Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Tifoid

Demam tifoid adalah salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan

morbiditas dan mortilitas yang tinggi di seluruh dunia khususnya di negara-

negara berkembang. Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan

oleh bakteri Salmonella enterica serovar typhi (S.typhi) (Parry, 2004) .Di

Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang demam tifoid

termasuk penyakit endemis. Angka kejadian di Indonesia masih tinggi dan

menjadi masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan

lingkungan dan sanitasi yang buruk (Retnosari, 2000 ; Dewi, 2013).

Diperkirakan insiden penyakit ini adalah 3,1 per 1000 penduduk dengan

kasus fatal mencapai 5,1 %. Meskipun penyakit ini tidak terbatas pada

kelompok umur tertentu, namun angka kejadian cukup tinggi pada anak umur

diatas 5 tahun. Angka kematian nasional rata-rata adalah pada rentang 2-3,5

%, selanjutnya dari kasus-kasus penyakit demam tifoid tersebut 3-5% pasien

akan menjadi pasien karir asimtomatik (asymphtomatic carrier) sehingga

menjadi suatu sumber infeksi baru lagi bagi masayrakat sekitar karena

kecenderungan di Indonesia adalah sanitasi buruk, karier yang tidak

terdeteksi (undetected carrier) dan keterlambatan diagnosis dan pengobatan

yang tidak komprehensif (Suwondo, 1996 ; Maulana, 2000).

8
9

2.2 Gejala Klinis Demam Tifoid

Setelah 7-14 hari tanpa gejala (asimptomatis) dapat muncul keluhan atau

gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak

tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan

demam yang berangsur makin tinggi setiap hari, serta rasa tidak nyaman.

Gejala lain yang biasa dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian

keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen , dan obstipasi,

dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada

stadium lanjut dari hati dan limpa atau dapat keduanya (Nelwan,2012).

Sekitar 10-15% dari pasien demam tifoid akan mengalami komplikasi,

terutama pada pasien yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu.

Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan

gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada

sistem retikuloendotelial, karena penyebaran bakteri S.typhi pada demam

tifoid adalah secara hematogen. Bila tidak ada komplikasi, gejala klinis akan

mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu (Bhutta, 2006).

Demam tifoid memiliki 4 fase yang akan dialami oleh penderita yaitu :

1. Fase prodormal, pada fase ini belum ada tanda-tanda gejala penyakit,

terjadi pada minggu-minggu pertama (dari mulai penderita terinfeksi kuman)

sampai dengan awal minggu kedua. Pada fase ini terjadi bakterimia primer

(pertama).

2. Fase klinis (minggu 2), pada fase ini, terlihat gejala-gejala klinis dari

penyakit demam tifoid tetapi pada fase ini bakterimia mulai menurun. Gejala
10

klinis yang mulai tampak diantaranya adalah pusing, panas dapat mencapai

40 ‘C, denyut nadi lemah, malaise, anoreksia, perut terasa tidak enak, diare

dan sembelit yang berganti-ganti.

3. Fase Komplikasi (minggu 3), fase komplikasi ini adalah fase paling

berbahaya karena pada fase ini terjadi komplikasi lain yang mungkin lebih

membahayakan dari penyakit tifoid itu sendiri. Sering pula terjadi dimana

penyakit demam tifoid nya sendiri telah sembuh , tetapi timbul penyakit yang

baru lagi yang merupakan komplikasi dari penyakit demam tifoid.

Komplikasi yang sering ditimbulkan antara lain peradangan usus (usus

menjadi berlubang) sehingga terjadi peritonitis. Komplikasi serius yang

sering terjadi adalah perdarahan dan perforasi usus halus termasuk juga sepsis,

meningitis, pneumonia, dan dapat pula terjadi miokarditis. Selain itu

komplikasi lain yang dapat terjadi andalah terjadinya septisemi karena adanya

endotoksin yang dihasilkan oleh S.typhi. Pada sepsis sering terjadi seperti

syok, septik dan kematian pada penderita. Endotoksin dari S.typhi dapat

menimbulkan gangguan sirkulasi perifer dan gangguan pada multi organ.

4. Fase penyembuhan (minggu 4), fase ini adalah fase akhir dari demam

tifoid, merupakan perjalanan menuju sembuh. Pada fase ini penderita akan

menuju sembuh jika diberi pengobatan dan tanpa terjadi komplikasi serta

telah dapat diatasi (Rofiqi, 2009).

