Anda di halaman 1dari 8

POTENSI UBI KAYU SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL

Masniah dan Yusuf*)


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) – NTT, Jl. Timor Raya, Km.32 Naibonat Kupang-NTT
*)
E-mail: yusufdarsa_ntt@yahoo.com

ABSTRAK
Ubi kayu merupakan pangan utama setelah padi dan jagung. Komoditas ini potensial diman-
faatkan sebagai bahan pangan fungsional karena memiliki serat pangan, daya cerna pati, dan indeks
glikemik. Kandungan serat pangan total ubi segar, tepung dan pati berturut-turut 6,9%, 13,4% dan
11,67%. Serat pangan berbentuk karbohidrat komplek sangat penting bagi kesehatan, yaitu
mencegah berbagai penyakit dan sebagai komponen penting dalam terapi gizi. Serat pangan larut
(SPL) berfungsi memperlambat kecepatan pencernaan dalam usus, memperlambat kemunculan
glukosa darah, sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh
diubah menjadi energi yang semakin sedikit. Ini dibutuhkan oleh penderita diabetes, sementara
kandungan serat pangan tidak langsung (SPTL) sangat penting untuk mencegah penyakit yang
berhubungan dengan saluran pencernaan seperti wasir, diferkulosis, kanker usus besar. Daya cerna
pati dapat berfungsi sebagai serat pangan langsung (SPL). Indeks glikemik ubi kayu dapat
mengendalikan kadar glukosa darah, dengan demikian ubi kayu merupakan sumber karbohidrat
yang sesuai bagi penderita diabetes. Ubi kayu rasa pahit dapat digunakan dalam pengobatan tumor
dan kanker. Dari berbagai fakta manfaat dalam mencegah penyakit, ubi kayu prospektif
dikembangkan sebagai pangan fungsional.
Kata kunci: potensi, ubi kayu, dan pangan fungsional.

ABSTRACT
Potential of cassava as a functional food. Cassava is a major food after rice and maize.
These commodities potentially be used as a functional food ingredient because it has dietary fiber,
starch digestibility and the glycemic index. Total dietary fiber content of fresh potatoes, flour and
starch respectively 6.9%, 13.4% and 11.67%. Dietary fiber is very important form of complex carbo-
hydrates for health, namely preventing various diseases and as an important component in nutri-
tional therapy. Soluble dietary fiber function slows down the speed of digestion in the gut, slowing
the appearance of blood glucose, so insulin is needed to transfer glucose into the body's cells are
converted into energy the less. It is needed by diabetics, while the fiber content of food indirectly are
essential to prevent diseases related to the gastrointestinal tract such as hemorrhoids, diferkulosis,
colon cancer. Starch digestibility can serve as direct food fiber. The glycemic index of cassava can
control blood glucose levels, thereby cassava is a source of carbohydrate suitable for diabetics. Bitter
cassava can be used in the treatment of tumors and cancer. From various facts benefits in preventing
disease, prospective developed cassava as a functional food.
Keywords: potency, cassava, functional food

PENDAHULUAN
Sampai saat ini ubi kayu masih digunakan sebagai bahan makanan pokok oleh
sebagian masyarakat yang kurang mampu, sedangkan masyarakat golongan menengah ke
atas umumnya mengkonsumsi ubi kayu dalam bentuk berbagai jenis makanan tradisional.
Produk olahan ubi kayu masih terbatas dalam bentuk makanan tradisional seperti ubi
rebus, ubi goreng, kolak, getuk, kripik, dan tape.

