Anda di halaman 1dari 46

KARAKTERISTIK DAN HASIL TINDAKAN PEMBEDAHAN

PADA PASIEN ABLASIO RETINA REGMATOGEN DI RSUP


SANGLAH DENPASAR

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2015
ABSTRAK
KARAKTERISTIK DAN HASIL TINDAKAN PEMBEDAHAN PADA
PASIEN ABLASIO RETINA REGMATOGEN
DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Putu Budhiastra, Ari Andayani, Yulia Dewi Suandari

Ablasio retina regmatogen (ARR) merupakan kondisi patologis yang berpotensi


menyebabkan kebutaan dan merupakan salah satu kondisi kegawatdaruratan di
bagian mata. Penanganan dengan tindakan pembedahan diperlukan untuk
menutup robekan retina serta memulihkan fungsi fotoreseptor dan epitel pigmen
retina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan hasil tindakan
bedah pada pasien ARR di RSUP Sanglah Denpasar.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional deskriptif
dengan pendekatan studi potong lintang (cross-sectional). Data dikumpulkan
secara retrospektif berdasarkan catatan medis pasien ARR yang menjalani
tindakan pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1 Januari
2013 sampai 31 Desember 2014.
Subjek penelitian berjumlah 26 pasien. Pasien terdiri atas 15 (57,7%) laki-laki
dan 11 (42,3%) perempuan, mayoritas pasien pada kelompok umur 51 – 60 tahun. Onset
gejala berkisar antara 4 – 90 hari dengan rata-rata 29,08 ± 26,74 hari. Miopia merupakan
faktor risiko utama yang ditemukan pada 11 (42,3%) pasien. Ablasio retina regmatogen
dengan makula off ditemukan pada 17 (65,4%) pasien. Dua bulan pasca operasi,
keberhasilan anatomis didapatkan pada 19 (73,1%) pasien. Terdapat perbaikan yang
bermakna dari tajam penglihatan skala logMAR sebelum dan sesudah operasi yaitu dari
2,10 0,61 mengalami perbaikan menjadi 1,49 0,68 (p < 0,001) pada satu bulan ±pasca
operasi dan menjadi 1,41
0,68 (p <±0,001) dua bulan pasca operasi. Tidak terdapat perbedaan yang
±signifikan pada hasil anatomis (p = 0,716) dan tajam penglihatan (p = 0,230) pasca operasi
diantara tiga jenis tindakan bedah yang dilakukan (SB, VPP, SB + VPP). Komplikasi pasca
operasi terbanyak adalah katarak komplikata sejumlah 6 (23,1%).
Reattachment retina dan perbaikan tajam penglihatan dapat dicapai
pada sebagian besar pasien setelah intervensi pembedahan.

Kata kunci: Ablasio retina regmatogen, tajam penglihatan, hasil anatomis, vitrektomi
ABSTRACT
CHARACTERISTICS AND SURGICAL OUTCOMES OF
RHEGMATOGENOUS RETINAL DETACHMENT PATIENT
IN SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR

Rhegmatogenous retinal detachment (RRD) is a potentially blinding ophthalmic


pathologic condition and a common ophthalmic emergency. Surgical
management is required to attach retina, closure of all retinal breaks and
recovery of the photoreceptors and pigment epithelium from degeneration. This
study aims to describe characteristic and surgical outcomes of RRD patient in
Sanglah General Hospital.
This sudy is a descriptive observasional study with cross sectional
approach. Data were collected retrospectively from medical report RRD patients
who underwent surgical management in Sanglah General Hospital during
periode January 1st 2013 until December 31st 2014.
A total of 26 patients were enrolled in this study. The patients consisted of 15
(57,7%) male dan 11 (42,3%) female, with the majority of patients between the ages of
51 to 60 years. The onset of symptoms ranged from 4 to 90 days with the mean onset of
29,08 ± 26,74 days. Myopia was a major risk factor and identified in 11 (42,3%)
patients. Macula-off RRD was found in 17 (65,4%) eyes. At 2 month postoperatively,
anatomic success rate was achieved in 19 (73,1%) patients. The mean of pretreatment
logMAR visual acuity were significant improve after surgical from 2,10 0,61 to 1,49
0,68 (p < 0,001) one month postoperative and became 1,41 ± 0,68 (p < 0,001)± two
month postoperative. Among three surgical procedure ±(SB, VPP, SB+VPP) there was
no statistically significant difference in anatomic success rate as well as logMAR visual
acuity (p = 0,716 and p = 0,230 respectively). The most frequent postoperative
complication was cataract formation (23,1%).
Retinal reattachment and improved visual acuity could be achieved in
most patients after a surgical intervention.

Keywords: rhegmatogenous retinal detachment, visual acuity, anatomic success


rate, vitrectomy
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... ii

UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………… iii

ABSTRAK ……………………………………………………………….. v

ABSTRACT ……………………………………………………………… vi

DAFTAR ISI……………………………………………………………… vii

DAFTAR TABEL ………………………………………………………... ix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 3

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 4

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………... 5

BAB II METODE PENELITIAN………………………………………. 7

2.1 Rancangan Penelitian….………...………...........……………….... 7

2.2 Lokasi dan Waktu Penelitian…………...……................................ 7

2.3 Populasi dan Subjek Penelitian………............................................ 7

2.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi.. ..………………………………….. ......... 8

2.4.1 Kriteria Inklusi………………...…..............……….....…….. 8

2.4.2 Kriteria Eksklusi……………………………………. ……... 8

2.5 Definisi Operasional Variabel…...….…………………………….. 8


2.6 Analisis Data…………………………………. ....……………...... 10

BAB III HASIL PENELITIAN ................................................................................. 11

3.1 Karakteristik Subjek Penelitian…...………………………………. 11

3.2 Hasil Anatomis Pasca Tindakan Pembedahan……………………. 12

3.3 Tajam Penglihatan Sebelum dan Setelah Tindakan Pembedahan… 12

3.4 Perbandingan Hasil Anatomis pada Masing-masing Tindakan…... 13

3.5 Perbandingan Tajam Penglihatan pada Masing-Masing Tindakan.. 14

3.6 Komplikasi Pascca Tindakan Pembedahan……………………….. 15

BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 16

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 25

5.1 Simpulan……………………..…...………………………………. 25

5.2 Saran………………………………………………………………. 25

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 27

LAMPIRAN……………………………………………………………….

30
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 3.1 Karakteristik Pasien Ablasio Retina Regmatogen……................... 11

Tabel 3.2 Tajam Penglihatan Pasien ARR Sebelum dan Setelah Tindakan.. 13

Tabel 3.3 Perbandingan Hasil Anatomis Dua Bulan Pasca Operasi pada

Masing-Masing Tindakan Pembedahan…………………………... 13

Tabel 3.4 Perbandingan Tajam Penglihatan Dua Bulan Pasca Operasi pada

Masing-Masing Tindakan Pembedahan…………………………... 14

Tabel 3.5 Komplikasi Pasca Tindakan Pembedahan………………………... 15


DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 3.1 Pie Chart proporsi hasil anatomis pasca tindakan pembedahan.. 12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ablasio retina regmatogen (ARR) adalah terpisahnya lapisan neurosensori retina

dari lapisan epitel pigmen retina dibawahnya sebagai akibat adanya robekan

pada retina, dan hal ini menyebabkan terakumulasinya cairan dalam rongga

subretina. Ablasio retina regmatogen merupakan kondisi patologis yang

berpotensi menyebabkan kebutaan dan merupakan salah satu kondisi

kegawatdaruratan di mata (Mitry, et al., 2010; Put, et al., 2013).

Pada populasi negara barat seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Australia

insiden ARR adalah 6,1 – 9,8 kasus per 100.000 orang selama tahun 1970an,

meningkat menjadi 11,8 – 17,9 kasus per 100.000 orang pada tahun 1990an.

