OLEH :
GOLONGAN I
KELOMPOK IV
Kalih Sindu Budari (1008505003)
Ngk. Gd Wahyu Indrayana (1008505014)
Ni Luh Putu Risna Dewi (1008505015)
Ni Luh Gde Vera Yanti (1008505017)
Ni Komang Wika Mirawati (1008505026)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2012
1
FORMULASI SEDIAAN KRIM ASAM SALISILAT
BAB I
TUJUAN DAN DASAR TEORI
1.2 TUJUAN
1.2.1 Mengetahui dan membuat formulasi sediaan krim asam salisilat
1.2.2 Mengetahui cara pembuatan krim asam salisilat
1.2.3 Mengevaluasi sediaan krim asam slisilat
2
1.3 DASAR TEORI
1.3.1 Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau
lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
Krim mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam
minyak atau minyak dalam air. Sekarang batasan tersebut lebih diarahkan untuk
produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-
asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air
(Anonim,2010).
Selain itu, Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental
mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe
krim ada dua yaitu:
1. Krim tipe air - minyak (A/M) contohnya sabun polivalen, span, adeps lanae,
kolesterol dan cera.
2. Krim tipe minyak - air (M/A) contohnya sabun monovalen seperti
triethanolaminum stearat, natrium stearat, kalium stearat dan ammonium
stearat (Anief, 2005).
Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan-
surfaktan anionic, kationik dan nonionik (Anief, 2005).
Keuntungan penggunaan krim adalah umumnya mudah menyebar rata
pada permukaan kulit serta mudah dicuci dengan air (Ansel, 2005). Krim dapat
digunakan pada luka yang basah, karena bahan pembawa minyak di dalam air
cenderung untuk menyerap cairan yang dikeluarkan luka tersebut. Basis yang
dapat dicuci dengan air akan membentuk suatu lapisan tipis yang semipermeabel,
setelah air menguap pada tempat yang digunakan. Tetapi emulsi air di dalam
minyak dari sediaan semipadat cenderung membentuk suatu lapisan hidrofobik
pada kulit (Lachman, 2008).
Prinsip pembuatan krim adalah berdasarkan proses penyabunan
(safonifikasi) dari suatu asam lemak tinggi dengan suatu basa dan dikerjakan
3
dalam suasana panas yaitu temperatur 700- 800C. (Dirjen POM,1995). Krim
merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan ke bagian kulit
badan. Obat luar adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui mulut,
kerongkongan, dan ke arah lambung. Menurut defenisi tersebut yang termasuk
obat luar adalah obat luka, obat kulit, obat hidung, obat mata, obat tetes telinga,
obat wasir dan sebagainya. ( Anief, 1999 ).
Dalam pembuatan krim diperlukan suatu bahan dasar. Bahan dasar yang
digunakan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Kualitas dasar krim yang
diharapkan adalah sebagai berikut :
a. Stabil
b. Lunak
c. Mudah dipakai
d. Dasar krim yang cocok
e. Terdistribusi merata
Fungsi krim adalah:
a. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit
b. Sebagai bahan pelumas bagi kulit
c. Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak langsung
dengan zat-zat berbahaya. (Anief,1999)
Stabilitas krim akan menjadi rusak, jika terganggu oleh sistem
campurannya terutama disebabkan perubahan suhu, perubahan komposisi dan
disebabkan juga oleh penambahan salah satu fase secara berlebihan atau
pencampuran dua tipe krim jika zat pengemulsinya tidak tercampurkan satu sama
lain. Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika diketahui pengencer yang
cocok yang harus dilakukan dengan teknik aseptis. Krim yang sudah diencerkan
harus digunakan dalam waktu satu bulan. Dalam penandaan sediaan krim, pada
etiket harus tertera “Obat Luar” dan pada penyimpanannya harus dalam wadah
tertutup baik atau tube dan disimpan di tempat sejuk (Depkes RI, 1979).
1.3.2 Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Kulit berfungsi sebagai
4
thermostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula mengatur tekanan darah.
Secara anatomi kulit terdiri dari banyak lapisan jaringan, tetapi pada umumnya
kulit dibagi dalam tiga lapisan jaringan : epidermis, dermis dan lapisan lemak
dibawah kulit (Lachman, et al., 2008).
Epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung
selmelanosit, langerhans dan merkel. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari
seluruhketebalan kulit. Terjadi regenerasi sel kulit pada epidermis setiap 4-6
minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai
yang terdalam) yaitu:
1. Stratum Korneum, terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan
berganti.
2. Stratum Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum, ditandai oleh 3 - 5 lapis sel poligonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granulakeratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin.
4. Stratum Spinosum, terdapat berkas - berkas filamen yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen - filamen tersebut memegang peranan penting
untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril
5. Stratum Basal (Stratum Germinativum), terdapat aktivitas mitosis yang
hebatdan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Stratum basal dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan
Malfigi.
Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini
tergantung letak, usiadan faktor lain. Stratum germinativum merupakan satu lapis
sel yang mengandung melanosit (Lachman, et al., 2008).
5
1.3.3 Asam Salisilat
Salah satu sediaan semisolid yang memiliki efek anti fungi adalah krim
asam salisilat. Asam salisilat dapat digunakan untuk efek keratolitik dimana akan
mengurangi ketebalan interseluler dalam selaput tanduk dengan cara melarutkan
semen interseluler dan menyebabkan desintegrasi dan pengelupasana kulit (Anief,
1997). Asam salisilat berkasiat fungisid terhadap banyak fungi pada konsentrasi
3-6% dalam salep. Disamping itu zat ini berkasiat bakteriostatis lemah dan
berdaya keratolitis, yaitu dapat melarutkan lapisan tanduk kulit pada konsentrasi
5-10%. Asam salisilat banyak digunakan dalam sediaan obat luar terhadap infeksi
jamur ringan. Asam salisilat juga digunakan sebagai obat ampuh terhadap kutil
kulit yang berciri penebalan epidermis setempat dan disebabkan oleh infeksi virus
vapova (Tjay, 2007).
6
BAB II
PRAFORMULASI
3.1.2 Farmakokinetik
Asam salisilat adalah asam organik sederhana dengan pKa
3,0.Aspirin (asam asetilsalisilat, ASA) memilikipKa 3,5. Natrium salisilat
dan aspirin sama-sama efektif antiinflamasiobat-obatan, meskipun aspirin
mungkin lebih efektif sebagai analgesik. Salisilatcepatdiserap dari perut dan
usus kecil bagian atas, menghasilkan tingkat plasma puncak salisilatdalam
waktu 1-2 jam. Aspirin diserap seperti dan cepat dihidrolisis (serum
setengah-hidup 15menit) menjadi asam asetat dan salisilat oleh aster dalam
jaringan dan darah. Seiring dengan meningkatnya aspirin, eliminasi salisilat
meningkat dari 3-5 jam (untuk 600 mg/d dosis) hingga 12-16 jam (dosis>
3,6 g/d).Alkalinisasi urin meningkatkan laju ekskresi salisilat bebas dan
yang larut dalam airkonjugasi (Bruntan, 2008).Sering kali asam salisilat ini
7
dikombinasi dengan asam benzoat (salep whitfield) dan belerang (sulfur
precipitatum) yang keduanya punya kerja fungistatis maupun bakteriostatis.
Bila dikombinasi dengan obat lain misalnya kortikosteroid, asam salisilat
meningkat penetrasinya ke dalam kulit. Tidak dapat dikombinasi dengan
sengoksida karena akan terbentuk garam seng salisilat yang tidak aktif
(Tjay, 2007).
8
3.1.6 Kontra Indikasi
Jangan digunakan pada luka eksim, dan luka pada mata.
3.1.7 Interaksi Obat
Tidak ditemukan interaksi obat yang signifikan namun dihindari
penggunaan bersama obat topikal lainnya.
3.1.8 Penyimpanan
Disimpan dalam wadah tertutup baik (Depkes RI, 1979).
9
Kegunaan : Bahan aktif, anti fungi
(Depkes RI, 1979)
10
3.2.2.2 Gliserin (C3H8O3)
11
3.2.2.4 Metylparaben (C8H8O3)
12
Kegunaan : Sebagai emulsifying agent, stiffening agent, dan
coating agent. Dalam sediaan losio, krim, dan salep
biasa digunakan sebagai emolien dan
emulsifyingagent dengan konsentrasi antara 2-5%.
Setil alkohol dapat meningkatkan konsistensi emulsi
W/O dengan konsentrasi 2-10%, dan meningkatkan
stabilitas semisolid.
13
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam
etanol, dan dalam eter; sukar larut dalam air
mendidih.
