Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hemodialisis

2.1.1 Definisi

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan

menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti

nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black &

Hawks, 2005; Ignatavicius, 2006).

2.1.2 Angka Kejadian

Insiden penyakit gagal ginjal kronik meningkat setiap tahunnya.

Meningkatnya jumlah pasien dengan gagal ginjal kronik menyebabkan kenaikan

jumlah pasien yang menjalani hemodialisis. Pada akhir tahun 2004 angka kejadian

gagal ginjal diseluruh dunia meningkat sehingga mencapai jumlah 1.371.000

pasien yang menjalani terapi hemodialisis (Grassmann, Giobere, Moeller, &

Brown, 2005).

Insiden penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat terjadi 268 kasus

baru per satu juta populasi setiap tahunnya (Black & Hawks, 2005). Gilbertson et

al. (2005) meramalkan bahwa pada tahun 2015 akan ada 136.166 insiden pasien

gagal ginjal kronik setiap tahunnya dan 107.760 angka kematian gagal ginjal

kronik setiap tahun khusus di negara Amerika Serikat. Di Malaysia dengan

populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya.

Universitas Sumatera Utara


Dinegara berkembang lainnya, insiden diperkirakan sekitar 40–60 kasus perjuta

penduduk pertahun.

Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal kronik

yang cukup tinggi diperkirakan penderita gagal ginjal terjadi 100 persejuta

penduduk atau sekitar 20.000 kasus dalam setahun (Litbang Depkes, 2008). Data

dari ASKES tahun 2012 sebanyak 24.141 orang menderita gagal ginjal (Namawi,

2013). Data yang diperoleh dari RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan tahun 2012

berjumlah 126 orang, tahun 2013 berjumlah 184 orang dan diperkirakan

meningkat setiap tahunnya (Catatan medical record RSUD Dr.Pirngadi).

2.1.3 Indikasi Hemodialisis

Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergency

atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis

dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat,

overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50

ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5

mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150

mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis

uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan

akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.

Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan

berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis,

dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15

ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika

Universitas Sumatera Utara


dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala

uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi

atau hilangnya massa otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan

cairan, 5) komplikasi metabolik yang refrakter (Daugirdas et al., 2007).

2.1.4 Komplikasi Hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi

ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir

stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan

yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis

saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang

menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya

menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat

hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani

hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan

darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau

intradialytic hypertension (Agarwal & Light, 2010).

2.1.5.1 Komplikasi Akut

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama

hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah

hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,

gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013; Sudoyo et al., 2009).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Komplikasi Akut Hemodialisis

Komplikasi Penyebab

Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi


antihipertensi, infark jantung, tamponade, reaksi
anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak
adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks

Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang


terlalu cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema
serebral. Penurunan konsentrasi urea plasma yang
terlalu cepat
Masalah pada dialisat
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom
charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus,
gejala neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri/ Demam, mengigil, hipotensi oleh karena
endotoksin kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti air

2.1.5.2 Komplikasi kronik

Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit

jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,

Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,

infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease (Bieber & Himmelfarb,

2013).

Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis, menyebabkan

pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa

Universitas Sumatera Utara


hidupnya. Bagi pasien hemodialisis, penyesuaian ini mencakup keterbatasan

dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap

perubahan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada

orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup. Menurut

Moos dan Schaefer dalam Sarafino (2006) mengatakan bahwa perubahan dalam

kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya depresi.

2.2. Depresi

2.2.1 Definisi

Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan kesedihan,

perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain, gangguan tidur,

nafsu makan menurun, anhedonia, kehilangan minat dalam kehidupan sehari-hari,

libido menurun, putus asa dan keinginan bunuh diri (Davidson, Reickmann, &

Rapp, 2005).

Depresi merupakan gangguan mental umum yang paling banyak

ditemukan pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis (Hedayati et al.,

2009). Prosedur dan pengobatan hemodialisis yang dilakukan 3 kali dalam

seminggu menyebabkan perubahan status dan kepribadian pasien. Perubahan ini

akibat dari situasi stres terus menerus yang dapat menyebabkan perubahan pada

personal, sosial dan lingkungan. kebutuhan untuk mengubah kebiasaan gaya

hidup, ketergantungan prosedur hemodialisis dan staf medis, kehilangan pekerjaan

dan posisi sosial, status keuangan berkurang, rezim diet, disfungsi seksual,

masalah yang berhubungan akses dialisis, dan kekhawatiran terhadap mortalitas,

namun respon psikolosis pada pasien hemodialisis tergantung pada kepribadian

Universitas Sumatera Utara


premorbit, dukungan sosial dari keluarga dan penyakit penyerta lainnya (Kimmel,

2005).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Depresi

Menurut Zalai et al. (2012) mengatakan bahwa pasien gagal ginjal kronik

mengalami tekanan psikolosis, tingginya prevalensi pasien mengalami gejala

depresi yang dapat mempengaruhi status kesehatan pasien, ada beberapa faktor

resiko terjadinya depresi diantaranya ; (1) faktor biologis; (2) faktor psikologis

dan; (3) faktor sosial.