Sebuah studi baru-baru ini melaporkan insiden 12,05 kasus per 100.000 orang di

awal abad ke-21 pada populasi yang relatif lebih muda, sedangkan penelitian

lain di Belanda melaporkan kejadian 17,42 kasus per 100.000 orang per tahun

pada populasi yang relatif lebih tua. Insidennya meningkat pada usia 60 – 69

tahun dan secara signifikan lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan

(Put, et al., 2013; Mitry, et al., 2010; Polkinghorne and Craig, 2004).

Beberapa faktor risiko telah dijelaskan dapat mempengaruhi munculnya

ARR secara signifikan diantaranya operasi katarak, miopia tinggi, trauma okular,

infeksi okular, degenerasi lattice, dan glaukoma (Sodhi, et al., 2008). Penelitian

Mitry, et al (2010) melaporkan dari seluruh kejadian ARR, 53,2% terjadi pada
pasien dengan riwayat miopia, 23,4% dengan riwayat operasi katarak, dan
10,4% dengan riwayat trauma.

Pasien dengan ARR biasanya memiliki keluhan fotopsia atau floaters

kemudian diikuti dengan hilangnya lapang pandang secara progresif. Pada

pemeriksaan klinis, seringkali ditemukan adanya sel pigmented (“tobacco

dust”) pada vitreus ataupun bilik mata depan. Bagian retina yang mengalami

ablasio biasanya memiliki batas dan kontur yang cembung dan bergelombang

serta mengalami undulasi dengan adanya pergerakan bola mata (AAO, 2011-

2012; Sodhi, et al., 2008).

Hal yang paling penting dalam penanganan pasien ARR adalah

pemeriksaan retina secara hati-hati baik preoperasi maupun intraoperasi.

Penanganan ARR adalah dengan tindakan pembedahan dimana terdapat

beberapa metode pembedahan untuk menutup robekan retina. Scleral buckling

(SB) menghasilkan indentasi sklera dari luar dibawah robekan retina sehingga

terjadi reaposisi retina ke RPE dengan mengurangi traksi vitreus dan

menghambat aliran cairan vitreus melalui robekan retina. Pneumatic retinopexy

dapat memberikan tamponade temporer dengan menginjeksikan gas ke dalam

cavum vitreus. Cryoterapi, laser, ataupun diatermi digunakan untuk membentuk

adhesi korioretina yang kuat. Serta vitrektomi yang digunakan pada kasus

tertentu dimana diperlukan pelepasan traksi vitreoretina secara internal.

Penanganan ARR seringkali memerlukan kombinasi beberapa tindakan

pembedahan, karena itu diperlukan pemilihan yang tepat terhadap strategi

penanganan yang akan dilakukan (AAO, 2011-2012; Sun and Young, 2008).
Tingkat keberhasilan anatomi dapat mencapai 80% - 90% dengan

intervensi yang tepat, namun secara fungsional hasilnya masih kurang

memuaskan, hanya 42% dari seluruh pasien ARR yang dapat mencapai tajam

penglihatan lebih baik dari 20/40, dan hanya 37% pasien dengan makula-off

yang dapat mencapai tajam penglihatan lebih baik dari 20/50. (Put, et al., 2013;

Pastor, et al., 2008).

Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa kejadian ablasio retina

regmatogen sangat berhubungan dengan karakteristik demografi seperti distribusi

umur dan jenis kelamin. Data mengenai karakteristik pasien ablasio retina

regmatogen di Bali belum ada, dimana data ini sangat penting dan dapat menjadi

dasar acuan untuk pengembangan keilmuan di bagian Ilmu Kesehatan (IK) Mata

RSUP Sanglah/ Univesitas Udayana. Hal-hal tersebut menjadi dasar penelitian ini

dilakukan untuk mendapatkan gambaran karakteristik dan hasil dari tindakan

pembedahan pada pasien ablasio retina regmatogen di RSUP Sanglah Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik pasien ablasio retina regmatogen yang

menjalani tindakan pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar selama

periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014?


2. Bagaimanakah keberhasilan anatomis pasca tindakan pembedahan pada

pasien ablasio retina regmatogen di RSUP Sanglah Denpasar selama

periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014?

3. Apakah terdapat penurunan nilai LogMAR tajam penglihatan pre operasi

dengan pasca operasi pada pasien ablasio retina regmatogen yang

menjalani tindakan pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar selama

periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014?

4. Bagaimanakah perbandingan keberhasilan anatomis pada pasien ablasio

retina regmatogen yang menjalani tindakan pembedahan scleral buckling

(SB), vitrektomi pars plana (VPP), dan SB+VPP di RSUP Sanglah


Denpasar selama periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014?

5. Bagaimanakah perbandingan tajam penglihatan pada pasien ablasio

retina regmatogen yang menjalani tindakan pembedahan SB, VPP, dan

SB+ VPP di RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1 Januari 2013

sampai 31 Desember 2014?

6. Bagaimanakah komplikasi pasca tindakan pembedahan pada pasien

ablasio retina regmatogen di RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1

Januari 2013 sampai 31 Desember 2014?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui karakteristik pasien ablasio retina regmatogen yang

menjalani tindakan pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar selama

periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014.


2. Untuk mengetahui keberhasilan anatomis pasca tindakan pembedahan

pada pasien ablasio retina regmatogen di RSUP Sanglah Denpasar

selama periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014.

3. Untuk mengetahui penurunan nilai LogMAR tajam penglihatan pre

operasi dengan pasca operasi pada pasien ablasio retina regmatogen yang

menjalani tindakan pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar selama

periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014

4. Untuk mengetahui perbandingan keberhasilan anatomis dan tajam

penglihatan pada pasien ablasio retina regmatogen yang menjalani

tindakan pembedahan scleral buckling (SB), vitrektomi pars plana

(VPP), dan SB + VPP di RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1

Januari 2013 sampai 31 Desember 2014

5. Untuk mengetahui perbandingan tajam penglihatan pada pasien ablasio

retina regmatogen yang menjalani tindakan pembedahan SB, VPP, dan

SB+ VPP di RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1 Januari 2013

sampai 31 Desember 2014

6. Untuk mengetahui komplikasi pasca tindakan pembedahan pada pasien

ablasio retina regmatogen di RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1

Januari 2013 sampai 31 Desember 2014

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini dapat menggambarkan karakteristik pasien ablasio

retina regmatogen yang menjalani tindakan pembedahan serta memberikan data


tingkat keberhasilan dan kualitas tindakan pembedahan pada pasien ablasio

retina regmatogen di RSUP Sanglah Denpasar. Data-data ini dapat dipakai

sebagai acuan untuk pengembangan keilmuan di bagian Ilmu Kesehatan Mata di

RSUP Sanglah Denpasar.


BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional deskriptif dengan

pendekatan studi potong lintang (cross-sectional). Data dikumpulkan secara

retrospektif berdasarkan catatan medis pasien ablasio retina regmatogen yang

datang ke poli mata RSUP Sanglah Denpasar. Data yang diambil pada penelitian

ini meliputi umur, jenis kelamin, onset penyakit, faktor predisposisi, kondisi

makula, jenis tindakan pembedahan, keberhasilan anatomis, tajam penglihatan

sebelum pembedahan, satu bulan, dan dua bulan pasca pembedahan, serta

komplikasi pasca pembedahan.

2.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Sanglah

Denpasar pada periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014.

2.3 Populasi dan Subjek Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien ablasio retina

regmatogen. Populasi terjangkau adalah pasien ablasio retina regmatogen yang

datang berobat ke RSUP Sanglah Denpasar selama periode 1 Januari 2013

sampai 31 Desember 2014. Subjek penelitian adalah semua pasien yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


2.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

2.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah semua pasien ablasio retina regmatogen yang datang

berobat ke RSUP Sanglah Denpasar dan mendapat tindakan pembedahan selama

periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014.

2.4.2 Kriteria Eksklusi

a. Pasien dengan penyakit vaskular retina seperti proliferative diabetic


retinopathy (PDR)

b. Pasien dengan catatan medis tidak lengkap

c. Pasien dengan follow up kurang dari dua bulan

2.5 Definisi Operasional Variabel

2.5.1 Ablasio retina regmatogen (ARR) adalah suatu kelainan pada mata yang

ditandai dengan terpisahnya lapisan neurosensori retina dari lapisan

epitel pigmen retina dibawahnya sebagai akibat adanya robekan pada

retina, dan hal ini menyebabkan terakumulasinya cairan dalam rongga

subretina. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan oftalmoskopi

indirek (Put, et al., 2013; AAO, 2011-2012).

2.5.2 Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercantum dalam catatan medis
dan dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan

2.5.3 Umur pasien adalah lama waktu hidup terhitung dari tanggal kelahiran

sampai saat dilakukan penelitian dan dinyatakan dalam tahun. Data

diperoleh dari catatan medis saat pertama kali datang.


2.5.4 Onset penyakit adalah durasi waktu antara pertama kali timbul keluhan

dengan kedatangan pasien ke rumah sakit yang diperoleh dari anamnesis

dan dinyatakan dalam hari.

2.5.5 Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang dapat mempermudah

seseorang untuk menderita ARR diantaranya miopia, riwayat trauma

okular, dan riwayat operasi intraokular seperti operasi katarak (Sodhi, et

al., 2008; Solomon and Teshome, 2011).

2.5.6 Status makula adalah kondisi makula saat pertama kali pasien datang,

dapat berupa makula on ataupun makula off sesuai yang tercatat pada

rekam medis pasien.

2.5.7 Jenis tindakan pembedahan adalah jenis tindakan atau intervensi

pembedahan yang dilakukan pada pasien, dalam hal ini terbagi menjadi

tindakan scleral buckling (SB), vitrektomi pars plana (VPP), dan SB +

VPP. Operator pada seluruh tindakan pembedahan dilakukan oleh dua

orang dokter spesialis mata yang sudah berpengalaman (PB dan AN).

2.5.8 Keberhasilan anatomis adalah kondisi anatomis retina pasca tindakan

pembedahan pertama yang dinilai dari pemeriksaan oftalmoskopi indirek

pada seluruh periode follow up dan dinyatakan dengan keadaan retina

attach atau retina redetach.

2.5.9 Tajam penglihatan sebelum pembedahan adalah tajam penglihatan saat

pasien pertama kali diperiksa sebelum mendapat tindakan pembedahan,

sesuai dengan yang tercantum dalam catatan medis pasien. Tajam

penglihatan diukur dengan menggunakan snellen chart atau E chart


dengan jarak 6 meter atau dengan hitung jari, gerakan tangan, maupun

bantuan senter dan selanjutnya hasil pengukuran dikonversi ke tabel

logMAR.

2.5.10 Tajam penglihatan pasca pembedahan adalah tajam penglihatan satu

bulan dan dua bulan setelah mendapat tindakan pembedahan, sesuai

dengan yang tercantum dalam catatan medis pasien. Tajam penglihatan

diukur dengan menggunakan snellen chart atau E chart dengan jarak 6

meter atau dengan hitung jari, gerakan tangan, maupun bantuan senter

dan selanjutnya hasil pengukuran dikonversi ke tabel logMAR.

2.5.11 Kompliksi pasca pembedahan adalah suatu kelainan yang timbul sebagai

akibat/risiko dari tindakan pembedahan yang dilakukan, terdiri atas

katarak komplikata, katarak traumatika, peningkatan TIO, perdarahan

subretina, uveitis anterior.

2.6 Analisis Data

Semua data yang diperoleh dimasukkan dalam tabel kerja dan dianalisis

dengan program SPSS. Data mengenai karakteristik subjek dianalisis secara

deskriptif. Data berskala kategorik ditampilkan dalam bentuk frekuensi dan

presentase sedangkan data berskala numerik ditampilkan dalam bentuk rerata

dan standar deviasi. Analisis untuk mengetahui perbaikan tajam penglihatan

logMAR dengan uji Friedman dan uji post hoc Wilcoxon karena data

berdistribusi tidak normal. Perbandingan hasil anatomis dan tajam penglihatan

pasca masing-masing tindakan bedah dengan menggunakan uji Kolmogorov-

Smirnov dan uji Kruskal-Wallis.


BAB III

HASIL PENELITIAN

3.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Selama periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014 terdapat 34 pasien

ablasio retina regmatogen yang menjalani tindakan pembedahan di RSUP Sanglah

Denpasar, namun hanya 26 pasien (26 mata) yang menjadi subjek penelitian. Data

karakteristik subjek penelitian disajikan pada Tabel 3.1

Tabel 3.1
Karakteristik Pasien Ablasio Retina Regmatogen

Karakteristik Pasien n(%)


Jenis Kelamin
Laki – Laki 15 (57,7%)
Perempuan 11 (42,3%)
Umur
< 20 1 (3,8%)
21 – 30 4 (15,4%)
31 – 40 2 (7,7%)
41 – 50 3 (11,5%)
51 – 60 15 (57,7%)
> 60 1 (3,8%)

Onset (rerata ± SD) hari 29,08 ± 26,74

Faktor Predisposisi
Miopia 11 (42,3%)
Riw. Operasi Katarak 4 (15,4%)
Riwayat trauma 6 (23,1%)
Tidak diketahui 5 (19,2%)
Status Makula
On 9 (34,6%)
Off 17 (65,4%)
Pada Tabel 3.1 tampak distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin

didapatkan laki-laki memiliki proporsi yang lebih besar (57,7%) dibandingkan

perempuan (42,3%). Kelompok umur pasien paling sering didapatkan pada usia

51 – 60 tahun (57,7%). Faktor predisposisi tersering adalah miopia yakni sebesar

42,3%. Onset keluhan pasien memiliki rerata waktu 29,08 ± 26,74 hari, dimana

sebagian besar pasien datang dengan status makula off (65,4%).

3.1 Hasil Anatomis Pasca Tindakan Pembedahan

Pada Gambar 3.1 menunjukkan keseluruhan hasil anatomis dua bulan

pasca tindakan pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar, dimana 19 (73,1%)

berhasil mengalami retina attach, sedangkan sisanya sebesar 7 (26,9%)

mengalami retina redetach.

Gambar 3.1
Pie chart menunjukkan proporsi hasil anatomis pasca tindakan pembedahan

3.3 Tajam Penglihatan Sebelum dan Setelah Tindakan Pembedahan

Data perbedaan tajam penglihatan sebelum dan setelah tindakan


pembedahan disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2
Tajam Penglihatan Pasien Ablasio Retina Regmatogen
Sebelum dan Setelah Tindakan Pembedahan

Tajam Penglihatan Median


n Rerata SD p
logMAR (Minimum – Maksimum)
Sebelum tindakan 26 2,10 0,61 2,48 ( 0,18 – 2,90 )
Satu bulan pasca 26 1,49 0,68 1,48 ( 0,07 – 2,48 ) < 0,001
tindakan
1,41 ±±0,68
Dua bulan pasca tindakan 26 1,39 ( 0,00 – 2,48 )
Uji Friedman. Uji post – hoc Wilcoxon: sebelum vs satu bulan pasca tindakan p < 0,001;
sebelum vs dua bulan pasca tindakan p < 0,001; satu bulan pasca tindakan vs dua bulan pasca
tindakan p = 0,229.

