Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

BIOKIMIA DASAR DAN FISIKA KESEHATAN


“Hipersensitivitas Tipe III”

Dosen Pembimbing : dr. Yunisa Dwi Angganis M.Si


Disusun oleh :

1. Novia Mirandica Ratu P P27224019185


2. Nur Purnama Sari P27224019186
3. Nurul Hidayah P27224019187
4. Nurulia Eka Rahmawati P27224019188
5. Ossy Gilang Ratna Dewi P27224019189
6. Prasetyaningrum P27224019190
7. Putri Samuel P27224019191
8. Rahma Puspita Hayati P27224019192
9. Rastika Hanifa P P27224019193
10. Ratna destri Lieswidarani P27224019194
11. Ratna Resminingsih P27224019195
12. Rera Maulindra P27224019196
13. Ridha Islami P27224019197
14. Rini Agustina P27224019198
15.

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN KEBIDANAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah Biokimia Dasar dan Fisika Kesehatan
dengan tepat waktu.

Semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman


bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki masih kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu, Ibu dr.
Yunisa Dwi Angganis, M.Si teman-teman kami dan semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir
penyelesaian.

Klaten, Oktober 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................i

i
Daftar Isi...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan ..................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Definisi ................................................................................................4
B. Etiologi..................................................................................................4
C. Patofisiologi .........................................................................................5
D. Bentuk Reaksi ......................................................................................8
E. Penyakit pada reaksi hipersensitivitas tipe III ......................................15

BAB III PENUTUPAN


A. Kesimpulan...........................................................................................24
B. Saran.....................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat
non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas
humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang
memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan
sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan
mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini
merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan
imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka
terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi
hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap
bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai
mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat
timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan
pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan
bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal
timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin.
Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi
menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat
perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan
perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik
abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi dan pertahanan
tubuh pada kondisi lingkungan (suhu, debu dan udara) yang tidak sesuai

1
(ekstrem), belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada
makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat
membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme
genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi
eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat
banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase
dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien
dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat
melebihi normal.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksut dengan reaksi hipersensitivitas?
2. Apasaja etiologi terjadinya reaksi hipersensitivitas?
3. Bagaimana patofisiologis dari reaksi hipersensitivitas tipe III?
4. Apa bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III?
5. Penyakit apa yang ditimbulkan akibat reaksi hipersensitivitas tipe III?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hipersensitivitas
2. Untuk mengetahui etiologi terjadinya hipersensitivitas
3. Untuk mengetahui patofisiologis dari reaksi hipersensitivitas tipe III
4. Untuk mengetahui bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III
5. Untuk mengetahui penyakit yang ditimbulkan akibat reaksi
hipersensitivitas tipe III

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Reaksi hipersensitivitas merupakan peningkatan reaktivitas atau


sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal
sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas juga dikenal sebagai reaksi berlebihan,
tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat berakibat fatal)
dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan
tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada sel B dan sel T.
Aktivitas atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan keadaan
imunopatologis yaitu reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs ada

3
4 tipe reaksi hipersensitivitas yaitu :
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaktif

2. Reaksi hipersensitivitas tipe II yaitu reaksi sitotoksik

3. Reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu reaksi kompleks imun

4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu reaksi yang diperantarai oleh sel

Berdasarkan kecepatan reaksinya, reaksi hipersensitivitas tipe I


merupakan reaksi tipe cepat, reaksi hipersensitiitas tipe II dan III merupakan
tipe intermediet, sedangkan tipe IV merupakan reaksi tipe lambat.

B. Etiologi

Penyebab reaksi hipersensitivitas diantaranya :


1. Infeksi persisten

Pada infeksi, terdapat antigen mikroba. Pada proses infeksi ini akan
muncul kompleks imun pada organ yang terinfeksi
2. Autoimun

Terjadi kompleks imun yang berasal dari tubuh sendiri. Kompleks


imun mengendap pada ginjal, sendi dan pembuluh darah
3. Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berperan adalah antigen lingkungan.


Tempat kompleks imun mengendap yaitu paru

C. Patofisiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe III muncul ketika terdapat antibodi dalam
jumlah kecil dan antigen dalam jumlah besar, yang membentuk kompleks
imun yang kecil dan sulit diekskresikan dari sistem sirkulasi. Kompleks imun
ini memiliki sifat sebagai antigen terlarut yang tidak berikatan dengan
permukaan sel. Ketika antigen ini berikatan dengan antibodi, maka terbentuk
kompleks imun dengan berbagai ukuran. Kompleks imun yang berukuran
besar dapat dimusnahkan oleh makrofag, namun kompleks imun yang
berukuran kecil, sulit untuk dimusnahkan oleh makrofag sehingga dapat
lebih lama bertahan dalam sirkulasi. Kompleks imun ini menjadi berbahaya

4
ketika mengendap di jaringan. Beberapa jaringan tersebut diantaranya:
pembuluh darah, persendian dan glomerulus. Endapan ini akan menimbulkan
gejala. Kompleks imun berukuran medium lebih bersifat patogen.
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang
terjadi bila kompleks antigen - antibodi ditemukan dalam jaringan atau
sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi
yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepas factor Macrophage Chemotactic Factor (C3a dan C5a).
Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai
mediatorantara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten, bahan yang
terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen
dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respon antibodi yang
efektif. Komplek imun akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem
imun.Komplemen yang diaktifkan kompleks imun melepas C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai
mediator, komplement juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks
diendapkan dijaringan. Netrofil akan ditarik dan akan memulai
mengeliminasi kompleks. Bila netrofil terkepung dijaringan akan sulit untuk
memakan kompleks dan akan melepaskan granulnya (angry sel ) yang akan
menyebabkan lebih banyak kerusakan sel.

5
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang
persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang
menimbulkan alveolitis alergi ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri
(penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen yang berebihan
tanpa disertai respon antibodi yang efektif. Oleh karena makrofag
belum dapat memusnahkan kompleks imun, sehingga
perangsangan terhadap makrofag ini terjadi secara terus menerus
dan berakibat terhadap rusaknya jaringan.
Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan
IgM atau IgG3 atau IgA diendapkan di membran basal vaskuler
dan membran basal ginjal sehingga menimbulkan reaksi inflamasi
lokal dan luas. Kompleks ini juga dapat menimbulkan agregasi
trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permiabilitas vaskuler,
aktivitas sel mast, produksi dan pelepasan mediator iflamasi dan
bahan kemotaktik serta influks neutrofil. Bahan toksik ini dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya. Kompleks
imun yang mengendap pada dinding pembuluh darah dapat dilihat
pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe III


2. Kompleks imun mengendap di jaringan
Beberapa hal yang dapat menyebabkan kompleks imun
dapat mengendap di jaringan yaitu : ukuran kompleks imun yang
kecil serta permiabilitas vaskuler yang meningkat antara lain
karena histamin yang dilepas sel mast. Kompleks antigen
antibody dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai

6
berikut:

a) Aktivasi komplemen

b) Melepaskan anafilatoksin (C3a, C5a) yang merangsang mastosit


melepas histamin

c) Melepas faktor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) mengerahkan


polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim
polikationik
d) Menimbulkan agregasi trombosit

e) Menimbulkan mikrotrombi

f) Melepas amin vasoaktif

g) Mengaktifkan makrofag

h) Melepas IL-1 dan produk lainnya.


Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks
imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil
dan permebialitas vaskuler yang meningkat, antara lain karena
histamine yang dilepaskan sel mast.

D. Bentuk Reaksi
Terdapat 2 bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu : reaksi lokal atau
sistemik.
1. Reaksi Lokal atau fenomena Arthus

Maurice Arthus yang menemukan bahwa penyuntikkan


serum kuda ke intradermal kelinci secara berulang-ulang di tempat
yang sama akan terjadi reaksi yang hebat. Reaksi awal berupa
eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah suntikan kemudian
edema yang lebih besar. Reaksi tersebut hilang setelah keesokan
harinya. Pada suntikan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan
neksrosis yang sulit sembuh. Hal ini disebut fenomena arthus yang
merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Antibodi yang
ditemukan adalah jenis presipitin.

