Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MALPRAKTIK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan
kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang
berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/
tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau
manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari
tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.

Seperti yang terjadi di Batu, -Linda Handayani- sosok bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah
praktik puluhan tahun umurnya sudah 60 tahun lebih yang tersebut melakukan malpraktik atas
kelahiran istri dari Wiji Muhaimin. Bayi sungsang yang ditolong lahir dengan leher putus. Badan bayi
keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim. Kasus ini sampai mendapat perhatian
serius dari pemerintah setempat. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki atas kasus ini
dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu.

Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik
medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Untuk diketahui, sejauh ini di
negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur
kesalahan profesi.

Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus
malpraktik di Indonesia.

1.2 Tujuan

Menjelaskan pengertian malpraktek

Menjelaskan jenis-jenis malpraktek di bidang pelayanan kesehatan

Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek

Menjelaskan tentang tanggung jawab hukum

Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum.

1.3 Kasus

Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006

SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS


Batu- Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl.
Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien
bernama Nunuk Rahayu, 39, tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan.
Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di
dalam rahim.

Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin, 40, kalut bukan kepalang.Bayi yang diidam idamkan
selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali,
tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.

Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu
mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke
bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat
Magrib, dia pulang untuk shalat.

Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama ini dia yakin
kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa. Ya normal-normal saja,” katanya.

Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk masih terbaring lemah di BKIA. Ia
tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh
obat bius malam harinya.

Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan ceceran darah di
leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia sedikit lega bisa melihat
anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya
masih merah, dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin
dengan mata berkaca-kaca.

Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini
takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang. Dia berharap
kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.

Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan yang
berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian, masyarakat juga merasa
kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.

Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto
Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih.
Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang
ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga
meminta polisi segera mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya.
(www.opensubscriber.com)

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Malpraktek

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti
harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.

Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan
yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk
profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan
adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum
disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku
norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang
dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya
ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap
ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice
pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

2.2 Malpraktek Dibidang Hukum

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344
KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP),
melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien informed consent.

Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat
atau meninggalnya pasien.

Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan
oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice

antara lain:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib

dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan

tetapi terlambat melakukannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan

tetapi tidak sempurna.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya

dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan
pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana
kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan)
selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut
telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin
Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka
tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

Kasus di atas adalah termasuk malpraktik jenis Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.bedasarkan data dari
kasus berikut :

Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat
menangani proses persalinan. Bayi sungsang yang ditolongnya lahir dengan leher putus. Badan bayi
keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.

2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan

Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan
tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”.
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga
kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut.

Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat
terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik
antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).

Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita radang uretra
setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga
bidan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang
melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang kateter telah sesuai
dengan prosedur profesional ?.

Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya

malpraktek.

Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang
mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya
kesalahan.

Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah
perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela

b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh
atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien
meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela
(salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara
yakni :

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan haruslah bertindak berdasarkan

1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga bidan
tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab
(causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan tenaga bidan.

Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa loquitur).

Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.

Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi,
saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut .

Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan
kesalahan tenaga bidan, karena:

a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.

b. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.

c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

Malpraktek dalam asuhan kebidanan adalah suatu kelalaian dari seseorang bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien,
yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama.

Jika dilihat dari pengertian tersebut dan dihubungkan dengan kasus Bidan Handayani, maka bisa
dikatakan Bidan Handayani telah melakukan malpraktek. Bisa dikatakan demikian karena berdasarkan
informasi yang telah kami dapat. Tapi mengenai bukti kebenarannya secara pasti, dibutuhkan data –
data lengkap mengenai riwayat kehamilan Ibu Nunuk sampai mengenai prosedur persalinan yang
digunakan Bidan Handayani pada Ibu Nunuk. Tidak bisa kita simpulkan hanya berdasarkan informasi
sederhana yang kami dapat. Harus ditelaah lebih dalam bukan hanya saat kejadian. Tapi juga saat proses
kehamilan. Apakah Ibu Nunuk rutin memeriksakan kehamilannya? Apakah Ibu Nunuk selalu
memeriksakan kehamilan pada Bidan Handayani atau bidan lain? Apakah Bidan Handayani telah
memperoleh informasi lengkap mengenai kondisi kehamilan Ibu Nunuk? Apakah Bidan Handayani telah
melakukan proses persalinan dengan prosedur professional sesuai dengan keadaan kehamilan?
Pertanyaan – pertanyaan itulah yang perlu dijawab untuk membuktikan apakah Bidan Handayani
melakukan malpraktek atau tidak.

2.4 Tanggung Jawab Hukum

Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan
kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin
dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan
bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila
kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga bidan.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

1. Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang
sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit
hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar
pelayanan.

Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat
oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.

Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan
melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan
atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain
atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

2.5 Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek

Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.

f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

2. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi
tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang
aktif membuktikan kelalaian bidan

Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :

a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan
dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-
doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang
sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.

Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung
jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta
yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga
kebidanan.

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah
no 18 tahun 1981 yaitu:

1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.

2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara
lisan maupun tertulis.

3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.

4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap
diam.

5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta
oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi
kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan
pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.

6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic,
terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis
(berkaitan dengan informed consent).

Tinjauan dari segi hukum

Solusi

Apa yang seharusnya dilakukan keluarga untuk menghadapi kasus ini?

Keluarga yang akan melakukan tuntutan terhadap tenaga bidan sebagai terdakwa yang telah melakukan
ciminal malpractice, harusnya dapat membuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah
memenuhi unsur tidak pidana yakni :

Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela

Berdasarkan kasus di atas, bidan Linda Handayani hanya berniat untuk menolong, namun pada
pertolongan kasus ini bukanlah kewenangan bidan, melainkan kewenangan dokter obgyn.
Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau
adanya kealpaan).

Berdasarkan kasus di atas masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak
sengaja. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal
sebenarnya.

Selanjutnya apabila keluarga menuduh bidan LindaHandayani telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) pembuktianya
dapat dilakukan dengan:

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4D yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian bidan Linda Handayani dengan pasien Nunuk Rahayu, bidan Linda
Handayani haruslah bertindak berdasarkan:

1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

Berdasarkan point – point di atas penggugat harus mengkaji lebih lanjut untuk didapatkan bukti yang
jelas apakah bidan Linda Handayani telah memenuhi tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang
bidan atau tidak.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga bidan
tersebut dapat dipersalahkan. Dalam kasus diatas bidan Handayani telah memenuhi point ini, menolong
persalinan sungsang bukanlah kewenangan dari bidan sehingga melalui point ini bidan Handayani dapat
dipersalahkan/digunakan sebagai berkas tuntutan dari keluarga ke bidan Handayani.
c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab
(causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan tenaga bidan. Berdasarkan teori ini yang dihubungkan dengan kasus maka, hasil
negative dari kasus ini yang berupa putusnya leher bayi dan meninggalnya bayi tidak dapat digunakan
langsung sebagai dasar menyalahkan bidan Handayani, perlu dilakukan pengkajian oleh penggugat
mengenai hubungan langsung antara penyebab dan kerugian yang diderita oleh penggugat (keluarga ibu
Nunuk) untuk didapatkan bukti yang jelas untuk pengajuan tuntutan.

Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa loquitur). Dalam kasus ini
hasil layanan bidan adalah putusnya leher bayi dari ibu Nunuk.

Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.

Apa yang seharusnya dilakukan seorang bidan dalam menghadapi kasus ini?

Dalam kasus diatas tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan
dapat melakukan :

Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan
dalam perumusan delik yang dituduhkan.

Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya,
apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain.

b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-
doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan, apakah hal ini merupakan
pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani dapay membebaskan diri atau tidak dalam pengaruh
paksaan sehingga bidan Handayani harus memperjelas apa yang terjadi sebenarnya sehingga layak
untuk mendapat hukuman atau tidak.

BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti
harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.

Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan
yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Berdasarkan kasus Bidan Linda Handayani yang telah kami pelajari, dapat disimpulkan bahwa masih
kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Masih banyak hal yang
harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya menjelaskan pada proses
keadilan tentang hal sebenarnya.

Selanjutnya apabila keluarga menuduh bidan Linda Handayani telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga.
1.2 Saran

Bidan Handayani sebagai seorang bidan senior hendaknya dapat menunjukkan profesionalisme sebagai
seorang tenaga kesehatan. Dalam arti beliau harus bisa menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang
kronologis peristiwa yang terjadi, agar tidak menimbulkan prasangka publik yang akhirnya akan
menimbulkan fitnah dan isu-isu yang tidak benar. Dan pada akhirnya juga akan merugikan nama baik
sebagai seorang bidan serta hilangnya kepercayaan masyarakat.

Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat
mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Karena bidan adalah sebagai pelaku utama
dalam kasus ini, bidan harus bisa menjelaskan dengan sebenar- benarnya sebab terjadinya peristiwa
saat membantu persalinan bayi sungsang lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan
kepalanya tertinggal di dalam rahim, kejadian tersebut sangat ironi.

Menurut standar kewenangan profesi kebidanan seharusnya seorang bidan tidak mempunyai
kewenangan untuk membantu persalinan dalam kondisisi sungsang. Bidan harus bisa menyadari hal
tersebut dan seharusnya bidan melakukan rujukan. Hal tersebut merupakan keadaan abnormal dan
persalinan tidak dapat ditolong pervaginam melainkan harus ditangani oleh yang ahli yaitu obgin.

Anda mungkin juga menyukai