Anda di halaman 1dari 8

PENELITIAN AWAL PEMANFAATAN FLY ASH DAN BOTTOM ASH PLTU

SURALAYA DALAM PEMBUATAN BETON DI LINGKUNGAN PANTAI

Kurniawati Ester Ghozali1, Albertus Yonathan2 , Antoni 3, dan


Djwantoro Hardjito4

ABSTRAK : PLTU Suralaya merupakan salah satu pembangkit listrik tenaga uap terbesar di Indonesia.
PLTU Suralaya ini menghasilkan limbah batu bara sebesar 1750 ton setiap harinya yang berupa fly ash
dan bottom ash. Sama halnya dengan fly ash, bottom ash juga merupakan residu yang berasal dari proses
pembakaran batu bara. Namun, pemanfaatan bottom ash di Indonesia masih sangat jarang. Hal ini
dikarenakan bentuk partikelnya yang tidak teratur dan porous sehingga mengurangi workability beton
segar. Dalam penelitian ini dilakukan pemanfaatkan fly ash dan bottom ash untuk pembuatan beton
break water atau bangunan pemecah ombak. Struktur beton break water berfokus pada durabilitas,
permeabitas dan berat volumenya bukan kekuatannya. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan bahwa pemakaian fly ash PLTU Suralaya dapat meningkatkan kelecakan pada beton.
Sehingga membantu melawan sifat bottom ash yang mengurangi kelecakan beton segar. Dengan
memperhatikan gradasi ukuran bottom ash, mortar HVFA yang menggunakan bottom ash 100% sebagai
agregat halus dapat mencapai kekuatan 36.6 MPa pada umur 28 hari dengan w/cm sebesar 0.35.
Sedangkan beton yang menggunakan bottom ash sebagai pengganti agregat halus dapat mencapai
kekuatan 24.8 MPa pada umur 28 hari. Durabilitas beton yang menggunakan fly ash dan bottom ash di
dalam lingkungan sulfat juga menunjukkan performa yang cukup baik.

KATA KUNCI: fly ash, bottom ash, workability, break water, durability, sulfate attack

1. PENDAHULUAN
Fly ash dan bottom ash merupakan residu atau limbah dari proses pembakaran batu bara yang saat ini
mulai dimanfaatkan sebagai pengganti sebagian semen ataupun pengganti agregat halus dalam
pembuatan beton. Selain itu, fly ash juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan durabilitas beton,
salah satunya adalah ketahanan terhadap sulfat. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Thomas et al.,
(2007) menunjukkan bahwa penggunaan 20 sampai 30 persen low calcium fly ash sebagai pengganti
semen dapat meningkatkan kemampuan sulphate resistance pada beton. Sedangkan dalam pemanfaatan
bottom ash, terdapat kelemahan pada bentuk partikelnya yang tidak teratur,relative besar, porous serta
kasar. Hal ini membuat antar partikel bottom ash terkunci satu sama lain sehingga mengurangi
workability beton segar jika bottom ash digunakan sebagai agregat halus (Sulistio et al., 2015). Di sisi
lain, PLTU Suralaya yang berlokasi di Cilegon, Banten sebagai salah satu sumber penghasil fly ash dan
bottom ash terbesar di Indonesia berada di dekat pantai sehingga memunculkan suatu kesempatan untuk
bisa memanfaatkan fly ash dan bottom ash dari PLTU Suralaya dalam pembangunan bangunan tepi laut,
salah satunya adalah break water. Namun, terdapat kendala dari segi ketahanan beton untuk bangunan
pemecah ombak, karena garam sodium yang terkandung dalam air laut dapat bereaksi secara kimiawi

1Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil Universitas Kristen Petra, kurniawatiester.g@gmail.com


2Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil Universitas Kristen Petra, albertusyonathan26@gmail.com
3Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Kristen Petra, antoni@petra.ac.id
4Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Kristen Petra, djwantoro.h@petra.ac.id

177
dengan semen dan mengubah atau memperlambat proses pengikatan semen sehingga dapat mengurangi
kekuatan beton. Selain reaksi kimia, kristalisasi garam dalam rongga beton dapat mengakibatkan
kehancuran akibat tekanan kristalisasi tersebut (Syamsuddin et al., 2011). Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan untuk menemukan metode yang tepat dalam memanfaatkan fly ash dan bottom ash dari PLTU
Suralaya pada pembuatan beton khususnya beton break water. Campuran beton diusahakan untuk
memanfaatkan fly ash dan bottom ash secara maksimal serta mengurangi penggunaan semen
semaksimal mungkin. Selain itu dalam penelitian ini juga akan ditambahkan pengujian durabilitas beton
terhadap lingkungan sulfat.

2. STUDI LITERATUR
2.1. Fly Ash
Fly ash adalah limbah padat yang berbentuk abu yang dihasilkan oleh proses pembakaran batubara yang
ada di pembangkit tenaga listrik. Material ini memiliki ukuran butiran yang halus dan berwarna keabu-
abuan (Wardani, 2008). Penggunaan fly ash dapat meningkatkan workability, dan mengurangi terjadinya
bleeding serta segregasi pada beton segar. Selain itu, penggunaan fly ash juga dapat meningkatkan
kekuatan tekan beton dalam jangka panjang, memadatkan beton, mengurangi penyusutan beton, dan
meningkatkan durabilitas beton (Nugraha & Antoni, 2004). Fly ash dibagi menjadi 2 jenis, yaitu fly ash
tipe C dan tipe F. Fly ash tipe F memiliki sifat pozzolan, sedangkan fly ash tipe C, selain memiliki
sifat pozzolan, fly ash ini juga memiliki sifat cementitious. Perbedaan utama dari kedua fly ash
tersebut terdapat pada banyaknya kadar oksida kalsium, silika, aluminium dan besi.
2.2. Bottom Ash
Bottom ash atau abu dasar juga merupakan hasil pembakaran batu bara yang memiliki uuran lebih besar
dan lebih berat dari partikel fly ash dan memiliki tekstur yang menyerupai pasir. Bentuk bottom ash
yang kasar dan besar menjadi salah satu kelemahan pada bottom ash yang dapat mengurangi workability
pada beton. Selain itu bottom ash juga mempunyai sifat menyerap banyak air yang meningkatkan
kebutuhan water content pada campuran beton, sehingga membuat kualitas beton berkurang. Bentuk
bottom ash yang menyerupai pasir dapat dimanfaatkan sebagai pengganti agregat. Penggunaan bottom
ash sebagai pengganti pasir dalam pembuatan beton dapat memberi dampak yang menguntungkan
dalam segi ekonomi (Singh & Siddique, 2015).
2.3. Sulphate Resistance
Lingkungan laut tergolong ekstrim karena air laut memiliki kandungan seperti klorida dan sulfat. Beton
yang terpapar langsung pada lingkungan laut dalam waktu cukup lama rentan terserang sulfat. Sulfat
yang terdapat dalam air laut ini sebagian besar merupakan sodium sulfat (Na2SO4) ataupun magnesium
sulfat (MgSO4). Kandungan ini dapat merusak beton dan menurunkan daya tahan beton karena
munculnya reaksi ion sulfat dengan kalsium hidroksida dan kalsium aluminat yang ada di dalam beton.
Sulphate attack dapat menyebabkan berbagai kerusakan, tetapi yang paling umum yaitu keretakan yang
parah, ekspansi, dan hilangnya ikatan antara pasta semen dan agregat (Neville, 1995).

3. RANCANGAN PENELITIAN
3.1. Material dan Peralatan yang Digunakan
Pada penelitian ini digunakan semen Gresik, fly ash dan bottom ash dari PLTU Suralaya,
superplasticizer, dan air. Ukuran bottom ash yang digunakan diklasifikasikan menjadi 3 yaitu 5 mm,
2.36 mm dan lebih halus dari 2.36 mm. Superplasticizer yang digunakan adalah Viscocrete 1003 tipe
polycarboxylate dari Sika. Untuk pengujian durabilitas beton, digunakan sodium sulfat (Na2SO4).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ayakan, timbangan, oven, mixer,
bekisting, vibrator, Universal Testing Machine, pH meter, dan flow table, dan alat slump.

178
3.2. Mix Design
3.2.1 Mix Design Mortar
Sebelum pembuatan sampel mortar, dilakukan pengujian kepadatan terhadap bottom ash. Kepadatan
tertinggi yang didapatkan digunakan untuk semua sampel mortar. Terdapat dua jenis mix design yang
digunakan, yaitu mix design mortar dengan menggunakan 100% bottom ash sebagai agregat halus
(Tabel 1) dan mortar dengan variasi persentase penggunaan bottom ash (Tabel 2).
Tabel 1. Komposisi Campuran Mortar 100% Bottom Ash
Semen FlyAsh Bottom Ash SP
Kode w/cm
(kg/m3) (kg/m3) (kg/m3) (%)
MBA(FA40)2 480 320 1600 0.45 -
MBA(FA50)2 400 1600 0.4 0.5
MBA(FA54)1,75.1 0.4 0.5
MBA(FA54)1,75.2 0.35 0.4
400
MBA(FA54)1,75.3 472.8 1527.2 0.35 0.3
MBA(FA54)1,75.4 0.3 0.4
MBA(FA54)1,75.5 0.3 0.3
Tabel 2. Komposisi Campuran Mortar dengan Variasi Persentase Penggunaan Bottom Ash
Semen Fly Ash Pasir Bottom Ash SP
Kode w/cm
(kg/m3) (kg/m3) (kg/m3) (kg/m3) (%)
MBA100 - 1527.2 0.4
MBA80 305.44 1221.76 0.2
400 472.8 0.35
MBA50 763.6 763.6 0.1
MCTRL 1527.2 - -

3.2.2 Mix Design Beton


Sebelum pembuatan sampel beton, dilakukan pula pengujian kepadatan dari agregat yang digunakan,
yaitu batu pecah dan bottom ash. Pembuatan sampel beton dilakukan dalam dua tahap, pada tahap
pertama (Tabel 3) dibuat sampel beton dengan variasi w/cm untuk mendapatkan kuat tekan dan
workability paling maksimal. Setelah didapatkan mix design yang menghasilkan kuat tekan dan
workability terbaik, dilakukan pembuatan sampel beton tahap 2 (Tabel 4), dimana pada tahap 2 terdapat
lima jenis campuran berbeda yang kemudian digunakan pada pengujian durabilitas beton di lingkungan
sulfat. Untuk setiap komposisi campuran dibuat benda uji dengan ukuran diameter 10 cm dan tinggi 20
cm.
Tabel 3. Komposisi Campuran Beton dengan Variasi w/cm
Semen FlyAsh Batu Pecah Bottom Ash
Kode w/cm SP (%)
(kg/m3) (kg/m3) (kg/m3) (kg/m3)
CBA (FA40)0.4 250 167 1100 733.33 0.4 0.3
CBA(FA40)0.3 250 167 1100 733.33 0.3 0.3
CBA(FA40)0.25 250 167 1100 733.33 0.25 0.7
Tabel 4. Komposisi Campuran Beton di Lingkungan Sulfat
Semen Fly Ash Batu Pecah Bottom Ash Pasir SP
Kode w/cm
(kg/m3) (kg/m3) (kg/m3) (kg/m3) (kg/m3) (%)
CBA100 733.33 -
CBA80 586.664 146.666 0.3
250 166.67
CBA50 1100 366.665 366.665 0.3
CCTRLFA - 0.4
733.33
CCTRL 416.67 - - 0.5

179
3.3. Pengujian Durabilitas Beton di Lingkungan Sulfat
Pengujian durabilitas beton terhadap lingkungan sulfat pada penelitian ini dilakukan hingga pada hari
ke 90. Pengujian dilakukan dengan cara merendam benda uji di dalam larutan natrium sulfat (Na2SO4)
dengan konsentrasi larutan 5% dan memiliki rentang PH 6.0 – 8.0 yang dilakukan sesuai dengan standar
ASTM C 1012-04. Pertama-tama bahan kimia Na2SO4 dilarutkan dengan menggunakan air dengan
mencampurkan 50 gram Na2SO4 dan 1 liter air. Secara keseluruhan dibuat larutan sebanyak 115 liter.
Perendaman dilakukan pada benda uji berumur 28 hari untuk tiap mix design. Tiap minggunya dilakukan
pengujian pH pada larutan, penimbangan berat dan juga uji visual pada semua benda uji.
4. HASIL DAN ANALISA DATA
4.1. Analisa Material
Bottom ash yang digunakan diuji berat jenis dan absorbsinya kemudian dicari kepadatan maksimum dari
beberapa variasi gradasi. Pengujian berat jenis dan absorbsi dilakukan pada masing-masing ukuran
bottom ash. Hasil uji berat jenis dan absorbsi bottom ash dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 1
Sedangkan gradasi kepadatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6 Gradasi
kepadatan yang digunakan adalah gradasi nomor 3 dengan mempertimbangkan jumlah masing-masing
ukuran bottom ash.

Tabel 5. Hasil Berat Jenis Bottom Ash

Ukuran Gs Rata-rata
5mm 1.80
2-5mm 1.92
Dasar 2.00

Gambar 1. Hasil Uji Absorbsi Bottom Ash


Tabel 6. Gradasi Kepadatan Agregat
Ukuran Persentase
No. Kombinasi BV/BJ
Bottom Ash Ukuran (%)
5mm 10
1 2-5 mm 35 0.5695
Dasar 55
5mm 10
2 2-5 mm 40 0.5811
Dasar 50
5mm 15
3 2-5 mm 40 0.6085
Dasar 45
5mm 15
4 2-5 mm 45 0.6153
Dasar 40

180
4.2. Analisa Hasil Pengujian Mortar dengan Bottom Ash sebagai Agregat Halus
Mortar yang menggunakan bottom ash sebagai agregat halus memiliki beberapa kekurangan, antara lain
kelecakan dari mortar segar yang berkurang dan kekuatan yang lebih rendah apabila dibandingkan
dengan mortar yang menggunakan pasir sebagai agregat halus. Kelecakan mortar berkurang karena
bentuk bottom ash yang tidak beraturan, sedangkan kekuatan mortar berkurang karena bottom ash
bersifat porous dan berat jenis nya yang lebih rendah dibandingkan pasir normal. Mix design mortar
yang terbaik di dapatkan dengan menggunakan fly ash sebanyak 54% sebagai pengganti semen, w/cm
sebesar 0.35 dan superplasticizer sebanyak 0.4% dari cementitious materials. Hasil uji mortar tahap 1
dapat dilihat pada Gambar 2. Sedangkan untuk pengujian mortar tahap 2 bertujuan untuk
membandingkan penggunaan bottom ash dengan pasir sebagai agregat halus. Tidak terlihat hasil yang
signifikan antara pemanfaatan 100% dengan 50% bottom ash. Hasil perbandingan ini dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 2. Hasil Uji Mortar Tahap 1

Gambar 3. Hasil Uji Mortar Tahap 2

4.3. Analisa Pengujian Beton dengan Bottom Ash sebagai Agregat Halus

Pada pengujian sampel beton, digunakan gradasi kepadatan agregat seperti pada Tabel 7. Pertama
dilakukan pengujian untuk mencari mix design beton terbaik dengan menggunakan 100% bottom ash.
Seluruh mix design beton menggunakan 40% fly ash sebagai pengganti sebagian semen. Mix design

181
beton yang terbaik diraih dengan menggunakan w/cm sebesar 0.3 dan superplasticizer sebanyak 0.3%
dari cementitious materials. Hasil pengujian kuat tekan dan flowability beton dapat dilihat pada Gambar
4. Dari pengujian ini disimpulkan bahwa beton yang menggunakan bottom ash sebagai agregat halus
tidak bisa menggunakan w/cm yang terlalu rendah. Hal ini akan menurunkan flowability beton dan
meningkatkan kebutuhan superplasticizer.

Tabel 7. Gradasi Kepadatan Agregat


Ukuran Persentase
BV/BJ
Agregat Ukuran (%)
20-25 mm 33
10-20 mm 27
5mm 6 0.6567
2-5 mm 16
>2mm 18

Gambar 4. Hasil Uji Kuat Tekan dan Flowability Beton

4.4. Analisa Pengujian Durabilitas Beton di Lingkungan Sulfat

Setelah didapatkan mix design yang paling optimal, dilakukan pengujian durabilitas beton didalam
larutan sodium sulfat dengan konsentrasi sebesar 5% setelah beton berumur 28 hari. Sedangkan sebagai
kontrol, sampel lain direndam di dalam air biasa. Pengujian ini Hasil pengujian berupa kuat tekan dapat
dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Sedangkan hasil pengamatan kehilangan berat dapat dilihat pada
Tabel 8.

Gambar 5. Hasil Uji Kuat Tekan Beton Umur 28 hari

182
Gambar 6. Perbandingan Kuat Tekan Beton dalam Sodium Sulfat dengan Air setelah 28 hari

Dari segi kekuatan dilihat bahwa sampel beton dapat mempertahankan kekuatannya dengan cukup baik
setelah perendaman 28 hari di dalam larutan sodium sulfat. Beton yang menggunakan 40% fly ash dan
100% bottm ash sebagai agregat halus mengalami penurunan kekuatan sebesar 1.63 MPa atau sebesar
5.3% dari sampel beton yang direndam dalam air biasa. Sedangkan beton dengan 40% fly ash dan tidak
menggunakan bottom ash sama sekali tidak mengalami penurunan kekuatan.
Sedangkan dari pengujian kehilangan berat beton, tidak nampak kehilangan berat yang signifikan.
Kehilangan berat yang paling besar terjadi pada sampel beton yang menggunakan 100% bottom
ash,yaitu sebesar 0.41% dari berat awal.
Tabel 8. Kehilangan Berat Setelah Perendaman selama 4 Minggu di Larutan Sodium Sulfat
No. Minggu Minggu Rata-rata
Kode
Sampel ke-0 (% ) ke-4 (% ) (% )
1 100 99.59
2 100 99.59
3 100 99.67 1 100 99.8
CBA100 99.59
4 100 99.51 2 100 99.79
5 100 99.59 3 100 99.82
CCTRLFA 99.81
6 100 99.57 4 100 99.84
1 100 99.65 5 100 99.79
2 100 99.89 6 100 99.79
3 100 99.84 1 100 99.87
CBA80 99.80
4 100 99.65 2 100 99.9
5 100 99.92 3 100 99.87
CCTRL 99.85
6 100 99.84 4 100 99.87
1 100 99.92 5 100 99.77
2 100 99.81 6 100 99.84
3 100 99.92
CBA50 99.86
4 100 99.87
5 100 99.82
6 100 99.84

183
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitan di atas dapat di lihat bahwa :
 Penggunaan bottom ash didalam campuran mortar dan beton harus memperhatikan gradasi dari
masing – masing ukuran bottom ash. Penggunaan bottom ash sebagai pengganti 100% agregat
halus menghasilkan kuat tekan maksimal sebesar 36.6 MPa dengan menggunakan fly ash
sebanyak 54% dari total cementitious material, dimana nilai ini tidak jauh berbeda dari kuat tekan
mortar dengan pasir sebagai agregat halus yaitu sebesar 42.8 MPa.
 Beton yang menggunakan bottom ash sebagai pengganti agregat halus sepenuhnya menghasilkan
kuat tekan maksimal sebesar 24.8 MPa dengan w/cm sebesar 0.3 dan SP sebanyak 0.3% dari
jumlah cementitious materials.
 Penurunan kekuatan beton yang terjadi setelah perendaman selama 28 hari di larutas sodium
sulfat memberikan indikasi awal yang cukup baik, dimana beton dengan 40% fly ash, dan 100%
bottom ash mengalami penurunan kekuatan sebesar 1.63 MPa atau sebesar 5.3%. Sedangkan
beton dengan 40% fly ash dan tidak menggunakan bottom ash sama sekali tidak mengalami
penurunan kekuatan.
 Beton yang direndam selama 28 hari di larutan sodium sulfat tidak mengalami kehilangan berat
yang berarti. Kehilangan berat terbesar terjadi pada beton yang menggunakan 40% fly ash dan
100% bottom as, yaitu sebesar 0.41% dari berat awal. Hal ini mengindikasikan ketahanan beton
yang cukup baik terhadap serangan sulfat.

6. DAFTAR REFERENSI

ASTM, C. 1012-04. (2004). Standard Test Method for Length Change of Hydraulic-Cement Mortars
Exposed to a Sulfate Solution, 3–8.
Neville, A. M. (1995). Properties of Concrete (4th Edition). Pearson Education Limited. England.
Nugraha, P., & Antoni. (2004). Teknologi Beton. (S. Suyantoro, Ed.) (Ed.I). Andi Offset: Yogyakarta.
Singh, M., & Siddique, R. (2015). Properties of Concrete Containing High Volumes of Coal Bottom
Ash as Fine Aggregate. Journal of Cleaner Production, 91, 269–278.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2014.12.026
Sulistio, A. V., Wahjudi, S., Hardjito, D., & Antoni. (2015). Penggunaan Bottom Ash Sebagai Pengganti
Agregat Halus Pada Mortar Hvfa. Jurnal Teknik Sipil, 5(2), 1–8.
Syamsuddin, R., Wicaksono, A., Sipil, J. T., Teknik, F., & Malang, U. B. (2011). Pengaruh Air Laut
Pada Perawatan ( Curing ) Beton terhadap Kuat Tekan dan Absorpsi Beton dengan Variasi Faktor
Air Semen dan Durasi Perawatan, 5(2), 68–75.
Thomas, M., Ph, D., Eng, P., Engineering, C., & Brunswick, N. (2007). Optimizing the Use of Fly Ash
in Concrete. University of New Brumswick.
Wardani, S. P. R. (2008). Pemanfaatan Limbah Batubara (Fly Ash) untuk Stabilisasi Tanah maupun
Keperluan Teknik Sipil Lainnya dalam Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Pidato Pengukuhan
Guru Besar, Universitas Dipenogoro Semarang, 1–71.

184

Anda mungkin juga menyukai