Kegunaan : zat pengawet
14
BAB III
FORMULA KERJA
15
Untuk massa krim yang dibuat = 100 gr
6
Massa asam salisilat = 100 × 100 gr = 6 gr
15
Massa asam stearat = 100 × 100 gr = 15 gr
0,5
Massa setil alcohol = 100 × 100 gr = 0.5 gr
5
Massa gliserin = 100 × 100 gr = 5 gr
1
Massa trietanolamin = 100 × 100 gr = 1 gr
0,05
Massa propel paraben = × 100 gr = 0,05 gr
100
0,1
Massa metal paraben = 100 × 100 gr = 0,1 gr
73,25
Air suling = × 100 gr = 73,25 gr = 73,25 mL
100
16
BAB IV
ALAT DAN BAHAN
4.1 Alat
Beaker glass pyrex
Gelas ukur pyrex
Sendok tanduk
Sudip
Pot cream
Penangas air
Cawan petri
Batang pengaduk
Timbangan analitik merck Adam Avanta
Termometer
Kertas perkamen
Mortar dan stamper
4.2 Bahan
Asam salisilat
Asam stearat
Gliserin
Propil paraben
Metal paraben
Trietanolamin (TEA)
Setil alkohol
Air suling
17
BAB V
PROSEDUR KERJA
Fase air
Basis krim
18
Asam salisilat (zat aktif)
19
6.2.2 Uji Homogenitas
20
6.2.4 Uji Daya Sebar
Sebaran krim 2
21
BAB VI
HASIL PRAKTIKUM
6.1 Hasil Pengamatan
6.1.1 Uji Organoleptis
6.1.5 Pengukuran pH
Batch pH
1 6,73
22
BAB VII
PEMBAHASAN HASIL
23
al., 2009). Selain itu penambahan metil paraben dapat meningkatkan kepolaran
propel paraben, sehingga zat pengawet dapat bercampur ke dalam krim yang
bertipe o/w.
Praktikum diawali dengan penimbangan dan pengukuran bahan-bahan
yang digunakan dalam pembuatan krim asam salisilat. Selanjutnya fase minyak
yang terdiri dari setil alkohol dan asam stearat di dalam cawan petri serta fase air
yang terdiri dari TEA, air dan gliserin di dalam gelas beker dilebur secara
bersamaan diatas penangas air dengan suhu 70oC. Selanjutnya diaduk konstan
dengan magnetic stirrer hingga terbentuk fase air dan fase minyak yang homogen.
Pengadukan konstan bertujuan agar campuran dapat tercampur homogen.
Setelah fase minyak melebur sempurna, kemudian dituangkan ke dalam
mortir. Kemudian fase air ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam fase minyak
yang telah diletakkan di dalam mortir. Selanjutnya diaduk secara konstan hingga
terbentuk emulsi. Ketika suhu campuran kira-kira sudah mencapai 40oC,
selanjutnya asam salisilat sebagai zat aktif yang sebelumnya sudah digerus
dimasukkan secara perlahan-lahan ke dalam campuran fase minyak dan fase air
dengan metode lavigasi setelah konsistensi krim mulai mengeras atau memadat.
Kemudian diaduk konstan hingga membentuk emulsi yang stabil.
Penambahan asam salisilat dilakukan dengan metode levigasi karena asam
salisilat sukar larut dalam air, sehingga dengan metode ini diharapkan dapat
melarutkan asam salisilat dalam basis krim yang bertipe o/w. Namun saat
penambahan asam salisilat dalam praktikum ini basis yang terbentuk pecah
kembali menjadi fase minyak dan fase air, sehingga gagal membentuk krim. Hal
ini bisa disebabkan karena kurang tepatnya metode levigasi yang dilakukan.
Metode levigasi harus dilakukan dengan penambahan zat sedikit demi sedikit
dengan pengadukan yang konstan. Selain itu, pada formula zat pengemulsi
triethanolamin yang digunakan terlalu sedikit yaitu 1%, padahal menurut teori
jumlah triethanolamin yang biasanya digunakan dalam emulsifikasi adalah 2- 4%
v/v triethanolamin (Rowe, et al., 2009). Dalam pembuatan krim tipe o/w ini
tentunya pengemulsi fase air sangat memiliki peranan penting dalam
pembentukan basis yang baik.
24
Hal ini terjadi sebanyak 2 kali. Hal inilah yang menyebabkan praktikan
tidak bisa membuat dua sediaan lainnya yang akan digunakan untuk pengujian.
Pada pembuatan yang ketiga praktikan memanaskan fase minyak dan fase air
secara bersamaan, dengan suhu dan tempat yang sama. Setelah fase minyak dan
fase air tercampur, kemudian diaduk secara cepat dan konstan hingga terbentuk
emulsi, dijaga agar campuran tidak terlalu dingin, selanjutnya asam salisilat
dimasukkan ke dalam campuran secara perlahan-lahan. Hingga akhirnya terbentuk
emulsi yang stabil. Setelah zat aktif terdispersi dalam basis krim, kemudian
ditambahkan zat pengawet berupa propil paraben dan metil paraben sedikit demi
sedikit pada suhu 40oC sambil diaduk hingga homogen. Krim asam salisilat
kemudian dimasukkan ke dalam tempat krim, diberi etiket dan dimasukkan ke
dalam kemasan kotak. Krim harus disimpan pada tempat yang sejuk dan terhindar
dari sinar matahari. karena suhu, kelembaban dan tempat penyimpanan krim akan
mempengaruhi sifat fisikokimia zat yang terkandung dalam krim dan dapat
menyebabkan krim menjadi tidak stabil. Sediaan krim dapat menjadi rusak bila
sistem campurannya Setelah zat aktif terdispersi dalam basis krim, kemudian
ditambahkan zat pengawet berupa propil paraben dan metil paraben sedikit demi
sedikit pada suhu 40oC sambil diaduk hingga homogen. Krim asam salisilat
kemudian dimasukkan kedalam wadah pot, diberi etiket dan dimasukkan dalam
kemasan kotak. Krim harus disimpan pada tempat yang sejuk dan terhindar dari
sinar matahari karena tingginya suhu akan mempengaruhi sifat fisikokimia zat
yang terkandung dalam krim dan menyebabkan krim menjadi tidak stabil. Sediaan
krim dapat menjadi rusak bila sistem campurannya terganggu (Anief, 1997).
Selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan krim. Evaluasi yang dilakukan
adalah uji organoleptis, uji homogenitas, uji daya sebar, uji daya lekat dan uji pH.
Uji viskositas pada sediaan krim tidak dilakukan karena keterbatasan waktu
praktikum. Uji organoleptis menunjukkan bahwa satu batch krim yang diuji
memiliki organoleptis yaitu berwarna putih, berbentuk semisolid (lembut) dan
baunya sedikit tengik. Bau tengik ini disebabkan karena konsentrasi pengawet
yang sedikit dan kurang homogen saat pengadukan. Selain itu dapat pula
25
disebabkan karena suhu tempat penyimpanan yang kurang sejuk sehingga
menyebabkan krim kurang stabil.
Uji homogenitas dilakukan secara mikroskopik menggunakan mikroskop
cahaya. Uji homogenitas ini menunjukkan bahwa sediaan krim yang dibuat tidak
homogen, karena masih terlihat ada gelembung-gelembung air dan udara serta
sedikit partikel. Ketidakhomogenan ini terjadi akibat proses pengadukan yang
kurang konstan. Selanjutnya dilakukan uji daya sebar. Uji daya sebar ini
dilakukan dengan meletakkan 0,5 gram krim diatas kertas grafik yang dilapisi
oleh kaca bening. Kertas grafik ini berfungsi untuk mempermudah dalam
pengukuran diameter krim yang tersebar. Dalam uji daya sebar, dilakukan 3 kali
agar dapat dilihat presisi dari hasil yang diperoleh. Dari hasil uji dapat dilihat
penambahan diameter sebar rata-rata pada batch 1 setelah penambahan beban
sebesar 1 gram adalah 5,3 cm dengan penambahan beban 2 gram adalah 5,5 cm
sedangkan dengan beban 5 gram adalah 5,8 cm. Dari hasil tersebut diketahui
bahwa pada batch 1 penambahan diameter sebar terbesar diperoleh dari
penambahan beban seberat 5 gram. Perbedaan hasil ini dapat terjadi karena
pengukuran diameter dilakukan secara manual dengan menggunakan penggaris,
sehingga diperlukan ketelitian untuk memperoleh hasil yang baik. Secara umum
semakin bertambahnya beban maka diameter sebarnya akan semakin besar. Pada
uji daya sebar ini diketahui bahwa krim yang diberikan beban 1 mg memiliki daya
sebar paling rendah. Hal ini dilihat dari kecilnya penambahan diameter yang
terjadi.
Uji daya lekat dilakukan dengan meletakkan 0,25 gram krim pada 2 buah
kaca objek. Diberi beban 1 kg selama 5 menit agar krim dapat menempel pada
kaca objek. Kemudian beban diangkat. Lempeng kaca yang berisi krim
dipasangkan pada alat uji. Diberi beban 80 gram. Dicatat waktu pelepasan krim
pada gelas objek. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Waktu rata-rata yang
diperoleh pada pengujian pertama adalah 2 detik, pada pengujian kedua adalah 1
detik dan pada penguyjian ketiga adalah 1 detik. Dari hasil tersebut dapat dilihat
bahwa krim pada pengujian pertama memiliki daya lekat paling tinggi. Semakin
tinggi daya lekat maka waktu pelepasan krim dari kaca akan semakin lama. Uji
26
evaluasi yang terakhir adalah uji pengukuran pH. Uji pengukuran pH dilakukan
dengan menggunakan pH meter. Hasil uji menunjukkan bahwa krim yang dibuat
memiliki pH 6,73. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan krim yang dibuat dapat
diaplikasikan sebagai sediaan topikal, karena masih dalam rentang pH normal
yang sesuai untuk kulit.
27
BAB VIII
KESIMPULAN
8.1 Formulasi yang digunakan untuk membuat krim asam salisilat pada praktikum
ini adalah :
No. Ingredients Quantity
A.1 Salicylic acid 6.00
2 Stearic acid 15.00
3 Cetyl alcohol 0.50
B.4 Glycerin 5.00
5 Trietanolamin (TEA) 1.00
6 Propyl paraben 0.05
7 Methyl paraben 0.10
8 Purified water 73.25
Total 100.00
8.2 Krim dibuat dengan melebur fase minyak yang terdiri dari setil alkohol dan
asam stearat di dalam cawan petri serta fase air yang terdiri dari TEA, air dan
gliserin di dalam gelas beker dilebur secara bersamaan diatas penangas air
dengan suhu 70oC. Kemudian fase air ditambahkan sedikit demi sedikit ke
dalam fase minyak yang telah diletakkan di dalam mortir. Selanjutnya diaduk
secara konstan hingga terbentuk emulsi. Ketika suhu campuran kira-kira sudah
mencapai 40oC, selanjutnya asam salisilat sebagai zat aktif yang sebelumnya
sudah digerus dimasukkan secara perlahan-lahan hingga terbentuk emulsi
yang stabil.
8.3 Krim asam salisilat yang dihasilkan memiliki organoleptis yaitu tidak berbau,
berwarna putih, berbentuk semisolid, berbau agak tengik serta kurang
homogen. Pada uji daya sebar pada diketahui bahwa penambahan diameter
sebar terbesar diperoleh dari penambahan beban seberat 5 gram. Hal ini dilihat
dari besarnya penambahan diameter yang terjadi. Dari uji daya lekat diketahui
28
bahwa pada pengujian pertama sediaan krim memiliki daya lekat paling
tinggi. Dan pH krim yang diperoleh adalah 6,73.
29
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, C.A. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel dan Salep terhadap
Penetrasi Aminofilin sebagai Anti Selulit secara In Vitro Menggunakan
Sel Difusi Franz. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia : Depok
Anief, Moh. 2005. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Arvin, B.K. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed.5 Vol.3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Lachman,L., Herbert A.L., and Joseph L.K, 1994, Teori dan Praktek Farmasi
Industri ed. 3, UI Press, Jakarta
Nurtjahja, Kiki., Dwi Suryanto dan Lavarina Winda. 2006. Identifikasi Jenis dan
Jumlah Bakteri Pada Pasien Mikosis Kulit vol.1, No 1, hlm.1-2 ISSN
1907-5537. Medan: Departemen Biologi, FMIPA Universitas Sumatera
Utara
30
Purushothamrao K, Khaliq K., Sagare P., Patil S. K., Kharat S. S., Alpana.K.
2010. Formulation and evaluation of vanishing cream for scalp psoriasis.
Cited 2010 September 2010. Available at
http://www.ijpst.com/files/IJPST-Vol-4,I-Art-3--2010.pdf
Tjay, T.H. 2007. Obat-obat Penting Edisi ke Enam. Jakarta: Elex Media
Komputindo
31
LAMPIRAN
Kemasan Sekunder
32
Brosur
Fungikill®
Netto 50 gram
Komposisi :
Mekanisme kerja:
Indikasi:
33
Asam salisilat digunakan sebagai anti fungi,
dermatofitosis dan mikosis pada kulit.