PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan.
Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang dimediasi IgE
(hipersensitivitas type 1) yang ditandai dengan curah jantug dan tekana arteri
yang menurun hebat. Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan
kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaktik yang dapat
berujung pada syok anafilaktik. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk
dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari
anafilaktik yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi
yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai
kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
2.2 Etiologi
Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik yaitu:
a. Obat-obatan (antibiotik golongan B-lactam, insulin, streptokinase)
b. Makanan (kacang-kacangan, telur, ikan laut)
c. Protein (antitoksin tetanus, transfusi darah)
d. Bisa binatang
e. Lateks
Selain itu, latihan maupun terpapar udara dingin (pada pasien dengan
Cryoglobulinemia) dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik. Riwayat
2
keluarga atopi tidak meningkatkan risiko kejadian anafilaktik, namun dapat
meningkatkan risiko kematian ketika reaksi anafilaktik terjadi.
2.3 Patofisiologi
3
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
4
Gambar 1. Patofisiologi syok anafilaktik
2.4 Manifestasi Klinis
5
sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen, serta reaksi lambat lebih dari
24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala bervariasi dari ringan sampai berat, seperti gatal, urtika, bersin,
rhinorea, nausea, kram abdomen, diare, dispneu, palpitasi, dan pusing.
Keadaan syok ditandai dengan hipotensi, takikardi, urtikaria, angioedema,
wheezing, stridor, sianosis, dan sinkop. Syok dapat berkembang dalam
hitungan menit, dan mungkin timbul kejang, tidak sadar, dan kematian.
Kolaps kardiovaskular dapat terjadi tanpa gejala lainnya.
2.5 Diagnosis
6
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar
pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah
(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada
orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
Airway Problem:
- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah
membengkak (faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan
dan merasa tenggorokan tertutup.
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang
mengalami obstruksi.
Breathing Problems :
- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas
- Pasien menjadi lelah
- Kebingungan karena hipoksia
7
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest
Circulation problem:
- Tanda syok, pucat, berkeringat.
- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
- Cardiac arrest
2.6 Penatalaksanaan
8
menyebabkan reaksi anafilaktik. Segera baringkan penderita pada alas yang
keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah
balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan
circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan
bantuan hidup dasar.
a) Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
b) Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit.
c) Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
1) Terapi Farmakologi
9
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaktik perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut.
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaktik, obat-
obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang
diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.
10
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau
parenteral. Pada keadaan anafilaktik berat antihistamin dapat diberikan intravena.
Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan
dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya
dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin
intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaktik dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaktik atau mencegah anafilaktik berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kgBB.
2) Terapi Cairan.
11
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
2.8 Prognosis
BAB III
PENUTUP
12
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
13