580 Masniah dan Yusuf: Potensi ubi kayu sebagai pangan fungsional
Upaya peningkatan diversifikasi pangan yang merupakan program prioritas Kemen-
terian Pertanian sesuai dengan PP Nomor 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganeka-
ragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumberdaya lokal. Tingkat ketergantungan
yang tinggi terhadap beras dan terigu perlu dikurangi secara bertahap dengan mening-
katkan konsumsi dan produksi bahan pangan lokal, termasuk ubi kayu. Konsumsi ideal
umbi-umbian ditetapkan sebesar 100 g/kapita/hari dalam Pola Pangan Harapan (PPH)
penduduk Indonesia tahun 2009 (Pambudi 2010) dalam (Ginting dkk. 2011).
Peningkatan konsumsi ubi kayu melalui promosi ubi kayu sebagai sumber karbohidrat
alternatif memerlukan kerja keras. Hal ini berkaitan dengan citra ubi kayu yang sering di-
kaitkan dengan makanan masyarakat miskin. Sebagian besar masyarakat yang mempro-
duksi ubi kayu sebagai makanan pokok umumnya berpenghasilan rendah. Terkait dengan
diversfikasi pangan maka pandangan bahwa ubi kayu identik dengan kemelaratan perlu
dikemas melalui promosi tentang keunggulan ubi kayu seperti: (1) bergizi mikro
proporsional sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004; (2) kadar serat pangan tinggi;
(3) termasuk kelompok Mesistent Strarch -2 (RS-2) daya cerna pati tinggi yang dapt
berfungsi sebagai probiotik di dalam organ pencernaan bila dikonsumsi; dan (4) dapat
diolah menjadi produk cepat olah, cepat saji, dan siap santap. Dalam hal ini,
pengembangan ubi kayu menjadi produk yang menarik, alamiah, higienis, bergizi, sedap,
menyenangkan seperti kue basah dan kering, mie instan, tiwul instan, gori, kharina, dan
kue tradisional memegang peranan penting (Yunarti et al. 2004, Oyewale dan
Asagbrayemisi 2003, Tanikuri 2004) dalam (Munarso dan Miskiyah 2009).
Varietas unggul ubi kayu yang sesuai untuk pangan dan bahan baku industri memiliki
karakter: (1) kadar pati tinggi; (2) potensi hasil tinggi; (3) tahan cekaman biotik dan
abiotik; (4) fleksibel dalam usahatani dan umur panen. Dari 16 varietas unggul yang telah
dilepas oleh Departemen Pertanian hingga saat ini, Adira-1, Adira-4, Malang-4, Malang-6,
Uj-3 dan Uj-5 memiliki karakter yang sesuai dengan kriteria tersebut. Selain varietas
unggul tersebut, tersedia galur harapan yang cukup berdasarkan indikator hasil tinggi,
toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik, kadar pati tinggi, umur panen sama atau
lebih dan di senangi petani (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk bahan baku bioetanol.
Umur Kadar Tingkat Ketahanan Terhadap
Varietas/Galur Hasil (t/ha)
(bulan) Pati (%) Xm Xs2) Tb3)
Varietas
Adira-1 7 25-35 28-35 T T M
Adira-4 8 25-50 25-30 T T T
Malang-4 9 35-45 25-32 T M M
Malang-6 9 36,4 25-32 M T M
UJ-3 8 30-40 25-30 M T M
Uj-5 9 25-38 20-30 M T M
Galur harapan
CMM99008-3 8 25-35 28-35 M M M
CMM99008-4 8 30-40 26-32 M M M
CMM990-23-12 9 35-45 25-30 M M M
CMM2361-66-255 9 30-40 25-32 M M M
Umur kadar pati mulai optimal; 2) X. manihotis dan X. solanacearum; 3) T. Bimaculatus. Ketahanan: T=tahan; M=agak tahan.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 581
Varietas Adira-4 telah meluas pengembangannya di beberapa sentra produksi ubi
kayu. Di Kediri Jawa Timur, hasil Adira-4 berkisar antara 26–34 t/ha. Selain berdaya haisl
dan berkadar pati tinggi, Adira-4 umumnya lebih genjah, tahan terhadap penyakit layu
yang merupakan penyakit penting ubi kayu, dan sesuai dikembangkan dalam pola tum-
pangsari. Varietas Adira-4 dengan sifat utama rasa enak dan warna daging ubi kuning
telah berkembang pula di daerah pertanian sekitar perkotaan, baik untuk konsumsi olah
langsung maupun setelah melalui proses fermentasi menjadi tape. Varietas Malang-6 agak
tahan terhadap hama tungau merah, UJ-3 dan UJ-5 tahan terhadap bakteri hamai daun.
Varietas tersebut berkadar pati tinggi dan adaptif pada tanah ultisol, sehingga berkembang
di sekitar daerah industri tapioka di Lampung. Sifat penting lainnya dari keempat varietas
unggul ini adalah: (1) daun tidak cepat gugur; (2) adaptif pada ber-PH tinggi dan rendah;
(3) adaptif pada kondisi populasi tinggi sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma;
(4) dapat dikembangkan dalam pola tumpangsari (Wargiono dkk. 2009).
Ubi kayu umumnya diperdagangkan dalam bentuk segar dan pemanfaatannya terbatas
untuk konsumsi langsung (dikukus/digoreng) dan pengolahan keripik, getuk dan tape.
Peluang untuk memperluas pemanfaatannya menjadi beragam produk pangan yang citra
dan citarasanya baik cukup terbuka, dengan telah ditemukannya teknologi pembuatan
tepung mocaf. Varietas unggul ubi kayu dengan kadar pati tinggi sangat sesuai untuk
bahan baku bioetanol (Tabel 1). Makalah ini membahas potensi ubi kayu sebagai pangan
fungsional.

KANDUNGAN GIZI DAN FUNGSIONAL UBI KAYU


Ubi kayu merupakan sumber karbohidrat, sebagian besar digunakan sebagai bahan
pangan (langsung atau melalui proses pengolahan), pakan dan bahan baku berbagai
industri. Hingga tahun 2009, hasil ubi kayu rata-rata nasional baru sekitar 19 t/ha (BPS
2009), masih jauh dari potensi hasil beberapa varietas unggul ubi kayu yang dapat
mencapai 40-50 t/ha (Nasir Saleh 2012).
Keunggulan ubi kayu sebagai pangan fungsional dapat dilihat dari : (1) kadar gizi
makro (kecuali protein) dan mikro tinggi, sehingga jumlah penderita anemia dan keku-
rangan vitamin A dan C di tengah masyarakat yang pangan pokoknya ubi kayu relative
sedikit; (2) daun mudanya sebagai bahan sayuran berkadar gizi mikro paling tinggi dan
lebih proporsional dibandingkan dengan bahan sayuran lainnya; (3) kadar glikemik dalam
darah rendah; 4) kadar serat pangan larut tinggi; (5) dalam usus dan lambung berpotensi
menjadi probiotik, dan (6) secara agronomi mampu beradaptasi terhadap lingkungan
marginal sehingga merupakan sumber kalori potensial di wilayah yang didominasi oleh
lahan marjinal dan iklim kering. Kelemahan ubi kayu adalah : (1) kadar protein ubi rendah
namun dapat dikonpensasi dengan penggunaan daun muda sebagai sayuran, (2) proses
pengolahan menjadi produk siap olah dan siap saji tidak secepat padi dan (3) termasuk
pangan inferior berkonotasi strata sosial rendah.
Perhatian masyarakat terhadap ubi kayu meningkat terutama berkaitan dengan poten-
sinya sebagai pangan fungsional yang memberi dampak positif terhadap kesehatan.
Bahan pangan dan produk olahan ubikayu sebagai sumber energi dan zat gizi, terdapat
komponen atau sifat tertentu yang mempunyai efek fisiologis atau sifat fungsional dan
berpengaruh terhadap kesehatan. Keunggulan sifat fungsional ubi kayu sebagai sumber
Karbohidrat terletak pada serat pangan, daya cerna pati dan indeks glikemik (Widowati
dan Wargiono 2009).

