Anda di halaman 1dari 16

Referat

ALOPESIA ANDROGENETIK

Disusun Oleh:
Salsya Medin Putri, S.Ked
04084821921068

Pembimbing:
Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, SpKK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Alopesia Androgenetik

Oleh :
Salsya Medin Putri, S.Ked 04084821921068

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP
Dr. Moh.Hoesin Palembang Periode 29 Juli 2019 – 2 September 2019.

Palembang, Agustus 2019

Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, SpKK(K), FINSDV, FAADV


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Alopesia Androgenetik” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Suroso Adi
Nugroho, SpKK(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter
muda dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan.Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami
harapkan.Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.
Palembang, Juli 2019

Penulis

2
Alopesia Androgenetik
Salsya Medin Putri, S.Ked
Pembimbing: Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi FK Unsri
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Alopesia androgenetik merupakan kelainan rambut yang sering ditemukan
baik pada laki-laki maupun wanita. Alopesia androgenetik pada laki-laki sering
disebut juga male pattern hair loss, merupakan kelainan yang androgen-
dependent dan ditentukan secara genetik. Sedangkan pada wanita sering disebut
female pattern hair loss, namun peran androgen kurang jelas dibandingkan pada
laki-laki.1,2 Kelainan tersebut ditandai oleh penurunan secara progresif lamanya
fase anagen, yaitu fase pertumbuhan rambut. Di lain pihak terjadi peningkatan
fase telogen, dan miniaturisasi folikel rambut di daerah skalp, yang berakhir
dengan regresi folikel rambut.1-3

EPIDEMIOLOGI
Walaupun alopesia androgenetik merupakan penyebab tersering hair loss
pada wanita dan laki-laki, namun laki-laki lebih sering terkena. Diperkirakan
mengenai 35 juta laki-laki di Amerika Serikat.3 Kelainan dapat dimulai saat
remaja dan makin meningkat seiring dengan pertambahan usia. Hampir semua
laki-laki Kaukasia mengalami resesi pada garis rambut di daerah frontotemporal
pada saat pubertas. Frekuensi dan keparahan makin meningkat seiring
pertambahan usia. Lebih dari 50% laki-laki di atas usia 50 tahun mengalami
kebotakan tipe ini dengan berbagai gradasi. Pada laki-laki Asia insidensnya lebih
rendah dibandingkan Kaukasia.1 Seperti halnya pada laki-laki, awitan pada wanita
dimulai pada periode pra pubertas, namun ditemukan juga awitan pada usia
menopause. Frekuensi dan keparahan penyakit meningkat seiring pertambahan
usia.1

3
ETIOLOGI
Alopesia androgenetik pada laki-laki dihubungkan dengan berbagai
kondisi medis, yaitu penyakit jantung koroner, hipertrofi dan kanker prostat,
kelainan resistensi insulin (diabetes dan obesitas), serta hipertensi. Alopesia
androgenetik pada wanita dihubungkan dengan peningkatan risiko sindrom
ovarium polikistik dan penyakit arteri koroner.1,3 Penelitian di Finlandia dan
penelitian dengan otopsi menemukan hubungan antara alopesia androgenetik
dengan gangguan insulin (hipertensi dan diabetes melitus), pembesaran prostat,
penyakit arteri koroner dan sudden cardiac death.1

Alopesia androgenetik pada laki-laki berkaitan dengan androgen.


Beberapa hal yang menyokong hal tersebut adalah pada laki-laki yang dikastrasi
sebelum pubertas tidak pernah muncul kelainan alopesia androgenetik. Kebotakan
tidak terjadi pada individu XY yang gagal mengekspresikan gen reseptor
androgen. Proses kebotakan dipengaruhi oleh dihidrotestosteron yang memiliki
afinitas terhadap reseptor androgen.1,2
Walaupun testosteron penting untuk terjadinya alopesia androgenetik,
namun diperlukan predisposisi genetik. Penelitian pada manusia dewasa kembar
ditemukan prevalensi 80-90% pada kembar monozigot. Frekuensi lebih tinggi
pada laki-laki yang ayahnya juga menderita alopesia androgenetik. Osborn
menyebutkan bahwa alopesia androgenetik diturun-kan secara autosomal
dominan, sedangkan dari hasil evaluasi terbaru ditemukan bahwa penurunannya
secara poligenik. Dari studi eksperimental diketahui adanya pelepasan faktor
penghambat pertumbuhan rambut (transforming growth factor-β) oleh androgen –
stimulated fibroblast dari folikular papila dermis.1

Peran androgen sebagai faktor etiologi pada wanita kurang jelas


dibandingkan laki-laki. Sampai saat ini belum berhasil diidentifikasi adanya lokus
genetik yang ber-hubungan dengan female pattern hair loss. Beberapa penelitian
menemukan peningkatan kadar androgen bersirkulasi dan peningkatan frekuensi
sindrom ovarium polikistik pada wanita dengan female pattern hair loss yang
berkembang lambat. Pada banyak wanita tidak ditemukan keadaan hiperandrogen

4
baik secara laboratoris maupun gambaran klinis serta tidak menunjukkan respons
terhadap terapi anti androgen.

PATOGENESIS
Awaya (1997) melaporkan adanya perbedaan kadar enzim 5α reduktase
tipe I dan II, sitokrom P-450-aromatase dan reseptor androgen pada folikel rambut
wanita dengan alopesia androgenetik dibandingkan laki-laki dengan alopesia
androgenetik. Sampel diambil dari 24 orang pasien alopesia androgenetik berusia
18-33 tahun dengan melakukan biopsi kulit kepala daerah frontal dan oksipital.
Baik pada wanita maupun laki-laki didapatkan kadar reseptor dan enzim 5 α
reduktase tipe I dan II lebih tinggi pada folikel rambut daerah frontal
dibandingkan oksipital. Reseptor androgen folikel rambut daerah frontal pada
wanita 40% lebih rendah dibandingkan laki-laki pada daerah yang sama. Sitokrom
P450 aromatase pada folikel rambut wanita di daerah frontal 6x lebih tinggi
dibandingkan laki-laki pada lokasi yang sama. Pada folikel rambut wanita
didapatkan kadar enzim 5 α reduktase tipe I dan II masing-masing 3-3,5 kali lebih
sedikit dibandingkan pada laki-laki. Perbedaan kadar reseptor androgen dan
steroid-converting enzymes mem-berikan kontribusi pada perbedaan gambaran
klinis alopesia androgenetika pada wanita dan laki-laki.6
Papilla dermis yang berasal dari mesenkim memegang peranan penting
pada folikel rambut dan menentukan tipe rambut yang diproduksi. Hormon
androgen di sirkulasi masuk ke papilla dermis melalui pembuluh darah kapiler,
dimetabolisme menjadi DHT oleh enzim 5 alfa-reduktase tipe II dan akan
berikatan kuat pada reseptor androgen yang banyak terdapat pada folikel rambut
terutama area frontal dan vertex. Setelah androgen berikatan dengan reseptornya,
ekspresi gen berubah sehingga produksi faktor pertumbuhan atau protein matriks
ekstraseluler terganggu. Target indirek meliputi sel keratinosit, melanosit, dan
pembuluh darah. Kerusakan-kerusakan ini mengakibatkan fase anagen menjadi
lebih singkat dan fase telogen lebih panjang, sehingga terjadi miniaturisasi folikel
rambut terminal yang seharusnya panjang, tebal, berpigmen menjadi kecil, tipis,
dan kurang berpigmen. Selama proses miniaturisasi, glandula sebasea yang

5
terpengaruh androgen membesar sehingga kulit kepala menjadi berminyak serta
pasokan darah ke folikel menurun.