Menurut Kaplan dan Saddock (1997) dasar penyebab depresi secara pasti

tidak diketahui, namun faktor yang berhubungan dengan penyebab tersebut

seperti: faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. Dimana faktor

tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya : (1) faktor

biologi, sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada

amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic

acid), MHPG (5methoxy-0-hydroksi phenil glikol), didalam darah, urin dan cairan

serebrospinal pada pasien gangguan mood. Disregulasi amin biogenik yang paling

sering terlibat pada gangguan mood adalah norepineprin, serotonin, dan

dopamine; (2) faktor psikososial terdapat empat katagori yang berpotensi

menyebabkan depresi, yaitu : stres, perasaan tidak berdaya dan kehilangan

harapan, pertahanan yang ekstrim melawan stres, dan pengaruh hubungan

interpersonal dari gangguan afektif.

Faktor psikososial yang dapat mempengaruhi depresi meliputi peristiwa

kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang

Universitas Sumatera Utara


berulang, teori kognitif dan dukungan sosial. Para klinisi mempercayai bahwa

peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, peristiwa

kehidupan dan stressor lingkungan yang menyebabkan stres, lebih sering

mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya (Kaplan &

Saddock, 1997).

Penelitian Baydogan dan Dag (2008) mengatakan bahwa pasien yang

menjalani hemodialisis mengalami masalah psikososial, keterbatasan aktivitas,

pembatasan cairan yang dapat menimbulkan depresi. Depresi dapat timbul pada

pasien baru yang menjalani hemodialisis dimana pada tahun pertama pada saat

mulai dilakukan terapi hemodialisis hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup

pasien, masalah kehilangan pekerjaan, perubahan peran dalam keluarga,

perubahan hubungan sosial dan waktu yang terbuang untuk dialisis (Son et al.,

2009).

Beberapa studi menunjukkan bahwa umur, tingkat pendidikan, pekerjaan,

status perkawinan, dan jenis kelamin dapat mempengaruhi depresi pada pasien

yang menjalani hemodialisis. Menurut Kizilcik et al. (2012) menunjukkan bahwa

prevalensi depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 27,9%,

secara signifikan depresi ditemukan lebih tinggi pada wanita yang berusia lebih

tua, pasien yang berpendidikan lebih rendah dan pengangguran, penelitian ini

juga menunjukkan bahwa depresi merupakan masalah kesehatan umum pasien

hemodialisis dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien dan kualitas hidup

pasien.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian Araujo et al. (2008) Menunjukkan bahwa 19,3% pasien yang

menjalani hemodialisis mengalami gejala depresi sebagian besar adalah

perempuan, pengangguran, mempunyai penyakit penyerta (diabetes,

hipoalbuminemia, gagal jantung , pruritus), dan kualitas tidur yang buruk semua

faktor yang terkait dengan gejala depresi

Erdenen et al. (2010) juga mengatakan bahwa kecemasan dan depresi

ditemukan lebih sering pada pasien hemodialisis ditemukan juga bahwa status

perkawinan, pendidikan rendah, pengangguran dan penghasilan rendah secara

signifikan lebih tinggi pada kelompok pasien. Tingkat kecemasan dan depresi

secara signifikan lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki.

Menurut Jordanova1 dan Polenakovic (2013) hasil penelitian menunjukkan

bahwa tingginya insiden depresi pada pasien hemodialisis dengan tingkat depresi

yang bervariasi yaitu minimal depresi 21,43%, depresi ringan 35,71%, depresi

sedang 17,85%, dan depresi berat 14,28%. Dalam penelitian ini ada hubungan

antara depresi dengan usia dan tingkat pendidikan namun tidak ada hubungan

antara lamanya dialisis dengan depresi.

2.2.3. Gejala Depresi

Individu yang mengalami depresi dapat dilihat dari gejala yang muncul.

Menurut Beck (1985) memberikan penjelasan tentang gejala atau manifestasi

yang sering ditunjukan ketika seseorang mengalami depresi sebagai berikut: (1)

gejala emosional, meliputi perubahan perasaan atau tingkah laku yang

merupakan akibat langsung dari keadaan emosi seperti penurunan mood, tidak

lagi merasakan kepuasan, lebih sering menangis, dan hilangnya respon

Universitas Sumatera Utara


kegembiraan; (2) gejala kognitif, meliputi harapan-harapan yang negatif,

menyalahkan serta mengkritik diri sendiri, tidak dapat membuat keputusan,

distorsi “body image” atau anggapan bahwa dirinya tidak menarik; (3) gejala

motivasional, meliputi menurunnya minat dan motivasi terhadap aktivitas,

ada dorongan untuk mengundurkan diri dari suatu kegiatan, lebih suka

bersikap pasif dan ada kecenderungan untuk bergantung, hilangnya motivasi

juga berhubungan dengan keinginan untuk menjauh dari tanggung jawab dan

kesulitan yang harus dihadapi; (4) gejala vegetatif-fisik, meliputi kehilangan nafsu

makan, gangguan tidur, mudah merasa lelah, dan tidak ada nafsu seksual (libido).

