Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anafilaktik merupakan keadaan akut yang berpotensi mengancam


jiwa dan paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaktik sangat heterogen dan tidak
spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak
mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti
jantung, dan kematian mendadak.
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan
mortalitas sebesar 1-3 tiap satu juta penduduk. Sementara di Indonesia,
khususnya di Bali, angka kematian dilaporkan 2 kasus tiap 10.000 total
pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat
pada tahun 2006.
Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat
cepat, tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya
sampai menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang
penting, dengan melakukan anamnesis, pemerikasaan fisik, dan penunjang
untuk menegakkan suatu diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan
adekuat suatu syok anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih
berbahaya.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penegakan diagnosis


dan penanganan Syok Anafilaktik sehingga dapat mengurangi morbiditas
maupun mortalitas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan.
Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang dimediasi IgE
(hipersensitivitas type 1) yang ditandai dengan curah jantug dan tekana arteri
yang menurun hebat. Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan
kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaktik yang dapat
berujung pada syok anafilaktik. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk
dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari
anafilaktik yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi
yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai
kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.

2.2 Etiologi
Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik yaitu:
a. Obat-obatan (antibiotik golongan B-lactam, insulin, streptokinase)
b. Makanan (kacang-kacangan, telur, ikan laut)
c. Protein (antitoksin tetanus, transfusi darah)
d. Bisa binatang
e. Lateks

Selain itu, latihan maupun terpapar udara dingin (pada pasien dengan
Cryoglobulinemia) dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik. Riwayat

2
keluarga atopi tidak meningkatkan risiko kejadian anafilaktik, namun dapat
meningkatkan risiko kematian ketika reaksi anafilaktik terjadi.
2.3 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaktik dalam


hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaktik
melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan
waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen
yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit).
Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaktik) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin

3
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

4
Gambar 1. Patofisiologi syok anafilaktik
2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3


tipe dari reaksi anafilaktif, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit
sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen, reaksi moderat terjadi antara 1

5
sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen, serta reaksi lambat lebih dari
24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala bervariasi dari ringan sampai berat, seperti gatal, urtika, bersin,
rhinorea, nausea, kram abdomen, diare, dispneu, palpitasi, dan pusing.
Keadaan syok ditandai dengan hipotensi, takikardi, urtikaria, angioedema,
wheezing, stridor, sianosis, dan sinkop. Syok dapat berkembang dalam
hitungan menit, dan mungkin timbul kejang, tidak sadar, dan kematian.
Kolaps kardiovaskular dapat terjadi tanpa gejala lainnya.

2.5 Diagnosis

American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah


membuat suatu kriteria diagnosis anafilaktik.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa
menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau
kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing ,
penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara
mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa
kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten
(misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).

6
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar
pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah
(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada
orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaktik sebagai berikut:


1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresif yang cepat dari gejala
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi
lebih lambat dari onset
- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger
intravena akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung
disebabkan lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.
- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”

2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems


Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem:
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah
membengkak (faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan
dan merasa tenggorokan tertutup.
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang
mengalami obstruksi.

Breathing Problems :
- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia

7
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest

Circulation problem:
- Tanda syok, pucat, berkeringat.
- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest

3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa


Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaktik.
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau
keduanya
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti
sengatan.
- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan
lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut
dan tenggorokan.

2.6 Penatalaksanaan

Tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah


mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga

8
menyebabkan reaksi anafilaktik. Segera baringkan penderita pada alas yang
keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah
balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan
circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan
bantuan hidup dasar.
a) Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
b) Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit.
c) Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

1) Terapi Farmakologi

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk


mengobati syok anafilaktik. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan

9
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaktik perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut.
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaktik, obat-
obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang
diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.

10
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau
parenteral. Pada keadaan anafilaktik berat antihistamin dapat diberikan intravena.
Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan
dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya
dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin
intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaktik dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaktik atau mencegah anafilaktik berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kgBB.

2) Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena


untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.

11
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

2.8 Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip


kegawatdaruratan, reaksi anafilaktik jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi
anafilaktik tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaktik untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

BAB III
PENUTUP

12
Kesimpulan

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai


oleh Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka
mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaktik, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun
serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaktik,
yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaktik dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri
dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah
yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis
anafilaktik sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal
kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu


seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok
anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan
reaksi anafilaktik. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam
penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan.
Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaktik jarang menyebabkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

13

Anda mungkin juga menyukai