TINJAUAN PUSTAKA
oleh bakteri Salmonella enterica serovar typhi (S.typhi) (Parry, 2004) .Di
Diperkirakan insiden penyakit ini adalah 3,1 per 1000 penduduk dengan
kasus fatal mencapai 5,1 %. Meskipun penyakit ini tidak terbatas pada
kelompok umur tertentu, namun angka kejadian cukup tinggi pada anak umur
diatas 5 tahun. Angka kematian nasional rata-rata adalah pada rentang 2-3,5
menjadi suatu sumber infeksi baru lagi bagi masayrakat sekitar karena
8
9
Setelah 7-14 hari tanpa gejala (asimptomatis) dapat muncul keluhan atau
gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak
tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan
demam yang berangsur makin tinggi setiap hari, serta rasa tidak nyaman.
Gejala lain yang biasa dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian
dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada
stadium lanjut dari hati dan limpa atau dapat keduanya (Nelwan,2012).
terutama pada pasien yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu.
tifoid adalah secara hematogen. Bila tidak ada komplikasi, gejala klinis akan
Demam tifoid memiliki 4 fase yang akan dialami oleh penderita yaitu :
1. Fase prodormal, pada fase ini belum ada tanda-tanda gejala penyakit,
sampai dengan awal minggu kedua. Pada fase ini terjadi bakterimia primer
(pertama).
2. Fase klinis (minggu 2), pada fase ini, terlihat gejala-gejala klinis dari
penyakit demam tifoid tetapi pada fase ini bakterimia mulai menurun. Gejala
10
klinis yang mulai tampak diantaranya adalah pusing, panas dapat mencapai
40 ‘C, denyut nadi lemah, malaise, anoreksia, perut terasa tidak enak, diare
3. Fase Komplikasi (minggu 3), fase komplikasi ini adalah fase paling
berbahaya karena pada fase ini terjadi komplikasi lain yang mungkin lebih
membahayakan dari penyakit tifoid itu sendiri. Sering pula terjadi dimana
penyakit demam tifoid nya sendiri telah sembuh , tetapi timbul penyakit yang
sering terjadi adalah perdarahan dan perforasi usus halus termasuk juga sepsis,
komplikasi lain yang dapat terjadi andalah terjadinya septisemi karena adanya
endotoksin yang dihasilkan oleh S.typhi. Pada sepsis sering terjadi seperti
syok, septik dan kematian pada penderita. Endotoksin dari S.typhi dapat
4. Fase penyembuhan (minggu 4), fase ini adalah fase akhir dari demam
tifoid, merupakan perjalanan menuju sembuh. Pada fase ini penderita akan
menuju sembuh jika diberi pengobatan dan tanpa terjadi komplikasi serta
Infeksi bakteri dan respon dari sel host berupa peningkatan aktivitas
sitokin akan menimbulkan gejala klinis yang dapat diamati. Sitokin (IL-1, IL-
penderita demam tifoid, yang dapat terjadi sampai dengan 4 minggu pada
kasus demam tifoid yang tidak mendapatkan perawatan yang baik. Gejala
khas dari demam tifoid pada awal infeksi adalah terjadi demam dan
bakterimia. Gejala yang dapat muncul diantaranya gejala seperti lidah yang
yang benar dan aman maka gejala demam tifoid akan dapat memanjang
sampai dengan minggu ke 3 dan lesi -lesi inflamatori akan semakin banyak di
Peyer’s patch dan lamina propina usus. Terjadinya hiperplasi pada limfoid di
area ileocecal yang diikuti dengan adanya ulserasi dan nekrosis (kematian sel)
dengan kemungkinan dapat terjadi pula perdarahan pada organ lambung atau
gejala klinis seperti jaundice (sebagai akibat kematian sel-sel hepatosit dan
Gejala klinis demam tifoid pada anak-anak pada umumnya lebih ringan
Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid sangat
pertama yag telah dipakai selama puluhan tahun sampai akhirnya timbul
sebagai berikut :
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : S. enterica
Serovar : Typhi
13
Gambar 2.1.
Bakteri S.typhi Penyebab demam tifoid (Todar ,2012)
S.typhi adalah bakteri Gram (-), tanpa memiliki spora, tidak mempunyai
simpai, fimbria, dengan tipe flagel adalah flagel peritrik. Sifat bakteri ini
antara lain dapat bergerak (motil), dapat tumbuh pada suasana aerob dan
dan sorbitol,dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNAse, VP, dan
reaksi fermentasi sukrosa dan laktosa. S.typhi tumbuh pada suhu 15-41 ‘C
berkisar antara 6-8. Dalam media pembenihan SSAgar, Endo agar, dan
kematian pada suhu 56 ‘C dan pada keadaan kering. Di dalam air, S.typhi
tubuh dari S.typhi. Struktur kimia dari antigen O yang dimiliki oleh
100 ‘C selama 2-5 jam, alkohol dan asam dengan konsentrasi rendah.
2. Antigen H : Antigen ini merupakan antigen yang terdapat pada flagel, dari
yaitu protein porin dan nonporin. Porin merupakan komponen utama Omp,
hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan berat molekul < 6000.
Sifatnya resisten terhadap proteolitis dan denaturasi pada suhu 80-100 ‘C.
jelas. Antigen OMP S.typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50
Demam tifoid yang disebabkan oleh S.typhi ditularkan melalui makanan atau
S.typhi. setalah melewati lambung kuman akan menembus mukosa epitel usus,
dalam kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu kuman akan memasuki
kuman akan masuk ke dalam organ- organ terutama hepar dan sumsum tulang
Kuman yang berada di hepar akan masuk kembali ke dalam usus kecil,
sehingga terjadi infeksi seperti semula dan sebagian kuman akan dikeluarkan
bersamaan dengan keluarnya tinja. Waktu inkubasi S.typhi adalah 12 jam s.d
36 jam. Gejala yang timbul pada masa inkubasi dapat berupa demam, sakit
Gambar 2.2
Mekanisme terjadi bakterimia oleh S.typhi (Tortora , 2013)
bertahan dari asam lambung dan mencapai ke usus halus. Diusus halus,
bakteri akan menmbus sel epitel usus untuk kemduian mencapai sel M,
infeksi bakteri akan semakin cepat dan akan mencapai Antigen Precenting
dan adanya keseimbangan peran dari beberapa sitokin seperti TNF-α IL-12,
mampu melewati dan akan mencapai folikel limfoid , akan dibentuk oleh sel
mononuklear yaitu sel T limfosit, yang akan berfungsi sama baiknya dengan
Gambar 2.3
Mekanisme infeksi S.typhi secara molekuler (Kaur, 2012)
Limfosit T dan limfosit B keluar menuju limpho nodus dan akan mencapai
hati dan limpa melalui sistem retikuloendotelial. Di dalam organ ini bakteri
sel fagositosis mononukleus (House et al, 2001). Pada awal mula infeksi ,
berdasarkan jumlah bakteri, faktor virulensi dari bakteri, dan respon imun
dari inang, bakteri akan dilepaskan dari intraseluler menuju ke aliran darah.
tulang, gall bladder, dan Peyer’s patch di terminal ileum. Di hepar, S.typhi
nitric oxide yang akan aktif dalam pH asam. Bakteri yang mampu bertahan
di dalam hati, limpa, dan sistem retikuloendotelial. Sel yang terinfeksi akan
empedu dan menjadi infeksi sekunder pada usus halus pada ileum. Pada fase
dimana terjadi kasus infeksi berat. Invasi pada mukosa menyebabkan epitel-
hepatosit.
19
sehingga hepar tidak dapat melakukan fungsi nya dengan baik. Kemampuan
penting agar hati dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan oleh proses
diketahui dapat menginfeksi manusia dan hewan, namun lebih dominan pada
hewan, dengan gejala dan patogenensis yang mirip dengan penyakit demam
tifoid pada manusia. Kasus paling banyak pada manusia terjadi karena
manusia tinggal yang tercemar oleh bakteri ini (Hendriksen et al, 2004).
dengan menggunakan model tikus atau mencit, bakteri yang digunakan untuk
akan terlihat mirip dengan yang ada pada manusia setelah terinfeksi oleh
telah sejak lama digunakan untuk pemodelan demam tifoid. Model ini
untuk mengukur jumlah bakteri yang terdapat dalam darah selama masa
infeksi, dimana bakteri akan ada di dalam sel polimorfonuklear dan makrofag
menilai sistem imun yang bekerja pada infeksi oleh bakteri S.typhimurium,
dan resolusi dari infeksi melalui mekanisme imunitas adaptif (Shimizu, 2006)
dengan sepsis. Terdapat 2 bentuk manifestasi klinis yang khas pada infeksi
oleh Salmonella secara umum yaitu self limiting gastroenteritis dan demam
terdapat aktivasi respon imun imunitas selular dan humoral. Respon imun ini
(Zghair, 2012).
21
dimana LPS akan membuat antigen O, inti polisakarida dan lipid A. Lipid A
S.typhimurium.
flagelin dari Salmonella spp. dapat dikenali dengan baik oleh usus tikus
pada tikus , tapi tidak pada manusia (Mathur et al, 2012). Tikus
sangat penting, hal ini dikarenakan gejala penyakit demam tifoid pada masa
awal infeksi sangat tidak khas. Sehingga para dokter biasanya akan
yang dapat diukur untuk menegakan diagnosis demam tifoid antara lain
gambaran darah tepi, kultur bakteri dari darah maupun feses dan dapat pula
dilakukan kultur dari urine dan sumsum tulang, pemeriksaan serologis (Widal,
22
pada cara sampling yang baik. Untuk sampel kultur, jika letak laboratorium
darah diambil dari pasien maka harus segera dilakukan inokulasi pada media.
telah diinokulasikan kedalam media maka harus segera diinkubasi pada suhu
tanpa antikoagulan. Sampel serum dapat disimpan pada suhu 4 ‘C dan -20 ‘C
jika sampel tidak segera diperiksa. Pengambilan sampel feses pada pasien
b) Kultur Bakteri
sumsum tulang. Sampel darah dapat diambil pada minggu 1 sakit pada
saat pasien mengalami demam tinggi. Sampel feses dan urine dapat
Sampel dapat ditanam pada media gall atau pada media Salmonella
c) Pemeriksaan serologi
(Mehta, 2008)
hepar masih berlanjut maka tes fungsi hati yang lain akan mengalami
Secara klinis bila tes fungsi hati terganggu jelas dan disertai dengan
organ hepar, ginjal , dan otak (Widmann, 1995). Apabila jaringan hepar, otak
dan ginjal mengalami kerusakan sebagai akibat dari infeksi atau sebab lain
maka kadarnya akan meningkat, hal ini terjadi karena bebasnya enzim-enzim
SGOT berada pada sel parenkim hati yang akan meningkat pada
kerusakan hepar akut, namun enzim ini juga terdapat di dalam sel darah
merah dan otot skelet. Kadar normal dalam tubuh manusia adalah 10-40
IU/Liter, sedangkan pada tikus berkisar antara 45,7 – 100 IU/L (Widmann,
untuk menilai dan memonitor status hepar pada infeksi demam tifoid. Enzim
ini akan menningkat secara signifikan pada pasien dengan demam tifoid oleh
bakteri S.typhi. enzim SGOT bersama dengan enzim SGPT kadarnya akan
lebih tinggi pada penderita demam tifoid akibat infeksi S.typhi (Shamin et al,
hepatitis yang diikuti dengan peningkatan kadar bilirubin. Angka ini dapat
karena infeksi S.typhi. kadar SGOT pada infeksi demam tifoid dapat menjadi
SGPT prevalensi peningkatan enzim ini pada pasien demam tifoid dapat
yang lebih cepat, murah , dan efisien dibandingkan dengan pengukuran kultur
yang dimiliki oleh S.typhi (Ly and Cassanova, 2007), atau dengan interaksi
antara endotoksin yang dimiliki oleh S.typhi dengan makrofag pada hepar
antibiotik untuk S.typhi maka kadar enzim transaminase SGOT dan SGPT
Enzim ini mengkatalisis perpindahan satu gugus asam amino antara lain
adalah alanine dam asam alfa ketoglutarat. Enzim SGPT sangat banyak
lain di dalam tubuh. Kadar SGPT akan meningkat pada hampir semua
penyakit infeksi pada organ hepar, kadar tertinggi dapat ditemukan pada
keadaan yang menyebabkan nekrosis sel-sel hati yang luas, seperti infeksi
oleh virus hepatitis, infeksi bakteri , maupun cedera hepar akibat toksin.
Peningkatan yang lebih rendah dapat ditemukan pada hepatitis akut ringan
demikian pula pada penyakit hati kronik. Kadar yang mendadak turun pada
penyakit akut menandakan bahwa sumber enzim yang tersisa habis. Kalau
28
kerusakan oleh radang hepar hanya kecil, kadar enzim SGPT akan meningkat
Kadar enzim SGPT normal di dalam tubuh adalah 5-35 IU/L dan SGPT
lebih sensitif daripada enzim SGOT (Sacher & McPherson, 2002). Pada tikus
normal kadar SGPT adalah dalam rentang 25-60 mmol/L, peningkatan enzim
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
adalah angka kekambuhan yang tinggi, dan juga bersifat toksis pada sumsum
dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, dan kemungkinan terjadi
kesadaran yang menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala
anjuran dari WHO yang diterbitkan pada tahun 2003 pasien demam tifoid
istirahat total serta terapi suportif. Nutrisi yang adekuat dan mudah dicerna
(Muchtarommah, 2014). Hal ini karena cacing tanah sangat mudah didapat
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Eumetazoa
Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Subclass : Diplotesticulata
Superorder : Megadrili
Order : Opisthopora
Suborder : Lumbricina
Superfamily : Lumbricoidea
Family : Lumbricidae
Subfamily : Lumbricinae
Genus : Lumbricus
Species : rubellus
Gambar 2.4
Cacing Tanah Lumbricus rubellus (Hrushikesh et al, 2012)
karena berasal dari tanah. Lumbrokinase (LK) adalah kelompok dari 6 enzim
proteolitik baru yang berasal dari cacing tanah, sebagai enzim fibrinolitik
yang kuat. Komponen paling penting yang dimiliki oleh cacing tanah
cacing tanah yang tidak bersifat karsinogenik dan memiliki sifat antibakteri.
Cacing tanah merupakan salah satu bahan alami yang memiliki potensi
menggantikan antibiotik. Hal ini karena cacing tanah memiliki kadar protein
Sofyan, 2007).
tanah jenis Lumbricus rubellus juga terbukti lebih baik dan berbeda nyata
(Purwaningroom, 2010).
S.typhi.