Tabel 3.2 menunjukkan tajam penglihatan pasien mengalami perbaikan


yang bermakna, dengan rerata logMAR sebelum tindakan 2,10 0,61 manjadi 1,49
±
0,68 pada satu bulan pasca tindakan dan 1,41 0,68 pada dua bulan pasca
± ±
tindakan (p < 0,001).

3.4 Perbandingan Hasil Anatomis pada Masing-Masing Tindakan

Data perbandingan hasil anatomis dua bulan pasca operasi pada masing-
masing tindakan pembedahan disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3
Perbandingan Hasil Anatomis Dua Bulan Pasca Operasi pada Masing-
Masing Tindakan Pembedahan.

Scleral Scleral buckling


Parameter buckling Vitrektomi + Vitrektomi p
(n=7) (n=2) ( n = 17 )
Hasil Anatomis
Retina attach 4/7 ( 57,1% ) 1/2 ( 50%) 14/17 ( 82,4% )
Retina redetach 3/7 ( 42,9% ) 1/2 ( 50% ) 3/17 ( 17,6% ) 0,716*

* Uji Kolmogorov – Smirnov


Tabel 3.3 menunjukkan perbandingan hasil anatomis dua bulan pasca

operasi dari masing-masing tindakan bedah yaitu retina mengalami attach

kembali pada 57,1% pasien yang dilakukan tindakan SB, 50% pasien yang

dilakukan VPP, dan 82,4% pasien yang dilakukan SB + VPP. Uji Kolmogorov-

Smirnov menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara

ketiga jenis tindakan (p > 0,05).

3.5 Perbandingan Tajam Penglihatan pada Masing-Masing Tindakan

Data perbandingan tajam penglihatan dua bulan pasca operasi pada

masing-masing tindakan pembedahan disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4
Perbandingan Tajam Penglihatan Dua Bulan Pasca Operasi pada Masing-
Masing Tindakan Pembedahan.

Scleral Scleral buckling


Parameter buckling Vitrektomi + Vitrektomi p
(n=7) (n=2) ( n = 17 )

Tajam Penglihatan 0,96 ± 0,68 1,63 ±0,21 1,58 ± 0,66 0,230**


LogMar
( Rerata SD )
±

** Uji Kruskal - Wallis

Tabel 3.4 menunjukkan rerata tajam penglihatan skala logMAR 0,96


± 0, 68 pada kelompok SB, 1,6 ± 3 0,21 pada kelompok VPP, dan
1,58 0,66 ± pada
kelompok SB+VPP. Perbandingan tajam penglihatan dua bulan pasca operasi

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara ketiga jenis


tindakan (p > 0,05; Uji Kruskal – Wallis).
3.6 Komplikasi Pasca Tindakan Pembedahan

Data berbagai komplikasi yang timbul pasca tindakan pembedahan

disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5
Komplikasi Pasca Tindakan Pembedahan

Komplikasi n(%)

Katarak komplikata 6 (23,1%)


Katarak traumatika 2 (7,7%)
Peningkatan TIO 4 (15,4%)
Perdarahan subretina 3 (11,5%)
Uveitis Anterior 1 (3,8%)

Tabel 3.5 menunjukkan beberapa komplikasi yang terjadi pasca tindakan

pembedahan dimana komplikasi terbanyak adalah katarak komplikata sejumlah

23,1%.
BAB IV

PEMBAHASAN

Ablasio retina regmatogen (ARR) merupakan salah satu dari tiga tipe ablasio

retina yang tersering. Ablasio retina regmatogen ditandai dengan terpisahnya

lapisan neurosensori retina dari lapisan epitel pigmen retina dibawahnya disertai

akumulasi cairan dalam rongga subretina akibat adanya robekan pada retina.

Kondisi ini dapat menyebabkan hilangnya tajam penglihatan, khususnya ketika

melibatkan makula. Ablasio retina regmatogen yang tidak diterapi dapat

menyebabkan kerusakan permanen dari sel – sel fotoreseptor yang seringkali

berakhir dengan kebutaan (AAO, 2011-2012; Rose, 2009).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa insiden ARR erat kaitannya dengan

karakteristik demografi seperti umur dan jenis kelamin. Sebagian besar studi

melaporkan insiden ARR lebih tinggi pada laki-laki, dengan rasio perbandingan

laki-laki dan perempuan antara 1,3:1 sampai 2,3:1 (Mitry, et al., 2010; Rosman, et

al., 2002). Put, et al (2013) dalam penelitiannya di Belanda mendapatkan dari 2998

insiden kasus ARR, sebanyak 56,7% terjadi pada laki-laki dan sisanya 43,3% pada

perempuan, menghasilkan rasio perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar

1,3:1. Penelitian di Singapura melaporkan 70,5% kejadian ARR terjadi pada laki-

laki. (Rosman, et al.,2002). Sementara penelitian di Yogyakarta oleh Rose (2009)

pada 35 pasien ARR terdiri atas 23 (65,7%) laki-laki dan 12 (34,3%) perempuan.

Pada penelitian ini dari 26 sampel pasien ARR didapatkan 15 (57,7%) pasien adalah

laki-laki dan 11 (42,3%) pasien perempuan.


Tidak ada penelitian yang secara pasti menjelaskan mengapa insiden ARR lebih

sering terjadi pada laki-laki, namun beberapa peneliti menyatakan faktor risiko

ARR seperti trauma okular lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan

perempuan, hal inilah yang menyebabkan insiden ARR lebih tinggi pada pasien

laki-laki (Put, et al., 2013; Mitry, et al., 2010; Gout, et al., 2012).

Hubungan yang kuat antara tingkat insiden ARR dan usia telah dilaporkan

secara luas. Put, et al (2013) dalam penelitiannya melaporkan puncak insiden ARR

adalah pada kelompok umur 55 – 59 tahun. Penelitian lain oleh Mitry, et al

(2010) di Skotlandia mendapatkan distribusi umur pada kelompok usia 60 – 69

tahun merupakan puncak insiden ARR. Penelitian di Singapura melaporkan rerata

umur pasien adalah 46,1 ± 15,5 tahun dengan mayoritas pasien antara usia 41 – 60

tahun (Rosman, et al., 2002). Pada penelitian ini didapatkan kejadian ARR tertinggi

adalah pada kelompok umur 51 – 60 tahun yaitu sebesar 57,7%. Komplikasi dari

posterior vitreous detachment (PVD) dan komplikasi lambat dari ekstraksi

katarak diasumsikan sebagai penyebab ARR umumnya terjadi pada usia tua (Put, et

al.,2013). Salah satu hal yang mendahului terjadinya ARR adalah adanya pencairan

vitreus. Pencairan vitreus ini terjadi secara alami seiring dengan bertambahnya umur

(synchysis senilis), namun dapat dipercepat oleh adanya miopia, trauma bedah dan

non bedah, serta inflamasi intraokuler. Posterior vitreus detachment (PVD)

biasanya terjadi sebagai suatu kondisi akut setelah pencairan vitreus yang signifikan

(Sodhi, et al., 2008; Ghazi and Green, 2002; Sebag, 2004).

Miopia telah dikenal sebagai faktor risiko ablasio retina dan dikaitkan
dengan sekitar 42% dari seluruh kejadian ARR (Kanski, 2007). Penelitian di
Taiwan mendapatkan miopia merupakan faktor risiko utama pada pasien ARR,

dimana 72% pasien ARR juga menderita miopia, dan 62,4% diantaranya dengan

miopia tinggi (Chou, et al., 2007). Penelitian Mitry, et al (2010) mendapatkan

53,1% kasus ARR adalah penderita miopia, dengan spherical equivalent

refraction (SER) ≥ -1 Dioptri (D), dan 18% diantaranya dengan miopia tinggi.

Pada penelitian ini, miopia juga menempati urutan pertama sebagai faktor risiko

dari ARR, dimana sebanyak 42,3% pasien memiliki miopia. Eye Disease

Case Control Study Group (1993) menyatakan bahwa seseorang dengan

miopia memiliki risiko 4 – 10 kali lebih tinggi untuk mengalami ablasio retina,

sementara Sheu, et al (2011) menyatakan terjadi peningkatan angka ARR

dengan bertambahnya axial length. Tingginya insiden ARR diantara penderita

miopia dipercaya bersifat multifaktorial diantaranya meningkatnya risiko

degenerasi lattice, PVD, serta retina perifer yang lebih tipis dan rentan

menyebabkan robekan (Sodhi, et al., 2008; Solomon and Teshome, 2011).

Trauma tumpul okular merupakan penyebab utama ARR pada pasien

dewasa dan anak-anak. Robekan retina pada trauma trumpul biasanya disebabkan

oleh kompresi yang cepat pada bola mata sepanjang diameter antero-posterior

(Sodhi, et al., 2008). Pada penelitian ini, trauma okular menjadi faktor risiko ARR

pada 6 (23,1%) pasien. Penelitian lain, trauma sebagai faktor risiko ARR pada

20,7% pasien di Ethiopia, 10,4% di Skotlandia, 11,6% di Beijing dan 16,4% di New

Zeland (Solomon and Teshome, 2011; Mitry, et al., 2010; Polkinghorne and Craig,

2004; Beijing Rhegmatogenous Retinal Detachment Study Group, 2003).


Operasi katarak merupakan faktor risiko penting terjadinya ARR,

khususnya ketika terjadi komplikasi ruptur kapsul posterior dan prolaps vitreus

(Haug and Bhisitkul, 2011; Erie, et al., 2006; Quek, et al., 2011). Terjadi

peningkatan risiko ARR sepuluh kali lipat pasca operasi katarak yang disertai

komplikasi ruptur kapsul posterior (Jakobsson, et al., 2009). Penelitian Mitry, et

al (2010) mendapatkan 23,4% pasien ARR pernah menjalani operasi katarak,

dengan median waktu 3,28 tahun dari saat operasi hingga terjadinya ARR,

namun pada pasien yang mengalami komplikasi vitreus prolaps saat operasi,

median waktunya dilaporkan lebih singkat yakni 1,38 tahun. Penelitian di

Singapura melaporkan 11,6% pasien ARR memiliki riwayat operasi katarak

(Rosman, et al., 2002). Pada penelitian ini didapatkan 4 (15,4%) pasien ARR

memiliki riwayat operasi katarak pada mata yang sama. Rowe, et al (1999)

dalam penelitiannya menyatakan cumulative probability terjadinya ARR

sepuluh tahun pasca operasi katarak menjadi 5,5 kali lebih tinggi dibandingkan

seseorang yang tidak menjalani operasi katarak.

Status makula pada saat pasien datang merupakan indikator penting bagi

prognosis tajam penglihatan hasil operasi. Penelitian Solomon dan Teshome

(2011) mendapatkan ARR dengan makula off terjadi pada 73,8% pasien.

Penelitian Put, et al (2013) mendapatkan 54,5% pasien ARR dengan makula off,

sedangkan Rosman, et al (2002) mendapatkan 70,5% pasien mengalami makula

off pada saat pasien datang. Pada penelitian ini didapatkan pasien ARR dengan

makula off sebesar 65,4%. Tingginya proporsi pasien yang datang dgn status

makula off dapat terjadi karena progresivitas penyakit yang cepat ataupun
keterlambatan pasien untuk mengunjungi fasilitas kesehatan, hal ini terbukti

dengan tingginya rerata onset kedatangan pasien yakni 29,08 ± 26,74 hari.

Berbeda halnya dengan penelitian Mehta, et al (2011) di Missouri, Amerika

Serikat, rerata durasi gejala pasien adalah 15,5 hari. Keterlambatan pasien ini

kemungkinan besar disebabkan karena kurangnya perhatian dan pemahaman

pasien atas gejala ARR (Put, et al., 2013).

Secara klinis tujuan dari pembedahan pada ARR adalah melekatkan

retina (retinal reattachment), memperbaiki dan menutup semua robekan retina

(Sodhi, et al., 2008). Dengan intervensi pembedahan yang tepat, angka

keberhasilan anatomis dapat mencapai 80%-90%. (AAO, 2011-2012; Sodhi, et

al., 2008). Penelitian Weichel, et al (2006) mendapatkan keseluruhan angka

keberhasilan anatomis mencapai 93,4%, sementara penelitian Ahmadieh, et al

(2005) di Iran melaporkan angka keberhasilan anatomis pasca vitrektomi sebesar

75,7%. Pada penelitian ini, keberhasilan anatomis pada operasi pertama yang

dinyatakan dengan retina attach pada dua bulan pasca operasi adalah sebanyak

19 (73,1%) pasien, sedangkan 7 (26,9%) mengalami redetach. Lima dari 7

pasien yang mengalami redetach dilakukan operasi ulang dan berhasil

mengalami reattachment kembali.

. Disfungsi tajam penglihatan dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya durasi gejala, tajam penglihatan sebelum operasi, jenis dan luasnya

ablasio retina, serta keterlibatan makula. Beberapa penelitian melaporkan secara

keseluruhan terjadi perbaikan tajam penglihatan yang signifikan pasca operasi

dibandingkan dengan sebelum operasi. Penelitian Ahmadieh, et al (2005)


melaporkan rerata tajam penglihatan skala logMAR sebelum tindakan vitrektomi

adalah 2,37 ± 0,46 dan 2 bulan setelah tindakan tajam penglihatan menjadi 1,16 ±

0,70 (p < 0,0001). Pada penelitian ini juga didapatkan terjadi perbaikan tajam

penglihatan secara keseluruhan pasca tindakan pembedahan, dimana pada

pemeriksaan awal rerata tajam penglihatan skala logMAR 2,10 0,61

mengalami perbaikan menjadi 1,49 0,68 pada satu bulan pasca pembedahan ± (p
< 0,001) dan 1,41 0,68 dua bulan ± pasca pembedahan (p < 0,001). Ablasio

retina regmatogen dapat


± menyebabkan kerusakan fotoreseptor dan epitel pigmen

retina, karena itu tujuan dari retinal reattachment adalah memulihkan fotoreseptor dan
epitel pigmen dari degenerasi (Rose, 2009). Sebagian besar peyembuhan terjadi selama
bulan pertama, namun pemulihan tajam penglihatan secara

menyeluruh mungkin memerlukan waktu beberapa bulan.

Teknik pembedahan terbaik untuk penanganan ARR baik fakia ataupun

pseudofakia masih menjadi kontroversi. Vitrektomi pars plana (VPP) dan sclera

buckling (SB) merupakan teknik yang paling populer digunakan untuk repair

primer pada kasus ARR. Kombinasi kedua teknik ini (VPP+SB) juga telah

menjadi metode yang populer dan dapat diandalkan (Mehta et al., 2011). Scleral

buckling (SB) merupakan prosedur pembedahan pada ARR sebelum

diperkenalkannya VPP, dan telah dianggap sebagai gold standard untuk

penanganan kasus ARR tanpa penyulit. Kemajuan dalam teknik dan fasilitas

pembedahan terjadi sejak tahun 1971 ketika Machemer, et al pertama kali

memperkenalkan VPP. Vitrektomi pars plana digunakan sebagai intervensi

pembedahan primer pada ARR dengan penyulit seperti vitreus hemorrhage,


robekan (breaks) retina di posterior pole, ataupun proliferative vitreoretinopathy

(Weichel, et al., 2006; Sodhi, et al., 2008).

