Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Beberapa waktu lalu, Indonesia telah melewati fase yang sangat penting
dimana telah terselenggaranya pemilu serentak untuk pertama kalinya di
Indonesia. Dalam pemilu kali ini, warga indonesia diwajibkan memilih presiden
dan wakil presiden, DPR, DPD dan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten.
Butuh waktu yang lebih lama dalam kotak suara untuk memilih nama-nama
yang dituju. Begitu pula dengan kerja yang dilakukan oleh pemerintah yang
dilakukan dengan 2 kali lebih keras dari pemilu atau pilpres sebelumnya.
Pemilihan Umum 2019 adalah pemilihan legislatif dengan pemilihan
presiden yang diadakan secara serentak. Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 14 / PUU-11/2013 tentang pemilu serentak, yang
bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan pemilu,
meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta politik uang yang
melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi
birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak akan
mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen
untuk memperkuat basis kekuatan mereka di lembaga-lembaga negara yang
tinggi sehingga dengan pemilu serentak diharapkan bisa memfasilitasi
pembenahan Sistem Presidensial di Indonesia. Untuk mewujudkan pemilihan
2019 yang simultan (Ratnia, 2018)
Dalam pilpres, terjadi “tanding ulang” antara petahana Joko Widodo dan
Prabowo Subianto. Pada pelaksanaan pilpres dan pemilu tergolong aman dan
lancar dari berbagai daerah, tidak terjadi kerusuhan yang terlampau masif dalam
pelaksanaannya. Namun, dalam jangka waktu penghitungan suara muncul
ketidak puasan yang diutarakan oleh salah satu pasangan calon presiden dan
wakil presiden karena dugaan kecurangan yang TSM (Terstruktur, Sistematis
dan Massif) yang dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu yang

1
dianggap menguntungkan paslon pesaingnya hingga akhirnya memunculkan
gerakan “people power” sebagai ekspresi kekecewaan pasangan tersebut.
statement people power dianggap sebagai upaya makar yang digerakkan oleh
pasangan calon presiden tertentu hingga tokoh-tokoh yang dianggap sebagai
motor penggerak poeple power ditetapkan sebagai tersangka kasus makar.
Dengan melihat latar belakang tersebut penulis tertatik membuat sebuat tulisan
yang berjudul “Makar dalam Seruan Gerakan People Power 2019”.

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa itu gerakan makar ?
2. Apa itu gerakan people power ?
3. Apakah gerakan people power dalam pemilu 2019 termasuk gerakan makar
?

1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari gerakan makar
2. Untuk mengetahui pengertian dari gerakan people power.
3. Untuk mengetahui apakah gerakan people power dalam pemilu 2019
termasuk gerakan makar atau tidak.

1.4.Manfaat
1. Manfaat Bagi Masyarakat
Diharapkan makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
mengenai pengertian dari gerakan makar, gerakan people power dan isu
terkait makar dalam gerakan people power sebagai ekspresi kekecewaan
dalam hasil pilpres dalam pemilu serentak 2019.
2. Manfaat Bagi Penulis Lain
Diharapkan tulisan ini dapat menjadi rujukan oleh penulis lain yang ingin
mengangkat tema mengenai people power dan gerakan makar.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Gerakan Makar


Meninjau dari kejadian yang terjadi di Eropa tahun 1918, Belanda
merupakan satu-satunya negara Eropa yang memiliki pasal mengenai makar
“aanslag”. Hal ini terjadi karena ketakutan Belanda pada peristiwa revolusi
komunis di Rusia. Dimana Tzar Nicolas II dan seluruh keluarganya dibantai
oleh komunis. Berlatar belakang dari itu, belanda membuat UU anti-revolusi
yang kemudian tanggal 28 Juli 1920 melalui stbl No. 619 “aanslag” dalam
KUHP Belanda dimunculkan. Belajar dari pengalaman Belanda,
dimasukkannya “aanslag” ke dalam Wetbook van Strafrecht voor Nedterlands
Indie pada tahun 1930 dikarenakan pada tahun 1926 terjadi pemberontakan PKI
yang dipimpin oleh Muso. Istilah “aanslag” digunakan untuk membedakan
dengan istilah “poging” atau percobaan.
Makar berasal dari kata “aanslag” (Belanda) yang berarti serangan atau
“aanval” yang berarti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadige
aanranding). Sedangkan makar secara harfiah bermakna penyerangan atau
serangan. Makar juga diartikan sebagai akal busuk; tipu muslihat; perbuatan
(usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang ataupun
perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah dengan cara yang tidak
sah atau in-konstitusional. Pengertian dari istilah makar dalam KUHP terdapat
dalam pasal 87 yang dalam naskah aslinya berbunyi:
“aanslag tot een feit bestaat, zoodra het voornemen des daders zich door
een begin van uitvoering, in-den zin van art. 53, heeft geopenbaard”
Makar adalah perlawanan terhadap pemerintahan yang sah dengan maksud
untuk menjatuhkan pemerintahan atau menentang kebijaksanaan yang sudah
menjadi ketetapan dengan melawan hukum, baik melalui kekuatan senjata
maupun dengan kekuatan lainnya atau dengan cara lain.