Infeksi bakteri dan respon dari sel host berupa peningkatan aktivitas

sitokin akan menimbulkan gejala klinis yang dapat diamati. Sitokin (IL-1, IL-

6, TNF-α, IFN-α, β, dan ƴ) juga berperan dalam terjadinya demam pada


11

penderita demam tifoid, yang dapat terjadi sampai dengan 4 minggu pada

kasus demam tifoid yang tidak mendapatkan perawatan yang baik. Gejala

khas dari demam tifoid pada awal infeksi adalah terjadi demam dan

bakterimia. Gejala yang dapat muncul diantaranya gejala seperti lidah yang

kotor, pembengkakan pada hepar, dan kadang dapat juga terjadi

pembengkakan pada kelenjar limpa. Tanpa penanganan dan pemberian obat

yang benar dan aman maka gejala demam tifoid akan dapat memanjang

sampai dengan minggu ke 3 dan lesi -lesi inflamatori akan semakin banyak di

Peyer’s patch dan lamina propina usus. Terjadinya hiperplasi pada limfoid di

area ileocecal yang diikuti dengan adanya ulserasi dan nekrosis (kematian sel)

dengan kemungkinan dapat terjadi pula perdarahan pada organ lambung atau

perforasi pada usus. Fenomena ini akan mengakibatkan terjadinya beberapa

gejala klinis seperti jaundice (sebagai akibat kematian sel-sel hepatosit dan

aktivasi cholangiosit) dan akan terjadi peningkatan aktivitas enzim aspartate

aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), enzim glutamil

transpeptidase, alkaline phospatase, dll. Lebih lanjut, terjadinya komplikasi

pada 10-15% pasien akan menyebabkan kematian pada minggu ke 3 pasca

infeksi (Kaur, 2012).

Gejala klinis demam tifoid pada anak-anak pada umumnya lebih ringan

dibandingkan dengan orang dewasa, namun dapat terjadi komplikasi dan

kematian. Gambaran klinis gejala demam tifoid seringkali tidak khas

sehingga diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium yang handal dalam

penentuan diagnosis penyakit demam tifoid (Retnosari, 2000).


12

Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid sangat

penting, karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian.

Klorampenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol merupakan antibiotik lini

pertama yag telah dipakai selama puluhan tahun sampai akhirnya timbul

resistensi (Sidabutar, 2010).

2.3 Salmonella typhi

2.3.1 Klasifikasi, Morfologi dan Fisiologi Salmonella typhi

Bakteri Salmonella typhi (S.typhi) termasuk ke dalam famili

Enterobacteriacease. Klasifikasi bakteri S.typhi menurut Todar (2012) adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : S. enterica
Serovar : Typhi
13

Gambar 2.1.
Bakteri S.typhi Penyebab demam tifoid (Todar ,2012)

S.typhi adalah bakteri Gram (-), tanpa memiliki spora, tidak mempunyai

simpai, fimbria, dengan tipe flagel adalah flagel peritrik. Sifat bakteri ini

antara lain dapat bergerak (motil), dapat tumbuh pada suasana aerob dan

anaerob fakultatif, memberikan hasil positif pada reaksi fermentasi manitol

dan sorbitol,dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNAse, VP, dan

reaksi fermentasi sukrosa dan laktosa. S.typhi tumbuh pada suhu 15-41 ‘C

dengan suhu pertumbuhan optimum adalah 37,5 ‘C dengan pH media

berkisar antara 6-8. Dalam media pembenihan SSAgar, Endo agar, dan

MacConkey koloni S.typhi akan berwarna hitam. S.typhi akan mengalami

kematian pada suhu 56 ‘C dan pada keadaan kering. Di dalam air, S.typhi

dapat bertahan selama 4 minggu (Radji, 2010).

2.3.2 Struktur dan tipe antigen

Secara umum S.typhi memiliki 4 jenis yang umum diketahui dalam

menyebabkan penyakit demam tifoid, yaitu :

1. Antigen O : merupakan antigen somatik yang terletak pada lapisan luar

tubuh dari S.typhi. Struktur kimia dari antigen O yang dimiliki oleh

S.typhi adalah lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan

100 ‘C selama 2-5 jam, alkohol dan asam dengan konsentrasi rendah.

2. Antigen H : Antigen ini merupakan antigen yang terdapat pada flagel, dari

S.typhi dengan struktur kimia utama pembentuknya adalah protein.

S.typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki oleh


14

beberapa genus salmonella yang lain. Sehingga antigen H kurang spesifik

dalam penentuan diagnosis demam tifoid oleh S.typhi.

3. Antigen Vi : terletak di lapisan terluar S.typhi (kapsul) yang melindungi

kuman dari fagositosis dengan struktur kimia utama penyusunnya adalah

glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60 ‘C

dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk

mengetahui adanya carrier.

4. OMP (Outer membrane protein) : merupakan bagian dinding sel yang

terletak diluar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang

membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP terdiri dari 2 bagian

yaitu protein porin dan nonporin. Porin merupakan komponen utama Omp,

yang terdiri atas OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran

hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan berat molekul < 6000.

Sifatnya resisten terhadap proteolitis dan denaturasi pada suhu 80-100 ‘C.

Protein nonporin terdiri atas OMP A, protein dan lipoprotein, bersifat

sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan

jelas. Antigen OMP S.typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50

kDa/ 52 kDa (Baron, 1994).

2.4 Patogenesis Infeksi Salmonella typhi

Dosis infeksi dari bakteri S.typhi hingga dapat menyebabkan penyakit

demam tifoid berkisar antara 1000 sampai dengan 1.000.000 organisme.

Demam tifoid yang disebabkan oleh S.typhi ditularkan melalui makanan atau

minuman yang tercemar dengan feses manusia yang mengandung bakteri


15

S.typhi. setalah melewati lambung kuman akan menembus mukosa epitel usus,

kemudian akan berkembang biak di dalam makrofag. Kemudian masuk ke

dalam kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu kuman akan memasuki

peredaran darah sehingga terjadi bakterimia pertama yang asimtomatis, lalu

kuman akan masuk ke dalam organ- organ terutama hepar dan sumsum tulang

yang dilanjutkan dengan pelepasan kuman dan endotoksin ke peredaran darah

sehingga menyebabkan bakterimia kedua.

Kuman yang berada di hepar akan masuk kembali ke dalam usus kecil,

sehingga terjadi infeksi seperti semula dan sebagian kuman akan dikeluarkan

bersamaan dengan keluarnya tinja. Waktu inkubasi S.typhi adalah 12 jam s.d

36 jam. Gejala yang timbul pada masa inkubasi dapat berupa demam, sakit

pada bagian perut dan dapat terjadi diare (Tortora, 2013).


16

Gambar 2.2
Mekanisme terjadi bakterimia oleh S.typhi (Tortora , 2013)

Secara molekuler patogenesis infeksi S.typhi dimulai ketika bakteri dapat

bertahan dari asam lambung dan mencapai ke usus halus. Diusus halus,

bakteri akan menmbus sel epitel usus untuk kemduian mencapai sel M,

kemudian akan memasuki peyer’s patch. Setelah kontak dengan sel M,

infeksi bakteri akan semakin cepat dan akan mencapai Antigen Precenting

Cells (APCs), dimana sebagian akan di fagositosis dan di netralisasi. Proses

fagositosis terhadap bakteri diatur secara tersendiri yang kemudian menjadi

lesi patologis di sekitar jaringan normal. Pembentukan lesi adalah proses

dinamis yang memerlukan kehadiran molekul adesi seperti ICAM1 (inter-


17

celular adhesion molecul 1), VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion Molecul 1)

dan adanya keseimbangan peran dari beberapa sitokin seperti TNF-α IL-12,

IL-18, IL-14, IL-15 dan interferon (IFN)ƴ. Kegagalan dalam pembentukan

lesi patologis akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan abnormal dan

penyebaran bakteri di dalam jaringan yang diinfeksi. Beberapa bakteri akan

mampu melewati dan akan mencapai folikel limfoid , akan dibentuk oleh sel

mononuklear yaitu sel T limfosit, yang akan berfungsi sama baiknya dengan

Dendritic Cells (DC). DC akan mempresentasikan bakteri pada sel-sel imun

yang akan memicu aktivasi limfosit T dan limfosit B.

Gambar 2.3
Mekanisme infeksi S.typhi secara molekuler (Kaur, 2012)

Limfosit T dan limfosit B keluar menuju limpho nodus dan akan mencapai

hati dan limpa melalui sistem retikuloendotelial. Di dalam organ ini bakteri

akan dibunuh dengan mekanisme fagositosis melalui sistem makrofag.

Bagaimanapun, S.typhi mampu untuk bertahan dan bermultiplikasi di dalam


18

sel fagositosis mononukleus (House et al, 2001). Pada awal mula infeksi ,

berdasarkan jumlah bakteri, faktor virulensi dari bakteri, dan respon imun

dari inang, bakteri akan dilepaskan dari intraseluler menuju ke aliran darah.