Penelitian Cengic dan Resic (2010) menunjukkan bahwa tingginya

kejadian depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis di Sarajevo 51%

dengan berbagai derajat yaitu depresi ringan 30%, depresi sedang 8,5%, dan

12,5% depresi berat. Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa gejala yang

paling mendominasi dari depresi adalah gejala somatik 55,5% seperti kehilangan

energi, kelelahan, gangguan tidur, dan disfungsi seksual, namun gejala psikologis

juga muncul seperti anhedonia, pesimis, harga diri rendah, kecemasan,

kebimbangan, mudah tersinggung, perasaaan bersalah, merasa gagal, kurang

konsentrasi, dan bunuh diri, juga muncul perilaku seperti : menarik diri dari

lingkngan, sering menangis, menyebabkan kondisi kesehatan menurun dan

kualitas hidup yang lebih rendah. Data sosio demografi seperti jenis kelamin,

status perkawinan dan lamanya hemodialisis tidak ada perbedaan signifikan pada

kualitas hidup pasien dengan terjadinya depresi, namun usia dapat mempengaruhi

tingkat depresi, dikatakan bahwa dengan peningkatan usia maka tingkat depresi

Universitas Sumatera Utara


juga meningkat namun kualitas hidup menurun, pasien yang bekerja telah

menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik dengan tingkat depresi yang lebih

rendah, begitu juga dengan tingkat pendidikan tinggi kualitas hidup meningkat

dan depresi menurun, pasien yang menjalani hemodialisis pada tahun pertama

lebih tertekan dan memiliki kesehatan mental yang secara signifikan lebih buruk

dibandingkan dengan pasien yang sudah menjalani hemodialisis lebih dari tiga

tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan tingginya prevalensi gejala depresi

antara kelompok studi yang berhubungan dengan kecendrungan kualitas hidup

yang buruk.

Penelitian Jordanoval dan Polenakovic (2013) juga menunjukkan bahwa

karakteristik psikologis pasien yang depresi adalah hipersensitivitas, mood

depresi, masalah interpersonal, menarik diri dari lingkungan, kurang komunikasi

sosial,dan agresif pasif.

2.2.4 Depresi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis

Menurut penelitian Andrade dan Sesso (2012) mengatakan bahwa

persentase depresi terjadi lebih tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis

juga menunjukkan bahwa pada pasien hemodialisis yang mengalami depresi

memiliki penyakit penyerta lebih tinggi dan hasil laboratorium berubah lebih

besar dari pada pasien gagal ginjal kronik dibawah pengobatan konservatif,

depresi dapat berhubungan dengan pendapatan, pengangguran, penyakit penyerta

(jantung) dan kemampuan fungsional.

Penelitian Araujo et al. (2008) juga Menunjukkan bahwa 19,3% pasien

yang menjalani hemodialisis mengalami gejala depresi sebagian besar adalah

Universitas Sumatera Utara


perempuan, pengangguran, penyakit penyerta (diabetes, hipoalbuminemia, gagal

jantung , pruritus), dan kualitas tidur yang buruk semua faktor terkait dengan

gejala depresi.

Menurut Rai, Rustagi, Rustagi, dan Kohli1 (2011) mengatakan bahwa

tingginya prevalensi depresi pada pasien yang menjalani hemodialisis yaitu

47,8%, dalam penelitian ini juga mengatakan ada hubungan antara depresi dengan

gangguan tidur, insomnia 60,9%, resiko sleep apnea 24,6%, depresi lebih tinggi

pada pasien yang berusia tua, pendapatan rendah, pengangguran dan depresi lebih

tinggi pd pasien yg menjalani hemodialisis lebih dari 1 tahun. Dalam studi ini juga

mengatakan tidak ada perbedaan gender dengan depresi

2.2.5 Skala Penilaian Depresi

Skala penilaian gejala depresi tidak cukup untuk menentukan diagnosis

depresi, tetapi dapat membantu mengidentifikasi individu yang mempunyai gejala

depresi. Skala penilaian depresi Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD-

17) merupakan salah satu dari berbagai instrumen untuk menilai ada depresi atau

tidak depresi (Bornivelli et al., 2012; Garcia et al., 2010; Gencoz et al., 2007;

Hamilton, 1960).

