Kata kunci: Ablasio retina regmatogen, tajam penglihatan, hasil anatomis, vitrektomi
ABSTRACT
CHARACTERISTICS AND SURGICAL OUTCOMES OF
RHEGMATOGENOUS RETINAL DETACHMENT PATIENT
IN SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR
Halaman
ABSTRAK ……………………………………………………………….. v
ABSTRACT ……………………………………………………………… vi
5.1 Simpulan……………………..…...………………………………. 25
5.2 Saran………………………………………………………………. 25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 27
LAMPIRAN……………………………………………………………….
30
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.2 Tajam Penglihatan Pasien ARR Sebelum dan Setelah Tindakan.. 13
Tabel 3.3 Perbandingan Hasil Anatomis Dua Bulan Pasca Operasi pada
Tabel 3.4 Perbandingan Tajam Penglihatan Dua Bulan Pasca Operasi pada
Gambar 3.1 Pie Chart proporsi hasil anatomis pasca tindakan pembedahan.. 12
BAB I
PENDAHULUAN
dari lapisan epitel pigmen retina dibawahnya sebagai akibat adanya robekan
pada retina, dan hal ini menyebabkan terakumulasinya cairan dalam rongga
Pada populasi negara barat seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Australia
insiden ARR adalah 6,1 – 9,8 kasus per 100.000 orang selama tahun 1970an,
meningkat menjadi 11,8 – 17,9 kasus per 100.000 orang pada tahun 1990an.
Sebuah studi baru-baru ini melaporkan insiden 12,05 kasus per 100.000 orang di
awal abad ke-21 pada populasi yang relatif lebih muda, sedangkan penelitian
lain di Belanda melaporkan kejadian 17,42 kasus per 100.000 orang per tahun
pada populasi yang relatif lebih tua. Insidennya meningkat pada usia 60 – 69
tahun dan secara signifikan lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan
(Put, et al., 2013; Mitry, et al., 2010; Polkinghorne and Craig, 2004).
ARR secara signifikan diantaranya operasi katarak, miopia tinggi, trauma okular,
infeksi okular, degenerasi lattice, dan glaukoma (Sodhi, et al., 2008). Penelitian
Mitry, et al (2010) melaporkan dari seluruh kejadian ARR, 53,2% terjadi pada
pasien dengan riwayat miopia, 23,4% dengan riwayat operasi katarak, dan
10,4% dengan riwayat trauma.
dust”) pada vitreus ataupun bilik mata depan. Bagian retina yang mengalami
ablasio biasanya memiliki batas dan kontur yang cembung dan bergelombang
serta mengalami undulasi dengan adanya pergerakan bola mata (AAO, 2011-
(SB) menghasilkan indentasi sklera dari luar dibawah robekan retina sehingga
adhesi korioretina yang kuat. Serta vitrektomi yang digunakan pada kasus
penanganan yang akan dilakukan (AAO, 2011-2012; Sun and Young, 2008).
Tingkat keberhasilan anatomi dapat mencapai 80% - 90% dengan
memuaskan, hanya 42% dari seluruh pasien ARR yang dapat mencapai tajam
penglihatan lebih baik dari 20/40, dan hanya 37% pasien dengan makula-off
yang dapat mencapai tajam penglihatan lebih baik dari 20/50. (Put, et al., 2013;
umur dan jenis kelamin. Data mengenai karakteristik pasien ablasio retina
regmatogen di Bali belum ada, dimana data ini sangat penting dan dapat menjadi
dasar acuan untuk pengembangan keilmuan di bagian Ilmu Kesehatan (IK) Mata
RSUP Sanglah/ Univesitas Udayana. Hal-hal tersebut menjadi dasar penelitian ini
1.3 Tujuan
operasi dengan pasca operasi pada pasien ablasio retina regmatogen yang
1.4 Manfaat
METODE PENELITIAN
datang ke poli mata RSUP Sanglah Denpasar. Data yang diambil pada penelitian
ini meliputi umur, jenis kelamin, onset penyakit, faktor predisposisi, kondisi
sebelum pembedahan, satu bulan, dan dua bulan pasca pembedahan, serta
Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien ablasio retina
Kriteria inklusi adalah semua pasien ablasio retina regmatogen yang datang
2.5.1 Ablasio retina regmatogen (ARR) adalah suatu kelainan pada mata yang
2.5.2 Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercantum dalam catatan medis
dan dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan
2.5.3 Umur pasien adalah lama waktu hidup terhitung dari tanggal kelahiran
2.5.6 Status makula adalah kondisi makula saat pertama kali pasien datang,
dapat berupa makula on ataupun makula off sesuai yang tercatat pada
pembedahan yang dilakukan pada pasien, dalam hal ini terbagi menjadi
orang dokter spesialis mata yang sudah berpengalaman (PB dan AN).
logMAR.
meter atau dengan hitung jari, gerakan tangan, maupun bantuan senter
2.5.11 Kompliksi pasca pembedahan adalah suatu kelainan yang timbul sebagai
Semua data yang diperoleh dimasukkan dalam tabel kerja dan dianalisis
logMAR dengan uji Friedman dan uji post hoc Wilcoxon karena data
HASIL PENELITIAN
Denpasar, namun hanya 26 pasien (26 mata) yang menjadi subjek penelitian. Data
Tabel 3.1
Karakteristik Pasien Ablasio Retina Regmatogen
Faktor Predisposisi
Miopia 11 (42,3%)
Riw. Operasi Katarak 4 (15,4%)
Riwayat trauma 6 (23,1%)
Tidak diketahui 5 (19,2%)
Status Makula
On 9 (34,6%)
Off 17 (65,4%)
Pada Tabel 3.1 tampak distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin
perempuan (42,3%). Kelompok umur pasien paling sering didapatkan pada usia
42,3%. Onset keluhan pasien memiliki rerata waktu 29,08 ± 26,74 hari, dimana
Gambar 3.1
Pie chart menunjukkan proporsi hasil anatomis pasca tindakan pembedahan
Data perbandingan hasil anatomis dua bulan pasca operasi pada masing-
masing tindakan pembedahan disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3
Perbandingan Hasil Anatomis Dua Bulan Pasca Operasi pada Masing-
Masing Tindakan Pembedahan.
kembali pada 57,1% pasien yang dilakukan tindakan SB, 50% pasien yang
dilakukan VPP, dan 82,4% pasien yang dilakukan SB + VPP. Uji Kolmogorov-
Tabel 3.4
Perbandingan Tajam Penglihatan Dua Bulan Pasca Operasi pada Masing-
Masing Tindakan Pembedahan.
Tabel 3.5
Komplikasi Pasca Tindakan Pembedahan
Komplikasi n(%)
23,1%.
BAB IV
PEMBAHASAN
Ablasio retina regmatogen (ARR) merupakan salah satu dari tiga tipe ablasio
lapisan neurosensori retina dari lapisan epitel pigmen retina dibawahnya disertai
akumulasi cairan dalam rongga subretina akibat adanya robekan pada retina.
karakteristik demografi seperti umur dan jenis kelamin. Sebagian besar studi
melaporkan insiden ARR lebih tinggi pada laki-laki, dengan rasio perbandingan
laki-laki dan perempuan antara 1,3:1 sampai 2,3:1 (Mitry, et al., 2010; Rosman, et
al., 2002). Put, et al (2013) dalam penelitiannya di Belanda mendapatkan dari 2998
insiden kasus ARR, sebanyak 56,7% terjadi pada laki-laki dan sisanya 43,3% pada
1,3:1. Penelitian di Singapura melaporkan 70,5% kejadian ARR terjadi pada laki-
pada 35 pasien ARR terdiri atas 23 (65,7%) laki-laki dan 12 (34,3%) perempuan.
Pada penelitian ini dari 26 sampel pasien ARR didapatkan 15 (57,7%) pasien adalah
sering terjadi pada laki-laki, namun beberapa peneliti menyatakan faktor risiko
ARR seperti trauma okular lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan, hal inilah yang menyebabkan insiden ARR lebih tinggi pada pasien
laki-laki (Put, et al., 2013; Mitry, et al., 2010; Gout, et al., 2012).
Hubungan yang kuat antara tingkat insiden ARR dan usia telah dilaporkan
secara luas. Put, et al (2013) dalam penelitiannya melaporkan puncak insiden ARR
umur pasien adalah 46,1 ± 15,5 tahun dengan mayoritas pasien antara usia 41 – 60
tahun (Rosman, et al., 2002). Pada penelitian ini didapatkan kejadian ARR tertinggi
adalah pada kelompok umur 51 – 60 tahun yaitu sebesar 57,7%. Komplikasi dari
katarak diasumsikan sebagai penyebab ARR umumnya terjadi pada usia tua (Put, et
al.,2013). Salah satu hal yang mendahului terjadinya ARR adalah adanya pencairan
vitreus. Pencairan vitreus ini terjadi secara alami seiring dengan bertambahnya umur
(synchysis senilis), namun dapat dipercepat oleh adanya miopia, trauma bedah dan
biasanya terjadi sebagai suatu kondisi akut setelah pencairan vitreus yang signifikan
Miopia telah dikenal sebagai faktor risiko ablasio retina dan dikaitkan
dengan sekitar 42% dari seluruh kejadian ARR (Kanski, 2007). Penelitian di
Taiwan mendapatkan miopia merupakan faktor risiko utama pada pasien ARR,
dimana 72% pasien ARR juga menderita miopia, dan 62,4% diantaranya dengan
refraction (SER) ≥ -1 Dioptri (D), dan 18% diantaranya dengan miopia tinggi.
Pada penelitian ini, miopia juga menempati urutan pertama sebagai faktor risiko
dari ARR, dimana sebanyak 42,3% pasien memiliki miopia. Eye Disease
miopia memiliki risiko 4 – 10 kali lebih tinggi untuk mengalami ablasio retina,
degenerasi lattice, PVD, serta retina perifer yang lebih tipis dan rentan
dewasa dan anak-anak. Robekan retina pada trauma trumpul biasanya disebabkan
oleh kompresi yang cepat pada bola mata sepanjang diameter antero-posterior
(Sodhi, et al., 2008). Pada penelitian ini, trauma okular menjadi faktor risiko ARR
pada 6 (23,1%) pasien. Penelitian lain, trauma sebagai faktor risiko ARR pada
20,7% pasien di Ethiopia, 10,4% di Skotlandia, 11,6% di Beijing dan 16,4% di New
Zeland (Solomon and Teshome, 2011; Mitry, et al., 2010; Polkinghorne and Craig,
khususnya ketika terjadi komplikasi ruptur kapsul posterior dan prolaps vitreus
(Haug and Bhisitkul, 2011; Erie, et al., 2006; Quek, et al., 2011). Terjadi
peningkatan risiko ARR sepuluh kali lipat pasca operasi katarak yang disertai
dengan median waktu 3,28 tahun dari saat operasi hingga terjadinya ARR,
namun pada pasien yang mengalami komplikasi vitreus prolaps saat operasi,
(Rosman, et al., 2002). Pada penelitian ini didapatkan 4 (15,4%) pasien ARR
memiliki riwayat operasi katarak pada mata yang sama. Rowe, et al (1999)
sepuluh tahun pasca operasi katarak menjadi 5,5 kali lebih tinggi dibandingkan
Status makula pada saat pasien datang merupakan indikator penting bagi
(2011) mendapatkan ARR dengan makula off terjadi pada 73,8% pasien.
Penelitian Put, et al (2013) mendapatkan 54,5% pasien ARR dengan makula off,
off pada saat pasien datang. Pada penelitian ini didapatkan pasien ARR dengan
makula off sebesar 65,4%. Tingginya proporsi pasien yang datang dgn status
makula off dapat terjadi karena progresivitas penyakit yang cepat ataupun
keterlambatan pasien untuk mengunjungi fasilitas kesehatan, hal ini terbukti
dengan tingginya rerata onset kedatangan pasien yakni 29,08 ± 26,74 hari.
Serikat, rerata durasi gejala pasien adalah 15,5 hari. Keterlambatan pasien ini
75,7%. Pada penelitian ini, keberhasilan anatomis pada operasi pertama yang
dinyatakan dengan retina attach pada dua bulan pasca operasi adalah sebanyak
diantaranya durasi gejala, tajam penglihatan sebelum operasi, jenis dan luasnya
adalah 2,37 ± 0,46 dan 2 bulan setelah tindakan tajam penglihatan menjadi 1,16 ±
0,70 (p < 0,0001). Pada penelitian ini juga didapatkan terjadi perbaikan tajam
mengalami perbaikan menjadi 1,49 0,68 pada satu bulan pasca pembedahan ± (p
< 0,001) dan 1,41 0,68 dua bulan ± pasca pembedahan (p < 0,001). Ablasio
retina, karena itu tujuan dari retinal reattachment adalah memulihkan fotoreseptor dan
epitel pigmen dari degenerasi (Rose, 2009). Sebagian besar peyembuhan terjadi selama
bulan pertama, namun pemulihan tajam penglihatan secara
pseudofakia masih menjadi kontroversi. Vitrektomi pars plana (VPP) dan sclera
buckling (SB) merupakan teknik yang paling populer digunakan untuk repair
primer pada kasus ARR. Kombinasi kedua teknik ini (VPP+SB) juga telah
menjadi metode yang populer dan dapat diandalkan (Mehta et al., 2011). Scleral
penanganan kasus ARR tanpa penyulit. Kemajuan dalam teknik dan fasilitas
penanganan ARR primer, tampak bahwa kedua prosedur tersebut memiliki efikasi
negara di Eropa melaporkan keberhasilan anatomis pada pasien fakia sebesar 63,6%
pada kelompok SB, dan 63,8% pada kelompok VPP (p = 0,970); sedangkan pada
dan 72,0% pada kelompok VPP (p = 0,002) (Heimann, et al., 2007). Penelitian
melaporkan pada pasien fakia, keberhasilan anatomis sebesar 83,8% pada kelompok
VPP dan 97,1% pada kelompok VPP+SB (p = 0,02); sementara pada pasien
pseudofakia kedua prosedur ini tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Pada
penelitian ini diperoleh keberhasilan anatomis yang dinyatakan dengan retina attach
sebesar 57,1% pada kelompok SB, 50% pada kelompok VPP, dan 82,4% pada
kedua tindakan tersebut, yakni dua bulan pasca tindakan didapatkan tajam
penglihatan skala logMAR 1,08 ± 0,65 pada kelompok SB dan 1,16 ± 0,70 pada
penelitian ini, setelah dua bulan follow up pasca tindakan didapatkan tajam
penglihatan skala logMAR 0,96 0,68 pada kelompok SB, 1,63 0,21 pada
kelompok VPP, dan 1,58 0,66 ±pada kelompok SB+VPP (p = 0,230)±. Tajam
lainnya, hal ini cenderung disebabkan karena pasien pada kelompok SB memiliki tajam
penglihatan awal yang lebih baik dibandingkan kelompok VPP dan SB+VPP, namun
tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan yang signifikan
gangguan gerak bola mata, infeksi, migrasi dari elemen buckle, ataupun perdarahan
setelah 1 tahun follow up pasca VPP terjadi progresifitas katarak pada 77,3%
pasien. Penggunaan gas ataupun silicon oil sebagai tamponade pada prosedur VPP
inilah yang dapat menyebabkan komplikasi berupa katarak dan peningkatan TIO
(14%), infeksi konjungtivitis (4%), suspek endoftalmitis (2%). Pada penelitian ini
yang disusul oleh peningkatan TIO (15,4%), perdarahan subretina (11,5%), katarak
traumatik (7,7%), uveitis anterior (3,8%). Seluruh pasien dengan komplikasi katarak
TIO dilakukan penanganan secara konservatif pada 3 pasien, dan 1 pasien dilakukan
5.1 Simpulan
selama periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014 adalah lebih banyak
terjadi pada laki-laki (57,7%) dan mayoritas pada kelompok usia 51 – 60 tahun
(57,7%). Faktor predisposisi tersering adalah miopia yakni sebesar 42,3%. Onset
gejala berkisar antara 4 – 90 hari dengan rata-rata 29,08 ± 26,74 hari, dimana
73,1% serta terdapat perbaikan yang bermakna dari tajam penglihatan dengan
skala logMAR sebelum dan sesudah tindakan. Perbandingan hasil anatomis dan
tajam penglihatan dua bulan pasca operasi pada masing-masing tindakan (SB,
ketiga jenis tindakan. Komplikasi pasca operasi terbanyak pada penelitian ini
5.2 Saran
yang datang ke RSUP Sanglah khususnya divisi Vitreo Retina, sehingga data
yang terkumpul lebih lengkap dan dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut,
khususnya terkait pencatatan follow up pasien yg berkelanjutan, sehingga dapat
Abdullah, A.S., Jan, S., Qureshi, M.S., Khan, M.T., Khan, M.D. 2010.
Complication of conventional sclera buckling occurring during and after
treatment of rhegmatogenous retinal detachment. J Coll Physicians Surg
Pak, 20(5): 321-6.
Ahmadieh, H., Moradian, S., Faghihi, H., Parvaresh, M.M., Ghanbari, H., et al.
2005. Anatomic and Visual Outcomes of Scleral Buckling versus Primary
Vitrectomy in Pseudophakic and Aphakic Retinal Detachment.
Ophthalmology, 112: 1421-1429.
Chou, S.C., Yang, C.H., Lee, C.H., Yang, C.M., Ho, T.C., Huang, J.S., et al.
2007. Characteristics of primary rhegmatogenous retinal detachment in
Taiwan. Eye, 21: 1056-1061.
Cheng, L., Azen, S.P., El-Bradey, M.H, et al. 2001. Duration of vitrectomy and
postoperative cataract in the vitrectomy for macular hole study. Am J
Ophthalmol, 132: 881-887.
Erie, J.C., Raecker, M.E., Baratz, K.H., et al. 2006. Risk of retinal detachment
after cataract extraction, 1980-2004: a population-based study. Trans Am
Ophthalmol Soc, 104: 167-175.
Gout, I., Mellington, F., Tah, V., Sarhan, M., Rokerya, S., et al. 2012. Retinal
Detachment – An Update of the Disease and Its Epidemiology – A
Discussion Based on Research and Clinical Experience at the Prince Charles
Eye Unit, Windsor, England. In Advance in Ophthalmology. Rumelt, S
(Ed.), Available from: http://www.intechopen.com/books/advance-in-
ophthalmology/retinal-detachment-an-update-of-the-disease-and-its-
epidemiology-
Haug, S.J., Bhisitkul, R.B. 2011. Risk factors for retinal detachment following
cataract surgery. Curr Opin Ophthalmol, 23: 7-11.
Heimann, H., Bartz-Schmidt, K.U., Bornfeld, N., Weiss, C., Hilgers, R.D.,
Foerster, M.H. 2007. Scleral Buckling versus Primary Vitrectomy in
Rhegmatogenous Retinal Detachment. Ophthalmology, 114: 2142-2154.
Jakobsson, G., Montan, P., Zetterberg, M., et al. 2009. Capsule complication
during cataract surgery: retinal detachment after cataract surgery with
capsule complication. Swedish Capsule Rupture Study Group report 4. J
Cataract Refract Surg, 35: 1699-1705.
Mehta, S., Blinder, K.J., Shah, G.K., Grand, M.G. 2011. Pars plana vitrectomy
versus combined pars plana vitrectomy and sclera buckle for primary repair
of rhegmatogenous retinal detachment. Can J Ophthalmol, 46: 237-241.
Mitry, D., Charteris, D.G., Yorston, D., Siddiqui, M.A.R., Campbell, H.,
Murphy, A.L., et al. 2010. The Epidemiology and Socioeconomic
Associations of Retinal Detachment in Scotland: A Two-Years Prospective
Population-Based Study. Invest Ophthalmol Vis Sci, 51: 4963-4968.
Pastor, J.C. Fernandez, I., Rodriguez, R.E., et al. 2008. Surgical outcome for
primary rhegmatogenous retinal detachments in phakic and pseudophakic
patients: the Retina I Project – report 2. Br J Ophthalmol, 92: 378-82.
Quek, D.T., Lee, S.Y., Htoon, H,M., Ang, C.L. 2011. Pseudophakic
rhegmatogenous retinal detachment in a large Asian tertiary aye center: a
cohort study. Clin Experiment Ophthalmol, 40: e1-e7.
Rosman, M., Wong, T.Y., Ong, S.G., Ang, C.L. 2002. Retinal detachment in
Chinese, Malay and Indian residents in Singapore: A comparative study on
risk factors, clinical presentation and surgical outcomes. International
Ophthalmology, 24: 101-106.
Rowe, J.A., Erie, J.C., Baratz, K.H., Hodge, D.O., Gray, D.T., Bulterfield, L.,
Robertson, D.M. 1999. Retinal detachment in Olmsted Country, Minnesota,
1976 through 1995. Ophthalmology, 106: 154-159.
Schwartz, S.G., Kuhl, D.P., McPherson, A.R., et al. 2002. Twenty-year follow
up for sclera buckling. Arch Ophthalmol, 120: 325-329.
Schwartz, S.G., Flynn, H.W. 2008. Pars plana vitrectomy for primary
rhegmatogenous retinal detachment. Clinical Ophthalmology, 2(1): 57-63.
Sheu, S.J., Ger, L.P., Ho, W.L. 2010. Late increased risk of retinal detachment
after cataract extraction. Am J Ophthalmol, 149: 113-119.
Sodhi, A., Leung, L.S., Do, D.V., Gower, E.W., Schcin, O.D., Honda, J.T. 2008.
Recent trends in the management of rhegmatogenous retinal detachment.
Surv Ophthalmol, 53: 50-67.
Stangos, A.N., Petropoulos, I.K., Brozou, C.G., et al. 2004. Pars plana vitrectomy
versus vitrectomy with sclera buckling for primary rhegmatogenous
pseudophakic retinal detachment. Am J Ophthalmol, 138: 952-958.
Sun, J.K., Young, L.H.Y. 2008. Retinal Detachment. In: Albert, D.M., Miller,
J.W., Azar, D.T., Blodi, B.A, eds. Albert & Jokobiec’s Principles and
Practice of Ophthalmology. Philadelphia: Saunders, p: 1675-1698.
The Eye Disease Case-Control Study Group. 1993. Risk factor for idiopathic
rhegmatogenous retinal detachment. Am J Epidemiol, 137: 749-57.
Weichel, E.D., Martidis, A., Fineman, M.S., McNamara, J.A., Park, C.H.,
Vander, J.F., et al. 2006. Pars Plana Vitrectomy versus Combined Pars
Plana Vitrectomy-Scleral Buckle for Primary Repair of Pseudophakic
Retinal Detachment. Ophthalmology, 113: 2033-2040.
LAMPIRAN
Frequency Table
Jenis_kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Kat_umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Statistics
Onset
N Valid 26
Missing 0
Mean 29.08
Median 17.50
Minimum 4
Maximum 90
Faktor_predisposisi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Kondisi_makula
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Hasil_anatomis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
NPar Tests
Descriptive Statistics
Percentiles
Std. 50th
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th (Median) 75th
Ranks
Mean Rank
VA_preop 2.73
VA_1bln 1.79
VA_2bln 1.48
Test Statisticsa
N 26
Chi-Square 29.792
df 2
NPar Tests
Test Statisticsb
Hasil_anatomis
Tindakan_bedah SB Count 4 3 7
VPP Count 1 1 2
SB+VPP Count 14 3 17
Total Count 19 7 26
N of Valid Cases 26
Frequencies
Hasil_anatomis N
retina redetach 7
Total 26
Test Statisticsa
Tindakan_bedah
Positive .000
Negative -.308
Kolmogorov-Smirnov Z .697
VA_2bln
NPar Tests
Descriptive Statistics
Percentiles
Std. 50th
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th (Median) 75th
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Tindakan_
bedah N Mean Rank
VA_2blnSB 7 9.57
VPP 2 18.00
SB+VPP 17 14.59
Total 26
Test Statisticsa,b
VA_2bln
2.937 C
2 h
.230 i
-
Square df
Asymp. Sig.
b. Grouping Variable:
Tindakan_bedah
komplikasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent