Disusun oleh:
Kelompok 6
1. Devina Eka Tristi NIM: 106117040
2. Popon Suryani NIM: 106117050
3. Jesicca Indras Prastika NIM: 106117057
4. Sindih Fitriani NIM: 106117063
5. Wahyu Anggit Pangesti NIM: 106117064
B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan
memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-
sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz
dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV
(Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).
Ada tiga risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya,
semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang
persalinan dan masa menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel
CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah
karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu
berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi,
sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya
mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat
gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan
risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
kadar HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV
pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada
payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
2. Faktor bayi.
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi
ASI.
3. Faktor tindakan obstetrik.
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat
persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa
menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu,
bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah
sebagai berikut.
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih
besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria
memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan
darah/ lendir ibu semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah
kurang dari empat jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
Tabel 3 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.
Faktor Ibu Faktor Bayi Faktor Obstretik
1. Kadar 1. Prematuritas 1. Jenis
HIV/viral load dan berat lahir persalinan.
dalam darah. rendah. 2. Lama
2. Kadar CD4. 2. Lama persalinan.
3. Status gizi menyusu, bila 3. Ketuban pecah
selama tanpa dini.
kehamilan. pengobatan. 4. Tindakan
4. Penyakit 3. Luka pada episiotomi,
infeksi selama mulut bayi, jika ekstrasi
kehamilan bayi menyusu. vakum dan
5. Masalah forsep.
payudara, jika
menyusui.
C. Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong
dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi
HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,
meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis
melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel yang
terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau disfungsi
precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat
menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi
pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat
berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat
membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi
memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel
glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling
konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak
organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan
oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada
replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun
sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-
bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral
lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan
fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan dengan peningkatan
replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4
yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “
priode inkubasi “ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih
singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini,
gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi
sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal
diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia
3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan
produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen
sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada
infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan
mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan
infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan
AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal.
Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang
berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat
menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak
dengan HIV-positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun
pertama kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala
atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Disebut Tersangka HIV apabila ditemukan gejala berikut, yang tidak
lazim ditemukan pada anak dengan HIV-negatif.
Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV
Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥ 14 hari
Diare Persisten: berlangsung ≥ 14 hari
Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya
pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan
pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka
HIV terutama pada bayi berumur < 6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh.
Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif
Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan hal berikut ini: pneumocystis
pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau
sarkoma Kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV. Fistula
rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi jarang.
E. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai
oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala
yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik
sternum (nyeri retrosternal).
2. Neurologik
Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan
yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor,
inkontinensia, dan kematian.
Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala,
malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-
kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
3. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui
untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari
BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis,
dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat
menjelaskan gejala ini.
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-
gatal dan diare.
4. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-
batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi
oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa
terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan
herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak
integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai
oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai
ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta
wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik
seperti ekzema dan psoriasis.
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan.
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV.
Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan
latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak,
bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah
dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain
reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes
antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western
blot)
b. Western blot (positif)
c. P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
d. Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut
mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan
kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
b. CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen)
c. Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
d. Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan
berlanjutnya penyakit).
e. Kadar immunoglobulin (meningkat)
9. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak
dengan HIV antara lain:
1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret
sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,
adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Pedoman HIV pada Anak