Anda di halaman 1dari 33

Laporan penelitian

KARAKTERISTIK PENDERITA ADENOTONSILITIS KRONIS


YANG TELAH MENJALANI TONSILOADENOIDEKTOMI DI
RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE JANUARI 2014-
DESEMBER 2015
Oleh:
Ni Ketut Kesuma Dewi, Komang Andi Dwi Saputra, I Dewa Gede
Arta Eka Putra, Wayan Suardana
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP sanglah
Denpasar

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan: Tonsil dan adenoid merupakan jaringan


limfoid yang terdapat pada daerah faring atau tenggorok. Keduanya
sudah ada sejak anak dilahirkan dan mulai berfungsi sebagi bagian dari
sistem imunitas tubuh setelah imunitas dari ibu mulai menghilang dari
tubuh anak. Tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama pada
anak, karena jaringan limfoid lain yang ada diseluruh tubuh belum
bekerja secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data
awal tentang karakteristik penderita adenotonsilitis kronis yang telah
menjalani tonsiliadenoidektomi di RSUP Sanglah Denpasar dan sebagai
acuan untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.

Subjek dan metodologi: Penelitian ini dilaksanakan dengan desain


penelitian deskriptif retrospektif, dimana sampelnya adalah semua
penderita adenotonsilitis kronis yang telah menjalani
tonsiloadenoidektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014-
Desember 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data
dari catatan rekam medis pasien kemudian dianalisa kemudian data
disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Hasil dan kesimpulan:Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karakteristik pasien adenotonsilitis kronis yang telah menjalani
tonsiloadenoidektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014-
Desember 2015 Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan
bahwa dari hasil penelitian didapatkan bahwa umur terbanyak pada
pasien adenotonsilitis kronis yang dilakukan tonsiloadenoidektomi yaitu
rentang umur 8-11 tahun sebanyak 7 orang (45,67%).

Berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki yaitu 9 orang


(60%). Keluhan utama yang paling sering ditemukan yaitu nyeri
tenggorok sebanyak 10 orang (66,66%). Berdasakan dari ukuran tonsil
yang terbanyak yaitu dengan ukuran tonsil T3 sebanyak 10 orang
(66,67%).Berdasarkan dari ukuran rasio adenoid nasofaring pada pasien
adenotonsillitis kronis yang menjalani tonsiloadenoidektomi yaitu
sedang/non obtruktif (0,52-0,72) sebanyak 10 orang (66,67%).
Berdasarkan indikasi tonsiloadenoidektomi didapatkan indikasi obstruksi
yaitu adanya OSA 1 orang (6,7%). Indikasi Infeksi didapatkan adanya
adenotonsilitis kronis yaitu 13 orang (86,66%). Untuk indikasi neoplasia
dalam penelitian ini tidak didapatkan adanya data bahwa pasien yang
telah menjalani tonsiloadenoidektomi telah dilakukan pemeriksaan PA.

Kata kunci : Adenotonsilitis kronis, Tonsiloadenoidektomi.


2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tonsil dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat
pada daerah

faring atau tenggorok. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan dan
mulai berfungsi sebagi bagian dari sistem imunitas tubuh setelah
imunitas dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak. Tonsil dan adenoid
merupakan organ imunitas utama pada anak, karena jaringan limfoid lain

yang ada diseluruh tubuh belum bekerja secara optimal.


1
Setelah melewati usia 1 tahun, anak sudah dapat berjalan dan
sudah mempunyai lingkungan bermain yang luas sehingga lebih banyak
kontak dengan orang sekitar. Resiko untuk tertular infeksi akan menjadi
besar, karena tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama yang
bekerja melawan infeksi pada usia ini, maka keduanya akan tumbuh dan
berkembang , baik fungsi dan ukurannya. Tonsil dan adenoid mengalami
pertumbuhan fungsi dan ukuran yang paling cepat pada usia 3 sampai 7
tahun, dan setelah itu fungsinya akan berkurang serta ukurannya
mengecil dan hampir hilang setelah usia 15 sampai 18 tahun. Pada saat
anak berusia 5 tahun sistem imun lain diseluruh tubuh juga sudah bekerja
dengan optimal sehingga dapat mengambil alih fungsi tonsil dan adenoid

yang mulai menurun.


1,2
Sampai saat ini penderita adenotosilitis kronis masih banyak
memberikan dampak berupa infeksi yang berulang sebesar 60%. Selain
itu pada adenotonsilitis kronis terjadi gejala obstruksi jalan napas atas
yang sering terjadi pada malam hari. Adenotonsilitis kronis yang disertai
obstruksi pada malam hari disebut sebagai obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS). Adenoid dan tonsil yang beradang kronis disertai
obstruksi dinamakan adenotonsilitis kronis obstruktif (ATKO). Proses
keradangan oleh infeksi dapat menimbulkan pembesaran tonsil,
sedangkan pembesaran tonsil dan adenoid dapat mengakibatkan obstruksi
jalan napas atas. Obstruksi jalan napas terutama yang terjadi waktu tidur

dapat menyebabkan hipoksia.