Hamilton Rating Scale for Depression (HDRS-17) dibuat oleh Hamilton

yang original dipublikasikan pada tahun 1960 yang terdiri dari 17 item pernyataan

untuk orang dewasa digunakan untuk menilai tingkat depresi meliputi suasana

hati, perasaan bersalah, ide bunuh diri, insomnia, agitasi atau retardasi,

kecemasan, penurunan berat badan, dan gejala somatik diantaranya ;(1) perasaan

depresi (Sedih, putus asa, tidak berdaya, tidak berguna); (2) perasaan bersalah; (3)

Universitas Sumatera Utara


bunuh diri; (4) gangguan pola tidur (initial insomnia); (5) gangguan pola tidur

(middle insomnia); (6) gangguan pola tidur (Late insomnia); (7) pekerjaan dan

kegiatan-kegiatan; (8) retardasi psikomotor; (9) kegelisahan (Agitasi) ringan; (10)

kecemasan (ansietas somatik); (11) kecemasan (Ansietas psikis); (12) gejala

somatik (pencernaan); (13) gejala somatik (Umum); (14) gejala genital; (15)

hipokondriasis (terlalu cemas mengenai kesehatannya); (16) kehilangan berat

badan; (17) penglihatan diri (Insigh).

Penilaian masing-masing gejala depresi adalah sebagai berikut untuk item

pernyaatan yang jumlah pilihannya 5 maka penilaiannya: 0 : tidak ada, 1: ringan,

2-3: sedang, 4: berat, sedangkan untuk item pernyataan yang jumlah pilihan 3

maka penilaiannya: 0 tidak ada, 1 sedikit atau ragu-ragu, 2 jelas (Hamilton,1960).

Untuk penilaian skor Hamilton depression rating scale yaitu normal/tidak ada

depresi : 0-6, depresi ringan: 7-17, depresi sedang: 18-24, depresi Berat: >24

(Bornivelli et al., 2012; Garcia et al., 2010; Hamilton,1960).

2.2.6 Dampak Depresi Pada Pasien Hemodialisis

Penelitian Santos (2011) mengatakan bahwa prevalensi depresi pada

pasien yang menjalani hemodialisis 7,8%, depresi dapat menyebabkan perubahan

emosional, kesehatan mental, dan berdampak pada status kesehatan dan kualitas

hidup pasien yang lebih rendah. penelitian Hedayati et al. (2008) juga

menunjukkan bahwa kondisi depresi dapat mempengaruhi motivasi pasien untuk

melakukan aktivitas sehari-hari sehingga berdampak terhadap penurunan

kesehatan fisik dan mental yang akan memperberat penyakitnya dan

meningkatkan kematian. Hal ini juga didukung oleh penelitian Cruz et al. (2010)

Universitas Sumatera Utara


mengatakan bahwa depresi merupakan kondisi yang umum pada pasien yang

menjalani hemodialisis, prevalensi untuk diagnosis depresi berkisar antara

15-27%, gejala depresi 17-65%, depresi dapat berdampak pada emosional,

kesehatan mental, fungsi sosial yang dapat memperburuk kondisi kesehatan

pasien bahkan berdampak pada kualitas hidup yang lebih rendah.

Hasil penelitian Keskin dan Engin (2011) menunjukkan bahwa ada

korelasi positif antara depresi dengan perilaku bunuh diri, antara usia pasien dan

depresi, depresi dan bunuh diri meningkat pada status pendidikan yang lebih

rendah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pasien yang menjalani

hemodialisis sering mengalami depresi, keinginan bunuh diri meningkat apabila

mengalami tingkat depresi yang parah dan bertambahnya usia pada pasien gagal

ginjal kronis, oleh karena itu dipandang perlu untuk pasien dialisis berada

dibawah evaluasi psikiatri dan hal ini peran perawat dialisis sangat penting

mengevaluasi kondisi psikososial pasien gagal ginjal yang menjalani terapi

hemodialisi untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan, untuk

keberhasilan perawat harus melakukan perawatan yang holistik sehingga perawat

mampu menilai depresi dan strategi mengatasi bunuh diri.

Penelitian Kurella et al. (2005) juga mengatakan bahwa pasien gagal

ginjal tahap akhir kehilangan kemampuan fisik dan kognitif yang akhirnya

membawa pasien pada kesedihan dan keputusasaan sehingga menyebabkan

pemutusan dialisis, perilaku ini dianggap sebagai pemikiran bunuh diri, bunuh diri

dipicu akibat kegagalan mengatasi stres dialisis. Menurut Chen et al. (2010) juga

menunjukkan bahwa pasien depresi memiliki tingkat kelelahan dan kecemasan

Universitas Sumatera Utara


yang lebih tinggi, kualitas hidup yang lebih buruk, dan keinginan bunuh diri yang

lebih besar.

Bornivelli et al. (2012) mengatakan bahwa depresi merupakan gangguan

umum yang sering terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis, penelitian ini

juga menemukan bahwa ada hubungan antara depresi dengan parameter

laboratorium dan gangguan tidur, pada pasien hemodialisis yang mengalami

depresi menyebabkan kadar hemoglobin rendah dan Protein C-Reactive (CRP)

lebih tinggi serta menyebabkan gangguan tidur. Dalam penelitian Micozkadioglu

et al. (2006) juga mengatakan bahwa pasien hemodialisis yang mengalami depresi

dapat menyebabkan terjadi sindroma malnutrisi-inflamasi yang lebih tinggi. Hal

yang sama juga ditemukan Kalender et al. (2007) bahwa pasien yang mengalami

depresi memiliki hemoglobin rendah, kadar albumin serum yang lebih rendah, dan

tingkat CRP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tidak depresi.

Menurut Fernandes et al. (2010) mengatakan bahwa prevalensi depresi

pada pasien yang menjalani hemodialisis 26% juga mengalami disfungsi ereksi

yang sangat tinggi yaitu 72,3%, dikatakan bahwa depresi merupakan faktor resiko

independen terjadinya disfungsi ereksi dimana usia merupakan penyebab terkuat

dari disfungsi ereksi selain itu ditemukan juga bahwa disfungsi ereksi

menyebabkan kualitas hidup yang rendah. Menurut Santos, Frota, Junior,

Cavalcanti, Vieira et al. (2012) dari total 58 pasien perempuan yang menjalani

hemodialisis, 46 (79,3 %) diketahui mengalami disfungsi seksual. Prevalensi

disfungsi seksual di antara perempuan yang menjalani hemodialisis sangat tinggi,

mencapai hampir 80%. Menurut Stefanovic dan Avramovic (2012) mengatakan

Universitas Sumatera Utara


bahwa bukan hanya perempuan, pasien pria juga mengalami gangguan disfungsi

seksual atau gangguan ereksi.

Menurut teori Maslow ada lima kebutuhan dasar salah satunya adalah

kebutuhan seksual ini merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi dan

apabila kebutuhan seksual ini tidak terpenuhi semestinya maka akan terjadi suatu

penyimpangan seksual (Potter & Perry, 2005).

Kimmel (2006) mengatakan dampak depresi pada pasien gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis adalah Gangguan tidur. Penduduk USA yang mengalami

cronic kidney disease (CKD) menderita gangguan tidur sangat tinggi sampai 80%

dapat menimbulkan masalah yang serius pada kesehatan pasien. Hal ini sesuai

dengan penelitian Wuryanto dkk. (2012) Pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisis mengalami berbagai macam stressor fisik, psikis, maupun

sosial sehingga rentan terhadap munculnya gejala depresi, gejala depresi dan

berbagai kondisi yang terkait terapi hemodialisis dapat menyebabkan terjadinya

gangguan tidur yang mempengaruhi kondisi kesehatan pasien. Dalam penelitian

Pai et al. (2007) juga mengatakan bahwa depresi dapat menyebabkan insomnia

dan anemia pada pasien yang menjalani hemodialisis sehingga akan memperburuk

kondisi kesehatan pasien.

Menurut teori tidur merupakan komponen yang penting bagi kesehatan,

juga sangat esensial bagi fisik dan mental. Tidur menjadi suatu masalah apabila

kualitas tidur tidak tercukupi yang berakibat pada fisik dan mentalnya. Jika tidur

kurang dari 3 jam dalam 24 jam, manusia akan mudah marah dan cakupan

perhatian berkurang. Kurang tidur dalam waktu yang lama menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


kesulitan berkonsentrasi, kemunduran performa umum, fisik terasa lemah,

kehilangan mood, penurunan libido, menjadi lebih peka terhadap sesuatu yang

mengganggu suasan hati, halusinasi, paranoid dan bangkitan kejang. Menonjolnya

efek psikologis mengisyaratkan bahwa tidur secara spesifik memperbaiki fungsi

otak (Puri, 2011).

2.2.7 Peran Perawat di Unit Hemodialisis

Merujuk pada definisi sehat yang dikeluarkan oleh WHO, maka dalam

upaya meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi pasien gagal

ginjal yang menjalani hemodialisis, pelayanan kesehatan dituntut untuk dapat

memfasilitasi pasien agar mendapatkan kondisi kesehatan yang optimal. Perawat

sebagai bagian yang integral dari tim pelayanan kesehatan sangat berperan dalam

mengupayakan terwujudnya kondisi kesehatan yang optimal bagi pasien gagal

ginjal yang menjalani hemodialisis dengan cara memberikan asuhan keperawatan

yang bersifat komprehensif dan holistik yang meliputi bio-psiko-sosio dan

spiritual (Potter & Perry, 2005). Artinya, dalam upaya untuk meningkatkan

derajat kesehatan pasien, perawat tidak hanya berfokus pada penanganan masalah

fisik saja namun juga berperan dalam mencegah dan menangani masalah

psikososial khususnya depresi yang menjadi masalah terbesar pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang dapat menurunkan kondisi

kesehatan pasien.

Peran perawat dalam mengurangi beban psikis seorang penderita gagal

ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis sangatlah besar diantaranya

mengkaji adanya tanda dan gejala depresi, mengkaji dan mengefektifkan

Universitas Sumatera Utara


sumber-sumber pendukung, melakukan pendampingan dan mempertahankan

hubungan yang sering dengan pasien sehingga pasien tidak merasa sendiri dan

ditelantarkan, menunjukkan rasa menghargai dan menerima pasien tersebut,

memberikan pujian pada setiap hal yang positif yang dilakukan pasien dalam

menjalani perawatan. Perawat juga dapat melakukan tindakan kolaborasi dengan

memberi rujukan untuk konseling psikiatri (Doenges, Townsend, & Moorhouse,

2006).

Selain itu, perawat berada dalam posisi kunci untuk menciptakan suasana

penerimaan dan pemahaman keluarga terhadap penderita gagal ginjal kronik yang

menjalani terapi hemodialisis (Smeltzer & Bare, 2002). Perawat dapat melakukan

intervensi dengan cara memberdayakan orang-orang terdekat pasien dalam hal ini

keluarga untuk menjadi support system yang efektif agar dapat senantiasa

memberikan dukungan dan bantuan yang dibutuhkan oleh pasien sehingga dapat

meningkatkan kondisi kesehatannya. Ketika pasien masih berada di tatanan rumah

sakit dapat dilakukan konseling kesehatan mengenai dukungan keluarga yang

dibutuhkan oleh pasien serta hal-hal yang perlu diketahui keluarga terkait

penyakit yang diderita pasien seperti perjalanan penyakit, tanda dan gejala, dan

perawatan atau pengobatan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kondisi

kesehatan pasien. Selain itu, perlu juga untuk melibatkan keluarga dalam

manajemen pengobatan dan perawatan pasien sehingga keluarga dapat

memberikan dukungan secara efektif pada pasien.

Universitas Sumatera Utara


2.3. Dukungan Sosial

2.3.1. Definisi Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2006) bahwa dukungan sosial mengacu pada persepsi

akan kenyamanan, kepedulian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu

dari orang lain atau kelompok dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan

bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang didapat individu dari orang lain atau

kelompok, baik yang berupa bantuan materi maupun non materi, yang dapat

menimbulkan perasaan nyaman secara fisik dan psikologis bagi individu yang

bersangkutan. Taylor (1995) menjelaskan bahwa dukungan sosial akan lebih

berarti bagi seseorang apabila diberikan oleh orang-orang yang memiliki

hubungan signifikan dengan individu yang bersangkutan, dengan kata lain,

dukungan tersebut diperoleh dari keluarga seperti: orang tua, pasangan (suami

atau istri), anak dan kerabat keluarga lainnya.

Menurut Tell et al. (1995) menemukan bahwa pasien hemodialisis berkulit

putih maupun hitam yang mendapat dukungan sosial tinggi dapat meningkatkan

tingkat fungsional, lebih puas dengan kehidupan, memiliki perasaan lebih baik

tentang kehidupan, dibandingkan pada pasien yang dukungan sosial yang

dirasakan rendah dimana peran dukungan sosial sebagai faktor dalam

meningkatkan kualitas kesehatan.

Penelitian Rambod dan Rafii (2010) pada pasien muslim yang menjalani

hemodialisis di Iran menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan secara

statistik antara dukungan sosial yang dirasakan dengan keadaan kesehatan fisik

Universitas Sumatera Utara


dan psikologis yang dapat meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidup

pasien.

Menurut Chuluq dkk. (2011) menunjukkan bahwa pasien yang mendapat

dukungan sosial baik mengalami depresi ringan hal ini merupakan ada korelasi

antara kedua variabel tersebut dan tanda negatif menunjukkan bahwa bentuk

hubungan kedua variabel tersebut adalah berbanding terbalik yaitu semakin

tinggi dukungan keluarga yang diberikan maka semakin rendah atau ringan

tingkat depresi yang dialami pasien.

Micozkadioglu et al. (2006) mengatakan bahwa banyak pasien

hemodialisis mengalami depresi, pasien yang berdampak depresi memiliki

sindrom malnutrisi-inflamasi lebih tinggi dan dukungan sosial lebih rendah

dibandingkan dengan pasien yang tidak berdampak depresi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sindrom malnutrisi-inflamasi dan dukungan sosial

merupakan prediksi yang paling kuat mempengaruhi depresi pada pasien

hemodialisis

2.3.2 Komponen Dukungan Sosial

Menurut Cohen (2007) Dalam kehidupan sehari-hari dan setiap aspek

kehidupan, dukungan sosial sangat diperlukan. Dukungan sosial memiliki

beberapa komponen diantaranya : (1) dukungan emosional (Emotional Support)

adalah suatu bentuk dukungan yang diekspresikan melalui perasaan positif yang

berwujud empati, perhatian, dan kepedulian terhadap individu yang lain. Bentuk

dukungan ini dapat menimbulkan perasaan nyaman, perasaan dilibatkan, dan

dicintai oleh individu yang bersangkutan. Dukungan ini juga meliputi perilaku

Universitas Sumatera Utara


seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah

orang lain; (2) dukungan penghargaan (Appraisal Support) adalah suatu penilaian

positif terhadap individu. Dukungan tersebut berupa pemberian penghargaan

ataupun memberi atas usaha yang telah dilakukan, memberikan umpan balik

mengenai hasil atau prestasinya serta memperkuat dan meninggikan perasaan

harga diri dan kepercayaan akan kesembuhan individu tersebut. Bentuk dukungan

ini bertujuan untuk membangkitkan perasaan berharga atas diri sendiri, kompeten

dan bermakna; (3) dukungan instrumental (Instrumental Support) adalah bentuk

dukungan langsung yang diwujudkan dalam bentuk bantuan material atau jasa

yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah secara praktis. Contoh

dukungan ini seperti pinjaman atau sumbangan uang atau benda dari orang lain

yang merupakan bantuan nyata berupa materi atau jasa; (4) dukungan informasi

(Informational Support) adalah suatu dukungan dan bantuan yang diberikan oleh

keluarga dalam bentuk memberikan saran, nasehat, penghargaan, bimbingan/

pemberian feedback atau umpan balik dan memberikan informasi penting yang

dibutuhkan pasien dalam upaya meningkatkan status kesehatannya.

Hal ini didukung oleh Penelitian Haririan, Aghajanlo dan Ghafurifard

(2013) didapatkan hasil data demografi bahwa 50% perempuan, 79,8% menikah,

19% pengangguran, 78,5% memiliki dukungan emosional, 20,3% dukungan

informasi dan 29,7% dukungan instrumental serta dukungan sosial yang optimal

secara keseluruhan adalah 40,5%. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara pernikahan, jenis pekerjaan, tingkat

pendidikan dan jenis kelamin dengan dukungan sosial namun ada hubungan

Universitas Sumatera Utara


positif antara dukungan sosial dengan kelangsungan hidup pasien yang menjalani

hemodialisis.

Menurut penelitian Rafii, Rambod dan Hosseini (2009) hasil penelitian

ditemukan bahwa di Iran sebagian besar pasien gagal ginjal kronik menerima

dukungan sosial yang tinggi (64,9%). Dalam penelitian ini juga mengatakan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan status

kesehatan pasien.

Tezel, Karaburutlu, dan Sahin (2011) mengatakan bahwa pasien Turki

yang menjalani hemodialisis mengalami depresi, namun pasien yang tidak

mendapat dukungan sosial memiliki skor depresi yang lebih tinggi, menunjukkan

bahwa orang yang memiliki tekanan dalam kehidupan mencari dukungan sosial,

dukungan sosial informasi sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan

pasien selama masa-masa sulit.

2.3.3 Sumber-Sumber Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (2006) ada dua sumber dukungan sosial, yaitu : (1)

sumber artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan

primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai

sumbangan sosial; (2) sumber natural, dukungan sosial yang natural diterima

seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupanya secara spontan dengan

orang-orang yang berada disekitarnya, misalnya anggota keluarga, teman dekat

atau relasi, dan orang lain, dukungan ini bersifat nonformal. Sumber dukungan

sosial yang terpenting adalah keluarga dan sahabat atau teman,

Universitas Sumatera Utara


Dukungan keluarga sangat berperan dalam menjaga atau mempertahankan

integritas seseorang baik fisik maupun psikologis. Menurut Taylor (2006)

mengatakan bahwa orang yang berada dalam keadaan stres akan mencari

dukungan sosial dari orang lain sehingga dengan adanya dukungan tersebut maka

diharapkan dapat mengurangi tingkat stres maupun depresi. Selain berperan dalam

melindungi seseorang terhadap sumber stres, dukungan keluarga juga

memberikan pengaruh positif terhadap kondisi kesehatan seseorang. Seseorang

dengan dukungan keluarga yang tinggi akan dapat mengatasi stresnya dengan

lebih baik. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang berhubungan paling

dekat dengan pasien.

Keluarga menjadi unsur penting dalam kehidupan seseorang karena

keluarga merupakan sistem yang didalamnya terdapat anggota-anggota keluarga

yang saling berhubungan dan saling ketergantungan dalam memberikan

dukungan, kasih sayang, rasa aman, perhatian, yang secara harmonis menjalankan

perannya masing-masing untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, Bowden, &

Jones, 2003). Selain keluarga, sahabat atau teman juga dapat dijadikan sebagai

pemberi dukungan memang berada setelah anggota keluarga, namun hal ini tidak

berarti bahwa dukungan sosial dari sahabat atau teman kurang bermanfaat.

Penelitian Claudie, Thomas dan Thomas (2012) menemukan bahwa di

Amerika dukungan sosial dari anggota keluarga atau teman pada pasien yang

sedang menjalani hemodialisis dapat meningkatkan kesehatan emosional dan fisik

dimana terlihat dapat memberikan perlindungan dari hal-hal yang buruk selama 3

kali dalam seminggu menjalani prosedur hemodialiasis.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian Karadag, Kilic dan Metin (2013) didapatkan bahwa rata-rata

pasien hemodialisis yang mendapat dukungan dari pasangan ( suami/istri) yang

tinggal bersama ditemukan secara signifikan lebih tinggi dari pada mereka yang

tidak mempunyai pasangan hidup. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa

pasangan dan keluarga adalah orang yang paling penting dalam memberikan

dukungan emosional kepada pasien, dimana pasien yang menjalani hemodialisis

mengalami masalah-masalah seperti perubahan gaya hidup dan peran.

2.3.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Dukungan Sosial

Sarafino (2006) mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi dukungan sosial adalah : (1) pemberi dukungan sosial, dukungan

yang diterima melalui sumber yang sama akan lebih mempunyai arti dari pada

yang berasal dari sumber yang berbeda-beda setiap saat. Hal ini berkaitan dengan

kesinambungan dukungan yang diberikan yang akan memberikan keakraban dan

tingkat kepercayaan penerima dukungan; (2) jenis dukungan yang diterima akan

mempunyai arti bila dukungan itu bermanfaat dan sesuai dengan situasi yang

dihadapi, seperti orang yang kurang pengetahuan, dukungan informatif yang

diberikan akan lebih bermanfaat baginya; (3) penerima dukungan, karakteristik

atau ciri-ciri penerima dukungan akan menentukan keefektifan dukungan yang

diperoleh. Karakteristik tersebut diantaranya kepribadian, kebiasaan, dan peran

sosial. Proses yang terjadi dalam pemberian dan penerimaan dukungan itu

dipengaruhi oleh kemampuan penerima dukungan untuk mencari dan

mempertahankan dukungan yang diperoleh; (4) lama atau singkatnya pemberi

Universitas Sumatera Utara


dukungan tergantung pada kapasitas pemberi dukungan untuk memberikan

dukungan selama suatu periode tertentu.

Hal ini didukung oleh penelitian Gencoz dan Astan (2006) mengatakan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara adanya dukungan sosial yang

dirasakan dengan kepuasan menerima dukungan sosial, dalam penelitian ini juga

mengatakan bahwa ketersediaan dukungan sosial dapat mengurangi gejala depresi

pada pasien hemodialisis.

2.3.5 Manfaat Dukungan Sosial

Manfaat dukungan sosial dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu dimensi

emotional support yaitu memberikan kenyamanan fisik dan psikologis, perhatian,

penghargaan kepada individu, dimensi Cognitive support yaitu mendapatkan

informasi, pengetahuan dan nasehat, dimensi material support yaitu mendapatkan

bantuan atau pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi masalah

(Sarafino, 2006). Orang yang berada dalam keadaan stres akan mencari dukungan

sosial dari orang lain sehingga dengan adanya dukungan tersebut maka

diharapkan dapat mengurangi tingkat stres dan depresi. Selain berperan dalam

melindungi seseorang terhadap stres, dukungan sosial juga memberikan pengaruh

positif terhadap kondisi kesehatan seseorang (Taylor, 2006).

Hal ini didukung oleh penelitian Tel dan Tel (2011) menunjukkan bahwa

dukungan sosial dapat membantu untuk meningkatkan kondisi kesehatan pasien

dan untuk beradaptasi dengan pengobatan hemodialisi. Hal ini juga didukung oleh

pendapat Neri et al. (2010) dukungan sosial dari tim kesehatan dapat membantu

pasien mengurangi penyakit berkaitan dengan gangguan kegiatan sehari-hari

Universitas Sumatera Utara


sehingga pasien dihargai akhirnya meningkatkan harga diri dan kesehatan pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodilisis.

2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada penelitian ini

berdasarkan dari tinjauan pustaka tentang: 1) dukungan sosial, 2) tingkat depresi.

Selanjutnya kerangka konsep dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Dukungan sosial

Penelitian ini menggunakan konsep Cohen karena menguraikan tentang

komponen dari dukungan sosial yang sangat relevan dengan penelitian ini.

Menurut Cohen komponen dukungan sosial terdiri dari empat macam yaitu : (1)

dukungan emosional; (2) dukungan penghargaan/ appraisal; (3) dukungan

instrumental; (4) dukungan informasional.

2.4.2 Depresi

Penelitian ini menggunakan konsep Hamilton (1960). Konsep ini untuk

menilai ada atau tidak depresi, depresi ringan, sedang dan depresi berat, dan

gejala depresi yang muncul berupa suasana hati depresi, perasaan bersalah, tidak

berguna, ide bunuh diri, insomnia, agitasi atau retardasi, kecemasan, penurunan

berat badan, dan gejala somatik.

Peneliti akan menggunakan kedua konsep tersebut sebagai kerangka

konsep untuk melihat hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisi di RSUD Dr. Pirngadi

Medan. Kerangka konsep dalam penelitian ini tergambar pada skema dibawah ini:

Universitas Sumatera Utara


Dukungan Sosial :
- Dukungan emosional : mengekspresikan
melalui perasaan positif yang berwujud
empati, perhatian dan kepedulian terhadap
individu Tingkat Depresi :
- Dukungan penghargaan/appraisal :
memberikan penilaian positif terhadap - Tidak depresi
individu, penghargaan, umpan balik dan - Depresi ringan
meningkatkan harga diri individu. - Depresi sedang
- Dukungan instrumental : memberikan - Depresi berat
bantuan langsung baik materi maupun jasa.
- Dukungan informasional : memberikan
saran, nasehat,bimbingan dan informasi.

Skema 2.1 Kerangka konsep penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai