ALOPESIA ANDROGENETIK
Disusun Oleh:
Salsya Medin Putri, S.Ked
04084821921068
Pembimbing:
Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Referat
Alopesia Androgenetik
Oleh :
Salsya Medin Putri, S.Ked 04084821921068
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP
Dr. Moh.Hoesin Palembang Periode 29 Juli 2019 – 2 September 2019.
Puji syukur kepada Tuhan atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Alopesia Androgenetik” sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Suroso Adi
Nugroho, SpKK(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter
muda dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan.Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami
harapkan.Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.
Palembang, Juli 2019
Penulis
2
Alopesia Androgenetik
Salsya Medin Putri, S.Ked
Pembimbing: Prof. dr. Suroso Adi Nugroho, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi FK Unsri
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Alopesia androgenetik merupakan kelainan rambut yang sering ditemukan
baik pada laki-laki maupun wanita. Alopesia androgenetik pada laki-laki sering
disebut juga male pattern hair loss, merupakan kelainan yang androgen-
dependent dan ditentukan secara genetik. Sedangkan pada wanita sering disebut
female pattern hair loss, namun peran androgen kurang jelas dibandingkan pada
laki-laki.1,2 Kelainan tersebut ditandai oleh penurunan secara progresif lamanya
fase anagen, yaitu fase pertumbuhan rambut. Di lain pihak terjadi peningkatan
fase telogen, dan miniaturisasi folikel rambut di daerah skalp, yang berakhir
dengan regresi folikel rambut.1-3
EPIDEMIOLOGI
Walaupun alopesia androgenetik merupakan penyebab tersering hair loss
pada wanita dan laki-laki, namun laki-laki lebih sering terkena. Diperkirakan
mengenai 35 juta laki-laki di Amerika Serikat.3 Kelainan dapat dimulai saat
remaja dan makin meningkat seiring dengan pertambahan usia. Hampir semua
laki-laki Kaukasia mengalami resesi pada garis rambut di daerah frontotemporal
pada saat pubertas. Frekuensi dan keparahan makin meningkat seiring
pertambahan usia. Lebih dari 50% laki-laki di atas usia 50 tahun mengalami
kebotakan tipe ini dengan berbagai gradasi. Pada laki-laki Asia insidensnya lebih
rendah dibandingkan Kaukasia.1 Seperti halnya pada laki-laki, awitan pada wanita
dimulai pada periode pra pubertas, namun ditemukan juga awitan pada usia
menopause. Frekuensi dan keparahan penyakit meningkat seiring pertambahan
usia.1
3
ETIOLOGI
Alopesia androgenetik pada laki-laki dihubungkan dengan berbagai
kondisi medis, yaitu penyakit jantung koroner, hipertrofi dan kanker prostat,
kelainan resistensi insulin (diabetes dan obesitas), serta hipertensi. Alopesia
androgenetik pada wanita dihubungkan dengan peningkatan risiko sindrom
ovarium polikistik dan penyakit arteri koroner.1,3 Penelitian di Finlandia dan
penelitian dengan otopsi menemukan hubungan antara alopesia androgenetik
dengan gangguan insulin (hipertensi dan diabetes melitus), pembesaran prostat,
penyakit arteri koroner dan sudden cardiac death.1
4
baik secara laboratoris maupun gambaran klinis serta tidak menunjukkan respons
terhadap terapi anti androgen.
PATOGENESIS
Awaya (1997) melaporkan adanya perbedaan kadar enzim 5α reduktase
tipe I dan II, sitokrom P-450-aromatase dan reseptor androgen pada folikel rambut
wanita dengan alopesia androgenetik dibandingkan laki-laki dengan alopesia
androgenetik. Sampel diambil dari 24 orang pasien alopesia androgenetik berusia
18-33 tahun dengan melakukan biopsi kulit kepala daerah frontal dan oksipital.
Baik pada wanita maupun laki-laki didapatkan kadar reseptor dan enzim 5 α
reduktase tipe I dan II lebih tinggi pada folikel rambut daerah frontal
dibandingkan oksipital. Reseptor androgen folikel rambut daerah frontal pada
wanita 40% lebih rendah dibandingkan laki-laki pada daerah yang sama. Sitokrom
P450 aromatase pada folikel rambut wanita di daerah frontal 6x lebih tinggi
dibandingkan laki-laki pada lokasi yang sama. Pada folikel rambut wanita
didapatkan kadar enzim 5 α reduktase tipe I dan II masing-masing 3-3,5 kali lebih
sedikit dibandingkan pada laki-laki. Perbedaan kadar reseptor androgen dan
steroid-converting enzymes mem-berikan kontribusi pada perbedaan gambaran
klinis alopesia androgenetika pada wanita dan laki-laki.6
Papilla dermis yang berasal dari mesenkim memegang peranan penting
pada folikel rambut dan menentukan tipe rambut yang diproduksi. Hormon
androgen di sirkulasi masuk ke papilla dermis melalui pembuluh darah kapiler,
dimetabolisme menjadi DHT oleh enzim 5 alfa-reduktase tipe II dan akan
berikatan kuat pada reseptor androgen yang banyak terdapat pada folikel rambut
terutama area frontal dan vertex. Setelah androgen berikatan dengan reseptornya,
ekspresi gen berubah sehingga produksi faktor pertumbuhan atau protein matriks
ekstraseluler terganggu. Target indirek meliputi sel keratinosit, melanosit, dan
pembuluh darah. Kerusakan-kerusakan ini mengakibatkan fase anagen menjadi
lebih singkat dan fase telogen lebih panjang, sehingga terjadi miniaturisasi folikel
rambut terminal yang seharusnya panjang, tebal, berpigmen menjadi kecil, tipis,
dan kurang berpigmen. Selama proses miniaturisasi, glandula sebasea yang
5
terpengaruh androgen membesar sehingga kulit kepala menjadi berminyak serta
pasokan darah ke folikel menurun.
GEJALA KLINIS
Diagnosis alopesia androgenetik pada laki-laki biasa-nya ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis, khususnya pasien dengan riwayat kerontokan
rambut yang bertahap pada keluarga.3,5 Pada wanita, biasanya diagnosis membu-
tuhkan evaluasi diagnostik yang lebih kompleks.7 Pada pemeriksaan mikroskop
terdapat peningkatan jumlah rambut telogen terutama pada daerah frontal dan
mahkota (crown/ vertex) kepala. Gambaran rambut distrofik dapat ditemukan
walaupun jarang. Pemeriksaan penunjang berupa trikogram dapat memberikan
data jumlah folikel dan persentase rambut anagen dan telogen.5
6
Pada laki-laki pola kebotakan dimulai pada daerah dahi. Garis rambut
(hair line) semakin melebar membentuk gambaran karakteristik “M” shape.
Rambut juga menipis pada daerah mahkota, dan sering mengalami progresivitas
menjadi kebotakan parsial atau komplit. Pola kerontokan rambut pada wanita
berbeda. Rambut kepala menjadi lebih tipis, tetapi garis rambut tidak pernah
melebar. Alopesia androgenetik pada wanita jarang menjadi kebotakan total.3
7
diperkenalkan oleh Dr. James Hamilton pada tahun 1950 dan direvisi dan
diperbaharui oleh Dr. O'Tar Norwood pada tahun 1970.3
8
kecil wanita menunjukkan pola kerontokan yang serupa dengan pola pada laki-
laki.1
Klasifikasi Ludwig8
Keterangan: Pola kebotakan rambut pada wanita berbeda bila dibandingkan
dengan laki-laki. Garis rambut di daerah frontal tidak pernah mengalami
resesi, namun terjadi penipisan di daerah sentral pada puncak kepala.