582 Masniah dan Yusuf: Potensi ubi kayu sebagai pangan fungsional
Pangan fungsional adalah bahan pangan yang mengandung komponen bioaktif yang
memberikan efek fisiologis multi fungsi bagi tubuh, antra lain memperkuat daya tahan
tubuh, mengatur ritme kondisi fisik, memperlambat penuaan dan membantu mencegah
penyakit. Komponen bioaktif tersebut adalah senyawa yang mempunyai fungsi fisiologis
tertentu di luar zat gizi dasar. Serat termasuk non gizi yang ampuh memerangi kanker serta
menjadi kolesterol dan gula darah agar tetap normal (Suarni dan Yasin 2011).
Aneka umbi sebenarnya merupakan sumber pangan yang menyehatkan, oleh karena
itu informasi tentang gizi dan sifat fungsional ubi kayu perlu dipahami masyarakat. Sifat
fungsional ubi kayu sebagai sumber karbohidrat terletak pada kandungan serat pangan,
daya cerna pati, dan indeks glikemik.

Serat Pangan
Serat pangan berbentuk karbohidrat kompleks dan banyak terdapat di dinding sel tum-
buhan. Serat pangan tidak dapat di cerna dan diserap oleh saluran pencernaan manusia
tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan yaitu mencegah
berbagai penyakit dan sebagai komponen penting dalam terapi gizi. Komponen tersebut
meliputi poli sakarida yang tidak dapat dicerna, seperti selulosa, hemiselulosa, oligosa-
korida, pectin, guan, dan waxes (Sardessal 2003, Astawan dan Wresdiyati 2004 dalam
Widowati dan Wargiono 2009). Serat pangan terdiri atas serat pangan larut (SPL) dan
serat pangan tidak larut (SPTL).

Tabel 2. Daya cerna pati in vitro dan serat pangan ubi kayu, ubi jalar dan beras
Daya cerna Serat pangan (%)
Komoditas/produk
pati (%) Larut Tidak larut Total
Ubikayu segar 62,09 2,45 4,52 6,97
Tepung cassava 61,41 4,15 9,26 13,41
Tapioka (pati ubikayu) 68,52 6,92 4,75 11,67
Ubi jalar segar 54,89 2,84 5,12 7,96
Tepung ubi jalar 50,44 3,25 8,21 11,46
Pati ubi jalar 59,27 5,27 4,24 9,51
Beras giling*) 62,31-78,02 0,86-3,12 1,97-4,97 4,07-6,62
Sumber : (Widowati dan Herawati, 2007; Widowati et al., 2007 dalam Widowati dan Wargiono, 2009). Rasbi
kasava : dibuat dari 70% tepung kasava dan 30% tapioka
Rasbi ubijalar : dibuat dari 80% tepung ubijalar dan 20% pati ubijalar.
Analisis pada 10 varietas beras.

Kadar serat pangan ubi kayu dan ubi jalar lebih tinggi dibandingkan dengan beras
(Tabel 2). Kandungan serat pangan total ubi segar, tepung dan pati berturut-turut adalah
6,97%, 13,41% dan11,67% (Widowati et al. 2007, Riccardi et al. 1991 dalam Widowati
dan Wargiono 2009). Sepuluh varietas beras yang diteliti mempunyai serat pangan total
berkisar antara 4,07-6,62%. Dengan demikian, aneka umbi terbukti merupakan pangan
sumber karbohidrat yang kaya akan serat pangan dan secara fungsional lebih baik dari
beras (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan adanya peluang bagi program pengolahan
produk siap olah dalam bentuk beras dan ubi (Rasbi), yaitu Rasbi dari ubi kayu dengan
komposisi 70% tepung kasava + 30% tapioka dan Rasbi dari ubi jalar dengan komposisi
80% tepung ubi jalar + 20% pati ubi jalar.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 583
Fungsi SPL terutama adalah memperlambat kecepatan pencernaan didalam usus,
memberikan rasa kenyang yang lebih lama, dan memperlambat kemunculan glukosa
darah, sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh
dan diubah menjadi energi semakin sedikit. Fungsi tersebut sangat dibutuhkan oleh
penderita diabetes (Eckel 2003 dalam Widowati dan Wargiono 2009; Astawan dan
Wresdiyati 2004, dalam Widiowati dan Wargiono 2009). Kandungan SPL pada ubikayu
segar, tepung dan pati berturut-turut yaitu 2,45%, 4,15%, dan 6,92% dan pada ubijalar
2,84%, 3,15%, dan 5,27%, sedangkan pada bers berkisar antara 0,86-3,12%.
Fungsi utama SPTL adalah mencegah timbulnya berbagai penyakit, terutama yang
berhubungan dengan saluran pencernaan, antara lain wasir, divertikulosis, dan kanker
usus besar (Astawan dan Wresdiyati 2004 dalam Widiowati dan Wargiono 2009).
Kandungan SPTL pada ubi segar, tepung dan pati ubikayu berturut-turut 4,52%, 9,26%,
dan 4,75%, pada ubijalar 5,1%, 8,21% dan 4,24%, sedangkan pada beras 1,97-4,97%.
Proses pengolahan berpengaruh terhadap kandungan serat. Dalam bentuk tepung, kadar
serat pangan total lebih tinggi dibanding bentuk pati karena proses pati, menghasilkan
ampas padat (disebut onggok). Kadar SPL pati lebih tinggi dibanding tepung, karena
dalam pembuatan pati sebagian besar SPTL terbuang dalam bentuk onggok. Dengan
demikian penggunaan tepung kasava sebagai pangan pokok lebih baik dari padi (beras)
sehingga konsumennya akan lebih sehat.

Daya Cerna Pati


Daya cerna pati merupakan kemampuan pati untuk dapat dicerna dan diserap oleh
tubuh. Daya cerna pati dianalisis secara in vitro. Kandungan pati dan komposisi amilosa/
amilopektin berpengaruh terhadap daya cerna pati dari produk pangan sumber karbo-
hidrat. Para ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan
dengan amilopektin (Miller et. al. 1992 dalam Widiowati dan Wargiono 2009), karena
amilosa merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai lurus. Rantai yang lurus ini
menyusun ikatan amilosa yang solid sehingga tidak mudah tergelatinasi. Oleh karena itu,
amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan amilopektin yang merupakan polimer
gula sederhana, bercabang, dan mempunyai struktur terbuka.
Tabel 3 menunjukkan daya cerna pati in vitro aneka umbi relative lebih rendah diban-
dingkan dengan beras giling (Widowati et. al. 2007 dalam Widiowati dan Wargiono 2009).
Daya cerna pati in vitro pada ubi segar, tepung dan pati ubikayu berturut-turut 62,09%,
61,41% dan 68,52% dan pada ubijalar 54,89%, 50,44%, dan 59,27%, sedangkan pada
beras berkisar antara 62,31-78,02%. Dengan demikian tapioka dapat berfungsi seperti
SPL yang tinggi.

Indeks Glikemik
Salah satu konsep pengobatan diabetes dari sisi pola makan adalah mengganti sumber
karbohidrat pada menu makan dari beras ke aneka umbi, di antaranya ubi kayu. Ubi kayu
dan aneka umbi dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Dengan demikian, aneka
umbi merupakan komoditas sumber karbohidrat yang sesuai bagi penderita diabetes
karena kadar glukosa darah relative tetap rendah. Kadar glukosa dapat diukur dengan
indeks glikemik (IG).
Pengertian IG adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa
darah. Jenis pangan yang mempunyai IG tinggi, bila dikonsumsi akan meningkatkan

584 Masniah dan Yusuf: Potensi ubi kayu sebagai pangan fungsional
kadar glukosa darah dengan cepat dan sebaliknya untuk pangan dengan IG rendah. IG
pangan dikategorikan menjadi tiga, yaitu IG rendah (<50), sedang (50-70), dan tinggi
(>70). Sebagai acuan adalah glukosa (IG=100) (Jenkins et al. 1981, Rimbawan dan
Siagian 2004 dalam Widiowati dan Wargiono 2009).
Dalam pengaturan diet untuk menjaga kesehatan, pengetahuan tentang IG perlu
dilengkapi dengan kadar karbohidrat dari jenis pangan, sehingga bisa dihitung beban gli-
kemiknya. Untuk mengetahui kondisi riil dalam menu makan, maka pemahaman tentang
IG perlu dipadukan dengan beban glikemik (BG). BG merupakan IG dikalikan dengan
kandungan karbohidrat pangan tersebut, sehingga BG lebih mencerminkan kondisi riil dari
pangan yang dikonsumsi (Tabel 3).

Tabel 3. Indeks glikemik beberapa pangan sumber karbohidrat


Kadar
Indeks Ukuran Beban
Jenis Pangan karbohidrat
glikemik saji (gr) glikemik
(g/ukuran saji)
1 Jagung manis (Kanada) 59 150 33 20
2 Beras putih (India) 69 150 43 30
3 Beras Basmati putih 58 150 38 22
4 Parboiled rice, amilosa 12%; Bangladesh, var.BR2 51 150 38 19
5 Ketan, amilosa 0-2%; Australia 88 150 43 38
6 Beras putih instan, ditanak 6 menit; Australia 87 150 42 36
7 Beras Jasmin, ditanak dalam rice cooker; Thailand 109 150 42 46
8 Kenang panggang 73-97 150 30 22-29
9 Ubijalara) 54-68 150 28 15-19
10 Ubikayu rebusa) (New Zealand) 29-45 150 36 Okt-16
11 Tapioka kukus 1 jam (India) 70 150 18 12
12 Tapioka rebus dengan susu (Canada) 81 150 18 14
13 Ubikayua) rebus (Kenya) 46 150 27 12
14 Gari, adonan ubikayu panggang (Ghana) 56 150 27 15
15 Beras, amilosa tinggi, masak rice cooker 48-86 150 38-48 20-42
16 Beras, amilosa rendah, masak rice cooker 91-105 150 40-49 36-51
17 Ubijalar goreng **a) 47 150 28 14
18 Ubijalar rebus**a) 62 150 32 20
19 Ubijalar panggang**a) 80 150 29 24
Sumber: (*Widowati et al. 2007; **Astawan dan Widowati 2005 dalam Widiowati dan Wargiono 2009); a) Ubi segar

Varietas Unggul Ubi Kayu


Varietas unggul ubi kayu yang sesuai untuk pangan dan bahan bakar industri
(Wargiono dkk. 2009), adalah: (1) kadar pati tinggi, (2) potensi hasil tinggi, (3) tahan ceka-
man biotik dan abiotik, (4) fleksibel dalam usahatani dan umur panen. Dari 16 varietas
unggul ubi kayu yang telah dilepas oleh Departemen Pertanian hingga saat ini, Aderia-1,
Aderia-4; Malang-4, Malang-6, UJ-3 dan UJ-5 memiliki karakter yang sesuai dengan
kriteria tersebut.
Sedangkan menurut (Subandi dkk. 2006) pembentukan atau pelepasan varietas unggul
ubi kayu di Indonesia adalah tertinggal atau lambat, sebab selama ini komoditas ubi kayu
belum memperoleh prioritas, juga karena umur panennya panjang (8-10 bulan). Sejak
tahun 1978 hingga sekarang baru 10 varietas unggul yang dilepas seperti pada (Tabel 4).

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 585
Tabel 4. Varietas unggul ubi kayu yang lepas di Indonesia sejak tahun 1978.
Hasil (ton/ha)a) Kadar HCN Kadar pati
No. Varietas Rasa
(ppm) (%)
1. Adira-1 22,0 b) Tidak pahit 27,5 0
2. Adira-2 22,0 b) Agak pahit 124,5 0
3. Adira-4 35,0 b) Agak pahit 68,0 18,0-22,0
4. Malang-1 48,7 c) Tidak pahit <40,0 0
5. Malang-2 42,0 c) Tidak pahit <40,0 0
6. Darul Hidayah 102,1 c) Tidak pahit <40,0 25,0-31,5
7. UJ-3 35,0 c) Pahit 0 20,0-7,0
8. UJ-5 38,0 c) Pahit 0 19,0-30,0
9. Malang-4 39,7 b) Pahit >100,0 25,0-32,0
10. Malang-6 36,4 b) Pahit >100,0 25,0-32,0
Hasil dalam bentuk umbi segar, b) Hasil rata-rata dari uji multilokasi, c) Hasil tertinggi pada uji multilokasi
Sumber: (Suhartini 2005 dalam Subandi dkk. 2006)

Walaupun ketersediaan varietas unggul ubi kayu dinilai sudah cukup memadai, usaha
untuk memperoleh varietas baru yang lebih unggul dari segi potensi hasil dan karakternya
tetap terus dilakukan guna memenuhi kebutuhan yang selalu berkembang.

Produk Olahan
Penganekaragaman produk olahan ubi kayu dapat dilakukan pada bahan segar yang
selanjutnya dapat langsung dipasarkan maupun perlu diolah menjadi produk akhir berupa
makanan siap santap.

PROSPEK PEMANFAATAN UBI KAYU SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL


Pengembangan pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan pangan fungsional sangat
prospektif ditinjau dari ketersediaan bahan baku. Hal ini disebabkan oleh karena ubi kayu
yang kadar patinya tinggi (Tabel 1) selain dapat digunakan untuk industri bioetanol dapat
juga untuk diversifikasi pengolahan pangan berbasis ubi kayu seperti tepung mocaf. Infor-
masi mengenai bahan pembuatan tepung bisa dari varietas apa saja dan teknologi pengo-
lahannya yang sederhana juga telah tersedia, sehingga relatif mudah diterapkan, baik oleh
industri skala kecil/rumah tangga maupun industri skala besar. Hal ini membuka peluang
usaha bagi produsen produk olahan ubi kayu segar maupun produk antara (tepung).
Selain untuk produk olahan, ubi kayu juga sebagai bahan baku industri, kosmetika,
pakan seila bahan energi. Sebagai bahan baku industri, ubi kayu dapat diolah menjadi
tapioka, sirup glukosa, High Fructose Syirup (HFS), Citrik Acid, Monosodium Glutamate,
bahan perekat polywood, maltosa, sorbitol, etanol dan lain sebagainya (Sondah 2006).
Untuk itu diperlukan ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan. Perlu dilakukan
penanganan pasca panen yang tepat untuk mempertahankan mutu fisik dan mutu kimia
umbi sebelum diolah menjadi beragam produk.
Untuk menghasilkan mie mutu baik dapat digunakan tepung mocaf hingga 15% untuk
mensubstitusi tepung terigu. Sementara untuk menghasilkan mie kualitas mudah, tepung
terigu dapat disubstitusi dengan tepung Mocaf hingga 25%. Tepung mocaf juga dapat
digunakan 100% sebagai bahan membuat kue kering. Pengembangan produk olahan ubi
kayu juga akan memacu peningkatan produksi ubi kayu karena meningkatnya kebutuhan
bahan baku. Hal ini sejalan dengan program peningkatan diversifikasi pangan yang

586 Masniah dan Yusuf: Potensi ubi kayu sebagai pangan fungsional
dicanangkan Kementerian Pertanian dan PP Nomor 22 tahun 2009 tentang Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, sehingga perlu
didukung pelaksanaannya.
Untuk itu, dalam mendukung pengembangan ubi kayu sebagai salah satu pangan
fungsional, berbagai produk pangan berbasis ubi kayu perlu diperkaya dengan informasi
dari aspek gizi seperti Indek Glikemik (Tabel 3), dan daya cerna.

KESIMPULAN
1. Provinsi NTT dengan sistem usahatani lahan kering memiliki kesesuaian lahan untuk
pengembangan ubi kayu. Potensi ubi kayu sebagai pangan fungsional dapat dilihat
dari keunggulannya antara lain: kadar gizi makro dan mikro tinggi, daun muda sebagai
bahan sayuran, kadar glikemik rendah, kadar serat pangan larut tinggi, secara agro-
nomi mampu beradaptasi dengan lingkungan marjinal dan iklim kering.
2. Pengembangan pemanfaatan ubi kayu sangat prospektif karena memiliki kadar pati
tinggi juga untuk diversifikasi pengolahan pangan seperti tepung mocaf. Selain untuk
produk olahan dapat pula sebagai bahan baku industry, kosmetika, pakan ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2003. Petunjuk Teknis Racikan Teknologi Pertanian BPTP Jawa Timur.
. 2011. Peluang Pengembangan Tepung Mocaf. http:/mocaf-Infonesia.com/ diakses 9 Mei 2011.
Astawan dan Wesdiyati. 2004. Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan 2009. Badan Litbang Pertanian.
BPS. 2009. Statistik Indonesia 2009. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Dwidjono, H. Purwanto. 1998. Aspek Ekonomi Teknologi Budidaya Ketela Pohon.
Ernawati Ra., 2010 Kajian Budidaya Ubi Kayu (Namiht Esculata Crantz) Sambung di Lampung Selatan.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2010. 13(2). Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementrian Pertanian.
Ginting, E., Joko S., Utomo, Rahmi Yulifianti, dan M. Jusuf, 2011. Potensi Ubi Jalar Ungu sebagai Pangan
Fungsional. IPTEK Tanaman Pangan. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
Jenklus, Rimbawan dan Siagian, 1981. Nilai Gizi dan Sifat Fungsional Ubi Kayu. Inovasi Teknologi dan
Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu. Badan Litbang Pertanian.
Munarso, S. dan Miskiyah, 2009. Diversifikasi Pangan dan Gizi. Ubi kayu. Inovasi Teknologi dan
Kebijakan Pengembangan. Badan Litbangtan.
Nasir Saleh. 2012. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu Pada Ubi Kayu. IPTEK PERTANIAN Seri 1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian.
Sondah, S. 2006. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Ubi Kayu untuk Agroindustri. Prospek Strategi,
dan Teknologi Pengembangan Ubi Kayu untuk Agroindustri dan Ketahanan Pangan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Suarmi dan M. Yasin. 2011. Jagung sebagai Sumber Pangan Fungsional. IPTEK Tanaman Pangan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Subandi, Y. Widodo, Nasir Saleh dan Lawu Joko Santoso. 2006. Inovasi Teknologi Produksi Ubi Kayu
untuk Agroindustri dan Ketahanan Pangan. Prospek Strategi dan Teknologi Pengembangan Ubi
Kayu Untuk Agroindustri dan Ketahanan Pangan. Puslitbangtan.
Wargiono,J., B. Santoso, dan Kartika 2009. Dinamika Budidaya Ubi Kayu. Ubi Kayu Inovasi Teknologi
dan Kebijakan Pengembangan. Puslitbangtan. 2009.
Widowati S, dan J. Wargiono, 2009. Nilai Gizi dan Sifat Fungsional Ubi Kayu Inovasi Teknologi dan
Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu. Badan Litbang. 2009.
Wylis, R. A. dan Robert Asnawi. 2010. Analisis Mutu dan Nilai Tambah Tepung Kasava dari Beberapa
Varietas Ubi Kayu. J Pengkajian dan Pengembangan Pertanian 13(3). Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian
Pertanian.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 587

Anda mungkin juga menyukai