3
Istilah makar berasal dari bahasa Belanda, yaitu "aanslag" yang artinya
penyerangan atau serangan. Definisi makar berdasarkan Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud
hendak membunuh orang. Makar juga bisa diartikan sebagai perbuatan untuk
menggulingkan pemerintahan yang sah (kudeta).
Tindakan makar dalam KUHP secara khusus dapat ditemui dalam Pasal 87
KUHP, yang berbunyi: "dikatakan ada makar untuk melakukan suatu
perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan seperti yang dimaksud dengan Pasal 53 KUHP".
Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP ada tiga syaratnya yang harus ada agar
seseorang dapat dipidana melakukan percobaan kejahatan, yaitu (Chazawi,
2002:8)
1. Niat.
2. Permulaan pelaksanaan.
3. Pelaksanaannya itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya.

Bentuk Kejahatan Makar. Kejahatan yang masuk dalam kategori makar


yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan negara
sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk, yaitu:

a. Menyerang Keamanan Presiden atau Wakilnya

Jenis kejahatan makar dengan cara menyerang keamanan Presiden atau Wakil
Presiden disebutkan dalam Pasal 104 KUHP, yang dirumuskan sebagai berikut
(Suma, 2001:71): “makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau
merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil
Presiden menjalankan pemerintahan, diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh)
tahun”.

b. Menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah Negara

Kejahatan yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah ini adalah juga
berupa kejahatan makar. Kejahatan makar yang dimaksud ini dirumuskan pada

4
Pasal 106 KUHP, yaitu sebagai berikut (Chazawi, 2002:19): “makar dengan
maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau
memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

c. Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya Pemerintahan Negara

Makar yang dimaksud disini tidak dengan perbuatan dengan kekerasan


menggunakan senjata. Makar disini sudahlah cukup misalnya dengan
membentuk organisasi dengan alat-alatnya seperti anggaran dasar, program
kerja, tujuan yang ingin dicapai dan sebagainya yang semua wujud-wujud
kegiatan itu menuju pada suatu tujuan yang lebih besar ialah menggulingkan
pemerintahan yang sah.

Makar dalam bentuk ini ialah kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 107
KUHP, yaitu (Chazawi, 2002:19-20): "(1) Makar dengan maksud untuk
menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun; (2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam
ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun".

d. Tindak Pidana Makar

Tindak pidana makar adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan
masalah keamanan negara. Mengapa seseorang melakukan tindak pidana makar
banyak faktor yang memengaruhi, tetapi umumnya adalah rasa ketidakpuasan
terhadap pemerintahan/kekuasaan yang sedang berlangsung. Perbuatan tersebut
pada umumnya dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai maksud dan
tujuan yang sama, meskipun tidak tertutup, kemungkinan juga dilakukan oleh
satu atau dua orang saja.

Tindak pidana makar adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan
masalah keamanan negara. Mengapa seseorang melakukan tindak pidana makar
banyak faktor yang memengaruhi, tetapi umumnya adalah rasa ketidakpuasan
terhadap pemerintahan/kekuasaan yang sedang berlangsung. Perbuatan tersebut
pada umumnya dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai maksud dan

5
tujuan yang sama, meskipun tidak tertutup, kemungkinan juga dilakukan oleh
satu atau dua orang saja.

a. Kejahatan Makar

Tindakan makar yang dikaitkan dengan kejahatan makar dijelaskan pada Pasal
104, 106 dan 107 KUHP, yaitu (Prodjodikoro, 1980:203-208):

Pasal 104 KUHP. Makar yang dilakukan dengan tujuan akan menghilangkan
nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia, atau
dengan tujuan akan menjadikan mereka tidak dapat menjalankan pemerintahan
sebagai mana mestinya (tot regeren ongeschiktmaken).