TATALAKSANA
Terapi pada laki-laki dengan alopesia androgenetik adalah minoksidil
topikal dan finasterid. Sedangkan pada wanita dengan alopesia androgenetik
9
ringan sampai sedang dapat diterapi dengan antiandrogen dan atau minoksidil
topikal.5
10
terapi dihentikan. Belum diketahui secara pasti bagaimana finasterid bekerja pada
pasien yang memberi respons baik pada pengobatan. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa finasterid bekerja dengan cara mengaktifkan kembali folikel
rambut hipotrofik dengan mempercepat dan memperpanjang fase anagen, namun
tidak mengubah rambut velus menjadi rambut ter-minal. Meskipun tidak ada data
klinis yang mendukung penggunaan kombinasi minoksidil topikal dan finasterid,
namun kombinasi tersebut seringkali digunakan dalam prak-tik klinis. Kombinasi
inhibitor 5α-reduktase 1 dan 2 mungkin bermanfaat dalam terapi pola kerontokan
rambut laki-laki.1
Bedah
Berbagai teknik bedah telah dikembangkan untuk mengatasi pola
kerontokan rambut pada laki-laki, di antaranya yang paling banyak digunakan
adalah transplantasi rambut. Rambut terminal yang ada dipindahkan pada area
yang mengalami kebotakan. Dengan keahlian operator, dan pemilihan pasien yang
sesuai, dapat diperoleh hasil yang baik secara kosmetik. Tindakan bedah
merupakan satu-satunya cara yang dapat meningkatkan pertumbuhan rambut pada
pasien yang mengalami kebotakan total, dan dengan cepat mengembalikan
pertumbuhan rambut. Bedah juga efektif untuk mengatasi kerontokan rambut pada
daerah frontal.1
Untuk wanita
Sama halnya dengan terapi pada laki-laki, terapi pada wanita akan menunjukkan
hasil setelah 6 bulan, dan perlu diteruskan agar efek terapi berlanjut. Kombinasi
modalitas terapi dapat memberikan efek yang menguntungkan.1
Minoksidil. Uji klinis penggunaan minoksidil dalam pengobatan kerontokan
rambut wanita memberikan hasil pening-katan rerata kepadatan rambut sebanyak
10-18%. Satu pene-litian yang besar menunjukkan tidak ada perbedaan yang
bermakna antara minoksidil 2% dan 5%, meskipun kecenderungan menunjukkan
superioritas konsentrasi yang tinggi. Saat ini hanya konsentrasi 2% yang
dianjurkan oleh FDA. Sama halnya dengan laki-laki, terapi akan memberikan
11
hasil terbaik bila dilakukan pada tahap awal kerontokan rambut, dan perlu
dilanjutkan agar respons terapi terus berlangsung.1
12
sehingga memberikan ilusi rambut menjadi lebih tebal. Beberapa pasien alopesia
androgenetik difus memilih menggunakan wig daripada dilakukan terapi bedah.
Wig dapat dicuci dan ditata serta dapat menutupi kebotakan sehingga terlihat
alami.4
KESIMPULAN
Alopesia androgenetik adalah kelainan kebotakan rambut yang sering
dijumpai. Dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Kelainan ini dapat
menyebabkan problem psikologik yang serius. Sampai saat ini pendekatan terapi
pada laki-laki adalah minoksidil topikal dan finasterid oral. Sedang-kan alopesia
androgenetik gradasi ringan sampai sedang pada wanita dapat diterapi dengan
antiandrogen dan atau minoksidil topikal dengan hasil yang baik pada beberapa
kasus.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Paus R, Olsen EA, Messenger AG. Hair growth disorders. In: Wolf K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 9th ed. New York: McGraw
Hill; 2019.p.753-77
2. Uno H. Histopathology of hairloss. [disitasi 7 Agustus 2019]. Tersedia di
http://www.regrowth.com/hairloss-
articles/histopathology_of_hair_loss_2.cfm.
3. Kaufman KD. Androgens and alopecia. Mol Cell Endocrinol 2002; 198: 89-
95.
4. Rodney DS, Rodney PRD. Androgenetic alopecia in men and women. Clin
Dermatol 2001; 19: 167-78.
5. Bienová M, Kuerová R, Fiuráková M, Hajdúch M, Koláŕ Z. Androgenetic
alopecia and current methods of treatment. Acta Dermatovenereol 2005; 14
(1): 5-8.
6. Awaya ME, Pice VH. Different levels of 5α-reductase type I and II,
aromatase, and androgen receptor in hair follicles of women and men with
androgenetic alopecia. J Invest Dermatol 1997; 109: 296–300.
7. Androgenic alopecia. [disitasi 7 Agustus 2019]. Tersedia di:
http://en.wikipedia.org/wiki/Androgenic_alopecia wikipedia.
8. Male pattern baldness. [disitasi 7 Agustus 2019]. Tersedia di:
http://www.nshts.com/norwood.html.
9. Female hair loss and pattern baldness in women. [disitasi 7 Agustus 2019].
Tersedia di: http://www.ishrs.org/hairloss-hair-loss-female.htm.
10. RossiA, Cantisani C, Scarno M, Trucchia A, Fortuna MC, Calvieri S.
Finasteride, 1 mg daily administration on male androgenetic alopecia in
different age groups: 10-year follow up. J Dermatol Therapy 2011; 24: 455-
61.
11. Otberg N, Shapiro J. Hair growth disorders. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrik’s
14
dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: The McGraw-Hil
Companies, 2012. h. 979-1008.
12. Randall VA. Molecular basis of androgenetic alopecia. Springer-Verlag,
Berlin Heidelberg; 2010. p. 9-19
15