Anda di halaman 1dari 8

I.

TUJUAN

- Untuk mengetahui kecocokan darah pendonor dengan darah resipien.

II. METODE

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah metode aglutinasi.

III. PRINSIP

Antibodi yang terdapat dalam serum/plasma, bila direaksikan dengan antigen pada sel darah merah,
melalui inkubasi pada suhu 370C dan dalam waktu tertentu, dan dengan penambahan
anti monoglobulin akan terjadi reaksi aglutinasi.

IV. DASAR TEORI

Darah selalu dihubungkan dengan kehidupan, baik berdasarkan kepercayaan saja maupun atas dasar
bukti pengamatan. Penggunaan darah yang berasal dari individu lain dan diberikan secara langsung
ke pembuluh darah juga sudah lama pula dilakakukan, paling tidak sejak abad pertengahan. Pada
mulanya, pemberian darah seperti ini dan kini yang dikenal sebagai transfusi tidak dilakukan dengan
landasan ilmiah, tidak mempunyai indikasi yang jelas dan dilakukan sembarang saja. Tindakan ini
lebih banyak dilakukan atas dasar yang lebih bersifat kepercayaan, misalnya darah sebagai lambang
kehidupan. Indikasi juga tidak jelas, bukan terutama untuk mengobati penyakit atau memperbaiki
keaadaan karena perdarahan. Lebih sering hal ini dilakukan untuk tujuan seperti peremajaan
jaringan (rejuvenilisasi). Pelaksanaannya juga tidak didasarkan atas pengetahuan yang cukup. Oleh
karena itu tidak heran bila pada masa itu banyak korban karena tindakan yang dilakukan secara
sembarang ini, baik pada donor maupun pada penerima darah. Bahkan pernah ada suatu masa,
tepatnya abad ke-17 dan 18 transfusi dilarang dilakukan di Eropa (Sadikin, 2002).

Barulah pada akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20. Fenomena ini dapat dipahami dengan jelas
dan tepat, sehingga tindakan transfusi dapat dilakukan dengan cara yang jauh lebih aman. Pada
masa itu, seorang dokter berkebangsaan Austria dan bekerja di New York, Karl Landsteiner,
menemukan melalui sejumlah besar pengamatan, bahwa darah manusia yang berasal dari dua orang
yang berbeda tidaklaah selalu dapat dicampur begitu saja tanpa perubahan fisik apapun. Dalam
kebanyakan pengamatan, pencampuran darah yang berasal akan menyebabkan timbulnya
pegendapan sel-sel darah merah. Peristiwa mengendap sel tersebut dinamai sebagai aglutinasi.
Pengamatan selanjutnya memperlihatkan, bahwa peristiwa ini melibatkan SDM dan bagian cair dari
darah, yaitu serum atau plasma. Serum sesorang tidak dapat mengendapkan SDM orang itu sendiri
atau SDM yang berasal dari orang lain, yang bila darahnya dicampur dengan darah orang yang
pertama, tidak menyebabkan pengendapan. Akan tetapi, bila darah dari 2 orang berbeda dicampur
dan aglutinasi terjadi, maka bila serum dari salah satu dari orang tersebut dicampur dengan SDM
dari orang yang lainnya, akan terjadi aglutinasi (Sadikin, 2002).

Hemolisis atau lebih dikenal dengan kejadian pecahnya sel darah merah secara normal didalam
tubuh tidak dapat dihindari apabila sel darah merah atau eritrosit sudah mencapai usianya, dengan
pecahnya sel darah merah atau eritrosit didalam tubuh secara normal tubuh direspon untuk
membentuk sel darah merah yang baru. Haemoglobin yang keluar dari sel darah merah atau eritrosit
akan diuraikan oleh organ tubuh yang bertanggung jawab dan bagian yang penting dari penguraian
ini akan dimanfaatkan kembali untuk pembentukan sel darah merah yang baru. Pada kejadian yang
tidak normal jumlah sel darah merah yang pecah lebih besar dari pada pembentukan sel darah
merah yang baru dan mengakibatkan dari peruraian Hb akan membubung tinggi dan sangat
mengganggu organ lain (organ tubuh) (Ismail, 2010).
Kejadian hemolisis yang tidak normal (abnormal) bisa disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam
tubuh (invivo) sendiri, misalnya kondisi sel darah merah itu sendiri kurang baik, atau bisa disebabkan
oleh faktor luar (invitro), dari faktor luar bisa dijumpai akibat dari faktor transfusi darah, karena
disebabkan adanya reaksi antibodi terhadap antigen yang masuk kedalam tubuh atau pada sel darah
merah dan risikonya akan lebih besar apabila sel darah merah donor yang ditransfusikan tidak cocok
dengan antibodi yang berada dalam plasma donor dengan sel darah merah pasien. reaksi hemolisis
in vivo karena transfusi ini disebut reaksi hemolitik transfusi. Reaksi hemolitik bisa terjadi secara
langsung (direck or indirec) dan dapat berakibat fatal, dan bisa juga reaksinya baru muncul beberapa
waktu kemudian setelah transfusi ( delay hemolitik tarnsfution reaction ).
Akibat yang fatal dari reaksi transfusi dikarenakan ketidak cocokan golongan darah ABO ( antibodi-
A,-B,-AB ) yang dibuat secara teratur menurut golongan darah masing-masing. Disamping itu
mungkin ada antibodi lain yang mungkin dibentuk secara alamiah tetapi tidak beratur ( antibodi -
Lewis,-A1,-P1 dll ) atau antibodi immun (Ismail, 2010).
Reaksi transfusi yang baru muncul beberapa waktu kemudian setelah transfusi ( delay hemolitik
tarnsfution reaction ) bisa disebabkan karena darah donor sesungguhnya tidak compatible denga
darah pasien, namun dalam reaksi silang/uji silang serasi menhasilkan false-compatible (Ismail,
2010).

Reaksi silang (Crossmatch = Compatibility-test) perlu dilakukan sebelum melakukan transfusi darah
untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan darah donor. Pengartian Crossmatch adalah
reaksi silang in vitro antara darah pasien dengan darah donornya yang akan di transfusikan. Reaksi
ini dimaksudkan untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu nantinya akan
dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya, atau adakah plasma donor yang turut ditransfusikan
akan melawan sel pasien didalam tubuhnya hingga akan memperberat anemia, disamping
kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi yang biasanya membahayakan pasien.

Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu mencegah reaksi hemolitik tranfusi darah
bila darah didonorkan dan supaya darah yang ditrafusikan itu benar-benar ada manfaatnya bagi
kesembuhan pasien.

Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima dan donor sama, baik mayor maupun
minor test tidak bereaksi berarti cocok. Jika berlainan, misalnya donor golongan darah O dan
penerima golongan darah A maka pada test minor akan terjadi aglutinasi atau juga bisa sebaliknya
berarti tidak cocok (Anonim, 2010).

Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah dan
sebaiknya dilakukan demikian sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat
ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan hasil percobaan.
Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh
yang hanya bereaksi pada suhu 37 derajat Celcius. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya
digunakan cara Crossmatch dengan high protein methode. Ada beberapa cara untuk menentukan
reaksi silang yaitu reaksi silang dalam larutan garam faal dan reaksi silang pada objek glass (Anonim,
2010).

Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro. Antibody kelas IgM yang kuat
biasanya menggumpalkan erythrosit yang mengandung antigen yang relevam secara nyata, tetapi
antibody yang lemah sulit dideteksi. Banyak antibodi kelas IgG yang tak mampu menggumpalkan
eryhtrosit walaupun antibody itu kuat. Semua pengujian antibodi termasuk uji silang tahap pertama
menggunakan cara sentrifugasi serum dengan eryhtrosit. Sel dan serum kemudian diinkubasi selama
15-30 menit untuk memberi kesempatan antibodi melekat pada permukaan sel, lalu ditambahkan
serum antiglobulin dan bila pendertita mengandung antibodi dengan eryhtrosit donor maka terjadi
gumpalan. Uji saring terhadap antibodi penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil
yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (Anonim, 2010).

V. ALAT DAN BAHAN

A. ALAT

1. Tabung reaksi ukuran 12x75 mm

2. Rak tabung reaksi

3. Inkubator

4. Sentrifuge

5. Botol semprot

B. BAHAN

1. Sampel serum OS

2. Sampel plasma donor

3. Cell darah donor 5 %

4. Cell darah resipien 5 %

C. REAGENSIA

1. Saline/ NaCl 0,9

2. Bovine albumin 22 %

3. Coomb’s serum

4. Coomb’s control cells

VI. CARA KERJA

A. Phase I : Phase suhu kamar di dalam saline medium

1.

Tabung III

Autocontrol

Tabung II

Minor
Tabung I

Mayor

Diambil 3 buah tabung ukuran 12 X 75 mm, dimasukkan ke dalam masing-masing tabung

2 tetes serum OS 2 tetes plasma donor 2 tetes serum OS

1 tetes sel 5 % donor 1 tetes sel 5 % OS 1 tetes sel 5 % OS

2. Isi dicampurkan dikocok-kocok hingga homogen. Diputar 3000 rpm selama 15 detik.

3. Reaksi dibaca terhadap hemolisis dan aglutinasi secara mikroskopis.

B. Phase II : Phase inkubasi 370C dalam medium bovine albumin 22%

1. Ke dalam masing-masing tabung ditambahkan bovine albumin 22 % sebanyak 2 tetes.

2. Tabung dikocok-kocok

3. Diinkubasi 370C selama 15 menit


C. Phase III : (Indirect Coomb’s Test)

1. Sel darah merah dalam tabung dicuci sebanyak 3 x dengan saline

2. Ke dalam kedua tabung ditambahkan masing-masing 2 tetes Coomb’s serum

3. Hasil reaksi dibaca secara makroskopis dan mikroskopis

D. Validitas

1. Kepada tabung yang hasil coomb’s testnya negatif ditambahakan 1 tetes CCC (Coomb’s Control
Cell)

2. Diputar 3000 rpm selama 15 detik

3. Hasil dibaca :

- Positif : Reaksi silang valid

- Negatif : Reaksi silang tidak valid

VII. HASIL PENGAMATAN

Phase I Phase II Phase III Validitas

Mayor - - - +

Minor - - - +

Autocontrol - - - +

VIII. PEMBAHASAN

Crossmatch adalah reaksi silang in vitro antara darah pasien dengan darah donornya yang akan di
transfusikan. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum pelaksanaan transfusi darah.

Tindakan uji silang (crossmatch) diperlukan sebelum melakukan tranfusi darah untuk melihat apakah
darah penderita sesuai dengan donor.Untuk tujuan tersebut, golongan darah penerima resipien
harus sama dengan golongan darah pemberi donor dan uji aglutinasi antara serum resipien dengan
SDM donor dan serum donor dengan SDM resipien.

Uji crossmatch ini penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan
terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
Tujuan dilakukan periksaan uji silang adalah

1. untuk melihat apakah darah dari pendonor cocok dengan penerima (resipien).

2. untuk konfirmasi golongan darah.

3. untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu nantinya akan dilawan oleh
serum pasien didalam tubuhnya, atau adakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan
sel pasien didalam tubuhnya hingga akan memperberat anemia, disamping kemungkinan adanya
reaksi hemolytic transfusi yang biasanya membahayakan pasien.
Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu mencegah reaksi hemolitik darah bila darah
didonorkan dan supaya darah yang ditrafusikan itu benar-benar ada manfaatnya bagi kesembuhan
pasien.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi, yaitu:

1. Konfirmasi jenis ABO dan Rh (kurang dari 5 menit)

2. Mendeteksi antibodi pada golongan darah lain.

3. Mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir
memerlukan sedikitnya 45 menit.

Prinsip crossmatch ada dua yaitu Mayor dan Minor, yang penjelasnya sebagai berikut :

· Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor. Maksudnya apakah
sel donor itu akan dihancurkan oleh antibody dalam serum pasien.

· Minor crossmatch adalahplasma donor dicampur dengan sel penerima. Yang dengan maksud
apakah sel pasien akan dihancurkan oleh plasma donor.

Jika golongan darah (system ABO) penerima dan donor sama, baik mayor maupun minor tidak
bereaksi, jika berlainan misalnya, donor golongan O dan penerima golongan A, akan terjadi
aglutinasi pada tes minor.

Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah dan
sebaiknya dilakukan demikian sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat
ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan hasil percobaan.
Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh
yang hanya bereaksi pada suhu 37OC.

Pada pemeriksaan uji silang serasi ada tiga fase yaitu :

1) Fase I (fase suhu kamar, dalam medium salin)

Fase ini menilai kecocokan antibody alami dengan antigen eritrosit antara donor dan resipien,
sehingga reaksi tranfusi hemolitik yang fatal bisa dihindari. Pada fase ini juga dapat menentukan
golongan darah.

2) Fase II (fase inkubasi pada suhu 37OC)

Fase ini untuk mendeteksi antibody anti-Rh dan meningkatkan sensitivitas tes globulin dengan
menggunakan media bovine albumin 22%. Dilakukan inkubasi selama 15 menit pada
suhu 37OC sebagai suhu yang sama dengan suhu badan, sehingga member kesempatan antibody
untuk melekat pada sel. Inkubasi tidak boleh lebih dari 15 menit karena ada kemungkinan terjadi
aglutinasi nonspesifik.

3) Fase III (Indirect Coomb’s Test)

Fase ini merupakan uji antiglobulin. Untuk mendeteksi IgG yang dapat menimbulkan masalah dalam
tranfusi yang tidak dapat terdeteksi pada kedua fase sebelumnya.

Sebelum di tes, eritrosit dicuci terlebih dahulu dari globulin plasma yang tidak bersifat antizat
spesifik dan kemudian dicampur dengan Coomb’s serum, yaitu serum hewan yang mengandung
antizat spesifik terhadap globulin human. Adanya aglutinasi menunjukan adanya antizat yang
melapisi eritrosit.

Uji validitas berfungsi untuk mengetahui, apakah uji silang yang dilakukan sudah valid atau tidak.
Hasil uji validitas pasti menunjukan hasil positif, namun positif lemah. Pada uji validitas, tabung yang
menghasilkan hasil positif pada fase sebelumnya tidak di lakukan uji lagi, karena uji ini untuk
mengetahui validitas dari uji silang.

Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima donor sama, baik mayor maupun
minor test tidak bereaksi, berarti hasil compatible/cocok. Jika berlainan misalnya donor golongan
darah O dan penerima golongan darah A, maka berarti incompatible/tidak cocok.

Pada praktikum ini, didapatkan hasil uji silang fase 1,2,3 dan uji validitas sebagai berikut

Phase I Phase II Phase III Validitas

Mayor - - - +

Minor - - - +

Autocontrol - - - +

Pada table dapat dilihat bahwa, hasil uji silang fase 1,2 dan 3 untuk tabung mayor, minor ataupun
autocontorl selalu menunjukan hasil negatif (tidak terjadi aglutinasi). Hal ini berarti terjadi ketidak
cocokan antara serum pasien dengan darah donor. Dengan demikian, hasil uji silang dapat
dinyatakan compatible untuk resipien sehingga proses tranfusi dapat dilakukan.

Karena keseluruh tabung menunjukan hasil negative, maka pada seluruh tabung dilakukan uji
validitas untuk mengetahui apakah uji silang yang telah dilakukan valid. Tabung minor, mayor dan
autocontrol seluruhnya menunjukan hasil uji yang valid. Hasil ini ditunjukan dari adanya aglutinasi
pada tabung, namun aglutinasinya lemah. Namun pada tabung mayor, sempat terjadi kesalahan
dalam pengamatan, karena pada uji validitas tampak tidak terjadi aglutinasi. Hal ini karena saat awal
pengamatan, tampak aglutinasi lemah, dan pengocokan tabung dipercepat dengan maksud untuk
mempertegas timbulnya aglutinasi. Hal ini justru membuat darah bercampur dan aglutinasi tidak
tampak lagi. Oleh karena itu, teknik pengocokan tabung pada uji validitas berbeda dengan phase uji
silang. Dimana aglutinasi yang terjadi adalah aglutinasi lemah dan akan jelas terlihat apabila di amati
dengan mikroskop.

IX. Simpulan

Hasil uji silang untuk sampel R3 sebagai resipien dan D4 sebagai donor adalah compatible/cocok,
sehingga dapat dilakukan tranfusi darah dari donor ke resipien.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Reaksi Silang Serasi. Diakses dihttp://www.sodiycxacun.web.id/2010/10/reaksi-


silang-crossmatch.html. diakses tanggal 11 April 2013

Anonim. 2011. Crossmatch ( reaksi Silang Serasi. Diakses


dihttp://labku1rskd.wordpress.com/tag/crossmatch-reaksi-silang-serasi/. Diakses tanggal 11 April
203

Ismail.2011. Pemeriksaan pre Transfusi Darah. Diakses di http://ismail-


pemeriksaandarahpretransfusi.blogspot.com/. Diakses tanggal 11 April 2013.

Sadikin, Muhamad. 2002. Biokimia Darah. Jakarta : Widya Medika

Anda mungkin juga menyukai