperti kompleks imun menyebabkan
respon inflamasi.
2) Diagnosis
15
Tabel 1. Gejala klinis SLE
16
cendrum menjai kronik. Artritis reumatoid berkaitan dengan HLA
DR1 dan HLA DR4.
Pada artritis reumatoid dibentuk Ig yang berupa IgM (disebut
rheumatoid faktor, RF) yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul
IgG. Kompleks RF dan IgG ditimbun di sinovial sendi dan
mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat
kemotaktik dan lisis jaringan setempat. Respon inflamasi disertai
dengan peningkatan permiabilitas vaskuler menimbulkan
pembengkakan sendi dan nyeri bila eksudat bertambah banyak. Enzim
hidrolitik yang dilepas pada reaksi dapat pula menimbulkan destruksi
sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi. Berikut gambar
proses inflamasi pada artritis reumatoid.
17
sel-sel PMN dan monosit ke tempat endapan kompleks imun; 4)
Penglepasan mediator-mediator inflamasi yang menyebabkan
kerusakan dan neksrosis pembuluh darah.
Beberapa penyakit kompleks imun diatas dapat dilihat pada
tabel berikut :
18
Kompleks imun dalam sirkulasi dapat ditemukan dengan 2
cara, yaitu dengn pemeriksaan antigen spesifik dalam kompleks
dengan antibodi dan dengan pemeriksaan antigen nonspesifik. Olek
karena itu banyak peneliti memilih dan mengembangkan teknik
antigen nonspesifik.
Saat ini banyak cara yang dapat dikerjakan untuk
menemukan kompleks imun dalam sirkulasi, tetapi tidak ada
satupun cara yang ideal. Salah satu teknik yang sering digunakan
adalah dengan cara yang mengunakan cell line limpoma (sel Raji).1
Kerusakan jaringan oleh karena kompleks imun tidak selalu
disertai dengan adanya kompleks imun dalam sirkulasi. Penemuan
kompleks imun dalam serum berfungsi untuk menilai dan
memantau penyakit serta efek pertukran plasma. Bila kompleks
imun diduga berperan pada suatu penyakit, maka dilakukan biopsi
jaringan dan kompleks imun diperiksa dengn teknik
imunofluoresen. Oleh karena itu pemeriksaan kompleks imun di
dalam jaringan lebih bermakna dibandingkan dengan pemerikaan
kompleks imun dalam sirkulasi.
3) Pemeriksaan Komplemen
Pemeriksaan komplemen dalam serum dimaksudkan untuk
mengukur fungsi komponen dan menentukan sifat antigenik
komplemen (cara Mancini). Komplemen dapat dibagi dalam 3
golonan sebagai berikut; 1) Komponen dini pada jalur klasik (C1,
C4, dan C2); 2) Komponen dini pada jalur alternatif (faktor B, D
dan P); 3) Komponen lambat pada kedua jalur (C3 dan C9). Bila
kadar C4 dan C3 rendah tetapi faktor B normal, maka itu berarti
aktivasi komplemen hanya terjadi melalui jalur klasik. Bila kadar
C3, C4 dan semua faktor B semuanya rendah, kemungkinan besar
juga terjadi aktivasi melalui jalur alternatif. Tetapi bila kadar C4
normal dengan kadar C3 dan faktor B rendah berarti ada aktivasi
melalui jalur alternatif aja. Pengukuran C3 dan C4 akan membantu
pemantauan pengobatan pasien glomerulonefritis dan vaskulitis.
19
4) Pemeriksaan Jaringan Biopsi
Pada jaringan biopsi dapat digunakan untuk pemeriksaan
imunoglobulin, komplemen dan antigen. Pada jaringan yang rusak
atau yang sehat dapat terjadi endapan kompleks imun yang
mengandung ketiga unsur tersebut. Jaringan biopsi untuk
pemeriksaan imunoflouresens tidak boleh difiksasi. Jaringan harus
dikirim secepatnya ke laboratorium.
5) Pemeriksaan Autoantibodi
Autoantibodi seperti ANA (Anti Nuclear Antibody), ds
DNA, SMA (Smooth Muscules Antibody) dapat diperiksa melalui
tehnik imunofouresen, RIA dan countercurent electrophoresis.
Rheumatoid Factor (RF) adalah IgM yang berinteraksi dengan IgG
sebagai antigen.
6) Terapi
Terapi yang dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe III
yaitu menghilangkan antigen penyebab dan menghentikan respon
inflamasi. Pada serum sickness oleh karena obat, maka
penghentiaan obat harus segera dihentikan. Plasmaparese dapat
digunakan untuk membersihkan kompleks imun dalam sirkulasi.
Pada kasus berat dapat diberikan glukokortikoid sistemik. Pada
aspergilosis bronkopulmonari alergik dapat diberikan steroid dosis
tinggi untuk mengurangi inflamasi akut dan mencegah kerusakan
parenkim paru dan bronkus yang bersifat irreversibel.
Bronkodilator dapat mengatasi sesak nafas sedangkan anti jamur
tidak bermanfaat.
Pada penyakit kompleks imun non alergik seperti SLE,
Rematoid artritis, glomerulonepritis dapat diberikan steroid dosis
rendah (1 mg/kgBB), serta pada keadaan berat dapat diberikan
dosis tinggi (2 mg/kgBB) atau mega dose (500-1000mg/hari selama
3 hari berturut-turut). Pilihan terapi pada pemberian steroid jangka
panjang yaitu metilprednisolon oleh karena efek samping lebih
kecil. Pada kasus berat yang tidak respon dengan steroid, dapat
diberikan imunosupresif seperti klorokuin, siklofospamid,
metotreksat atau siklosporin.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
21
tipe II dan III merupakan tipe intermediet, sedangkan tipe IV merupakan
reaksi tipe lambat.
B. Saran
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah alergi ini
kembali, Merubah pola hidup menjadi dasar perbaikan seluruh kondisi alergi.
Prinsip utama dalam menangani reaksi alergi adalah menghindari
pencetusnya, dan bukan memberinya obat-obatan. Jadi, perhatikan faktor
lingkungan di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasim, Septi, Gani, Intan, Iriani, Hiperensitivitas tipe III, STIKES Al Irsyad al
Islamiyah, Cilacap, 2011
Salim EM, Sukmana N, Penyakit kompleks imun. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.edisi ke-VI, Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2014:525-531
22
Janawey CA, Travers P, Walport M, Shlomchik MJ. Immunobiology : The
Immune System in Helath and disease.5 Edition;2001
Alissa HM, Serum sickness. Medscape 2014.http://emedicine.medscape.com
23