Keterangan: Aksi androgen pada folikel rambut. Androgen di vaskular


masuk ke folikel rambut dan dimetabolisme menjadi dihydrotestosterone
(DHT) yang akan berikatan dengan reseptor androgen di sel papilla
dermis, sehingga terjadi perubahan produksi faktor-faktor regulasi yang
mempengaruhi aktivitas sel papilla dermis, keratinosit, dan melanosit.12

Faktor lingkungan juga berpengaruh seperti toksin mikroba


Propionibacterium sp., Staphylococcus sp., Malassezia sp. atau iritasi bahan
kimia produk rambut dan sinar ultraviolet yang melepas radikal bebas dan
inflamasi pada folikel rambut. Faktor-faktor tersebut mengubah folikel rambut
terminal yang seharusnya panjang, tebal, berpigmen menjadi kecil, tipis, dan
kurang berpigmen.12

GEJALA KLINIS
Diagnosis alopesia androgenetik pada laki-laki biasa-nya ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis, khususnya pasien dengan riwayat kerontokan
rambut yang bertahap pada keluarga.3,5 Pada wanita, biasanya diagnosis membu-
tuhkan evaluasi diagnostik yang lebih kompleks.7 Pada pemeriksaan mikroskop
terdapat peningkatan jumlah rambut telogen terutama pada daerah frontal dan
mahkota (crown/ vertex) kepala. Gambaran rambut distrofik dapat ditemukan
walaupun jarang. Pemeriksaan penunjang berupa trikogram dapat memberikan
data jumlah folikel dan persentase rambut anagen dan telogen.5

6
Pada laki-laki pola kebotakan dimulai pada daerah dahi. Garis rambut
(hair line) semakin melebar membentuk gambaran karakteristik “M” shape.
Rambut juga menipis pada daerah mahkota, dan sering mengalami progresivitas
menjadi kebotakan parsial atau komplit. Pola kerontokan rambut pada wanita
berbeda. Rambut kepala menjadi lebih tipis, tetapi garis rambut tidak pernah
melebar. Alopesia androgenetik pada wanita jarang menjadi kebotakan total.3

Terdapat 2 gambaran utama kerontokan rambut pada laki-laki yaitu


kemunduran garis rambut frontal dan kebotakan pada area mahkota. Garis
kebotakan akan ber-temu dan membentuk batas rambut normal pada bagian tepi
dan belakang skalp. Meskipun demikian kebotakan pada laki-laki lebih
merupakan suatu proses yang kontinyu, dan bukan stadium yang berbeda,
sehingga antar individu dapat terlihat pola yang beragam. Rambut pada daerah
yang mengalami kebotakan secara progresif mengalami pemen-dekan dan
diameternya mengecil hingga menghilang sama sekali, atau menunjukkan
kepadatan rambut yang berkurang secara difus, dan meninggalkan sisa rambut
dengan diameter normal. Pada sebagian kecil ras Kaukasia (kurang dari 5%)
kebotakan terjadi secara difus pada daerah puncak kepala dan frontal dengan garis
frontal masih normal, gambaran ini mirip dengan kebotakan pada wanita.
Kebotakan semacam ini lebih banyak dijumpai pada laki-laki Asia.1

Progresivitas male pattern baldness secara umum diklasifikasikan oleh


Hamilton-Norwood scale, yang ber-kisar dari gradasi I to VII. Pertama kali

7
diperkenalkan oleh Dr. James Hamilton pada tahun 1950 dan direvisi dan
diperbaharui oleh Dr. O'Tar Norwood pada tahun 1970.3

Skala Hamilton Noorwood

Keterangan: Pola kebotakan rambut pada laki-laki diawali dengan resesi


bitemporal pada garis rambut frontal, diikuti kebotakan difus di daerah mahkota.
Lama kelamaan penipisan di frontal dan mahkota menyatu menimbulkan
kebotakan yang hampir komplit di bagian atas skalp. Rambut yang tersisa
terdistribusi dalam pola seperti mahkota di atas telinga dan leher.

Pola kerontokan rambut pada wanita biasanya meru-pakan proses yang


lebih difus dibandingkan dengan kerontokan rambut pada laki-laki. Yang khas
adalah berkurangnya kepadatan rambut pada daerah puncak kepala dan frontal,
namun garis rambut di daerah frontal tidak berubah. Perbedaan lainnya jika
dibandingkan dengan laki-laki adalah daerah parietal juga dapat terkena.1,8 Pola
kerontokan rambut pada wanita dapat muncul sebagai rontoknya rambut dalam
jumlah sangat banyak dan berkurangnya volume rambut, sebelum kepadatan
rambut berkurang secara nyata. Sulit membedakannya dengan efluvium telogen
kronik. Pada keadaan semacam itu, diagnosis dapat ditegakkan melalui temuan
pada biopsi, berupa tingginya proporsi folikel rambut yang mengecil. Sebagian

8
kecil wanita menunjukkan pola kerontokan yang serupa dengan pola pada laki-
laki.1

Klasifikasi Ludwig8
Keterangan: Pola kebotakan rambut pada wanita berbeda bila dibandingkan
dengan laki-laki. Garis rambut di daerah frontal tidak pernah mengalami
resesi, namun terjadi penipisan di daerah sentral pada puncak kepala.

Umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan


diagnosis, baik pada laki-laki dan wanita dengan pola kerontokan rambut yang
khas. Namun, jika kerontokan terjadi secara difus dan tidak terjadi pada lokasi
yang khas, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan antara lain pemeriksaan
thyroid stimulating hormone (TSH) dan kadar besi serum pada pasien dengan
riwayat kekurangan zat besi dalam diet atau riwayat perdarahan. Sementara untuk
wanita dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kadar feritin serum, TSH dan
kadar androgen serum. Pemeriksaan androgen serum harus dipertimbangkan,
khususnya pada wanita dengan koinsidensi hirsutisme, akne dewasa derajat
sedang-berat, akantosis nigrikans, haid yang tidak teratur, dan atau galaktorea.
Pemeriksaan minimal yang dilakukan mencakup testosteron bebas/total dengan
atau tanpa dehidroepiandrosteron sulfat.1

TATALAKSANA
Terapi pada laki-laki dengan alopesia androgenetik adalah minoksidil
topikal dan finasterid. Sedangkan pada wanita dengan alopesia androgenetik

9
ringan sampai sedang dapat diterapi dengan antiandrogen dan atau minoksidil
topikal.5

Untuk laki - laki


Terdapat 2 macam obat yang dianjurkan dan sudah disetujui oleh FDA
yaitu minoksidil dan finasterid. Kedua obat ini dapat digunakan secara
kombinasi.1, 5
Minoksidil. Minoksidil 2% atau 5% merupakan obat topikal yang sering
digunakan. Minoksidil mempunyai efek spesifik terhadap proliferasi dan
diferensiasi keratinosit folikular yang mengakibatkan perpanjangan fase anagen
rambut. Aplikasi dilakukan 2x sehari selama periode waktu yang lama, tetapi efek
terapeutik bersifat temporer.5 Pengobatan harus dilanjutkan untuk pemeliharaan
dan bila dihentikan rambut yang telah tumbuh dapat rontok kembali dalam 4-6
bulan.1,5 Efek samping yang dapat timbul berupa dermatitis kontak iritan atau
alergi. Minoksidil dapat dikombinasikan dengan tretinoin konsentrasi 0,025% -
0,05%. Preparat diberikan secara terpisah, contoh minoksidil diberikan pagi hari,
sedangkan tretinoin pada malam hari. Kombinasi ke-2 obat ini menghasilkan efek
stimulasi rambut yang lebih besar, walaupun risiko terjadinya reaksi iritasi
menjadi lebih tinggi.5
Uji klinis dengan menilai hitung jumlah rambut, berat rambut, dan
fotografi, menunjukkan 60% laki-laki menga-lami perbaikan pada kebotakan di
daerah verteks dengan menggunakan minoksidil 5%. Rerata peningkatan
kepadatan rambut berkisar 10-12%. Respons pengobatan dengan minoksidil 2%
lebih rendah.1
Finasterid. Finasterid merupakan inhibitor 5α-reduktase tipe 2. Sediaan oral
dengan dosis 1 mg per hari mampu mencegah kebotakan terus berlangsung pada
laki-laki. Setelah terapi selama 2 tahun, dua pertiga pasien mengalami perbaikan.
Pada percobaan yang lebih lama yakni 5 tahun menunjukkan tingkat kerontokan
rambut yang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki yang tidak diobati.
Beberapa keluhan seksual, misalnya impotensi dapat muncul, namun umumnya
masih dapat ditoleransi. Manfaat terapi akan menghilang dalam 12 bulan setelah

10
terapi dihentikan. Belum diketahui secara pasti bagaimana finasterid bekerja pada
pasien yang memberi respons baik pada pengobatan. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa finasterid bekerja dengan cara mengaktifkan kembali folikel
rambut hipotrofik dengan mempercepat dan memperpanjang fase anagen, namun
tidak mengubah rambut velus menjadi rambut ter-minal. Meskipun tidak ada data
klinis yang mendukung penggunaan kombinasi minoksidil topikal dan finasterid,
namun kombinasi tersebut seringkali digunakan dalam prak-tik klinis. Kombinasi
inhibitor 5α-reduktase 1 dan 2 mungkin bermanfaat dalam terapi pola kerontokan
rambut laki-laki.1
Bedah
Berbagai teknik bedah telah dikembangkan untuk mengatasi pola
kerontokan rambut pada laki-laki, di antaranya yang paling banyak digunakan
adalah transplantasi rambut. Rambut terminal yang ada dipindahkan pada area
yang mengalami kebotakan. Dengan keahlian operator, dan pemilihan pasien yang
sesuai, dapat diperoleh hasil yang baik secara kosmetik. Tindakan bedah
merupakan satu-satunya cara yang dapat meningkatkan pertumbuhan rambut pada
pasien yang mengalami kebotakan total, dan dengan cepat mengembalikan
pertumbuhan rambut. Bedah juga efektif untuk mengatasi kerontokan rambut pada
daerah frontal.1

Untuk wanita
Sama halnya dengan terapi pada laki-laki, terapi pada wanita akan menunjukkan
hasil setelah 6 bulan, dan perlu diteruskan agar efek terapi berlanjut. Kombinasi
modalitas terapi dapat memberikan efek yang menguntungkan.1
Minoksidil. Uji klinis penggunaan minoksidil dalam pengobatan kerontokan
rambut wanita memberikan hasil pening-katan rerata kepadatan rambut sebanyak
10-18%. Satu pene-litian yang besar menunjukkan tidak ada perbedaan yang
bermakna antara minoksidil 2% dan 5%, meskipun kecenderungan menunjukkan
superioritas konsentrasi yang tinggi. Saat ini hanya konsentrasi 2% yang
dianjurkan oleh FDA. Sama halnya dengan laki-laki, terapi akan memberikan

11
hasil terbaik bila dilakukan pada tahap awal kerontokan rambut, dan perlu
dilanjutkan agar respons terapi terus berlangsung.1

Anti Androgen. Antiandrogen bekerja dengan menghambat dehidrotestosteron


untuk berikatan dengan reseptor di jaringan target, mengurangi aktivitas enzim 5-
alfa reduktase dan menurunkan produksi androgen di ovarium. Anti androgen
paling poten adalah siproteron asetat. Pada preparat biasanya dikombinasi antara 2
mg siproteron asetat dan 35 μg etinilestradiol untuk wanita usia subur.5
Anti androgen telah digunakan secara luas untuk mengatasi kerontokan
rambut pada wanita, namun hanya sedikit bukti uji klinis yang menunjukkan
efektivitasnya dan belum ada satu lisensi yang mengindikasikan penggunaannya.
Satu uji kontrol menunjukkan pengobatan menggunakan siproteron asetat
memberikan respons minimal dan terbatas hanya pada wanita dengan kelebihan
androgen. Sementara studi tanpa kontrol menunjukkan manfaat siproteron asetat
dan spironolakton pada pasien. Umumnya dosis 100-200 mg/hari dibutuhkan
untuk timbulnya respons.1
Spironolakton mengurangi aktivitas 5-alfa reduktase dan menghambat
biosintesis androgen. Efek samping berupa gangguan siklus menstruasi dan efek
antialdosteron yang bermanifestasi berupa penurunan kadar kalium serum dan
hipotensi. Sprironolakton harus dikombinasi dengan kontra-sepsi hormonal guna
mengurangi efek samping khususnya iregularitas menstruasi dan mencegah
kehamilan pada wanita usia subur karena dapat menyebabkan feminisasi pada
janin laki-laki.1
Bedah. Tindakan bedah lebih sedikit dilakukan pada kerontokan rambut berpola
pada wanita, karena sifat kerontokan yang difus dan kualitas rambut yang buruk
pada area donor. namun hasil yang baik dapat diperoleh pada pasien tertentu,
misalnya pada kerontokan rambut yang jelas pada daerah frontal dan adanya area
donor dengan pertumbuhan rambut yang baik pada daerah oksipital.1
Kamuflase dan wig. Kamuflase adalah cara yang paling simpel, mudah dan
murah untuk tatalaksana alopesia androgenetik. Terapi kamuflase dilakukan
dengan cara mewarnai skalp. Dipilih warna yang serupa dengan warna rambut,

12
sehingga memberikan ilusi rambut menjadi lebih tebal. Beberapa pasien alopesia
androgenetik difus memilih menggunakan wig daripada dilakukan terapi bedah.
Wig dapat dicuci dan ditata serta dapat menutupi kebotakan sehingga terlihat
alami.4

KESIMPULAN
Alopesia androgenetik adalah kelainan kebotakan rambut yang sering
dijumpai. Dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Kelainan ini dapat
menyebabkan problem psikologik yang serius. Sampai saat ini pendekatan terapi
pada laki-laki adalah minoksidil topikal dan finasterid oral. Sedang-kan alopesia
androgenetik gradasi ringan sampai sedang pada wanita dapat diterapi dengan
antiandrogen dan atau minoksidil topikal dengan hasil yang baik pada beberapa
kasus.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Paus R, Olsen EA, Messenger AG. Hair growth disorders. In: Wolf K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 9th ed. New York: McGraw
Hill; 2019.p.753-77
2. Uno H. Histopathology of hairloss. [disitasi 7 Agustus 2019]. Tersedia di
http://www.regrowth.com/hairloss-
articles/histopathology_of_hair_loss_2.cfm.
3. Kaufman KD. Androgens and alopecia. Mol Cell Endocrinol 2002; 198: 89-
95.
4. Rodney DS, Rodney PRD. Androgenetic alopecia in men and women. Clin
Dermatol 2001; 19: 167-78.
5. Bienová M, Kuerová R, Fiuráková M, Hajdúch M, Koláŕ Z. Androgenetic
alopecia and current methods of treatment. Acta Dermatovenereol 2005; 14
(1): 5-8.
6. Awaya ME, Pice VH. Different levels of 5α-reductase type I and II,
aromatase, and androgen receptor in hair follicles of women and men with
androgenetic alopecia. J Invest Dermatol 1997; 109: 296–300.
7. Androgenic alopecia. [disitasi 7 Agustus 2019]. Tersedia di:
http://en.wikipedia.org/wiki/Androgenic_alopecia wikipedia.
8. Male pattern baldness. [disitasi 7 Agustus 2019]. Tersedia di:
http://www.nshts.com/norwood.html.
9. Female hair loss and pattern baldness in women. [disitasi 7 Agustus 2019].
Tersedia di: http://www.ishrs.org/hairloss-hair-loss-female.htm.
10. RossiA, Cantisani C, Scarno M, Trucchia A, Fortuna MC, Calvieri S.
Finasteride, 1 mg daily administration on male androgenetic alopecia in
different age groups: 10-year follow up. J Dermatol Therapy 2011; 24: 455-
61.
11. Otberg N, Shapiro J. Hair growth disorders. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrik’s

14
dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: The McGraw-Hil
Companies, 2012. h. 979-1008.
12. Randall VA. Molecular basis of androgenetic alopecia. Springer-Verlag,
Berlin Heidelberg; 2010. p. 9-19

15

Anda mungkin juga menyukai