1,2

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk


melakukan penelitian mengenai karakteristik penderita adenotonsilitis
kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar
tahun 2014-2015

1.2. Rumusan Masalah


“Bagaimana karakteristik penderita adenotonsilitis kronis yang
telah
menjalani tonsiloadenoidektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode
2014-2015?”
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui karakteristik penderita adenotonsilitis kronis yang
telah
menjalani tonsiloadenoidektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode
2014-2015.
1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik penderita adenotonsilitis kronis yang


telah menjalani tonsiloadenoidektomi berdasarkan usia, jenis kelamin.

b. Mengetahui karakteristik penderita adenotonsilitis kronis yang


telah menjalani tonsiloadenoidektomi berdasarkan keluhan utama.

c. Mengetahui karakteristik penderita adenotonsilitis kronis yang


telah menjalani tonsiloadenoidektomi berdasarkan ukuran tonsil dan
adenoid.

d. Mengetahui karakteristik penderita adenotonsilitis kronis yang


telah menjalani tonsiloadenoidektomi berdasarkan indikasinya.
1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai karakteristik penderita


adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi di
RSUP Sanglah Denpasar periode 2014-2015.

2. Memberikan informasi tambahan sebagai bahan acuan untuk


penelitian selanjutnya mengenai penderita adenotonsilitis kronis

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Adenoid dan Tonsil Palatina


Adenoid atau tonsil faringealis adalah salah satu dari organ
limfoepitelial

dalam lingkaran cincin waldayer, terletak di dinding belakang nasofaring.


Terdiri dari jaringan limfoid yang lobulated yang tersusun teratur seperti
buah jeruk dan tiap segmennya dipisahkan oleh sekat-sekat yang
mengelilingi suatu kantong yang disebut bursa faringelis. Permukaan
adenoid dilapisi oleh epitel silindris berlapis semu bersilia dan
dibawahnya tidak terdapat jaringan submukosa. Terdapat cekungan yang

membentuk saluran pendek yang disebut lakuna.


1,3
Tonsila palatina adalah salah satu organ limfoepitelialdalam
lingkaran Waldayer yang teletak dalam fossa tonsilaris dan terdiri dari 2
buah tonsil kanan dan kiri. Bentuknya seperti buah almond. Permukaan
bebas dari tonsil dilapisi epitel skuamus belapis dan terdapat 8-21 kripta
yaitu cekungan pada permukaan seperti adenoid, hanya saja lebih dalam
dan berkelok. Jaringan tonsil terdiri dari folikel limfoid yang dipisahkan
oleh septa-septa yang merupakan kelanjutan dari kapsul tonsil yang

terdapat dibagian lateral dari tonsil.


1,3
Baik adenoid maupun tonsil sebagai organ limfoid tidak
mempunyai saluran aferen, lakuna dan kripta menggantikan fungsi sistem
aferen ini. Didalam cincin Waldayer, termasuk organ limfoepitelial yang
lain adalah adenoid atau tonsila faringealis, tonsila tubalis yang terletak
disekitar ostium tuba Eusthacius, tonsila palatina, tonsila lingualis dan
lateral band.

Adenoid dan tonsil terletak pada pintu masuk dan sistem respirasi
dan pencernaan sehingga akan mengadakan kontak pertama dengn
mikroorganisme dan bahan-bahan antigen yang terdapat dalam makanan
maupun udara. Sebagian besar mukosa traktus aerodigestivus diliputi
oleh epitel dan lapisan mukus yang memiliki pertahan mekanis yang
buruk. Mekanisme pertahanan yang buruk ini akhirnya akan tergantung
pada sistem imun dari organ limfoepitelial di orofaring.

Gambar 1. Anatomi Adenoid dan Tonsil

Seperti telah diketahui sistem limfoepitelial disini berbeda dengan


sistem yang tedapat dalam kelenjar limfe. Adenoid dan tonsil tidak
mempunyai saluran aferen sedangkan kelenjar limfe sebaliknya. Antigen
akan ditangkap limfosit akan menghasilkan Ig M. Translokasi genetika
akan mengubah Ig M menjadi molekul yang lebih kecil yaitu Ig M dan
IG A untuk di transportasikan. Selain menghasilkan antibodi, tonsil juga
menghasilkan sel B yang dapat bermigrasi disekitar faring dan jaringan

limfoid para glanduler untuk mrnghasilkan antibodi.


3
2.2. Epidemiologi
Prevalensi hipertrofi adenoid dapat diperkirakan jumlahnya dari
tindakan

adenoidektomi yang dilakukan. Di Indonesia belum ada data nasional


mengenai jumlah operasi adenoidektomi atau tonsiloadenoidektomi,
tetapi didapatkan data dari Rumah Sakit Umum dr Sardjito dan Rumah
Sakit Fatmawati Jakarta. Dari data Rumah Sakit Umum dr Sardjito
diperoleh bahwa jumlah kasus selama 5 tahun (1999-2003) menunjukkan
kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi. Puncak
kenaikan yaitu 275 kasus pada tahun 2000 dan terus menurun sampai 152
kasus pada tahun 2003. Demikian pula dari data Rumah Sakit Fatmawati
dalam 3 tahun (2002-2004) dilaporkan bahwa terjadi kecenderungan

penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi setiap tahunnya.


4
2.3. Patofisiologi
Infeksi pada tonsil terjadi jika antigen baik inhalan ataupun
ingestan

dengan mudah masuk masuk ke dalam tonsil dan terjadi perlawanan


tubuh kemudian terbentuk focus infeksi. Pada awalnya infeksi bersifat
akut yang umumnya disebabkan oleh virus yang tumbuh di membrane
mukosa kemudian

diikuti oleh infeksi bakteri. Jika daya tahan tubuh penderita menurun,
maka peradangan tersebut akan bertambah berat. Setelah terjadi
peradangan akut ini, tonsil dapat benar-benar sembuh atau bahkan tidak
dapat kembali seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna ini
akan mengakibatkan perdangan berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi
maka bakteri pathogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi

peradangan yang bersifat kronis.


1,2
Akibat peradangan kronis tersebut, maka ukuran tonsil akan
membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan
obstruksi kripta tonsil. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta
tonsil akan menyebabkan peningkatan stasis debris maupun antigen di
dalam kripta, sehingga memudahkan bakteri masuk dalam parenkim
tonsil. Pada tonsillitis kronis akan dapat dijumpai bakteri yang berlipat

ganda.
1,2
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldayer sangat kecil.
Pada anak berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun,
karena tonsil dan adenoid merupakan organ limfoid pertama didalam
tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan
adenoid mempunyai peranan yang penting sebagai organ yang khusus
dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian
epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena
itu hipertropi dari jaringan merupakan respon terhadap kolonisasi dari
flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen. Adenoid dapat
membesar seukuran bola pingpong, yang mengakibatkan tersumbatnya
jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang
keras untuk bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut
yang terbuka. Adenoid juga dapat menyebabkan obstruksi pada jalan
udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid
dapat menyebabkan obstruksi pada tuba Eustachius yang akhirnya
menjadi tuli konduksi karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat

tuba Eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.


1-3
Penyebab utama hipertropi jaringan adalah infeksi saluran napas
atas yang berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi beta-
lactamase, seperti Sreptococcus Beta Haemolytic Group A,
Staphylococcus aerius, Moraxella

catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae,


apalagi mengenai jaringan adenoid akan menyebabkan inflamasi dan
hipertopi. Jaringan adenoid yang seharusnya mengecil secara fisiologis
sejalan dengan pertambahan usia, menjadi membesar dan pada akhirnya
menutupi saluran pernafasan atas. Hambatan pada saluran pernapasan
atas akan mengakibatkan pernapasan melalui mulut dan pola
perkembangan sindrom wajah adenoid. Sindrom wajah adenoid
diakibatkan oleh penyumbatan saluran napas atas kronis oleh karena
hipertropi jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas atas yang kronis
menyebabkan kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai
penyesuaian fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut.
Pernapasan melalui mulut menyebabkan perubahan struktur dentofasial
yang dapat mengakibatkan maloklusi yaitu posisi rahang bawah yang
turun dan elongasi, posisi tulang hyoid yang turun sehingga lidah akan
cenderung ke bawah dan kedepan, serta meningginya dimensi vertikal.

1,2,3
2.4. Gejala klinis Adenoiditis dan Tonsilitis
Jaringan adenoid dapat terinfeksi saat terjadi infeksi saluran nafas
atas.

Infeksi pada adenoid menyebabkan panas, hidung tersumbat, rhinorea,


posterior nasal drip, dan batuk. Pembesaran adenoid dapat menyumbat
parsial atau total respirasi sehingga terjadi ngorok, percakapan hiponasal
dan membuat anak akan terus bernapas melalui mulut. Sleep apnea pada
anak berupa adanya episode apnea saat tidur dan hipersomnolen pada
siang hari. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obsruksi sentral
ataupun campuran. Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan
pembesaran adenoid mempunyai tampak wajah yang karakteristik.
Meliputi mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang
pendek. Hidung yang kecil, maksila tidak berkembang, sudut alveolar
atas lebih sempit fan arkus palatum yang lebih tinggi.Hubungan
pembesaran adenoid yang rekuren dengan terjadinya dengan otitis media
efusi dimana merupakan keadaan dimana terdapat efusi cairan ditelinga

tengah dengan membran timpani yang utuh tanpa tanda-tanda radang.


5
Gejala klinis tonsilitis akut nyeri tenggorok, panas badan, nyeri
menelan dan malaise. Satu periode tonsilitis akut dapat berkembang
menjadi infeksi yang

rekuren dimana terdapat periode asimptomatis dari penderita tonsilitis.


Setiapepisode infeksi rekuren terdapat gejala-gejala tonsilitis akut serta
adanya pelebaran kripta pada tonsil, detritus, eritema tonsil yang
persisten dan dilatasi pembuluh darah pada permukaan tonsil. Tonsilitis
kronis merupakan infeksi tonsil yang persisten yang sering terjadi pada
anak usia besar dan orang dewasa. Penderita tonsilitis kronis biasanya

dengan keluhan nyeri tenggorok yang konstan, halitosis dan fatigue.


1,5
2.5. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis adenotonsilitis kronis diperlukan
anamnesis,

pemeriksaan fisik dan penunjang.Gejala dan tanda yang dapat terjadi


gambaran adenotonsilitis kronis dintaranya adalah anak sering panas,
terutama panas yang disertai pilek dan batuk, sering sakit kepala, lesu,
mudah mengantuk, tenggorok terasa mengganjal, tenggorok sering
merasa berdahak, terasa kering, suara sengau, ngorok, gangguan napas
terutama waktu tidur terlentang, nafas bau, pendengaran tidak enak, nafsu
makan berkurang, prestasi belajar berkurang facies adenoid yaitu
sumbatan yang berlangsung bertahun-tahun.Pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan demam, dan pembesaran ukuran tonsil dan adenoid. Ukuran
pembesaran tonsil pada tiap penderita dapat berbeda kadang tonsil dapat
bertemu di tengah sehingga menimbulkan keluhan gangguan menelan
dan kesulitan bernapas. Menurut Brodsky 2006 bahwa standar untuk
pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik
diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial
ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil
terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4:
>75%.10,13.Akan tampak tonsil mengalami peradangan berupa warna
kemerahan dan kripta melebar. Selain itu akan dapat ditemukan bercak/
butir berwarna putih kekuningan di dalam kripta tonsil yang dikenal
dengan detritus yaitu kumpulan bakteri yang sudah mati dan leukosit.
Pembesaran kelenjar getah bening (jugulodigastric nodes) di daerah
servikal, bau napas yang tidak sedap (halitosis), tidak nafsu makan. Jika
keluhan dan ditemukan gejala klinis di atas maka diagnosis tonsillitis
kronis dapat ditegakkan. Sementara itu pada adenoid pemeriksaan dapat
dilakukan dengan rinoskopi anterior dan

posterior. Rinoskopi anterior pada adenoid atau fenomena palatum mole


yaitu untuk melihat tertahannya gerakan velum palatu mole pada saat
fonasi, didapatkan fenomena palatum mole menurun atau negatif.
Rinoskopi anterior juga menilai mukosa kavum nasi, adanya sekret dan
septum nasi. Palpasi dan x foto adenoid utamanya pada kecurigaan
adanya pembesaran. Pada anak rinoskopi posterior sulit dilakukan
demikian juga palpasi. X foto adenoid merupakan satu-satunya cara
untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran adenoid pada anak. Yang
perlu diperhatikan pada kecurigaan adenotonsilitis kronis atau adenoiditis
kronis perlu disingkirkan kemungkinan adanya penyakit atau kelainan
dihidung atau sinus paranasal mengingat pada adenotonsilitis kronis

memberikan discharge terus menerus atau berulang.


6-8
Pada pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikrobiologi yaitu melalui swab permukaan tonsil maupun
jaringan inti tonsil.Pemeriksaan sedian swab dengan pewarnaan Ziehl-
Nelson atau dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Gold standard
pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Pemeriksaan kultur
dari inti tonsil dapat memberikan gambaran penyebab tonsillitis yang
lebih akurat karena bakteri yang menginfeksi tonsil adalah bakteri yang
masuk ke dalan parenkim tonsil, sedangkan pada permukaan tonsil
mengalami kontaminasi dengan flora normal di saluran napas atas
sehingga bisa jadi bukan bakteri yang menginfeksi tonsil. Pemeriksaan
radiologi dengan membuat foto polos lateral kepala agar dapat melihat
pembesaran adenoid. Rasio adenoid nasofaring diperoleh dengan
membagi ukuran adenoid dengan ukuran ruang nasofaring, yaitu rasio
AN=A/N. Ratio adenoid/ nasofaring 0-0,52 yaitu tidak ada pembesaran.
Rasio adenoid/nasofaring 0,52-0,72 yaitu pembesaran sedang non
obstruksi. Rasio adenoid / nasofaring >0,72 yaitu terdapat pembesaran

dengan obstruksi.
1,3,9
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Medikamentosa
Penatalaksanaan adetonsilitis kronis meliputi terapi
medikamentosa.
Terapi ini ditujukan untuk mengatasi hygiene mulut yang buruk dengan
cara
berkumur ataupun pemberian antibiotik. Antibiotik jenis penisilin
masih

10

merupakan pilihan pada sebagian besar kasus. Pada kasus yang berulang
akan meningkatkan terjadinya perubahan bakteriologi sehingga perlu
diberikan antibiotik alternative selain jenis penisilin. Untuk bakteri
penghasil β laktamase perlu antibiotik yang stabil terhadap enzim ini

seperti amoksisilin clavulanat.


2,4
2.6.2. Pembedahan
Terapi pembedahan pada adenotonsillitis kronis dilakukan bila
terapi
konservatif gagal. Tindakan pembedahan ini dikenal dengan
tonsiloadenoidektomi.

Indikasi tonsiloadenoidektomi menurut Brodsky dan Poje yaitu


karena adanya obstruksi, infeksi dan neoplasia. Tonsiloadenoidektomi
dengan indikasi obstruksi seperti OSA, gangguan pertumbuhan dan
gangguan menelan. Indikasi infeksi antara lain seperti adenotonsilitis
kronis, adanya otitis media efusi, otitis media supuratif kronik, sinusitis
kronik, penyakit katup jantung dan halitosis. Indikasi
tonsiloadenoidektomi pada neoplasia yaitu kecurigaan tumor baik jinak

maupun ganas.
2,4
2.7. Komplikasi
Peradangan kronis pada tonsil dan adenoid ini dapat
menimbulkan

beberapa komplikasi antara lain:


9,10

a. Abses peritonsilar. Abses ini terjadi karena adanya perluasan infeksi ke


kapsul tonsil hingga mengenai jaringan sekitarnya. Pasien akan
mengeluhkan demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, pemebesaran tonsil
unilateral, kesulitan membuka mulut (trismus) dan membutuhkan
penanganan berupa insisi dan drainase abses, pemberian antibiotic dan
tonsilektomi.15 Komplikasi ini paling sering terjadi pada kasus tonsillitis
berulang.
b. Abses parafaring. Terjadi karena proses supurasi kelenjar getah bening
leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid.

c. Obstruksi jalan napas atas (Obstructive sleep apnea) biasanya


terjadi pada anak-anak, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat terjadi
pada orang dewasa. Hal ini dapat terjadi jika terdapat pembesaran pada
tonsil dan adenoid terutama pad anak-anak, sehingga tonsilektomi dan
atau adenoidektomi harus segera dilakukan.15

11
d. Tonsilolith merupakan perwujudan dari debris epithelial dan dapat
ditemukan
pada tonsillitis kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris.
12

BAB III
KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka konsep

Adenotonsili Pemeriksaan
Umur 8s Fisik:
Jenis kelamin Kronis Ukuran tonsil dan
adenoid

Faktor
resiko
Keluhan Indikasi
Adenotonsilekto
Utama mi
- Obstruksi
- Infeksi
- Neoplasia

Panas, batuk,
Nyeri tenggorok,hidung Tidur
pilek, infeksi
mendengkur,halitos
tersumbat is
telinga

3.2 Kerangka kerja

Karakteris8k pasien dengan


adenotonsili8s kronis yang
menjalani tonsiloadenodektomi
Rekam Medis 1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Keluhan utama
4. Ukuran Tonsil dan
adenoid
5. Indikasi
tonsiloadenoidektomi

13

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif
retrospektif

dengan mengambil data sekunder dari catatan medis penderita dengan


adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi di
RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2014-2015.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di bagian THT-KL RSU Sanglah Denpasar
dengan
rentang waktu penelitian adalah bulan januari 2014 sampai dengan
bulan
desember 2015.

4.3. Subyek dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi dan sampel penelitian
Populasi penelitian adalah semua yang pasien yang berobat ke
Poliklinik

THT-KLyang menjalani tindakan tonsiloadenoidektomi di RSUP Sanglah


Denpasar dari tahun 2014 sampai tahun 2015 yang memenuhi kriteria
inklusi. Sampel merupakan total populasi.
4.3.2 Teknik pemilihan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling
yaitu
setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian
dimasukkan dalam
sampel penelitian

4.3.3 Kriteria sampel


4.3.3.1. Kriteria inklusi :
Penderita yang didiagnosis dengan adenotonsilitis kronis
berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis dan telah dilakukan tindakan tonsiloadenoidektomi di
RSUP
Sanglah Denpasar mulai periode Januari 2014 sampai Desember 2015.
4.3.3.2. Kriteria eksklusi :
Penderita dengan catatan medis tidak lengkap yang meliputi
informasi
tentang semua variable yang diteliti.

14

4.4. Definisi Operasional

a. Adenotonsilitis merupakan suatu peradangan pada tonsil palatina


dan tonsil pharingeal yang merupakan bagian dari cincin waldeyer dan
dapat bersifat akut maupun kronis.
b. Umur adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran.

c. Jenis Kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat dan fungsi biologi


laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka
dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan.
d. Keluhan utama adalah keluhan yang membawa pasien datang
memperoleh pelayanan medis ke pusat kesehatan. Pada adenotonsillitis
kronis, keluhan utama dapat berupa nyeri tenggorok atau nyeri menelan,
panas,batuk, pilek, hidung tersumbat, tidur mendengkur, infeksi telinga,
halitosis.

e. Ukuran tonsil adalah pembesaran tonsil akibat peradangan kronis


pada tonsil palatina yang didapatkan dari pemeriksaan fisik dan
diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial
ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil
terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4:
>75%.

f. Rasio adenoid nasofaring diperoleh dengan membagi ukuran


adenoid dengan ukuran ruang nasofaring, yaitu rasio AN=A/N. Ratio
adenoid/ nasofaring 0-0,52 yaitu tidak ada pembesaran. Rasio adenoid/
nasofaring 0,52-0,72 yaitu pembesaran sedang non obstruksi. Rasio
adenoid / nasofaring >0,72 yaitu terdapat pembesaran dengan obstruksi.

g. Indikasi tonsiloadenoidektomi adalah suatu kondisi yang


mengakibatkan pasien harus menjalani tonsiloadenoidektomi. Indikasi
tonsiloadenoidektomi menurut Brodsky dan Poje yaitu karena adanya
obstruksi, infeksi dan neoplasia. Tonsiloadenoidektomi dengan indikasi
obstruksi seperti OSA, gangguan pertumbuhan dan gangguan menelan.
Indikasi infeksi antara lain seperti adenotonsilitis kronis, adanya otitis
media efusi, otitis media supuratif kronik, sinusitis kronik, penyakit katup

15

jantung dan halitosis. Indikasi tonsiloadenoidektomi pada


neoplasia yaitu
kecurigaan tumor baik jinak maupun ganas.
4.5. Cara Pengumpulan Data
Data diambil dari catatan medis penderita yang didiagnosis
dengan

adenotonsillitis kronis dan telah dilakukan tindakan tonsiloadenoidektomi


di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2014 hingga tahun 2015. Hasil
pemeriksaan dicatat dalam lembar pengumpulan data untuk selanjutnya
akan dilakukan analisis data.
4.6. Pengolahan Data
Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan
narasi.
16

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian


Sampel dalam penelitian ini adalah semua penderita
adenotonsilitis kronis

yang telah menjalani operasi tonsiloadenoidektomi di RSUP Sanglah


Denpasar pada periode Januari 2014- Desember 2015 yang dipilih
dengan metode
Consecutive Sampling. Total sampel pada penelitian ini berjumlah 15
orang
4.1.1 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan
umur dan
jenis kelamin.

Berdasarkan tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa penderita


adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi
terbanyak 8-11 tahun yaitu sebanyak 7 orang(46,76%).
Tabel 4.1Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan
umur.
Umur(Tahun) Jumlah (N) Persentase (%)
0-3 0 0
4-7 6 40
8-11 7 46,67
12-15 2 13,33
>15 0 0

Total 15 100

Jika dlihat berdasarkan jenis kelamin maka yang terbanyak


menjalani tonsiloadenoidektomi adalah laki-laki yaitu sebanyak 9 orang
(60%)
Tabel 4.2Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan jenis
kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase(%)
Perempuan 6 40
Laki-laki 9 60
Total 15 100

17

4.1.2 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan


keluhan
utama.

Pada tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa keluhan utama


penderita adenotonsilitis kronis yang telah menjalani
tonsiloadenoidektomi adalah nyeri tenggorok sebanyak 10 orang
(66,67%).
Tabel 4.3. Karakteristik Penderita Adenotonsilitis Kronis berdasarkan
keluhan
utama
Keluhan Utama Jumlah (N) Persentase(%)
Panas 0 0
Batuk, pilek 3 20
Infeksi telinga 1 6,67
Nyeri tenggorok 10 66,66
Hidung tersumbat 0 0
Tidur mendengkur 1 6,67
Halitosis 0 0

Total 15 100

4.1.3 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan


ukuran
tonsil.

Pada tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa penderita


adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi
berdasarkan dari ukuran tonsil terbanyak adalah dengan ukuran tonsil
T3 : yaitu sebanyak 10 orang ( 66,67%)

18

Tabel 4.4. Karakteristik penderita Adenotonsilitis kronis berdasarkan


ukuran tonsil.
Persentase(%
Ukuran tonsil Jumlah (N) )
T0: Tonsil terletak
pada 0 0
fossa tonsil
T1: <25% 0 0
T2: >25%-<50% 3 20
T3: >50%- <75% 10 66,67
T4: >75% 2 13.33
Total 15 100
4.1.4 Karakteristik adenotonsil kronis berdasarkan
penderita itis rasio
adenoid nasofaring.
Pada tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa penderita
adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi
berdasarkan ukuran rasio nasofaring yaitu sedang atau non
obstuktif(0,52-0,72) sebanyak 10 orang
(66,67%)
Tabel 4.5 Karakteristik penderita kronis berdasarkan
adenotonsilitis rasio
adenoid nasofaring
Persentase(%
Rasio adenoid Jumlah(N) )
nasofaring
Tidak ada
pembesaran(0- 2 13,33
0,52)
Sedang/ non
obstruktif 10 66,67
(0,52-0,72)
Obstruksi (>0,72) 3 20
Total 15 100

19

4.1.5 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan


indikasi
tonsiloadenoidektomi.

Indikasi Tonsiloadenoidektomi pada penderita adenotonsilitis


kronis yaitu menurut Brodsky dan Poje yaitu karena adanya obstruksi,
infeksi dan neoplasia.Tonsiloadenoidektomi dengan indikasi obstruksi
seperti OSA, gangguan pertumbuhan dan gangguan menelan. Indikasi
infeksi antara lain seperti adenotonsilitis kronis, adanya otitis media
efusi, otitis media supuratif kronik, sinusitis kronik, penyakit katup
jantung dan halitosis. Indikasi tonsiloadenoidektomi pada neoplasia
yaitu kecurigaan tumor baik jinak maupun ganas. Berikut adalah yang
diperoleh dari 15 sampel penelitian.
4.1.5.1 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis
berdasarkan adanya
obstruksi.

Berdasarkan tabel dibawah ini diketahui bahwa penderita


adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi
berdasarkan adanya obstruksi yaitu yang terbanyak yaitu adanya
gangguan menelan sebanyak 10 orang
(66,67%)

Tabel 4.6 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan


adanya obstruksi.

Indikasi obstruksi Jumlah (N) Persentase (%)


OSAS 1 6,67
Gangguan
pertumbuhan 0 0
Gangguan menelan 0 0

Total 1 6,67

20

4.1.4.2 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis


berdasarkan adanya
infeksi.
Berdasarkan tabel dibawah ini diketahui bahwa penderita
adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi
berdasarkan adanya infeksi yaitu adenotonsilitis kronis sebanyak 13
orang (86,66%)
Tabel 4.7 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan
adanya
infeksi.
Infeksi Jumlah (N) Persentase (%)
adenotonsilitis kronis 13 86,66
otitis media efusi 0 0
OMSK 1 6,67
sinusitis 1 6,67
penyakit katup
jantung 0 0
Halitosis 0 0

Total 15 100

4.1.4.2 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan


neoplasia.
Berdasarkan tabel dibawah ini diketahui bahwa penderita
adenotonsilitis
kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi berdasarkan suatu
neoplasia
yaitu tidak bisa ditemukan adanya suatu neoplasia karena tidak
dilakukan
pemeriksaan PA .

21
Tabel 4.8 Karakteristik penderita adenotonsilitis kronis berdasarkan
adanya neoplasia
Neoplasia Jumlah (N) Persentase (%)
Jinak 0 0
Ganas 0 0

Total 0 0
22

BAB V
PEMBAHASAN

Pada penelitian yang telah dilakukan, karakteristik penderita


adenotonsilitis kronis yang telah menjalani tonsiloadenoidektomi
berdasarkan umur yang paling banyak yaitu umur antara 8-11 tahun
sebanyak 7 orang (46,67%). Sementara di RSUP Dr Hasan Sadikin
Bandung pada periode tahun 1997-1998 didapatkan 1024 pasien tonsilitis
kronis dari seluruh kunjungan. Terutama pada kelompok usia anak 5-10
tahun.Angka kejadian tonsilitis di RS Dr. Kariadi Semarang sebanding
antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam penelitian ini
didapatkan jumlah penderita adenotonsilitis kronis yaitu 9 laki- laki
( 60%) dan perempuan 7 orang (40%).

Menurut Savitri dan kawan-kawan dalam penelitiannya bahwa


keluhan utama pasien adenotonsilitis kronis yang telah menjalani

tonsiloadenoidektomi adalah nyeri tenggorok berturut-turut.


11 Dalam
penelitan ini didapatkan juga keluhan utama pada pasien adenotonslitis
kronis yang menjalani tonsiloadenoidektomi yaitu nyeri tenggorok
sebanyak 10 orang (66,66%). Alison (2008) dalam penelitiannya
dikatakan bahwa anak sekolah juga mendapatkan karakteristik terbanyak
adalah dengan keluhan utama nyeri tenggorok. Dalam penelitian
Khamnas dan kawan-kawan (2010) yang mengatakan bahwa distribusi
pasien berdasarkan ukuran tonsil yang terbanyak yaitu 23 orang dengan

ukuran tonsil yang besar yaitu T3.


7 Pada penelitian ini didapatkan
bahwa pasien adenotonsilitis kronis yang menjalani tonsiloadenoidektomi
yaitu dengan ukuran tonsil T3 sebanyak 10 orang (66,67%).

Menurut Muhammad Amar dan kawan-kawan distribusi sampel


dilihat berdasarkan kategori rasio A/N hasil pengukuran pada radiografi
kepala true lateral sebagai penunjang yang sangat bermakna dalam
tindakan adeoidektomi. Pada 12,5% sampel tidak ditemukan pembesaran
adenoid dan 67,5% sampel mengalami pembesaran sedang tanpa
obstruksi. Sebanyak 20% sampel

23

mengalami pembesaran dengan obstruksi. Pada penelitian ini didapatkan


10 pasien dengan AN rasio sedang non obstruktif sebesar 10 orang
(66,67%).

OSA merupakan gangguan yang paling sering terjadi dari


kelompok sleep breathing disorder atau gangguan nafas saat tidur yang
dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Menurut Schwengel dan kawan-
kawan menyebutkan angka kejadian OSA pada anak- anak yaitu sekita
1-3%. Riaz dan kawan-kawan menyebutkan sekitar 3% OSA terjadi pada
anak-anak. Dalam penelitian ini dalam anamnesa ditemukan adanya
gejala yang mengarah OSA, yaitu seperti pernafasan mulut, tidur
mendengkur dan sering terbangun saat tidur yaitu 1 pasien. Diagnosis
pasti OSA adalah dengan polimsomnografi atau sleep studi. Namun
diagnose OSA yang disebakan oleh hipertropi adenotonsil pemeriksaan
ini jarang digunakan, kecuali untuk deteksi penderita dengan resiko

komplikasi postoperatip.
13
Prinsip tindakan tonsiloadenoidektomi adalah menghilangkan
sumbatan nafas dan mengurangi gangguan fungsi tuba sehingga
mengurangi kemungkinan terjadinya otitis media maupun sinusitis.
Paradise dan kawan-kawan menyatakan adanya perbedaan signifikan dari
angka serangan otitis media maupun sinusitis pada anak yang menjalani
tonsiloadenoidektomi dibandingkan dengan miringotomi dan

pemasangan grommet.
14 Dalam penelitian didapatkan pasien dengan
adenotonsilitis kronis sebagai indikator tindakan tonsiloadenoidektomi
sebagai indikasi adanya suatu infeksi. Berdasarkan Brodsky dan Poje
salah satu indikasi tonsiloadenoidektomi yaitu adanya neoplasia. Dalam
penelitian ini belum bisa ditentukan adanya suatu neoplasia jenis jinak
atau ganas pada jumlah sampel yang didapatkan.

