Anda di halaman 1dari 40

DETASEMEN KESEHATAN WILAYAH 02.04.

04
RUMAH SAKIT TK.IV 02.07.02 LAHAT

PANDUAN
KOMUNIKASI EFEKTIF

RUMAH SAKIT TK IV 02.07.02 LAHAT


DETASEMEN KESEHATAN WILAYAH 02.04.04
RUMAH SAKIT TK IV 02.07.02 LAHAT
Jl. Letjend Harun Sohar No. 26 Lahat Tlp.081377951551
Fax. (0731) 326195 Email: rumkit4lahat@gmail.com

KEPUTUSAN KEPALA RUMAH SAKIT TK. IV 02.07.02 LAHAT


NOMOR : Kep / 163 / I / 2019
TENTANG
PEMBERLAKUAN PANDUAN KOMUNIKASI EFEKTIF UNTUK
MENDORONG KETERLIBATAN PASIEN DAN KELUARGA DALAM PROSES
PELAYANAN

Menimbang 1.: Bahwa seluruh staf bertanggung jawab melindungi dan


mengedepankan hak pasien dan keluarga.
2. Bahwa Rumah Sakit TK.IV 02.07.02 Lahat menghormati
hak pasien dan dalam beberapa situasi hak istimewa
pasien.
3. Bahwa hak pasien dan keluarga merupakan eleman dasar
dari semua kontak rumah sakit, staf nya serta pasien dan
keluarga

Mengingat 1. Undang
: – undang nomor 44 tahun 1999 tentang kesehatan.
2. Permenkes nomor 159 b/1988 tentang rumah sakit.
3. Keputusan menteri kesehatan nomor 1333/menkes/
SK/XII/1999 tentang standar pelayanan rumah sakit.
4. Surat edaran Dirjen Pelayanan Medik No. YM.01.04.3.5.2504
tentang pedoman hak dan kewajiban pasien, dokter dan
rumah sakit.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor : 012 tahun 2012
tanggal 1 Maret Tentang Akreditasi.
MEMUTUSKAN

Menetapkan :
Pertama : Keputusan Rumah Sakit Tk.IV 02.07.02 Lahat Tentang
Pemberlakuan Panduan Komunikasi Efektif untuk mendorong
keterlibatan pasien dan keluarga dalam proses pelayanan di
Rumah Sakit Tk.IV 02.07.02 Lahat.
Kedua : Panduan ini menjadi acuan bagi Rumah Sakit untuk
melaksanakan komunikasi secara efektif di Rumah Sakit Tk. IV
02.07.02 Lahat sebagaimana tercantum dalam lampiran
keputusan ini.
Ketiga : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila
di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan
ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Lahat
pada tanggal : 9 Januari 2019
Karumkit Tk. IV 02.07.02 Lahat

dr. Fauzi Mustakman SpB


Mayor Ckm NRP 11040000290974
Lampiran : Keputusan Karumkit Tk.IV 02.07.02 Lahat
Nomor : Kep / 163 / I / 2019
Tanggal : 9 Januari 2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan komunikasi sudah menjadi sebagian besar kegiatan kita sehari-


hari, mulai antar teman/pribadi, kelompok, organisasi atau massa. Kegiatan
komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan.
Secara sederhana, kegiatan komunikasi dipahami sebagai kegiatan
penyampaian dan penerimaan pesan atau ide dari satu pihak kepihak lain,
dengan tujuan untuk mencapai kesamaan pandangan atas ide yang
dipertukarkan tersebut.
Begitu pula dengan pelayanan rumah sakit, keberhasilan misi sebuah
rumah sakit sangat ditentukan oleh keluwesan berkomunikasi setiap petugas,
perawat dan dokter. Pelayanan rumah sakit selalu berhubungan dengan
berbagai karakter dan perilaku pasien yang berkepentingan dengan jasa
perawatan sehingga petugas, perawat dan dokter harus memahami dan
mengerti bagaimana cara komunikasi yang bisa diterapkan di segala situasi.
Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter dengan pasien merupakan
salah satu kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi
menentukan keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan
pasien. Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang
cukup untuk berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya
seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang
cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan dan
tindakan lebih lanjut.
Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa berada dalam posisi lebih
rendah di hadapan dokter sehingga takut bertanya dan bercerita atau
mengungkapkan diri. Hasilnya, pasien menerima saja apa yang dikatakan
dokter. Paradigma inilah yang harus kita perbaiki. Pasien dan dokter harus
berada dalam kedudukan setara sehingga pasien tidak merasa rendah diri dan
malu untuk bisa menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara jujur dan
jelas. Komunikasi yang efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam
pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak
memerlukan waktu yang lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan waktu
yang lebih sedikit karena petugas, perawat dan dokter terampil mengenali
kebutuhan pasien. Atas dasar kebutuhan pasien, perawat dan dokter
melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien.
Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman komunikasi efektif untuk
petugas, perawat dan dokter di RS TK IV 02.07.02 Lahat untuk memudahkan
berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya.
Tujuan
Secara umum tujuan penyusunan pedoman komunikasi efektif ini adalah :
1. Memberikan pengetahuan dan pedoman bagi petugas, perawat dan dokter
mengenai cara berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya.
2. Agar petugas, perawat dan dokter dapat melakukan komunikasi yang efektif
dengan pasien dan keluarganya. Menghindarkan kesalahpahaman yang
bisa menimbulkan dugaan

B. Pengertian
Komunikasi berasal dari bahasa Latin “communis” yang artinya
bersama. Secara terminologis, komunikasi diartikan sebagai suatu
proses penyampaian pikiran atau informasi (pesan) dari satu pihak ke
pihak lain dengan menggunakan suatu media. Menurut ahli kamus bahasa,
komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai
kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama
terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan oleh
keduanya. Webster’s New Collegiate Dictionary edisi tahun 1977 antara lain
menjelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi
diantara individu melalui sistem lambing-lambang, tanda-tanda atau tingkah
laku.
C. Klasifikasi Komunikasi
Berdasarkan kepada penerima pesan atau komunikan, komunikasi
diklasifikasikan menjadi :
1. Komunikasi Intrapersonal
Penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri
antara individu dengan Tuhannya. Komunikasi intrapersonal merupakan
keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik
dari pesan-pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima
pesan, meberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses intern
yang berkelanjutan.
2. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal berlangsung dengan dua arah, antara komunikator
dan komunikan; antara seorang tenaga medis dengan teman sejawat atau
antara seorang tenaga medis dengan pasien.
3. Komunikasi Kelompok
Salah satu bentuk komunikasi yang terjadi di dalam sebuah kelompok.
Komunikasi tidak hanya terjadi antara seseorang dengan seseorang yang
lainnya, komunikasi juga dilakukan dengan sekelompok orang yang disebut
dengan komunikasi kelompok. Menurut Michael Burgoon, komunikasi kelompok
adalah interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih dengan tujuan
yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan
masalah, dimana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi
anggota- anggota yang lain secara tepat, misalnya organisasi profesi, kelompok
remaja dan kelompok-kelompok sejenisnya. Komunikasi dapat dalam bentuk
diskusi, rapat dan sebagainya.
4. Komunikasi Publik
Komunikasi yang dilakukan secara aktif maupun pasif yang dilakukan di depan
umum. Dalam komunikasi publik, pesan yang disampaikan dapat berupa suatu
informasi, ajakan, gagasan. Komunikasi ini memerlukan ketrampilan
komunikasi lisan dan tulisan agar pesan dapat disampaikan secara efektif dan
efisien.
5. Komunikasi Organisasi
Merupakan komunikasi yang dilakukan dalam suatu organisasi atau antar
organisasi baik secara formal maupun informal. Komunikasi organisasi pada
umumnya membahas tentang struktur dan fungsi organisasi serta hubungan
antarmanusia.
6. Komunikasi Massa
Komunikasi ini melibatkan sejumlah besar komunikan heterogen yang tersebar
di suatu wilayah geografis yang luas dan berkepentingan pada pesan
komunikan yang sama.

D. Jenis Komunikasi
Komunikasi dapat dibedakan dalam lima jenis, yaitu komunikasi tertulis,
komunikasi verbal, komunikasi non-verbal, komunikasi satu arah dan
komunikasi dua arah.
1. Komunikasi Tertulis
Merupakan komunikasi yang penyampaian pesan secara tertulis baik manual
maupun melalui media seperti email, surat, media cetak. lainnya.
Prinsip-prinsip komunikasi tertulis, yaitu :
- Lengkap
- Ringkas
- Pertimbangan
- Konkrit
- Jelas
- Sopan
- Benar
Dalam Rumah Sakit, komunikasi tertulis dapat berupa catatan
perkembangan pasien, catatan medis, laporan perawat dan catatan lainnya
yang memiliki fungsi sebagai berikut :

- Sebagai tanda bukti tertulis otentik, misalnya persetujuan operasi.


- Alat pengingat / berpikir bilamana diperlukan, misalnya surat yang telah
diarsipkan.
- Dokumentasi historis, misalnya rekam medis pasien.
- Jaminan keamanan, misalnya surat keterangan jalan.
- Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat
perintah, surat pengangkatan, SPO.
Keuntungan komunikasi tertulis ;
- Adanya dokumen tertulis
- Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman
- Dapat menyampaikan ide yang rumit
- Memberikan analisa, evaluasi dan ringkasan
- Menyebarkan informasi kepada khalayak ramai
- Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan
- Membentuk dasar kontrak atau perjanjian
- Untuk penelitian dan bukti di pengadilan

2. Komunikasi Verbal
Merupakan komunikasi yang disampaikan secara lisan. Komunikasi
dapat dilakukan secara langsung atau melalui sarana komunikasi seperti
telepon. Kelebihan dari komunikasi ini terletak pada keberlangsungannya, yakni
dilakukan secara tatap muka sehingga umpan balik dapat diperoleh secara
langsung dalam bentuk respon
dari pihak komunikan.
Komunikasi verbal ini harus memperhatikan arti denotative dan konotatif,
kosa kata, tempo bicara, intonasi, kejelasan dan keringkasan serta waktu dan
kesesuaian. Jenis komunikasi ini sering digunakan dalam pelayanan di Rumah
Sakit dalam hal pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan
dengan tatap muka. Komunikasi ini biasanya lebih akurat dan tepat waktu.
Kelebihan dari komunikasi ini adalah memungkinkan setiap individu untuk
merespon secara langsung.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi verbal :


1. Memahami arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama dengan kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau
ide yang terdapat dalam suatu kata. Misalnya kata “kritis”. Secara denotatif,
kritis berarti cerdas, tetapi perawat menggunakan kata kritis untuk
menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi
dengan pasien, tenaga medis harus berhati-hati memilih kata-kata
sehingga tidak mudah nuntuk disalahartikan terutama saat menjelaskan
pasien mengenai kondisi kesehatannya dan saat terapi.
2. Kosa kata mudah dipahami
Komunikasi tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu
menerjemahkan kata dan ucapan. Kemampuan dalam pengetahuan kosa
kata, khususnya yang berhubungan dengan dunia medis, berperan penting
dalam komunikasi verbal. Banyak istilah teknis yang digunakan oleh tenaga
medis di rumah sakit, misalnya istilah “auskultasi”, akan lebih mudah
dipahami oleh pasien bila diucapkan dengan menggunakan kosa kata
“mendengarkan”.
3. Intonasi
Pembicaraan seseorang dapat diartikan berdasarkan pada intonasi atau
nada. Seseorang yang berbicara dengan nada yang tinggi menunjukkan
bahwa orang tersebut sedang marah. Sebaliknya seseorang yang berbicara
dengan nada riang menunjukkan bahwa orang tersebut sedang
bergembira. Petugas dan tenaga medis rumah sakit hendaknya
menjaga intonasi yang menunjukkan perhatian dan ketulusan kepada
pasien
4. Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus sederhana, ringkas dan maksudnya dapat
diterima dengan jelas. Semakin sedikit kata-kata yang digunakan semakin
kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Komunikasi dapat diterima
dengan jelas apabila penyampaiannya dengan berbicara secara lambat dan
pengucapan vokalnya dengan jelas. Selain itu, komunikator harus tetap
memperhatikan tingkat pengetahuan komunikan.
5. Selaan dan tempo bicara
Kecepatan atau tempo bicara yang tepat dapat menentukan keberhasilan
komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepatpada
pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan
bahwa komunikator sedang menyembunyikan sesuatu. Hal ini harus
diperhatikan oleh petugas dan tenaga medis di rumah sakit, jangan sampai
pasien menjadi curiga karena selaan yang lama dan pengalihan yang
cepat. Selaan dapat dilakukan untuk menekankan pada hal tertentu,
misalnya memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan
memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan
memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya.
6. Ketepatan waktu dan relevansi
Komunikasi yang dilakukan pada waktu yang tepat akan membawa hasil
sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, bila pasien sedang menangus
kesakitan, bukan waktunya untuk tenaga medis menjelaskan resiko
operasi. Oleh karena itu petugas dan tenaga medis harus peka terhadap
ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Relevansi atau kesesuaian materi
komunikasi juga merupakan faktor penting untuk diperhatikan.
7. Humor
Dugan (1989) dalam Purba (2003) mengatakan bahwa tertawa dapat
mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stress dan
dapat meningkatkan keberhasilan tenaga medis dalam memberikan
dukungan emosional terhadap pasien. Sullivan dan Deane (1988) dalam
Purba (2006) melaporkan bahwa humor merangsang produksi
catecholamines dan hormone yang menimbulkan perasaan sehat,
meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas,
memfasilitasi relaksasi pernafasan dan humor dapat digunakan untuk
menutupi rasa takut dan tidak enak atau ketidakmampuannya untuk
berkomunikasi dengan pasien.

Dalam menyebutkan kata yang sulit maka pemberi pesan harus mengeja huruf
dengan menggunakan kode alfabeth internasional yaitu :

Karakter Kode Alfabet Karakter Kode Alfabet


A Alfa N November
B Bravo O Oscar
C Charlie P Papa
D Delta Q Quebec
E Echo R Romeo
F Foxtrot S Sierra
G Golf T Tango
H Hotel U Uniform
I India V Victor
J Juliet W Whiskey
K Kilo X Xray
L Lima Y Yankee
M Mike Z Zulu

Sumber Wikipedia
4. Komunikasi Non Verbal
Merupakan proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan
kata-kata. Komunikasi ini adalah cara yang paling meyakinkan untuk
menyamoaikan pesan kepada orang lain. Tenaga medis perlu menyadari pesan
verbal dan non verbal yang disampaikan oleh pasien mulai dan saat pengkajian
sampai evaluasi asuhan keperawatan karena pesan non verbal dapat
memperkuat pesan yang disampaikan secara verbal, misalnya, menggunakan
gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, simbol-simbol serta
cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi dan
gaya berbicara.
Komunikasi non verbal meliputi beberapa hal sebagai berikut :
- Metakomunikasi
Suatu komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara
komunikator dan komunikan disebut metakomunikasi
misalnya, tersenyum meskipun hati kecewa atau marah.
Metakomunikasi dapat dilihat dari :
- Penampilan fisik
Penampilan seseorang merupakan faktor yang menarik perhatian dalam
komunikasi antar pribadi. Penampilan fisik, cara berpakaian dan cara berhias
akan menunjukkan kepribadian seseorang. Tenaga medis yang memperhatikan
penampilan diri dapat menampilkan citra profesionalisme yang positif.
- Nada suara atau intonasi bicara
Intonasi bicara berpengaruh terhadap arti pesan yang disampaikan oleh
seseorang kepada pihak lain. Oleh sebab itu, pengendalian emosi merupakan
faktor yang sangat penting dalam berkomunikasi.
- Ekspresi wajah
Kondisi perasaan seseorang dapat diketahui melalui ekspresi wajar. Sakit,
susah, senang, takut, ngeri, jijik dan sebagainya dapat diketahui dari ekspresi
wajah. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar dalam menentukan
pendapat seseorang ketika berkomunikasi tatap muka.
E. Model Komunikasi

Model komunikasi adalah ilustrasi alur komunikasi yang menunjukkan unsur-


unsur penting di dalamnya. Menurut beberapa pakar komunikasi model adalah
penyederhanaan teori yang disajikan dalam bentuk gambar.
Model Komunikasi SMCR/BERLO Merupakan salah satu model komunikasi.
Model ini mensyaratkan adanya empat unsur komunikasi (sumber informasi,
pesan, saluran dan penerima pesan) untuk dapat terjadinya komunikasi.

Unsur komunikasi
1. Sumber Informasi (Source)
Sumber (pengirim pesan) adalah orang yang menyampaikan pemikiran atau
informasi yang dimilikinya kepada orang lain (penerima pesan). Pengirim pesan
bertanggung jawab dalam menerjemahkan pemikiran atau informasinya
menjadi sesuatu yang berarti, dapat berupa pesan verbal, non verbal dan
tulisan atau kombinasi dari ketiganya. Pengirim pesan (komunikator) yang baik
adalah komunikator yang menguasai materi, pengetahuannya luas tentang
informasi yang disampaikan cara berbicaranya jelas dan menjadi pendengar
yang baik saat dikonfirmasi oleh si penerima pesan (komunikan).

2. Pesan atau informasi (Message)


Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pesan komunikasi adalah :
- Tingkat kepentingan informasi
- Sifat pesan
- Kemungkinan pelaksanaannya
- Tingkat kepastian dan kebenaran pesan
- Kondisi pada saat pesan diterima
- Penerima pesan
- Cara penyampaian pesan

3. Saluran (Channel)
Saluran komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali
komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran, biasanya menggunakan
dua, tiga atau empat saluran yang berbeda secara simultan.
Contoh :
Dalam interaksi tatap muka, kita berbicara dan mendengarkan (saluran suara),
tetapi kita juga memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini secara
visual (saluran visual). Kita juga memancarkan dan mencium bau-bauan
(saluran olfaktori) dan seringkali kita saling menyentuh (saluran taktil). Media
fisik yang sering digunakan di rumah sakit adalah telepon, brosur, surat edaran,
memo, internet , dll.

4. Penerima pesan (Receiver)


Penerima pesan adalah orang yang menerima pesan dari sumber informasi
(komunikator). Penerima pesan akan menerjemahkan pesan (decoding)
berdasarkan pada batasan pengertian yang dimilikinya. Dengan demikian dapat
saja terjadi kesenjangan antara yang dimaksud oleh pengirim pesan dengan
yang dimengerti oleh penerima pesan yang disebabkan oleh adanya
kemungkinan hadirinya ganguan / hambatan. Hambatan ini bisa karena
perbedaan sudut pandang, pengetahuan atau pengalaman, perbedaan budaya,
masalah bahasa dan lainnya. Pada saat menyampaikan pesan, pengirim pesan
(komunikator) harus memastikan apakah pesan telah diterima dengan baik atau
tidak. Sementara penerima pesan perlu berkonsentrasi agar pesan diterima
dengan baik dan memberikan umpan balik (feedback) kepada pengirim pesan.

5. Umpan balik
Umpan balik merupakan tanggapan komunikan terhadap pesan yang
diberikan oleh komunikator. Umpan balik dapat berupa tanggapan verbal atau
non verbal dan sangat penting sekali sebagai proses klarifikasi untuk
memastikan tidak terjadi kesalahan dalam menginterpretasikan pesan. Pada
saat penerima pesan melakukan proses umpan balik, pengirim pesan
(komunikator) yang baik harus memiliki kemampuan sebagai berikut :
a. Cara berbicara
Komunikator harus menguasai cara berbicara termasuk cara bertanya
(mengerti waktu penggunaan pertanyaan tertutup dan terbuka),
menjelaskan, klarifikasi, paraphrase, intonasi.
b. Mendengar
Komunikator harus mendengarkan dengan baik umpan balik dari
penerima pesan tanpa memotong pembicaraannya.
c. Cara mengamati
Komunikator harus bisa mengamati cara berbicara komunikan misalnya
bahasa non verbal yang digunakan di balik ungkapan kata atau
kalimatnya, gerakan tubuhnya.
d. Menjaga sikap
Komunikator harus menjaga sikap selama berkomunikasi dengan
komunikan (bahasa tubuh) agar tidak mengganggu komunikasi dan
untuk menghindari kesalahpaham dalam mengartikan gerak tubuh yang
dilakukan oleh komunikator.

6. Gangguan
Gangguan adalah segala sesuatu yang menghambat atau mengurangi
kemampuan kita untuk mengirim dan menerima pesan.

Gangguan komunikasi ini meliputi :


a. Pengacau indra, misalnya suara terlalu keras atau lemah, bau
menyengat, udara panas dan lain-lain.
b. Faktor-faktor pribadi, antara lain prasangka, lamunan, dan lain-lain.
BAB II
RUANG LINGKUP

Komunikasi Efektif di rumah sakit memiliki dua tujuan, yaitu :


1. Komunikasi Efektif yang bertujuan untuk memberikan informasi Pelayanan Dan
Asuhan.
2. Komunikasi Efektif yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada pasien
dan keluarga pasien.

a). Komunikasi Informasi Pelayanan Dan Asuhan


Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi asuhan ini biasa
dilakukan oleh petugas customer service, registrasi dan admission yang
meliputi :
a. Jam pelayanan
b. Pelayanan yang tersedia
c. Cara mendapatkan pelayanan
d. Sumber alternatif mengenai asuhan dan pelayanan yang diberikan
ketika kebutuhan pasien melebihi kemampuan rumah sakit.

Contoh sikap petugas customer service, registrasi dan admission ketika


menerima pasien :
- Berdiri ketika pasien datang.
- Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri (“Selamat pagi / siang
/sore /malam,saya (nama)”).
- Mempersilahkan pasien duduk,
- Menanyakan nama pasien (“Maaf dengan Bpk/Ibu?”).Tawarkan bantuan
kepada pasien (“Ada yang bisa dibantu Bpk/Ibu (nama)?” )
- Menciptakan suasana yang nyaman (isyarat bahwa punya cukup
waktu,menganggap penting informasi yang akan diberikan,
menghindari tampak lelah).
- Menilai suasana hati lawan bicara.
- Memperhatikan sikap non-verbal (raut wajah/mimic, gerak/bahasa tubuh dari
pasien).
- Menatap mata pasien secara professional yang lebih terkait dengan makna
menunjukkan perhatian dan kesungguhan mendengarkan.
- Memberikan informasi yang diperlukan oleh pasien.
- Memberikan informasi jadwal praktek/paket dan langsung tanyakan apakah
mau dibantu untuk dibuatkan perjanjian.
- Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi yang
tidak perlu.
- Memberikan solusi yang tepat dan cepat bila ada keluhan yang disampaikan.
- Apabila pasien marah, menangis, takut dan sebagainya maka dokter tetap
menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang.
- Menawarkan kembali bantuan kepada pasien (“ Ada lagi yang bisa kami bantu
Bpk/Ibu?”).
- Mengucapkan salam penutup (“Terima kasih atas waktunya Bpk/Ibu. Apabila
ada lagi yang bisa saya bantu, kami siap melayani dengan penuh cinta kasih.”
- Berdiri ketika pasien hendak pulang.

b). Komunikas Efektif


Komunikasi Efektif ini Di lakukan oleh :
1. Setiap Komunikasi Antara Pofesional Pemberi Asuhan Dengan Pasien Dan
Keluarga
2. Setiap Komunikasi Antar Pemberi Layanan
3. Setiap Komunikasi Profesional Pemberi Asuhan Dengan Masyarakat Baik Di
Dalam Maupun Di Luar Rumah Sakit.

Petugas rumah sakit berkewajiban untuk melakukan edukasi kepada pasien


dan keluarga pasien sehingga pasien dan keluarga pasien bisa memahami
pentingnya mengikuti proses pengobatan yang telah ditetapkan.
Terdapat 3 tahap dalam pemberian edukasi :
1. Tahap asesmen pasien
Sebelum melakukan edukasi, pertama-tama petugas menilai kebutuhan
edukasi pasien dan keluarga pasien berdasarkan formulir asesmen kebutuhan
edukasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga.
b. Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang
digunakan.
c. Hambatan emosional dan motivasi.
d. Keterbatasan fisik dan kognitif.
e. Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.

2. Tahap penyampaian informasi dan edukasi yang efektif


Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif tergantung pada
hasil asesmen pasien, yaitu :
a. Jika pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang maka
proses komunikasi edukasinya bisa langsung dijelaskan kepada pasien
sesuai dengan kebutuhan edukasinya.
b. Jika pasien memiliki hambatan fisik (tuna rungu dan tuna wicara) maka
proses komunikasi edukasinya dapat disampaikan dengan menggunakan
media cetak seperti brosur yang diberikan kepada pasien dan keluarga
sekandung (istri, anak, ayah, ibu atau saudara sekandung) dan
menjelaskannya kepada mereka (lihat selengkapnya di Panduan
Penanganan Pasien Difabel).
c. Jika pasien memiliki hambatan emosional (pasien marah atau deperesi)
maka proses komunikasi edukasinya juga dapat disampaikan dengan
menggunakan media cetak seperti brosur dan menyarankan pasien
untuk membacanya. Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi, pasien
bisa menghubungi medical information.

3. Tahap verifikasi
Pada tahap ini, petugas memastikan kepada pasien dan keluarga
mengenai kejelasan dan pemahaman materi edukasi yang diberikan.
a. Apabila pada saat pemberian edukasi, pasien dalam kondisi baik dan senang
maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara menanyakan kembali edukasi
yang telah diberikan.
b. Untuk pasien yang mengalami hambatan fisik maka verifikasi dpat dilakukan
dengan cara menanyakan kepada keluarganya engan pertanyaan yang sama,
yaitu “Apakah Bapak/Ibu bisa memahami materi edukasi yang kami berikan?”
(lihat selengkapnya di Panduan Penanganan Pasien Difabel).
c. Untuk pasien yang mengalami hambatan emosional (marah atau depresi)
maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara menanyakan kepada pasien
mengenai sejauh mana pasien telah mengerti tentang materi edukasi yang
diberikan melalui brosur. Proses pertanyaan ini bisa melalui telepon atau
datang langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang.

Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien, diharapkan


komunikasi yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien.
Apabila pasien mengikuti semua arahan dari rumah sakit, diharapkan
mempercepat proses penyembuhan pasien.
BAB III
KEBIJAKAN

1. Komunikasi efektif adalah komunikasi yang tepat waktu, lengkap, tidak ragu-
ragu dan dimengerti oleh penerima instruksi
2. Komunikasi efektif dilakukan antara petugas kesehatan, Antara Petugas
Pengedukasi Dengan Pasien Dan Keluarga Serta Tim PKRS Dengan
Masyarakat baik dilakukan secara lisan maupun tulisan
3. Perintah lisan dan yang melalui telepon hasil pemeriksaan dituliskan secara
lengkap dan di dokumentasikan oleh penerima perintah
4. Perintah lisan dan yang melalui telepon secara lengkap dibacakan kembali
oleh penerima perintah
5. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi ulang oleh individu yang
memberi perintah
6. Perintah lisan atau melalui telepon dimintakan tanda tangan pemberi
perintah dan di sertai tanda tangan saksi
7. Pada saat pembacaan ulang individu yang menerima instruksi atau hasil
test, mendengarkan informasi yang diberikan
8. Pada keadaan tertentu pembacaan ulang, mungkin tidak dapat
dilaksanakan, dikarnakan dapat membahayakan keselamatan pasien yaitu :
a) Kegawat daruratan yang jelas seperti Cardias arrest
b) Pada saat dokter sedang melakukan tindakan steril
9. Semua bagian dipelayanan kesehatan yang menghasilkan hasil test yang
kritikal akan menyampaikan kepada dokter / bagian yang memberi intruksi
10. Individu yang menerima hasil test kritikal akan mencatat hasil tersebut
kedalam catatan medik dan melakukan pembacaan ulang kepada individu
yang menyampaikan hasil test
BAB IV
TATA LAKSANA

1. KOMUNIKASI EFEKTIF PPA ( PERAWAT ) DAN PASIEN

Pelayanan rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari peran komunikasi.


Petugas dan tenaga medis tidak dapat melaksanakan tahapan-tahapan dalam
proses pelayanan kesehatan dengan baik tanpa kemampuan berkomunikasi
yang baik dengan pasien, teman, atasan dan pihak-pihak lain.
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan
keperawatan di rumah sakit dalam hubungan perawat dan pasien adalah
pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka.
Kemampuan perawat melakukan komunikasi verbal akan menentukan kualitas
asuhan yang diberikan. Dalam setiap tahapan pelaksanaan proses
keperawatam, perawat selalu menggunakan komunikasi verbal. Oleh
karena itu perawat harus memahami hal-hal yang harus diperhatikan dalam
komunikasi verbal.
Tahapan komunikasi dalam keperawatan meliputi tahap pengkajian, perumusan
diagnose, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Tahap Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal proses pelayanan di rumah sakit
yang dilakukan oleh petugas registrasi/admisi dan perawat untuk
mengumpulkan data pasien. Data tersebut diperlukan sebagai dasar
pelaksanaan proses keperawatan pada tahap selanjutnya.
Data pasien diperoleh dari :
a. Wawancara, terdiri dari :
- Wawancara admisi
Wawancara ini dilakukan pada saat pertama kali pasien masuk rumah
sakit dengan tujuan untuk mendapatkan data umum atau identitas pasien.
- Wawancara riwayat hidup
Wawancara ini dilakukan oleh perawat untuk mendapatkan informasi
mengenai keluhan pasien, riwayat kesehatan, perjalanan penyakit dengan
tujuan untuk mengetahui alasan pasien datang ke rumah sakit dan menjadi
acuan rencana tindakan keperawatan.
- Wawancara terapeutik
Wawancara ini ditekankan pada fakta, ide dan isi dalam rangka
pengembangan hubungan sehat yang bertujuan untuk membantu pasien
mengidentifikasi masalahnya. Wawancara ini memberikan peluang kepada
pasien untuk mengungkapkan perasaan, mengenal dan mengetahu masa
lalunya. Wawancara terapeutik banyak digunakan oleh professional kesehatan
seperti perawat, dokter, psikolog dan psikiater, biasanya diterapkan pada
pasien yang mengalami gangguan psikologis.
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan diagnostic (laboratorium, radiologi, dsb)
d. Informasi/catatan dari tenaga medis lain dan dari keluarga pasien
Kemampuan berkomunikasi sangat berpengaruh pada kelengkapan data
pasien. Oleh karena itu, peningkatan komunikasi seorang perawat perlu
mendapatkan perhatian. Dalam berkomunikasi perawat perlu
memperhatikan budaya yang berpengaruh pada waktu dan tempat terjadinya
komunikasi, penggunaan bahasa, usia dan perkembangan pasien.
Ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi pasien dalam
menyampaikan, menerima dan memahami informasi yang diterimanya.
Beberapa hal yang menjadi kendala, antara lain :
a. Kemampuan bahasa
Perawat perlu memperhatikan bahasa yang mampu dipahami oleh pasien
dalam berkomunikasi karena penguasaan bahasa sangat berpengaruh
terhadap persepsi dan penafsiran pasien dalam menerima informasi yang
sesuai.
b. Ketajaman pancaindera
Ketajaman pancaindera dalam mendengar, melihat, merasa dan mencium bau
merupakan faktor penting dalam komunikasi. Pasien akan dapat menerima
pesan komunikasi dengan baik apabila pancainderanya berfungsi baik. Bagi
pasien yang mengalami gangguan pendengaran, ada tahapan yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pengkajian, yaitu informasi medik yang
mengindikasikan adanya kelemahan pendengaran, memperhatikan
perlu/tidaknya pasien menggunakan alat bantu dengar yang masih berfungsi,
memperhatikan kemampuan pasien membaca ekspresi wajah dan gerak bibir
perawat, dan apakah pasien mampu menggunakan gerak isyarat sebagai
bentuk komunikasi non verbal.

c. Kelemahan fungsi kognitif


Kerusakan yang melemahkan fungsi kognitif, misalnya tumor otak yang dapat
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengungkapkan dan memahami
bahasa. Dalam mengkaji pasien ini, perawat harus dapat menilai respon
baik secara verbal maupun non verbal yang disampaikan oleh pasien dalam
menjawab pertanyaan.

d. Gangguan struktural
Gangguan struktural tubuh terutama yang berhubungan langsung dengan
organ suara seperti mulut dan hidung dapat berpengaruh pada proses
komunikasi.

2. Tahap perumusan diagnosa


Diagnosa dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap pengkajian.
Perumusan diagnosa keperawatan merupakan hasil penilaian perawat dengan
melibatkan pasien dan keluarganya, tenaga kesehatan lain yang berkenaan
dengan masalah yang dialami pasien. Diagnosa keperawatan yang tepat
memerlukan sikap komunikatif perawat dan sikap kooperatif pasien.

3. Tahap perencanaan
Pengembangan rencana tindakan keperawatan kepada pasien diperlukan
interaksi dan komunikasi dengan pasien. Hal ini untuk menentukan
memberikan makanan kepada pasien, perawat harus terlebih dahulu
mengetahui makanan yang sesuai bagi pasien. Rencana tindakan yang dibuat
oleh perawat merupakan media komunikasi antar tenaga kesehatan yang
berkesinambungan sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara teratur dan
efektif.

4. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari perencanaan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Aktifitas ini memerlukan ketrampilan dalam
berkomunikasi dengan pasien.Terdapat dua katergori umum aktivitas perawat
dalam berkomunikasi, yaitu saat mendekati pasien untuk memenuhi kebutuhan
dan saat pasien mengalami masalah psikologis.

Pada saat menghadapi pasien, perawat perlu :


- Menunjukkan raut wajah yang mencerminkan ketulusan agar tercipta
suasana saling percaya saat berkomunikasi.
- Kontak pandang yang menunjukkan perhatian dan kesungguhan perawat.
- Fokus pada pasien.
- Bersikap terbuka untuk menumbuhkan keberanian pasien dalam mengikuti
tindakan keperawatan yang dilakukan. Mendengarkan secara seksama dan
penuh perhatian untuk mendapatkan informasi dari pasien. Perawat lebih
banyak mendengarkan daripada berbicara. Hal ini akan menumbuhkan
kepercayaan pasien kepada perawat.
- Mendengarkan keluhan pasien dan memahami perasaan.
- Perawat mampu menjelaskan keadaan pasien.
- Perawat mampu menjadi pembimbing dan konseling terhadap pasien.
- Bersikap tenang selama berada di depan pasien.

Dalam berkomunikasi di rumah sakit, petugas dan tenaga medis harus


melakukan proses verifikasi terhadap akurasi dari komunikasi lisan dengan
tulis, baca kembali dan konfirmasi ulang (TULBAKON), yaitu :
1. Pemberi pesan memberikan pesan secara lisan.
Komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui sarana
komunikasi seperti telepon. Pemberi pesan harus memperhatikan kosa kata
yang digunakan, intonasi, kekuatan suara (tidak besar dan tidak kecil), jelas,
singkat dan padat.
2. Penerima pesan menulis isi pesan tersebut. (TULIS)
Untuk menghindari adanya pesan yang terlewat maka penerima pesan
harus mencatat pesan yang diberikan secara jelas.
3. Isi pesan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima pesan. (BACA)
Setelah pesan dicatat, penerima pesan harus membacakan kembali
pesan tersebut kepada pemberi pesan agar tidak terjadi kesalahan dan pesan
dapan diterima dengan baik.
4. Penerima pesan mengkonfirmasi kembali isi pesan kepada pemberi pesan.
(KONFIRMASI) .
Pemberi pesan harus mendengarkan pesan yang dibacakan oleh penerima
pesan dan memberikan perbaikan bila pesan tersebut masih ada yang kurang
atau salah.

2. KOMUNIKASI EFEKTIF PPA (DOKTER) DAN PASIEN

Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, baik dokter maupun pasien
dapat berperan sebagai sumber atau pengrim pesan dan penerima pesan
secara bergantian. Pasien sebagai pengirim pesan, menyampaikan apa yang
dirasakan atau menjawab pertanyaan tenaga medis sesuai pengetahuannya.
Sementara tenaga medis sebagai pengirim pesan, berperan pada saat
menyampaikan penjelasan penyakit, rencana
pengobatan dan terapi, efek samping obat yang mungkin terjadi serta dampak
dari dilakukan dan tidak dilakukannya terapi tertentu. Dalam penyampaian ini,
tenaga medis bertanggung jawab untuk memastikan pasien memahami apa
yang disampaikan.
Sebagai penerima pesan, dokter perlu berkonsentrasi dan
memperhatikan setiap pernyataan pasien. Untuk memastikan apa yang
dimaksud oleh pasien, dokter sesekali perlu membuat pertanyaan atau
pernyataan klarifikasi. Mengingat kesenjangan informasi dan pengetahuan yang
ada antara dokter dan pasien, dokter perlu mengambil peran aktif. Ketika
pasien dalam posisi sebagai penerima pesan, dokter perlu secara proaktif
memastikan apakah pasien benar-benar memahami pesan yang telah.
disampaikannya. Misalnya dalam menginterpretasikan kata “panas”.
Dokter yang mempunyai pasien berumur dua tahun memesankan kepada ibu
pasien, “Kalau dia panas, berikan obatnya.” Pengertian panas oleh ibu pasien
mungkin saja berbeda dengan yang dimaksudkan oleh dokter. Dokter perlu
mencari cara untuk memastikan si ibu mempunyai pemahaman yang sama,
misalnya dengan menggunakan ukuran yang tepat, yaitu termometer.
Dokter mengajarkan cara menggunakan termometer untuk mengetahui
keadaan anaknya. Si ibu diminta memberikan obat yang telah diresepkan
dokter kepada anaknya apabila suhu tubuh anak mencapai angka tertentu yang
dimaksud dokter mengalami “panas”.
Dalam dunia kesehatan, warna yang berbeda, ukuran yang berbeda,
rasa yang berbeda bisa menjadi hal yang sangat vital karena bisa membedakan
intensitas radang, intensitas nyeri yang pada akhirnya bermuara pada
perbedaan diagnosa maupun jenis obat yang harus diminum. Peran dokter
sebagai fasilitator pembicaraan amat penting agar tidak terjadi salah
interpretasi.
Silverman (1998) menjelaskan bahwa komunikasi efektif tidak berhenti
sampai pemberi pesan selesai menyampaikan maksudnya. Komunikasi baru
dapat dikatakan lengkap ketika pembicara mendapatkan umpan balik dari
penerima yang meyakinkannya bahwa tujuan komunikasinya tercapai
(penerima pesan memahami sesuai yang diharapkannya).
Disease Centered Communication Style adalah komunikasi berdasarkan
kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk
penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala.
Illness Centered Communication Style adalah komunikasi berdasarkan
apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu
merupakan pengalaman unik, termasuk pendapat pasien, apa yang menjadi
kepentingannya, apa kekhawatirannya, harapannya, apa yang
dipikirkannya akan menjadi akibat dari penyakitnya (Kurtz, 1998).
Pada dasarnya komunikasi efektif adalah bagaimana menyatukan sudut
pandang pasien maupun dokter menjadi sebuah bentuk relasi dokter- pasien
(doctor-patient partnership), keduanya berada dalam level yang sejajar dan
saling bekerja sama untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Di dunia kedokteran, model proses komunikasi tersebut telah
dikembangkan oleh Van Dalen (2005) menjadi sebuah model yang sangat
sederhana dan aplikatif.
Kotak 1 : Pasien memimpin pembicaraan melalui pertanyaan terbuka
yang dikemukakan oleh dokter (Patient takes the lead through open ended
question by the doctor)
Kotak 2 : Dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan
tertutup/terstruktur yang telah disusunnya sendiri (Doctors takes the lead
through closed question by the doctor)
Kotak 3 : Kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan
berdasarkan negosiasi kedua belah pihak (Negotiating agenda by both)

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan


melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya
menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati dapat diraih
melalui kecukupan dokter akan listening skills dan training skills yang dapat
diraih melalui latihan.
Carma L Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic
Communication in Physician-patient Encouter 2002, menyatakan betapa
pentingnya empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun
dalam batasan definisi berikut :
1. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien.
2. Kemampuan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien.
3. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan / menyampaikan
empatinya kepada pasien.
Berikut adalah contoh aplikasi empati yang dikembangkan oleh Bylund &
Makoul 2002 Tingkat atau level empati dalam komunikasi dikodekan dalam
suatu sistem. Ada 6 level pada pengkodean ini, yaitu :

Level 0 : Dokter menolak sudut pandang pasien.


Level 1 : Dokter mengenal secara sambil lalu.
Level 2 : Dokter mengenal sudut pandang pasien secara implicit.
Level 3 : Dokter menghargai pendapat pasien.
Level 4 : Dokter mengkonfirmasi kepada pasien.
Level 5 : Dokter berbagi perasaan dan pengalaman dengan pasien.

Keterangan :
Level 3 – 5 adalah pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien tentang
penyakitnya, secara eksplisit.

Contoh-contoh kalimat :
Level 5 : Berbagi pengalaman maupun perasaan “Ya saya mengerti
hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa
pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian
setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat
khawatir.
Level 4 : Konfirmasi “Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti
seberapa besar usaha Anda untuk menyempatkan
berolahraga.”
Level 3 : Penghargaan “Anda bilang Anda sangat stress datang ke
sini? Apa Anda mau menceritakan lebih jauh apa yang
membuat Anda stress?”
Level 2 : Pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien
(terhadap penyakitnya) secara implicit.
Pasien : “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja.”
Dokter : “Ya…? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?”
Level 1 : Pengenalan secara sambil lalu “A-ha”, tapi dokter
mengerjakan hal lain, menulis, membalikkan badan,
menyiapkan alat, dan lain-lain.
Level 0 : Penolakan terhadap apa yang menjadi sudut pandang
pasien.
- Mengacuhkan pendapat pasien
- Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat
pasien, seperti “Kalau stress ya, mengapa datang ke
sini?!” atau “Ya, lebih baik operasi saja sekarang.”

Ketrampilan empati bukan hanya sekedar basa-basi atau bermanis mulut


kepada pasien, melainkan :
1. Mendengarkan aktif.
2. Responsif pada kebutuhan pasien.
3. Responsif pada kepentingan pasien.
4. Usaha memberikan pertolongan kepada pasien

Sikap Profesional Dokter


Sikap professional dokter ditunjukkan ketika dokter berhadapan dengan
tugasnya, yang berarti mampu menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai dengan
peran dan fungsinya, mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu.,
pembagian tugas profesi dengan tugas-tugas pribadi yang lain dan mampu
menghadapi berbagai macam tipe pasien serta mampu bekerja sama dengan
profesi kesehatan yang lain. Di dalam proses komunikasi dokter-pasien, sikap
professional ini penting untuk menjalin sambung rasa, sehingga pasien merasa
nyaman, aman, dan dapat percaya kepada dokter yang merupakan landasan
bagi berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman, 1998).
Contoh sikap dokter ketika menerima pasien :
- Membukakan pintu atau berdiri ketika pasien datang.
- Menyilakan masuk, pasien masuk terlebih dahulu baru dokter.
- Memanggil/menyapa pasien dengan namanya.
- Menyilakan duduk, menciptakan suasana yang nyaman (isyarat bahwa punya
cukup waktu, menganggap penting informasi yang akan diberikan, menghindari
tampak lelah).
- Mengucapkan salam (“Selamat pagi/siang/sore/malam”)
- Memperkenalkan diri, menjelaskan tugas/perannya (apakah dokter umum,
spesialis, dokter keluarga, dokter paliatif, konsultan gizi, konsultan tumbuh
kembang, dan lain-lain).
- Menilai suasana hati lawan bicara.
- Memperhatikan sikap non-verbal (raut wajah/mimic, gerak/bahasa tubuh dari
pasien).
- Menatap mata pasien secara professional yang lebih terkait dengan makna
menunjukkan perhatian dan kesungguhan mendengarkan.
- Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi yang
tidak perlu.
- Apabila pasien marah, menangis, takut dan sebagainya maka dokter tetap
menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang.
- Melibatkan pasien dalam rencana medis selanjutnya atau pengambilan
keputusan.
- Memeriksa ulang segala sesuatu yang belum jelas bagi kedua belah pihak.
- Melakukan negosiasi atas segala sesuatu berdasarkan kepentingan kedua
belah pihak.
- Membukakan pintu, atau berdiri ketika pasien hendak pulang.

Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua tahap yang penting :


1. Tahap pengumpulan informasi
Dimulai dengan tahap penggalian informasi yang terdiri dari :
a. Mampu mengenali alasan kedatangan pasien. Penggalian informasi akan
berhasil apabila dokter mampu menjadi pendengar yang aktif sehingga
pasien dapat mengungkapkan kepentingan, harapan, kecemasannya secara
terbuka dan jujur. Hal ini akan membantu dokter dalam menggali riwayat
kesehatannya yang merupakan data-data penting untuk menegakkan
diagnosis.
b. Penggalian riwayat penyakit Penggalian riwayat penyakit (anamnesis) dapat
dilakuakn melalui pertanyaan - pertanyaan terbuka dahulu, yang kemudian
diikuti dnegan pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban “ya” atau
“tidak”. Inilah yang dimaksud dalam kotak kedua, dalam Van Dalen (2005),
dokter merupokan seorang ahli yang akan menggali riwayat kesehatan
pasien sesuai kepentingan medis. Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang dapat
ditanyakan :
Bagaimana pusing tersebut Anda rasakan, dapat diceritakan lebih jauh?
Menurut Anda, pusing tersebut reda bila Anda melakukan sesuatu, meminum
obat tertentu atau bagaimana menurut Anda?
Sedangkan pertanyaan tertutup yang merupakan inti dari anamnesis
meliputi :
Eksplorasi terhadap riwayat penyakit dahulu
Eksplorasi terhadap riwayat penyakit keluarga
Eksplorasi terhadap riwayat penyakit sekarang, contoh
menggunakan pedoman Macleod’s clinical examination
seperti disebutkan dalam Kurtz (1998)
Macleod’s clinical examination :
Dimana dirasakan? Sampai di bagian tubuh mana hal tersebut dirasakan?
Bagaimana karakteristik dari nyerinya, berdenyut-denyut?
Hilang timbul? Nyeri terus menerus? Nyeri? Amat nyeri? Sampai tidak daoat
melakukan kegiatan mengajar? Berapa lama nyeri berlangsung? Sebentar?
Berjam-jam? Berhari-hari? Setiap waktu tertentu nyeri tersebut dirasakan?
Berulang-ulang? Tidak tentu? Apa yang membuatnya reda? Apa yang
membuatnya kumay? Saat istirahat? Ketika kerja? Sewaktu minum obat
tertentu? Adakah keluhan lain yang menyertainya ?

2. Tahap penyampaian informasi


Setelah tahap pengumpulan informasi dilakukan dengan akurat,
maka dokter masuk ke tahap penyampaian informasi. Tanpa informasi yang
akurat di tahap pengumpulan informasi, dokter dapat terjebak kedalam
kecurigaan yang tidak beralasan. Secara ringkas ada 6 (enam) hal penting
yang harus diperhatikan agar efektif dalam berkomunikasi dengan pasien, yaitu
:
a. Materi informasi apa yang disampaikan
- Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisi (kemungkinan rasa tidak nyaman/sakit
saat pemeriksaan).
- Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis.
- Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk
menentukan diagnosis (manfaat, resiko, efek samping/komplikasi).
- Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan untuk
menegakkan diagnosis.
- Diagnosis, jenis atau tipe.
- Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan kelebihan masing-
masing cara).
- Prognosis
- Dukungan (support) yang tersedia.

b. Siapa yang diberi informasi


- Pasien, kalau pasiennya menghendaki dan kondisinya memungkinkan.
- Keluarga atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.
- Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan
bertanggung jawab atas pasien kalau kondisi pasien tidak memungkinkan
untuk berkomunikasi sendiri secara langsung.
c. Berapa banyak atau sejauh mana
- Untuk pasien : sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa
perlu dengan memperhatikan kesiapan mental pasien.
- Untuk keluarga : sebanyak yang pasien/keluarga kehendaki dan sebanyak
yang dokter perlukan agar dapat menentukan tindakan selanjutnya.
d. Kapan menyampaikan informasi
- Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan.
e. Dimana menyampaikannya
- Di ruang praktik dokter.
- Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat.
- Di ruang diskusi.
- Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama, pasien/keluarga
dan dokter.
f. Bagaimana menyampaikannya
- Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung,
tidak melalui telepon, juga tidak diberikan dalam bentuk tulisan yang dikirim
melalui pos, facsimile, sms, internet.
- Persiapan, meliputi :
Materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis, prognosis
sudah disepakati oleh tim). Ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi,
tidak terganggu orang lalu lalang, suara gaduh dari tv/radio, telepon Waktu
yang cukup Mengetahui orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemui
oleh keluarga/orang yang ditunjuk; bila hanya keluarga yang hadir sebaiknya
lebih dari satu orang).
- Jejaki sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal yang akan
dibicarakan.
- Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana informasi yang
diinginkan dan amati kesiapan pasien/keluarga menerima informasi yang akan
diberikan.

Agar tujuan komunikasi tercapai, seorang dokter harus menjadi


pendengar yang aktif. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
1. Perhatikan sikap non verbal pasien
- Bila terlihat amat lemas, tentunya dokter member kesempatan untuk
berbaring, duduk ataupun yang dapat membantunya selama proses
konsultasi.
- Bila terlihat amat memperhatikan penjelasan dokter, maka dokter
dapat meneruskan penjelasannya, dengan melakukan periksa silang (cross
check), apakah pasien merasa sudah jelas atau belum.
- Bila pasien terlihat tergesa-gesa, dokter dapat menawarkan segala
sesuatu yang membuat proses konsultasi berlangsung cepat dengan cara
bernegosiasi dengan pasien. Bila perlu pasien dapat datang lagi di
kesempatan berikutnya.
- Bila pasien terlihat ingin bertanya tetapi ragu-ragu, maka dokter
hendaknya member kesempatan pasien untuk berbicara.
2. Mulai dengan pertanyaan terbuka
Contoh : “Bagaimana keadaan Bapak hari ini?”
“Apa yang Ibu ingin sampaikan atau ingin didiskusikan hari ini?”
3. Dengarkan keluhan pertama kali yang disampaikan pasien yang belum
tentu keluhan medis.
Contoh : “Sekarang susah ya, mencari pekerjaan…”
“Harga sembako semakin mahal saja ya..”
4. Fasilitasi keluhan pasien dengan :
- Mendengarkan aktif jawaban pasien, tanpa interupsi.
- Menanggapi dengan ucapan, “Baik…” atau “Oke…” atau “Aha…”, atau
mengganggukkan kepala.
- Merespon atau memberikan umpan balik maupun klarifikasi dengan
pertanyaan atau jawaban pada waktu yang tepat.
5. Tanyakan bila ada keraguan.
6. Konfirmasi maupun negosiasi agenda hari ini
dengan mengikutsertakan pendapat atau putusan pasien, “Jadi Bapak
mengeluhkan tentang pusing dan kelelahan, apakah ada lagi yang ingin
disampaikan?”… Kalau tidak, bisakah kita mulai sesi hari ini dengan….
kemudian dilanjutkan dengan…?”

3. KOMUNIKASI ANTAR PEMBERI LAYANAN

Dalam memberikan pelayanan di Rumah Sakit TK IV 02.07.02 Lahat,


antar pemberi layanan melakukan komunikasi dengan teknik SBAR. SBAR
merupakan suatu teknik komunikasi yang dipergunakan dalam melakukan
identifikasi terhadap pasien sehingga mampu meningkatkan kemampuan
komunikasi antara perawat dengan dokter. Dengan komunikasi SBAR ini maka
perawat dapat memberikan laporan mengenai kondisi pasien lebih informatif
dan terstruktur.
SBAR merupakan kerangka acuan dalam pelaporan kondisi pasien yang
memerlukan perhatian dan tindakan segera. Teknik SBAR terdiri atas unsur
Situation, Background, Assessment, Recommendation. Pada prinsipnya, SBAR
merupakan komunikasi standar yang ingin menjawab pertanyaan, yaitu apa
yang terjadi, apa yang diharapkan oleh perawat dari dokter yang dihubungi dan
kapan dokter harus mengambil tindakan.
4 (Empat) Unsur SBAR :
1. Situation
Menjelaskan kondisi terkini dan keluhan yang terjadi pada pasien.
Misalnya : penurunan tekanan darah, gangguan irama jantung, sesak nafas, dll.
2. Background
Menggali informasi mengenai latar belakang klinis yang
menyebabkan timbulnya keluhan klinis.
Misalnya : Riwayat alergi obat-obatan, hasil pemeriksaan laboratorium
yang sudah diberikan, hasil pemeriksaan penunjang, dll.
3. Assessment
Penilaian / pemeriksaan terhadap kondisi pasien terkini sehingga perlu
diantisipasi agar kondisi pasien tidak memburuk.
4. Recommendation
Merupakan usulan sebagai tindak lanjut, apa yang perlu dilakukan untuk
mengatasi masalah pasien saat ini.
Misalnya : menghubungi dokter, mengarahkan pasien untuk melakukan
pemeriksaan penunjang, dll.
Contoh laporan perawat ke dokter dengan menggunakan SBAR (Haig, K.M.,
dkk.,2006) :

Situation (S) - Sebutkan nama Anda dan unit


- Sebutkan identitas pasien dan nomor
kamar pasien.
- Sebutkan masalah pasien tersebut
(misalnya sesak nafas, nyeri dada, dsb.
Background (B) - Sebutkan diagnosis dan data klinis
pasien sesuai kebutuhan :
- Status kardiovaskular (nyeri dada,
tekanan darah, EKG, dsb.)
- Status respirasi (frekuensi pernafasan,
Sp02, analisis gas darah, dsb.)
- Status gastro-intestinal (nyeri perut,
muntah, perdarahan, dsb.)
- Neurologis (GCS, pupil, kesadaran, dsb.)
- Hasil laboratorium/pemeriksaan
penunjang lainnya.
Assessment (A) - Sebutkan problem pasien tersebut :
- Problem kardiologi (syok kardiogenik,
aritmia maligna, dsb.)
- Problem gastro-intestinal (perdarahan
massif dan syok)
Recommendation (R) - Rekomendasi (pilih sesuai kebutuhan) :
- Saya meminta dokter untuk :
- Memindahkan pasien ke ICU
Segera datang melihat pasien mewakili
dokter lain untuk datang konsultasi ke dokter
lain
- Pemeriksaan atau terapi yang diperlukan foto
fontgen, pemeriksaan gas analisis darah,
pemeriksaan EKG, pemberian oksigenasi,
beta 2 agonis nebulizer

4. KOMUNIKASI DENGAN MASYARAKAT

1. Populasi masyarakat
Untuk daerah sasaran rumah sakit populasi yang ada meliputi masyarakat
umum tanpa mempunyai asuransi, masyarakat dengan peserta Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan yaitu peserta ex.
Jamkesmas, Askes, Jamsostek, dan TNI/Polri), pasien kesecelakaan dengan
menggunakan asuransi Jasa Raharja, dan pasien peserta Asuransi Kesehatan
perusahaan - perusahaan swasta yang bekerjasama dalam pelayanan
kesehatan bagi karyawan.
2. Strategi
Komunikasi dilakukan melaui radio, banner, spanduk dan komunikasi
langsung ke masyarakat serta merangkul Tokoh Masyarakat Sekitar dan
perusahaan-perusahaan.
3. Isi informasi
Informasi yang disampaikan adalah jenis pelayanan yang terdapat di rumah
sakit, jam pelayanan dan bagaimana akses pelayanan dari masyarakat ke
rumah sakit termasuk kualitas pelayanan yang diberikan. Serta Edukasi tentang
penyakit baik itu pencegahan, pengobatan maupun rehabilitasinya.

a. Komunikasi dengan menggunakan media


1) Spanduk
a) Spanduk himbauan kesehatan yang berkaitan dengan
peringatan hari-hari besar nasional dan internasional, seperti :
Peringatan hari kesehata, hari anak nasional, HIV AIDS sedunia
dll
b) Spanduk pelayanan rumah sakit
c) Spanduk kegiatan – kegiatan social Standing Banner. Banner
himbauan kesehatan
2) Baliho Baliho tentang pelayanan rumah sakit
3) Sign Box dan Neon Box
a) Pelayanan UGD 24 Jam
b) Jadwal Poli Spesialis
c) Neon Box Pelayanan Rumah Sakit
d) Iklan di Radio mengenai pelayanan rumah sakit.
4) Brosur dan flayer
a) Brosur tentang pelayanan rumah sakit
b) Flayer Gizi
c) Pencegahan Infeksi di Rumah Sakit
b. Komunikasi langsung
1. Talkshow dokter umum di Radio
2. Penyuluhan kesehatan dalam safari kesehatan ke masyarakat sekitar /
perusahaan
3. Kegiatan Edukasi penyakit dalam kegiatan senam lansia
4. Seminar kesehatan
5. Pertemuan Dengan Tokoh Masyarakat Dan Stake Holder
Membicarakan Masalah Kesehatan Yang Berkembang Di Masyarakat.

6. PELAKSANAAN KOMUNIKASI EFEKTIF

1. Komunikasi Efektif di Ruang Pendaftaran


Pendaftaran dapat dilakukan oleh pasien melalui 2 (dua) cara, yaitu :

a. Melalui telepon
Komunikasi yang dilakukan melalui telepon, dimana saat mendaftar
pasien diminta menyebutkan nama dokter yang dituju, nama pasien dan nomor
rekam medis oleh petugas operator. Petugas operator akan mengkonfirmasi
apa yang didengarnya untuk input pendaftaran. Dalam melakukan konfirmasi,
komunikan terkadang menghadapi kesulitan menuliskan sesuatu informasi
sehingga harus menjabarkan hurufnya satu per satu dengan menggunakan
alfabeth.
b. Datang langsung
Saat pasien datang ke rumah sakit, maka tempat yang pertama kali
harus dikunjunginya adalah ruang/tempat pendaftaran, dimana terdapat meja
untuk mendaftar. Setelah pendaftaran selesai, barulah mereka satu demi satu
diarahkan ke tempat yang sesuai dengan pelayanan yang dibutuhkan. Kontak
awal dengan rumah sakit ini, perlu disambut dengan 4S (senyum, sapa, salam,
Santun ) oleh petugas pendaftaran. Sambutan tersebut berupa salam hangat
yang dapat membuat mereka merasa tentram berada di rumah sakit. Di tempat
tersebut, pasien akan ditanya keperluannya dan akan diarahkan sesuai dengan
keperluan yang dituju.
2. Komunikasi Efektif Rawat Jalan
Saat pasien berada di Instalas Rawat Jalan pasien harus melakukan
timbang, tensi, atau ukur tinggi badan di ruang nurse station (NS). Perawat
akan melakukan komunikasi dengan melakukan 4S (senyum, sapa, salam ,
santun ) dan mengarahkan pasien sesuai dengan dokter/keperluan yang dituju.
Rumah sakit menyediakan ruangan poliklinik untuk pasien rawat jalan yang
memerlukan konsultasi atau ingin mendapatkan informasi. Konsultasi dilayani
oleh dokter spesialis, dokter umum, bidan dan konselor. Konsultasi dapat
dilakukan secara individual dan berkelompok. Konsultasi secara berkelompok
contohnya kursus pra persalinan, kursus perawatan bayi dan senam hamil.
Ruang konsultasi dilengkapi dengan media komunikasi seperti laptop, LCD dan
gambar-gambar. Pihak yang paling berpengaruh terhadap pasien rawat jalan
adalah orang yang mengantarkannya ke rumah sakit. Mereka ini tidak dalam
keadaan sakit, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan informasi dari
berbagai media komunikasi yang tersedia di poliklinik. Oleh karena itu di setiap
poliklinik, khususnya ruang tunggu, dipasang poster-poster, disediakan
selebaran (leaflet), dipasang televisi dan VCD/DVD player yang dirancang
untuk menayangkan informasi tentang kesehatan. Konsultasi yang dilakukan
secara individual dilakukan dengan sikap profesional, menurut Konsil
Kedokteran Indonesia (2006), sikap profesional ini penting untuk membangun
rasa nyaman, aman, dan percaya yang merupakan landasan bagi
berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional
ini hendaknya dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses
konsultasi berlangsung, dan di akhir konsultasi.

3. Komunikasi Efektif Rawat Inap


Pada saat pasien sudah masuk rawat inap, umumnya pasien sangat ingin
mengetahui seluk-beluk penyakitnya. Sementara pasien dengan penyakit kronis
dapat menunjukkan reaksi yang berbeda-beda seperti apatis, agresif atau
menarik diri. Hal ini disebabkan penyakit kronis umumnya memberikan
pengaruh fisik dan kejiwaan serta dampak sosial kepada penderitanya. Kepada
pasien seperti ini, kesabaran dari petugas rumah sakit sangat diharapkan,
khususnya dalam pelaksanaan komunikasi pemberdayaan.
Beberapa cara komunikasi pemberdayaan dapat dilakukan melalui
konseling sebagai berikut :
a. Konseling di Tempat Tidur Konseling di tempat tidur (bedside conseling)
dilakukan terhadap pasien rawat inap yang belum dapat atau masih sulit
meninggalkan tempat tidurnya dan harus terus berbaring. Dalam hal ini,
perawat yang menjadi konselor harus mendatangi setiap pasien, duduk di
samping tempat tidur pasien tersebut dan melakukan pelayanan konseling.
Dalam melakukan konseling di tempat tidur, konselor membawa alat peraga
dan bila memungkinkan dapat membawa VCD/DVD yang berisi informasi
tentang penyakit pasien tersebut.
b. Konseling Berkelompok Terhadap pasien yang dapat meninggalkan tempat
tidurnya, dapat dilakukan konseling secara berkelompok. Untuk itu, di ruang
perawatan harus disediakan suatu tempat atau ruangan untuk berkumpul.
Konseling berkelompok ini selain untuk meningkatkan pengetahuan serta
mengubah sikap dan perilaku pasien, juga sebagai sarana komunikasi yang
berfungsi sebagai sosialisasi kepada pasien-pasien. Untuk konseling
berkelompok sebaiknya digunakan alat peraga atau media komunikasi seperti
flipchart, poster, standing banner, laptop dan LCD untuk menayangkan gambar
atau film. Di Rumah Sakit Ibu dan Anak Puri Betik Hati konseling berkelompok
dilakukan melalui senam hamil, kursus prapersalinan dan kursus perawatan
bayi. Lingkungan yang berpengaruh besar terhadap pasien rawat inap adalah
para penjenguk (pembesuk). Agar para penjenguk tertib, dapat disediakan
ruang tunggu yang dilengkapi dengan poster dan leaflet tentang pendidikan
kesehatan secara gratis atau televisi yang menayangakan berbagai pesan
kesehatan dari VCD/DVD player, sehingga diharapkan para penjenguk
memperoleh informasi yang nantinya dapat disampaikan kepada pasien yang
akan dibesuknya.
BAB V
DOKUMENTASI

Komunikasi via telephone atau lisan didokumentasikan pada formulir


catatan perkembangan pasien terintegrasi rawat inap, edukasi yang sudah
dilakukan di dokumentasikan pada formulir identifikasi kebutuhan pendidikan
dan pemberian edukasi didokumentasikan pada format edukasi. Hasil kegiatan
yang terkait dengan komunikasi efektif dilaporkan secara berkesinambungan
dengan kegiatan PKRS.
Penjelasan dalam buku ini terbatas pada pengertian umum tentang
komunikasi efektif. Tentunya masih diperlukan cara lain agar dokter dan staf di
rumah sakit benar-benar dapat melakukan komunikasi efektif dalam
menjalankan profesinya. Keterampilan berkomunikasi hanya bisa diperoleh dari
praktik. Makin banyak pengalaman seseorang melakukan komunikasi efektif
ketika berhadapan dengan pasien maupun pengunjung, maka keterampilannya
akan semakin terasah. Tentunya akan sangat membantu kalau seseorang juga
menambah pengetahuan dan wawasannya. Mengikuti pelatihan khusus, selain
sebagai penyegaran tapi juga bisa menambah kemampuan, adalah cara lain
yang dianjurkan agar mampu melakukan komunikasi efektif dengan pasien
maupun pengunjung di rumah sakit.
Menurut Konsil Kedokterean Indonesia (2006), memahami perspektif
seseorang adalah sikap yang dianjurkan dalam komunikasi. Sikap tersebut
akan mengantar pada pengembangan perilaku seseorang yang menunjukkan
adanya penghargaan terhadap kepercayaan pasien yang berkaitan dengan
penyakitnya (tidak menyemooh atau melecehkan), melakukan penggalian
(eksplorasi) terhadap keadaan pasien, memahami kekhawatiran dan
harapannya, berusaha memahami ungkapan emosi pasien, mampu merespon
secara verbal dan non-verbal dalam cara yang mudah dipahami pasien.
Perhatian terhadap bio, psiko sosio, budaya dan norma-norma setempat untuk
menetapkan dan mempertahankan terapi paripurna dan hubungan dokter-
pasien yang profesional, sangat diperlukan dalam berkomunikasi dengan
pasien. Perhatian dalam pengembangan komunikasi efektif dengan pasien
tidaklah terbatas hanya pada diri seorang dokter semata melainkan juga
melibatkan semua jenjang yang dilalui pasien. Dokter perlu memasukkan
semua pihak yang ikut berperan dalam upaya penyembuhan atau
perawatannya agar komunikasinya bisa efektif. Tidak semua informasi yang
diperlukan pasien bisa dituntaskan oleh dokter di ruang praktiknya.
Penyediaan media pendukung komunikasi, yaitu media cetak seperti
lembar balik (flipchart), lembar lipat (leaflet), poster, selebaran (flyer), buklet
dan media elektronik (vcd) akan sangat membantu efektivitas komunikasi.
Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan atau rumah sakit harus
menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pasien yang lebih
banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jasa pelayanan
dengan sebaik-baiknya, termasuk melakukan komunikasi terhadap pelanggan
dalam hal ini adalah pasien dengan mempertimbangkan latar belakang budaya
sehingga keluhan negatif terhadap pelayanan kesehatan dapat diminimalkan.
Selain itu, apabila setiap profesi kesehatan memegang teguh kode etik profesi
yang telah dirumuskan oleh masing-masing profesi dan menerapkannya di
dalam pemberian pelayanan kepada pasien maka komplain tidak akan terjadi.
Disamping itu, setiap profesi kesehatan harus meningkatkan motivasi
internalnya untuk menolong sesama manusia. Tidak sekedar motivasi material
tapi juga keikhlasan berbuat menolong sesama manusia dalam rangka
beribadah kepada-Nya.

Ditetapkan di : Lahat
pada tanggal : 9 Januari 2019
Karumkit Tk. IV 02.07.02 Lahat

dr. Fauzi Mustakman SpB


Mayor Ckm NRP 11040000290974

Anda mungkin juga menyukai