Fase bakterimia dari penyakit demam tifoid akan ditandai dengan

menyebarnya kuman S.typhi ke berbagai organ, seperti hepar, limpa, sumsum

tulang, gall bladder, dan Peyer’s patch di terminal ileum. Di hepar, S.typhi

akan merangsang aktivasi sel Kupffer. Sel Kupffer memiliki sifat

mikrobisidal dan akan menetralisir bakteri melalui oksidasi radikal bebas,

nitric oxide yang akan aktif dalam pH asam. Bakteri yang mampu bertahan

akan menginvasi hepatosit dan menyebabkan kematian sel, melalui

mekanisme apoptosis (Kaur, 2012).

Dalam jangka waktu 1 sampai dengan 3 minggu kuman akan bereplikasi

di dalam hati, limpa, dan sistem retikuloendotelial. Sel yang terinfeksi akan

mengalami kerusakan dan menyebabkan kuman berpindah ke dalam kantung

empedu dan menjadi infeksi sekunder pada usus halus pada ileum. Pada fase

dimana terjadi kasus infeksi berat. Invasi pada mukosa menyebabkan epitel-

epitel sel memproduksi dan melepaskan beberapa sitokin proinflamatori

termasuk IL-1, IL-6, IL-8. TNF-β, INF, GM-CSF (Singh, 2001).

Pada organ hepar, S.typhi akan merangsang adanya proliferasi sel-sel

radang. Sarangradang yang interlobular, disebabkan oleh endotoksin S.typhi.

secara mikroskopis akan terlihat adanya sel-sel epiloid berinti besar,

pelebaran sinusoid, peradangan vena sentralis, dan nekrosis pada sel-sel

hepatosit.
19

Terjadinya nekrosis pada sel-sel hepar ditandai dengan matinya sel

sehingga hepar tidak dapat melakukan fungsi nya dengan baik. Kemampuan

hepar untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses yang sangat

penting agar hati dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan oleh proses

infeksi bakteri (Muctarommah, 2014).

2.5 Pemodelan demam typhoid pada hewan coba

Salmonella telah tersebar luas di seluruh dunia. Pada manusia diketahui

penyebab paling banyak kasus demam tifoid disebabkan oleh infeksi

salmonella serovar typhi. Selain itu bakteri Salmonella typhimurium juga

diketahui dapat menginfeksi manusia dan hewan, namun lebih dominan pada

hewan, dengan gejala dan patogenensis yang mirip dengan penyakit demam

tifoid pada manusia. Kasus paling banyak pada manusia terjadi karena

foodborne , namun infeksi non-foodborne juga dapat terjadi ketika manusia

melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi atau membawa bakteri

salmonella, melalui air yang terkontaminasi , bahkan lingkungan tempat

manusia tinggal yang tercemar oleh bakteri ini (Hendriksen et al, 2004).

Penelitian tentang demam tifoid pada manusia telah banyak dilakukan

dengan menggunakan model tikus atau mencit, bakteri yang digunakan untuk

melakukan penelitian demam tifoid dengan tikus coba adalah salmonella

typhimurium (Zghair, 2012 ; Song et al, 2010). Pada mencit , infeksi

S.typhimurium akan menyebabkan penyakit demam enterik, yang gejala nya

akan terlihat mirip dengan yang ada pada manusia setelah terinfeksi oleh

S.typhi (Eisenstein, 1999). Infeksi S.typhimurium pada tikus di laboratorium


20

telah sejak lama digunakan untuk pemodelan demam tifoid. Model ini

digunakan untuk menilai beberapa fase infeksi demam tifoid diantaranya

untuk mengukur jumlah bakteri yang terdapat dalam darah selama masa

infeksi, dimana bakteri akan ada di dalam sel polimorfonuklear dan makrofag

didalam sistem retikuloendotelial dan keberadaan bakteri setelah fase

recovery, menilai fase replikasi eksponensial pada sistem retikuloendotelial,

menilai sistem imun yang bekerja pada infeksi oleh bakteri S.typhimurium,

dan resolusi dari infeksi melalui mekanisme imunitas adaptif (Shimizu, 2006)

Salmonella typhimurium adalah bakteri gram negatif patogen yang hidup

di lumen usus. Salmonella typhimurium dapat menginfeksi manusia maupu

tikus, dapat menyebabkan penyakit mulai dari yang asimptomatis sampai

dengan sepsis. Terdapat 2 bentuk manifestasi klinis yang khas pada infeksi

oleh Salmonella secara umum yaitu self limiting gastroenteritis dan demam

tifoid (Shimizu, 2006) . Faktor virulen dari bakteri S.typhimurium terletak

pada Outer membrane protein (OMP), dimana terdapat banyak kandungan

lipopolisakarida (LPS) yang berfungsi umtuk melindungi bakteri

S.typhimurium dari pengaruh lingkungan tempat bakteri berada. Beberapa

percobaan infeksi S.typhimurium pada hewan coba menunjukan bahwa

terdapat aktivasi respon imun imunitas selular dan humoral. Respon imun ini

secara umum terjadi untuk melawan lipopolisakarida (LPS) dan protein-

protein dari Outer membrane yang dimiliki oleh bakteri S.typhimurium

(Zghair, 2012).
21

Pada infeksi S.typhimurium faktor virulen yang berperan dalah LPS,

dimana LPS akan membuat antigen O, inti polisakarida dan lipid A. Lipid A

dibuat terbuat dari 2 glucosamine terfosforilasi yang melekat pada asam

lemak. Kelompok fosfat inilah yang berperan sebagai faktor toksisitas

S.typhimurium.

Pemodelan demam tifoid untuk percobaan pada tikus dengan mengunakan

bakteri S.typhimurium juga didasarkan pada beberapa pertimbangan. S.typhi

yang diketahui adalah parasit obligat manusia tidak mampu untuk

menyebabkan infeksi pada tikus. Laporan terbaru menyebutkan bahwa

flagelin dari Salmonella spp. dapat dikenali dengan baik oleh usus tikus

melalui Toll-like receptor 11 (TLR 11), dimana TLR 11 hanya di ekspresikan

pada tikus , tapi tidak pada manusia (Mathur et al, 2012). Tikus

mengekspresikan 12 TLR termasuk TLR 11,12,13, sehingga lebih susceptible

terhadap infeksi bakteri S.typhimurium (Roach et al, 2005)

2.6 Pemeriksaan penunjang diagnosis demam tifoid

Pemeriksaan laboratorium dalam penegakan diagnosis kasus demam tifoid

sangat penting, hal ini dikarenakan gejala penyakit demam tifoid pada masa

awal infeksi sangat tidak khas. Sehingga para dokter biasanya akan

memberikan terapi secara empiris. Penegakan diagnosis demam tifois dengan

melakukan pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan. Beberapa parameter

yang dapat diukur untuk menegakan diagnosis demam tifoid antara lain

gambaran darah tepi, kultur bakteri dari darah maupun feses dan dapat pula

dilakukan kultur dari urine dan sumsum tulang, pemeriksaan serologis (Widal,
22

IgM S.typhi serum), sampai dengan pemeriksaan molekuler dengan

menggunakan polimerase chain reaction (PCR) (Singh, 2001).

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis demam tifoid sangat tergantung

pada cara sampling yang baik. Untuk sampel kultur, jika letak laboratorium

tidak terjangkau maka harus diproses terlebih dahulu sebelum dikirim ke

laboratorium utama. Pada pemeriksaan kultur darah sebaiknya segera setelah

darah diambil dari pasien maka harus segera dilakukan inokulasi pada media.

Transportasi sampel harus dilakukan secepat mungkin, ketika sampel darah

telah diinokulasikan kedalam media maka harus segera diinkubasi pada suhu

optimal, tidak direkomendasikan menyimpan sampel ke dalam lemari

pendingin (ice box).

Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan mengambil darah dari

pasien demam tifoid sebanyak 1-3 cc kemudian dimasukan ke dalam wadah

tanpa antikoagulan. Sampel serum dapat disimpan pada suhu 4 ‘C dan -20 ‘C

jika sampel tidak segera diperiksa. Pengambilan sampel feses pada pasien

akut akan sangat berguna untuk mendeteksi apakah pasien masih

mengeksreikan bakteri atau tidak (deteksi carrier). Hal yang harus

diperhatikan dalam pengambilan sampel feses untuk keperluan kultur adalah

menghindari kontaminasi. Jika tidak memungkinkan untuk dilakukan

pemeriksaan dengan segera maka sampel dapat dimasukan ke dalam media

transport seperti media Carry Blair.

a) Gambaran darah tepi


23

Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit total, akan terdapat gambaran

leukopeni (3000-8000 per mm3), limfositosis relatif, monositosis, dan

mungkin akan terjadi eosinofilia dan trombositopenia ringan.

Terjadinya leukopenia adalah akibat adanya depresi sumsum tulang

oleh endotoksin yang dihasilkan oleh S.typhi. Kejadian leukopenia

diperkirakan sebesar 25% pada seluruh penderita demam tifoid.