Dalam beberapa penelitian yang membandingkan SB dengan VPP dalam

penanganan ARR primer, tampak bahwa kedua prosedur tersebut memiliki efikasi

yang sama. Penelitian prospektif, randomized, dan multisenter yang dilakukan di 5

negara di Eropa melaporkan keberhasilan anatomis pada pasien fakia sebesar 63,6%

pada kelompok SB, dan 63,8% pada kelompok VPP (p = 0,970); sedangkan pada

pasien pseudofakia/afakia keberhasilan anatomis sebesar 53,4% pada kelompok SB

dan 72,0% pada kelompok VPP (p = 0,002) (Heimann, et al., 2007). Penelitian

Mehta, et al (2011) yang membandingkan prosedur VPP dengan VPP+SB

melaporkan pada pasien fakia, keberhasilan anatomis sebesar 83,8% pada kelompok

VPP dan 97,1% pada kelompok VPP+SB (p = 0,02); sementara pada pasien

pseudofakia kedua prosedur ini tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Pada

penelitian ini diperoleh keberhasilan anatomis yang dinyatakan dengan retina attach

sebesar 57,1% pada kelompok SB, 50% pada kelompok VPP, dan 82,4% pada

kelompok SB+VPP, dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara

ketiga jenis tindakan ini (p > 0,05).

Perbandingan tajam penglihatan pasca tindakan SB dan VPP dilaporkan

Ahmadieh, et al (2005), dimana tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan diantara

kedua tindakan tersebut, yakni dua bulan pasca tindakan didapatkan tajam

penglihatan skala logMAR 1,08 ± 0,65 pada kelompok SB dan 1,16 ± 0,70 pada

kelompok VPP (p = 0,47). Penelitian Mehta, et al (2011) membandingkan tindakan

VPP dengan kombinasi VPP+SB dan didapatkan rerata perbaikan tajam


penglihatan pada kelompok VPP sedikit lebih baik dibandingkan kelompok

VPP+SB, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua

kelompok. Sementara penelitian Stangos, et al (2004) menemukan bahwa

persentase pasien yang mengalami peningkatan tajam penglihatan lebih banyak

pada kelompok VPP+SB (69%) dibandingkan kelompok VPP (60%). Pada

penelitian ini, setelah dua bulan follow up pasca tindakan didapatkan tajam

penglihatan skala logMAR 0,96 0,68 pada kelompok SB, 1,63 0,21 pada

kelompok VPP, dan 1,58 0,66 ±pada kelompok SB+VPP (p = 0,230)±. Tajam

penglihatan pada kelompok


± SB sedikit lebih baik dibandingkan dua kelompok

lainnya, hal ini cenderung disebabkan karena pasien pada kelompok SB memiliki tajam
penglihatan awal yang lebih baik dibandingkan kelompok VPP dan SB+VPP, namun
tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan yang signifikan

diantara ketiga kelompok.

Beberapa komplikasi dapat muncul pasca pembedahan ARR diantaranya

gangguan gerak bola mata, infeksi, migrasi dari elemen buckle, ataupun perdarahan

subretina yang merupakan komplikasi pasca prosedur SB, sedangkan komplikasi

pasca VPP diantaranya katarak komplikata, trauma lensa (katarak traumatik),

peningkatan TIO,edema makula, ataupun breaks retina iatrogenik (Sodhi, et al,

2008; Schwartz and Flynn, 2008). Penelitian Heimann, et al (2007) mendapatkan

setelah 1 tahun follow up pasca VPP terjadi progresifitas katarak pada 77,3%

pasien. Penggunaan gas ataupun silicon oil sebagai tamponade pada prosedur VPP

inilah yang dapat menyebabkan komplikasi berupa katarak dan peningkatan TIO

(Sodhi, et al., 2008; Cheng, et al., 2001). Penelitian Ahmadieh


et al (2005) mendapatkan angka peningkatan TIO pasca dilakukan vitrektomi

sebesar 26,3%. Penelitian Cheng et al (2001) melaporkan terjadi komplikasi

trauma lensa pada 9% pasien yang dilakukan VPP. Penelitian Abdullah et al

(2010) melaporkan pasca dilakukan SB terjadi komplikasi perdarahan subretina

(14%), infeksi konjungtivitis (4%), suspek endoftalmitis (2%). Pada penelitian ini

tercatat komplikasi pasca operasi terbanyak adalah katarak komplikata (23,1%)

yang disusul oleh peningkatan TIO (15,4%), perdarahan subretina (11,5%), katarak

traumatik (7,7%), uveitis anterior (3,8%). Seluruh pasien dengan komplikasi katarak

dilakukan penanganan berupa ekstraksi lensa, sedangkan pasien dengan peningkatan

TIO dilakukan penanganan secara konservatif pada 3 pasien, dan 1 pasien dilakukan

tindakan laser perifer irodotomi.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan karakteristik pasien ablasio retina

regmatogen yang menjalani tindakan pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar

selama periode 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2014 adalah lebih banyak

terjadi pada laki-laki (57,7%) dan mayoritas pada kelompok usia 51 – 60 tahun

(57,7%). Faktor predisposisi tersering adalah miopia yakni sebesar 42,3%. Onset

gejala berkisar antara 4 – 90 hari dengan rata-rata 29,08 ± 26,74 hari, dimana

sebagian besar pasien datang dengan status makula off (65,4%).

Penelitian ini juga didapatkan angka keberhasilan anatomis sebesar

73,1% serta terdapat perbaikan yang bermakna dari tajam penglihatan dengan

skala logMAR sebelum dan sesudah tindakan. Perbandingan hasil anatomis dan

tajam penglihatan dua bulan pasca operasi pada masing-masing tindakan (SB,

VPP, SB+VPP) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara

ketiga jenis tindakan. Komplikasi pasca operasi terbanyak pada penelitian ini

adalah katarak komplikata.

5.2 Saran

Perlu dilakukan sistem pencatatan yang lebih baik untuk pasien-pasien

yang datang ke RSUP Sanglah khususnya divisi Vitreo Retina, sehingga data

yang terkumpul lebih lengkap dan dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut,
khususnya terkait pencatatan follow up pasien yg berkelanjutan, sehingga dapat

dilakukan penelitian dengan periode follow up yang lebih panjang.


DAFTAR PUSTAKA

AAO. 2011-2012. Retina and Vitreus. United State of America: American


Academy of Ophthalmology. p. 292-302.

Abdullah, A.S., Jan, S., Qureshi, M.S., Khan, M.T., Khan, M.D. 2010.
Complication of conventional sclera buckling occurring during and after
treatment of rhegmatogenous retinal detachment. J Coll Physicians Surg
Pak, 20(5): 321-6.

Ahmadieh, H., Moradian, S., Faghihi, H., Parvaresh, M.M., Ghanbari, H., et al.
2005. Anatomic and Visual Outcomes of Scleral Buckling versus Primary
Vitrectomy in Pseudophakic and Aphakic Retinal Detachment.
Ophthalmology, 112: 1421-1429.

Beijing Rhegmatogenous Retinal Detachment Study Group. 2003. Incidence and


Epidemiological Characteristics of Rhegmatogenous Retinal Detachment in
Beijing, China. Ophthalmology, 110: 2413-2417.

Chou, S.C., Yang, C.H., Lee, C.H., Yang, C.M., Ho, T.C., Huang, J.S., et al.
2007. Characteristics of primary rhegmatogenous retinal detachment in
Taiwan. Eye, 21: 1056-1061.

Cheng, L., Azen, S.P., El-Bradey, M.H, et al. 2001. Duration of vitrectomy and
postoperative cataract in the vitrectomy for macular hole study. Am J
Ophthalmol, 132: 881-887.

Erie, J.C., Raecker, M.E., Baratz, K.H., et al. 2006. Risk of retinal detachment
after cataract extraction, 1980-2004: a population-based study. Trans Am
Ophthalmol Soc, 104: 167-175.

Ghazi, N.G., Green, W.R. 2002. Pathology and pathogenesis of retinal


detachment. Eye, 16: 411-21.

Gout, I., Mellington, F., Tah, V., Sarhan, M., Rokerya, S., et al. 2012. Retinal
Detachment – An Update of the Disease and Its Epidemiology – A
Discussion Based on Research and Clinical Experience at the Prince Charles
Eye Unit, Windsor, England. In Advance in Ophthalmology. Rumelt, S
(Ed.), Available from: http://www.intechopen.com/books/advance-in-
ophthalmology/retinal-detachment-an-update-of-the-disease-and-its-
epidemiology-

Haug, S.J., Bhisitkul, R.B. 2011. Risk factors for retinal detachment following
cataract surgery. Curr Opin Ophthalmol, 23: 7-11.
Heimann, H., Bartz-Schmidt, K.U., Bornfeld, N., Weiss, C., Hilgers, R.D.,
Foerster, M.H. 2007. Scleral Buckling versus Primary Vitrectomy in
Rhegmatogenous Retinal Detachment. Ophthalmology, 114: 2142-2154.

Jakobsson, G., Montan, P., Zetterberg, M., et al. 2009. Capsule complication
during cataract surgery: retinal detachment after cataract surgery with
capsule complication. Swedish Capsule Rupture Study Group report 4. J
Cataract Refract Surg, 35: 1699-1705.

Kanski, J.J. 2007. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. 6 th Ed.


Elsevier. p: 695-734.

Mehta, S., Blinder, K.J., Shah, G.K., Grand, M.G. 2011. Pars plana vitrectomy
versus combined pars plana vitrectomy and sclera buckle for primary repair
of rhegmatogenous retinal detachment. Can J Ophthalmol, 46: 237-241.

Mitry, D., Charteris, D.G., Yorston, D., Siddiqui, M.A.R., Campbell, H.,
Murphy, A.L., et al. 2010. The Epidemiology and Socioeconomic
Associations of Retinal Detachment in Scotland: A Two-Years Prospective
Population-Based Study. Invest Ophthalmol Vis Sci, 51: 4963-4968.

Pastor, J.C. Fernandez, I., Rodriguez, R.E., et al. 2008. Surgical outcome for
primary rhegmatogenous retinal detachments in phakic and pseudophakic
patients: the Retina I Project – report 2. Br J Ophthalmol, 92: 378-82.

Polkinghorne, P.J., Craig, J.P. 2004. Northern New Zealand Rhegmatogenous


Retinal Detachment Study; epidemiology and risk factors. Clinical and
Experimental Ophthalmology, 32: 159-163.

Put, M.A.J.V., Hooymans, J.M.M., Los, L.I., 2013. The Incidence of


Rhegmatogenous Retinal Detachment in The Netherlands. Ophthalmology,
120: 616-622.

Quek, D.T., Lee, S.Y., Htoon, H,M., Ang, C.L. 2011. Pseudophakic
rhegmatogenous retinal detachment in a large Asian tertiary aye center: a
cohort study. Clin Experiment Ophthalmol, 40: e1-e7.

Rose. 2009. Duration of rhegmatogenous retinal detachment predicts recovery of


retinal sensitivity. Univ Med, 28(3): 133-138.

Rosman, M., Wong, T.Y., Ong, S.G., Ang, C.L. 2002. Retinal detachment in
Chinese, Malay and Indian residents in Singapore: A comparative study on
risk factors, clinical presentation and surgical outcomes. International
Ophthalmology, 24: 101-106.

Rowe, J.A., Erie, J.C., Baratz, K.H., Hodge, D.O., Gray, D.T., Bulterfield, L.,
Robertson, D.M. 1999. Retinal detachment in Olmsted Country, Minnesota,
1976 through 1995. Ophthalmology, 106: 154-159.
Schwartz, S.G., Kuhl, D.P., McPherson, A.R., et al. 2002. Twenty-year follow
up for sclera buckling. Arch Ophthalmol, 120: 325-329.

Schwartz, S.G., Flynn, H.W. 2008. Pars plana vitrectomy for primary
rhegmatogenous retinal detachment. Clinical Ophthalmology, 2(1): 57-63.

Sebag,J. 2004. Anomalous posterior vitreous detachment: a unifying concept in


vitreo-retinal disease. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol, 242: 690-698.

Sheu, S.J., Ger, L.P., Ho, W.L. 2010. Late increased risk of retinal detachment
after cataract extraction. Am J Ophthalmol, 149: 113-119.

Sodhi, A., Leung, L.S., Do, D.V., Gower, E.W., Schcin, O.D., Honda, J.T. 2008.
Recent trends in the management of rhegmatogenous retinal detachment.
Surv Ophthalmol, 53: 50-67.

Solomon, B., Teshome, T. 2011. Factors predisposing to rhegmatogenous retinal


detachment among Ethiopians. Ethiop. J. Health Dev, 25(1): 31-34.

Stangos, A.N., Petropoulos, I.K., Brozou, C.G., et al. 2004. Pars plana vitrectomy
versus vitrectomy with sclera buckling for primary rhegmatogenous
pseudophakic retinal detachment. Am J Ophthalmol, 138: 952-958.

Sun, J.K., Young, L.H.Y. 2008. Retinal Detachment. In: Albert, D.M., Miller,
J.W., Azar, D.T., Blodi, B.A, eds. Albert & Jokobiec’s Principles and
Practice of Ophthalmology. Philadelphia: Saunders, p: 1675-1698.

The Eye Disease Case-Control Study Group. 1993. Risk factor for idiopathic
rhegmatogenous retinal detachment. Am J Epidemiol, 137: 749-57.

Weichel, E.D., Martidis, A., Fineman, M.S., McNamara, J.A., Park, C.H.,
Vander, J.F., et al. 2006. Pars Plana Vitrectomy versus Combined Pars
Plana Vitrectomy-Scleral Buckle for Primary Repair of Pseudophakic
Retinal Detachment. Ophthalmology, 113: 2033-2040.
LAMPIRAN

Tabel Data Dasar

Jenis Umur Onset Kondisi Jenis Visus (skala logMAR) Komplikasi


No. Inisial Kelamin (tahun) (hari) Faktor Predisposisi Tindakan Hasil Anatomis Pre Post 1 Post 2 post operasi
Makula Op bulan bulan
1 MS laki-laki 54 4 riw trauma on SB retina redetach 1.48 0.30 1.48 -
2 NW laki-laki 58 30 riw operasi katarak off SB+VPP retina attach 2.48 2.48 2.48 -
3 KB laki-laki 55 14 miopia on SB retina attach 1.48 0.52 0.22 -
4 PS perempuan 45 90 riw trauma off SB+VPP retina attach 2.48 2.48 2.48 perdarahan subretina
5 LK perempuan 54 5 tidak diketahui on SB retina attach 1.78 0.70 0.70 -
6 AM laki-laki 58 7 miopia off SB+VPP retina attach 2.90 1.78 1.78 -
7 AB laki-laki 17 21 riw trauma off SB+VPP retina redetach 2.48 1.78 2.48 -
8 KS laki-laki 57 7 riw operasi katarak off SB+VPP retina attach 1.78 1.48 1.48 perdarahan subretina
9 RK laki-laki 53 14 miopia on SB+VPP retina attach 1.78 1.78 1.18 katarak komplikata
10 WN laki-laki 59 14 riw operasi katarak off VPP retina redetach 2.90 2.48 1.78 peningkatan TIO
11 KK perempuan 43 30 tidak diketahui off SB+VPP retina redetach 2.48 1.78 1.48 peningkatan TIO
12 GS laki-laki 26 6 tidak diketahui on SB retina attach 0.18 0.07 0.00 -
13 MD perempuan 62 30 tidak diketahui on SB+VPP retina attach 1.48 1.30 1.30 katarak traumatik
14 SN perempuan 30 7 tidak diketahui off SB+VPP retina attach 2.90 1.30 1.00 katarak traumatik
15 WH laki-laki 24 120 riw trauma off SB+VPP retina attach 2.48 2.48 2.48 katarak komplikata
16 MA perempuan 52 60 miopia off SB+VPP retina attach 2.48 0.90 0.70 -
17 RA laki-laki 54 60 riw trauma off SB+VPP retina attach 1.78 1.30 1.30 katarak komplikata
18 HA laki-laki 58 14 riw operasi katarak off VPP retina attach 2.48 1.78 1.48 Peningkatan TIO
19 IS perempuan 30 60 riw trauma off SB retina redetach 1.48 1.30 1.78 -
20 PA perempuan 40 8 miopia off SB retina redetach 1.78 1.48 1.48 uveitis anterior
21 PM laki-laki 56 60 miopia off SB+VPP retina attach 2.48 1.30 1.00 katarak komplikata
22 DA perempuan 52 7 miopia off SB+VPP retina attach 1.78 1.78 1.30 katarak komplikata
23 GDK laki-laki 51 60 miopia on SB retina attach 1.78 1.48 1.08 perdarahan subretina
24 RM perempuan 40 21 miopia on SB+VPP retina redetach 2.48 2.48 2.48 katarak komplikata
25 DAM perempuan 41 7 miopia on SB+VPP retina attach 2.48 0.70 0.70 -
26 MM laki-laki 58 30 miopia off SB+VPP retina attach 2.48 1.48 1.18 peningkatan TIO
Hasil Analisa Data

Frequency Table

Jenis_kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid laki-laki 15 57.7 57.7 57.7

perempuan 11 42.3 42.3 100.0

Total 26 100.0 100.0

Kat_umur

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid <20 1 3.8 3.8 3.8

21-30 4 15.4 15.4 19.2

31-40 2 7.7 7.7 26.9

41-50 3 11.5 11.5 38.5

51-60 15 57.7 57.7 96.2

>60 1 3.8 3.8 100.0

Total 26 100.0 100.0

Statistics

Onset

N Valid 26

Missing 0

Mean 29.08

Median 17.50

Std. Deviation 26.736

Minimum 4

Maximum 90
Faktor_predisposisi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid miopia 11 42.3 42.3 42.3

riw operasi katarak 4 15.4 15.4 57.7

riw trauma 6 23.1 23.1 80.8

tidak diketahui 5 19.2 19.2 100.0

Total 26 100.0 100.0

Kondisi_makula

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid on 9 34.6 34.6 34.6

off 17 65.4 65.4 100.0

Total 26 100.0 100.0

Hasil_anatomis

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid retina attach 19 73.1 73.1 73.1

retina redetach 7 26.9 26.9 100.0

Total 26 100.0 100.0


Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

VA_preop .271 26 .000 .845 26 .001

VA_1bln .160 26 .084 .934 26 .096

VA_2bln .155 26 .111 .938 26 .119

a. Lilliefors Significance Correction

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

trans_VApreop .254 26 .000 .741 26 .000

trans_VA1bln .224 26 .002 .896 26 .013

trans_VA2bln .158 26 .096 .877 26 .005

a. Lilliefors Significance Correction

NPar Tests

Descriptive Statistics

Percentiles

Std. 50th
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th (Median) 75th

VA_preop 26 2.0977 .61479 .18 2.90 1.7800 2.4800 2.4800

VA_1bln 26 1.4881 .67987 .07 2.48 1.2000 1.4800 1.7800

VA_2bln 26 1.4154 .68301 .00 2.48 1.0000 1.3900 1.7800


Friedman Test

Ranks

Mean Rank

VA_preop 2.73

VA_1bln 1.79

VA_2bln 1.48

Test Statisticsa

N 26
Chi-Square 29.792

df 2

Asymp. Sig. .000


a. Friedman Test

NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Test Statisticsb

VA_1bln - VA_2bln - VA_2bln -


VA_preop VA_preop VA_1bln

Z -3.923a -3.774a -1.202a

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000 .229

a. Based on positive ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test


Crosstabs

Tindakan_bedah * Hasil_anatomis Crosstabulation

Hasil_anatomis

retina attach retina redetach Total

Tindakan_bedah SB Count 4 3 7

Expected Count 5.1 1.9 7.0

% within Tindakan_bedah 57.1% 42.9% 100.0%

% within Hasil_anatomis 21.1% 42.9% 26.9%

% of Total 15.4% 11.5% 26.9%

VPP Count 1 1 2

Expected Count 1.5 .5 2.0

% within Tindakan_bedah 50.0% 50.0% 100.0%

% within Hasil_anatomis 5.3% 14.3% 7.7%

% of Total 3.8% 3.8% 7.7%

SB+VPP Count 14 3 17

Expected Count 12.4 4.6 17.0

% within Tindakan_bedah 82.4% 17.6% 100.0%

% within Hasil_anatomis 73.7% 42.9% 65.4%

% of Total 53.8% 11.5% 65.4%

Total Count 19 7 26

Expected Count 19.0 7.0 26.0

% within Tindakan_bedah 73.1% 26.9% 100.0%

% within Hasil_anatomis 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 73.1% 26.9% 100.0%


Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)

Pearson Chi-Square 2.188a 2 .335


Likelihood Ratio 2.112 2 .348

Linear-by-Linear Association 1.758 1 .185

N of Valid Cases 26

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The


minimum expected count is .54.

Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Frequencies

Hasil_anatomis N

Tindakan_bedah retina attach 19

retina redetach 7

Total 26

Test Statisticsa

Tindakan_bedah

Most Extreme Differences Absolute .308

Positive .000

Negative -.308
Kolmogorov-Smirnov Z .697

Asymp. Sig. (2-tailed) .716


a. Grouping Variable: Hasil_anatomis
Descriptives

VA_2bln

95% Confidence Interval


for Mean

Std. Std. Lower Upper


N Mean Deviation Error Bound Bound Minimum Maximum

SB 7 .9629 .67877 .25655 .3351 1.5906 .00 1.78

VPP 2 1.6300 .21213 .15000 -.2759 3.5359 1.48 1.78

SB+VPP 17 1.5765 .65606 .15912 1.2392 1.9138 .70 2.48

Total 26 1.4154 .68301 .13395 1.1395 1.6913 .00 2.48

NPar Tests

Descriptive Statistics

Percentiles

Std. 50th
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th (Median) 75th

VA_2bln 26 1.4154 .68301 .00 2.48 1.0000 1.3900 1.7800

Tindakan_bedah 26 2.38 .898 1 3 1.00 3.00 3.00

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Tindakan_
bedah N Mean Rank

VA_2blnSB 7 9.57

VPP 2 18.00

SB+VPP 17 14.59

Total 26
Test Statisticsa,b

VA_2bln

2.937 C
2 h
.230 i
-
Square df

Asymp. Sig.

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:
Tindakan_bedah

komplikasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 10 38.5 38.5 38.5

katarak komplikata 6 23.1 23.1 61.5

katarak traumatik 2 7.7 7.7 69.2

peningkatan TIO 4 15.4 15.4 84.6

perdarahan subretina 3 11.5 11.5 96.2

uveitis anterior 1 3.8 3.8 100.0

Total 26 100.0 100.0

Anda mungkin juga menyukai