Pasar 106 KUHP. Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian
wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah
negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107 KUHP. Makar dilakukan dengan tujuan untuk menggulingkan


pemerintah (omwenteling), dan diancam dengan, hukuman penjara selama-
lamanya lima belas tahun, sedang menurut ayat 2 bagi pemimpin dan pengatur
dari tindak pidana ini hukumannya ditinggikan menjadi maksimum penjara
seumur hidup atau selama dua puluh tahun, dengan kemungkinan hukuman mati.

b. Tindak Pidana Pemberontakan

Tindakan makar juga dapat dipidana sebagai sebuah tindakan pemberontakan


kepada Negara, yang dirumuskan dalam Pasal 108 KUHP, yaitu sebagai berikut
(Hamzah, 2001:46):

Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara


paling lama lima belas tahun: 1). orang yang melawan Pemerintah Indonesia
dengan senjata; 2). orang yang dengan maksud melawan Pemerintahan
Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan
yang melawan Pemerintahan dengan senjata.

Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara


seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

6
c. Tindak Pidana Permufakatan Jahat

Tindakan makar juga dapat dimasukkan dalam tindak pidana permufakatan


jahat, dimana diatur dalam Pasal 110 KUHP, yaitu (Hamzah, 2001:47):

(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106,
107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud
berdasarkan pasal 104, 106, 107 dan 108, mempersiapkan atau memperlancar
kejahatan:

berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan


atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau
memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;
berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain; memiliki persediaan barang-barang
yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan; Mempersiapkan atau
memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk
diberitahukan kepada orang lain; berusaha mencegah, merintangi atau
menggagalkan tindakan yang diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau
menindas pelaksanaan kejahatan.

2.2.Gerakan People Power


People power adalah penggulingan kekuasaan presiden secara paksa
melalui aksi demonstrasi rakyat. Upaya ini dilakukan dengan cara seluruh
rakyat turun ke jalan agar Presiden melektakkan jabatannya karena dinilai telah
melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan.
Secara umum, people power sama artinya dengan kekuatan masyarakat.
Mereka berusaha melakukan perlawanan dan bentuk protes terhadap bentuk
kezaliman dan kesewenangan para penguasa. Pascapemilu di Indonesia, istilah
ini mulai ramai diperbincangkan. Banyak rakyat Indonesia yang ingin

7
memberontak terhadap berbagai kebijakan penguasa. Mereka meyakini bahwa
ada yang tak beres di balik sistem pemerintahan.
People power pertama kali terjadi di Filipina pada tahun 1986. Gerakan ini
mengacu pada revolusi sosial damai sebagai akibat dari protes rakyat Filipina
melawan Presiden Ferdinand Marcos yang telah berkuasa selama 20 tahun.
Protes itu berawal saat Corazon Aquino, istri pemimpin oposisi Benigno
Aquino, Jr, meluncurkan kampanye anti kekerasan untuk menggulingkan
Marcos. Mengutip dari Amazine (25/4/2019), Aquino melancarkan protes
sebagai konsekuensi dari deklarasi kemenangan Marcos pada pemilihan
presiden tahun 1986.
People power dikenang sebagai perlawanan damai yang ditandai dengan
demonstrasi jalanan setiap hari yang terutama diadakan di Epifanio de los
Santos Avenue (EDSA). Peristiwa ini juga dianggap sebagai momen yang
melahirkan kembali demokrasi di Filipina. Sebagian orang juga percaya bahwa
beberapa demonstrasi di negara lain yang juga sukses (termasuk Indonesia)
mengacu pada revolusi people power di Filipina.
Gerakan people power di Indonesia terjadi ketika tergulingnya rezim
Presiden Soeharto yang dipicu oleh demo besar mahasiswa dan rakyat pada Mei
1998 yang menuntut reformasi dan perubahan. Salah satu faktor yang memicu
rakyat Indonesia meminta perubahan adalah fenomena krisis moneter sejak Juli
1997.
Dengan itulah, amarah rakyat Indonesia tak terbendung lagi. Mereka
menuntut perubahan hingga turun ke jalan. Dari sanalah lahir Orde Reformasi
yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia.
(Sufri, 2019) https://www.wartaekonomi.co.id/read225169/apa-itu-people-
power.html
Rencana aksi people power berbalut Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat
(GNKR) yang akan digelar 22 Mei 2019 di Gedung Bawaslu dan KPU, Jakarta,
bisa membawa bangsa Indonesia menuju jurang kekacauan yang tak berujung.

8
Sejak isu people power untuk menolak hasil pemilihan umum 2019 digulirkan,
menurut Wakil Ketua Umum DPP PPP, Arwani Thomafi telah menimbulkan
situasi yang tidak nyaman di tengah masyarakat.
Meskipun sebagai bagian dari hak berserikat, berkumpul dan menyampaikan
pendapat, people power sebaiknya tetap harus dalam koridor hukum dan
moral," kata Arwani dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com
Narasi provokatif dan agitatif yang diserukan sejumlah elite politik, agamawan,
dan kalangan intelektual harus dihentikan demi persatuan bangsa. Istilah People
Power semakin banyak terdengar dalam dalam wacana politik usai pelaksanaan
Pemilu Serentak 2019. Secara sederhana, istilah "people power" itu
dimaksudkan sebagai penggunaan kekuatan massa (rakyat) untuk mendesakkan
perubahan politik atau pergantian kekuasaan di suatu negara.
Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menjelaskan pada
umumnya, people power itu digunakan untuk meruntuhkan rezim yang
berkuasa relatif terlalu lama, dianggap diktator, sewenang-wenang dan
menyengsarakan rakyat.
People power biasanya terjadi karena upaya-upaya normal konstitusional
untuk melakukan perubahan terhalang oleh kekuatan rezim, baik menggunakan
kekuatan militer maupun kekuatan lembaga-lembaga konstitusional dan
administratif yang direkayasa begitu rupa untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam sejarah, terdapat beberapa kasus people power seperti terjadi di
Philipina dalam meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos, dan
people power dalam mendesakkan mundurnya Presiden Sukarno (1966/1967),
serta people power dalam mendesak untuk melengserkan Presiden Soeharto
(1998).
Dalam konteks Pemilu 2019, Yusril mengatakan faktor-faktor yang
melatarbelakangi people power seperti terjadi dalam kasus Marcos, Soekarno
dan Soeharto, pada hemat saya nampaknya tidak ada.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru memerintah kurang dari lima tahun dalam
periode pertama jabatannya. Ia secara sah dan konstitusional berhak untuk maju
dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) periode kedua

9
Walaupun, kata Yusril, tentu terdapat kekurangan dan kesalahan selama
menjalankan pemerintahannya pada periode pertama, namun belum nampak
Presiden Jokowi menjalankan kekuasaan secara diktator dan sewenang-wenang
sebagaimana yang dianggap dilakukan oleh Marcos, Soekarno dan Soeharto.
Jokowi juga belum nampak melakukan KKN sebagaimana dilakukan oleh
Marcos dan Soeharto serta keluarga dan kroninya.
People Power, Jalan Menuju Jurang Kekacauan Aksi massa menolak hasil
perhitungan sementara Pemilu 2019 di Bawaslu. (CNN Indonesia/Adhi
Wicaksono)
Ungkapan keinginan untuk melakukan people power sekarang ini lebih
banyak disebabkan oleh anggapan bahwa Pemilu, khususnya Pilpres, berjalan
secara curang. Kecurangan itu dianggap telah dilakukan secara TSM
(Terstruktur, Sistematis dan Masif) yang melibatkan aparat negara dan
penyelenggara Pemilu untuk memenangkan Calon Presiden Incumbent dan
mengalahkan pasangan capres-cawapres yang lain.
Dalam kenyataannya, baik perhitungan cepat (Quick Count) maupun
perhitungan nyata (Real Count) KPU, untuk sementara ini Pasangan Joko
Widodo-Ma'ruf Amin memang unggul sekitar 10-11 persen dari pasangan
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hasil final penghitungan suara yang akan menentukan pasangan mana yang
menang, kewenangan itu secara konstitusional ada pada KPU. Tidak ada
lembaga apapun dan pihak manapun juga, termasuk pasangan calon, yang
berwenang menyatakan pasangan mana yang memenangkan Pilpres ini.
Mahkamah Konstitusi (MK) pun hanya berwenang untuk memutuskan
sengketa perhitungan suara dalam Pilpres. Setelah MK memutuskan masing-
masing pasangan dapat suara berapa, maka tindak-lanjut atas Putusan MK itu
harus dituangkan dalam Keputusan KPU.
Keputusan KPU itulah yang nantinya dijadikan dasar oleh MPR untuk
menyelenggarakan Sidang untuk melantik dan mendengarkan pengucapan
sumpah jabatan Presiden sesuai ketentuan UUD 1945.

10
Tanpa Keputusan KPU tentang siapa yang memenangkan Pilpres, MPR
tidak dapat mengadakan sidang untuk melantik dan mendengar pengucapan
sumpah Presiden.
Tanpa melalui semua proses ini, siapapun yang mengaku dirinya atau
didaulat oleh sejumlah orang menjadi Presiden RI, maka tindakan yang
dilakukan itu dalam perspektif hukum tata negara adalah inkonstitusional, dan
secara hukum pidana adalah kejahatan terhadap keamanan negara.
Terhadap penyelenggaraan Pilpres 2019 ini, jika salah satu pasangan calon
Presiden dan para pendukungnya berpendapat telah terjadi kecurangan, maka
kecurangan itu tidak dapat dinyatakan secara a priori sebagai sebuah kebenaran.

2.3.Gerakan People Power dalam Pemilu 2019


Notifikasi pesan berantai belasan grup WhatsApp pendukung akar rumput
Prabowo Subianto - Sandiaga Uno tidak henti berbunyi pada pekan ini.
Sejumlah anggota di dalamnya masih aktif mendiskusikan topik terhangat.
Mulai dari kesalahan input data Situng KPU, kematian ratusan anggota KPPS,
hingga perkembangan perolehan suara.
Topik lain yang dibicarakan mereka adalah rencana 'people power'. Konten
berisi ajakan untuk turun ke jalan pun begitu masif disebar ke grup-grup
WhatsApp. Tidak diketahui pasti siapa pembuat pertama pesan tersebut.
Jangan pernah samakan aksi kami sekarang ini dengan semua aksi-aksi
damai sebelumnya, karena kami siap korbankan jiwa raga bahkan nyawa,"
demikian salah satu penggalan pesan tersebut.
Rencana 'people power' sendiri pertama kali digaungkan politikus gaek
Amien Rais. Dia mengatakan jika Prabowo kalah, pihaknya tidak akan
menggugat ke Mahkamah Konstitusi- namun gerakan sosial bakal jadi jalan
yang ditempuh.
Mengapa Prabowo cs ingin melakukan itu? Bisa jadi karena calon presiden
02 itu tak lagi memiliki daya politik besar untuk mengejar impian terbesarnya.
Teori Ketegangan Sosial milik Neil Smelser bisa digunakan untuk membedah
apa yang sebenarnya dipikirkan kubu Prabowo dan 'gerakan sosial'.

11
Ada enam tahapan yang harus dilalui menurut Smelser. Tahapan itu antara
lain kekondusifan struktural, ketegangan struktural, penciptaan keyakinan,
faktor pemicu, mobilisasi aksi, hingga kontrol sosial.
Tahapan pertama adalah kondisi yang dapat menimbulkan suatu perilaku
kolektif, misalnya Prabowo yang meyakini bahwa dirinya memenangkan
Pilpres kali ini.
Narasi lainnya juga adalah soal kecurangan yang dapat menghalangi
kemenangan pasangan 02 tersebut.
Tahapan kedua, adalah ketegangan struktural. Dalam hal ini, Prabowo dan
timses berupaya menampilkan suatu kondisi yang diduga tidak adil secara terus
- menerus. Hal itu bertujuan agar pendukungnya yakin ada suatu kecurangan
atau ketidakadilan, sehingga pilpres tidak berjalan sesuai harapan. Caranya,
Timses rajin mengumumkan fakta-fakta kejanggalan baik sebelum Pilpres
maupun sesudahnya.
Contohnya adalah kasus jelang pemungutan suara, ketika eks Kapolsek
Pasirwangi Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz mengaku
diperintahkan untuk menggalang dukungan warga untuk memilih Jokowi -
Ma'ruf.
Saya memperhatikan berita itu disebarluaskan di media sosial. Plus, ada
pernyataan yang dapat memupuk keyakinan bahwa aparat saat ini sudah tidak
netral.
Selain itu, ada pula soal dugaan kesalahan input data C1 ke Sistem
Informasi Penghitungan (Situng) KPU-yang dianggap sebagai kecurangan.
Tahapan selanjutnya, masih menurut Smelser, adalah menciptakan asumsi
kolektif. Wacana yang terus digaungkan adalah aparat dan penyelenggara
pemilu tidak netral, serta lawan berlaku curang-memunculkan ketegangan di
tingkat bawah.
Saya kira, apa yang dilakukan Prabowo dan kelompoknya bisa dibilang
sesuai dengan konsep framing yang diutarakan R.D. Benford & D.A. Snow
dalam Framing Process and Social Movements: an Overview and Assessment
(2000).