Kejadian trombositopenia dikaitkan dengan menurunnya produksi dan

destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES. Sedangkan anemia juga

disebabkan oleh menurunnya produksi hemoglobin dan terjadi

perdarahan pada usus yang tidak terdeteksi di feses (occult bleeding).

Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan kadar hemoglobin akut pada

minggu ke 3-4 masa infeksi, yang biasanya disebabkan oleh terjadinya

perdarahan hebat di bagian abdomen (Kepmenkes, 2006).

b) Kultur Bakteri

Sampel untuk pemeriksaan kultur bakteri dapat menggunakan darah ,

feses, urine , dan jika memungkinkan dapat menggunakan sampel

sumsum tulang. Sampel darah dapat diambil pada minggu 1 sakit pada

saat pasien mengalami demam tinggi. Sampel feses dan urine dapat

digunakan pada minggu ke 2 sakit dan minggu-minggu selanjutnya.

Sampel dapat ditanam pada media gall atau pada media Salmonella

Shigella Agar (SSA). Beberapa hal dapat mengurangi sensitifitas

pemeriksaan dengan metode kultur diantaranya adalah :

1. Pasien telah mendapat terapi antibiotik sebelumnya


24

2. Waktu pengambilan sampel tidak tepat sehingga sampel tidak

mengandung cukup bakteri untuk dapat tumbuh

3. Volume darah yang diambil tidak mencukupi

4. Sampel darah menggumpal

Sampel yang diambil dari sumsum tulang mempunyai sensitifitas

yang lebih tinggi (Singh, 2001 ; Kepmenkes, 2006)

c) Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan serologi yang paling sering digunakan dalam penegakan

diagnosis demam tifoid adalah widal test. Pemeriksaan widal

mengukur adanya peningkatan titer antibodi terhadap antigen O

(somatik) dan antigen H (flagellar). Pemeriksaan widal yang baik dan

bernilai diagnostik disarankan dilakukan 2 kali dengan interval waktu

pengambilan 10-14 hari (Wardana, 2010).

Pemeriksaan lain adalah dengan mendeteksi IgM dan IgG S.typhi.

Terdeteksinya IgM menunjukan fase akut penyakit demam tifoid,

sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukan demam tifoid pada

fase akut pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun

setelah infeksi, oleh karena itu tidak dapat digunakan untuk

membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan

(Mehta, 2008)

Salah satu metode pemeriksaan yang terbaru yaitu typhidot M yang

hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki

sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan


25

typhidot. Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk menggantikan

pemeriksaan Widal. Tetapi harus disertai dengan gambaran klinis yang

jelas (Nelwan, 2012).

d) Pemeriksaan Kimia Darah

Peningkatan enzim aminotransaminase (SGOT, SGPT) dikarenakan

terjadinya peradangan pada sel-sel hepar. Banyak pendapat

mengatakan bahwa peningkatan enzim transaminase ini karena

aktivitas endotoksin yang dimiliki oleh S.typhi. Apabila peradangan di

hepar masih berlanjut maka tes fungsi hati yang lain akan mengalami

peningktan kadar yang bermakna. Bilirubin akan meningkat, albumin

akan menurun dan akan terjadi pula peningkatan alkaline phospatase.

Secara klinis bila tes fungsi hati terganggu jelas dan disertai dengan

ikterus dan hepatomegali disebut dengan hepatitis tifosa atau hepatitis

salmonella (Kepmenkes, 2006).

2.7 Enzim Aminotransaminase (SGOT dan SGPT)

2.6.1 Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT)

SGOT adalah enzim mitokondria yang juga dapat ditemukan di dalam

organ hepar, ginjal , dan otak (Widmann, 1995). Apabila jaringan hepar, otak

dan ginjal mengalami kerusakan sebagai akibat dari infeksi atau sebab lain

maka kadarnya akan meningkat, hal ini terjadi karena bebasnya enzim-enzim

intraseluler dari sel-sel yang rusak ke dalam sirkulasi, sehingga enzim-enzim

ini dapat digunakan sebagai penanda terjadinya kerusakan jaringan pada

hepar (Hadi, 1995 ; Widmann, 1995).


26

SGOT berada pada sel parenkim hati yang akan meningkat pada

kerusakan hepar akut, namun enzim ini juga terdapat di dalam sel darah

merah dan otot skelet. Kadar normal dalam tubuh manusia adalah 10-40

IU/Liter, sedangkan pada tikus berkisar antara 45,7 – 100 IU/L (Widmann,

1995 ; Sher and Hung, 2013).

Pengukuran konsentrasi enzim SGOT pada demam tifoid berguna untuk

deteksi cedera atau kerusakan pada hepatoseluler dan sebagai parameter

untuk menilai dan memonitor status hepar pada infeksi demam tifoid. Enzim

ini akan menningkat secara signifikan pada pasien dengan demam tifoid oleh

bakteri S.typhi. enzim SGOT bersama dengan enzim SGPT kadarnya akan

lebih tinggi pada penderita demam tifoid akibat infeksi S.typhi (Shamin et al,

2012 ; Ndukaku et al, 2015)

Pada umumnya, peningkatan SGOT > 1000U/L terjadi pada viral

hepatitis yang diikuti dengan peningkatan kadar bilirubin. Angka ini dapat

digunakan untuk membedakan antara viral hepatitis dan kerusakan hati

karena infeksi S.typhi. kadar SGOT pada infeksi demam tifoid dapat menjadi

10 kali lebih rendah (Srikanth and Kumar, 2015)

Menurut Jassim et al (2014) enzim transaminase yaitu SGOT dan

SGPT prevalensi peningkatan enzim ini pada pasien demam tifoid dapat

digunakan sebagai indikator penegakan diagnosa pada pasien demam tifoid

yang lebih cepat, murah , dan efisien dibandingkan dengan pengukuran kultur

bakteri atau tes laboratorium yang lain


27

Pengukuran enzim transaminase SGOT dan SGPT juga dapat

dilakukan untuk monitoring keberhasilan pengobatan dengan menggunakan

antibiotik pada penderita demam tifoid. S.typhi akan menyebebkan kerusakan

pada hepatoseluler dengan mekanisme yaitu invasi pada jaringan limfatik

pada usus dengan mengaktivasi makrofag yang di mediasi oleh Vi antigen

yang dimiliki oleh S.typhi (Ly and Cassanova, 2007), atau dengan interaksi

antara endotoksin yang dimiliki oleh S.typhi dengan makrofag pada hepar

(sel Kupffer) (Spano et al, 2008). Pada pengobatan dengan menggunakan

antibiotik untuk S.typhi maka kadar enzim transaminase SGOT dan SGPT

akan menurun dengan cepat pada pemberian antibiotik (Al-Razzuqi et al,

2012 ; Shamin et al, 2012)

2.6.2 Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)

Enzim ini mengkatalisis perpindahan satu gugus asam amino antara lain

adalah alanine dam asam alfa ketoglutarat. Enzim SGPT sangat banyak

terdapat di dalam sel hepatosit dan konsentrasinya lebih rendah di jaringan

lain di dalam tubuh. Kadar SGPT akan meningkat pada hampir semua

penyakit infeksi pada organ hepar, kadar tertinggi dapat ditemukan pada

keadaan yang menyebabkan nekrosis sel-sel hati yang luas, seperti infeksi

oleh virus hepatitis, infeksi bakteri , maupun cedera hepar akibat toksin.

Peningkatan yang lebih rendah dapat ditemukan pada hepatitis akut ringan

demikian pula pada penyakit hati kronik. Kadar yang mendadak turun pada

penyakit akut menandakan bahwa sumber enzim yang tersisa habis. Kalau
28

kerusakan oleh radang hepar hanya kecil, kadar enzim SGPT akan meningkat

lebih cepat daripada kadar enzim SGOT (Widmann, 1995).

Kadar enzim SGPT normal di dalam tubuh adalah 5-35 IU/L dan SGPT

lebih sensitif daripada enzim SGOT (Sacher & McPherson, 2002). Pada tikus

normal kadar SGPT adalah dalam rentang 25-60 mmol/L, peningkatan enzim

ini secara signifikan pada serum menandakan terjadinya kerusakan atau

gangguan pada hepar (Sher and Hung, 2013)

2.8 Terapi Demam Tifoid

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam

dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian, dan yang

paling penting juga adalah eradikasi total bakteri untuk mencegah

kekambuhan dan mencegah keadaan carrier. Pemilihan antibiotik tergantung

pada pola sensitivitas bakteri S.typhi didaerah setempat terjadinya infeksi.

Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik

(MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2

kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok

klorampenikol, ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (MDR) dan

resisten terhadap antibiotik floroquinolone (WHO, 2003)

Klorampenikol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar

pada demam tifoid, namun kekurangan dari penggunaan klorampenikol

adalah angka kekambuhan yang tinggi, dan juga bersifat toksis pada sumsum

tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih


29

dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, dan kemungkinan terjadi

carrier adalah 4%.