24

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa dari


hasil penelitian didapatkan bahwa umur terbanyak pada pasien
adenotonsilitis kronis yang dilakukan tonsiloadenoidektomi yaitu rentang
umur 8-11 tahun sebanyak 7 orang (45,67%). Berdasarkan jenis kelamin
yang terbanyak adalah laki-laki yaitu 9 orang (60%). Keluhan utama
yang paling sering ditemukan yaitu nyeri tenggorok sebanyak 10 orang
(66,66%). Berdasakan dari ukuran tonsil yang terbanyak yaitu dengan
ukuran tonsil T3 sebanyak 10 orang (66,67%).
Berdasarkan dari ukuran rasio adenoid nasofaring pada pasien
adenotonsillitis kronis yang menjalani tonsiloadenoidektomi yaitu
sedang/non obtruktif (0,52-0,72) sebanyak 10 orang (66,67%).
Berdasarkan indikasi tonsiloadenoidektomi didapatkan indikasi obstruksi
yaitu adanya OSA 1orang (6,7%). Indikasi Infeksi didapatkan adanya
adenotonsilitis kronis yaitu 13 orang (86,66%). Untuk indikasi neoplasia
dalam peneltian ini ditak didapatkan adanya data bahwa telah dilakukan
pemeriksaan PA.
6.2 Saran
Penelitian mengenai karakteristik pasien adenotonsilitis kronis

yang menjalaniTonsiloadenoidektomi di RSUP Sanglah dapat dijadikan


sebagai data penunjang dalam hal kelengkapan data di sentra terkait.
Adapun kekurangan dari penelitian adalah jumlah sampel yang diperoleh
masih kurang, sehingga data yang dibutuhkan dalam penelitan ini masih
kurang sehingga apabila jumlah sampel yang lebih banyak dan rentang
waktu yang cukup lama dapat dilakukan sehingga variable dapat dicari
lebih banyak sehingga penelitian ini bisa dilakukan secara optimal.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Brodsky L, Tonsilitis, tonsillectomy and adenoidectomy. In Bailey JB

eds, Head and Neck Surgery, 6


th ed vol one, Philadelphia, SB Linnpicort
Company 2006, p. 1184-1198.

2. Holzmann D, Kaufmann T, Boesch M. On the decision of outpatient


adenoidectomy and adenotonsillectomy in children. International Journal
of Pediatric Otorhinolaryngolgy.2000;53::9-16
3. Louis LD, Selcuk Onart. Anatomy and physiology of the Oral Cavity
and Pharinx. In: Snow Jr JB, Ballenger JJ, Editors. Ballenger’s

Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16


thed. Ontario: BC
Decker Inc, 2006.p.1009-1019.
4. Health Technology Assesment Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.Tonsilektomi pada anak dan dewasa. Jakarta. 2004.

5. Lawrence TWC, Jacobs I. Disease of Oral Cavity, Oropharynx and


Nasopharinx. In Snow Jr, Ballenger JJ, Editor. Ballenger’s

Otorhinolarynglogy Head and Neck Surgery.16


th ed. Ontario: BC
Decker Inc 2006.p.1028-1084.

6. American Academy of Otolaryngology-Head And Neck Surgery.


Tonsilitis.ENT Associates of San Diego. (diakses tanggal 15 Mei 2015).
Diunduh dari: http://www.entnet.org

7. Khammas AH, Ehab T. Yaseen dan Jawaad ABT. Incidence of


Hypertrophied Tonsil in Patients with Chronic Tonsillitis Selected for
Tonsillectomy. Iraqi J. Comm.Med., April 2010. (diakses tanggal 15 Mei
2015). Diunduh dari: http://www.iasj.net.pdf

8. N. Novialdi dan M. Rusli Pulungan.Mikrobilogi Tonsilitis Kronis.


2011. (diakses tanggal 14 Mei 2015). Diunduh dari: http://
www.repository.unand.ac.id.

26

9. Amalia N. Penderita Tonsilitis Kronis Di Bagian THT-KL RSUP H.


Adam Malik Medan Tahun 2009. (diakses tanggal 14 Me 2015). Diunduh
dari: http://www.repository.usu.ac.id.
10. Tom L.W.C. dan Ian N. Jacobs. Diseases Of The Oral Cavity,
Oropharynx, And Nasopharynx. In: Ballenger’s Manual of
Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery,2003: p.369-72.

11. Savitri N. Penderita adenotonsilitis Kronis Di Bagian THT-KL RSUP


H. Adam Malik Medan Tahun 2009. (diakses tanggal 14 Me 2015).
Diunduh dari: http://www.repository.usu.ac.id.

12. Schwangel DA, Streni L, Tunkel DE, Heitmiller ES.Perioperative


management of Children with Obstructive Sleep Apnea. International
Research Society.2009;19(2):109:60-75.

13. Riaz A, Malik HS, Fazal N. Anasthetic Risks in Children with


Obstructive Sleep Apnea Syndroma Undergoing Adenotonsilectomy.
Journal of the College of Physician and Surgeons.2009; 19(2):73-76.

14. Bluestone CD. Controversies in Tonsilectomy, Adenoidectomy,


and Tympanostomy Tubes. In :Snow Jr JB, Ballenger JJ, Editors.

Ballenger Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16


th ed
Ontario: BC Decker Inc, 2006.p. 1200-1208.

27

Anda mungkin juga menyukai