Anda di halaman 1dari 16

Konsep Penyakit HIV AIDS Kronis Pada Bayi Baru Lahir

Untuk memenuhi tugas HIV AIDS Kronis


Dosen:

Disusun oleh:
Kelompok 6
1. Devina Eka Tristi NIM: 106117040
2. Popon Suryani NIM: 106117050
3. Jesicca Indras Prastika NIM: 106117057
4. Sindih Fitriani NIM: 106117063
5. Wahyu Anggit Pangesti NIM: 106117064

STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP


D3 KEPERAWATAN 3B
2019/2020
HIV
A. Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang
spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem
kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi,
sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS. AIDS (Acquired immunodeficiency
syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan
tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus
(HIV). (Mansjoer, 2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system kekebalan
alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel
limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000). AIDS adalah penyakit yang berat yang
ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau
penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan
medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601).
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan kekebalan yang
dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus
tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI, 1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi
seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak
diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV
menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara
penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid
progressor, berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan
iii) slow progressor, lebih dari 15 tahun.

B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan
memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-
sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz
dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV
(Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).
Ada tiga risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya,
semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang
persalinan dan masa menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel
CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah
karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu
berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi,
sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya
mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat
gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan
risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
kadar HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV
pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada
payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.

2. Faktor bayi.
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi
ASI.
3. Faktor tindakan obstetrik.
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat
persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa
menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu,
bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah
sebagai berikut.
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih
besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria
memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan
darah/ lendir ibu semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah
kurang dari empat jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
Tabel 3 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.
Faktor Ibu Faktor Bayi Faktor Obstretik
1. Kadar 1. Prematuritas 1. Jenis
HIV/viral load dan berat lahir persalinan.
dalam darah. rendah. 2. Lama
2. Kadar CD4. 2. Lama persalinan.
3. Status gizi menyusu, bila 3. Ketuban pecah
selama tanpa dini.
kehamilan. pengobatan. 4. Tindakan
4. Penyakit 3. Luka pada episiotomi,
infeksi selama mulut bayi, jika ekstrasi
kehamilan bayi menyusu. vakum dan
5. Masalah forsep.
payudara, jika
menyusui.
C. Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang
bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong
dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi
HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4,
yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit
penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga
memperlihatkan pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit.
Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti,
meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis
melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel yang
terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau disfungsi
precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat
menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi
pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat
berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat
membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi
memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel
glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling
konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak
organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan
oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering
simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada
replikasi viral, selama individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun
sitomatik progresif, dengan peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-
bertahap dan dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral
lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun simtomatik, gangguan
fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan dengan peningkatan
replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital, pengurangan limfosit CD4
yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “
priode inkubasi “ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih
singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini,
gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi
sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal
diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia
3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen baru ini dengan
produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen
sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada
infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan
mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan
infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan
AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal.
Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang
berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat
menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.

D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak
dengan HIV-positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun
pertama kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala
atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Disebut Tersangka HIV apabila ditemukan gejala berikut, yang tidak
lazim ditemukan pada anak dengan HIV-negatif.

Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV


 Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir.
 Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa
pipi. Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik,
atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau
meluas melebihi bagian lidah – kemungkinan besar merupakan infeksi HIV.
Juga khas apabila meluas sampai di bagian belakang kerongkongan yang
menunjukkan kandidiasis esofagus.
 Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni- atau bi-lateral selama ≥ 14 hari,
dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.
 Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada
dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya.
 Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang
bersamaan seperti sitomegalovirus.
 Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38° C) berlangsung ≥ 7
hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
 Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal,
perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).
 Herpes zoster.
 Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas
meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala,
dan molluscum contagiosum yang ekstensif.
 Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease).

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV
 Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥ 14 hari
 Diare Persisten: berlangsung ≥ 14 hari
 Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya
pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan
pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka
HIV terutama pada bayi berumur < 6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh.

Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif
Diduga kuat infeksi HIV jika ditemukan hal berikut ini: pneumocystis
pneumonia (PCP), kandidiasis esofagus, lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau
sarkoma Kaposi. Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV. Fistula
rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi jarang.
E. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai
oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala
yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik
sternum (nyeri retrosternal).

2. Neurologik
 Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan
yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor,
inkontinensia, dan kematian.
 Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala,
malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-
kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.

3. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui
untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari
BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis,
dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat
menjelaskan gejala ini.
 Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
 Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
 Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-
gatal dan diare.

4. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-
batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi
oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.

5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa
terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan
herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak
integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai
oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai
ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta
wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik
seperti ekzema dan psoriasis.

6. Sensorik
 Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan.
 Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV.
Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan
latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak,
bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah
dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain
reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes
antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western
blot)
b. Western blot (positif)
c. P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
d. Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut
mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan
kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
b. CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen)
c. Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
d. Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan
berlanjutnya penyakit).
e. Kadar immunoglobulin (meningkat)

Prinsip diagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak


1. Uji Virologis
 Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya
setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98%
dan spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
 Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18
bulan.
 Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV
DNA dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL)
mengunakan plasma EDTA.
 Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang
mampu laksana sesudahnya. P
 ada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif
maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis
kedua.
 Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat
pelayanan, maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif
harus segera diikuti dengan inisiasi ARV.
2. Uji Serologis
 Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99%
dan spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan
standardisasi kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada
pemeriksaan serologis dewasa.
 Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan ada
tidaknya pajanan HIV Umur >18 bulan – digunakan sebagai uji
diagnostik konfirmasi
 Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum
dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada
umur 9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan
pemeriksaan uji virologis untuk mengidentifikasi kasus yang
memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis positif dan uji virologis
belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji
serologis ulang pada usia 18 bulan.
 Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh
infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan
uji virologis.
 Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh
infeksi HIV tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis
ditegakkan menggunakan diagnosis presumtif.
 Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
diagnostik dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
 Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.
8. Penatalaksanaan
1. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
a. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan
yang ada.
c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat
enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi
transkripsi DNA HIV.
d. Mengatasi dampak psikososial.
e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis.
f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
2. Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan
status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi
sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan
gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai
A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau persentase CD4 yang
tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan
terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis
dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan
Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah
CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem
saraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin
digunakan untuk pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan
sekali berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk
hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan
infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak diberi
vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz dan Sowden, 2002).
3. Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan tepat
dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua harus
menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil. Rekomendasi
ini penting karena uji coba pengobatan mutakhir menunjukkan bahwa
protocol pengobatan bayi menggunakan obat yang sama selama beberapa
minggu secara signifikan mengurangi angka transmisi dari ibu ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1
mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan
zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu
kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada
neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada
26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu perbedaan
yang sangat bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah menghasilkan
pedoman untuk penggunaan zidovudin pada wanita hamil HIV-1 positif
untuk mencegah penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang HIV-1 positif,
hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai anak limfosid
CD4 + 200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada pada terapi
atteretrovirus dianjurkan menggunakan zidovudin. Zidovudin intravena
(dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan infus terus menerus 1
mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan selama proses kelahiran. Pada
semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk mencegah penularan
HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2 mg/kg setiap 6 jam selama
usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam sesudah lahir). Jika ibu HIV-1
positif dan tidak mendapatkan zidovudin, zidovudin harus dimulai pada bayi
baru lahir sesegera mungkin sesudah lahir, tidak ada bukti yang mendukung
kemajuan obat dalam mencegah infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24
jam. Ibu dan anak diobati dengan zidovudin harus diamati dengan ketak
untuk kejadian-kejadian yang merugikan dan didaftar pada PPP untuk
menilai kemungkinan kejadian yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya
anemia ringan reversible yang telah ditemukan pada bayi. Untuk
melaksanakan pendekatan ini secara penuh, semua wanita harus
mendapatkan prenatal yang tepat, dan wanita hamil harus diuji untuk
positivitas HIV-1.

9. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak
dengan HIV antara lain:
1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret
sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,
adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Pedoman HIV pada Anak

Anda mungkin juga menyukai