7
Gambar 2. Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III pada
Reaksi Arthus
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel
pada endotel vaskuler dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks
imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan
lokal dan vaskuler akibat akumulasi cairan (edem) dan eritem sampai
nekrosis. Reaksi tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang
diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang dapat
menimbulkan alveolitis atau farmers lung.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi
komplemen, meningkatkan permiabilitas pembuluh darah yang dapat
menimbulkan edema. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor
kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai diarahkan ke tempat
reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah.
Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot
polos dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos,
degranulasi sel mast, peningkatan permiabilitas vaskular dan respon
tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks
imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepaskan
berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif.
Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan
setempat. Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut :

8
Gambar 3. Reaksi Arthus
Suntikan obat dapat memacu pembentukan kompleks imun
(1), lalu mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik (2), dan
kompleks imun diikat oleh sel mast (3), menimbulkan degranulasi
oleh neutrofil yang memacu kemotaksis (4) dan melepas enzim litik
(5).

Gambar 4. Skema interaksi molekuler, seluler dan jaringan pada reaksi arthus
Dengan pemeriksaan imunoflouresen, antigen, antibodi dan
berbagai komponen-komplemen dapat ditemukan di tempat
kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau

9
granulosit menurun maka kerusakan khas dari arthus tidak terjadi.
Reaksi arthus pada klinis dapat berupa vaskulitis.
2. Reaksi Tipe III sistemik-serum sickness

Serum sickness adalah merupakan reaksi hipersensitivitas


tipe III, yang berasal dari injeksi heterologus protein asing atau
serum. Ataupun merupakan reaksi sekunder dari obat-obatan non
protein. Serum sickness pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet
dan Shick pada tahun 1905. Serum sickness merupakan sindrom
yang terdiri dari : demam, erupsi kulit (urtikaria), nyeri sendi dan
limpadenopati pada regio yang diinjeksi. Pemberian obat-obatan
seperti penisilin, NSAID (Nonsteroidal anti inflammatory drugs)
juga berhubungan dengan penyakit yang mirip dengan serum
sickness.
a) Patofisiologi
Pada saat tubuh terpapar antigen asing, dimana tidak terdapat
antibodi, serum sickness dapat muncul setelah 1-2 minggu. Serum
sickness ini muncul saat antibodi terbentuk dan patogenesa serum
sickness berhubungan dengan interaksi sirkulsi antigen dan antibodi
yang membentuk kompleks imun pada lingkungan dengan kelebihan
antigen.
Interaksi imunologi pada serum sickness timbul ketika antigen
mampu mengenali sirkulasi pada saat pembentukan antibodi.
Kompleks imun dengan ukuran kecil tidak menyebabkan inflamasi,
kompleks imun yang berukuran besar biasanya dimusnahkan oleh
sistem retikuloendotelial sistem. Sedangkan yang berkuran
intermediet, dapat mengendap pada dinding pembuluh darah dan
jaringan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan oleh karena aktivasi
komplemen dan granulosit. Sel endotelial meningkat pada saat adhesi
molekul, monosit dan makrofag melepaskan sitokin proinflamasi.
Kemudian sel inflamasi lainnya direkrut serta terjadi nekrosis pada
pembuluh darah. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis dan
ikatan neutropil dengan kompleks imun yang mengendap. Hal ini
difasilitasi oleh peningkatan permiabilitas vaskular melalui pelepasan
amin vasoaktif dari sel mast. Pada saat ini, level komplemen turun

10
samapai setengah dari level respon antibodi. Sindroma kinik ini timbul
selama 1-2 minggu injeksi antigen. Antigen bebas biasanya
dimusnahkan dari darah, sehingga menyebabkan antibodi berlebih dan
pembentukan kompleks imun yang berukuran besar dan mudah
dimusnahkan oleh makrofag. Gejala klinis biasanya sembuh atau
menghilang 7-28 hari, saat kompleks imun dengan ukuran intermediet
juga dimusnahka oleh sistem retikuloendotel.
Serum sickness sekunder merupakan antigen yang muncul dari
sistem imun. Serum sickness sekunder memiliki gejala onset yang
pendek dan gejala yang berlebihan. Penyakit kompleks imun muncul
dengan penyebab yang masih belum jelas. Faktor yang mungkin
berperan yaitu : level yang tinggi dari kompleks imun, defisiensi
relatif dari komplemen sehingga berdampak terhadap rendahnya
kemampuan eliminasi kompleks imun.
b) Etiologi
Beberapa penyebab dari serum sickness yaitu : obat-obatan yang
mengandung protein tertentu :
1) Antitoksin, hormon, streptokinase, vaksin : antibodi
monoklonal dan poliklonal dari kuda, kelinci, tikus
contohnya antithymocyte globulin.
2) Beberapa antibiotik yaitu : sefalosporin, ciprofloxacin,
furazolidone, griseofulvin, lincomycin, metronidazole,
paraaminosalicylic acid, penisilin, streptomicin, sulfonamide,
tetrasiklin.
3) Beberapa obat lainnya : alupurinol, barbiturat, bupropion,
captopril, karbamazepin, fluoxetine, halotan, hidantoin,
hidralazin, indometasin, iodida, iron dextran, metimazole,
metildopa, procainamide, procarbazine, propanolol dan
thiouacil.
Beberapa monoklonal antibodi dapat menyebabkan serum
sickness like syndrome yaitu : infliximab pada pengobatan chron
disease dan reumatoid artritis. Omalizumab digunakan untuk terapi
alergi yang berhubungan dengan asma. Rituximab biasanya digunakan
pada berbagai penyakit diantaranya cryoglobulinemia dan lymphoma.

11
c) Epidemiologi
Prevalensi serum sickness menurun setiap tahun. Kemungkinan
munculnya serum sickness didasarkan atas jumlah dosis. Pada satu
penelitian dilaporkan bahwa terdapat 10% pasien yang mengalami
serum sickness setelah diberikan 10 ml antitoksin tetanus. Sedangkan
pada pasien yang mendapat dosis 80 ml, prevalensi serum sickness
lebih besar lagi. Selain itu serum sickness juga didasarkan atas tipe
antigen yaitu antirabies serum memiliki angka kemungkinan serum
sickness lebih tinggi yaitu 16,3% sedangkan antitetanus toksin 2,5%-
5%.
d) Prognosis
Serum sickness merupakan penyakit self limited dan sembuh
dalam beberapa hari. Prognosa serum sickness baik, jika tidak terdapat
keterlibatan organ. Namun jika terdapat glomerulonepritis yang
progresif dan kompliksi neurologi yang berat maka, mortalitas akan
tinggi. Beberapa komplikasi serum sikness sebagai berikut : vaskulitis,
neuropati, acute renal failure, glomerulonepritis, anapilaksis dan shok.
e) Gejala klinis
Serum sickness muncul setelah 1-3 minggu terpapar dengan
agen penyebab. Waktu yang paling singkat untuk muncul yaitu 12-36
jam. Gejala klinis dapat berupa :

1) Demam, malaise (100%), demam dengan suhu tinggi dalam


beberapa hari

2) Erupsi kulit (93%) berupa urtikaria, muncul pada anteror


badan bagian bawah, periumbilikalis, aksila dan menyebar ke
bagian atas badan dan ekstremitas. Dapat pula muncul rash
seperti morbili, palpabel purpura, eritema simplex, eritema
multiform,pruritus dan edema.
3) Atralgia (77%) biasanya pada metacarpophalangeal atau knee
joint.

4) Gastrointestinal (67%)

5) Sakit kepala (57%)

6) Pandangan kabur (37%)

12
7) Mialgia (37%)

8) Dipsneu (20%)

9) Limpadenopati (17%)

10) Renal impairment : proteinuri, hematuri mikroskopi, oliguri.

11) Neurologi imparement : neuropati perifer, neuritis pleksus


brachial, neuritis optik, Guillain Barre Syndrome,
encephalomyelitis.
f) Diagnosa Banding
Beberapa diagnosa banding serum sickness terdiri dari :

1) Cyroglobulinemia

2) Glomerulonepritis

3) Hepatitis viral

4) Infeksius mononukleosis

5) Endikarditis infeksi

6) Kawasaki disease

7) Leukocytoclastic vasculitis

8) Sickle Cell Anemia

9) Systemic Lupus Erythematosus.


g) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yaitu berupa : leukopenia atau mild
leukositosis dengan atau tanpa eosinopilia, sel plasma pada darah tepi,
sedimen eritrosit meningkat, peningkatan IgG, proteinuria ringan atau
hematuria, kreatinin serum meningkat, penurunan komplemen C3,C4,
Cyroglobulinemia atau gabungan IgG dan IgM.
h) Terapi
Pada kasus berat dapat digunakan kortikosteroid. Plasmaparesis
juga dapat digunakan. Obat-obatan yang dapat digunakan yaitu :
NSAIDs, antihistamin, kortikosteroid.

E. Penyakit pada reaksi hipersensitivitas tipe III

13
1. Aspergilosis bronkopneumonia alergik
Merupakan peradangan saluran nafas yang sering pada usia muda
dengan atopi. Penyebabnya yaitu alergi terhadap jamur aspergilus
fumigatus. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada bronkus
(bronkiektasis) dan parenkim paru. Terdapat 2 mekanisme imunologis
yaitu kompleks imun yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi
(IgG) menyebabkan inflamasi saluran nafas melalui mekanisme aktivasi
komplemen dan sel-sel fagosit serta kerusakan parenkim paru dan
bronkus terjadi akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang
menempel pada mastosit, yang selanjutnya menunjukkan reaksi
hipersensitivitas tipe I akibat penglepasan histamin dan mediator lainnya.
Gambaran klinis seperi asma berupa demam, batuk, nyeri dada dan
kelelahan.

a. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)


SLE merupakan penyakit autoimun sistemik dengan
karakteristik respon sel B dan sel T secara berlebihan dan kehilangan
toleransi sistem imun dalam melawan antigen dari tubuh sendiri.
Produksi dan gangguan eliminasi dari antibodi, sirkulasi dan deposit
jaringan dari kompleks imun, komplemen dan aktivasi sitokin
berkontribusi terhadap terjadinya gejala klinis yang muncul seperti
lemah, nyeri sendi dan kegagalan organ. Berdasarkan E.Cozzani dkk,
antibodi yang berperan pada SLE yaitu antinuclear antibodi,
antidouble stranded DNA antibodi.

1) Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya SLE yaitu respon imun melawan


antigen dalam tubuh. Autoantigen dilepaskan dari sel apoptosis
yang dipresentasikan oleh sel dendritik terhadap sel T. Aktivasi sel
T berfungsi dalam mengaktifkan sel B dalam memproduksi
antibodi yang merupakan komponen dari dirinya sendiri melalui
sekresi sitokin seperti : IL-10 dan IL-23 serta CD-40L dan CTLA-
4. Kemudian antigen ini akan mengaktifkan sel T dependent dalam
memproduksi autoantibodi. Peningkatan jumlah apoptosis
berhubungan dengan asam nukleid endogen yang menstimulasi

14
produksi IFNα dan mempromosikan autoimun melalui sistem
toleransi yang diaktivasi antigen precenting cell (APC). Pada
awalnya, imun reaktan seperti kompleks imun menyebabkan
respon inflamasi.

Kompleks imun dan komplemen akan mengaktivasi jalur


fungsi efektor dan kerusakan jaringan. Pada individu sehat,
kompleks imun dibersihkan oleh Fc dan reseptor komplemen.
Kegagalan dalam membersihkan kompleks imun akan
menyebabkan kompleks imun mengendap dan menyebabkan
kerusakan jaringan. Kerusakan jarigan dimediasi oleh rekrutmen
sel-sel inflamasi, reactive oxidative spesies, sitokin proinflamasi
dan modulasi kaskade koagulasi. Pada kasus neuropsikiatrik SLE
(NPSLE), terjadi reaksi antibodi dengan DNA dan reseptor
glutamat pada sel neuronal sehingga dapat menyebabkan kematian
sel atau disfungsi sel. Sitokin lokal seperti IFN-α dan TNF-α
menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi. IFN-α
menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Pada SLE terjadi
aterosklerosis oleh karena homosistein dan faktor proinflamasi.

2) Diagnosis

SLE memiliki perjalanan klinis yang dinamis, sehingga sulit


dalam menegakkan diagnosa SLE. Berdasarkan American College
of Rheumatology 1997 terdapat beberapa gejala klinis dalam
mendiagnosa SLE sesuai tabel berikut :

15
Tabel 1. Gejala klinis SLE

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosa SLE


memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan jika
hanya 3 kriteria atau salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE. Bila hasil test ANA negatif, kemungkinan bukan
SLE. Sedangkan jika hanya ANA positif dn gejala lain tidak ada,
maka perlu dilakukan observasi lebih lanjut.

Terapi pada SLE refractory yang mendapatkan terapi


konvensional, berdasarkan Bonilla-Abadia dkk, penggunaan
Rituximab dapat menurunkan angka kekambuhan dan bersifat
aman dalam penggunaannya.
b. Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi jaringan ikat
sendi yang bersifat progresif, biasanya diawali dengan artritis pada
PIPs, MCPs dan MTPs secara simetris disertai ejala sistemik dan

16
cendrum menjai kronik. Artritis reumatoid berkaitan dengan HLA
DR1 dan HLA DR4.
Pada artritis reumatoid dibentuk Ig yang berupa IgM (disebut
rheumatoid faktor, RF) yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul
IgG. Kompleks RF dan IgG ditimbun di sinovial sendi dan
mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat
kemotaktik dan lisis jaringan setempat. Respon inflamasi disertai
dengan peningkatan permiabilitas vaskuler menimbulkan
pembengkakan sendi dan nyeri bila eksudat bertambah banyak. Enzim
hidrolitik yang dilepas pada reaksi dapat pula menimbulkan destruksi
sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi. Berikut gambar
proses inflamasi pada artritis reumatoid.

Gambar.5 Proses inflamasi pada artritis reumatoid


c. Vaskulitis
Vaskulitis merupakan penyakit komplekks imun yang ditandai
dengan adanya inflamasi dan nekrosis lokal pada dinding pembuluh
darah akibat respon tubuh terhadap antigen infeksi, keganasan,
obat/bahan kimia, radiasi dan antigen lain tidak diketahui. Pada
vaskulitis ini terdapat beberapa hal penting : 1) adanya komplek imun
yang larut ditemukan dalam darah;2) Peningkatan permiabilitas
vaskuler akibat adanya endapan kompleks imun pada dinding
pembuluh darah ; 3) Aktivasi komplemen dengan akibat pengerahan

17
sel-sel PMN dan monosit ke tempat endapan kompleks imun; 4)
Penglepasan mediator-mediator inflamasi yang menyebabkan
kerusakan dan neksrosis pembuluh darah.
Beberapa penyakit kompleks imun diatas dapat dilihat pada
tabel berikut :

Tabel 2. Beberapa penyakit kompleks imun


1) Diagnosis
Walaupn deteksi kompleks imun tidak mutlak untuk setiap
penyakit, tetapi pada beberapa keadaan, penentuan kompleks imun
bermanfaat selain untuk menunjang diagnosis juga untuk
memantau keberhasilan. Pemantauan ini dilakukan pada beberapa
penyakit misalnya pada LES, artritis reumatoid dan polartritis
nodosa. Kadar kompleks imun berkolerasi dengan status penyakit
dan mempunyai nilai prediktif yang cukup baik.
2) Pemeriksaan Komplek Imun
Adanya kompleks imun dapat diperiksa dengan 2 cara sebagai
berikut:
a) Analisis spesimen jaringan untuk melihat
komponen endapan kompleks (imunologlobulin,
komplemen, kadang-kadang antigen) dengn teknik
imunofluoresen.
b) Analisis konpleks imun dalam serum atau cairan tubuh lain.

18
Kompleks imun dalam sirkulasi dapat ditemukan dengan 2
cara, yaitu dengn pemeriksaan antigen spesifik dalam kompleks
dengan antibodi dan dengan pemeriksaan antigen nonspesifik. Olek
karena itu banyak peneliti memilih dan mengembangkan teknik
antigen nonspesifik.
Saat ini banyak cara yang dapat dikerjakan untuk
menemukan kompleks imun dalam sirkulasi, tetapi tidak ada
satupun cara yang ideal. Salah satu teknik yang sering digunakan
adalah dengan cara yang mengunakan cell line limpoma (sel Raji).1
Kerusakan jaringan oleh karena kompleks imun tidak selalu
disertai dengan adanya kompleks imun dalam sirkulasi. Penemuan
kompleks imun dalam serum berfungsi untuk menilai dan
memantau penyakit serta efek pertukran plasma. Bila kompleks
imun diduga berperan pada suatu penyakit, maka dilakukan biopsi
jaringan dan kompleks imun diperiksa dengn teknik
imunofluoresen. Oleh karena itu pemeriksaan kompleks imun di
dalam jaringan lebih bermakna dibandingkan dengan pemerikaan
kompleks imun dalam sirkulasi.
3) Pemeriksaan Komplemen
Pemeriksaan komplemen dalam serum dimaksudkan untuk
mengukur fungsi komponen dan menentukan sifat antigenik
komplemen (cara Mancini). Komplemen dapat dibagi dalam 3
golonan sebagai berikut; 1) Komponen dini pada jalur klasik (C1,
C4, dan C2); 2) Komponen dini pada jalur alternatif (faktor B, D
dan P); 3) Komponen lambat pada kedua jalur (C3 dan C9). Bila
kadar C4 dan C3 rendah tetapi faktor B normal, maka itu berarti
aktivasi komplemen hanya terjadi melalui jalur klasik. Bila kadar
C3, C4 dan semua faktor B semuanya rendah, kemungkinan besar
juga terjadi aktivasi melalui jalur alternatif. Tetapi bila kadar C4
normal dengan kadar C3 dan faktor B rendah berarti ada aktivasi
melalui jalur alternatif aja. Pengukuran C3 dan C4 akan membantu
pemantauan pengobatan pasien glomerulonefritis dan vaskulitis.

Kadar yang rendah biasanya menjadi norma pada remisi. 3

19
4) Pemeriksaan Jaringan Biopsi
Pada jaringan biopsi dapat digunakan untuk pemeriksaan
imunoglobulin, komplemen dan antigen. Pada jaringan yang rusak
atau yang sehat dapat terjadi endapan kompleks imun yang
mengandung ketiga unsur tersebut. Jaringan biopsi untuk
pemeriksaan imunoflouresens tidak boleh difiksasi. Jaringan harus
dikirim secepatnya ke laboratorium.
5) Pemeriksaan Autoantibodi
Autoantibodi seperti ANA (Anti Nuclear Antibody), ds
DNA, SMA (Smooth Muscules Antibody) dapat diperiksa melalui
tehnik imunofouresen, RIA dan countercurent electrophoresis.
Rheumatoid Factor (RF) adalah IgM yang berinteraksi dengan IgG
sebagai antigen.
6) Terapi
Terapi yang dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe III
yaitu menghilangkan antigen penyebab dan menghentikan respon
inflamasi. Pada serum sickness oleh karena obat, maka
penghentiaan obat harus segera dihentikan. Plasmaparese dapat
digunakan untuk membersihkan kompleks imun dalam sirkulasi.
Pada kasus berat dapat diberikan glukokortikoid sistemik. Pada
aspergilosis bronkopulmonari alergik dapat diberikan steroid dosis
tinggi untuk mengurangi inflamasi akut dan mencegah kerusakan
parenkim paru dan bronkus yang bersifat irreversibel.
Bronkodilator dapat mengatasi sesak nafas sedangkan anti jamur
tidak bermanfaat.
Pada penyakit kompleks imun non alergik seperti SLE,
Rematoid artritis, glomerulonepritis dapat diberikan steroid dosis
rendah (1 mg/kgBB), serta pada keadaan berat dapat diberikan
dosis tinggi (2 mg/kgBB) atau mega dose (500-1000mg/hari selama
3 hari berturut-turut). Pilihan terapi pada pemberian steroid jangka
panjang yaitu metilprednisolon oleh karena efek samping lebih
kecil. Pada kasus berat yang tidak respon dengan steroid, dapat
diberikan imunosupresif seperti klorokuin, siklofospamid,
metotreksat atau siklosporin.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Reaksi hipersensitivitas merupakan peningkatan reaktivitas atau


sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal
sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas juga dikenal sebagai reaksi berlebihan,
tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat berakibat fatal)
dari sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan kecepatan reaksinya, reaksi
hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi tipe cepat, reaksi hipersensitiitas

21
tipe II dan III merupakan tipe intermediet, sedangkan tipe IV merupakan
reaksi tipe lambat.

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di


mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Mekanisme
terjadinya alergi terdiri dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari
hipersensitivitas terdiri dari empat tipe yaitu tipe I, Tipe II. Tipe III dan Tipe
IV. dan macamnya terdiri dari alergi oleh karena debu, suhu udara, makanan,
obata-obatan dan oleh bahan kimia lainnya yang dapat berpengaruh.
Sedangkan untuk pemeriksaan terhadap alergi dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang, dan untuk terapi alergi
dapat dilakukan dengan menghindari allergen dan melakukan terapi
farmakologis.

B. Saran
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah alergi ini
kembali, Merubah pola hidup menjadi dasar perbaikan seluruh kondisi alergi.
Prinsip utama dalam menangani reaksi alergi adalah menghindari
pencetusnya, dan bukan memberinya obat-obatan. Jadi, perhatikan faktor
lingkungan di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bratawidjaya KG, Rengganis I. Reaksi hipersensitivitas, Imunologi dasar. Edisi


ke- 11,Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2014:333-339

Hasim, Septi, Gani, Intan, Iriani, Hiperensitivitas tipe III, STIKES Al Irsyad al
Islamiyah, Cilacap, 2011

Salim EM, Sukmana N, Penyakit kompleks imun. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.edisi ke-VI, Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2014:525-531

Hahn BH.Immune-complex diseases.Harrisons principles of internal


medicine.16th Edition.New York:Mc Graw Hill,Inc;2005:1960-1968

22
Janawey CA, Travers P, Walport M, Shlomchik MJ. Immunobiology : The
Immune System in Helath and disease.5 Edition;2001
Alissa HM, Serum sickness. Medscape 2014.http://emedicine.medscape.com

Bartels CM. Systemic lupus erythematosus(SLE). Medscape


2014.http://emedicine.medscape.com

Juan, Anaya M, Shoenfeld Y, Cervera R. Systemic Lupus Erythematosus 2014.


Hidawi Publishing coorperation Autoimmune diseases. Volume 2014 dari
http://dx.doi.org/10.1155/2014/274323

Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systeic Lupus Erythematosus: Pathogenesis


and clinical features.2012.Eular-Fpp.indd

Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011. Diagnosis dan terapi Lupus


Eritematosus Sistemik.

Wachyudi RG, Dewi S, Kamijaya S, Pramudiyo R.Diagnosis dan terapi penyakit


reumatologi. Sagung Seto, Jakarta,2006 : 12-13

23

Anda mungkin juga menyukai