Anda di halaman 1dari 5

4 Prediksi Gambaran Revolusi Industri 5.

Mutiul Alim | Kamis, 24/01/2019 17:30 WIB

Jakarta – Zaman Revolusi Industri 4.0 memang sedang naik daun. Namun pada akhirnya, era yang
ditandai dengan sistem cyber-physical ini pasti berakhir, berganti dengan Revolusi Industri 5.0.

Ketua Divisi Smart Learning Center Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof. Dr. Ir. Richardius Eko
Indrajit menyebut ada empat versi yang mencoba menebak gambaran Revolusi Industri 5.0, seperti apa?

Cognitive system

Jika di era Revolusi Industri 4.0, manusia masih dibutuhkan untuk memperbaiki perangkat (hardware)
yang rusak, maka di Revolusi Industri 5.0 perangkat sudah otomatis mampu memperbaiki dirinya
sendiri.

“Ibaratnya, di 4.0 ketika ada kursi rusak kita mesti datang untuk memperbaiki, maka di 5.0 kursi itu yang
mengatur dirinya,” ujar Prof. Indrajit pada Kamis (24/1) di Jakarta.

Human intelligence + cognitive computing

Indrajit mengatakan, para ahli memperkirakan para era 5.0, manusia dan mesin akan bekerja sama
dalam memecahkan suatu masalah.

“Jadi 50-50. Dokter yang operasi, sebagian robot untuk hal-hal yang sifatnya presisi. Tetap arsiteknya
adalah manusia,” jelasnya.

Remote production

Di era Revolusi Industri 5.0, manusia akan terbiasa membuat kreasi lewat printer tiga dimensi. Dan tidak
hanya benda sehari-hari, namun juga makanan.

“Jadi tinggal sekali pencet, memberi perintah lewat aplikasi, nanti akan diproduksi sesuai dengan
permintaan,” kata Indrajit.

Take over of artificial intelligence

Versi keempat mungkin terdengar agak horor, di mana robot bisa menjadi ancaman bagi manusia. Pada
era 5.0, manusia akan membuat robot yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan (artificial
intelligence), dengan tujuan membantu manusia.

“Pada akhirnya robot akan melawan manusia. Karena pada dasarnya robot memiliki algoritma
melindungi manusia dari apapun. Namun pada perjalanannya, robot akan melihat manusia dibunuh oleh
manusia, algoritmanya kacau,” terangnya.
RI Sibuk Kejar Industri 4.0, Jepang Masuki Era Society 5.0

Koran Sindo

Jum'at, 8 Februari 2019 - 07:48 WIB

TOKYO - Ketika Indonesia sibuk mengejar revolusi industri 4.0, Jepang lebih maju satu langkah dengan
kesiapan mereka menerapkan Society 5.0.

Negeri Sakura kini berambisi mendigitalisasi seluruh aspek kehidupan mengingat semakin memburuknya
krisis buruh dan pesatnya penuaan penduduk di negara itu.

Kesiapan Jepang menuju era society 5.0 sebenarnya sudah dimulai diperkenalkan pada Juni 2017 silam.
Saat itu, Kantor Perdana Menteri Jepang merilis rincian strategis, termasuk penggunaan teknologi baru
untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan ekonomi. Tekad menerapkan era super pintar itu kembali
disampaikan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada ajang Forum Ekonomi Dunia (World Economic
Forum/WEF) akhir bulan lalu di Davos, Swiss.

“Kami menemukan solusi untuk berbagai masalah yang sebelumnya sulit diselesaikan,” ujar Abe dikutip
Reuters.

Menurut Abe masalah utama Jepang adalah populasi yang menua, di mana sekitar 26% penduduk
Jepang berusia di atas 65 tahun. Kondisi itu membuat Jepang kekurangan tenaga kerja produktif dan
menebarkan pesimisme di masyarakat Jepang.

“Lima tahun lalu, ada tembok keputusasaan, tembok pesimisme dan sejak saat itu, populasi usia kerja
kami anjlok 4,5 juta orang,” ujar Abe.

Atas kondisi tersebut, Pemerintahan Abe meluncurkan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi
perempuan dalam tenaga kerja dan dilakukan legislasi yang membuka pintu bagi lebih banyak tenaga
kerja asing.

Dilansir dari www.gov-online.go.jap, contoh implementasi Society 5.0 di Jepang ialah seperti pengiriman
paket menggunakan drone tanpa awak.

Kehidupan sehari-hari juga akan berubah dengan hadirnya aplikasi pintar berbasis AI yang dipasang di
rumah seperti di pintu kulkas. Melalui teknologi tersebut, warga Jepang dapat melihat saran makanan
dan bumbu sesuai musim atau resep memasak. Mereka juga dapat melihat data pasokan pangan yang
masih tersedia.

Society 5.0 bukan hanya tentang teknologi, tapi juga kebijakan dan regulasi. Pemerintah Jepang
mendorong pebisnis setempat untuk berbagi big data dan meningkatkan kerja sama untuk menciptakan
inovasi baru. Saat ini, kemampuan perusahaan masih terbatas karena data yang diperlukan dimiliki
entitas lain.
Pada masa depan, sektor swasta dan umum dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem baru yang
lebih aman dan efektif. Hal itu dinilai akan mendorong lebih banyak perusahaan untuk berbagi informasi
dan mengizinkan perusahaan lain menggunakan data mereka guna mengembangkan produk yang lebih
baik dan bagus.

Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Saat ini Pemerintah sedang menggalakan penerapan revolusi
industri 4.0. Semua sektor terutama di industri gencar mengampanyekan revolusi industri yang
memanfaatkan teknologi internet sebagai back bone-nya.

Di samping itu, pemerintah juga juga bersama-sama dengan para pemangku kepentingan terus
mengembangkan peran dan kemampuan skill sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi era industri
4.0.

Untuk mengejar ketertinggalan dari Jepang yang memasuki era 5.0, Indonesia dinilai masih perlu waktu.
Pasalnya, masih banyak kebutuhan dasar masyarakat yang perlu dibenahi. Misalnya saja, transportasi,
SDM, hingga infrastruktur.

Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) R Agus Sartono mengakui, saat ini Indonesia masih kalah satu
hingga dua langkah dibelakang Jepang.

“Ambil contoh kita masih berkutat mengintegrasikan moda transportasi. Sementara di era Society 5.0
masalah transportasi itu sudah nirdriver atau autodriver,’’ ujar Agus ketika dihubungi KORAN SINDO
baru-baru ini.

Profesor di bidang keuangan ini melanjutkan, Jepang memang lebih maju karena sudah membangun big
data jauh sebelum Indonesia heboh membahas Revolusi Industri 4.0. Sementara saat ini, kata dia,
Indonesia masih jauh dari membangun big data.

Menurut Agus, yang terpenting dilakukan saat ini adalah Indonesia harus menjalankan Revolusi Industri
4.0 sementara di saat bersamaan Jepang menyiapkan untuk masuk ke 5.0.

Dia menambahkan, keberlanjutan sebuah program sangat penting, sebab jika tidak dikejar akan muncul
kesenjangan (gap) kemampuan beradaptasi antar era teknologi.

“Kita harus fokus ke 4.0 sambil memperkecil disparitas. Sebab disparitas itu akan membahayakan.
Kuncinya yakni di kerja keras, kualitas pendidikan diperbaiki karena dengan pendidikan yang baik maka
gap akan mengecil,” ujarnya.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat berpendapat, perkembangan masyarakat di
Indonesia tidak linier dan homogen seperti di Jepang. Di Indonesia, kata dia, populasinya sangat besar,
beragam dan tidak merata.

Dia menambahkan, saat ini Indonesia juga menghadapi tantangan yakni anggaran riset yang masih
terbagi-bagi sehingga hasilnya tidak optimal untuk mendongkrak inovasi teknologi. Selain itu juga
Indonesia saat ini masih menjadi pangsa pasar produk asing. “Padahal kita punya bahan dasarnya.
Banyak orang pintar tapi banyak yang idle atau akhirnya kerja diluar negeri,’’ ucapnya.

Perlombaan Teknologi

Pengamat Marketing Yuswohady mengatakan, kemunculan grand inisiatif Society 5.0 yang dicanangkan
Jepang tidak lepas dari perlombaan teknologi antar negara-negara maju utama khususnya Amerika
Serikat (AS), Jerman, dan Jepang.

Menurut dia, kelahiran teknologi yang mendisrupsi dengan memanfaatkan big data, internet of thing
(IoT), artificial intelligence (AI), robotic hingga blockchain telah memicu negara-negara maju untuk
berlomba agar bisa memimpin dunia melalui kekuatan ekonomi dan teknologi.

“Itulah yang mendorong Jerman pada 2014 mengeluarkan inisiatif high-tech strategies yang kini dikenal
luar sebagai Industry 4.0,” kata pria yang akrab dipanggil Yuswo itu.

Yuswo menambahkan, negara seperti AS sebenarnya tidak memiliki inisiatif khusus dari pemerintahnya.
Namun, inisiatif perkembangan teknologi tersebut dijalankan secara efektif oleh swasta melalui raksasa-
raksasa digital di Silicon Valley seperti Google, Facebook, Apple, dan Amazon.

Terkait pesatnya perkembangan teknologi di Jepang yang mengarah pada inisiatif Society 5.0, Yuswo
menilai hal tersebut sebagai respons atas populasi penduduk di negara itu yang kian menua. Untuk itu,
Jepang mengambil spesialisasi di empat bidang yang berbeda dari Jerman maupun AS yaitu: healtcare,
mobility, infrastructure, fintech.

“Dari sisi teknologi yang diimplementasi, pendekatan Society 5.0 sesungguhnya tak jauh beda. Yang
membedakan adalah titik pandang dan perspektifnya. Kalau Industry 4.0 (Jerman) dan AS lebih fokus
kepada pengembangan teknologi, maka Society 5.0 menggunakan pendekatan yang lebih “human-
focused”,” ujar Yuswo.

Dengan konsep seperti itu, Pemerintah Jepang melihat bahwa teknologi masa depan seperti AI, harus
tetap menempatkan manusia sebagai pengendali dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemanfaatan
manusia yaitu dengan menciptakan super-smart society untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Jepang.

Yuswo menambahkan, Jepang terbukti telah berhasil membuat inisiatif dalam pengembangan industri
autpomotif pada tahun 1970-an. Saat itu Jepang melakukan hal yang sama dengan konsep lean
manufacturing yang kemudian menempatkan Toyota sebagai pemimpin industri otomotif dunia.
“Kejayaan itu rupanya mau diulang lagi dengan inisiatif Society 5.0 ini,” katanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Raden Pardede mengatakan, Indonesia mau tidak mau harus
mengejar ketertinggalan revolusi industri. Pasalnya Indonesia masih berada pada old industry di mana
masih banyak menggunakan Industri 1.0 dengan keterampilan rendah dan menengah.
“Di sini dunia Industri Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan maupun peluang di era industri
4.0, khususnya bagi tenaga kerja Indonesia terjadi job destruction,” kata dia.

Menurut Pardede, pada prosesnya maka harus pandai melihat tantangan maupun peluang Industri 4.0.
Adapun tantangan utama menghadapi Industri 4.0 ialah SDM karena revolusi industri keempat ini
mengalami dua fase yakni fase job disruption dan fase job creation.

Pemerhati Komunikasi Digital Firman Kurniawan menilai, harus ada pelibatan perguruan tinggi dalam
menyiapkan SDM menghadapi Industri 4.0.

Dia mengkritisi, kesiapan SDM menghadapi Industri 4.0 masih gagap. Untuk itu, pemerintah wajib
mengejar ketertinggalan revolusi industri untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi.
(Neneng Zubaidah/Ichsan Amin/Nanang Wijayanto/Muh Shamil)

https://ekbis.sindonews.com/read/1376985/34/ri-sibuk-kejar-industri-40-jepang-masuki-era-society-50-
1549586880

Anda mungkin juga menyukai