12
Ada tiga peran 'framing' dalam proses menciptakan gerakan sosial. Pertama
adalah diagnostic framing, atau menentukan siapa yang mesti disalahkan. Salah
satu model diagnosis masalah yang mujarab adalah menggunakan kata
'ketidakadilan'. Namun kubu Prabowo menggunakan diksi 'kecurangan'.
Mereka menerbitkan isu bahwa masalah dalam pilpres kali ini adalah
kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, masif, dan brutal. Hal ini
dilontarkan pertama kali ditegaskan Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Anzar
Simanjuntak. Kemudian sumber masalah yang didiagnosa adalah paslon 01,
selaku petahana yang mampu 'mengendalikan' aparat. Sedangkan pihak lain
yang juga dituding sebagai sumber masalah adalah penyelenggara Pemilu,
yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua, prognostic framing atau
menyampaikan strategi dan tindakan alternatif yang mesti dilakukan. Kubu
Prabowo menyodorkan kepada pendukungnya sekaligus berencana melakukan
'people power'. Namun, rencana itu tampaknya tidak akan dilakukan andai
Bawaslu mendiskualifikasi Jokowi - Ma'ruf sebagai pesert Pilpres 2019.
Pembingkaian informasi perlunya KPU maupun Bawaslu mendiskualifikasi
lawan Prabowo itu diorbitkan oleh Ijtima Ulama III, forum yang diisi oleh
sejumlah ulama pendukung calon presiden 02 itu. Ketiga, motivational framing
atau mendorong banyak orang untuk bergerak bersama. Dan wacana itu pun
tidak lagi berkutat di tingkat elit, tetapi sudah menjamah akar rumput. Ini
macam pesan melalui WhatsApp yang sudah banyak beredar untuk turun ke
jalan.
Namun saya kira, ada tahapan keempat dari teori nilai tambah Smelser yang
belum dilakukan oleh kubu Prabowo-peristiwa yang memantik gerakan massa.
Momen penghitungan akhir KPU pada 22 Mei kelak, barangkali dapat memicu
hal tersebut.
Saya memperkirakan mobilisasi massa terjadi-seperti yang disampaikan
oleh Smelser-walaupun tak diketahui seberapa besar.
Namun, Smelser juga menyatakan ada tahapan kontrol sosial guna
menghadapi gerakan massa tersebut. Yang tampak, saya kira, ancaman yang
mencuat terhadap sumber daya yang dianggap dapat melakukan mobilisasi
massa.

13
Contohnya, ketika Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan bakal
menggunakan pasal makar terhadap pihak yang memulai 'people power'.
Menkopolhukam Wiranto pun udah menunjukkan gelagat serupa. Dia
mengatakan kementerian itu membentuk tim hukum nasional untuk merespons
ucapan dan tindakan tokoh yang bernuansa provokatif.
Mungkin, semua orang harap-harap cemas apa yang bakal terjadi pada 22
Mei mendatang. Namun yang jelas, notifikasi pesan berantai WhatsApp terus
berdenting hingga kini.
Tokoh 212 Eggi Sudjana mengatakan dirinya telah ditetapkan sebagai
tersangka kasus dugaan makar oleh polisi. Polda Metro Jaya pun sudah
membenarkan penetapan tersangka itu setelah pihaknya melakukan gelar
perkara.
Penetapan tersangka ini buntut dari laporan terkait orasi Eggi di kediaman
Prabowo Subianto pada Rabu 17 April lalu. Dalam orasinya Eggi menyerukan
di hadapan para pendukung Prabowo-Sandi bahwa jika ada kecurangan dalam
Pilpres 2019 maka people power harus dilakukan.
Narasi yang dilontarkan Ketua Umum Tim Pembela Ulama dan Aktivis
(TPUA) tersebut dianggap makar karena bersifat mengajak orang untuk
menempuh jalan gerakan massa atau people power.
“Kekuatan people power itu mesti dilakukan. Setuju? Saya dengar tadi
Insyaallah setelah jam 7 atau jam 8 akan diumumkan resmi apakah betul ada
kecurangan yang serius, maka analisis yang sudah dilakukan oleh pemimpin
kita juga, Bapak Prof Dr Amien Rais, kekuatan people power itu mesti
dilakukan. Setuju? Berani? Berani?" seru Eggi dalam orasinya.
Dalam kalimat selanjutnya, Eggi yang juga caleg PAN itu menyebut people
power merupakan cara Allah untuk mempercepat pelantikan Prabowo sebelum
hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang secara resmi
sebagaimana diatur pada 20 Oktober.
"Kalau people power itu terjadi, kita tidak perlu lagi mengikuti konteks
tahapan-tahapan, karena ini adalah kedaulatan rakyat. Bahkan, mungkin ini cara

14
dari Allah untuk mempercepat Prabowo dilantik. Tidak harus menunggu 20
Oktober. Inilah kekuatan people power," serunya.
Eggi dijerat dengan Pasal 107 KUHP dan atau Pasal 110 KUHP Jo Pasal 87
KUHP dan atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam Pasal 107 ayat 1 KUHP, makar memiliki maksud untuk
menggulingkan pemerintah yang sah. Pelakunya dapat diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Sementara, ayat 2 pasal tersebut menyebut para pemimpin atau pengatur
makar diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama dua puluh tahun.
Kemudian Pasal 110 KUHP mengatur detail upaya-upaya yang dapat
dianggap makar, seperti berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan
kejahatan, serta mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan
kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain.
Tindak pidana makar sendiri baru dapat dikenakan apabila memenuhi syarat
seperti diatur dalam Pasal 87 KUHP. Pasal itu menegaskan bahwa apabila niat
berbuat makar sudah nyata dari adanya permulaan melakukan perbuatan makar.
"Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk
itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam
Pasal 53," begitu bunyi Pasal 87 KUHP.
Sementara Pasal 53 KUHP berbunyi, "Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri." Eggy juga dijerat dengan Pasal 14 ayat 1 dan 2 dan atau
Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana.
Pasal 14 berisi jeratan pidana setinggi-tingginya selama 10 tahun apabila
seseorang terbukti menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dan dengan
sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.

15
Sementara Pasal 15 menyebut, barang siapa menyiarkan kabar yang tidak
pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap sedangkan ia mengerti
setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah
dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah mengancam bakal
menggunakan pasal terkait tindak pidana makar saat menyinggung people
power yang diserukan sejumlah pihak pascapenyelenggaraan Pemilu 2019.
Menurut dia, aturan yang tertuang dalam Pasal 107 KUHP itu bisa digunakan
apabila gerakan people power mengandung unsur ingin menjatuhkan
pemerintahan.
"Kalau seandainya ada ajakan untuk pakai people power, itu mobilisasi
umum untuk melakukan penyampaian pendapat, harus melalui mekanisme ini.
Kalau tidak menggunakan mekanisme ini, apalagi kalau ada bahasa akan
menjatuhkan pemerintah, itu Pasal 107 KUHP jelas," kata Tito saat berbicara di
Rapat Kerja Komite I DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa
(7/5).

16
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimupulan
Berdasarkan pembahasan daat disimulkan bahwa:
1. Gerakan Makar adalah perlawanan terhadap pemerintahan yang sah dengan
maksud untuk menjatuhkan pemerintahan atau menentang kebijaksanaan
yang sudah menjadi ketetapan dengan melawan hukum, baik melalui
kekuatan senjata maupun dengan kekuatan lainnya atau dengan cara lain
2. Gerakan People power adalah penggulingan kekuasaan presiden secara
paksa melalui aksi demonstrasi rakyat. Upaya ini dilakukan dengan cara
seluruh rakyat turun ke jalan agar Presiden melektakkan jabatannya karena
dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan.
3. Gerakan peole power 2019 jelas terbukti adalah upaya makar yang
dilakukan beberapa tokoh karena dalam seruan/pidatonya berisi kalimat
yang ingin mengganti pemerintah yang sah dengan jalan inkonstitusional
atau bertentangan dengan hukum
3.2.Saran
Sebagai penulis, saya menyarankan agar seluruh pihak menaati aturan
yang berlaku baik dalam kehiduan sehari-hari atauun dalam melakukan
protes terhada hasil pemilu tanpa menggunakan aksi aksi inskonstitusional

17

Anda mungkin juga menyukai