Pasien dengan muntah menetap, diare berat , distensi abdomen , atau

kesadaran yang menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala

klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid berat. Berdasarkan

anjuran dari WHO yang diterbitkan pada tahun 2003 pasien demam tifoid

berat dapat diberikan beberapa antibiotik salah satunya cefotaxime, namun di

Indonesia belum ada laporan keberhasilan penggunaan cefotaxime dalam

penanganan demam tifoid. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu

istirahat total serta terapi suportif. Nutrisi yang adekuat dan mudah dicerna

sangat dianjurkan dalam penanganan demam tifoid (Nelwan, 2012).

2.9 Lumbricus rubellus

Secara turun temurun masyarakat pada umumnya menggunakan cacing

tanah untuk mengobati penyakit demam tifoid secara tradisional

(Muchtarommah, 2014). Hal ini karena cacing tanah sangat mudah didapat

dan ketersediaanya banyak di alam. Berdasarkan penelitian yang telah oleh

Engelmann et al (2005), secara ilmiah cacing tanah memiliki manfaat sebagai

pengobatan, di dalam tubuh cacing tanah mengandung senyawa aktif

antibakteri, diantaranya terdapat enzim lysozime, aglutinnin, faktor litik, dan

lumbricin. Enzim-enzim ini sangat berkhasiat untuk pengobatan, diantaranya

sebagai antipiretik, antipirin, antidot dan memperbaiki pembuluh darah

(blood vessel shrinker). Taksonomi cacing tanah (Lumbricus rubellus)

menurut Fauna Europeaea adalah sebagai berikut :


30

Kingdom : Animalia
Subkingdom : Eumetazoa
Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Subclass : Diplotesticulata
Superorder : Megadrili
Order : Opisthopora
Suborder : Lumbricina
Superfamily : Lumbricoidea
Family : Lumbricidae
Subfamily : Lumbricinae
Genus : Lumbricus
Species : rubellus

Gambar 2.4
Cacing Tanah Lumbricus rubellus (Hrushikesh et al, 2012)

Cacing tanah termasuk ke dalam kelas Oligochaeta dengan banyak suku.

Spesies yang dikembangkan untuk diproduksi dan dibudidayakan yaitu


31

Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, Pheretima asiatica dan Eudrilus

eugeuniae. Cacing tanah dikenal memiliki kandungan nutrisi yang padat

karena berasal dari tanah. Lumbrokinase (LK) adalah kelompok dari 6 enzim

proteolitik baru yang berasal dari cacing tanah, sebagai enzim fibrinolitik

yang kuat. Komponen paling penting yang dimiliki oleh cacing tanah

(Lumbricus rubellus) yang berfungsi sebagai zat antibakteri adalah peptida

kompleks dalam bentuk G-90 glikoprotein yang mampu menghambat

pertumbuhan beberapa bakteri patogen, diantaranya Salmonella eneteretidis,

Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes (Popovic, 2005). G-90

protein adalah glikoprotein aktif yang diekstrak dari jaringan-jaringan pada

cacing tanah yang tidak bersifat karsinogenik dan memiliki sifat antibakteri.

Cacing tanah merupakan salah satu bahan alami yang memiliki potensi

menggantikan antibiotik. Hal ini karena cacing tanah memiliki kadar protein

yang tinggi (50%-60%), dan memiliki aktifitas antimikroba (Julendra &

Sofyan, 2007).

Beberapa penelitian tentang efek antibakteri cacing tanah Lumbricus

rubellus telah dilakukan secara in vitro terhadap beberapa bakteri patogen.

Tepung cacing tanah Lumbricus rubellus telah terbukti mampu menghambat

pertumbuhan bakteri patogen E.coli, S.pullorum, P.aeruginosa dan S.aureus

secara in vitro dengan konsentrasi terendah adalah 0,26 % dan mengalami

peningkatan aktifitas pada konsentrasi 1,04% (Istiqomah dkk, 2014). Cacing

tanah jenis Lumbricus rubellus juga terbukti lebih baik dan berbeda nyata

dalam menghasilkan zona hambat dibanding jenis cacing tanah lain


32

Pheretima aspergilum terhadap bakteri S.typhi secara in vitro

(Purwaningroom, 2010).

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih dilakukan secara in-vitro

sehingga dirasa perlu dilakukan penelitian secara in vivo dengan

menggunakan hewan coba, untuk melihat efek antimikroba dan

hepatoprotektif dari cacing tanah Lumbricus rubellus terhadap infeksi bakteri

S.typhi.

Anda mungkin juga menyukai